Pembentukan Populasi Planlet Hasil Induksi Mutasi

dan Loffler 1994. Masa juvenil lama 2 - 3 tahun dan seleksi memerlukan beberapa siklus pemuliaan untuk mendapatkan karakter sifat agronomi yang diinginkan Wu et al. 2009. Selama pertumbuhan dan perbanyakan lili, terdapat tiga tahapan perkembangan. Tahap pertama meliputi induksi sisik umbi pada media in vitro atau media vermikulit di lapang. Sisik umbi selanjutnya ditumbuhkan pada lahan untuk satu musim hingga membentuk umbi tahunan. Tahap kedua merupakan pembentukan umbi tahunan yang ditanam pada musim tanam di tahun berikutnya. Umbi tahunan ini selanjutnya diproduksi untuk membentuk umbi komersial. Umbi komersial ini merupakan tahapan ketiga dalam pembentukan umbi lili yang siap diproduksi untuk menghasilkan bunga potong, tanaman pot maupun taman Straathof 1994. Seleksi in vitro merupakan seleksi awal sebelum dilakukan seleksi di lapangan atau rumahkaca. Hasil seleksi in vitro ini selanjutnya diverifikasi dengan hasil seleksi di lapangan atau rumahkaca. Keunggulan metode seleksi in vitro antara lain penyaringan sifat yang diinginkan lebih terarah, tidak dipengaruhi lingkungan serta memungkinkan seleksi pada tingkat sel Purnamaningsih dan Mariska 2005. Keberhasilan metode seleksi in vitro dalam kegiatan pemuliaan tanaman antara lain diperoleh tanaman jagung tahan Helminthosporium, tanaman barley tahan fusaric acid, tanaman tomat tahan Pseudomonas Loffler dan Mouris 1992. Seleksi in vitro juga digunakan untuk mendapatkan tanaman gladiol tahan Fusarium oxysporum f.sp. gladioli Remotti 1996 serta lili tahan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. lilii Straathof dan Loffler 1994. Keberhasilan seleksi in vitro dapat diperoleh dengan beberapa persyaratan yaitu 1 keragaman genetik planlet yang akan diseleksi dalam jumlah yang cukup. Jika keragaman genetik tidak mencukupi, maka dapat dilakukan peningkatan keragaman dengan cara induksi secara fisik maupun kimia. 2 Metode seleksi in vitro yang dilakukan mudah dan efisien untuk sifat yang diinginkan. 3 Karakter sifat yang dimiliki tanaman regeneran stabil dan tidak berubah. 4 Agen seleksi yang digunakan dalam seleksi in vitro sesuai untuk karakter sifat yang diinginkan Remotti 1996. Seleksi in vitro lili umumnya dilakukan pada beberapa tahapan perkembangan antara lain tahap sisik umbi, umbi komersial, perkecambahan, planlet, tanaman individu dan klon Straathof dan Loffler 1994. Seleksi in vitro menggunakan fusaric acid dilakukan untuk mendapatkan tanaman lili tahan cendawan Fusarium oxysporum. Fusaric acid digunakan sebagai agen seleksi karena fusaric acid merupakan salah satu toksin yang dihasilkan Fusarium oxysporum yang memiliki kemampuan phytotoksisitas yang bersifat racun pada tanaman Loffler dan Mouris 1992. Konsentrasi fusaric acid yang digunakan untuk seleksi berbeda- beda. Seleksi in vitro pada gladiol menggunakan konsentrasi fusaric acid 0.12 mM dan 0.4 mM. Pertumbuhan cendawan menurunkan 50 kalus hidup dan 50 planlet yang diregenerasikan dari kalus tersebut meningkat toleransinya terhadap toksin Remotti et al. 1996. Seleksi in vitro gladiol yang dilakukan pada 2 stadia yang berbeda yaitu tahap kalus dan tunas dengan konsentrasi 0.10- 0.14 mM FA , menunjukkan bahwa kalus masih mampu hidup pada media yang mengandung 0.5 mM. Pada saat diberi larutan konidia, miselia tumbuh dan terjadi hambatan dalam pertumbuhannya Remotti and Loffler 1997. Hasil seleksi pada gladiol cv. Peter Pears menunjukkan adanya peningkatan ketahanan terhadap FA pada konsentrasi 0.5 mM. Fusaric acid menurunkan regenerasi tanaman dan hanya diperoleh 2 tanaman gladiol dari kalus yang ditunbuhkan pada media yang mengandung FA Remotti et al. 1997. Konsentrasi yang digunakan dalam seleksi in vitro pada barley ialah 0.8 mM FA. Seleksi pertama diperoleh hasil 80 kalus mati, dan pada seleksi ke empat, 8 – 11 kalus resisten diperoleh dan diregenerasikan menjadi tanaman. Kalus tahan yang ditanam pada media tanpa toksin mampu menyimpan resistensi setelah 3 bulan subkultur Chawla dan Wenzel 2006. Seleksi in vitro pada pisang menggunakan konsentrasi 0.05 – 1.6 mM FA. Konsentrasi 0.1 mM FA pada media menyebabkan hambatan pertumbuhan pada pisang kultivar Maca dan Nanicao. Namun demikian seleksi in vitro dengan fusaric acid merupakan metode yang sangat bermanfaat untuk memperoleh tanaman tahan Fusarium, meskipun mekanisme toleransi tanaman yang diseleksi berbeda- beda Matsumoto et al. 1995. Pada tomat, seleksi in vitro regeneran tahan fusaric acid pada konsentrasi 50 µgml, sedangkan pada kondisi lapang pada konsentrasi 300 µgml Toyoda et al. 1988. Tujuan penelitian ialah mendapatkan planlet lili hasil induksi mutasi yang tahan pada media seleksi yang mengandung fusaric acid FA. