ORANG RIMBA DALAM KONTESTASI PEREBUTAN

ORANG RIMBA DALAM KONTESTASI
PEREBUTAN SUMBERDAYA ALAM DI
JAMBI
MARAHALIM SIAGIAN
(Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)

P E N U L I S D I K O M U N I TA S O R A N G R I M B A T E M E N G G U N G M A R I T U A - D A E R A H A L I R A N S U N G A I T E R A B , T A M A N
NASIONAL BUKIT DUABELAS, JAMBI. 2006

5

Naskah ini dimodifikasi dari naskah tesis berjudul “ Orang Rimba Dalam’
dan ‘Orang Rimba Luar’: Studi Tentang Dampak Deforestasi Pada Mode Produksi,
Mode Reproduksi dan Hubungan Sukubangsa di Jambi ”pada sekolah
pascasajana Universitas Gadjah Mada

5

ORANG RIMBA DALAM KONTESTASI PEREBUTAN SUMBERDAYA ALAM
DI JAMBI
INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak deforestasi pada mode
produksi, mode reproduksi, dan hubungan suku bangsa, Orang Rimba di luar dan di
dalam hutan di Jambi. Penelitian didasarkan pada kerja lapangan serta didukung dengan
penelitian kepustakaan menggunakan pendekatan materialisme budaya. Teknik
pengumpulan data adalah: observasi partisipasi, wawancara mendalam, focus group
discussion dan penggunaan informasi media massa. Data dianalisis secara kualitatif dan
kualitatif. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi, yaitu Das Terab, Taman Nasional Bukit 12,
Kabupaten Batang Hari dan Desa Pematang Kancil, Kecamatan Pamenang, Kabupaten
Merangin, Jambi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mode produksi Orang Rimba di hutan
sedang bertransformasi ke bentuk baru yaitu, budidaya karet yang berorientasi pasar,
sebagai respon atas terjadinya deforestasi di habiatat mereka. Namun, mode produksi
berburu-meramu dengan kombinasi perladangan berpindah tanaman pangan, masih
yang utama. Diterimanya budidaya karet telah mempengaruhi dua aspek kebudayaan
Orang Rimba. Pertama, pola pemanfaatan sumberdaya milik besama menjadi pola
pemanfaatan rumah tangga/individual. Kedua, budidaya karet meningkatkan
penghargaan atas tanah dan ukuran kemakmuran baru. Ukuran populasi cenderung
diperbesar sebagai bentuk adaptasi terhadap budidaya karet, tetapi sistem dan pola
kerja yang mendukung hal itu belum terbentuk. Senjata-senjata berburu mengalami
modernisasi sebagai adaptasi dampak deforestasi, tetapi sistem perburuan mengarah

pada perburuan tidak lestari.
Dalam kasus Orang Rimba di luar hutan, mode produksinya hampir seluruhnya
teritegrasi ke pasar. Bentuk yang tersisa adalah penggarapan sumberdaya dari sungai,
sementara sumber pendapatan yang terpenting saat ini adalah produksi daging babi dari
perburuan di perkebunan, getah karet dari budidaya pertanian, dan gumpulan bibit karet
liar untuk okulasi. Berburu dan mengunpulkan bibit karet liar adalah sumberdaya yang
tidak digarap penduduk transmigran di lingkungan perkebunan dan keterampilan
berburu faktor yang pendukung monopoli perburuan. Namun, permintaan pasar yang
cenderung berubah atas permintaan daging babi dan karet liar untuk okulasi membuat
sumber pendapatan teracam. Terbatasnya sumber-sumber pangan dan pendapatan,
membuat ukuran populasi diperkecil. Kontrol populasi dilakukan dengan penggunaan alat
kontrasepsi. Akses terhadap pos pelayanan kesehatan relatif dekat tetapi ada hambatan
berpartisipasi, sehingga tidak ada korelasinya pada derajat kesehatan. Angka kematian
tinggi dan usia harapan hidup rendah, hal itu turut mengoreksi jumlah populasi.
Perluasan perkebunan dan pertanian di satu sisi dan lonjakan jumlah penduduk
transmigrasi di sisi yang lain menekan lahan dan hutan tersisa. Struktur sosial dan
ekonomi juga berubah, lalu menimbulkan konflik sumberdaya alam dan konflik sosialbudaya dalam berbagai bentuknya. Integrasi pendatang dengan penduduk lokal tidak
terjadi, hal itu menjadi potensi konflik saat ini dan dimasa mendatang.

Kata Kunci: Orang Rimba, mode produksi, mode reproduksi, hubungan suku bangsa


5

ORANG RIMBA
Nama sebuah suku bangsa bukan sekedar susunan huruf-huruf tanpa makna.
Sebaliknya, nama seringkali menjadi sangat penting karena membawa serta identitas
budaya masyarakat yang bersangkutan. Bila mendengar sebutan ”Orang Rimba”, paling
tidak nama itu merujuk pada tempat tinggal dan kelompok sosialnya. Namun selain
sebutan Orang Rimba, dikenal pula sebutan-sebutan berikut untuk suku bangsa yang
sama: Kubu, Suku Anak Dalam, Orang Rimbo, Orang Rimba, Sanak, dan Dulur. Perlu
kirannya meninjau penggunaan nama itu satu persatu, sebagai dasar justifikasi atas
penggunaan nama ”Orang Rimba” yang digunakan.
Nama “Kubu” atau ”Koeboe” dipopulerkan oleh pegawai pemerintah Belanda
(Winter, Van Dongen, Marsden) pada abad XX, para etnografer/antropolog awal (Hagen,
Schebesta, Sandbukt, Parson), serta para missionaris. Human Relation Area Files Press
yang menerbitkan daftar suku-suku bangsa di Madagaskar, Andaman-Nicobar, dan
Indonesia di bawah tajuk Etnic Groups of Insular Southeast Asia (1972) juga
menggunakan kata Kubu sebagai istilah resmi untuk suku bangsa ini. Disebutkan, kata
”kubu” diduga berasal dari kata ngubu. Dalam bahasa Inggris kata itu sepadan dengan
kata elusive yang berarti; mengasingkan diri, sukar dipahami, dan sulit untuk ditangkap.

Penduduk Palembang dan Jambi juga memakai istilah generik itu untuk
masyarakat primitif. Pada konteks berbeda, kata kubu dipergunakan untuk
mempermalukan anak-anak mereka yang tidak mau mandi, atau kata ejekan bagi orang
yang berperangai negatif. Sementara itu, nama resmi suku bangsa ini di pemerintahan
adalah “Suku Anak Dalam”. Departemen Sosial menggunakan nama itu untuk
mengindentifikasikan masyarakat-masyarakat yang hidup di pedalaman Jambi.
Sebelumnya, pemerintah telah mempopulerkan nama ”suku terasing”, kemudian
”masyarakat terasing” dan belakangan ”komunitas adat terpencil”. Penggunaan nama
”suku terasing” dipergunakan pemerintah dari tahun 1951-1966, kemudian ”masyarakat
terasing” dari tahun 1970-1999, dan sekarang ”komunitas adat terpencil” (Departemen
Sosial, 2001). Pergantian istilah itu mengacu pada pasal 1 Keputusan Presiden R.I nomor
111 tahun 1999 yang mendefinisikan komunitas adat terpencil atau masyarakat terasing
sebagai kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau
belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan sosial, ekonomi, maupun politik. Mereka
adalah masyarakat dengan ciri-ciri: (i) berbentuk komunitas kecil, (ii) tertututup dan
homogen, (iii) pranata sosialnya bertumpu pada hubungan kekerabatan, (iv) pada
umumnya pemukimannya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau, (v) masih
hidup dengan sistem ekonomi subsisten (vi) peralatan dan teknologinya sederhana, (vii)
ketergantungan kepada lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi
(viii) serta ditandai oleh terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik.

