Optimasi media regenerasi kalus lili untuk menghasilkan tunas

3.2 Pembesaran umbi pada beberapa media serta aklimatisasi lili

Tanaman lili dikembangkan untuk produksi bunga dan umbi. Untuk memaksimalkan produksi umbi lili secara in vitro diperlukan media yang sesuai. Perbesaran umbi pada media dengan beberapa konsentrasi gula merupakan bagian teknologi perbanyakan lili secara in vitro. Abstrak Umbi merupakan eksplan yang sering digunakan untuk perbanyakan vegetatif tanaman lili. Produksi umbi lili secara optimal dapat diperoleh pada media pengumbian yang sesuai. Tujuan penelitian ialah mendapatkan konsentrasi gula yang sesuai untuk produksi umbi terbaik serta kondisi kultur yang sesuai. Bahan yang digunakan yaitu kalus lili yang diinduksi dari tangkai sari bunga. Konsentrasi gula yang digunakan antara lain 0, 15, 30, 45, 60 dan 75 gl -1 . Kondisi kultur dengan cahaya dan tanpa cahaya digunakan dalam menginduksi pengumbian lili dari kalus. Media MS dengan konsentrasi gula 45 gl -1 merupakan media terbaik untuk pengumbian lili dari kalus. Kondisi kultur tanpa cahaya menunjukkan kondisi kultur terbaik untuk pengumbian lili. Kata kunci : umbi lili, gula, kalus, cahaya. Abstract Bulbs is usually for vegetatively propagation on lilium. This explants is more favorable than other explants in lilium. Bulbs were obtained on favorable media. The objectives of this study were to find out the best concentration of sugar and the best culture condition for bulbs formation in lilium. Callus from filaments were used as material. The sugar concentrations were 0, 15, 30, 45, 60 and 75 gl -1 . The best concentration of sugar was 45 gl -1 and culture without light was the best culture condition for bulbs formation. Keywords : lilium bulbs, sugar, callus, light. Pendahuluan Perbanyakan lili umumnya menggunakan umbi. Umbi merupakan eksplan yang potensial dan menguntungkan untuk perbanyakan dibandingkan jenis eksplan lili yang lain seperti daun, akar, biji maupun anther Tan Nhut et al. 2001; Kumar et al. 2008. Potensi ini dapat dikembangkan dengan melakukan peningkatan kualitas serta kuantitas umbi lili. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pembentukan umbi terjadi karena adanya surplus karbohidrat dan konsentrasi metabolit hasil fotosintesis. Dalam kondisi yang tidak sesuai seperti suhu tinggi, dan jumlah asimilat tinggi yang digunakan untuk pertumbuhan akar dan tunas dapat menghambat pembentukan umbi. Disamping itu, pembentukan umbi juga dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh, nutrisi, lingkungan, induk umbi, dan faktor genetik Arteca 1995. Berdasarkan teori hormonal pengumbian, terdapat dua faktor yang mempengaruhi pengumbian yaitu faktor lingkungan dan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh giberelin yang tinggi pada tunas, menghambat pengumbian. Giberelin berpengaruh terhadap pemanjangan stolon pada kentang, namun menghambat proses pengumbian. Sedangkan IAA berperan penting dalam proses pengumbian, hal ini terkait adanya pengurangan level giberelin endogen. Pemberian giberelin secara eksogen dapat menghambat atau menunda pembentukan umbi. Faktor lingkungan yang berpengaruh penting dalam pengumbian dan dormasi ialah suhu dan cahaya. Kedua faktor tersebut dapat memacu perubahan zat pengatur tumbuh endogen yang berkaitan dengan pengumbian Arteca 1995. Penelitian Yamagishi 1995 menyatakan bahwa sukrosa memacu pertumbuhan umbi. Konsentrasi sukrosa yang digunakan dalam kultur in vitro lili pada umumnya yaitu 20- 60 gl -1 . Kultur sisik umbi pada media yang mengandung sukrosa 50 gl -1 pada kondisi gelap dapat membentuk callus pada 8- 12 minggu setelah kultur Obata et al. 2000. K onsentrasi sukrosa yang lebih tinggi digunakan untuk pembentukan umbi secara langsung dari kalus Yamagishi 1995. Tujuan penelitian ialah mendapatkan konsentrasi gula terbaik dan kondisi kultur yang sesuai untuk pembentukan umbi secara in