Manfaat Induce Genetic Variability of Lily for resistance of Fusarium oxysporum f sp lilii by in vitro culture

Dalam industri farmasi, saponin yang terkandung dalam umbi lili memiliki potensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai obat kanker. Di Cina dan beberapa negara Eropa telah memanfaatkan umbi lili sebagai obat. Beberapa jenis lili yang dimanfaatkan dalam industri farmasi antara lain Lilium speciosum var. gloriosoides Chang et al. 2000, Lilium brownii var.viridulum Hong et al. 2012, Lilium speciosum x L. nobilissimum ‘Star Gazer” Nakamura et al. 1994, Lilium longiflorum Mimaki et al. 1994, candidum Mimaki et al. 1998, Lilium regale dan L.henryi Mimaki et al. 1993. Perbanyakan Lili secara In vitro Perbanyakan lili umumnya dilakukan secara vegetatif dengan menggunakan umbi. Metode lain yang dilakukan ialah perbanyakan secara in vitro. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan teknik ini antara lain tingkat multiplikasinya lebih banyak, mendapatkan tanaman seragam dan bebas virus Chang et al. 2000. Perbanyakan in vitro lili dipengaruhi beberapa faktor diantaranya jenis media, fotoperiode, zat pengatur tumbuh, jenis gula dan jenis eksplan Rice et al. 2011; Tribulato et al. 1997; Lan et al. 2009; Chang et al. 2000; Tan Nhut et al. 2001. Media yang umum digunakan yaitu media MS yang dikombinasikan dengan beberapa jenis zat pengatur tumbuh. Diantaranya somatik embriogenesis Lilium longiflorum Thunb pada media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh dicamba dan picloram Tribulato et al. 1997 dan lili Drimiopsis kirkii Baker pada media MS yang mengandung kinetin dan 2,4-D Lan et al. 2009. Perbanyakan lilium speciosum Thunb. var. gloriosoides Baker menggunakan media MS yang dikombinasikan dengan NAA, BA dan 2,4-D Chang et al. 2000. Modifikasi media ½ MS dengan zat pengatur tumbuh NAA, IBA dan BAP digunakan pada induksi tunas Lilium longiflorum dari jaringan reseptakel Tan Nhut et al. 2001. Beberapa species lili dengan eksplan biji, sisik umbi, dan daun diregenerasikan pada media MS yang mengandung picloram Mori et al. 2005. Jenis eksplan juga berpengaruh dalam perbanyakan lili secara in vitro. Beberapa jenis eksplan yang digunakan dalam perbanyakan lili diantaranya jaringan reseptakel bunga Tan Nhut et al. 2001, ovul Obata et al. 2000, sisik umbi Han et al. 2004; Chen et al. 2011, anter bunga lili Tzeng et al. 2009, bulblet Lian et al. 2003; Tan Nhut et al. 2006, dan umbi Lian et al. 2002. Perbanyakan melalui somatik embriogenesis juga dilakukan dengan menggunakan eksplan daun Mori et al. 2005; Lan et al. 2009; Lingfei. 2009. Perbanyakan lili secara in vitro juga dipengaruhi oleh jenis gula. Kombinasi sukrosa dan manosa memacu pertumbuhan umbi lili Pekkapelkonen 2005. Sukrosa merupakan gula yang sering digunakan dalam kultur in vitro lili Tan Nhut et al. 2001; Tribulato et al. 1997; Lan et al. 2009; Chang et al. 2000; Obata et al. 2000. Konsentrasi sukrosa 30 gl -1 diperlukan dalam perbanyakan Lilium longiflorum Tribulato et al. 1997; Tan Nhut et al. 2001 dan lili Drimiopsis kirkii Baker Lan et al. 2009. Media yang mengandung sukrosa 50 gl -1 digunakan dalam kultur ovul Lilium nobilissimum dan L.regale Obata et al. 2000. Kultur in vitro lili dilakukan dalam kondisi gelap dan ada cahaya, tergantung tujuan kultur. Cahaya berperan penting dalam memacu diferensiasi. Diferensiasi tunas memerlukan