Dikalangan lembaga swadaya masyarakat, seperti Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN), pengertian komunitas adat terpencil versi pemerintah di atas dinilai
belum mencakup unsur adat, sebab ada kaitan yang erat antara adat dengan tanah adat,
hal yang selama ini diabaikan oleh pemerintah. Bagi AMAN, masyarakat adat adalah
mereka yang masih mempertahankan jati dirinya tetapi mengalami marginalisasi yang
hebat akibat pembangunan atau terlantar akibat kebijakan pemerintah. Penggunaan

5

istilah ”tandingan” itu mungkin diinspirasi oleh ”persekutuan hukum adat”, istilah yang
populer dalam wacana antropologi dekade yang lalu.
Nama ”Orang Rimbo” dikenal dari disertasi Muntholib Soetomo (1995) Muntholib
tidak menjelaskan asal usul dan pengertian istilah ini. Diduga nama ini berasal dari
masyarakat Melayu yang tinggal di pedalaman, seperti Desa Tanah Garo, dimana
penelitian Muntholib dilakukan. Istilah Orang Rimbo juga dirujuk I Nyoman Nurjaya (2003)
dalam satu bab buku persembahan untuk T.O. Ihromi, pakar antropologi hukum
Indonesia. Berdasar kajian linguistik pada bahasa Melayu Jambi, vocal “a” akan berubah
menjadi vokal “o” seperti pada kata “kemana” menjadi “kemano” atau kata “Orang
Rimba” akan menjadi kata “Orang Rimbo”. Sama halnya dengan istilah Kubu, Suku Anak
Dalam, dan Orang Rimbo yang dipakai selama ini adalah ciptan orang luar atau

exoname.
Nama ”Orang Rimba” muncul dalam beberapa publikasi mutahir: Sandbukt
(1998); Amilda Sani (2003); Siagian (2003); Manurung (2007), dan beberapa penulis
lain. Nama ini mengacu pada sebutan yang dipergunakan suku bangsa itu sendiri ( by
native speaker), dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam perkenalan resmi
mereka. Hutan atau rimba sebagai kata benda tidak dapat dilepaskan dari hutan sebagai
identitas budaya. Disebutkan, ”tidak mungkin hidup tanpa hutan, hutan adalah adat,
habis hutan maka habis adat”, begitu jawaban informan ketika perbedaan nama ini
dikonfirmasikan. Ditambahkannya, ”mereka yang hidup di luar hutan adalah ’orang
terang’ kami adalah ’Orang Rimba’ tetapi kalau ada dari kami ke luar dari hutan/rimba
lalu hidup seperti orang desa, maka kami juga menyebutnya ’orang terang’.
Kata ”sanak” atau ”dulur” merupakan bahasa sapaan sopan santun oleh
penduduk yang bertetangga (Melayu dan transmigran) dengan Orang Rimba. Terkait
dengan sebutan sanak atau dulur, penduduk Desa Tanah Garo mempercayai folklor yang
mengatakan, pada generasi yang lampau, ada dua orang yang bersaudara memutuskan
untuk berpisah, seorang mendirikan kampung dan memeluk agama Islam dan seorang
lagi tetap di hutan dengan adat-istiadatnya. Salah seorang menjadi Melayu dan seorang
lagi Orang Rimba. Dalam folklore yang dipercayai itu disebutkan, kedua orang ini
bersumpah untuk tidak mencampuradukkan adat di rimba dengan adat di desa, barang
siapa melanggar sumpah itu, yang melanggar akan ditimpa kutukan.

Setelah menelaah istilah-istilah di atas satu persatu, tibalah pada kesimpulan
bahwa nama yang tepat untuk dipergunakan adalah ”Orang Rimba”. Sebutan ”Kubu”
mengandung konotasi negatif dan cenderung merendahkan kebudayaan suku bangsa ini.
Sebutan ”Suku Anak Dalam” menekankan ciri-ciri keterisolasian geografis dan
keterbatasan akses pada pelayanan umum, suatu istilah yang dilandasi obsesi
pemerintah untuk memodernisasi Orang Rimba. Sebutan ”Orang Rimbo” merupakan
”kecelakaan linguistik” karena menggunakan penyebutan dalam dialek Melayu. Sebutan
”dulur” dan ”sanak” tidak dapat memberikan acuan masyarakat mana yang
dimaksudkannya. Dua kata ini kabur dan bermakna jamak, sehingga sulit untuk
dipergunakan sebagai istilah baku dalam penulisan.
Pertanyaan klasik untuk suku bangsa yang kurang dikenal adalah ”dari manakah
asal-usul mereka?”. Kennedy mengatakan, seperti yang dikutip Frank M. Lebar (1972: 46)
”they represent ancient primitive stratum of basic veddoid physical type, once more
widespread throughout the Malasyan Archipelago but since obliterated or physically
assimilated in to later Malay population . Penelitian Eijkman Institut yang dilansir Majalah
Ilmiah Populer National Geografic (edisi Maret, 2006 Vol. 2 No. 3) menyebutkan, migrasi
pertama dari daratan Asia terjadi sekitar 60.000 tahun SM, nenek moyang orang Papua
masuk dari daratan Asia sekitar 40.000 tahun SM, sebagian langsung menyeberang ke
Australia pada periode yang sama. Migrasi kedua berasal dari Formosa, masuk melalui
Filipina dan Sulawesi 3000 tahun SM. Migrasi dari Formosa menyebar ke Papua sekitar

1000 tahun SM. Migrasi dari Formosa menyebar ke daratan Indonesia sekitar 500 tahun

5

SM. Sampai sejauh ini, ilmu genetika mengatakan bahwa nenek moyang Orang Rimba
berasal dari Afrika.
Ada baiknya juga dikemukakan pendapat yang muncul dalam tulisan-tulisan
terdahulu. Van Dongen (1906:1) mengatakan: ”satu-satunya perkiraan adalah penduduk
pertama daerah-daerah ini tidak semuanya mau menyerahkan diri pada kekuatan Jawa
yang menguasai Palembang selama kurang lebih tiga abad. Sebahagian dari mereka
(penduduk pertama Jambi) melarikan diri ke hutan yang sukar ditembus. Di sana mereka
terpaksa mengembara dan hidup sengsara, meninggalkan cara hidup yang lebih
beradab. Akhirnya mereka berubah sama sekali seperti keadaannya yang sekarang”.
Dalam naskah berjudul ”Een Bezoek Aan de Tamme Koeboes”, Winter (1901:7) menulis
kisah masyarakat Kubu yang ditemuinya di Batu Licin: ”akhir-akhir ini mereka sering
sekali diganggu orang-orang Jambi, sehingga sudah lama mereka tidak aman di kampung
sendiri. Oleh karena itu mereka tinggal saja di hutan”. Lebih lanjut dikatakan ”mula-mula
orang-orang Jambi menculik beberapa orang Kubu, dan dibawa ke negerinya untuk
dijadikan budak. Setelah beberapa orang Kubu berhasil melarikan diri dan kembali ke
kampung, orang-orang Jambi datang menuntut mereka dengan alasan mereka berhutang

