Hasil Penelitian T2 322012002 BAB III

73 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Hasil Penelitian

Sistem Peradilan Pidana Anak Juvenile Justice System adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman. Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak. Dalam menjalankan tugasnya kepolisian diberikan kewenangan diskresi discretionary power. 74 Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal di mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian dapat mengalihkan diversion terhadap suatu perkara anak sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara formal. Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Resort Tegal menyatakan bahwa pada dasarnya kasus yang dilaporkan ke Polres Tegal tidak semua berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan. Ketika penyidikan dilakukan, terkadang antara pihak korban dan pelaku melakukan perdamaian seperti pada tahun 2013 dari beberapa kasus namun hanya sebagian kecil berkasnya yang disampaikan ke kejaksaan. Biasanya perdamaian ini terjadi karena bantuan pihak ketiga seperti tokoh adat atau tokoh masyarakat. Perdamaian itu biasanya disertai ganti rugi yang ditandai dengan kesepakatan antara korban dan pelaku. Terkadang pihak kepolisian dilibatkan dan tidak dilibatkan namun apabila perkara tersebut sudah diselesaikan secara damai biasanya pihak korban, pelaku dan tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang terlibat datang melapor ke Polres Tegal. Namun apabila kasus pencabulan dimana korban atau orang tua korban tidak bersedia melakukan perdamaian dengan adanya surat 75 pernyataan yang ditandatangani oleh orang tua korban maka kasus ini akan diteruskan ke kejaksaan 1 . Pada tahap ini kewenangan polisi dalam mengalihkan diversi perkara anak demi keadilan restributif telah terjadi dimana terjadi penurunan kasus pada tahun 2013. Berarti ada beberapa kasus yang mengalami diversi. Dari beberapa kasus yang diteruskan ke kejaksaan dapat dikatakan kewenangan diskresi belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak. Fakta ini menunjukkan kepolisian belum menggunakan kewenangan diskresinya dalam menangani perkara anak. Alasan pihak kepolisian tidak menggunakan kewenangan diskresi mereka secara maksimal dikarenakan ada beberapa kasus anak yang wajib mereka teruskan ke kejaksaan seperti kasus pencabulan pemerkosaan dan narkoba. Sedangkan untuk kasus tindak pidana ringan seperti kasus pencabulan biasa, penganiayaan atau pencurian biasanya dilakukan diversi 2 . Sebagaimana dikemukakan Kanit PPA Polres Tegal, bahwa: “Untuk diversi biasanya dilakukan pada kasus tindak pidana ringan atau kasus penganiayaan atau pencurian. Namun untuk kasus pencabulan atau 1 Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014 2 Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014 76 narkoba semua dilimpahkan. Namun biasanya yang pelakunya anak harus diupayakan perdamaian. Perdamaian biasanya disarankan oleh penyidik, digelar dulu dengan pakar hukum di Polresta dan keputusannya diambil dalam sidang rapat dan biasanya tidak ada tenggang waktu berapa lama untuk proses perdamaian” 3 . Pendapat Kanit PPA Polres Tegal ini diperkuat dengan membaca Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam konteks penanganan perkara anak, tidak ada pasal-pasal yang secara khusus mengatur kewenangan diskresi. Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur tindakan dan metode untuk menangani anak yang melanggar hukum pidana. Pasal 16 ayat 1 menetapkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas dalam bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan; ... h. mengadakan penghentian penyidikan. Selanjutnya Pasal 18 ayat 1 menyatakan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ketentuan tersebut dapat menjadi acuan bagi 3 Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014 77 polisi untuk mengambil tindakan diskresi, namun penggunaan kewenangan ini belum jelas ditujukan dalam menangani perkara apa. Beijing Rules mengatur kewenangan diskresi melalui mekanisme pengalihan. Butir 11.1 menyatakan pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang berkompeten. Selanjutnya Butir 11.2 menetapkan polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara- perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing- masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturan-peraturan ini. Langkah ini diperlukan karena menurut Butir 13.1 dinyatakan bahwa penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir. Dan menurut Butir 13.2 dinyatakan di mana mungkin, penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan langkah-langkah alternatif, seperti penga- wasan secara dekat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada suatu tempat atau rumah pendidikan. Ketentuan ini diatur oleh Konvensi Hak Anak Pasal 37 huruf b yang mewajibkan negara untuk 78 menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Konstruksi hukum serupa dapat ditemukan pada Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 14 ayat 4 yang menyatakan dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. Berdasarkan ketentuan tersebut, kepolisian mempunyai kewenangan dan kebijakan tersendiri dalam menentukan apakah kasus anak tersebut dapat diselesaikan melalui pengalihan atau tidak seperti kasus pencabulan dan narkoba yang biasanya diteruskan ke penuntutan. Apabila diversi berhasil dilakukan maka akan dilakukan pemulihan. Namun jika diversi tidak berhasil atau kepolisian berdasarkan kewenangannya menyatakan bahwa kasus tersebut harus diterukan maka proses akan dilanjutkan dengan pelimpahan berkas ke kejaksaan. Namun terkadang dalam melaksanakan tugasnya, kepolisian bahkan tidak menawarkan diversi dan restorative justice. Selain itu pihak keluarga korban juga tidak bersedia melakukan perdamaian yang ditandai dengan adanya surat pernyataan diatas 79 materai yang meminta pelaku dihukum seberat- beratnya. Berdasarkan temuan di lapangan, tidak dilakukannya diversi dan restorative justice secara maksimal oleh kepolisian di Polres Tegal dikarenakan kemampuan pihak polisi sendiri dalam memahami konsep ini masih kurang sehingga dalam penerapannya jarang dilakukan kecuali pihak keluarga korban atau keluarga pelaku yang melakukan perdamaian diluar kepolisian. Sehubungan dengan hal tersebut, Kapolres Tegal mengatakan bahwa: Memang dalam beberapa perkara yang melibatkan anak sebagai pelakunya, terutama kasus-kasus yang kerugian materiilnya kecil, antara korban dan pelaku lebih memilih penyelesaiannya melalui jalan perdamaian, karena mereka merasa lebih memperoleh kemudahan dan tidak berlarut-larut. Misalnya di dalam kasus perkara penganiayaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh Tersangka anak yakni dalam Laporan Polisi Nomor LPB259VIII2013Res.Tgl tertanggal 28 Agustus 2013, di mana yang melaporkan adalah Sarah Matahelumual binti Warja, tanggal lahir 07 Oktober 1964 pekerjaan ibu rumah tangga agama Kristen, alamat Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal yang melaporkan bahwa pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 pukul 16.30 WIB di belakang rumah Sdri. Surip Desa Dukuhsalam RT 80 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal terjadi tindak pidana melakukan kekerasan terhadap anak yakni korban Samuel Matahelumual bin Abraham Yosep Matahelumual umur 12 tahun pelajar SD, agama Kristen alamat desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal yang dilakukan oleh Tersangka Panggi bin Rasman umur 17 tahun, pekerjaan pelajar, agama Islam, pelajar SMK, alamat desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal. Kejadian yang dilaporkan Pelapor adalah bahwa pada saat korban sedang bermain bersama teman-temannya di belakang rumah Sdri Surip tiba-tiba korban