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Percobaan Cipanas BALITHI, Januari- Desember 2012. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu perlakuan konsentrasi fusaric acic pada media seleksi. Konsentrasi fusaric acid yang digunakan yaitu 0, 0.05, 0.075, 0.1, 0.125, dan 0.15 mmoll -1 . Percobaan terdiri atas 5 perlakuan dan tiga ulangan. Tiap perlakuan terdiri atas 10 botol kultur dan satuan pengamatan 10 botol, sehingga terdapat 150 satuan percobaan. Bahan yang digunakan ialah planlet lili Oriental cv. Frutty Pink FP hasil induksi mutasi sinar Gamma dan planlet lili Asiatik cv.Purple Maroon PM hasil induksi mutagen EMS. Tahapan penelitian meliputi pembuatan media seleksi yang mengandung fusaric acid dan penanaman planlet hasil induksi mutasi generasi MV3. Planlet yang masih hidup selanjutnya diperbanyak dan diaklimatisasi di rumah kaca. Peubah yang diamati yaitu persentase planlet nekrosis, persentase daun kuning, persentase umbi busuk, persentase akar busuk dan persentase planlet hidup pada media seleksi. Analisis data menggunakan program IBM SPSS Statistic 19. Hasil dan Pembahasan Seleksi in vitro planlet lili hasil induksi mutasi dilakukan pada media seleksi yang mengandung beberapa konsentrasi fusaric acid FA. Beberapa konsentrasi FA digunakan untuk memperoleh konsentrasi FA yang tepat dalam menghasilkan planlet lili tahan terhadap FA. Pertimbangan ini didasarkan bahwa pada konsentrasi FA yang tepat dapat menyebabkan pengaruh patogenik dan meracun pada tanaman. Fusaric acid pada konsentrasi rendah dapat menginduksi respon pertahanan tanaman rentan Fol sehingga meningkatkan aktivitas PPO Plant Polyphenol oxidase . Planlet lili yang tahan terhadap FA ini selanjutnya digunakan sebagai materi seleksi di lapangan menggunakan cendawan Fusarium oxysporum. 1. Seleksi in vitro planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon PM Planlet lili Asiatik yang digunakan dalam seleksi in vitro merupakan planlet lili hasil induksi mutasi dengan mutagen EMS yang telah mencapai generasi MV3. Seleksi in vitro dengan media yang mengandung FA menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi FA, semakin tinggi persentase planlet yang mengalami nekrosis. Konsentrasi FA 0.1 mmoll menyebabkan 50 planlet lili Asiatik cv. PM nekrosis. Konsentrasi FA lebih dari 0.1 mmoll, menunjukkan tingkat nekrosis planlet yang meningkat Tabel 5.1. Hasil ini terkait dengan kemampuan fusaric acid yang mampu menyebabkan pengaruh patogenik dan bersifat meracun pada jaringan tanaman. FA mampu menghambat PPO Plant Polyphenol oxidase dan PO Peroxidase, enzim yang terlibat dalam pertahanan tanaman. Pada tanaman yang rentan, akumulasi FA pada jaringan lebih banyak dibandingkan tanaman tahan, sehingga penghambatan PPO dan PO juga semakin tinggi Curir et al. 2000. Tabel 5.1 Seleksi in vitro planlet lili Asiatik cv.PM hasil induksi mutasi dengan EMS Konsentrasi mmoll planlet nekrotik Jumlah daun kuning Umbi busuk Akar busuk Planlet hidup FA 0 Kontrol FA 1 0.05 0.00 e 16.67 d 0.00 d 1.67 c 0.00 c 1.08 b 0.00 c 3.73 b 100.00 d 43.00 a FA 2 0.075 33.33 c 1.83 c 1.23 b 3.94 ab 43.00 a FA 3 0.1 50.00 b 3.11 b 1.50 ab 3.93 ab 33.33 b FA 4 0.125 75.00 a 3.33 ab 1.81 ab 5.61 ab 26.67 c FA 5 0.15 88.89 a 4.37 a 2.67 a 7.33 a 23.33 c Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 . Konsentrasi FA berpengaruh terhadap persentase jumlah daun menguning, umbi busuk, akar busuk serta persentase planlet yang mampu hidup pada media seleksi Tabel 5.1. Fusaric acid merupakan salah satu toksin yang dihasilkan cendawan Fusarium oxysporum. Toksin ini dapat menginduksi gejala patogenesis dan meracun pada planlet lili secara in vitro dan sebagai agen yang dapat menyebabkan busuk umbi dan busuk akar pada tanaman lili Curir et al. 2000. Cendawan Fusarium menginfeksi tanaman dengan mengeluarkan toksin, salah satunya fusaric acid. Pada tanaman rentan, tidak menghasilkan protein pertahanan sehingga tidak terjadi mekanisme pertahanan. Dengan demikian cendawan mudah masuk dan berkembang serta terjadi akumulasi FA yang tinggi. Selanjutnya fusaric acid merusak trans membran sel tanaman Agrios 2004. Gambar 5.1 menunjukkan respon planlet lili pada media seleksi yang mengandung fusaric acid. Gambar 5.1 Planlet lili hasil induksi mutasi pada media seleksi yang mengandung FA. Planlet lili pada media seleksi dengan konsentrasi FA 0.125 mmoll A dan C. Planlet lili pada media seleksi dengan konsentrasi FA 0.15 mmoll -1 B. Planlet lili pada media seleksi menunjukkan adanya gejala serangan penyakit layu, ditandai dengan daun yang menguning, kering, layu selanjutnya planlet mati.

