Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir Indonesia

(1)

INDONESIA

MUHAMMAD ILMAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Dengan ini saya, menyatakan bahwa Tesis Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir Indonesia adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Maret 2008

Muhammad ILMAN NRP C251 030 191


(3)

MUHAMMAD ILMAN. Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir Indonesia. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan NYOTO SANTOSO.

Kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir di Indonesia, atau disingkat kawasan konservasi, memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai sebuah sistem pendukung kehidupan. Meski demikian, karakteristik biologis dan kepentingan pengelolaannya yang kompleks menyebabkan selama ini kawasan konservasi belum dikelola secara efektif sehingga mengalami kerusakan secara terus menerus. Hal tersebut mendorong dilakukannya penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini pengelolaan kawasan konservasi, efektivitasnya, dan strategi pengelolaannya.

Penelitian dilakukan pada 23 kawasan konservasi dengan menggunakan pendekatan Rapid Assessment and Prioritisation of Protected Areas Management (RAPPAM). Hasil RAPPAM menunjukkan bahwa 23 kawasan konservasi yang diteliti memiliki nilai biologis maupun ekonomis tinggi tetapi sebagian besar kawasan konservasi tersebut belum dikelola secara efektif. Beberapa diantara kawasan konservasi tersebut mengalami tekanan dan ancaman yang tinggi yang mengarah pada kerusakan kawasan konservasi dalam jangka panjang. Kondisi ini sulit diatasi karena karakteristik nilai penting ekonomis biologis, efektivitas pengelolaan, dan tekanan dan ancaman yang dialami masing-masing kawasan konservasi berbeda-beda sementara sumberdaya pemerintah sangat terbatas untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh.

Penggunaan analisis multivariabel berhasil mengkategorikan kawasan konservasi tersebut kedalam 16 kategori strategi pengelolaan yang merupakan kombinasi strategi internal berupa penguatan kapasitas dan strategi adaptasi eksternal berupa kolaborasi pengelolaan. Strategi yang dihasilkan RAPPAM lebih sesuai untuk kebijakan nasional, Untuk dapat diaplikasikan di tingkat kawasan konservasi masih dibutuhkan analisis lanjutan berdasarkan kondisi masing-masing kawasan sehingga diperoleh suatau strategi yang menjawab kebutuhan lokal kawasan tapi tetap dalam kerangka kebijakan nasional.

Kelompok kawasan konservasi rawa dan mangrove terutama Taman Nasional Ujung Kulon, Kutai, Rawa Aopa, dan Wasur memerlukan kombinasi strategi internal dan eksternal melalui peningkatan sumber-sumber pendanaan dan pengembangan kegiatan rehabilitasi ekosistem berbasis masyarakat. Kelompok terumbu karang terutama Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan Karimun Jawa memerlukan strategi eksternal yang kuat dengan membuka ruang dialog lebih luas dengan masyarakat dan pengembangan mata pencaharian ramah lingkungan. Sebaliknya kelompok hutan pantai terutama Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Siberut, dan Baluran membutuhkan strategi internal yang kuat melalui pengembangan kegiatan wisata ramah lingkungan dan pemanfaatan yang bijaksana hasil hutan non kayu.


(4)

Areas of Indonesia. Under supervision of TRIDOYO KUSUMASTANTO and NYOTO SANTOSO

Coastal wetlands protected areas in Indonesia (conservation areas) are very important area since they are functioning as life supporting system. However, its complex ecological characteristics as well as management interests of various stakeholders have resulted ineffective management lead to ever-occur deterioration of the areas. This research was aimed to understand existing condition of conservation areas, its management effectiveness, and options for better management.

The research studied 23 conservation areas by using WWF’s Rapid Assessment and Prioritization of Protected Areas Management (RAPPAM). The result of RAPPAM revealed that all 23 conservation areas were having high both ecological and economical value but lack of effective management. The situation is alarming since many of these 23 conservation areas were also facing serious pressure and threat that will have damaging impact. This condition was difficult to overcome due to limited government resources compare to variety and uniqueness of ecological and economical characteristics, management effectiveness, pressure and threats to every conservation areas.

Application of multivariable analysis had successfully classified the 23 conservation areas into 16 management strategy categories which determined by combination of two strategies: internal strategy for capacity strengthening and external strategy through collaborative management. The RAPPAM’s recommended strategy is appropriate for national level policy, applying the recommendation in protected area level require further analysis on uniqueness of each protected areas. Therefore there will be new strategy for single protected area that successfully responds to the local needs and still in line with national policy.

Management of coastal swamp and mangrove conservation areas group especially Ujung Kulon, Kutai, Rawa Aopa, dan Wasur National Park, require balance internal and external strategy by increasing fundraising activities and community based ecosystems rehabilitation. Coral reef group especially Teluk Cenderawasih and Karimun Jawa NP, require massive external strategy by providing ample room for dialogue with stakeholders and empowering local community to develop environmentally friendly livelihoods. As for coastal forest group especially Manupeu Tanadaru, Siberut, and Baluran NP, require massive internal strategy by developing


(5)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian

Bogor

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(6)

INDONESIA

MUHAMMAD ILMAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

-Dr. Ir. Unggul Aktani, MSc


(8)

Judul Tesis : Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir Indonesia

Nama : Muhammad ILMAN

NRP : C 251 030 191

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua

Ir. Nyoto Santoso, MS. Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas selesainya penulisan Tesis yang berjudul

Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir

Indonesia.

Penilaian efektivitas dilakukan dengan menggunakan Rapid Assessment and Prioritisation of Protected Areas Management (RAPPAM) terhadap 23 Taman Nasional yang memiliki lahan basah pesisir. Hal menarik yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya: nilai penting sosial ekonomi dan ekologi kawasan konservasi masih sangat tinggi, efektivitas pengelolaan pada umumnya lemah, dan berhasilnya disusun pilihan strategi pengelolaan kawasan konservasi yang lebih efektif berdasarkan keunikan masing-masing kawasan konservasi.

Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis dengan setulus hati mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Bapak Ir. Nyoto Santoso, MS atas

kesabarannya dalam membimbing penulisan tesis ini.

2. Bapak Dibyo Sartono, Bapak Nyoman Suryadiputra dan rekan-rekan kerja di

Wetlands International atas suasana kerja yang mendukung.

3. Bapak Abdul Kadir, Ibu Siti Zainab, Kak Ninab, Hira, Hanun, Kioq, dan semua

yuniornya di Sulawesi Barat, serta Upik atas dukungan doanya.

4. Ita Sualia atas kesabaran dan motivasinya yang tiada henti.

5. Semua rekan SPL angkatan 10 atas kerjasama dan persahabatannya yang tulus.

6. Packard Foundation melalui WWF-EFN yang telah memberikan dukungan

beasiswa untuk mengikuti S2 di SPL IPB.

Banda Aceh, Maret 2008


(10)

merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Abdul Kadir dan Ibu Siti Zainab. Pendidikan dasar dimulai di TK Al Hurriyah Somba, SDN 3 Somba, SMPN 1 Somba, dan SMAN 1 Majene lulus tahun 1991. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S1 di IPB Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan lulus tahun 1996.

Karir pekerjaan penulis dimulai sebagai Supervisor Aquaculture di PT Wachyuni Mandira antara tahun 1996 hingga 1999, kemudian sebagai Project Manager di PT. Triasta Citarate, Sukabumi antara tahun 1999 hingga 2001. Kedua perusahaan tersebut bergerak dalam bidang industri tambak udang.

Sejak tahun 2001 hingga saat ini penulis bekerja di Wetlands International, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan kegiatannya pada pemanfaatan secara bijaksana ekosistem-ekosistem lahan basah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sebagian besar pekerjaan penulis berhubungan langsung dengan upaya pengelolaan lahan basah secara terpadu baik sebagai fasilitator masyarakat dalam pengelolaan lahan basah di tingkat desa maupun sebagai wakil Wetlands International dalam berbagai kelompok kerja pengembangan kebijakan dalam pengelolaan lahan basah di tingkat nasional.


(11)

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Nilai dan Fungsi Lahan Basah ... 1

1.2 Efektivitas Kebijakan dan Pengelolaan Lahan Basah... 2

1.3 Perumusan Masalah ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Ruang Lingkup Penelitian... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Lahan Basah Pesisir ... 6

2.2 Kawasan konservasi dan Fungsinya... 8

2.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Memiliki Lahan Basah Pesisir .. 10

2.4 Efektivitas Pengelolaan... 14

2.4.1 Pengertian dan Tujuan... 14

2.4.2 Mekanisme Evaluasi ... 17

2.4.3 Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management... 18

3. METODOLOGI PENELITIAN... 22

3.1 Kerangka Pemikiran... 22

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.3 Metode Penelitian ... 24

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 26

3.5 Metode Analisis Data... 28

3.5.1 Analisis Tekanan dan Ancaman... 29

3.5.2 Analisis Nilai Penting Kondisi Biologi, Sosial dan Ekonomi ... 30

3.5.3 Analisis Efektivitas Pengelolaan... 32

3.5.4 Analisis Multivariabel... 34

3.5.5 Analisis Gerombol ... 37


(12)

4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI... 39

4.1 Pengelompokan Kawasan Konservasi Berdasarkan Jenis Ekosistem yang Dominan ... 39

4.2 Karakteristik Biologi... 40

4.3 Karakteristik Sosial Ekonomi ... 48

4.4 Karakteristik Tekanan dan Ancaman ... 53

4.5 Karakteristik Kerapuhan ... 55

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN... 59

5.1 Perencanaan Kawasan... 59

5.2 Masukan ... 62

5.3 Proses Pengelolaan... 64

5.4 Keluaran ... 67

5.5 Akumulasi Komponen Siklus Pengelolaan... 69

6. STRATEGI PENGELOLAAN ... 71

6.1 Strategi Nilai Penting VS Tekanan - Ancaman... 71

6.2 Strategi Masukan vs Tekanan - Ancaman... 75

6.3 Strategi Efektivitas vs Tujuan Akhir Pengelolaan ... 79

6.4 Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Efektif ... 83

6.4.1 Strategi Pengelolaan Rawa Pesisir dan Mangrove... 87

6.4.2 Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Terumbu Karang... 90

6.4.3 Strategi Pengelolaan Hutan Pantai ... 94

SIMPULAN DAN SARAN... 97

Simpulan ... 97

Saran…... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kerangka kerja penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi.... 21