vitro. Bahan dan Metode Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor, faktor pertama ialah perlakuan gelap dan terang, faktor kedua yaitu perlakuan media dasar MS dengan beberapa taraf konsentrasi gula yaitu G0= MS tanpa gula, G1= MS+ 15 gl -1 gula, G2= MS+ 30 gl -1 gula , G3= MS+ 45 gl -1 gula, G4= MS+ 60 gl -1 gula dan G5= MS+ 75 gl -1 gula. Bahan yang digunakan ialah kalus lili yang diinduksi dari tangkai sari bunga. Kalus ditanam pada media perlakuan dan ditempatkan pada kondisi kultur gelap dan terang. Planlet maupun umbi yang terbentuk selanjutnya diaklimatisasi di rumah kaca. Percobaan terdiri atas 10 kombinasi perlakuan dan tiga ulangan. Tiap kombinasi perlakuan terdiri atas 10 botol dan satuan pengamatan 10 botol, sehingga terdapat 300 satuan percobaan. Peubah yang diamati meliputi 1 jumlah umbi, diamati satu minggu setelah tanam, pengamatan selanjutnya dilakukan satu bulan sekali serta 2 jumlah daun yang terbentuk, diamati dengan menghitung jumlah daun yang terbentuk pada eksplan kalus. Jumlah daun diamati satu bulan setelah tanam. Pengamatan selanjutnya dilakukan dua bulan sekali. 3 jumlah tunas, diamati satu bulan setelah kultur dan pengamatan selanjutnya dilakukan dua bulan 4 tinggi planlet, diamati satu bulan setelah kultur 5 jumlah akar, diamati satu bulan setelah kultur. Analisis data menggunakan program IBM SPSS Statistics 19. Hasil dan Pembahasan Inisiasi, pertumbuhan dan perkembangan umbi lili merupakan hasil serangkaian perubahan biokimia dan morfologi yang terjadi pada lingkungan tumbuhnya. Pembentukan umbi merupakan fenomena kompleks dan dipengaruhi banyak faktor, antara lain nutrisi, lingkungan, genetik, daun, dan asimilat. Untuk mengurangi beberapa pengaruh tersebut, dilakukan pengembangan secara in vitro dalam lingkungan terkontrol Arteca 1995. Gambar 3.8 menunjukkan pengaruh konsentrasi gula terhadap jumlah umbi lili. Jumlah umbi tertinggi diperoleh pada media yang mengandung 45 gl -1 gula. Media tanpa gula G0 menghasilkan jumlah umbi paling sedikit. Hasil ini sejalan dengan penelitian Yamagishi 1995, umbi lili terbentuk pada media yang mengandung sukrosa 20- 60 gl -1 . Pada konsentrasi sukrosa yang tinggi, ukuran sisik umbi lili meningkat. Konsentrasi sukrosa lebih rendah menyebabkan diferensiasi tanaman Pekkapelkonen 2005. Hasil ini mengindikasikan bahwa konsentrasi gula berpengaruh terhadap pembentukan umbi lili. Gambar 3.8 . Jumlah umbi lili yang terbentuk pada beberapa konsentrasi gula pada media pembentukan umbi. G0= MS tanpa gula, G1= MS+ 15 gl -1 gula, G2 = MS+ 30 gl -1 gula , G3= MS+ 45 gl -1 gula, G4= MS+60gl -1 gula, G5 = MS+ 75 gl -1 gula. Gambar 3.8 menunjukkan bahwa jumlah umbi yang terbentuk pada media G3, G4 dan G5 tidak berbeda nyata. Pemberian gula pasir 45 gl -1 , 60 gl -1 dan 75 gl -1 memberikan pengaruh yang sama dalam pembentukan umbi lili. Dengan demikian gula 45 gl -1 merupakan konsentrasi gula yang disarankan untuk pengumbian lili. Perlakuan konsentrasi gula juga berpengaruh terhadap regenerasi kalus lili menjadi tunas. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa sukrosa mempunyai pengaruh dalam menstimulasi pembentukan tunas pada lili longiflorum Tan Nhut et al. 2001. Konsentrasi gula 15, 30, 45 dan 60 gl -1 memiliki pegaruh yang sama dalam pembentukan tunas. Rerata jumlah tunas terbanyak diperoleh pada media yang mengandung 45 gl -1 . Rerata jumlah tunas terendah diperoleh pada media tanpa gula Tabel 3.4. Semakin tinggi konsentrasi gula pada media, rerata jumlah tunas lili cenderung meningkat pada media G0, G1, G2 dan G3. Hasil ini berbeda dengan p enelitian Godo et al. 1998 bahwa sukrosa 20 gl -1 berpengaruh terhadap penurunan regenerasi tunas. 