cahaya, sedangkan pembentukan akar memerlukan kondisi gelap. Kultur in vitro lili pada umumnya memerlukan 16 jam cahaya Pekkapelkonen 2005. Pemuliaan Mutasi Lili Beberapa metode pemuliaan lili yang dilakukan antara lain hibridisasi interspesifik, transformasi genetik melalui particle bombardment, pengembangan metode pemuliaan pada tingkat tetraploid dengan poliploidisasi, hibridisasi somatik serta pemuliaan mutasi. Tujuan pemuliaan lili diantaranya perbaikan sifat karakter lili seperti vase life bunga yang lebih lama, bunga dengan kualitas unggul, aroma wangi serta ketahanan terhadap Fusarium oxysporum, pythium dan virus van Tyul and Holsteijn 1996. Persilangan interspesifik lili masih memiliki beberapa hambatan diantaranya memerlukan waktu yang cukup lama sekitar 2- 3 tahun dari tebar benih hingga bunga pertama, perbanyakan vegetatif memerlukan waktu sekitar 3-5 tahun. Kelemahan lain ialah adanya hambatan sebelum dan sesudah fertilisasi pre and post fertilization barrier. Persilangan antara lili longiflorum x asiatik dan lili oriental x asiatik umumnya steril. Sterilitas ini disebabkan adanya perpasangan kromosom yang tidak teratur selama meiosis Lim et al. 2000. Pemuliaan lili untuk sifat ketahanan terhadap penyakit juga masih terbatas. Faktor pembatas tersebut antara lain fase juvenil yang panjang, perbanyakan klonal lambat dan masih kurangnya pengujian screening ketahanan pada fase ini van Heusden et al. 2002. Pada umumnya screening dilakukan pada fase perkecambahan, namun adanya variasi lingkungan menyebabkan pengujian pada tingkat perkecambahan ini perlu pengujian ulang pada tingkat klonal Straathof et al. 1994. Hambatan - hambatan dalam pemuliaan lili ini mendorong perlu adanya metode pemuliaan dan seleksi yang tepat untuk menghasilkan lili tahan penyakit dan berkualitas. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan pemuliaan mutasi. Pemuliaan mutasi dapat dilakukan dengan cara fisik maupun kimia. Induksi keragaman lili dengan mutasi fisik dapat dilakukan dengan iradiasi sinar Gamma, sinar X, Neutron, Proton dan partikel Alfa serta Beta. Induksi mutasi kimia menggunakan mutagen kimia seperti EMS ethyl methanesulphonate , dES diethyl sulphate, EI ethyleneimine, ENU ethyl nitroso urethane, ENH ethyl nitroso urea dan MNH methyl nitroso urea IAEA 1977. Iradiasi dan mutagen kimia telah banyak digunakan dalam pemuliaan tanaman, termasuk tanaman hias. Tujuan utama induksi mutasi ini ialah mengubah satu atau beberapa karakter tanaman tanpa mengubah genotipe secara keseluruhan. Melalui perbanyakan klonal, individu mutan dapat membentuk klon komersial. Keberhasilan induksi mutasi dalam kegiatan pemuliaan diantaranya perubahan morfologi dan warna bunga pada Chrysanthemum morifolium Lamseejan et al. 2000, Datta et al. 2005, Barakat et al. 2010, tahan cekaman kekeringan pada Vigna radiata L. Wilczek Dhole dan Reddy 2010, peningkatan hasil dan perbaikan genotipe Dioscorea rotundata Nwachukwu et al. 2009, peningkatan pertumbuhan dan hasil biji okra Abelmoschus esculentus L. Monech Hegazi and Hamideldin 2010, dan mutan novelty pada petunia Berenschot et al. 2008. Induksi mutasi juga digunakan untuk mendapatkan tanaman bunga matahari yang tahan terhadap imidazolinone Sala et al. 2008, perubahan warna dan ukuran petal pada anyelir Aisyah et al. 2009, perubahan morfologi bunga dan mutasi klorofil pada curcuma alismatifolia Abdullah et al. 2009 