Tabel 2. Kawasan konservasi yang dipilih sebagai responden penelitian beserta nilai penting lahan basah pesisirnya... 27 Tabel 3. Penentuan ranking nilai penting biologis kawasan konservasi

berdasarkan kekayaan spesies dan tipe ekosistem. ... 30 Tabel 4. Matriks data Taman Nasional dan kriteria penilaiannya... 35 Tabel 5. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan tipe-tipe ekosistem

lahan basah yang dominan. ... 40 Tabel 6. Karakteristik keanekaragaman hayati flora dan fauna 23 kawasan

konservasi di Indonesia yang dikumpulkan dari berbagai sumber. ... 43 Tabel 7. Nilai skor kekayaan keanekaragaman hayati 23 kawasan konservasi ... 45 Tabel 8. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan hasil analisis

gerombol terhadap kekayaan jenis masing-masing kawasan... 48 Tabel 9. Sebaran taman nasional berdasarkan hasil Cluster dan PCA terhadap

kondisi sosek dan biologi. ... 73 Tabel 10. Sebaran taman nasional berdasarkan hasil PCA terhadap luas,

masukan, tekanan dan ancaman. ... 78

Tabel 11. Sebaran taman nasional berdasarkan hasil PCA terhadap masukan,

proses, keluaran dan perencanaan. ... 82 Tabel 12. Matriks kategorisasi karakteristik dan efektivitas pengelolaan 23

kawasan konservasi di Indonesia ... 84 Tabel 13. Kategori pengelolaan kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove.... 87 Tabel 14. Kategori pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang ... 91 Tabel 15. Kategori pengelolaan kawasan konservasi hutan pantai... 94


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia... 12

Gambar 2 Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 2003) ... 15

Gambar 3 Siklus pengelolaan dan evaluasinya (Hockings et. al. 2006) ... 16

Gambar 4 Alur penelitian efektivitas kebijakan pengelolaan kawasan konservasi... 23

Gambar 5 Lokasi 23 kawasan konservasi yang menjadi subyek penelitian. ... 25

Gambar 6 Grafik nilai penting karakteristik biologis kawasan konservasi di Indonesia. ... 41

Gambar 7 Grafik nilai penting karakteristik biologis di 23 kawasan konservasi ... 42

Gambar 8 Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan keanekaragaman hayatinya. ... 47

Gambar 9 Grafik nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi. 49 Gambar 10 Grafik nilai penting sosial ekonomi 23 kawasan konservasi. ... 50

Gambar 11 Jumlah pengunjung turis asing ke 23 kawasan konservasi ... 52

Gambar 12 Grafik tingkat tekanan dan ancaman dalam pengelolaan kawasan konservasi... 53

Gambar 13 Grafik nilai tekanan dan ancaman rata-rata kawasan konservasi... 54

Gambar 14 Grafik nilai beberapa karakteristik kerapuhan dalam pengelolaan kawasan konservasi... 56

Gambar 15 Tingkat kerapuhan rata-rata di 23 kawasan konservasi di Indonesia... 57

Gambar 16 Grafik nilai berbagai komponen dalam perencanaan kawasan konservasi... 59

Gambar 17 Grafik nilai perencanaan 23 kawasan konservasi.. ... 60

Gambar 18 Grafik nilai berbagai komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi... 62

Gambar 19. Grafik akumulasi nilai berbagai masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi... 63

Gambar 20. Grafik nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan kawasan konservasi... 65

Gambar 21. Grafik akumulasi nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan 23 kawasan konservasi... 66

Gambar 22. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan kawasan konservasi ... 68

Gambar 23. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan 23 kawasan konservasi. ... 68

Gambar 24. Grafik nilai efektivitas pengelolaan di 23 kawasan konservasi ... 70

Gambar 25 Grafik hasil PCA terhadap 23 kawasan konservasi berdasarkan kondisi umumnya. ... 71


(15)

Gambar 26 Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik sosial, ekonomi, biologi, dan tekanan dan ancaman. ... 72 Gambar 27. Grafik sebaran 23 kawasan konservasi dibandingkan dengan

masukan (anggaran), luasan dan ancaman masing-masing

kawasan konservasi... 76 Gambar 28. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik

tekanan dan ancaman, luas kawasan, dan besaran anggaran

pengelolaan. ... 77 Gambar 29. Grafik hasil PCA terhadap efektivitas pengelolaan 23 kawasan

konservasi... 80 Gambar 30. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Beberapa dasar hukum kebijakan pengelolaan lahan basah ... 104

Lampiran 2. Beberapa strategi nasional pengelolaan lahan basah. ... 108

Lampiran 3. Daftar istilah... 109

Lampiran 5. Nama-nama responden dari setiap kawasan konservasi ... 117

Lampiran 6. Hasil responden mengenai karakteristik pengelolaan 23 kawasan konservasi... 118

Lampiran 7. Hasil analisis diskriminan terhadap pengelompokan kawasan ... 123

Lampiran 8. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok rawa pantai dan mangrove...……….….. 126

Lampiran 9. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok terumbu karang..….127


(17)

Lahan basah pesisir menurut definisi dalam Konvensi Ramsar adalah daerah di pesisir yang tergenang air baik secara periodik maupun terus menerus termasuk perairan laut hingga kedalaman tidak lebih dari 6 meter saat surut terendah. Berdasarkan definisi tersebut yang termasuk dalam lahan basah pesisir meliputi mangrove, padang lamun, terumbu karang, dataran pasir dan lumpur, pantai berbatu, estuaria, rawa air tawar, rawa gambut pesisir, laguna, dan berbagai jenis lahan basah buatan. Luas lahan basah pesisir Indonesia yang memiliki nilai penting secara internasional tidak kurang dari 15 juta hektar, separuh dari luas seluruh daratan Malaysia (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004). Dengan jumlah tersebut Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang memiliki lahan basah pesisir terluas di Asia.

Lahan basah pesisir memiliki nilai penting secara ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Secara ekologis, daerah ini kaya akan nutrien yang menyebabkan banyak organisme yang melewati sebagian atau seluruh siklus hidupnya di lahan basah pesisir. Lahan basah pesisir Cagar Alam Hutan Bakau Timor di Jambi misalnya, setiap tahunnya disinggahi sekitar 20.000 burung migran dalam perjalanan migrasinya dari wilayah belahan bumi utara ke Australia dan Selandia Baru (National Wetlands Committee for SCS Project, 2004). Termasuk diantaranya burung air langka Trinil Lumpur Asia (Asian Dowitcher) yang dimasukkan dalam kategori

jarang dalam daftar International Union on Coservation of Nature and Natural

Resources (IUCN).

Secara ekonomi lahan basah pesisir menjadi tempat hidup berbagai spesies yang memiliki nilai ekonomis penting sebagai sumber pangan atau sebagai bahan baku industri. Sebuah studi nilai ekonomis yang dilakukan oleh Wetlands International – Indonesia Programme (WIIP) terhadap Taman Nasional Sembilang menunjukkan

bahwa nilai penggunaan langsung kawasan tersebut mencapai US$ 15.000.000 per


(18)

lebih penting lagi karena posisinya yang strategis sehingga menjadi jalur pelayaran penting, terutama di daerah estuari.

Secara sosial budaya lahan basah pesisir telah menjadi pilihan tempat bermukim masyarakat sejak ratusan tahun silam sehingga masyarakat membentuk karakteristik sosial yang khas untuk beradaptasi dengan lingkungan lahan basah pesisir. Hal tersebut ditunjukkan oleh munculnya berbagai tradisi, kesenian, termasuk cerita rakyat yang berhubungan dengan lahan basah pesisir.

Potensi lahan basah pesisir yang dimiliki Indonesia yang sedemikian besarnya tidak lantas menyebabkan upaya pengelolaannya menjadi lebih baik. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang terus menerus terganggu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelemahan pengelolaan tersebut. Akibatnya lahan basah pesisir menjadi salah satu daerah yang sangat rentan dalam menghadapi kerusakan alam baik yang disebabkan oleh manusia seperti perubahan iklim, pemanfaatan berlebih, pencemaran dari darat maupun laut dan akibat bencana alam seperti tsunami dan badai (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004). Kondisi ini jika dibiarkan terus, secara langsung akan menjadi ancaman bagi manusia. Hal tersebut disebabkan oleh karena fungsi dan nilai penting lahan basah seperti yang disebutkan di atas jika mengalami kerusakan akan menyebabkan lahan basah tidak bisa lagi menjadi sistem pendukung kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologis.

Sebaliknya, lahan basah pesisir yang sehat akan mendukung penyediaan pangan bagi manusia, menyediakan lingkungan yang sehat, memiliki fungsi mitigasi terhadap bencana alam dan akan membantu manusia dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan global. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perlindungan dan pemanfaatan secara bijaksana terhadap lahan basah pesisir harus merupakan bagian penting dalam kegiatan manusia.

1.2Efektivitas Kebijakan dan Pengelolaan Lahan Basah

Kebijakan dan pengelolaan lahan basah memiliki kerumitan tersendiri dibandingkan dengan kawasan lain di wilayah daratan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengelolaan lahan basah bersifat sangat kompleks yaitu: (1) terdiri dari berbagai


(19)

tipe ekosistem/habitat; (2) dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan; dan (3) dikelola oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholder). Lahan basah juga memiliki keterkaitan ekologis yang mencakup wilayah sangat luas bahkan melintasi batas negara. Akibatnya pengembangan kebijakan harus memperhatikan isu dari skala pengelolaan lokal, nasional, regional, hingga internasional.

Menyikapi hal tersebut di atas, berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan lahan basah pesisir. Perbaikan pun terus dilakukan untuk menjawab perubahan paradigma pengelolaan dan penemuan terbaru mengenai lahan basah. Salah satu perubahan mendasar kebijakan pengelolaan lahan basah di Indonesia adalah adanya proses desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam termasuk lahan basah. Perubahan tersebut ditandai dengan terbitnya Undang-undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan melalui Undang-undang No 32 Tahun 2004. Berbagai kebijakan yang diterapkan untuk mengelola lahan basah pesisir tentu saja berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemampuan lahan basah pesisir dalam dalam mempertahankan nilai dan fungsinya sebagai sistem penunjang kehidupan, pengawetan keaneragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari.

Minat masyarakat umum, LSM, lembaga donor, bahkan pemerintah daerah untuk mengetahui perkembangan pengelolaan kawasan konservasi belakangan ini juga semakin besar. Hal ini berkaitan erat dengan kecenderungan masyarakat yang semakin membutuhkan adanya akuntabiltas publik pada berbagai kegiatan yang berdampak pada masyarakat atau lingkungan, termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian multilateral yang berkaitan dengan pelestarian sumbedaya alam seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Konvensi Ramsar juga mensyaratkan adanya kegiatan penilaian tingkat keberhasilan konservasi dimasing-masing negara anggota.


(20)

1.3Perumusan Masalah

Wewenang pengelolaan kawasan konservasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia masih didominasi oleh pemerintahan pusat yaitu Departemen Kehutanan. Hingga saat ini, terdapat paling tidak 23 juta hektar luas kawasan konservasi di seluruh Indonesia yang berada dalam kewenangan Departemen Kehutanan. Sejarah keterlibatan negara yang diwakili oleh pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi telah dimulai paling tidak sejak tahun 1714 (Wiratno et.al., 2001).