didatangi oleh Tersangka dari arah sungai dan langsung mendorong sehingga terjengkang kemudian ditendang perutnya dan ditampar hingga merasakan sakit. Dalam perkara penganiayaan yang tersang- kanya adalah berusia anak, maka pihak kepolisian Resor Tegal mengadakan pendekatan Restorative Justice yakni dengan melakukan pendekatan kepada keluarga korban dan keluarga pelaku. Usaha ini berhasil dilaksanakan dengan adanya surat pernyataan dari kedua belah pihak yang isinya adalah sebagai berikut : Yang bertandatangan di bawah ini a. Nama :Sarah M.binti Warja Tempat tanggal lahir : Tegal, 07 Oktober 1964 81 Pekerjaan : Ibu rumah Tangga Alamat : Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal Disebut sebagai pihak kesatu b.Nama : Nursitin binti Sanusi Tempat tanggal lahir : Tegal, 21 Januari 1961 Pekerjaan : Swasta Alamat : Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal Disebut sebagai Pihak kedua merupakan orang tua dari tersangka Sdr. Panggi bin Rasman Pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 sekira pukul 16.30 WIB di belakang rumah Sdri Surip tepatnya di sekitar sungai Kaligung turut desa Dukuhsalam Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal telah terjadi tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh anak dari pihak kedua yang bernama Sdr. Panggi bin Rasman terhadap korbananak dari pihak kesatu yang bernama Sdr. Samuel Matahelumual bin Abraham Yosef dan atas kejadian ini antara kedua belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan jalan kekeluargaan, serta kedua belah pihak menyatakan: 82 1. Bahwa pihak kedua tidak akan mengulangi perbuatannya seperti tersebut di atas baik terhadap pihak kesatu maupun terhadap pihak lain 2. Pihak kedua meminta maaf atas perbuatannya tersebut di atas kepada Pihak kesatu dan Pihak kesatu menerima serta memberikan maaf kepada Pihak Kedua 3. Pihak kedua bersedia dilakukan proses hukum yang berlaku jika mengingkari surat pernyataan ini. 4. Pihak kedua dan pihak kesatu telah sepakat untuk tidak saling memprovokasi tentang permasalahan ini 5. Apabila di kemudian hari pihak kedua mengulangi perbuatan tersebut terhadap pihak kesatu maka pihak kedua bersedia diproses secara hukum Sesuai dengan tanggapan dari Kasat Reskrim Polres Tegal, yang mengatakan bahwa: Mengingat kasus yang ditangani oleh penyidik Polres Tegal cukup banyak, maka untuk efisiensi dan kecepatan penanganan perkara, memang ada beberapa kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku, penyidik menerapkan konsep keadilan restoratif yang tentunya dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dari berbagai aspek, misalnya kerugian yang ditimbulkan kecil, tidak me-nimbulkan korban jiwa, dan yang paling penting kedua belah pihak sepakat untuk diselesaiikan secara kekeluargaan 4 . 4 Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014 83 Hal yang sama juga dikemukakan para Penyidik, yang mengatakan bahwa: Dalam menangani kasus yang pelakunya anak-anak memang ada beberapa kasus yang kami selesaikan dengan kekeluargaan, itupun atas permintaan kedua belah pihak yang telah sepakat untuk menyelesaikannya secara damai, tapi tidak semua kasus anak yang kami tangani kami selesaikan secara kekeluargaan, terutama kasus- kasus yang menjadi atensi pimpinan seperti curanmor, penganiayaan berat tetap kami proses sesuai ketentuan yang berlaku. Berdasarkan uraian dan fakta-fakta di atas tentunya kenyataan di lapangan seseorang yang menjalani pemidanaan pada lembaga pemasya- rakatan yang tujuannya memberikan efek jera, ternyata setelah kembali ke masyarakat, orang yang bersangkutan justru terdidik menjadi pelaku tindak pidana jenis lain, bahkan dalam banyak kasus, orang yang telah menjalani pemidanaan tetap saja mengulangi perbuatan pidana atau recidive pada masa datang. Hal ini juga telah menjadi pertimbangan sendiri terhadap efektivitas pemidanaan dalam sistem hukum pidana, sehingga perlu dicari cara lain yang lebih dapat menjamin penyelesaian kasus pidana secara efektif dan efisien, serta lebih memenuhi prinsip keadilan. Cara penyelesaian perkara pidana dimaksud adalah dengan pendekatan keadilan restoratif. 