2. Seleksi in vitro planlet lili Oriental cv. Frutty Pink FP

Planlet lili Oriental cv. Frutty Pink yang digunakan dalam seleksi in vitro merupakan planlet lili hasil iradiasi sinar Gamma generasi MV3. Persentase nekrotik planlet lili Oriental cv. FP lebih sedikit apabila dibandingkan dengan lili Asiatik cv. PM. Pada media seleksi dengan konsentrasi FA tertinggi 0.15 mmoll - 1 belum menyebabkan nekrotik 50 Tabel 5.2, sedangkan pada lili Asiatik cv. PM telah menyebabkan planlet nekrotik 88.89 3.1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketahanan planlet lili Asiatik cv.PM berbeda dengan lili Oriental cv.FP. Tabel 5.2 Seleksi in vitro planlet lili Oriental cv. FP hasil iradiasi sinar Gamma Konsentrasi mmoll planlet nekrotik Daun kuning Umbi busuk Akar busuk Planlet hidup FA 0 Kontrol FA 1 0.05 0.00 d 16.40 c 0.00 c 3.33 ab 0.00 c 1.83 b 0.00 c 5.60 b 100.00 c 31.10 a FA 2 0.075 16.40 c 4.33 ab 1.93 b 7.23 ab 23.33 ab FA 3 0.1 25.00 b 2.33 b 2.67 ab 7.73 ab 26.67 b FA 4 0.125 25.00 b 5.33 ab 3.30 ab 8.00 ab 26.67 ab FA 5 0.15 38.17 a 6.67 a 3.87 a 9.67 a 27.77 ab Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 . Planlet lili Oriental lebih tahan terhadap FA dibandingkan planlet lili Asiatik. Pada konsentrasi FA yang sama 0,1 mmoll, telah menyebabkan planlet nekrotik 50 pada lili Asiatik Tabel 5.1 sedangkan pada planlet lili Oriental hanya menyebabkan planlet nekrotik 25 Tabel 5.2. Gambar 5.2 merupakan penampilan planlet hasil induksi mutasi pada media seleksi yang mengandung fusaric acid. A B C Gambar 5.2 Planlet lili hasil induksi mutasi MV3 pada media seleksi in vitro. Planlet nekrotik pada media seleksi yang mengandung FA 0.125 mmoll A, FA 0.15 mmolll B dan FA 0.1 mmolll C. Planlet lili yang diseleksi pada media yang mengandung FA mengalami hambatan pertumbuhan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Matsumoto et al. 1995 pada pisang kultivar Maca dan Nanicao, Remotti 1997 pada gladiol serta Chawla dan Wenzel 2006 pada tanaman barley. Gejala tanaman sakit ditandai dengan menguningnya sebagian ataupun seluruh bagian daun serta umbi yang membusuk. Tingkat kerusakan ini dipengaruhi oleh jenis lili yang digunakan dan konsentrasi FA pada media seleksi. Lili Asiatik lebih peka terhadap FA dibanding dengan lili Oriental. Semakin tinggi konsentrasi FA, semakin tinggi juga tingkat kerusakan planlet. Demikian halnya pada gladiol, peningkatan konsentrasi FA menurunkan pertumbuhan sel gladiol. Diperoleh 4 kultivar gladiol Friendship, Peter Pear, Victor Borge, dan Novalex sensitive terhadap FA. Satu tanaman albino dari kultivar Friendship sangat peka terhadap Fusarium Nasir dan Riazudin 2008. Penurunan jumlah planlet pada media yang mengandung FA juga didukung hasil penelitian Notz et al. 2002 pada tanaman padi. Planlet lili yang tahan pada media seleksi in vitro selanjutnya diaklimatisasi dan diamati kemampuan tumbuhnya. Tabel 5.3 merupakan klon- klon lili tahan hasil seleksi in vitro. Tabel 5.3 Klon- klon lili tahan hasil seleksi in vitro pada media yang mengandung FA. No.Klon No.Klon No.Klon PF-II.1.1.3 PM-E4.I.1.1 PM-E5.II.8.5 SB-I.5 PM-E4.I.2.I FP-E4.I.7.1 SB-I.4.1 PM-E4.I.3.I FP-E2.I.7.4 SB-I.4.2 FP-E5.III.3 FP-E5.II.7.4 SB-III.5.2 FP-E3.III.1 FP-E5.III.9.4 SB-II.5.1 FP-E5.II.3 FP.EI.4.5.2 SB-II.5.2 FP-E3.II.6 FP-E1.I.4.5.4 PM-E4.II.3.1 FP-E4.I.5 FP-E1.I.4.5.3 PM-E4.II.4.1 FP-E3.III.2 FP-E4.II.7.5.1 PM-E4.III.1.1 FP-E3.III.8 FP-E5.III.4.4.2 PM-E2.III.3.1 PM-E5.III.1.5 FP-E3.II.4.1.2 PM-E4.III.4.1 PM-E5.III.1.4 FP-E4.1.7.1 A B C Klon - klon lili tersebut selanjutnya diperbanyak dan digunakan untuk pengujian ketahanan terhadap Fusarium oxysporum f.sp. lilii tahap berikutnya di lapangan. Simpulan 1. Planlet lili tahan fusaric acid dapat diperoleh melalui seleksi in vitro, dihasilkan 36 nomor lili planlet tahan FA. 2. Makin tinggi konsentrasi FA, makin meningkat persentase nekrotik planlet dan terjadi penurunan jumlah planlet hidup. 