Besarnya kewenangan Departemen Kehutanan dalam kegiatan konservasi secara nasional melahirkan rasa ingin tahu mengenai seberapa efektif implementasi kebijakan pengelolaan yang telah dilakukan selama ini. Hal ini merupakan tuntutan wajar karena minat maupun kesadaran akan hak-hak masyarakat semakin luas untuk terlibat aktif dalam konservasi sumberdaya alam. Sayangnya, hingga saat ini belum ada mekanisme yang memadai dalam mengevaluasi efektivitas kebijakan nasional dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang dihadapi dalam evaluasi kebijakan nasional di kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir di Indonesia atau disingkat menjadi “Kawasan Konservasi” adalah: ”Bagaimana mengukur dan mengetahui efektivitas kebijakan nasional dalam pengelolaan kawasan konservasi?”. Permasalahan inilah yang akan menjadi bahan kajian dalam penelitian.

Penelitian ini bersifat sebagai analisis retrospektif yang berorientasi pada

aplikasi atau lebih dikenal sebagai Application Oriented Analysis (Dunn, 2003). Oleh

sebab itu penelitian ini tidak akan mengevaluasi dan menguji landasan pelaksanaan kegiatan kawasan konservasi yang telah berjalan hampir 300 tahun lamanya dan kemungkinan konsekuensinya dimasa datang.

Analisis yang berorientasi pada aplikasi berusaha untuk menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan publik melalui pemantauan dan evaluasi hasil kebijakan publik. Hasil analisis selanjutnya dapat digunakan praktisi untuk merumuskan masalah kebijakan, mengembangkan alternatif dan rekomendasi arah tindakan untuk


(21)

memecahkan masalah (Dunn, 2003). Sejalan dengan hal tersebut penelitian ini difokuskan pada evaluasi hasil kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir.

1.4Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui status kawasan konservasi berdasarkan kondisi biologi, sosial,

ekonomi, dan tekanan dan ancaman yang dihadapi oleh kawasan konservasi.

2. Mengkaji efektivitas pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan nilai penting

pada setiap siklus pengelolaan yaitu perencanaan, masukan, proses, dan keluaran.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dominan dan mempengaruhi efektivitas

pengelolaan kawasan konservasi nasional yang memiliki lahan basah pesisir.

4. Memberikan rekomendasi strategi yang efektif dalam pengelolaan kawasan

konservasi.

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran kinerja pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah di Indonesia. Oleh sebab itu penelitian ini dapat membantu dalam melakukan evaluasi secara efektif terhadap pengelolaan sekaligus memberi masukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan efektif kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir secara nasional.

1.6Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini lebih ditujukan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi secara keseluruhan dan tidak dikhususkan pada satu taman nasional tertentu. Oleh sebab itu, penelitian ini dibatasi pada evaluasi terhadap pengelolaan di tingkat makro dengan menambahkan perhatian pada isu tertentu di tingkat meso. Dengan demikian, hasil evaluasi pada penelitian ini akan menghasilkan rekomendasi kebijakan di tingkat makro dengan beberapa rekomendasi khusus ditingkat meso.


(22)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Lahan Basah Pesisir

Terdapat banyak definisi yang dikembangkan untuk menyatakan lahan basah sebagai sebuah kesatuan ekosistem. Definisi tersebut bisa dibuat oleh pakar di bidang lahan basah untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, bisa juga oleh para pembuat kebijakan untuk tujuan pengelolaan. Hampir setiap negara maju bahkan memiliki definisi sendiri mengenai lahan basah menyesuaikan sistim hukum dan kebiasaan pengelolaan yang berkembang di negara masing-masing. Beberapa definisi yang dibuat oleh para penyusun kebijakan adalah:

1. Amerika Serikat, Clean Water Act no 404 (diamandemen 1977): “Wetlands

are areas that are inundated or saturated by surface or ground water at a frequency and duration sufficient to support, and that under normal circumstances do support, a prevalence of vegetation typically adapted for life in saturated soil conditions. Wetlands generally include swamps, marshes,

bogs, and similar areas”. (EPA, 2002).

2. Kanada, National Wetlands Working Group (1988): “Wetland in the land that

saturated with water long enough to promote wetland or aquatic process as indicated by poorly drained soil, hydrophytic, vegetation and various kinds of

biological activity which are adapted to a wet environment.”. (Warner dan

Rubec, 1997).

Sedangkan definisi lain yang dibuat oleh individu ahli lahan basah antara lain:

Hehanussa dan Haryani (2001): ”Daerah tanah basah sepanjang tahun atau lembab yang jenuh air dalam kondisi normal, mampu mendukung kehidupan tanaman hidrofilik”

Beranekaragamnya definisi tersebut menunjukkan bahwa lahan basah sangat kompleks dan dapat memiliki nilai dan fungsi yang sangat berbeda tergantung pada sudut pandang setiap orang yang melihatnya. Dengan sendirinya model pengelolaan lahan basah pun bisa menjadi sangat beragam.


(23)

Istilah ”lahan basah” sebagai terjemahan dari bahasa Inggris ”wetlands” baru dikenal di Indonesia sekitar tahun 1990. Sebelumnya masyarakat Indonesia menyebut kawasan lahan basah berdasarkan bentuk atau nama fisik masing-masing tipe lahan basah seperti: rawa, danau, sawah, tambak, dan sungai.

Istilah standar yang digunakan untuk berkomunikasi secara internasional diperkenalkan oleh sebuah lembaga internasional yaitu Biro Ramsar. Biro ini mengorganisasi pelaksanaan Konvensi Lahan Basah yaitu sebuah perjanjian antar pemerintah yang di adopsi pada tanggal 2 Februari 1971 di Kota Ramsar, Iran. Konvensi ini biasa ditulis sebagai ”The Convention on Wetlands (Ramsar, Iran, 1971)”, tapi lebih dikenal sebagai Konvensi Ramsar. Konvensi ini adalah perjanjian moderen pertama antar pemerintah dalam bidang konservasi dan pemanfaatan yang

bijaksana terhadap sumberdaya alam. Nama resmi konvensi ini adalah – The

Convention on Wetlands of International Importance especially as Waterfowl Habitat – yang menunjukkan bahwa awalnya konvensi ini ditujukan untuk melindungi lahan basah yang menjadi habitat burung air.

Selama bertahun-tahun konvensi ini kemudian berkembang dan meluaskan cakupan perhatiannya ke seluruh aspek lahan basah setelah disadari bahwa lahan basah sebagai kumpulan ekosistem yang sangat penting bagi konservasi keanekaragaman hayati secara umum, sekaligus penting untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, penyingkatan nama resmi tersebut menjadi hanya “Konvensi Lahan Basah” atau ”Konvensi Ramsar” menjadi lebih relevan karena burung air hanyalah bagian kecil dari isu yang diusung oleh Konvensi Lahan Basah. Dewasa ini terdapat sejumlah 144 negara yang telah menandatangani Konvensi Ramsar (Ramsar Convention, 2006).

Istilah lahan basah resmi yang digunakan di Indonesia tercantum dalam Keppres

mengenai ratifikasi Konvensi Ramsar. Definisi tersebut adalah: “Daerah-daerah

rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut

yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut.” Lahan basah


(24)

pulau-pulau atau laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada surut

terendah tetapi terletak di tengah lahan basah (Keppres No 48, 1991).

Beberapa produk kebijakan dan institusi yang bergerak dalam isu lahan basah sebagai kesatuan ekosistem masih belum menggunakan istilah/definisi lahan basah

sebagai mana mestinya. Meski demikian definisi yang paling luas digunakan

terutama jika menyangkut kerjasama internasional adalah definisi Konvensi Ramsar

(Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004).

Salah satu bagian dari lahan basah menurut definisi Konvensi Ramsar adalah lahan basah pesisir dan laut (marine/coastal wetlands) yang terdiri dari 12 jenis. Keduabelas jenis tersebut dapat ditemukan di Indonesia antara lain dataran lumpur atau pasir, terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan laguna. Beberapa produk kebijakan dan kajian ilmiah mengenai lahan basah pesisir memberi batasan yang lebih luas yaitu mencakup semua jenis lahan basah yang terletak dipesisir, termasuk rawa gambut pesisir (NWC for SCS, 2004). Istilah lahan basah pesisir juga digunakan dalam menjelaskan rawa gambut dan rawa air tawar disepanjang pesisir timur Sumatera dan Pesisir Kalimantan oleh Hisao Furukawa yang menulis buku mengenai “Coastal Wetlands of Indonesia” yang diterbitkan pada tahun 1994.

2.2Kawasan konservasi dan Fungsinya

Terdapat lebih dari 140 kategori kawasan konservasi yang dipakai di berbagai negara sehingga terdapat kesulitan dalam mengkomunikasikannya dari satu negara ke negara lain (IUCN, 1994). Oleh sebab itu IUCN menyusun pengelompokan kawasan konservasi menjadi enam kategori seperti berikut:

1. Strict Nature Reserve/Wildernes Area

2. National Park

3. Natural Monument

4. Habitat/Spesies Management Area

5. Protected Landscape/Seascape


(25)

Kategori kawasan konservasi yang dikembangkan IUCN ini merupakan hasil dari

proses panjang sejak diperkenalkannya definisi Taman Nasional (National Park)

pada tahun 1969.

Sedikit berbeda dengan pengelompokan kawasan konservasi yang diterapkan dalam IUCN, istilah ”kawasan konservasi” yang digunakan dalam tulisan ini merujuk pada “kawasan pelestarian alam” yang tercantum dalam Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan UU tersebut dapat dibuat batasan bahwa kawasan konservasi adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memelihara proses alami antara unsur hayati dan non hayati yang merupakan sistem penyangga kehidupan.

Kawasan konservasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: (1) kawasan pelestarian alam dan (2) kawasan suaka alam. Secara detail pembagian tersebut berdasarkan UU No 5 tahun 1990 bisa dijelaskan sebagai berikut:

1. Kawasan Suaka Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam ada dua macam yaitu (1) Cagar Alam dan (2) Suaka Margasatwa yang biasanya lebih ditujukan untuk perlindungan satwa.

2. Kawasan Pelestarian Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam ada tiga macam yaitu: (1) Taman Nasional; (2) Taman Hutan Raya; dan (3) Taman Wisata Alam.

Ketentuan mengenai kawasan konservasi cukup detail dijelaskan dalam UU No 5 Tahun 1990, tetapi beberapa peraturan perundang-undangan lain membuat klasifikasi atau istilah yang berbeda. Undang-undang No 41 tahun 1999 menggunakan istilah ”kawasan hutan konservasi” yang dibagi dalam tiga jenis


(26)

kawasan yaitu: hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Undang-undang no 24 Tahun 1994 mengenai Penataan Ruang membagi tiga jenis kawasan yaitu (1) Kawasan lindung; (2) Kawasan budidaya; dan (3) Kawasan dengan peruntukan khusus.

