25 minyak tanah, 20 batang sabun, 4 meter tekstil kasar dan 2 meter batik kasar.
Besarnya standar kebutuhan hidup minimum per kapita per tahun dijadikan sebagai garis batas kemiskinan. Tingkat kemiskinan tersebut dibagi dalam
beberapa katagori sebagai berikut: 1 Tidak miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih besar dari
200 dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun. 2 Hampir miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 125-200
dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun. 3 Miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 75-125 dari nilai
total 9 bahan pokok dalam setahun. 4 Miskin sekali, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih kecil dari
75 dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.
2.1.5 ”The tragedy of the commons” akar penyebab kemiskinan nelayan
Johnston 1992 mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas dis-ekonomi kejadian-kejadian
yang terjadi di luar sumberdaya ikan yang menimbulkan biaya yang harus dibebankan kepada masyarakat nelayan, sedangkan keuntungan diterima oleh
orang lain yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala industri dan skala rumah tangga kecil, maka nelayan kecilah yang akan
menanggung eksternalitas dis-ekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan dan deplesi sumberdaya ikan. Hal tersebut terjadi karena
sumberdaya ikan tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada seorangpun yang
bertanggung jawab dalam memikirkan keberlanjutan sumberdaya. Seperti dikemukakan oleh Feeny 1990 bahwa sumberdaya milik bersama setidaknya
memiliki 2 karakteristik, yaitu eksludabilitas exludability yaitu kondisi dimana pengawasan terhadap sumberdaya oleh penggunanya cukup sulit dilakukan atau
hampir tidak mungkin dilakukan dan substraktabilitas substractability, yaitu situasi persaingan dimana bila yang seseorang memperoleh lebih banyak, maka
orang lain memperoleh lebih sedikit. Jadi substraktabilitas mengandung makna
26 persaingan di dalam pemanfaatan sumberdaya. Dengan demikian sumberdaya
milik bersama adalah jenis sumberdaya alam dimana pengawasan terhadapnya sulit dilaksanakan dan pemanfaatan secara bersama-sama melibatkan persaingan.
Kesalahan pengelolaan sumberdaya ikan dan eksternalitas dis-ekonomi ini merupakan variabel mendasar yang selama ini tidak diprogramkan sebagai upaya
untuk membangun perikanan di Indonesia Nikijuluw, 2001. Di bawah kelas sumberdaya milik bersama, terdapat sistem pemilikan
sumberdaya 1 akses terbuka atau tidak dimiliki oleh siapapun, 2 kepemilikan swasta, 3 kepemilikan komunal atau oleh sekelompok masyarakat, dan 4
kepemilikan pemerintah. Sumberdaya akses terbuka, seperti selama ini diatributkan pada
sumberdaya perikanan Indonesia, adalah sistem dimana tidak seorangpun yang memiliki sumberdaya tersebut. Akibatnya sumberdaya itu terbuka bagi siapa saja
untuk dimanfaatkan. Kondisi sumberdaya ikan akses terbuka biasanya adalah kemunduran jumlah ikan, penangkapan secara berlebih-lebihan, penggunaan alat
tangkap yang merusak, dan tidak ada seorangpun yang mau bertanggung jawab terhadap kelanjutan sumberdaya.
Kemiskinan sebagai akibat akses terbuka dan pengelolaan sumberdaya secara tidak efektif karena lebih dari 80 armada perikanan Indonesia adalah
armada skala kecil dan umumnya menganut prinsip rejim dan kepemilikan aset terbuka open access maka dampak perikanan akses terbuka ini sangat nyata bagi
Indonesia. Dengan sumberdaya ikan yang tidak dimiliki oleh siapapun, maka setiap
orang berhak masuk atau keluar dari sumberdaya tanpa perlu mendapat izin dari yang lain. Kondisi akses terbuka, pada awalnya akan menghasilkan keuntungan
bagi industri perikanan maupun nelayan secara individu. Namun keuntungan yang dimiliki ini tidak akan bertahan lama. Karena setiap keuntungan yang diperoleh
akan memacu investasi baru. Baik nelayan yang sudah ada dalam industri maupun mereka yang di luar industri akan melihat adanya keuntungan pada industri
tersebut sebagai daya tarik untuk masuk ke dalam industri.
27 Nelayan yang sudah terlebih dahulu ada akan meningkatkan investasi
usahanya, dalam bentuk penambahan kapal baru, atau meningkatkan jumlah frekwensi penangkapan. Dengan demikian upaya penangkapan ikan akan
bertambah. Sementara itu orang lain yang berada di luar industri akan masuk ke dalam industri dalam bentuk investasi baru.