3. Persentase nekrotik planlet pada media seleksi in vitro dipengaruhi oleh jenis lili yang digunakan. Persentase nekrotik planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon lebih tinggi dibandingkan lili Oriental cv. Frutty Pink. 6 KANDUNGAN SAPONIN LILI HASIL INDUKSI MUTASI Abstrak Saponin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan pada beberapa jenis tanaman. Saponin pada lili banyak dijumpai pada bagian umbi dan akar. Tujuan penelitian ialah untuk mendapatkan kandungan saponin pada lili hasil induksi mutasi. Pengujian kandungan saponin menggunakan bagian akar dan umbi lili Asiatik cv. Purple Maroon PM dan lili Oriental cv. Frutty Pink FP hasil induksi mutasi. Pengujian menggunakan TLC scanner. Hasil pengujian menunjukkan kandungan saponin pada lili yang diiradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa iradiasi. Kandungan saponin lili Asiatik cv. PM lebih rendah dibandingkan dengan lili Oriental cv. FP. Kata kunci : Saponin,lili, TLC. Abstract Saponin is a secondary metabolite which is produced by several plants. Saponin of lilium is generally found in bulbs and roots. The objective of this experiment was to determine saponin contents on lily after iradiated by Gamma ray. The assessment was using TLC scanner with roots and bulbs of Asiatic lily cv. PM Purple Maroon and Oriental lily cv. FP Frutty Pink as materials. Saponin contents on iradiated lily was higher than those on the bulb without Gamma ray iradiation. Saponin contents of Asiatic lily cv. PM was lower than Oriental lily cv. FP. Keywords : Saponin, lily, TLC. Pendahuluan Saponin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan pada beberapa jenis tanaman seperti bayam, ginseng, bawang merah dan bawang putih, alfalfa, buncis dan kedelai Fenwick dan Oakenfull 1983. Pada tanaman lili, kandungan saponin Lili brownii var. viridulum, Lili speciosum, martagon dan candidum terdapat di bagian umbi dan akar. Saponin ini digunakan dalam industri farmasi di antaranya untuk detoksifikasi dan obat penderita kanker Mimaki 1999, menurunkan kolesterol darah dan menghambat pertumbuhan sel kanker Shi et al. 2005. Saponin juga bermanfaat sebagai obat penyakit cardiovascular, fungsi hati, sistem kekebalan dan antioksidan Rao dan Gurfinkel 2000. Pada tanaman, saponin berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap patogen dan proses detoksifikasi. Steroida glycoside yang terdiri dari steroidal glycoalkaloid dan furostanol saponin pada Lilium longiflorum menghambat aktivitas pertumbuhan cendawan Botrytis cinerea. Senyawa tersebut menghambat pertumbuhan cendawan dengan cara meningkatkan aktivitas antifungal dan menghambat metabolisme Botrytis cinerea Munafo dan Gianfagna 2011. Saponin menurunkan populasi cendawan hingga 70 Goel et al. 2008; Wang et al. 2007. Pada Lilium longiflorum terdapat 18 steroid glicosides, yang terbagi dalam tiga kelompok yaitu spirostanol, furostanol dan steroid alkaloid. Cytotoksid 50 mgl ketiga kelompok steroid tersebut menurunkan 12 viabilitas sel, 100 mgl menurunkan 75 viabilitas sel dan 500 mgl menurunkan 100 viabiltas sel Shi et al. 2005. Pada Lilium candidum, steroid saponin 6.71 x 10 mol.dm 3 menghambat 20 aktivitas lipooksigenase Bezakova et al. 2004. Saponin dapat menurunkan populasi cendawan hingga 