Istilah yang juga sering digunakan adalah Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 yang menggunakan istilah ”kawasan lindung” dan membaginya dalam 4 jenis yaitu:

1. Kawasan yang memberikan perlindungan di bawahnya

2. Kawasan perlindungan setempat

3. Kawasan rawan bencana alam

4. Kawasan suaka alam dan cagar budaya.

Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut terkadang menjadi kendala tersendiri dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen yang kuat dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda. Beberapa upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam beberapa level pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat program dapat terjadi kompromi.

2.3Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Memiliki Lahan Basah Pesisir

Pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir nasional, yang dalam tulisan ini disingkat ”kawasan konservasi”, berada dalam tanggung jawab pemerintah pusat yaitu Departemen Kehutanan. Meski demikian, baik-buruknya kondisi dan pengelolaan kawasan konservasi juga sangat tergantung pada kondisi diluar kawasan konservasi yang pengelolaannya berada dibawah pemerintah daerah, departemen-departemen sektor lainnya dalam pemerintahan, kalangan swasta, dan masyarakat umum. Dengan demikian tujuan pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa berdiri sendiri tetapi mempertimbangkan kepentingan di daerah-daerah sekeliling kawasan konservasi.

Tujuan pengelolaan kawasan konservasi diturunkan dari kriteria fungsi kawasan yang terdapat dalam Undang-undang No 5. Tahun 1990 yaitu sebagai


(27)

pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi tersebut adalah (Nitibaskara, 2005):

1. Terwujudnya kegiatan pengelolaan kawasan konservasi dan potensi sumberdaya

alam hayati dan ekosistemnya berazaskan kelestarian.

2. Terjaganya fungsi kawasan konservasi yang optimal bagi kemakmuran

masyarakat di dalam dan di sekitarnya,

3. Terkendalinya keseimbangan populasi flora dan fauna hidupan liar dan

proses-proses alami di dalam maupun di luar kawasan konservasi.

4. Terkendalinya pemanfaatan flora dan fauna hidupan liar, jasa wisata alam dan

lingkungan secara bijaksana dan berkelanjutan untuk kepentingan pembangunan dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.

5. Terwujudnya pola kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan

konservasi dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang terdapat di dalam kawasan konservasi.

Selama sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan besar-besaran dalam paradigma pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini antara lain dipicu oleh munculnya issu pengelolaan yang baru maupun penemuan-penemuan ilmiah berkaitan dengan sifat biosfisik seperti perubahan iklim. Perubahan tersebut terjadi di semua tingkat pengelolaan, internasional, regional, nasional, dan daerah (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004).

Perubahan signifikan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia terjadi dalam 5 tahun terakhir yaitu melalui proses desentralisasi pemerintahan. Proses ini dengan sendirinya menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani berbagai konvensi internasional. Hal ini antara lain tercermin dalam salah satu semboyan terkenal yang dihasilkan dari Konverensi Rio 1992 adalah ”think globally, act locally”. Artinya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus bisa melakukan harmonisasi kegiatan dalam memasukkan issue global dalam pengelolaan di tingkat daerah (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah,


(28)

2004). Secara umum keterkaitan berbagai isu dan pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi lahan dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1 Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Sumber: Rudianto dan

Sartono, 2004, Komunikasi Pribadi

Gambar 1 menunjukkan bagaimana isu pengelolaan di tingkat nasional dan internasional dirangkum untuk menjadi kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya hayati (Rudianto dan Sartono, 2004, Komunikasi Pribadi). Kebijakan tersebut selanjutnya diadopsi dan dikembangkan menjadi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi oleh Departemen Kehutanan.

Kebijakan Nasional

Isu Nasional dan Lokal Isu Regional

dan

Internasional

Departemen Kehutanan

Kawasan konservasi Lahan

Basah Pesisir Pemerintah

Pusat (Departemen

Sektor)

Masyarakat Adat/Lokal Akademisi

dan Peneliti

Sektor Swasta

Pemerintah Daerah Kawasan Penyangga


(29)

Gambar 1. juga memperlihatkan bahwa disekeliling kawasan konservasi terdapat berbagai pemangku kepentingan lain yang juga melakukan kegiatan pengelolaan misalnya: masyarakat lokal yang memungut hasil hutan, pemerintah daerah yang membangun pasar, dan departemen sektor dari pemerintah pusat yang membangun instalasi pengairan. Keseluruhan kegiatan tersebut akan berpengaruh baik langsung maupun tidak ke dalam kawasan konservasi. Oleh sebab itu, pengelolaan terpadu menjadi hal yang mutlak untuk mencapai keseimbangan antara kegiatan konservasi dan pemanfaatan oleh semua pemangku kepentingan.

Kompleksnya persoalan konservasi disikapi pemerintah dengan mengembangkan berbagai kebijakan termasuk pengelolaan lahan basah nasional yang melibatkan banyak pihak. Penelitian ini akan memfokuskan pada kebijakan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan lahan basah yang menempatkan Departemen Kehutanan menjadi pemangku kepentingan utama. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian ini difokuskan pada ”kawasan konservasi” yang pengelolaannya didominasi oleh pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan. Kebijakan nasional yang dimaksud terdiri atas dasar-dasar hukum yaitu paling tidak 10 Undang-undang, 12 Peraturan Pemerintah, 4 Keputusan Presiden, 5 kebijakan nasional berupa Strategi dan Rencana Aksi Nasional seperti yang disajikan dalam Lampiran 1 dan 2.

Secara struktural organisasi pengelolaan kawasan konservasi khususnya taman nasional ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No P.03/Menhut-II/ 2007. Posisi tertinggi dalam pengelolaan adalah Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen) dengan dibantu oleh beberapa Direktur yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan makro pengelolaan kawasan konservasi. Posisi menengah adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan meso bagi taman nasional masing-masing. Posisi selanjutnya adalah Kepala Bidang (Balai Besar) atau Kepala Seksi yang mengeluarkan kebijakan skala mikro mengenai wilayah atau topik kerjanya masing-masing.


(30)

2.4Efektivitas Pengelolaan

2.4.1Pengertian dan Tujuan

Istilah ”pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir” atau disingkat pengelolaan kawasan konservasi, merupakan segala upaya sistematis yang dengan sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam mengelola lahan basah pesisir dalam kawasan konservasi. Kegiatan pengelolaan bisa merupakan pelaksanaan atau aksi dari sebuah “kebijakan” dalam diagram analisis kebijakan Dunn (2003) yang berorientasi pada masalah. Prosedur analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah menggunakan metode pemantauan dan evaluasi untuk memahami aksi kebijakan dan hasil-hasilnya.

Prosedur ini terletak di paruh sebelah kiri dalam diagram analisis kebijakan dan secara umum disebut sebagai analisis kebijakan yang bersifat retrospektif (Gambar 2). Prosedur pemantauan dan evaluasi dilakukan sebagai bagian dari analisis kebijakan untuk memahami ”apa yang terjadi dan perbedaan apa yang dibuat” dari sebuah kebijakan (Dunn, 2003). Hal yang sama dilakukan dalam penelitian ini dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan.

Secara umum, kegiatan pengelolaan sebagai aksi dan hasil-hasil kebijakan dapat digambarkan sebagai sebuah siklus dari 5 isu seperti yang ditunjukkan dalam

Gambar 3 meliputi: (1) Konteks yang berisi status dan ancaman yang kemudian

melahirkan visi pengelolaan; (2) Perencanaan; (3) Masukan; (4) Proses pengelolaan;

(5) Keluaran; dan (6) Hasil (Hockings et al., 2006). Beberapa istilah-istilah

pengelolaan kawasan konservasi dalam tulisan ini seperti konteks, keluaran, dan hasil

adalah istilah yang diadopsi dari Bahasa Inggeris. Istilah aslinya bisa ditelusuri dalam Daftar Istilah seperti disajikan dalam Lampiran 3. Evaluasi efektivitas pengelolaan adalah hal yang mutlak diperlukan untuk mengetahui apakah kegiatan yang dilakukan telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan sehingga tujuan dapat dicapai atau tidak. Evaluasi dirasakan semakin


(31)

perlu belakangan ini ketika prinsip akuntabilitas menjadi isu yang tidak terpisahkan dalam hampir setiap kegiatan yang bersinggungan dengan kepentingan publik.

Gambar 2 Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 2003) Pelaksanaan evaluasi efektivitas pengelolaan bukan hal yang mudah terutama ketika pihak pengelola menganggap proses evaluasi sebagai proses ”penyidikan”

(Hockings et.al., 2006). Oleh sebab itu, penting untuk menetapkan tujuan evaluasi

sebagai alat untuk membantu pengelola dalam pekerjaannya, bukan sebagai sebuah cara untuk memata-matai atau menghukum para pengelola yang kinerjanya kurang.

Kinerja Kebijakan

Perumusan Masalah

Aksi Kebijakan

Masalah Kebijakan

Hasil-hasil Kebijakan

Masa Depan Kebijakan

Perumusan Masalah

Peru-musan Masa-lah

Peru-musan Masa-lah

Peramalan

Rekomendasi Pemantauan


(32)

Gambar 3 Siklus pengelolaan dan evaluasinya (Hockings et. al. 2006)

Semua pihak yang terlibat dalam proses evaluasi sebaiknya memahami bahwa evaluasi harus senantiasa dilihat sebagai sesuatu yang positif dan merupakan proses normal untuk mendukung kegiatan pengelolaan. Bagaimanapun juga, lembaga donor, LSM, dan masyarakat umum, punya hak untuk mengetahui pencapaian sasaran dan tujuan pengelolaan kawasan konservasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa hasil evaluasi tersebut juga sangat dibutuhkan untuk tujuan-tujuan advokasi (Hockings

et.al., 2006). Oleh sebab itu terdapat paling tidak tiga tujuan evaluasi efektivitas

pengelolaan yaitu: (1) Mempromosikan pengelolaan yang adaptif; (2) Meningkatkan kualitas perencanaan kegiatan; (3) Mempromosikan akuntabiltas. Ketiga tujuan ini selanjutnya akan diupayakan tercapai secara utuh melalui hasil evaluasi yang dilakukan dengan baik.

Konteks (status dan

ancaman) Visi - Misi

Evaluasi

Perencanaan Hasil

(Outcome)

Masukan Keluaran

(Output)

Proses Pengelolaan


(33)

2.4.2 Mekanisme Evaluasi

Pelaksanaan evaluasi dilakukan pada semua tahap dalam siklus pengelolaan sehingga dapat menjawab serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan 3 hal yaitu (kotak 4):

1. Rancangan isu meliputi (1) konteks, di mana saat ini kita berada, dan (2)

perencanaan, yaitu dimana kita seharusnya berada.

