rekomendasi tersebut digabungkan dengan kondisi detail di masing-masing kawasan. Oleh sebab itu strategi yang dihasilkan merupakan gabungan antara kebijakan nasional
pengelolaan kawasan konservasi dengan keunikan lokal masing-masing kawasan. Berikut disajikan rekomendasi strategi pengelolaan ditingkat makro yang digabungkan
dengan beberapa ciri khas masing-masing kelompok ekosistem dominan kawasan konservasi.
6.4.1 Strategi Pengelolaan Rawa Pesisir dan Mangrove
Kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove dapat ditemui di hampir seluruh wilayah pesisir Indonesia dimana kondisi sosial ekonomi, biologi, tekanan dan
ancaman yang dialami juga sangat bervariasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan sangat baik oleh Tabel 13 dimana letak kawasan konservasi dalam tabel menyebar di berbagai
kategori pengelolaan sehingga secara keseluruhan strategi perbaikan internal maupun adaptasi kondisi eksternal tidak ada yang dominan satu dengan yang lain.
Tabel 13. Kategori pengelolaan kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove
Kawasan Konservasi Kelompok dan Ciri-
cirinya S-B tinggi,
T-A tinggi S-B rendah-
sedang
T-A tinggi S-B rendah
T-A Rendah- Sedang
S-B sedang, tinggi
T-A Rendah 1 Efektivitas
Tinggi - - - Bali Barat BB
2 Efektivitas Sedang
Wasur WS Ujung Kulon
UK - - Way
Kambas WK
3 Efektivitas Rendah
Karimun Jawa KJ
Kutai KT Rawa Aopa RA
Teluk Cendrawasih
TC
Tanjung Putting TP
Berbak BK Sembilang SL
Gunung Palung GP
4 Efektivitas Sangat Rendah
- - - Lorentz LZ
Keterangan: Huruf miring menunjukkan bahwa kawasan tersebut juga masuk kelompok terumbu karang.
Kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove yang memerlukan proritas intervensi pengelolaan yaitu Taman Nasional Wasur, Ujung Kulon, Rawa Aopa, dan
Kutai sedangkan kawasan yang relatif rendah kebutuhan intervensinya adalah Way Kambas. Tekanan dan ancaman utama yang umumnya dialami oleh kelompok
kawasan konservasi ini adalah pembalakan liar mangrove dan hutan rawa pesisir, perambahan kawasan, perburuan liar satwa rawa, dan alat tangkap perikanan yang
desktrutif. Strategi pengelolaan kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove adalah:
1. Pemutakhiran data ekologi dan sosial ekonomi termasuk tekanan dan ancaman akibat kegiatan legal maupun ilegal pembukaan tambak, pembalakan mangrove
dan hutan rawa, kebakaran rawa gambut, perburuan satwa rawa, dan mengkomunikasikan secara rutin informasi tersebut ke para pemangku
kepentingan. Strategi pemutakhiran data ini diprioritaskan pada Taman Nasional Berbak, Teluk
Cenderawasih, Lorentz, Sembilang, Tanjung Puting, dan Kutai. 2. Penyusunan atau revisi rencana strategis pengelolaan kawasan berdasarkan data
mutakhir terutama untuk mengendalikan secara sistematis pembukaan pertambakan legal maupun ilegal, pembalakan hutan rawa pesisir dan mangrove,
kebakaran lahan gambut, perburuan satwa rawa-rawa seperti buaya muara, buaya sinyulong, burung air, dan penggunaan alat tangkap ikan destruktif.
Fokus strategi ini ditujukan untuk Taman Nasional Berbak, Teluk Cenderawasih, Lorentz, Rawa Aopa, Karimun Jawa, Tanjung Puting, dan Kutai.
3. Peningkatan sumber-sumber pendanaan melalui kerjasama internasional perdagangan karbon baik melalui mekanisme protokol kyoto maupun mekanisme
voluntarily untuk reforestasi mangrove dan rawa gambut, Debt for Nature Swapt, pemanfaatan secara berkelanjutan melalui kegiatan ramah lingkungan seperti
ekowisata perairan menyusur mangrove dan rawa pesisir, dan memotivasi partisipasi PEMDA dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Peningkatan dana ini akan diprioritaskan untuk mendukung peningkatan jumlah dan kualitas staf, perbaikan kondisi dan kenyamanan kerja, dan peningkatan
fasilitas survey dan pengamanan.
