Perencanaan Kawasan EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4 aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap aspek merupakan kumpulan komponen pengelolaan yang memiliki ciri khas tertentu. Hasil pengukuran yang diperoleh disajikan seperti berikut.

5.1 Perencanaan Kawasan

Terdapat tiga kelompok utama yang menjadi penilaian dalam mengukur kekuatan perencanaan kawasan konservasi yaitu: penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak. Ketiga kelompok tersebut terdiri dari masing-masing 5 komponen penilaian. Hasil penilaian terhadap ketiga kelompok utama perencanaan di 23 kawasan konservasi di Indonesia disajikan dalam Gambar 16. - 1 2 3 4 5 P er lindungan k ehat i K et er k ai tan dengan as et k ehat i K ons is tens i P em aham an pengel ol a D uk ungan m as y ar ak at P er lindungan huk um R e so lu si ko n fli k T at a bat as K et iadaan k lai m lahan S D M dan k euangan K es es uai an t em pat Lay out P em anf aat an s ek itar k aw as an Z onas i K et er k ai tan k aw as an l ai n N il ai P er en can aan Tujuan Kepastian Hukum Desain Tapak Gambar 16 Grafik nilai berbagai komponen dalam perencanaan kawasan konservasi Gambar 16 menunjukkan bahwa semua kelompok penilaian perencanaan kawasan konservasi yaitu penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak, masih relatif lemah dimana nilai rata-rata keseluruhan aspek lebih kecil dari 3. Secara umum nilai perencanaan tujuan kawasan konservasi sudah relatif lebih baik dibandingkan aspek kepastian hukum dan desain tapak. Hal-hal yang masih perlu perhatian serius dalam penyusunan tujuan kawasan konservasi adalah ketidak konsistenan rencana detail pengelolaan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, pemahaman staf terhadap tujuan pengelolaan dan dukungan masyarakat masih lemah. Ditinjau dari aspek kepastian hukum hampir semua komponen yang diamati belum sesuai dengan harapan yaitu masih seringnya muncul klaim atas sumberdaya, tata batas yang tidak jelas, dan konflik yang tidak terselesaikan. Aspek perlindungan hukum yang menunjukkan nilai relatif tinggi pada Gambar 16. lebih mengacu pada adanya dasar hukum pembentukan Taman Nasional yaitu Keputusan Menteri, tapi hal ini tidak didukung oleh aspek lain. Komponen-komponen dalam kelompok desain tapak yang sudah relatif lebih baik adalah komponen kesesuaian tempat dan komponen lay out kawasan konservasi. Sedangkan zonasi, pemanfaatan sekitar kawasan, dan keterkaitan dengan kawasan lain masih relatif lemah. Aspek perencanaan dalam mengelola kawasan konservasi adalah hal yang mengawali sukses tidaknya pengelolaan kawasan konservasi. Lemahnya aspek perencanaan kawasan konservasi yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan pentingnya pemerintah dan pemangku kepentingan untuk kembali menata ulang rencana-rencana strategis pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada saat ini. 3 6 9 12 B e rbak S e m b ilang W a y K a m bas T anj ung Pu tin g Ku ta i G unung P a lung R a w a A opa W a tu m ohai Wa s u r Lor ent z U jung K u lo n Ka ri m u n Ja w a Ba li Ba ra t Te lu k C endr aw as ih K epul auan Se ri b u K o m odo B unak en Ta k a B oner at e W a k a tobi Si b e ru t Ba lu ra n Al a s P u rw o M e ru B e tiri M anupeu T a nadar u d h t N il a i Per e ncana a n Rawa Pantai dan Mangrove Mangrove- Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai Gambar 17 Grafik nilai perencanaan 23 kawasan konservasi. Huruf “d” merupakan desain kawasan, “h” kepastian hukum, dan “t” untuk penetapan tujuan. Sebagian besar kawasan konservasi yang diamati dalam penelitian ini masih lemah dalam hal perencanaan pengelolaan seperti yang disajikan dalam Gambar 17. Kawasan konservasi yang perencanaannya sudah relatif baik yang lain adalah dari kelompok terumbu karang dan kelompok gabungan terumbu karang dan mangrove. Hal ini disebabkan karena kelompok ini telah bisa memformulasi tujuan pembentukan kawasan dengan baik. Sebaliknya kawasan dengan nilai rata-rata perencanaan yang paling lemah adalah kelompok hutan pantai disebab oleh karena lemahnya desain tapak kawasan. Secara individual, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Bali Barat, Komodo, Taka Bonerate, dan Wasur adalah kawasan konservasi yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain. Kawasan konservasi yang nilai perencanaannya paling lemah terdapat pada kelompok hutan pantai dan rawa mangrove yaitu masing-masing adalah Taman Nasional Siberut dan Tanjung Puting. Gambaran tersebut diatas sekilas menunjukkan adanya kebutuhan yang berbeda pada masing-masing type kawasan dengan satu satu kesamaan yaitu bahwa formulasi tujuan pembentukan kawasan telah dibuat lebih baik dibandingkan penegakan perlindungan hukum dan desain tapak kawasan. Prioritas penanganan lebih lanjut akan sangat bergantung pada seberapa jauh faktor-faktor ini terkait atau mempengaruhi efektifitas pengelolaan secara umum. Hasil RAPPAM di negara tropis berkembang lain memiliki kebutuhan yang cenderung berbeda dalam tahapan perencanaan kawasan. Kamboja misalnya telah cukup memadai dalam menyusun desain tapak kawasan, tapi lemah dalam perencanaan dimana pembentukan kawasan tidak sejalan dengan kondisi keanekaragaman hayati, kawasan konservasi lahan basah pesisir tidak mewakili lahan basah pesisir yang ada di Kamboja, dan banyak dari kawasannya belum memiliki kepastian hukum penetapannya Lacerda et.al. 2005. Kondisi yang relatif lebih baik ditunjukkan oleh hasil RAPPAM di Brazil dimana perencanaan kawasan telah sejalan dengan kondisi keanekaragaman hayati dan desain tapak dirancang dengan baik sehingga kebutuhan intervensi dalam dua komponen ini relatif kecil Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005. Perbedaan keduanya terletak pada pemenuhan kebutuhan akan tenaga yang profesional di Kamboja masih relatif rendah dibandingkan di Brazil.

5.2 Masukan