2. Kesesuaian sistem dan proses-proses pengelolaan meliputi (1) masukan, apa

yang dibutuhkan, dan (2) proses, yaitu bagaimana kita mencapainya.

3. Pencapaian tujuan-tujuan kawasan konservasi meliputi (1) keluaran, apa yang

telah dilakukan dan produk dan jasa yang dikeluarkan, dan (2) hasil, yaitu apa yang sudah dicapai.

Evaluasi yang dilakukan berdasarkan pada pencapaian tujuan merupakan penilaian yang paling bermanfaat untuk menilai langsung tujuan-tujuan nyata pengelolaan yang sudah ditetapkan dalam kebijakan ditingkat nasional, daerah, dan lokasi. Sebagai konsekuensinya, penilaian ini membutuhkan informasi jangka panjang mengenai kondisi keanekaragaman hayati, budaya, sosial, dan dampak pengelolaan pada masyarakat setempat. Penilaian berdasarkan pencapaian merupakan ujian yang sebenarnya dalam menilai efektivitas pengelolaan (Hockings

et.al. 2006). Hal yang sama juga dilakukan dalam penelitian ini dengan

memfokuskan penelitian pada penilaian pencapaian tanpa meninggalkan evaluasi terhadap aspek pengelolaan lainnya yang relevan dengan penelitian.

Sejak tahun 1990an beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui prosedur penilaian efektivitas pengelolaan. Studi-studi terakhir mengenai hal tersebut antara lain adalah:

1 Ervin (2003) dari WWF menyusun sebuah pendekatan yang disebut Rapid

Assesment and Prioritization Protected Area Management disingkat RAPPAM.

Pendekatan digunakan secara luas di seluruh dunia terutama karena sifatnya yang praktis. Indikator yang digunakan relatif mudah untuk diadaptasi pada setiap kawasan konservasi meski dengan karakteristik yang berbeda-beda.


(34)

2 Pomeroy et. al (2004) dari MPA Management Effectivennes Initiative WCPA-IUCN (MPA-MEI) mengembangkan metodologi untuk kawasan konservasi laut. Dibandingkan RAPPAM, pendekatan yang digunakan oleh MPA MEI lebih luas dan menyeluruh sehingga cenderung sulit untuk diaplikasikan secara utuh. Studi menggunakan metoda dari MPA-MEI ini pernah dilakukan sebelumnya oleh Abbot (2003), tapi hanya mengaplikasikan indikator tata laksana yang baik bagi pengelolaan kawasan konservasi laut untuk daerah perlindungan burung di Northern Mariana Island, Pasifik

3 Staub dan Hatziolos (2004) dari World Bank mengembangkan metodologi yang

lebih praktis dibandingkan metodologi MPA-MEI IUCN dan RAPPAM.

4 Belfiore et. al (2003), dari UNESCO mengembangkan metodologi untuk menilai

efektivitas pengelolaan pesisir. Aplikasi dan efektivitas metode ini tidak diketahui secara luas karena tidak ada lembaga khusus yang ”mengawal” studi tersebut hingga tahap ujicoba.

Berbagai pilihan pendekatan tersebut diatas memiliki kelemahan dan kekuatan masing-masing sehingga penggunaannya pun tergantung pada kondisi yang ditemui dilapangan. Penelitian ini memilih untuk menggunakan RAPPAM karena dianggap lebih mudah diaplikasikan untuk kawasan konservasi di Indonesia yang memiliki karakteristik sangat bervariasi.

2.4.3 Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management

Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management (RAPPAM)

dikembangkan berdasarkan hasil kajian sebuah gugus tugas yang diberi mandat oleh Komisi Kawasan Konservasi Dunia (WCPA) mengenai kerangka kerja umum dalam menilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara konsisten. Kerangka kerja umum yang dikeluarkan oleh WCPA didasarkan penilaiannya pada 6 tahapan dalam siklus pengelolaan yaitu: konteks, perencanaan, masukan, proses, keluaran, dan hasil seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 sebelumnya. RAPPAM adalah salah satu metodologi yang berusaha menjabarkan secara konkrit kerangka kerja umum yang


(35)

telah dikembangkan WCPA tersebut. Kuesioner RAPPAM dapaat dilihat pada Lampiran 4.

Metode ini telah dikembangkan selama periode 4 tahun dan telah diuji dan dipertajam di sekitar 7 negara (Ervin 2003, Goodman, 2003). Sampai saat ini lebih dari 24 negara telah menggunakannya antara lain untuk menguji jaringan kawasan konservasinya seperti Buthan, China, Finlandia, Russia, Kwazulu-Natal.

Penggunaan RAPPAM yang semakin meluas di seluruh dunia membuat pendekatan ini menjadi kaya dengan modifikasi-modifikasi untuk menyesuaikan dengan situasi masing-masing. Brazil dengan menggunakan RAPPAM berhasil mengidentifikasi 3 kebijakan umum yang diakui akurat oleh para pengelola kawasan konservasi yaitu: (1) dalam bidang pengelolaan/kelembagaan yang merekomendasikan restrukturisasi pengelola berdasarkan kompetensi masing-masing staf dan membentuk mekanisme insentive untuk kegiatan yang ramah lingkungan disekitar kawasan konservasi; (2) dalam bidang konservasi direkomendasikan pembentukan patroli bersama dan pemberian insentive untuk pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola secara pribadi; dan (3) dalam bidang keuangan direkomendasikan pembentukan team yang baru untuk pengelolaan kawasan konservasi (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo, 2004).

Kamboja adalah salah satu negara yang telah menerapkan RAPPAM untuk mengevaluasi pengelolaan kawasan konservasi di daerahnya. Kamboja menghasilkan 11 rekomendasi kebijakan yang menekankan pentingnya hubungan antar lembaga dan

antar wilayah yang sinergi satu sama lain (Lacerda et al. 2004).

Ruang Lingkup Rekomendasi RAPPAM

Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi bisa dibagi ke dalam beberapa tingkatan kebijakan pengelolaan mulai dari tingkat nasional yang mengelola beberapa kawasan konservasi sekaligus hingga tingkat pengelolan spesies dalam sebuah kawasan konservasi. Kebijakan pengelolaan tersebut jika mengacu pada struktur organisasi pengelolaan kawasan konservasi yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No P. 03/Menhut-II/2007 dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:


(36)

tingkatan makro, meso, dan mikro. Kebijakan operasional tertinggi adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan kebijakan operasional terendah dikeluarkan oleh Kepala Bagian/Seksi Konservasi Balai Taman Nasional. Rincian pembagian tingkatan pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan makro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan

yaitu melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 1.

2. Kebijakan meso adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional

dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 2 atau eselon 3.

3. Kebijakan mikro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional

dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 3 atau eselon 4.

Pendekatan RAPPAM dapat bekerja lebih baik pada penyusunan kebijakan di level makro sebab RAPPAM didesain untuk melakukan pembandingan diantara setiap kawasan konservasi yang beraneka ragam karakteristiknya (Ervin, 2003). Pendekatan RAPPAM membantu kita dengan mudah mengetahui ancaman apa yang dihadapi oleh sejumlah kawasan konservasi dan seberapa serius ancaman tersebut; kawasan konservasi mana yang lebih baik dalam hal infrastruktur dan kapasitas pengelolanya.

Kelebihan-kelebihan RAPPAM untuk membantu penyusunan kebijakan di tingkat makro tidak berlaku pada penyusunan kebijakan mikro. RAPPAM bisa digunakan untuk mengetahui nilai penting dan efektivitas pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Meski demikian RAPPAM tidak memadai untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang adaptif terhadap kondisi detail kawasan konservasi yang dinilainya. Oleh sebab itu maka rekomendasi kebijakan makro yang dihasilkan RAPPAM harus ditindak lanjuti dengan mengidentifikasi kebutuhan detail masing-masing kawasan untuk peningkatan kapasitas tersebut, misalnya training pengelolaan modal usaha kecil atau magang bagi staf ke luar negeri.


(37)

ini?

Menilai tingkat kepentingan, ancaman dan kebijakan lingkungan

kita berada? Penilaian Rancangan dan Rencana Kawasan konservasi.

dibutuhkan? Penilaian sumberdaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengelolaan.

mencapai tujuan? Menilai cara pengelolaan dilakukan.

Penilaian pelaksanaan program dan aksi pengelolaan; hasil produk dan jasa.

dicapai?

Penilaian hasil dan sejauh mana tujuan-tujuan yang ditetapkan dapat di capai.

Kriteria yang Dinilai

Nilai penting Ancaman Kerentanan Konteks Nasional

Peraturan perundang-undangan dan kebijakan. Rancangan sistem kawasan konservasi

Penyediaan sumberdaya lembaga Penyediaan sumberdaya lokasi Mitra-mitra

Kesesuaian proses-proses pengelolaan

Hasil-hasil aksi pengelolaan Jasa dan produk

Dampak: Pengaruh pengelolaan dalam kaitannya dengan tujuan.

Fokus Evaluasi Status Kesesuaian Sumberdaya Kesesuaian – Efisiensi

Efektivitas Kesesuaian - Efektivitas


(38)

3.1 Kerangka Pemikiran

Keterlibatan negara yang diwakili pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi telah dimulai sejak hampir 300 tahun yang lalu. Hingga saat ini pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan memiliki kewenangan mengelola hingga 23 juta hektar kawasan konservasi diseluruh Indonesia. Seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat, isu yang melingkupi kegiatan konservasi pun menjadi sedemikian besar dan kompleks. Isu tersebut berupa isu internasional seperti tanggung jawab terhadap perlindungan lingkungan global, isu nasional seperti distribusi kewenangan pengelolaan pusat dan daerah, dan isu lokal seperti pemanfaatan sumberdaya kawasan konservasi bagi masyarakat.

Berbagai isu yang mengiringi pengelolaan kawasan konservasi harus dikelola secara secara cermat agar fungsi dan tujuan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari dapat tetap dipenuhi. Departemen Kehutanan sebagai wakil pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi dituntut untuk melakukan implementasi kebijakan yang efektif dan transparan. Oleh sebab itu upaya evaluasi terhadap efektivitas pengelolaan menjadi sangat penting untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dalam aksi kebijakan dan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Hasil evaluasi yang transparan juga akan membantu masyarakat luas yang ingin memberikan kontribusi aktif dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini bisa disajikan menjadi skema seperti dalam Gambar 4. Kerangka pemikiran tersebut dimulai dari kenyataan bahwa kebijakan konservasi nasional disusun sebagai respon terhadap berbagai isu. Kebijakan tersebut kemudian dilaksanakan antara lain melalui pengelolaan Taman Nasional yang bertujuan untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, mengawetkan sumberdaya hayati, dan menyediakan sumberdaya untuk dimanfaatkan secara lestari. Evaluasi terhadap


(39)

efektivitas pengelolaan dilakukan untuk memperbaiki kegiatan pengelolaan maupun kebijakan konservasi nasional.