Strategi peningkatan pendanaan dan kondisi staf ini diprioritaskan pada Taman Nasional Lorentz dan Sembilang, terutama sekali agar kawasan konservasi ini bisa
segera mewujudkan pembentukan Balai Taman Nasional yang mandiri terlepas dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam.
4. Peningkatan peran masyarakat dalam perlindungan kawasan konservasi melalui komunikasi yang intensif, pengembangan mata pencaharian ramah lingkungan di
daerah penyangga terutama aspek pemasarannya seperti usaha madu mangrove, getah jelutung, dan wisata alam. Hal ini terutama dilakukan untuk menekan
pembalakan liar, perambahan, dan perburuan liar. Strategi diprioritaskan pada Taman Nasional Berbak, Rawa Aopa, Karimun Jawa,
Tanjung Puting, Kutai, Wasur dan Ujung Kulon. 5. Bekerjasama dengan masyarakat melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove dan
rawa pesisir yang mengalami kerusakan akibat pembalakan, pembuatan tambak, pertambangan dan kebakaran dengan mengkombinasikan kegiatan rehabilitasi
tersebut dengan pengembangan mata pencaharian ramah lingkungan. Strategi ini diprioritaskan pada Taman Nasional Berbak, Tanjung Puting, Kutai,
Rawa Aopa dan Wasur. 6. Bekerjasama dengan masyarakat melakukan kegiatan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim dengan membentuk sukarelawan pengendali kebakaran hutan di rawa gambut terutama Berbak dan Sembilang, mempertahankan tinggi muka air di
rawa-rawa pesisir dengan menyekat kanal-kanal rawa air tawar dan rawa gambut yang menyebabkan air rawa berkurang. Strategi ini ditujukan bagi seluruh
kawasan konservasi. Intervensi peningkatan upaya kolaboratif sekaligus peningkatan kapasitas
pengelola memerlukan kombinasi yang seimbang dalam pengelolaan kawasan mangrove dan rawa pesisir. Hal ini disebabkan oleh karena temuan RAPPAM
menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan mengalami tekanan dan ancaman yang besar dan pada saat yang bersamaan kawasan konservasi umumnya belum dikelola
dengan efektif. Lokasi kawasan konservasi prioritas untuk kelompok rawa pantai dan mangrove ditunjukkan pada gambar Lampiran 8.
Rekomendasi strategi pengelolaan kawasan konservasi mangrove dan rawa pesisir ini sejalan dengan Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah NSAP maupun
Strategi Keanekaragaman Hayati IBSAP. Hal ini ditunjukkan oleh karena NSAP dan IBSAP telah menetapkan isu moratorium eksploitasi sumberdaya alam dan no net loss
kawasan lahan basah sebagai isu penting dan pemberdayaan masyarakat sebagai strategi yang senantiasa menjadi prioritas.
Hasil RAPPAM di negara lain yaitu Kamboja juga menunjukkan bahwa pembalakan liar dan kegiatan eksploitatif sumberdaya alam menjadi tekanan dan
ancaman utama. Hanya saja rekomendasi kebijakannya justru diarahkan pada peningkatan kerjasama antar kementerian kehutanan MoF dan lingkungan hidup
MAFF dengan kementerian pertahanan. Hal ini disebabkan oleh karena terdapat indikasi kuat bahwa pembalakan liar di Kamboja terjadi terkait erat dengan adanya
pos-pos militer didalam atau diluar kawasan konservasi Lacerda et. Al. 2005. Berbeda dengan hasil RAPPAM di Indonesia, Kamboja, dan kondisi umum
dinegara berkembang lainnya, hasil RAPPAM di Brazil dan Kwazulu Natal tidak merekomendasikan pembalakan dan perambahan sebagai tekanan dan ancaman utama
yang harus dihadapi Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005; Goodman, 2003. Meski berbagai temuan menunjukkan bahwa pembalakan dan
perambahan juga berlangsung sangat cepat di Amazon Brasil tapi pembalakan tersebut tidak terjadi karena isu kemiskinan tapi terjadi oleh perusahaan besar, kegiatan
pemerintah yang tidak terarah, dan proyek-proyek Bank Dunia yang salah kaprah Butler, 2007. Sedangkan di Kwazulu Natal perambahan maupun pembalakan sama
sekali tidak menjadi isu pengelolaan karena wilayah lahan basah pesisirnya didominasi pantai berbatu dan padang serta memiliki jumlah staff pengawas yang berlebih
Goodman, 2003.
6.4.2 Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Terumbu Karang