untuk makanan dan pakaian, namun mereka tidak mau kembali ke Jambi dan melarikan
diri ke hutan”.
Versi lain tentang asal-usul Orang Rimba terangkum dalam buku ”Rencana
Pengelolaan Taman Nasional Bukit 12” (Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi, 2004)
berisi beberapa keterangan sebagai berikut: (i) mereka adalah sisa laskar raja
Pagaruyung dari Minangkabau yaitu, kelompok laskar yang tersesat dalam perjalanan
menuju Jambi sewaktu mereka pulang membantu Ratu Jambi untuk peperangan. Laskar
dari Pagaruyung tersebut akhirnya memutuskan untuk tinggal dan mengisolasi diri di
hutan, (ii) Masyarakat asal Desa Kubu Karambia yakni, kelompok masyarakat Desa Kubu
Karambia, anggota Kerajaan Pagaruyung yang menolak untuk menerima ajaran Agama
Islam yang kemudian melarikan diri ke kawasan hutan di Jambi, (iii) Keturunan Bujang
Perantau melalui perkawinannya dengan seorang wanita jelmaan buah Kelumpang.
Kedua orang ini kemudian kawin dan beranak pinak di dalam hutan menurunkan orang
Kubu sekarang. Sejauh ini, belum ada tinjauan yang memuaskan tentang asal-usul Orang
Rimba.
Etnografi terdahulu menyebutkan Orang Rimba adalah masyarakat perburu dan
peramu nomaden (Winter, 1901; van Dogen, 1906; Lebar, 1972; Handini, 2005) dan
petani ladang sederhana (Muntholib, 1995; Sandbukt, 1998; Sani, 2003). Pemenuhan
kebutuhan subsistensi bertumpu pada hasil berburu dan meramu, sementara untuk
kebutuhan karbohidrat bersumber dari padi atau umbi-umbian yang ditanam di ladang.

Sandbukt lebih jauh menginformasikan bahwa pada situasi tertentu, Orang Rimba dapat
hidup sebagai foraging.
Øyvind Sandbukt (1998) juga menulis tinjauan yang luas tentang kesulitankesulitan mendasar Orang Rimba sebagai dampak pembangunan di Jambi. Berbeda
dengan Sandbukt, Muntholib menulis sebuah disertasi yang mengulas sistem
kekerabatan Orang Rimba dengan menggunakan pendekatan struktural fungsional.
Sedangkan fokus kajian Nurjana (2001) memberikan gambaran menarik bagaimana
proses penyelesaian sengketa antara Orang Rimba dengan perusahaan HPH dengan
menggunakan pendekatan antropologi hukum. Nurjaya menyebutkan, penebangan kayu
oleh HPH ternyata turut merusak dan menghilangkan sumberdaya yang dilindungi Orang
Rimba. Diantaranya adalah, tanaman buah-buahan, pohon tempat bersarangnya lebah
penghasil madu (sialang) dan kayu tertentu yang disakralkan.
Studi Amilda Sani (2003) menggambarkan dengan menarik hubungan patron klien
antara Orang Rimba dengan waris di Desa Tanah Garo (penduduk Melayu). Studi Amilda
mengungkap adanya kecenderungan praktik perbudakan orang Melayu kepada Orang
Rimba di masa lalu. Studi Retno Handini (2005), memfokuskan pada aktivitas berburu

5

meramu nomaden atau foraging pada kelompok Orang Rimba di kawasan Air Hitam dan
di kawasan Muara Bungo yang dinilai belum banyak berubah sejak ratusan tahun yang

lalu. Selanjutnya, Adi Prasetijo (2006), membahas tentang dominasi orang Melayu pada
Orang Rimba di Jambi. Studi ini terutama memfokuskan perhatian pada asimilasi Orang
Rimba yang dimukimkan pemerintah di Air Panas, Desa Pematang Kabau, Kabupaten
Merangin.
Studi literatur yang dikemukakan di atas memperlihatkan, belum memadainya
kajian tentang pengaruh deforestasi dan pengaruh perkembangan demografi terhadap
mode produksi dan mode reproduksi Orang Rimba. Kajian Handini sedikit banyak
memang menyinggung kegiatan produksi Orang Rimba, terutama kelompok yang berada
di Das Air Hitam dan kelompok yang berada di Kabupaten Bungo. Namun Handini tidak
membedakan secara tegas kegiatan produksi Orang Rimba yang berada di hutan dan
yang di luar hutan. Departemen Sosial (1992) menyebutkan bahwa kelompok yang
berada di luar hutan telah mendapat bantuan perumahan dan pembinaan melalui proyek
pemukiman ”komunitas adat terpencil” (Kat) pada kelompok-kelompok Orang Rimba di
luar hutan dan juga pada sebagian yang berada di dalam hutan. Dengan informasi itu,
diasumsikan sebahagian dari kelompok-kelompok yang mendapat pembinaan
pemerintah telah mengalami banyak perubahan.
M AT E R I L I S M E B U D AYA
Marvin Harris (1979) mengemukakan ada tiga pola universal yang dihadapi setiap
masyarakat. Pertama, setiap masyarakat selalu menghadapi masalah-masalah produksi,
bagaimana mewujudkan perilaku untuk memenuhi kebutuhan subsistensi. Kedua, setiap
masyarakat juga selalu menghadapi masalah reproduksi, bagaimana menghadapi
pertambahan atau pengurangan jumlah penduduk yang bersifat menggangu atau
merusak. Ketiga, setiap masyarakat harus menghadapi perlunya memelihara hubunganhubungan perilaku yang teratur dan aman dikalangan masyarakat penyusunnya dengan
masyarakat lainnya. Berangkat dari tiga persoalan universal di atas, Harris memelopori
teori materialisme budaya (cultural materialism).
Akar dari teori materialisme budaya paling tidak harus berpaling pada
materialisme-dialektisnya Marx dan Engels, sebuah teori yang telah memikat banyak
ilmuwan sosial dan mempengaruhi jalannya sejarah masyarakat dunia. Menurut J.W
Stalin (1936), adalah filsuf Feuerbach yang mengembalikan materialisme pada
kedudukannya yang bersifat idealis-religiustik, tetapi di tangan Karl Marx dan Engels,
materialisme dimodifikasi menjadi filsafat-ilmiah (menghilangkan sifat metafisiknya).
Materialisme-dialektis adalah cara mendekati, mempelajari, memahami, gejala-gejala
alam secara dialektis, sementara interpretasinya atau teorinya mengenai gejala alam itu
adalah meterialis. Stalin melanjutkan, prinsip-prinsip dasar materialisme melahirkan
materialisme historis, suatu studi mengenai kehidupan masyarakat dan sejarahnya.
Sejarah produksi masyarakat berkembang dari tahapan berburu dan meramu (hanting
and gathering), hortikultura (holticulture), pastoral (pastoral), agraris (agrarian), industri
(industrial), dan hiper industri (hyper industrial).
Kemudian Harris mengembangkan konsep produksi (Karl Marx) ini dan konsep
reproduksi (Robert Malthus) dalam rumusan baru yang disebut infrastruktur, satu dari
tiga skema tripartit materialisme budaya yang saling mempengaruhi: infrastruktur,
struktur, dan suprastruktur. Teori ini dibangun dari tiga asumsi dasar tentang
masyarakat. Pertama, aneka unsur-unsur dalam masyarakat saling terkait satu sama
lain. Ketika satu bagian dalam masyarakat berubah, unsur lain dalam masyarakat itu
juga akan berubah. Hal itu berarti bahwa perubahan lingkungan hidup tidak dapat dilihat
terpisah dari unsur ekonomi, politik, atau religi. Asumsi kedua, budaya adalah fondasi
dari sistem sosial-budaya yang diletakkan pada aspek lingkungan atau aspek fisis,
biologis, dan kimia manusia. Seperti semua kehidupan organisma, manusia harus