Gambar 4 Alur penelitian efektivitas kebijakan pengelolaan kawasan konservasi. Tulisan yang ditebalkan adalah kegiatan utama dalam penelitian yaitu mengumpulkan data RAPPAM, menganalisis data untuk mengetahui efektivitas, dan menyusun rekomendasi strategi pengelolaan Kawasan konservasi.

Strategi Pengelolaan Taman Nasional

Isu Internasional Isu Nasional

Isu Lokal

1. Perlindungan sistem penyangga

kehidupan.

2. Pengawetan sumberdaya hayati

3. Pemanfaatan berkelanjutan

Kebijakan Konservasi Nasional

Kesesuaian

Rapid Assessment of Protected Area

Management (RAPPAM)

Informasi Efektivitas Pengelolaan

Pencapaian Rancangan


(40)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mengkaji pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir dengan pendekatan studi kasus pada 23 Taman Nasional di seluruh Indonesia. Proses penelitian mulai dari pengisian kuesioner hingga analisis data dilakukan di Bogor, antara lain di kantor Pusat Informasi Konservasi Alam Departemen Kehutanan dan Wetlands International - Indonesia Programme.

Penelitian berlangsung antara tahun 2004 hingga Juni 2006 meliputi 3 kegiatan utama yaitu: (1) Pengumpulan informasi awal di Pusat Informasi Konservasi Departemen Kehutanan tahun 2004; (2) Analisis data antara tahun 2005 hingga Juni 2006; dan (3) Penyusunan laporan Juni hingga September 2006.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian deskriptif – korelasional untuk menggambarkan secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nazir, 1983 dalam Harahap, 2001). Fakta-fakta yang terjadi dilapangan diklasifikasikan dan dicatat sebagai variabel-variabel yang memiliki nilai berupa skala kuantitatif.

Metode penelitian ini menggunakan informasi dari 23 Taman Nasional yang mewakili kawasan konservasi lahan basah pesisir di Indonesia seperti disajikan dalam Gambar 5. Pemilihan Taman Nasional ditujukan karena fungsinya yang lebih terpadu dibandingkan kawasan konservasi lainnya (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) yaitu adanya fungsi pemanfaatan secara berkelanjutan. Fungsi-fungsi lain yang diemban Taman Nasional menurut UU No 5/1990 adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati. Pengumpulan fakta dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan variabel yang telah ditentukan sebelumnya menggunakan kuesioner (RAPPAM) yang dikembangkan oleh World Wildlife Fund for Nature (WWF).


(41)

Gambar 5 Lokasi 23 kawasan konservasi yang menjadi subyek penelitian.


(42)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Terdapat dua jenis data dalam penelitian ini yaitu Data Primer dan Data Sekunder. Data primer diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh Balai Taman Nasioanl dalam bentuk hasil isian kuesioner RAPPAM. Pengisian kuesioner dilakukan pertama kali di masing-masing Balai Taman Nasional. Hasil isian tersebut kemudian dievaluasi dan diisi kembali (disempurnakan) oleh masing-masing Balai Taman Nasional dalam sebuah workshop pengelolaan Taman Nasional di BOGOR tahun 2004.

Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Balai Taman Nasional atau Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam yang mengelola Taman Nasional yang memiliki lahan basah pesisir. Jabatan Kepala Balai diisi oleh individual yang terpilih melalui

proses seleksi yang ketat dalam suatu sistem Personnel Assesment Centre (PAC)

Departemen Kehutanan (Rudianto dan Sartono, 2007: Komunikasi Pribadi). Kualifikasi individu yang menduduki posisi tersebut antara lain.:

- Masa kerja rata-rata 16 tahun dengan pangkat III C atau III D.

- Berada pada posisi senior dalam daftar urut kepangkatan

- Telah lulus dalam kursus dasar konservasi dan kursus pengelolan konservasi

- Telah lulus dalam diklat pembina administrasi menengah dan madya

- Pernah menjadi pejabat eselon dibawahnya, termasuk sebagai asisten Park

Manager.

Kualifikasi yang disebutkan diatas menyebabkan Kepala Balai memiliki memiliki kompetensi dan memahami dengan baik isu-isu yang berkembang di lokasi kerjanya masing-masing sehingga dapat menjadi responden dalam pengisian kuesioner RAPPAM. Nama-nama responden setiap kawasan konservasi disajikan dalam Lampiran 5.

Pemilihan kawasan konservasi dalam penelitian ini dibatasi pada kawasan konservasi yang lahan basah pesisirnya memiliki jumlah atau fungsi yang signifikan bagi kawasan konservasi. Untuk itu pemilihan kawasan konservasi didasarkan pada paling tidak dua kriteria utama yaitu:


(43)

1. Secara kualitatif (kriteria Ramsar): Memiliki ekosistem lahan basah pesisir terutama mangrove, terumbu karang, dan padang lamun yang merupakan perwakilan ekosistem di wilayah kawasan konservasi tersebut berada. Kawasan tersebut juga harus memiliki nilai penting bagi kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat lokal dan memiliki nilai penting biologis secara internasional.

2. Kuantitatif: Memiliki garis pantai yang cukup panjang (> 20 km)

Tabel 2. Kawasan konservasi yang dipilih sebagai responden penelitian beserta nilai penting lahan basah pesisirnya.

No Kawasan konservasi Provinsi Kekayaan Lahan Basah Pesisir 1 Siberut Sumatera Barat Hutan pantai, pantai berbatu, mangrove 2 Berbak Jambi Rawa gambut, mangrove

3 Sembilang Sumatera Selatan Rawa pesisir, mangrove 4 Way Kambas Lampung Mangrove

5 Ujung Kulon Banten Mangrove, terumbu karang, lamun 6 Kepulauan Seribu DKI Terumbu karang, padang lamun 7 Karimun Jawa Jawa Tengah Terumbu karang, mangrove, padang

lamun

8 Baluran Jawa Timur Hutan pantai, rawa pesisir

9 Alas Purwo Jawa Timur Hutan pantai, pantai berbatu, mangrove, lokasi selancar dan surving

10 Meru Betiri Jawa Timur Hutan pantai, pantai berbatu, mangrove, lokasi peneluran penyu

11 Bali Barat Bali Mangrove, terumbu karang, lamun 12 Komodo Nusa Tenggara Timur Mangrove, terumbu karang, lamun. 13 Manupeu Tanadaru Nusa Tenggara Timur Pantai berbatu, garis pantai > 20km 14 Tanjung Puting Kalimantan Tengah Mangrove

15 Kutai Kalimantan Timur Mangrove 16 Gunung Palung Kalimantan Barat Mangrove

17 Taka Bonerate Sulawesi Selatan Terumbu karang, lamun 18 Wakatobi Sulawesi Tenggara Terumbu karang, lamun 19 Rawa Aopa Sulawesi Tenggara Mangrove

20 Bunaken Sulawesi Utara Terumbu karang, lamun 21 Teluk Cenderawasih Papua Terumbu karang, lamun 22 Wasur Papua Rawa pesisir, mangrove 23 Lorentz Papua Rawa pesisir, mangrove


(44)

Berdasarkan kriteria tersebut terpilih 23 kawasan konservasi yang merupakan perwakilan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir di Indonesia yang menyebar dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Kedua puluh tiga kawasan konservasi tersebut disajikan dalam Tabel 2.

Penelitian ini juga menggunakan data sekunder diperoleh dari Laporan Tahunan Balai Taman Nasional yang berisi informasi kondisi biofisik, ancaman kerusakan, dan beberapa data sosial seperti jumlah kunjungan dan kelembagaan mitra Taman Nasional. Data ini diperoleh dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHKA) Departemen Kehutanan. Data lain adalah Laporan Akuntabiltas Tahunan PHKA yang berisi evaluasi internal tentang kinerja PHKA diperoleh dari Dirjen PHKA serta data-data laporan proyek mitra Taman Nasional yang memiliki informasi relevan dengan daerah yang diteliti.

3.5 Metode Analisis Data

Tahapan penelitian yang dilakukan mengikuti rekomendasi metode RAPPAM yang dikembangkan oleh WWF. Metode RAPPAM sebetulnya menggunakan pemikiran-pemikiran dasar Hocking (2006) dalam menilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Hanya saja metode ini membatasi penilaiannya hingga tahap keluaran (Output), dan tidak sampai pada tahap hasil (outcome) sebagaimana yang disarankan oleh Hockings. Tahapan-tahapan RAPPAM tersebut adalah sebagai berikut:

Tahap 1. Menentukan cakupan penilaian

Tahap 2. Menilai data dan informasi yang tersedia

Tahap 3. Melakukan penilaian cepat dan pengisian kuesioner. Tahap 4. Mengkaji hasil temuan.

Tahap 5. Menemukan langkah lanjutan dan rekomendasi

Dalam penelitian ini, tahap 1, 2, dan sebagian tahap 3 telah mulai dilakukan dalam penyiapan proposal penelitian. Sehingga inti proses yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah tahap 3 dan tahap 4.

Tahap tiga dilakukan dengan menyusun kuesioner berupa kumpulan indikator yang akan ditentukan nilainya dalam bentuk skor berdasarkan data dan informasi


(45)

sekunder sedangkan pengisian dilakukan oleh pengelola Taman Nasional. Terdapat 104 butir pertanyaan yang menjadi acuan dalam RAPPAM dalam upaya memahami efektivitas pengelolaan kawasan konservasi.

Tahap tiga yang merupakan tahap inti penelitian ini adalah analisis terhadap data dan informasi yang telah disusun berdasarkan kuesioner seperti disajikan dalam Lampiran 6. Selanjutnya, data dan informasi tersebut akan dianalisis sebagai berikut:

3.5.1 Analisis Tekanan dan Ancaman

Istilah “tekanan” dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hal-hal yang telah memberikan dampak yang merusak pada keutuhan kawasan konservasi seperti berkurangnya keanekaragaman hayati, terhambatnya kemampuan berkembang biak, dan berkurangnya luas kawasan. Ancaman didefinisikan sebagai hal-hal yang mungkin/akan menekan kawasan konservasi sehingga bisa berdampak buruk bagi keutuhan kawasan. Tekanan dan ancaman bisa berupa kegiatan legal maupun ilegal, yang langsung ataupun tidak langsung berdampak pada kawasan konservasi yang. Terdapat 14 jenis kegiatan yang merupakan tekanan dan ancaman terhadap keutuhan kawasan konservasi antara lain perambahan kawasan, penebangan liar, dan pariwisata.

Informasi dari penilaian ancaman dan tekanan terdiri dari 4 bagian yaitu: (1) kecenderungan; (2) luasan; (3) tingkatan dampak; dan (4) lamanya dampak. Kecenderungan merupakan indikasi apakah tekanan yang terjadi semakin meningkat atau menurun dalam lima tahun terakhir dan kecenderungan ancaman untuk terjadi sangat mungkin atau tidak. Luasan menunjukkan cakupan dampak terhadap kawasan konservasi seperti menyebar, terpusat, keseluruhan. Tingkatan dan lamanya dampak menunjukkan tinggi rendahnya dampak dan permanen tidaknya tekanan dan ancaman tersebut.