84 Dalam praktiknya penyidikan terhadap perkara pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku di Polres Tegal, banyak pihak yang terlibat pelaku dan korban serta masyarakat lebih cenderung memilih penerapan konsep keadilan restoratif, karena dianggap tidak memakan waktu yang lama dan prosesnya tidak berbelit-belit. Hal ini menjadi pertimbangan bagi pihak penyidik untuk memberikan ruang bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidananya diluar pengadilan, namun kewenangan untuk melakukan penegakkan hukum tetap berada di pihak Kepolisian. Sebagaimana penegasan Pasal 13 huruf b Undang- undang Nomor 2 Tahun 2002 yang berbunyi Tugas Pokok Polri adalah menegakkan hukum. Namun tidak menutup kemungkinan bagi kepolisian untuk bertindak diluar ketentuan hukum yang berlaku demi kepentingan umum. Berdasarkan pasal 18 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 justru kepolisan diberikan peluang untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri untuk kepentingan umum. Di bawah ini disajikan data perkara tindak pidana anak di Polres Tegal dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 dalam tabel sebagai berikut : 85 Tabel 3.1. Data Perkara Tindak Pidana Anak di Polres Tegal Tahun 2013 No Jenis Tindakan Pidana Pasal yang dilanggar Penyelesaian Keterangan 1 Kekerasan terhadap anak Pasal 80 UUPA Restorative Justice Keluarga pelaku meminta maaf 2 Pencurian HP olah anak 16th Pasal 362 KUHP diversi kekeluargaan 3 Perkelahian anak Pasal 80 UUPA Restorative justice damai 4 Pengrusakan sepeda motor oleh anak 16 th Pasal 406 KUHP Restorative justice Korban memaafkan 5 Perkelahian anak Pasal 80 UUPA Anak Restorative Justice damai 6 Kekerasan sesama anak Pasal 80 UUPA diversi Korban memaafkan 7 Perkelahian antar anak Pasal 170 KUHP Diversi Mediasi 8 Pencurian oleh anak Pasal 362 KUHP Diteruskan ke kejaksaan Mall menolak damai 9 Pencabulan oleh anak Pasal 81, 82 UUPA diproses Ancaman 5 th 10 Pemerasan oleh anak Pasal 368 KUHP Dilanjutkan peradilan Kejahatan berat 11 Pencurian helm oleh anak Pasal 362 KUHP Dikembalikan kepada orang tua Orang tua pelaku tergolong keluarga tidak mampu sehingga tidak mampu mengembalikan kerugian korban Sumber: Unit PPA Polres Tegal 86 Pada kasus kejahatan anak di bawah umur tidak semuanya dapat didamaikan secara restorative justice diversi. Dan sebagian kasus kejahatan yang dilakukan anak sebagian diteruskan ke kejaksaan sehingga kewenangan diskresi belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak yang bermasalah dengan hukum. Fakta ini menunjukkan bahwa kepolisian belum menggunakan kewenangan diskresinya dalam penanganan anak, dengan alasan pihak kepolisian tidak dapat menggunakan kewenangan diskresinya secara maksimal dikarenakan beberapa kasus anak yang berhadapan hukum wajib diteruskan ke kejaksaan seperti pemerkosan, pemerasan, Narkoba, curanmor, sedangkan untuk beberapa kasus yang ringan dapat dilakukan perdamaian secara restorative justice Retorative justice yang berlandaskan pada hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh keadilan restorasi yang berlandaskan pemulihan terhadap korban. Teori hukum progresif berupa usaha untuk mengubah paradigma legalistic yang sudah terdogma dalam pemikiran aparat penegakan hukum untuk tidak hanya berpedoman pada teks hukum belaka. 