5

mendapatkan energi dari lingkungannya. Asumsi ketiga, lingkungan memiliki
keterbatasan dalam menyediakan energi, lingkungan juga tidak toleran terhadap polusi
dan setiap kebutuhan energi berasal dari lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
biologis atau kebutuhan pokok. Mengutip Harris (1979: 20): all human societies are
patterned along similar lines. Based on an environment, all can be classified as having :
infrastructure, structure , superstructure .
Komponen utama infrastuktur terdiri atas teknologi ( mode of production), populasi
(mode of reproduction), dan hubungan antara teknologi-lingkungan (relasionship
technological-environmental). Infrastruktur (mode produksi dan mode reproduksi) akan
menentukan bagaimana bentuk ekonomi domestik dan ekonomi politik masyarakat
(structure). Selanjutnya struktur (political economic and domestic economic ) akan
mempengaruhi superstruktur (seni, musik, tari-tarian, sastra, dan religi). Ketiganya dapat
diformulasikan sebagai berikut: infrastruktur akan membentuk struktur dan struktur akan
membentuk superstruktur.
Mode produksi adalah konsep yang menjelaskan teknologi dan praktik-praktik
yang digunakan suatu masyarakat untuk memperluas atau membatasi produksi
subsistensi dasar, khususnya produksi makanan dan energi lainnya. Dengan demikian
mode produksi meliputi; teknologi subsistensi, hubungan teknologi lingkungan,
ekosistem, dan pola-pola kerja. Mode reproduksi menjelaskan teknologi dan praktik
-praktik yang diterapkan suatu masyarakat untuk memperluas, membatasi, dan
mempertahankan ukuran populasinya. Dengan demikian, mode reproduksi meliputi
aspek demografi, pola-pola perkawinan, kelahiran, kematian, pengasuhan anak,
pengendalian medis atas pola-pola demografi, kontrasepsi, dan aborsi. {(Harris dalam
Saifuddin, 2005: 246; Kodiran (tanpa tahun): 5}.
Dengan dasar itu, digunakan pendekatan ini sebagai alat analisis untuk melihat
bagaimana deforestasi (konversi hutan menjadi pemukiman, perkebunan, pertanian) dan
ledakan penduduk yang dipicu penempatan transmigrasi dan dinamika populasi internal
Orang Rimba di dua site penelitian: di dalam dan di luar hutan, untuk melihat perbedaan
mode produksi dan mode reproduksi kelompok yang dibandingkan. Lebih lanjut akan
dilihat hubungan suku bangsa yang terjalin antara Orang Rimba atau penduduk
setempat dengan transmigran atau pendatang.
Dalam tiga dekade yang lalu (1970-2000) telah terjadi deforestasi 1 yang parah di
Sumatera2 (lihat peta 1), ditandai dengan merosotnya keragaman hayati hutan hujan
dataran rendah Sumatera serta sumber kebutuhan hidup masyarakat lokal yang
bergantung pada hutan, seperti halnya Orang Rimba. Rusaknya habitat masyarakat lokal
ini sebenarnya cukup mengejutkan, karena kawasan 3 yang mereka diami adalah hutanhutan di pedalaman Jambi atau hulu-hulu sungai yang jauh. Fenomena ini belum
mendapat perhatian yang memadai dari kalangan antropolog, paling tidak sampai
pertengahan tahun 90an. Beberapa aspek dari keadaan ini muncul ke permukaan atas
publikasi peneliti asing dan lembaga swadaya masyarakat (Lsm) di Jambi. Penelitian
1

Deforestasi didefinisikan sebagai penebangan hutan dan konversi lahan secara permanen untuk berbagai
manfaat lainnya. Menurut definisi tata guna lahan yang digunakan oleh FAO (2000) dan diterima oleh
pemerintah, lahan hutan yang telah ditebang, bahkan ditebang habis, tidak dianggap sebagai kawasan yang
dibalak karena pada prinsipnya pohon-pohon mungkin akan tumbuh kembali atau ditanami kembali. Suatu
kawasan hutan dapat disebut terdeforestasi hanya setelah lahan dikonversi secara permanen untuk
kepentingan lain yang bukan hutan, seperti pemukiman dan perkebunan.
2
Witten (2000), lebih luas menyajikan informasi tentang keadaan ekologi Sumatera dalam The Ecology of
Sumatera.
3
Hagen (1908), menyebutnya koeboestreken, yaitu kawasan di antara Sungai Musi dan Sungai Batang Hari.
Sementara kawasan utara Batang Hari yang kini juga dihuni oleh Orang Rimba diperkirakan baru terjadi satu
dekade yang lalu. Sebahagian dari kelompok yang mendiami kawasan ini berasal dari Sungai Seranten di Jambi
karena kawasan mereka telah di buka untuk pemukiman transmigrasi. Sebahagian lagi dari mereka berasal dari
Sungai Air Hitam/Sungai Sinamo yang “dibuang” kelompoknya karena melakukan pelanggaran adat.
Berdasarkan survey demografi yang dilakukan KKI Warsi (www.warsi.or.id), pada tahun 1998, jumlah
keseluruhan Orang Rimba di kawasan itu sebanyak 300 jiwa.