Bila proses ini berjalan terus, maka yang akan terjadi adalah perebutan yang semakin kompetetif purely and perfectly competitive terhadap sumberdaya
yang ada yang semakin hari semakin meningkat. Oleh karena besar dan stok sumberdaya ada batasnya carrying capacity dan adanya sifat substraktabilitas
sumberdaya yang common property, maka kompetisi yang terjadi akan membuat semakin kecil perolehan keuntungan. Bila sebelumnya, sumberdaya menghasilkan
keuntungan supernormal, dengan makin bertambahnya nelayan dan kapal penangkapan ikan, maka pendapatan setiap orang nelayan akan berkurang. Proses
ini pada akhirnya akan membuat penerimaan nelayan dari penjualan ikan secara rata-rata, hanya mampu untuk menutupi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan
pengangkapan tersebut. Kejadian-kejadian seperti diuraikan tersebut, sering dikatakan sebagai
tragedi akses terbuka
. Feeny 1990 menguraikannya sebagai tragedi milik bersama. Disebutkan sebagai suatu tragedi karena terjadinya proses pemiskinan,
nelayan yang tadinya bisa meraih keuntungan pendapatan akhirnya mengalami penurunan pendapatan. Tragedi ini semakin parah karena lebih banyak orang yang
terperangkap dalam usaha memanfaatkan sumberdaya milik bersama ini, terutama di negara berkembang dimana kondisi tenaga kerja relatif banyak tetapi lapangan
dan kesempatan kerja relatif kecil, sehingga akan terjadi aliran orang-orang yang terus masuk ke industri perikanan yang memang dicirikan dengan sumberdaya
akses yang terbuka. Karena kompetisi antara nelayan terus terjadi, maka individu yang satu
berusaha melebihi yang lainnya. Semakin cepat dan semakin banyak seseorang mendapat ikan akan semakin baik bagi yang bersangkutan. Dengan permintaan
ikan di pasar yang terus meningkat maka setiap orang akan berusaha memenuhi permintaan itu. Akhirnya, nelayan cenderung menggunakan cara-cara yang tidak
28 benar dengan merusak sumberdaya dan merusak lingkungan. Sampai pada kondisi
ini maka tragedi milik bersama magnitude dan skalanya.semakin besar Di Indonesia, secara nasional tragedi itu telah terjadi dan hal tersebut bisa
digambarkan sebagai berikut: Potensi lestari ikan laut Indonesia berdasarkan evaluasi potensi terakhir oleh DKP adalah sekitar 6,18 juta ton per tahun. Potensi
lestari artinya bahwa jumlah ini bisa diambil dari laut setiap tahun secara kontinyu tanpa adanya kemunduran atau degradasi sumberdaya. Namun berdasarkan cara-
cara pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab, maka yang bisa diambil dari laut yaitu sekitar 80 dari potensi lestari, atau hanya
sekitar 5 juta ton per tahun. Angka 5 juta ton dinamakan jumlah tangkapan diperbolehkan total allowable catch
Dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan ini yang sudah dimanfaatkan dalam bentuk hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan-pelabuhan Indonesia
pada tahun1998 sekitar 3,8 juta ton, atau sekitar 76, sehingga masih ada sekitar 1,2 juta ton yang dapat diambil lagi dari laut. Namun jumlah yang tersisa tersebut
diprediksi akan semakin kecil karena banyak kapal asing yang mencuri ikan, banyak kapal ikan yang tidak melapor kepada yang berwajib, atau laporan di
bawah angka yang sebenarnya. Bila dinilai dengan, katakanlah, Rp 5.000 per kg ikan maka nilai hasil
tangkapan pada tahun 1998 adalah Rp 19 trilyun. Nilai sebesar ini dihasilkan oleh sekitar 4 juta orang nelayan skala besar dan kecil, industri dan tradisional.
Dengan demikian dalam setahun, seorang nelayan menghasilkan sekitar Rp 4.750.000, nilai kotor sebelum dikurangi biaya operasional dan investasi. Dalam
sebulan, berarti setiap nelayan menghasilkan nilai hasil tangkapan kotor sekitar Rp 395.833.
Pendapatan rata-rata nelayan per bulan ini memang tergolong rendah. Apalagi jumlah ini harus digunakan untuk membiayai kegiatan penangkapan ikan
itu sendiri dan juga untuk kebutuhan keluarga yang umumnya sekitar 4 jiwa per keluarga.
Inilah tragedi itu. Meskipun banyak upaya sudah dilakukan untuk menghentikan, namun tampaknya sulit, karena caranya yang salah, kurang
29 mengena, kurang strategis, dan tidak tepat sasaran. Sementara itu nelayan tetap
bertambah karena sumberdaya ikan tetap bersifat akses terbuka. Jadilah usaha perikanan sebagai perangkap kemiskinan.
2.2 Pemberdayaan nelayan dalam penanggulangan Kemiskinan