serta mutasi pada cabe Omar et al. 2008. Iradiasi pada tanaman hias yang diperbanyak secara vegetatif, umumnya menghasilkan kimera. Pada jaringan kimera, sel mutan terdapat diantara sel normal. Selama pembelahan sel, sel mutan berkompetisi dengan sel normal untuk tetap hidup diplontic selection. Sel mutan yang tetap hidup akan menjadi tanaman mutan dan bila sel mutan tidak mampu bertahan akan menjadi sel normal kembali. Penelitian Datta et al. 2005 berhasil mengembangkan metode isolasi kimera untuk mendapatkan mutan solid pada tanaman krisan. Metode isolasi tersebut menggunakan dua cara yaitu perlakuan mutagen in vivo dan regenerasi tanaman viabel dari bagian yang mengalami mutasi secara in vitro. Fusarium oxysporum Fusarium oxysporum Schlecht. merupakan patogen tanaman yang termasuk dalam kelompok cendawan Deuteromycetes. Berdasarkan specifik inang, species Fusarium oxysporum terdiri atas 120 formae speciales. Pada beberapa formae, untuk inang yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda Straathof 1994. Patogen ini menyebabkan kerugian dan kehilangan hasil pada tanaman agronomi dan hortikultura diantaranya pisang, barley, tomat, tembakau, gandum, kentang, gladiol Remotti 1996, crocus, narcisus, freesia, tulip dan lili Straathof 1994. Pada tanaman berumbi yang termasuk dalam kelompok famili Amarillydaceae, Iridaceae dan Liliaceae, gejala serangan Fusarium berupa busuk pada umbi, akar, corm dan rhizoma. Infeksi patogen ini dapat mempengaruhi produksi umbi lili Remotti 1996. Fusarium merupakan patogen utama pada tanaman lili. Cendawan ini menyebabkan klorosis pada daun, nekrotik pada umbi dan akar lili Prados Ligero et al. 2008, busuk umbi dan akar Straathof et al. 1994 dan tanaman kerdil serta kematian tanaman lili van Heusden et al. 2002. Fusarium termasuk cendawan yang bersifat laten, pada umbi patogen mudah menyebar disekitar pertanaman meskipun telah dilakukan perlindungan dan pengendalian tanaman. Sifat laten ini yang menyebabkan tanaman menjadi sakit, meskipun ditanam pada tanah yang tidak terinfeksi. Penetrasi cendawan ini terbatas pada parenkim umbi seperti basal umbi dan luka pada mata tunas. Gejala ditandai dengan umbi berwarna kecoklatan pada jaringan yang membusuk Gambar 2A, daun menguning pada tanaman dan umbi yang terinfeksi Gambar 2B, ukuran tanaman lebih kecil dibandingkan dengan tanaman sehat, daun menggulung pada bagian yang terinfeksi Remotti 1996. Gambar 2.2. Penampilan umbi dan tanaman lili yang terinfeksi cendawan Fusarium oxysporum. Umbi lili terinfeksi Fusarium A, Tanaman lili yang terserang Fusarium B. A B Penelitian Lim et al. 2003 menyatakan bahwa beberapa tanaman lili memiliki tingkat ketahanan yang berbeda terhadap cendawan Fusarium oxysporum f.sp.lilii. Berdasarkan tingkat ketahanan terhadap Fusarium oxysporum terdapat tiga kelompok utama yaitu sangat tahan, rentan dan sangat rentan Tabel 2.2. Tabel 2.2. Tingkat ketahanan species lili terhadap Fol No. Seksi Spesies Tingkat ketahanan 1 Sinomartagon L. dauricum Sangat tahan 2. Leucolirion L.regale Sangat tahan 3. Archelirion L.speciosum Rentan 4. Martagon L.hansonii Sangat rentan 5. Longiflorum L.longiflorum Rentan L.henryi Rentan Sumber : Lim et al. 2003. Fusaric acid FA Fusaric acid merupakan salah satu senyawa toksin yang dihasilkan cendawan Fusarium oxysporum. Toksin ini dapat menginduksi gejala phytotoksisitas yang bersifat racun pada tanaman