5

mengenai masalah pembangunan dan sumberdaya masyarakat lokal yang terpengaruh
pembangunan di Jambi antara lain disampaikan dalam lokakarya Jambi Regional
Develompment Project tahun 1998 oleh Øyvind Sandbukt bersama tim dari Komunitas
Konservasi Indonesia-Warsi4. Butir dalam laporannya menyebutkan bahwa kawasan hidup
utama Orang Rimba telah mengalami deforestasi dan degradasi hutan yang parah.
Kawasan dimaksud adalah: antara Sumatera Selatan dan Sungai Tembesi; antara Sungai
Tembesi dan Merangin; antara Sungai Merangin dan perbatasan Sarko; antara
perbatasan Sarolangun dengan Bute; utara Batang Hari, Bukit Tigapuluh; dan sekitar
Bukit Duabelas.
Merunut ke belakang, sejarah deforestasi di Jambi mulai pada akhir tahun 70an.
Kala itu pemerintah Orde Baru sedang membangun jalan lintas tengah Sumatera untuk
melengkapi jaringan jalan lintas timur dan barat yang dibangun pada masa
pemerintahan Soekarno. Jalan lintas barat Sumatera merupakan ruas jalan provinsi yang
menghubungkan Banda Aceh (utara) dengan Lampung (Selatan) via Tarutung - Padang
Sidempuan - Bukit Tinggi - Padang. Jalan lintas timur Sumatera adalah jalan yang
menghubungkan Banda Aceh dengan Lampung via Medan - Tebing Tinggi - Kisaran - Kota
Pinang - Duri - Pekanbaru - Rengat - Jambi - Palembang - Lampung. Dalam biografi
Soekarno yang ditulis bersama Cindy Adam (1965) disebutkan, jalan lintas Sumatera
akan dapat mempersatukan penduduk pulau Sumatera yang majemuk, dalam kerangka
ideologi nasionalisme.
Di Sumatera terdapat suku bangsa yang beragam: Aceh, Gayo, Alas, Melayu Deli,
dan Batak, yang persebarannya kira-kira sampai ke Sumatera bagian tengah. Melayu
Inderagiri, Orang Petalangan, Talang Mamak, Bonai, Akit, Melayu Jambi, Bathin IX, Orang
Rimba, Palembang, dan Semendo, yang mendiami bagian tengah Sumatera.
Minangkabau, Muko-Muko dan suku-suku bangsa setempat lainnya menempati sisi
sebelah barat, serta komunitas transmigrasi Jawa di Lampung di ujung pulau Sumatera
itu. Merupakan pandangan yang tepat jika Soekarno mengibaratkan jalan trans Sumatera
sebagai ”tusuk sate” yang mengintegrasikan daerah dan suku bangsa dari ujung ke
ujung pulau Sumatera itu.
Pada masa pemerintahan Soeharto trans Sumatera diperluas lagi. Berpangkal
dari Solok bersambung ke Lubuk Linggau - Sungai Dareh - Muara Bungo – Bangko
-Sarolangun. Lintas tegah trans Sumatera di atas, dibangun dalam rangka mendukung
kegiatan pembangunan Orde Baru, di bawah ideologi pembangunan. Ruas jalan baru itu
mulai dikerjakan tahun 1979 dan selesai satu tahun kemudian. Dengan tambahan ruas
jalan itu, lalu lintas dari utara ke selatan, termasuk melalui jalan lintas tengah (lewat
Jambi) membawa perubahan mode transportasi di Jambi. Sebelumnya, mode transportasi
di Jambi sangat bergantung pada Sungai Batang Hari. Kapal sungai harus keluar-masuk
melalui cabang-cabang Sungai Batang Hari ke pedalaman Jambi guna mengangkut hasil
bumi atau barang-barang kebutuhan penduduk. Tersedianya jalan darat turut
meningkatkan kemampuan transportasi sungai sekaligus mengintegrasikan Jambi dalam
ekonomi regional Sumatera.
Perhatian terhadap infrastruktur di Sumatera pada tahun-tahun berikutnya
semakin meningkat, berbarengan dengan program-program pembangunan yang
mengikutinya. Patrice Levang (2003:389) menyebutkan, sampai tahun 1985, Provinsi
Aceh membangun jalan provinsi sepanjang 9.982 km; Sumatera Utara sepanjang 15.132
km; Sumatera Barat sepanjang 8.632 km; Riau sepanjang 7.262 km; Jambi sepanjang
4.580 km; Sumatera Selatan sepanjang 9.692 km; Bengkulu sepanjang 3.527 km; dan
4

Yayasan Warsi, dahulu merupakan kepanjangan dari warung informasi konservasi. Yayasan Warsi merubah
nama berikut dengan perubahan lembaga dari bentuk yayasan ke bentuk perkumpulan. Setelah menjadi
perkumpulan namanya menjadi Komunitas Konservasi Indonesia. Kata “Warsi” sendiri di sini yang bukan lagi
akronim dari warung informasi konservasi melainkan sebagai trade-mark yang telah lebih dahulu dikenal.
Dengakan demikian, nama lembaga ini secara lengkap adalah “Komunitas Konservasi Indonesia-Warsi”,
disingkat dengan KKI-Warsi.

5

Lampung sepanjang 4.596 km. Dengan tambahan ruas jalan untuk keperluan proyek
transmigrasi 12.801 km, panjang ruas jalan provinsi di Sumatera adalah 63.403 km.
Pengembangan jalan trans Sumatera kemudian jaringan jalan baru ke pedalaman
ternyata berdampak pada meningkatnya eksploitasi hutan. Jalan membuat hutan
terfragmentasi sehingga lebih mudah untuk dieksploitasi. Pada waktu bersamaan kondisi
hutan Jambi telah menunjukkan penyusutan yang cepat, buah dari beberapa HPH (hak
penguasaan hutan) yang sedang beroperasi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) mengemukakan, setengah dari luas hutan di Indonesia (luas hutan Indonesia
secara resmi versi pemerintah 120 juta ha atau 90 juta ha berdasarkan koreksi Otto
Sumarwoto: 2003:i) diberikan oleh Presiden Soeharto dengan praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) kepada sanak saudara dan para pendukung politiknya. Hal itu
menghambat pengawasan pada konsesi-konsesi HPH yang dioperasikan untuk tujuan
untung semata atau mengabaikan aspek kelestarian hutan. Kebijakan HPH Orde Baru
bertujuan untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan pada kas negara. Dalam
kerangka itulah menurut Walhi, 16 juta ha hutan alam disetujui untuk keperluan hutan
tanaman industri (HTI) dan pada saat yang sama mendorong pengembangan industri
pulp dan kertas. Konsekuensinya, permintaan serat kayu meningkat. Terjadi defisit
pasokan kayu legal sebanyak 35-40 juta meter kubik per kapita. Defisit kayu legal ini
ditutupi dengan menampung kayu ilegal. Statistik Departemen Kehutanan 5
memperlihatkan, pencurian kayu telah merusak hutan Indonesia sekitar 10 juta hektar
dan penebangan hutan di areal legal dilakukan dengan cara yang tidak berkelanjutan.
Dari 17 juta meter kubik produksi kayu pada tahun 1995, produksinya tinggal hanya
kurang dari 8 juta meter kubik pada tahun 2000.
Bagaimana dengan hutan di Jambi? Kevin Boehmer (1998) mengemukakan, pada
tahun 1985, Departemen Kehutanan mengusulkan 50% dataran Jambi untuk hutan
produksi. Sepuluh tahun kemudian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jambi
menetapkan porsi untuk areal hutan tinggal hanya 25% dari luas provinsi. Pada akhir
1997 perkebunan (sawit 80% dan karet 20%) telah mencapai 40% dari areal bukan
kawasan hutan. Setiap 10-12 tahun, Mahendra Taher (2004) menyebutkan, penyusutan
hutan di Jambi sebesar 67.000 km persegi. Sampai akhir tahun 2002, konsesi HTI pulp
masih aktif beroperasi di atas lahan 191.130 ha dan konversi hutan untuk perkebunan
sawit pada tahun yang sama sebesar 344.932 ha. Perluasan areal perkebunan
merupakan komponen transmigrasi ditambah proyek transmigrasi juga nyata
menyebabkan deforestasi6. Menurut Walhi, antara tahun 1960-1999, hutan yang dibuka
secara nasional untuk proyek transmigrasi tidak kurang dari dua juta ha. Dalam rentang
waktu yang sama, tepatnya antara 1980-1990, ada enam unit pemukiman transmigrasi
baru di Jambi, dengan luas pemukiman 7 37.000 ha sampai 50.000 ha. Pemukiman
transmigrasi dimaksud berturut-turut adalah: Transmigrasi Rimbo Bujang, Transmigrasi
Kuamang Kuning, Transmigrasi Pamenang, Transmigrasi Kubang Ujo, Transmigrasi Tanah
Garo, dan Transmigrasi Tebing Tinggi. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk
penempatan transmigrasi dimaksud pada tahun anggaran 1979-1982 sebesar
Rp.28.367,- miliar dan untuk proyek yang sama di Sumatera sebesar Rp.259.629,- miliar
(Levang, 2003:345).
Penyebab deforestasi berikutnya adalah perkebunan kelapa sawit ( Enanois
oleifera) skala besar yang dikelola perusahaan berikut: PT Astra-Agro Lestari Tbk melalui
5