0.3 d 1.8 c 1.9 bc 3.5 a 2.7 a 2.5 a 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 G0 G1 G2 G3 G4 G5 Ju ml ah U mb i Tabel 3.4 Pengaruh jenis media dan kondisi kultur pada kalus lili Perlakuan Jumlah Tunas Tinggi Planlet cm Jumlah Daun Jumlah Akar Macam Media G0 1.277 c 1.972 c 2.978 a 0.500 c G1 3.845 a 3.620 b 3.113 a 3.570 b G2 4.453 a 2.710 cb 3.272 a 3.693 b G3 4.488 a 3.148 cb 2.558 a 4.277 ab G4 4.487 a 5.028 a 2.782 a 6.443 a G5 2.583 b 4.800 a 2.903 a 5.305 ab Kondisi Kultur Gelap Terang 3.953 a 2.982 b 4.071 a 3.022 b 3.176 a 3.022 a 4.622 a 3.254 b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 . G0= MS tanpa gula, G1= MS+ 15 gl -1 gula, G2= MS+ 30 gl -1 gula , G3= MS+ 45 gl -1 gula, G4= MS+ 60 gl -1 gula, G5= MS+ 75 gl -1 gula. Rerata jumlah tunas menurun pada konsentrasi gula 75 gl -1 , hal serupa juga terjadi pada penelitian Bonnier dan van Tuyl 1997 bahwa peningkatan konsentrasi sukrosa dari 6 hingga 9 menurunkan pertumbuhan tunas pada lili longiflorum. Kombinasi konsentrasi sukrosa yang tinggi dan konsentrasi garam yang rendah dapat meminimalisir aktivitas metabolik, sehingga baik untuk penyimpanan lili secara in vitro van Tuyl dan Holsteijn 1996. Tinggi planlet tertinggi diperoleh pada media yang mengandung 60 gl -1 gula. Pemberian gula 60 gl -1 dan 75 gl -1 pada media memberikan pengaruh yang sama terhadap tinggi planlet. Konsentrasi gula tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Gula dengan konsentrasi 60 gl -1 menghasilkan jumlah akar terbanyak. Kondisi gelap dalam ruang kultur berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, tinggi planlet serta jumlah akar apabila dibandingkan dengan kondisi terang. Pada kondisi gelap rerata jumlah tunas, tinggi planlet dan jumlah akar cenderung lebih tinggi dibandingkan kondisi terang atau ada cahaya. Kondisi tanpa cahaya dan ada cahaya tidak mempengaruhi jumlah daun pada 6 bsk bulan setelah kultur Tabel 3.4. Gambar 3.9 . Pembentukan umbi pada beberapa media dalam kondisi gelap. Media G0 = MS tanpa gula A, Media G1 = MS+ 15 gl -1 gula B, Media G2= MS+ 30 gl -1 gula C, Media G3 = MS+ 45 gl -1 gula D, Media G4= MS+ 60 gl -1 gula E dan Media G5 = MS+ 75 gl -1 gula F. Gambar 3.9 menunjukkan respon umbi yang terbentuk pada beberapa media 8 bulan setelah kultur. Pada kondisi gelap, umbi yang terbentuk berwarna putih. Umbi ini akan berwarna hijau apabila dipindahkan pada kondisi kultur dengan cahaya. A B C D E F Gambar 3.10. Aklimatisasi planlet lili.Umbi lili yang berasal dari kultur jaringan A, B, C. Tanaman lili yang berasal dari kultur jaringan umur 6 bulan setelah tanam D dan E. Tanaman lili yang siap ditanam secara individu 6 bulan setelah tanam F, G, H. Tanaman lili yang ditanam secara individu dalam polibag I, J, K. Tanaman lili umur 10 bulan setelah tanam L. Tahap akhir perbanyakan lili secara in vitro yaitu aklimatisasi. Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian planlet dari kondisi in vitro ke kondisi alamiah di rumah kaca. Aklimatisasi umbi dan planlet lili hasil kultur in vitro dilakukan pada saat planlet telah membentuk umbi, kurang lebih 1 tahun setelah kultur tangkai sari bunga lili. Tahapan aklimatisasi meliputi beberapa kegiatan antara lain umbi dan planlet lili dicuci dengan air bersih, selanjutnya daun dihilangkan dari bagian akar dan umbi. Umbi di rendam dalam larutan fungisida dan bakterisida. Umbi yang telah direndam selanjutnya dikering anginkan dan ditanam dalam bak- bak tanam Gambar 3.10 A, B, C. Dua bulan setelah tanam, umbi yang ditanam akan membentuk tunas dan daun 3.10 D, E, F. Enam bulan berikutnya, tanaman lili yang sudah siap ditanam secara individu di pisahkan 3.10 G - L dan ditanam dalam polibag 3.10 M, N, O. Perbesaran umbi dan tanaman lili dilakukan dalam pot yang lebih besar Gambar 3.10 P,Q,R. Simpulan 1. Pembentukan umbi secara optimal terbentuk pada kondisi gelap dan pada media yang mengandung 45 gl -1 gula. 2. Konsentrasi gula berpengaruh dalam pembentukan umbi lili. Konsentrasi gula 45 gl -1 menghasilkan jumlah umbi serta jumlah tunas terbanyak. A B C D E F G H I J K L 4 PENINGKATAN KERAGAMAN IN VITRO LILI DENGAN INDUKSI MUTASI