lili dan menyebabkan penyakit busuk umbi pada lili. Fusaric acid mampu menghambat aktivitas PPO plant polyphenol oxidase, enzim yang terlibat dalam pertahanan tanaman. Pada tanaman yang rentan, terjadi akumulasi FA dalam jaringan dengan jumlah FA lebih banyak dibanding pada tanaman tahan. Hal ini disebabkan FA pada tanaman tahan akan didekomposisi oleh jaringan tanaman lebih cepat. Fusaric acid pada dosis rendah menginduksi peningkatan aktivitas PPO pada tanaman rentan, yang merupakan respon pertahanan Curir et al. 2000. FA berperan dalam patogenisitas tanaman dengan menurunkan viabilitas sel tanaman. Toksin FA juga berpengaruh terhadap pertumbuhan sel, aktivitas mitokondria, serta permiabilitas membran. FA juga menghasilkan fusarii non patogenik yang berpotensi sebagai agen biokontrol. FA pada konsentrasi non toksik dibawah 10 -6 M dapat menginduksi respon pertahanan, menginduksi sintesis phytoalexin, serta dapat berperan sebagai elicitor pada konsentrasi nanomolar Bouizgarne et al. 2006. FA pada konsentrasi tinggi mengurangi pertumbuhan akar dan umbi. Aktivitas FA juga berperan sebagai enzym inhibitor, inhibitor pada sintesis asam nukleat Bacon et al. 1996. Saponin Saponin merupakan salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan beberapa jenis tumbuhan. Tanaman yang termasuk dalam famili Caryophyllaceae diketahui banyak mengandung saponin yang disebut dengan saponaria. Tanaman lain yang memiliki kandungan saponin yaitu bayam, alfalfa, ginseng, kacang- kacangan, bawang merah, bawang putih termasuk juga lili Fenwick dan Oakenfull 1983. Saponin bersifat pahit, berbuih, dan bersifat racun. Saponin banyak dimanfaatkan dalam industri pakaian, kosmetik dan obat- obatan. Saponin memiliki fungsi farmakologi yang luas, diantaranya pengatur kekebalan, anti tumor, anti radang, anti virus, anti jamur dan efek hipokolesterol atau mampu menurunkan kolesterol darah serta antioksidan. Pada tanaman lili, steroidal saponin merupakan senyawa untuk pertahanan tanaman terhadap cendawan patogen, menghambat pertumbuhan Phytium dan Botrytis cinerea Munafo dan Gianfagna 2011. Steroidal glycosides Lilium longiflorum berperan dalam proses penyembuhan luka Esposito et al. 2013 dan glycoalkaloid berperan dalam respon pertahanan tanaman terhadap patogen Munafo dan Gianfagna 2011. Saponin terdiri atas sapogenin yaitu bagian yang bebas dari glikosida yang disebut aglycone dan bersifat ampifilik. Sapogenin bersifat lipofilik dan mengikat sakarida hidrofilik yang panjangnya dari monosakarida hingga 11 unit monosakarida. Yang paling sering ialah 2-5 unit monosakarida dan berupa D- galaktosa dan D-glukosa. Sapogeninaglycone dapat berupa triterpenoid atau steroid. Sifat lipofilik sapogenin serta sifat hidrofilik sakarida dan saponin yang bersifat ampifilik menyebabkan saponin dapat membentuk busa dan merusak membran sel karena dapat membentuk ikatan lipida dari membran sel. Kandungan saponin lili dapat diperoleh melalui ekstraksi dengan spektrofotometer Feng lian et al. 2005, ekstraksi dengan ultrasonik, hidrolisis dan RSM Response Surface Methodology Chun Ling et al. 2009. Pada tanaman lili, kandungan saponin lili Oriental yang rentan lebih rendah daripada lili Oriental yang tahan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan saponin berkorelasi positif dengan ketahanan terhadap Fusarium Wu et al. 2009. 3 TEKNOLOGI PERBANYAKAN LILI SECARA IN VITRO