Lihat www.dephut.go.id, diakses 30 Oktober 2007
Kolonisatie dan transmigrasi adalah dua istilah berbeda namun artinya kurang lebih sama yaitu, kegiatan
pemerataan penduduk dengan cara pemindahan penduduk dari yang padat penduduknya ke tempat yang
jarang pendudukanya. Kolonistaie telah berlangsung selama 36 tahun pada masa kolonial, dari tahun 1905
sampai tahun 1941. Transmigrasi adalah kelanjutan kolonisatie yang pada masa pemerintahan Soekarno
berlangsung 18 tahun, dari tahun 1951 sampai tahun 1969. Kemudian, pada masa Orde Baru berlangsung dari
tahun 1970 sampai tahun 1998, dan pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berlansung dari tahun
2004-sekarang (2008).
7
Diki Kurniawan, tanpa tahun:.2
6

5

anak perusahaannya PT Sari Aditya Loka; PT Sinar Mas Group; PT Jambi Agro Wisesa; PT
Era Mitra Lestari; dan PT Gudang Garam melalui anak perusahaan PT Makin Group.
Keberadaan perkebunan sawit ini sebagian besar pada awalnya dimaksudkan untuk
mendukung proyek transmigrasi. Periode awal transmigrasi di Jambi diharapkan dapat
meningkatkan produksi pangan, tetapi tujuan itu meleset dari rancangan. Peserta
transmigrasi justru berhadapan dengan kelaparan. Lahan pertanian kering yang tidak
didukung jaringan irigasi merupakan kendala utama. Bila pertanian pangan di lahan
kering tetap dipertahankan, ganguan hama babi mustahil dibendung, populasi babi justru
bertambah dengan terbukanya hutan sebab kebun pangan penduduk menjadi sumber
makanan babi. Seorang transmigran asal Jawa Timur yang ditempatkan di Tanah Garo
mengatakan ”kami dilarang petugas transmigran menanam karet, padahal, tanaman
padi, ubi, dan sayuran kami habis dirusak babi dan kami terancam kelaparan”. Seorang
warga transmigran lain yang ditempatkan di Pamenang mengatakan ”banyak yang tidak
tahan di sini sehingga menjual rumah dan tanahnya untuk ongkos pulang kembali ke
Jawa”. Terang bahwa, perkebunan sawitlah yang menjadi katup pengaman proyek
transmigrasi di Jambi.
Pengembangan jaringan jalan trans Sumatera, transmigrasi, industri kehutanan
dan perkebunan sawit skala besar adalah empat penyebab utama deforestasi di Jambi.
Seperti disinggung di atas, deforestasi mempengaruhi sumberdaya Orang Rimba yang
bergantung pada hutan. Disamping itu, peningkatan populasi sebagai akibat
penempatan transmigrasi memunculkan perebutan sumberdaya serta menekan lahan
pertanian dan hutan tersisa.
.

LOKASI STUDI
Penelitian dilakukan di Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Merangin. Di
Kabupaten Batang Hari, kelompok yang diteliti adalah kelompok Orang Rimba yang
berada di Das Terab, kelompok ini mewakili Orang Rimba yang tinggal di dalam hutan
atau mereka yang saat ini hidup di Taman Nasional Bukit 12. Kelompok kedua adalah
yang berada di luar hutan yakni kelompok Orang Rimba di Desa Pematang Kancil,

5

Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin. Kelompok kedua ini mendiami kawasan
sepanjang jalan lintas tengah Sumatera yang lingkungannya sudah berubah total
menjadi pemukiman transmigrasi dan perkebunan. Secara administratif kelompok kedua
ini berada di Kabupaten Merangin.
T E K N I K P E N G U M P U L A N D ATA
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dibantu dengan data-data
kuantitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:
 Observasi partisipasi (participant observation), tinggal di lingkungan hidup subyek
penelitian dan berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari mereka. Hal-hal yang di
obeservasi adalah; kehidupan sehari-hari, kegiatan produksi dan reproduksi serta
hubungan antar suku bangsa.
 Wawancara
mendalam (depth interview) dan wawancara terbuka (open
interview) dimana peneliti dapat mengembangkan pertanyaan terus-menerus
dalam rentang waktu penelitian guna mencapai kedalaman informasi. Cara ini
juga diharapkan memberikan ruang yang lebih luas bagi informan untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan.
 Studi literatur dimaksudkan untuk mengumpulkan data demografi, pemberitaan
koran lokal/nasional yang berhubungan dengan topik hubungan sosial ekonomi,
politik Orang Rimba dengan transmigran.
VARIABEL PENELITIAN
ekosistem
teknologi subsistensi
hubungan teknologi lingkungan
pola-pola kerja
demografi: fertilitas, mortalitas, karakteristik penyakit, dan pengendalian populasi
pola-pola perkawinan
pola pengasuhan anak
INFORMAN
Informan adalah kelompok Temenggung Maritua yang terdiri 15 rumah tangga
dan kelompok Nungkai di Satuan Pemukiman C dan D Desa Pematang Kancil. Selain dua
kelompok di atas, wawancara juga dilakukan dengan masyarakat transmigrasi di sekitar
pemukiman mereka, kepala desa, anak-anak, remaja, bidan, pedagang, aktivis LSM,
peneliti dari perguruan tinggi khususnya mereka yang pernah melakukan penelitian di
lokasi dan mengetahui masalah-masalah yang diteliti.
A N A L I S I S D ATA
Data demografi dianalisis dengan statistik (software microsoft exel), hasilnya
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, sementara analisis data kualitatif dilakukan
secara on going analysis, dimana peneliti mengembangkan pemahaman secara terusmenerus dalam proses pengumpulan data dan proses analisis data guna tercapai
pengertian yang jelas dan tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data disajikan
dalam bentuk tulisan yang deskriptif analitis, sebagaimana ciri umum etnografi.
J A L A N N YA P E N E L I T I A N
Blue print penelitian ini sedikit banyak telah didiskusikan dengan Komunitas
”Antar Budaya Inter Regional”, Pusat Studi Asia Pasifik, Universitas Gadjah Mada (PSAP
UGM) di awal tahun 2006. Lembaga di atas memberikan pendanaan untuk masa 3 bulan
kerja lapangan (field work) bersama seorang mitra peneliti. Mitra peneliti seorang yang
berlatar belakang ekonomi pertanian. Tertarik meneliti ketahanan pangan ( food security)
Orang Rimba yang berada di jalan lintas Sumatera. Pada paruh ke dua penelitian, kerja