Informasi tersebut disajikan dengan menggunakan paling tidak dua grafik yaitu: (1) grafik yang menunjukkan sebaran tingkat tekanan dan ancaman disetiap kawasan dan (2) perbandingan tingkat tekanan dan ancaman pada masing-masing jenis. Tingkat tekanan dan ancaman masing-masing jenis dibandingkan satu sama lain untuk


(46)

mengetahui dominansi relatif suatu jenis terhadap jenis yang lain dilakukan dengan menggunakan grafik.

3.5.2 Analisis Nilai Penting Kondisi Biologi, Sosial dan Ekonomi

Seperti halnya analisa tekanan dan ancaman, informasi mengenai nilai penting kondisi biologi, sosial, dan ekonomi akan disajikan dengan menggunakan grafik untuk memahami (1) pola tingkatan nilai penting setiap indikator serta (2) penyebarannya disetiap kawasan konservasi.

Nilai penting biologi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 10 kriteria antara lain: (1) Jumlah relatif spesies langka, terancam punah, maupun genting; (2) Jumlah relatif keanekaragaman jenis; (3) Keberadaan spesies-spesies endemik; (4) Fungsi kawasan dalam melindungi proses alami sistem pendukung kehidupan; dan (5) Keterwakilan type ekosistem yang langka.

Tabel 3. Penentuan ranking nilai penting biologis kawasan konservasi berdasarkan kekayaan spesies dan tipe ekosistem.

Kriteria dan Bobot Total Jumlah Jenis dan Bobot Nilai

1-100 101-200 200-400 401-600 >600 Ikan 18%

4% 7% 11% 15% 18% 1 – 50 51 – 100 101-150 151-250 >250

Burung 18%

4% 7% 11% 15% 18% 1 – 100 101 – 200 201-300 301-400 >400

Tanaman 6%

1% 2% 3% 5% 6%

1 – 20 21 – 100 101 – 200 201 – 300 >300 Karang 12%

2% 4% 6% 10% 12% 1 – 20 21 – 50 51 – 100 101 – 150 > 150

Mamalia 6%

1% 2% 3% 5% 6%

1 – 20 21 – 50 51 – 80 81 – 110 > 110 Reptil - Ampibi 12%

2% 4% 6% 10% 12%

1 2 3 4 -

Type Lahan Basah 18%

4% 8% 12% 18% - 1 – 6 7 – 10 > 10 - -

Spesies Terancam 10%

3% 5% 10% - -


(47)

Penelitian ini juga menganalisis informasi kondisi biologis 23 kawasan konservasi yang diperoleh dengan mengkompilasi hasil survey-suvey kekayaan keanekaragaman hayati di berbagai taman nasional berupa jumlah jenis flora, fauna, jumlah type ekosistem lahan basah, dan nilai penting internasional kawasan yang diwakili oleh jumlah jenis yang terancam. Analisis dilakukan untuk menentukan ranking nilai penting kondisi biologis setiap taman nasional.

Penentuan nilai ranking dilakukan dengan menentukan skor nilai untuk setiap kelas jumlah jenis dan jumlah tipe ekosistem. Nilai skor ini kemudian dibobotkan dan diakumulasikan untuk memperoleh ranking setiap taman nasional. Nilai pembobotan yang digunakan mengadopsi metode yang sama yang dilakukan oleh UNEP/GEF South China Sea Project untuk menentukan site lahan basah pesisir prioritas yang berlokasi di Laut China Selatan. Metode tersebut disajikan dalam Tabel 3.

Nilai penting sosial ekonomi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 10 kriteria antara lain: (1) Masyarakat sekitar memiliki ketergantungan tinggi pada kawasan konservasi sebaga sumber penghidupan sehari-hari; (2) Kawasan konservasi memiliki nilai spiritual/keagamaan yang tinggi; (3) Kawasan memiliki jenis-jenis satwa atau tumbuhan yang bernilai sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat tinggi; dan (4) Kawasan memiliki nilai yang sangat penting bagi kegiatan pendidikan dan penelitian ilmiah.

Nilai penting sosial ekonomi lain yang diamati dalam penelitian ini diambil dari data sekunder berupa data kunjungan wisata dan penerimaan devisa negara dari penjualan satwa lahan basah pesisir. Informasi data sekunder tersebut digunakan sebagai bahan pembanding terhadap data yang diperoleh dari kuesioner RAPPAM.


(48)

3.5.3 Analisis Efektivitas Pengelolaan

Kajian mengenai efektivitas pengelolaan dilakukan pada empat aspek pengelolaan kawasan konservasi yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Efektivitas diukur berdasarkan tingkat pencapaian yang diperoleh oleh pengelolaan kawasan konservasi pada masing-masing kriteria yang diamati.

Efektivitas Perencanaan

Efektivitas perencanaan mengukur tiga kriteria umum yaitu: (1) penetapan tujuan; (2) kepastian hukum, dan (3) desain tapak kawasan konservasi. Efektivitas penetapan tujuan menilai sampai sejauh mana tujuan penetapan kawasan konservasi telah mencakup semua keunikan kawasan dan keperluan untuk mempertahankan keunikan tersebut. Efektivitas penetapan tujuan tersebut juga mencakup penilaian tingat pemahaman pengelola kawasan dan masyarakat disekitar kawasan terhadap tujuan penetapan kawasan konservasi.

Efektivitas kepastian hukum antara lain menilai kuat tidaknya dasar hukum penetapan kawasan konservasi, ada tidaknya persoalan berkaitan dengan kepemilikan lahan dan hak ulayat. Kepastian hukum juga menilai sampai sejauh mana pengelola memiliki hak untuk melakukan upaya-upaya penegakan hukum dalam wilayah kawasan konservasi.

Efektivitas desain tapak kawasan menilai kesesuaian desain tapak terhadap tujuan penetapan kawasan konservasi. Desain tapak juga harus mendukung berfungsinya upaya-upaya pengelolaan kawasan secara efektif termasuk keterkaitannya dengan daerah-daerah sekelilingnya.

Efektivitas Masukan

Efektivitas masukan mengukur 4 kriteria umum yaitu: (1) jumlah dan kualitas staff pengelola; (2) ketersediaan data dan komunikasi; (3) ketersediaan infrastruktur; dan (4) kecukupan pendanaan pengelolaan. Efektivitas jumlah dan kualitas staf diukur dengan melihat pemenuhan jumlah staf dibandingkan dengan luasan area dan


(49)

kesesuaian isu. Efektivitas staf juga menilai tingkat pemenuhan kebutuhan staf seperti gaji, fasilitas kerja, prestise, dan peningkatan kemampuan.

Efektivitas penyediaan data dan komunikasi mengukur ketersediaan saluran komunikasi yang efektif antara petugas lapangan dan kantor, maupun dengan masyarakat sekitar. Hal lain yang juga diukur adalah mekanisme yang memadai untuk melakukan pengumpulan dan pemrosesan data kawasan konservasi.

Efektivitas ketersediaan infrastruktur mengukur ketersediaan sarana dan prasarana transportasi, bangunan, serta berbagai peralatan lain untuk mengelola kawasan konservasi. Efektivitas intervensi juga mencakup adanya kegiatan perawatan yang memadai terhadap fasilitas yang ada dan ketersediaan fasilitas yang memadai bagi pengunjung kawasan konservasi.

Efektivitas pendanaan mengukur pemenuhan kebutuhan pendanaan selama 5 tahun terakhir dan ketersediaan dana selama 5 tahun kedepan. Kestabilan pendanaan dalam jangka panjang dan kesesuaian alokasi pendanaan dan kebutuhan juga menjadi karakteristik yang diukur untuk memahami efektivitas pendanaan.

Efektivitas Proses

Efektivitas proses pengelolaan mengukur 3 kriteria umum yaitu: (1) ketersediaan rencana detail strategi pengelolaan; (2) mekanisme pengambilan keputusan; (3) kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi. Efektivitas rencana detail strategi pengelolaan diukur dengan melihat ada tidaknya kajian kondisi terkini kawasan yang kemudian dijadikan acuan penyusunan rencana kegiatan. Efektivitas juga diukur dengan melihat apakah hasil monitoring rutin menjadi dasar evaluasi perencanaan.

Efektivitas proses pengambilan keputusan dilakukan dengan melihat transparansi proses pengambilan keputusan internal pengelola kawasan konservasi. Pengambilan keputusan yang efektif juga dinilai dengan melihat sampai sejauh mana masyarakat sekitar kawasan terlibat aktif dalam proses tersebut.

Efektivitas kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi diukur dengan melihat apakah dampak kegiatan legal maupun ilegal terhadap kawasan konservasi terdata


(50)

dengan baik atau tidak. Kegiatan yang efektif juga ditunjukkan oleh kesesuian kegiatan penelitian dengan isue-isue ekologi dan sosial ekonomi yang berkembang dalam kawasan konservasi. Hasil-hasil penelitian, monitoring, dan evaluasi juga harus dengan mudah diakses oleh berbagai kalangan untuk tujuan perbaikan pengelolaan kawasan.

Keluaran

Keluaran pengelolaan kawasan konservasi adalah pencapaian didapatkan selama 2 tahun terakhir melalui kerja keras staf, sukarelawan, dan masyarakat dalam mengelola kawasan konservasi. Pencapain tersebut diukur dengan membandingkan dengan tekanan dan ancaman, tujuan pembentukan kawasan, dan rencana kerja pengelolaan kawasan. Terdapat sepuluh kriteria pencapaian yang diukur antara lain: (1) pencapain dalam mencegah, mendeteksi, dan menegakkan hukum; (2) pencapaian dalam pelaksanaan rehabilitasi dan mitigasi kerusakan; dan pencapaian dalam kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi kegiatan.

Informasi efektivitas pengelolaan yang diperoleh dari RAPPAM kemudian disajikan dalam bentuk grafik untuk melihat kecenderungan pencapaian setiap aspek pengelolaan dan penyebaran pencapaian disetiap kawasan konservasi. Dengan demikian akan terdapat paling tidak 4 kelompok grafik yang masing-masing menjelaskan kecenderungan masing-masing aspek pengelolaan tersebut dan 1 grafik untuk menjelaskan kumulatif keempat aspek pengelolan tersebut pada setiap kawasan konservasi.