3.1 Produksi kalus lili dan regenerasi planlet lili pada beberapa jenis media

Abstrak Perbanyakan lili umumnya dilakukan secara vegetatif menggunakan umbi. Kemampuan totipotensi tanaman memungkinkan setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan tanaman, termasuk tangkai sari bunga. Tujuan penelitian ialah mendapatkan media induksi kalus lili menggunakan tangkai sari bunga. Eksplan tangkai sari bunga lili ditanam pada media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh thidiazuron TDZ, dan kinetin Kin pada beberapa konsentrasi. Kalus yang terbentuk selanjutnya diregenerasikan menjadi planlet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media M9 MS + TDZ 0.1 mgl -1 + 2.4-D 0.05 mgl -1 + Kinetin 0.1mgl -1 merupakan media terbaik untuk mendapatkan waktu inisiasi kalus lebih awal dibanding media yang lain. Bobot basah kalus tertinggi diperoleh pada media M11 MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2.4-D 0.05 mgl -1 + Kinetin 0.3 mgl -1 . Kata Kunci : MS, tangka i sari, TDZ, Kinetin, lili. Abstract Lilium is usually propagated vegetatively by using bulbs. Based on the totipotency ability of every parts of plant, it is possible to regenerate them into planlets. The objective of the experiments were to find out micropropagation medium of lily using filament as explant . The filaments were cut into 0.5 cm and then those cut filaments were placed on several in vitro media containing thidiazuron TDZ and Kinetin Kin to form callus. The callus were subsequently regenerated to be planlet. The results showed that the M9 medium MS + TDZ 0.1 mgl -1 + 2.4-D 0.05 mgl -1 + Kinetin 0.1 mgl -1 was the best medium for callus initiation. The highest of fresh callus weight was achieved on M11 medium MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2.4-D 0.05 mgl -1 + Kinetin 0.3 mgl -1 . Keywords : MS, filament, TDZ, Kinetin, lilium. Pendahuluan Perbanyakan lili secara masal diperlukan untuk memenuhi kebutuhan benih dalam industri florikultura. Pada umumnya perbanyakan dilakukan menggunakan umbi, baik secara in vitro maupun in vivo. Perbanyakan vegetatif dengan umbi memerlukan waktu 2-3 tahun hingga umbi tersebut dapat digunakan untuk produksi umbi maupun bunga potong. Selain umbi, beberapa bagian tanaman lili juga dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan. Melalui kultur in vitro, beberapa penelitian telah dilakukan antara lain dengan menggunakan eksplan umbi Rice et al.2011 , daun Lingfei et al. 2009 , akar Kumar et al. 2008, jaringan reseptakel bunga Tan Nhut et al. 2001, ovul Obata et al. 2000, sisik umbi Han et al. 2004; Kumar et al. 2008; Chen et al. 2011, anter bunga lili Tzeng et al. 2009, dan bulblet Lian et al. 2003; Tan Nhut et al. 2006. Perbanyakan lili melalui somatik embriogenesis juga dilakukan dengan eksplan daun Mori et al. 2005; Lan et al. 2009; Lingfei 2009. Somatik embriogenesis pada lilium ledebourii Baker Boiss Bakshaie et al. 2010 dan Drimiopsis kirkii Baker Lan et al. 2009 berhasil dikembangkan dengan daun sebagai eksplan. Hasil- hasil penelitian tersebut masih terbatas untuk varietas dan jenis lili tertentu. Sehingga perlu pengembangan teknik perbanyakan lili yang efektif untuk mendapatkan hasil maksimal. Faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan kalus dan regenerasi lili secara in vitro antara lain media, fotoperiode, jenis eksplan, suhu, dan zat pengatur tumbuh Rice et al. 2001. Tujuan penelitian ialah mendapatkan media induksi kalus lili menggunakan tangkai sari bunga. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di laboratorium kultur jaringan Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas, dari bulan Februari sampai dengan Oktober 2011. Bahan yang digunakan ialah tangkai sarifilamen bunga lili. Bahan sterilisasi yang digunakan yaitu detergen, streptomisin sulfat 20, benomil 50, klorok 5 dan alkohol 70. Alat yang digunakan antara lain Laminer air flow, pH meter, autoclave, magnetic stirer, timbangan digital, botol kultur, pinset, petridish dan selotip. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu perlakuan media dasar MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh TDZ dan kinetin. Percobaan terdiri atas 12 perlakuan dan tiga ulangan. Tiap perlakuan 10 botol dan satuan pengamatan 10 botol, sehingga terdapat 360 satuan percobaan. Perlakuan media terdiri atas M1= MS tanpa zat pengatur tumbuh, M2 = MS + TDZ 0.1 mg l -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M3 = MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M4 = MS + TDZ 0.3 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M5 = 12MS + TDZ 0.1 mgl -1 +2,4-D 0.05 mg l -1 , M6 = 12MS+ TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M7 = 12MS + TDZ 0.3 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M8 = 12MS + TDZ 0.4 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M9 = MS + TDZ 0.1 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.1 mgl -1 , M10 = MS + TDZ 0.1 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.1 mgl -1 , M11 = MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.3 mgl -1 , M12 = MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mgl -1 + Kinetin 0.4 mgl -1 . Tahapan percobaan dilakukan dengan sterilisasi eksplan kuncup bunga, dengan cara membersihkan kuncup bunga menggunakan air mengalir. Selanjutnya kuncup bunga dicuci dengan detergen dan dibilas dengan air bersih. Kuncup bunga kemudian direndam dalam larutan streptomisin sulfat 20 dan benomil 50 selama 30 menit, dilanjutkan dengan perendaman dengan klorok 5 selama 10 menit. Kuncup bunga dibilas dengan aquades steril hingga bersih. Di dalam laminer air flow cabinet LAF, kuncup bunga direndam dalam alkohol 70 selama 5 menit, klorok 5 selama 10 menit dan dibilas aquades hingga bersih. Tahapan selanjutnya, kuncup bunga dibuka dan diambil bagian tangkai sarifilamennya. Filamen dipotong ± 0.5 cm dan ditanam pada media perlakuan. Eksplan yang telah ditanam ditempatkan didalam ruang gelap pada suhu ± 20º C. Gambar 3.1 merupakan tahapan percobaan pembentukan kalus lili menggunakan tangkai sari bunga sebagai eksplan. Gambar 3.1 Tahapan percobaan pembentukan kalus lili. Kuncup bunga lili A, Daun bungamahkota bunga lili B, Bagian- bagian putik dan benang sari C, Kepala putik1, Tangkai putik 2, Benangsari 3, Tangkai sari 4, Potongan tangkai sari sebagai eksplan D . Peubah yang diamati meliputi 1 waktu inisiasi kalus, yaitu saat awal kalus lili terbentuk; pengamatan dilakukan satu minggu setelah tanam. Pengamatan berikutnya dilakukan setiap minggu. 2 bobot basah kalus, diamati dengan menimbang kalus yang terbentuk dengan timbangan digital, penimbangan dilakukan sebelum dan sesudah subkultur kalus. Subkultur dilakukan setiap satu bulan sekali, 3 jumlah umbi, diamati satu minggu setelah tanam, pengamatan selanjutnya dilakukan satu bulan sekali serta 4 jumlah daun yang terbentuk, diamati dengan menghitung jumlah daun yang terbentuk pada eksplan kalus. Jumlah daun diamati satu bulan setelah tanam. Pengamatan selanjutnya dilakukan satu bulan sekali. Analisis data menggunakan program IBM SPSS Statistics 19. Hasil dan Pembahasan 1. Induksi kalus lili dari tangkai sari bunga Induksi kalus lili dari tangkai sari bunga terbentuk 14- 31 hari setelah kultur Tabel 3.1. Waktu inisiasi kalus paling cepat diperoleh 14 hari setelah kultur pada media M9, yaitu media MS yang mengandung kinetin 0.1 mgl -1 dan TDZ 0.1 mgl - 1 . Waktu inisiasi kalus ini lebih cepat dibandingkan hasil penelitian Bakhshaie et al. 2010 pada Lilium ledebourii Baker Boiss, yaitu 3 bulan setelah kultur. Penggunaan