5

lapangan dilakukan bersama di Desa Pematang Kancil, Kecamatan Pamenang, Kabupaten
Merangin. Dalam proses pengumpulan data, data didesiminasikan dan didiskusikan.
Kerja lapangan dimulai pada akhir Juni 2006, waktu itu kemarau sudah mencapai
suhu puncaknya. Setiba di Jambi, sejumlah contact person dihubungi dengan berkunjung
ke Komunitas Konservasi Indonesia-Warsi (KKI-Warsi), tempat bekerja antara tahun 20012005. Beberapa hari sebelumnya, direktur baru KKI Warsi baru saja berganti, waktu yang
tepat untuk memberi ucapan selamat. Sayang, beliau rupanya sedang sakit dan
menjalani rawat inap. Besok paginya baru ada waktu membesuk dengan membawa
sedikit oleh-oleh. Sikap beliau masih seperti yang dulu ketika masih menjabat deputi
direktur, antusias kalau berbicara. Kira-kira satu jam lamanya berbincang-bincang,
pembicaraan diakhiri karena harus kembali penginapan untuk memasukkan sejumlah
surat izin penelitian ke instansi - instansi tekait. Dengan nada bercanda beliau
mengatakan, ”apa sudah banyak uang makanya tinggal hotel?, menginap saja di mess!”,
sambungnya. Usul yang baik itu disetujui. Maka minggu pertama, tinggal bersama
teman-teman di mess KKI Warsi, mengumpulkan data yang diperlukan, mempersiapkan
logistik, sambil menunggu izin penelitian turun.
Memasuki minggu kedua, izin penelitian sudah turun dan siap berangkat ke lokasi
penelitian. Cuaca tidak begitu bersahabat karena kabut asap dari pembakaran lahan di
musim kemarau sudah sampai ke jantung kota Jambi. Minggu-minggu berikutnya kabut
asap semakin akut, sekolah sampai diliburkan dan jadwal pesat di bandara Sultan Thaha
tidak menentu. Bersama seorang staf KKI Warsi diputuskan untuk berangkat ke lokasi
penelitian menggunakan sepeda motor Suzuki TS 150, kendaraan ber geer 6 itu disebut
juga dengan nama motor trail. Lokasi pertama yang dituju adalah Das Terab pada
Kelompok Temenggung Maritua di Taman Nasional Bukit 12 (TNB 12). Pada hari yang
sama rupaya sejumlah jurnalis foto dari kantor berita ANTARA berencana masuk ke
beberapa lokasi Orang Rimba di TNB 12, satu rombongan dari mereka
ingin
mengunjungi lokasi yang akan dituju. Namun, diambil kesepakatan untuk berangkat
tanpa mereka, karena perlengkapan dan kendaraan sudah siap hari itu.
Sungguh gagah memang di atas Suzuki trail 6 gear itu, kendaraan itu sudah
pernah dipergunakan beberapa waktu yang lalu. Dalam medan berat seperti ke TNB 12
dan di sekitarnya, kendaraan itulah yang tepat, tidak diragukan lagi. Dalam kondisi hujan
sekalipun, dimana lumpur membenamkan setengah badan motor di eks jalan logging
yang telah rusak, motor jenis itu bisa lolos. Umumnya akses masuk ke lokasi TNB 12
adalah eks jalan logging atau jalan yang sering becek miliki perkebunan sawit di sekitar
taman nasional itu. Jarak yang akan ditempuh untuk sampai ke lokasi penelitian paling
tidak satu hari. Hari sudah menjelang siang, ketika berangkat dari Jambi. Tandem peneliti
memilih membawa motor terlebih dahulu, peneliti duduk manis di belakang, terhimpit
antara tubuh pengemudi dengan tas logistik yang terikat di jok belakang. Tidak begitu
nyaman tetapi semangat sedang di puncaknya. Sebelum masuk hutan, perlu transit di
desa terdekat, Desa Jelutih namanya. Hari itu, berharap tiba di Desa Jelutih dan
menginap di rumah kepala desa dengan harapan esok harinya mendapat perahu
penyeberangan di Sungai Tembesi. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke desa
dimaksud kira-kira masih dua atau tiga jam lagi.
Satu setengah jam pertama, berhenti untuk beristirahat di Muara Tembesi. Jam
sudah menunjukkan pukul 3 kurang 15 menit, sampai sejauh ini sudah berada di Muara
Sungai Tembesi. Satu setengah jam lagi, paling lambat, akan sampai di Desa Jelutih.
Diputuskan untuk beristirahat terlebih dahulu di kedai kopi terdekat, sambil
memperhatikan berbagai macam kendaraan dengan lampu menyala. Para pengendara
mobil dan motor sengaja menyalakan lampu depannya karena jarak padang terhalang
kabut asap. Dengan menyalakan lampu, cara itu diharapkan membantu menghindari
kecelakaan lalulintas.

5

Muara Tembesi adalah bagian dari wilayah Kabupaten Batang Hari. Tepat di
jantung kota kecamatan itu, terdapat pertigaan yang menghubungkan Jambi dengan
Kabupaten Tebo dan ruas jalan lainnya menuju Kabupaten Sarolangun. Setelah cukup
beristirahat, perjalanan dilanjutkan. Kemudi motor diambil alih, hal itu sudah perjanjian.
Kesempatan yang baik untuk menunjukkan bahwa peneliti belum menjadi anak manja
setelah tinggal di kota Yogyakarta. Sepertinya rekan peneliti agak ragu dengan
kemampuan untuk mengendalikan motor trailnya. Awalnya memang sedikit gugup, hal
itu terasa ketika menaikkan geer pertama ke geer ke dua. Tetapi kuda mesin itu
perlahan-lahan semakin jinak. Pukul 4.20, tiba di pintu masuk desa, masih kira-kira tiga
kilo meter lagi untuk sampai di rumah kepala desa. Hari sudah agak sore, maka
disepakati, seperti rencana awal, untuk menginap terlebih dahulu di desa Melayu itu.
Malam harinya digelar diskusi dengan kepala desa. Para tetangga turut hadir
untuk berdiskusi, duduk lesehan di ruang tamu kepala desa. Sebagian dari tetangga
kepala desa masih peneliti kenal. Beberapa kali, sewaktu masih bekerja di KKI Warsi,
peneliti masuk dari desa ini, yaitu sisi timur taman nasional yang akan dituju. Dari
mereka didapat cerita bahwa Orang Rimbo-begitu mereka menyebutnya, sebagian
berada di Das Jelutih. Mereka melangun (ada anggota kelompok yang meninggal),
sambung kepala desa. Salah seorang menambahkan lagi, banyak dari orang kami
bertemu dengan mereka di dekat kebun karet. Mendegar cerita itu, sedikit gembira
karena besoknya bisa sampai di lokasi penelitian sebelum siang hari. Malam itu
dirundingkan lagi untuk menambah logistik: gula, tembakau (Nicotiana tabacum l), dan
beras tambahan. Merupakan kebiasaan bagi Orang Rimba untuk menumpang makan dan
minum dalam kondisi remayow (paceklik), sedikit tambahan logistik nantinya berguna
untuk makan minum bersama.
Malam harinya, hujan turun sejadi-jadinya, baru reda menjelang pukul 10 pagi.
Terlalu nekat untuk memaksakan diri masuk pagi itu. Setelah hujan reda, berangkat
berbelanja barang-barang tambahan. Berselang satu jam kemudian, rombongan jurnalis
foto ANTARA sudah tiba, ada delapan orang jumlahnya. Mereka membawa pesan dari
kantor KKI Warsi agar Abdi, tandem peneliti memfasilitasi kegiatan mereka. Namun, hari
itu mereka belum siap masuk hutan, maka tertundalah rencana untuk masuk hutan hari
itu. Jalan sendiri-sendiri dengan membawa logistik seberat 30 kg dengan berjalan kaki
terlalu berat, kecuali menyewa porter. Sayangnya, tidak ada biaya untuk sewa porter dan
kalau sewa porter berarti juga harus tambah logistik untuk makanannya.
Melihat banyaknya barang bawaan jurnalis foto ANTARA itu, seperti melihat
tumpukan masalah. Bagaimana barang-barang itu akan diangkut? Sementara motor
hanya satu. Apakah rombongan sebanyak ini tidak akan membuat heboh di rimba?
Setelah berdiskusi dengan mereka, solusi transportasi kemudian disepakati
menggunakan jasa ojek. Jumlah tas besar yang akan diangkut motor mulai dihitung,
sementara tas kecil disepakati disandang masing-masing pemiliknya. Kesimpulannya,
diperlukan 10 motor lagi. Gila, itu seperti wisatawan yang sedang pelesiran ke hutan.
Sore harinya beberapa dari rombongan sibuk mencari motor ojek. Pak Kades pun
terpaksa turun tangan. Sebenarnya mudah mendapatkan motor di desa itu, tetapi harga
menjadi masalah, ditambah hujan tadi malam, pastilah mereka pasang harga tinggi.
Setelah ojek dikumpulkan, dilakukan perundingan harga, disepakati harga Rp.80.000,untuk setiap motor.
Pagi hari berikutnya, sepuluh ojek sudah parkir di depan rumah Pak Kades,
mereka sedikit lebih bersemangat karena tamunya orang Jakarta, wartawan lagi.
Kebanyakan dari tukang ojek masih anak muda. Mereka bermanuver sebentar di
halaman becek Pak Kades, seakan memamerkan kehebatannya masing-masing. Selesai
dengan sarapan pagi, 11 motor dan 20 orang siap berangkat. Sepintas lalu kami seperti
arak-arakan anak berandal yang berpawai pada hari kemerdekaan 17 Agustus.