4.1 Peningkatan keragaman genetik in vitro lili dengan sinar Gamma

Abstrak Keragaman tanaman lili dapat diperoleh melalui induksi mutasi. Radiosensitivitas tanaman terhadap sinar Gamma berbeda pada tiap kultivar yang digunakan. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkan dosis letal LD-50 serta dosis sinar Gamma yang dapat menginduksi keragaman planlet lili serta variasi yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan kalus lili Oriental cv. Sorbon dan lili Asiatik cv. Purple Maroon sebagai materi iradiasi. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 10 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan induksi mutasi dengan iradiasi sinar Gamma terdiri atas beberapa dosis yaitu 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 Gray. Peubah yang diamati ialah persentase kalus hidup setelah iradiasi sinar Gamma, jumlah tunas, jumlah daun, tinggi planlet, dan total planlet hidup. Hasil analisis menggunakan Curve Expert 1.4 menunjukkan bahwa dosis letal LD 50 lili Oriental cv. Sorbon diperoleh pada dosis 46.68 Gray dan lili Asiatik cv. Purple Maroon pada dosis 33.49 Gray. Semakin tinggi dosis iradiasi akan menurunkan persentase kalus hidup pada kedua jenis lili. Kata kunci : Radiosensitivitas, lili, Sinar Gamma, iradiasi. Abstract The variation of Oriental lily cv. Sorbon and Asiatic lily cv. Purple Maroon were induced by Gamma irradiation. Radiosensitivity of plant to irradiation was different for different cultivars. The objectives of the experiment were to find out the optimum dosis for inducing variation and variation of planlets. Completely Random Design were used in this experiment. Dosis of Gamma irradiation were 0,10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 and 100 Gray. Observed variable were percentage of callus survive after irradiation, total number of shoots, total number of leaves, planlets height and total of survival planlets. The result showed that lethal dose LD-50 was achived on 46.68 Gray Oriental lili cv. Sorbon and 33.49 Gray Asiatic lili cv. Purple Maroon. The higher dose of Gamma irradiation decreased percentage of survival callus both of lili cultivars. Keywords: Radiosensitivitas, lily, Gamma irradiation. Pendahuluan Keragaman tanaman lili umumnya diperoleh melalui persilangan interspesifik van Tuyl dan Lim 2003. Persilangan interspesifik ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain memerlukan waktu yang cukup lama sekitar 2- 3 tahun dari tebar benih hingga bunga pertama, sedangkan perbanyakan vegetatifnya memerlukan waktu sekitar 3-5 tahun. Kelemahan lain ialah adanya hambatan sebelum dan sesudah fertilisasi pre and post fertilization barrier.

Dokumen yang terkait

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

9 157 125

Pengelompokan Isolat Fusarium oxysporum f.sp.cubense Dari Beberapa Jenis Pisang (Musa spp.) Serta Uji Antagonisme Fusarium oxyspomm Non Patogenik Dan Trichoderma koningii Di Laboratorium

0 30 85

Potensi Cendawan Endofit Dalam Mengendalikan Fusarium Oxysporum F.SP. Cubense Dan Nematoda Radopholus Similis COBB. Pada Tanaman Pisang Barangan (Musa Paradisiaca) Di Rumah Kaca

0 42 58

Teknik PHT Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysforum f. sp capsici Schlecht) Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum armuum L.) di Dataran Rendah.

0 27 138

Uji Antagonis Trichoderma spp. Terhadap Penyakit Layu (Fusarium oxysforum f.sp.capsici) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L) Di Lapangan

3 52 84

Uji Sinergisme F.oxysporum f.sp cubense Dan Nematoda Parasit Tumbuhan Meioidogyne spp. Terhadap Tingkat Keparahan Penyakit Layu Panama Pada Pisang Barangan (Musa sp.) di Rumah Kassa

0 39 72

Sinergi Antara Nematoda Radopholus similis Dengan Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense Terhadap Laju Serangan Layu Fusarium Pada Beberapa Kultivar Pisang (Musa sp ) Di Lapangan

3 31 95

Molecular Characterization of Resistance Banana Cultivars to Panama Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f sp cubense

0 36 194

In Vitro Selection of Abaca for Resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense

0 8 6

Induce Genetic Variability of Lily for resistance of Fusarium oxysporum f.sp. lilii by in vitro culture.

1 14 180