3.5.4 Analisis Multivariabel

Salah satu analisis penting yang dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan penelitian ini adalah analisis multivariabel. Analisis-analisis sebelumnya dilakukan pada ancaman dan tekanan, nilai penting dan kerentanan, dan efektivitas pengelolaan yang dibuat secara terpisah-pisah sehingga belum memadai untuk memahami gambaran umum mengenai faktor-faktor yang dominan mempengaruhi efektivitas pengelolaan sekaligus menilai tingkat efektivitas pengelolaan saat ini. Oleh sebab itu dibutuhkan pendekatan yang dapat memasukkan semua informasi yang diamati secara


(51)

bersamaan ke dalam satu analisis tunggal untuk melihat hubungan antara informasi tersebut.

Analisis multivariabel yang akan digunakan dalam penelitian ini Analisis

Komponen Utama (AKU, Principle Component Analysis) yang diambil dari publikasi

Ludwig and Reynolds (1988). Penggunaan AKU dapat membantu untuk mereduksi

kerumitan dimensi ruang representasi data tanpa harus kehilangan banyak informasi. Analisis komponen utama akan mendeterminasi dimensi ruang yang paling tepat sehingga dapat menyajikan informasi lebih baik. Hasil analisis multivariabel inilah yang antara lain menjadi dasar pemilihan prioritas strategi pengelolaan dengan menyesuaikan pada kondisi terkini kawasan konservasi dan menyelaraskannya dengan berbagai strategi pengelolaan ekosistem yang telah ada.

Aplikasi AKU dalam penelitian ini akan dilakukan dengan mengorganisasi data

ke dalam 23 kolom j unit taman nasional (TN) dan sebanyak “n” baris i untuk kriteria

taman nasional (KTN) seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Matriks data Taman Nasional dan kriteria penilaiannya Kawasan konservasi Kriteria Penilaian

Utama

Sub Kriteria

TN 1 TN 2 TN 3 … TN 23

Total nilai baris (j) Pencemaran

perairan

x1.1 x1.2 X1.3 .. X1.23 r1 Destructive

fishing

x2.1 r2

Tekanan dan Ancaman

…dst x3.1 r3

Spesies langka ..

Nilai agama

Nilai Penting dan Kerentanan Biologi, Sosial, dan Ekonomi

…dst Penegakam hukum Dukungan masyarakat Efektivitas

Pengelolaan

…dst xi.1 xi.23 Ri Total nilai kolom (i) c1 c2 c3 .. c23 T = ∑c = ∑r


(52)

Penghitungan matriks kesamaan KTN (mode R) dilakukan dengan mengalikan

matriks A dengan matriks transposenya (At) seperti berikut:

NxS t SxN SxS A A

R =

Sedangkan penghitungan matriks kesamaan TN (mode Q) dilakukan dengan mengalikan matriks seperti berikut:

SxN NxS t NxN A A

Q =

Matriks kesamaan mode R dan mode Q masing-masing bisa digunakan secara terpisah untuk mengetahui koordinat dan korelasi dalam Analisis Komponen Utama. Hasil yang diperoleh pun sama sehingga dalam penilitian ini digunakan matiks kesamaan mode R.

Tahap 3. Menghitung akar ciri dan vektor ciri R

Akar ciri matriks R yang dilambangkan sebagai λ dapat diperoleh dengan

menggunakan persamaan berikut:

0 = − SxS

SxS I

R λ

dimana I adalah matriks identitas.

Vektor ciri matriks R yang dilambangkan sebagai ui berasosiasi dengan akar ciri

dan dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan seperti berikut:

i i i u

Ru =

λ

Tahap 4. Normalisasi vektor ciri

Normalisasi vektor ciri dilakukan sedemikian rupa sehingga nilai perkaliannya = 1.

utiui = 1

Tahap 5. Menghitung korelasi KTN

Korelasi antar kriteria taman nasional atau koordinatnya, v, dapat dihitung dengan

membandingkannya dengan vektor ciri, u, seperti berikut:

vi = ui√λi

dalam notasi matriks, persamaan diatas bisa dituliskan sebagai berikut:


(53)

Dimana V adalah korelasi kriteria taman nasional dengan taman nasionalnya

sedangkan Λ adalah matriks dengan nilai λi pada diagonalnya dan nol pada nilai

lainnya.

Tahap 6. Menghitung koordinat TN

Koordinat KTN diperoleh dengan mengalikan matriks transpose A dengan vektor ciri korespondennya yang dalam matriks notasi dituliskan sebagai berikut:

YNx3 = AtNxS Usx3

Dimana baris Y adalah koordinat untuk taman nasional pada 3 sumbu pertama AKU.

3.5.5 Analisis Gerombol

Karakteristik yang diamati dalam pendekatan RAPPAM adalah karakteristik pengelolaan kawasan konservasi secara luas yang terdiri dari beberapa kawasan konservasi. Meski RAPPAM bisa diterapkan pada satu kawasan konservasi tunggal pendekatan RAPPAM tidak dirancang untuk memberikan rekomendasi kebijakan setingkat kawasan konservasi tunggal (Ervin, 2003). Oleh sebab itu rekomendasi kebijakan yang dihasilkan juga bersifat rekomendasi untuk sekumpulan kawasan konservasi yang diamati, tidak dikhususkan pada kawasan konservasi tertentu.

Kawasan konservasi yang diamati dalam penelitian ini sangat beragam sehingga dilakukan analisis gerombol (cluster analysis) untuk mengelompokkan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik biologisnya. Pengelompokan tersebut selanjutnya digunakan untuk menerjemahkan setiap rekomendasi umum yang diperoleh dari RAPPAM menjadi rekomendasi yang sesuai untuk masing-masing kelompok kawasan konservasi dengan ciri khasnya masing-masing.

Analisis gerombol dilakukan dengan mengelompokkan sejumlah pengamatan

ke dalam dua atau lebih kelompok berdasarkan jarak euclidean yang diperoleh dengan

membandingkan nilai karakteristik masing-masing titik pengamatan (kawasan

konservasi). Jarak euclidean antara dua titik pengamatan (p,q) dapat digambarkan


(1)

Lampiran 7. Hasil analisis diskriminan terhadap pengelompokan kawasan konservasi

dengan menggunakan software Minitab.

Diskriminan Analisis Karakteristik Biology

Linear Method for Response: C1

Predictors: fish Birds Plants Corals Mammals Amphibian Wetlands

Group 1 2 3 Count 8 13 2

Summary of Classification

Put into ....True Group.... Group 1 2 3 1 8 0 0 2 0 13 0 3 0 0 2 Total N 8 13 2 N Correct 8 13 2 Proportion 1.000 1.000 1.000

N = 23 N Correct = 23 Proportion Correct = 1.000

Squared Distance Between Groups 1 2 3 1 0.000 34.834 170.628 2 34.834 0.000 119.851 3 170.628 119.851 0.000

Linear Discriminant Function for Group 1 2 3

Constant -16.329 -14.006 -80.444 fish 0.853 -0.283 1.030 Birds -0.310 1.872 4.601 Plants -0.299 0.782 -3.040 Corals 1.536 0.527 -0.933 Mammals 0.360 0.395 2.396 Amphibian -0.775 0.298 9.137 Wetlands 1.258 -0.215 -5.247

Discriminant Analysis Anggaran – Luas - Ancaman

Linear Method for Response: Kawasan Predictors: Anggaran Luas Ancaman

Group 1 2 3 Count 9 6 8

Summary of Classification

Put into ....True Group.... Group 1 2 3 1 8 0 0 2 0 6 0 3 1 0 8 Total N 9 6 8 N Correct 8 6 8 Proportion 0.889 1.000 1.000


(2)

Squared Distance Between Groups 1 2 3 1 0.0000 7.5912 11.7148 2 7.5912 0.0000 6.9577 3 11.7148 6.9577 0.0000

Linear Discriminant Function for Group 1 2 3

Constant -1.5272 -1.1949 -1.6992 Anggaran 2.2034 -1.4296 -1.4066 Luas -0.1261 0.8073 -0.4637 Ancaman -2.1807 -0.7837 3.0410

Summary of Misclassified Observations

Observation True Pred Group Squared Probability Group Group Distance

1 ** 1 3 1 4.213 0.313 2 7.726 0.054 3 2.800 0.633

Discriminant Analysis

Perencanaan - Masukan - Proses - Keluaran

Linear Method for Response: C1 Predictors: C2 C3 C4 C5

Group 1 2 3 Count 2 8 12

Summary of Classification

Put into ....True Group.... Group 1 2 3 1 2 0 0 2 0 8 0 3 0 0 12 Total N 2 8 12 N Correct 2 8 12 Proportion 1.000 1.000 1.000

N = 22 N Correct = 22 Proportion Correct = 1.000

Squared Distance Between Groups 1 2 3 1 0.000 42.026 112.215 2 42.026 0.000 27.373 3 112.215 27.373 0.000

Linear Discriminant Function for Group 1 2 3

Constant -34.295 -3.957 -3.099 C2 7.206 2.459 -2.642 C3 2.205 4.442 -2.567 C4 12.959 1.718 -2.607 C5 11.551 2.813 -2.999

Discriminant Analysis

Sosial/Ekonomi – Ancaman - Biologi

Linear Method for Response: C1 Predictors: C2 C3 C4


(3)

Count 4 3 7 9

Summary of Classification

Put into ....True Group....

Group 1 2 3 4 1 4 1 0 0 2 0 2 0 0 3 0 0 6 0 4 0 0 1 9 Total N 4 3 7 9 N Correct 4 2 6 9 Proportion 1.000 0.667 0.857 1.000

N = 23 N Correct = 21 Proportion Correct = 0.913

Squared Distance Between Groups

1 2 3 4 1 0.0000 8.2490 15.5731 21.3763 2 8.2490 0.0000 27.3653 15.1561 3 15.5731 27.3653 0.0000 10.0156 4 21.3763 15.1561 10.0156 0.0000

Linear Discriminant Function for Group 1 2 3 4 Constant -4.3307 -5.0875 -2.3390 -1.6120 C2 3.4010 0.8792 0.7699 -2.4035 C3 4.2540 6.1936 -3.4998 -1.2332 C4 1.4604 -1.2593 1.3095 -1.2478

Summary of Misclassified Observations

Observation True Pred Group Squared Probability Group Group Distance

6 ** 2 1 1 2.723 0.527 2 2.975 0.465 3 14.114 0.002 4 11.645 0.006 13 ** 3 4 1 19.230 0.000 2 20.725 0.000 3 3.379 0.330 4 1.966 0.670


(4)

Lampiran 8. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok rawa pantai dan mangrove

Keterangan: Warna merah adalah kawasan prioritas untuk intervensi pengelolaan yaitu Ujung Kulon, Kutai, dan Rawa Aopa


(5)

Lampiran 9. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok terumbu karang

Keterangan: Warna merah adalah kawasan prioritas untuk intervensi pengelolaan yaitu Karimun Jawa, dan Teluk Cenderawasih


(6)

Lampiran 10. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok hutan pantai

Keterangan: Warna merah adalah kawasan prioritas untuk intervensi pengelolaan yaitu Siberut. Baluran, dan Manupeu Tanadaru