87 Tabel 3.2. Data Kejahatan Anak Tahun 2010-2013 di Polres Tegal No Saran Petugas Tahun 2010 2011 2012 2013 Jml 1 Diberikan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku 8 12 5 16 41 27.7 2 Diberikan pidana bersyarat 5 8 5 10 28 18,9 3 Dilakukan restorative justice demi kepentingan masa depannya 12 10 7 13 42 28,4 4 Dikembalikan kepada orang tua nya 11 7 9 10 37 25 Jumlah 36 37 26 49 148 100 Sumber : diolah dari Unit PPA Polres Tegal Dari data tersebut diuraikan bahwa ada beberapa perkara anak yang diselesaikan melalui restorative justice, sebagian lagi diproses melalui proses litigasi dan sampai kepada penghukuman serta pidana bersyarat. Ada beberapa kasus juga yang mengembalikan pelaku tindak pidana anak yang dikembalikan kepada orang tuanya oleh pihak penyidik Kepolisian Resort Tegal melalui kewenangan diskresinya di mana di dalam tabel di atas mencapai 25. Kasus anak yang diberikan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, dikenakan kepada tindak pidana berat yang ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun seperti pencabulan, pemerasan, pencurian dengan pemberatan di mana di dalam tabel 88 prosentase anak yang berkonflik dengan hukum dan diproses sesuai dengan peraturan peradilan yang berlaku mendapai 27,7. Pidana bersyarat dikenakan kepada anak pelaku tindak pidana apabila anak tersebut melakukan tindak pidana namun keluarga korban menolak untuk memaafkan dan menolak untuk berdamai, akhirnya pihak Polres Tegal melanjutkannya dengan proses litigasi namun pada akhirnya anak tersebut dijatuhkan pidana bersyarat di dalam tabel anak yang dikenakan pidana bersyarat pada Polres Tegal mencapai 18,9. Sebagian besar kasus di Polres Tegal diselesaikan melalui pendekatan restorative justice dengan mengundang pihak korban untuk dapat berdamai dan memaafkan pelaku dan sebagian besar keluarga korban mau memahami dan hadir di Polres dengan mediasi pihak polisi. Apabila keluarga pelaku ternyata termasuk keluarga tidak mampu dan tindak pidana yang dilakukan termasuk kategoro tindak pidana ringan maka pihak Polres langsung mengembalikannya kepada orang tuanya tanpa meminta ganti rugi dari keluarga pelaku. Namun apabila tindak pidana yang dilanggar termasuk tindak pidana berat seperti yang dilakukan oleh tersangka yang melakukan tindak pidana pencabulan, pemerasan dan narkoba, maka pihak Polres Tegal akan langsung memprosesnya dengan 89 proses litigasi tanpa melakukan diversi, diskresi maupun pendekatan restorative justice. Penerapan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana di Polres Tegal apabila dikaitkan dengan model restorative justice dari John Braithwaite menurut penulis menggunakan model yang kedua di mana di dalam model kedua ini menggambarkan model alternatif. Polres Tegal menggunakan pendekatan restorative justice dalam penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum hanya sebagai alternatif dengan catatan jika syarat-syarat untuk diterapkannya restorative justice ini terpenuhi. Di dalam model kedua ini lebih cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang dilakukan pada model kedua ini memang dapat dilakukan di kepolisian maupun badan yang berwenang seperti kejaksaan atau pun pengadilan. Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan maafnya kepada korban atau pun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Bagi pelaku kejahatan yang rasional, ada kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam bernegosiasi. Namun John Braithwaite telah meng- antisipasinya dengan menggunakan prinsip active 90 deterrence. Prinsip ini pada intinya mengingatkan kepada pelaku kejahatan bahwa apabila negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut akan kembali ke proses penahanan. Jalan keluar bagi pelaku kejahatan adalah penahanan. Misalnya dalam kasus pencurian di Mall yang dilakukan oleh anak, di mana pihak Mall menyatakan menolak untuk berdamai dikarenakan Mall menyatakan bahwa pihaknya sudah memberikan pengumuman yang ditempel di setiap rak-rak penjualan bahwa setiap bentuk pencurian akan diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sehingga kasus ini tetap dilanjutkan tanpa menggunakan pendekatan restorative justice.

B. Analisis