5

Sebuah perahu penyeberangan telah tersandar di dermaga Sungai Tembesi. Lebar
sungai itu tidak kurang dari 300 meter. Sungai itu sedikit pasang dan warnanya
bertambah coklat akibat hujan sebelumnya. Dua jam kemudian rombongan tiba di
sebuah kebun karet, tepatnya di hulu Sungai Jelutih. Beberapa anak Orang Rimba
menyembul dari semak-semak setelah mendengar konvoi motor. Ada perasaan heran
dan takut terbaca dalam raut muka mereka. Abdi dan peneliti mendekati mereka. Satu
bungkus roti dikeluarkan sebagai bahan kontak, wajah mereka berubah ceria menerima
kepingan-kepingan roti yang dibagikan. Beberapa saat kemudian, mereka berhasil
dibujuk untuk memberitahukan kedatangan rombongan ke rerayo (tetua) mereka.
Seorang yang tertua dari anak-anak berlari menemui rerayo, anak-anak yang tinggal
memberitahukan pada rombongan bahwa pemukiman mereka tidak jauh dari posisi
rombongan berdiri, ”tidak sampai sebatang rokok kakak dari sini” ucap salah seorang,
memberi ilustrasi jarak. Sambil menunggu, rombongan mencari lokasi yang baik untuk
mendirikan tenda dan sebagian melepas ikatan tas dari motor. Berselang 10 menit,
rerayo dan anak-anak menghampiri rombongan. Kesibukan lalu berhenti sebentar,
beberapa orang memilih tempat duduk yang kering dan nyaman untuk berbicara, Abdi
mengambil inisiatif memulai pembicaraan. Dia memperkenalkan rombongan dan
menjelaskan maksud kedatangan.
Minggu pertama, tidak banyak data yang terkumpul, para jurnalis foto ANTARA
menyita sebahagian besar waktu Orang Rimba. Namun rapport sudah terbangun. Jurnalis
foto itu memang sedang bersemangat membidik objek fotonya. Apa yang mereka
lakukan tidak semata-mata untuk kesenangan mereka sendiri. Foto-foto terbaik dari
mereka akan dipamerkan di galeri foto ANTARA. Dengan demikian, mereka sebenarnya
turut membatu Orang Rimba lewat bahasa fotografi. Pada minggu kedua, setelah
rombongan jurnalis foto ANTARA kembali ke Jambi, barulah dapat dijelaskan lebih baik
maksud penelitian. Kedatangan peneliti kali ini rupa-rupanya masih mereka anggap
sebagai kelanjutan pekerjaan dari KKI Warsi sebelumnya. Dalam artian tertentu memang
sama saja. Dilakukan pengumpulan data untuk laporan observasi disamping
memfasilitasi berbagai proyek KKI Warsi. Satu bulan di hutan dengan makanan yang
monoton, telah merongrong semangat dan stamina kami. Guna mengatasinya, kami
turut mencari ikan, berburu, dan mengikuti sidang adat.
Paruh kedua (1,5 bulan berikutnya) kerja lapangan di habiskan di Desa Pematang
Kancil, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin. S ite ke dua lokasi penelitian. Mitra
peneliti sudah turun lapangan ketika kerja lapangan di kelompok ini dimulai. Selesai
dengan survai singkat (3 hari) peneliti kembali ke Jambi. Kembali lagi ke lokasi penelitian
bersama mitra pada dua hari berikutnya. Pengumpulan data dimulai dari kabupaten,
antara lain untuk memperoleh data sekunder (data dari BPS dan semacamnya).
Kemudian melakukan wawancara dengan Erinaldi Ramli, seorang insinyur pertanian,
yang bersangkutan memiliki pemahaman yang luas tentang kelompok - kelompok Orang
Rimba di sepanjang jalan lintas Sumatera. Data lahan Orang Rimba Luar dalam
laporannya, digunakan dalam penyusunan sub bab ketiga tesis ini.
Hari berikutnya kerja lapangan dilanjutkan ke Desa Pematang Kancil. Transportasi
ke lokasi menjadi kendala. Angkutan umum dari kota kabupaten hanya melayani trayek
penumpang sampai kota kecamatan, Pamenang. Jarak dari kota kecamatan ke desa
tujuan masih sekitar 6-7 km, oleh sebab itu diputuskan untuk menggunakan jasa ojek.
Dalam perjalanan ke lokasi penelitian di tengah perjalanan terlihat Polisi sedang merazia
kendaraan. Tidak ada kekhawatiran sebab kami memakai helm, layaknya pengguna
kendaraan yang taat aturan berlalulintas. Ketika kendaraan kami semakin dekat, Polisi
sudah mengantisipasi dan memberi isyarat untuk menepi. Motor yang ditumpangi pelanpelan menurunkan kecepatan, tetapi sontak tancap gas, melarikan diri. Ojek kedua yang
membawa mitra peneliti tertahan di belakang dan mendapat kekerasan verbal. Tiga kilo
meter dari pos razia, ojek yang ditumpangi berhenti. Tukang ojek itu, telah

5

menjerumuskan kami dalam masalah, ketika tindakannya itu diprotes, tukang ojek
memberitahu dengan wajah minta dimengerti bahwa ia tidak punya surat apapun dan
kartu anggota ojeknya pun sudah mati. Sial, kali ini akan berurusan dengan Polisi. Buruburu motor disembunyikan di rerimbunan sawit. Sambil duduk, tepatnya bersembunyi di
sebuah rumah milik orang Jawa. Sebelum tuan rumah bertanya, buru-buru tukang ojek
menceritakan soal razia dan minta izin bersembunyi di pekarangannya.
Setelah menenangkan diri, dicoba untuk menghubungi mitra ke telepon
selulernya. Peneliti berbicara dengan mitra beberapa saat, kemudian Polisi minta ikut
bicara, tetapi suara Polisi tidak segalak yang diduga. Diputuskan untuk menunggu, cukup
lama menunggu. Tidak sabar lagi diputuskan untuk menyusul mereka, tetapi ditengah
jalan, kira-kira s