zat pengatur tumbuh kinetin dan TDZ ini mempercepat terbentuknya kalus, disebabkan peran kedua zat pengatur tumbuh tersebut dalam pembelahan sel dan pembentukan organ. Kinetin juga berperan memacu perbesaran sel, diantaranya pada tanaman lobak, labu dan tanaman dikotil lainnya Arteca 1995. Sedangkan waktu inisiasi kalus paling lama diperoleh pada media M1 yaitu Media MS tanpa hormon 31 hari setelah tanam. Keseimbangan antara konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat dapat menginduksi kalus. Zat pengatur tumbuh 2,4-D termasuk dalam kelompok auksin yang umum digunakan untuk menginduksi kalus dalam kondisi tanpa cahaya. Dalam keadaan demikian, auksin tidak mudah terdegradasi sehingga mempercepat waktu inisiasi kalus pada eksplan. Faktor lain yang mempengaruhi inisiasi kalus ialah pelukaan pada eksplan serta adanya zat pengatur tumbuh sitokinin TDZ dan kinetin. Pada penelitian sebelumnya, kombinasi auksin 2,4- D dan sitokinin BA terbukti efektif menginduksi kalus kalus Lilium speciosum Thunb var. gloriosoides Baker Chang et al. 2000. Demikian juga kombinasi 2,4- 2 4 3 1 D C A B D dan NAA mampu menginduksi kalus kotiledon kedelai Widoretno et al. 2003. Tabel 3.1 Rerata waktu inisiasi kalus dan bobot basah kalus Media Waktu Inisiasi kalus hari setelah kultur Bobot basah kalus g M1 31.00 e 1.02 ab M2 19.00 abc 0.87 ab M3 17.00 ab 1.23 bc M4 20.08 bc 1.39 bc M5 26.00 de 1.02 ab M6 28.33 de 0.89 ab M7 23.67 cd 1.32 bc M8 26.00 e 1.00 ab M9 14.00 a 0.41 a M10 16.67 ab 1.55 bc M11 15.67 ab 1.82 c M12 15.50 ab 0.85 ab Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 . M1= MS tanpa zat pengatur tumbuh, M2 = MS + TDZ 0.1 mg l -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M3 = MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M4 = MS + TDZ 0.3 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M5 = 12MS + TDZ 0.1 mgl -1 +2,4-D 0.05 mg l -1 , M6 = 12MS+ TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M7 = 12MS + TDZ 0.3 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M8 = 12MS + TDZ 0.4 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M9 = MS + TDZ 0.1 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.1 mgl -1 , M10 = MS + TDZ 0.1 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.1 mgl -1 , M11 = MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.3 mgl -1 , M12 = MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mgl -1 + Kinetin 0.4 mgl -1 . Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa 2,4-D merupakan auksin terbaik untuk menginduksi pembentukan kalus berbagai jenis lili dibandingkan dengan auksin yang lain IAA, IBA dan NAA. Zat pengatur tumbuh 2,4-D memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan jenis auksin lainnya, karena lebih mudah diserap sel tanaman, tidak mudah terurai dan berfungsi mendorong aktivitas morfogenetik Shoemaker et al.1991, Widoretno et al. 2003. Zat pengatur tumbuh 2,4-D juga merupakan auksin yang tahan terhadap foto- oksidasi. Perbandingan auksin dan sitokinin menentukan bentuk dan struktur kalus. Kombinasi konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat akan menghasilkan kalus berstruktur remah friableWattimena 1988. Zat pengatur tumbuh 2,4-D juga berpengaruh terhadap pembentukan somatik embrio secara langsung Lan et al. 2009. Kalus yang terbentuk umumnya berupa nodular dan berwarna putih kekuningan. Gambar 3.2 menunjukkan respon eksplan tangkai sari bunga lili pada beberapa media. Gambar 3.2 Pembentukan kalus lili pada beberapa media. Kalus lili pada media M1 A, Kalus pada media M2 B, Kalus pada media M3 C, Kalus pada media M4 D, Kalus pada media M5 E, Kalus pada media M6 F, Kalus pada media M7 G, Kalus pada media M8 H, Kalus pada media M9 I, Kalus pada media M10 J, Kalus pada media M11 K, Kalus pada media M12 L.