20- 60 Hu et al. 2005. Saponin merupakan senyawa penting tanaman yang terdiri atas triterpenoid atau steroidal dengan glycoside. Steroidal saponin terbagi dalam dua struktur yaitu spirostanol saponin dan furostanol saponin Challinar dan De Voss 2013. Steroid saponin berperan dalam proses hemolisis dan aktivitas cytotoksid dengan mekanisme berbeda Wang et al. 2007. Biosintesis saponin triterpenoid dan steroid berasal dari asam piruvat dan isopentenil pirophosphate IPP. Rantai samping terbentuk sesudah terbentuknya squalen, sebagian terjadi inti steroid spiroketal dan triterpenoid pentasiklik. Gugus gulanya terdiri 1- 55 gula dan dalam beberapa hal agliklon tidak diikat dengan gula, namun dengan asam uronat. Faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi saponin pada Lilium brownii antara lain suhu, volume etanol untuk ekstraksi, rasio larutan dan padatan dalam sistem ekstrasi dan waktu ekstrasi. Suhu optimum yang digunakan dalam ekstraksi sekitar 70 °C, volume alkohol 80, rasio padatan: larutan: 1:6, dan waktu ekstraksi 3 kali masing- masing 3 jam. Kandungan saponin Lilium brownii adalah 3.48 mgg Feng Lian et al. 2005. Rantai karbohidrat gula terpaut pada C-3 kelompok HMG 3-hydroxy-3 methylglutarate. Rantai disakarida terpaut C-26 kelompok hidroksi furospirostanol Hong et al. 2012. Saponin dan polisakarida adalah dua kandungan penting dalam aktivitas biologi lili. Optimum kondisi untuk ekstrasi polisakarida adalah suhu 95 °C, rasio padatlarutan 1:10 dan reflux time 3 jam selama 2 kali Xiao-bin et al. 2006. Bahan dan Metode Analisis kadar saponin dilakukan pada bulan Desember 2012 di Laboratorium pengujian mutu Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat BALITRO Bogor. Bahan yang digunakan umbi dan akar lili Asiatik cv.Purple Maroon PM kontrol dan hasil induksi EMS, umbi dan akar lili Oriental cv. Frutty Pink FP hasil iradiasi sinar Gamma dan kontrol Gambar 6.1. Gambar 6.1 Bahan tanaman yang digunakan dalam uji kandungan saponin lili. Metode analisis saponin menggunakan TLC Thin Layer Chromatography Scanner pada panjang gelombang 301 nm. Metode TLC terdiri atas dua fase yaitu fase diam menggunakan Al silica dan fase gerak menggunakan etanol. Tahap pengujian meliputi pengeringan sampel akar dan umbi lili hingga ± 0.1 gram berat kering, pengujian pada fase diam dan gerak serta pengukuran kandungan saponin dengan TLC. Hasil dan Pembahasan Pengujian saponin pada planlet lili menggunakan metode TLC scanner dengan menggunakan bagian umbi dan akar lili menunjukkan bahwa lili Oriental cv. Frutty Pink tanpa iradiasi memiliki kandungan saponin lebih rendah dibandingkan lili hasil iradiasi Gambar 6.2. Kandungan saponin meningkat sekitar 0.22. Gambar 6.2. Kandungan saponin lili Oriental cv. FP dengan menggunakan TLC scanner. Demikian juga pada lili Asiatik cv. Purple Maroon tanpa induksi mutagen kimia EMS memiliki kadar saponin lebih rendah daripada lili hasil induksi dengan EMS Gambar 6.3. Kandungan saponin meningkat ± 0.02. Gambar 6.3. Kadar saponin lili Asiatik cv.PM dengan menggunakan TLC scanner. Hasil ini mengindikasikan bahwa iradiasi dan induksi mutasi dengan EMS berpengaruh terhadap gen yang berkaitan dengan produksi saponin pada lili. Peningkatan kandungan saponin lili dengan induksi sinar Gamma lebih banyak dibandingkan dengan induksi EMS. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya 0.89 1.11 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 FP tanpa iradiasi FP iradiasi Ka n d ung a n sa po ni n 0.79 0.81 0.78 0.785 0.79 0.795 0.8 0.805 0.81 0.815 PM tanpa EMS PM dengan EMS Ka n d ung a n sa po ni n