2. Regenerasi kalus membentuk umbi dan daun lili

Dalam perkembangannya, kalus membentuk daun dan umbi pada beberapa media yang diujikan 4 bulan setelah kultur. Gambar 3.3 menunjukkan bahwa jumlah umbi yang terbentuk tidak berbeda nyata pada beberapa media. Kalus dapat membentuk ± 1-3 umbi, baik pada media yang mengandung zat pengatur tumbuh maupun media tanpa zat pengatur tumbuh. Rerata jumlah umbi tertinggi diperoleh pada media M3 yaitu media MS yang mengandung TDZ 0.2 mgl -1 . Jumlah umbi terendah diperoleh pada media M2 MS+ TDZ 0.1 mgl - 1 dan M7 12 MS + TDZ 0.3 mgl -1 . Hasil ini menunjukkan bahwa pengurangan unsur makro dan mikro pada media MS M2 menjadi ½ MS M7 tidak mempengaruhi jumlah umbi yang terbentuk. Di duga, pembentukan umbi lebih dipengaruhi sukrosa atau gula yang digunakan dalam media. Proses pembentukan umbi disebabkan adanya surplus karbohidrat Arteca 1995. Sukrosa juga dapat memacu pertumbuhan umbi lili, konsentrasi gula yang tinggi menyebabkan ukuran sisik umbi lili japonicum Thunb.meningkat dan menurunkan pembentukan tunas dan daun Yamagishi 1995. A B C D F G E I J K L H Gambar 3.3 Jumlah umbi yang terbentuk pada beberapa media 4 bulan setelah kultur. M1= MS tanpa zat pengatur tumbuh , M2 = MS + TDZ 0.1 mg l -1 + 2,4- D 0.05 mg l -1 , M3 = MS +TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M4 = MS + TDZ 0.3 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M5 = 12MS + TDZ 0.1 mgl -1 +2,4-D 0.05 mg l -1 , M6 = 12MS+ TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M7 = 12MS + TDZ 0.3 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M8 = 12MS + TDZ 0.4 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M9 = MS + TDZ 0.1 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.1 mgl -1 , M10 = MS + TDZ 0.1 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.1 mgl - 1 , M11 = MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4- D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.3 mgl -1 , M12 = MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mgl -1 + Kinetin 0.4 mgl -1 . Gambar 3.4 Jumlah daun yang terbentuk pada beberapa media 4 bulan setelah kultur. M1= MS tanpa zat pengatur tumbuh, M2 = MS + TDZ 0.1 mg l -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M3 = MS +TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M4 = MS + TDZ 0.3 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M5 = 12MS + TDZ 0.1 mgl -1 +2,4-D 0.05 mg l -1 , M6 = 12MS+ TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M7 = 12MS + TDZ 0.3 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M8 = 12MS + TDZ 0.4 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 , M9 = MS + TDZ 0.1 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.1 mgl -1 , M10 = MS + TDZ 0.1 mgl - 1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.1 mgl - 1 , M11 = MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mg l -1 + Kinetin 0.3 mgl -1 , M12 = MS + TDZ 0.2 mgl -1 + 2,4-D 0.05 mgl -1 + Kinetin 0.4 mgl -1 . Media juga tidak berpengaruh terhadap jumlah daun yang terbentuk. Rerata jumlah daun terbanyak diperoleh pada media M2 MS+ TDZ 0.1 mgl -1 . Jumlah daun terendah diperoleh pada media M1 yaitu media tanpa zat pengatur 2.8 1.7 3.0 2.9 2.0 2.0 1.7 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11 M12 Jum la h U m bi 4.2 7.8 6.3 6.0 6.0 7.3 7.6 4.2 5.8 6.0 7.2 4.5 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11 M12 Jum la h D a un

Dokumen yang terkait

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

9 157 125

Pengelompokan Isolat Fusarium oxysporum f.sp.cubense Dari Beberapa Jenis Pisang (Musa spp.) Serta Uji Antagonisme Fusarium oxyspomm Non Patogenik Dan Trichoderma koningii Di Laboratorium

0 30 85

Potensi Cendawan Endofit Dalam Mengendalikan Fusarium Oxysporum F.SP. Cubense Dan Nematoda Radopholus Similis COBB. Pada Tanaman Pisang Barangan (Musa Paradisiaca) Di Rumah Kaca

0 42 58

Teknik PHT Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysforum f. sp capsici Schlecht) Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum armuum L.) di Dataran Rendah.

0 27 138

Uji Antagonis Trichoderma spp. Terhadap Penyakit Layu (Fusarium oxysforum f.sp.capsici) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L) Di Lapangan

3 52 84

Uji Sinergisme F.oxysporum f.sp cubense Dan Nematoda Parasit Tumbuhan Meioidogyne spp. Terhadap Tingkat Keparahan Penyakit Layu Panama Pada Pisang Barangan (Musa sp.) di Rumah Kassa

0 39 72

Sinergi Antara Nematoda Radopholus similis Dengan Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense Terhadap Laju Serangan Layu Fusarium Pada Beberapa Kultivar Pisang (Musa sp ) Di Lapangan

3 31 95

Molecular Characterization of Resistance Banana Cultivars to Panama Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f sp cubense

0 36 194

In Vitro Selection of Abaca for Resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense

0 8 6

Induce Genetic Variability of Lily for resistance of Fusarium oxysporum f.sp. lilii by in vitro culture.

1 14 180