Dokumen yang terkait

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

9 157 125

Pengelompokan Isolat Fusarium oxysporum f.sp.cubense Dari Beberapa Jenis Pisang (Musa spp.) Serta Uji Antagonisme Fusarium oxyspomm Non Patogenik Dan Trichoderma koningii Di Laboratorium

0 30 85

Potensi Cendawan Endofit Dalam Mengendalikan Fusarium Oxysporum F.SP. Cubense Dan Nematoda Radopholus Similis COBB. Pada Tanaman Pisang Barangan (Musa Paradisiaca) Di Rumah Kaca

0 42 58

Teknik PHT Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysforum f. sp capsici Schlecht) Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum armuum L.) di Dataran Rendah.

0 27 138

Uji Antagonis Trichoderma spp. Terhadap Penyakit Layu (Fusarium oxysforum f.sp.capsici) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L) Di Lapangan

3 52 84

Uji Sinergisme F.oxysporum f.sp cubense Dan Nematoda Parasit Tumbuhan Meioidogyne spp. Terhadap Tingkat Keparahan Penyakit Layu Panama Pada Pisang Barangan (Musa sp.) di Rumah Kassa

0 39 72

Sinergi Antara Nematoda Radopholus similis Dengan Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense Terhadap Laju Serangan Layu Fusarium Pada Beberapa Kultivar Pisang (Musa sp ) Di Lapangan

3 31 95

Molecular Characterization of Resistance Banana Cultivars to Panama Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f sp cubense

0 36 194

In Vitro Selection of Abaca for Resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense

0 8 6

Induce Genetic Variability of Lily for resistance of Fusarium oxysporum f.sp. lilii by in vitro culture.

1 14 180