73
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian
Sistem Peradilan Pidana Anak Juvenile Justice System adalah segala unsur sistem peradilan pidana
yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi
formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan
apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan
bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.
Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan
dalam pilihan-pilihan,
mulai dari
dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.
Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi terhadap
anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan
kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak.
Dalam menjalankan
tugasnya kepolisian
diberikan kewenangan diskresi discretionary power.
74 Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal di
mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan
ini pula kepolisian dapat mengalihkan diversion terhadap suatu perkara anak sehingga anak tidak
perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara formal.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Resort Tegal menyatakan
bahwa pada dasarnya kasus yang dilaporkan ke Polres Tegal
tidak semua
berkasnya dilimpahkan
ke Kejaksaan. Ketika penyidikan dilakukan, terkadang
antara pihak
korban dan
pelaku melakukan
perdamaian seperti pada tahun 2013 dari beberapa kasus namun hanya sebagian kecil berkasnya yang
disampaikan ke kejaksaan. Biasanya perdamaian ini terjadi karena bantuan pihak ketiga seperti tokoh adat
atau tokoh masyarakat. Perdamaian itu biasanya disertai ganti rugi yang ditandai dengan kesepakatan
antara korban dan pelaku. Terkadang pihak kepolisian dilibatkan dan tidak dilibatkan namun apabila perkara
tersebut sudah diselesaikan secara damai biasanya pihak korban, pelaku dan tokoh masyarakat atau
pihak-pihak yang terlibat datang melapor ke Polres Tegal. Namun apabila kasus pencabulan dimana
korban atau orang tua korban tidak bersedia melakukan
perdamaian dengan
adanya surat
75 pernyataan yang ditandatangani oleh orang tua korban
maka kasus ini akan diteruskan ke kejaksaan
1
. Pada tahap ini kewenangan polisi dalam
mengalihkan diversi perkara anak demi keadilan restributif telah terjadi dimana terjadi penurunan
kasus pada tahun 2013. Berarti ada beberapa kasus yang mengalami diversi. Dari beberapa kasus yang
diteruskan ke kejaksaan dapat dikatakan kewenangan diskresi belum dipergunakan secara maksimal untuk
menangani perkara anak. Fakta ini menunjukkan kepolisian
belum menggunakan
kewenangan diskresinya dalam menangani perkara anak.
Alasan pihak kepolisian tidak menggunakan kewenangan
diskresi mereka
secara maksimal
dikarenakan ada beberapa kasus anak yang wajib mereka
teruskan ke
kejaksaan seperti
kasus pencabulan pemerkosaan dan narkoba. Sedangkan
untuk kasus tindak pidana ringan seperti kasus pencabulan biasa, penganiayaan atau pencurian
biasanya dilakukan diversi
2
. Sebagaimana dikemukakan Kanit PPA Polres
Tegal, bahwa: “Untuk diversi biasanya dilakukan pada
kasus tindak pidana ringan atau kasus penganiayaan atau pencurian. Namun untuk kasus pencabulan atau
1
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014
2
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014
76 narkoba semua dilimpahkan. Namun biasanya yang
pelakunya anak harus diupayakan perdamaian. Perdamaian biasanya disarankan oleh penyidik,
digelar dulu dengan pakar hukum di Polresta dan keputusannya diambil dalam sidang rapat dan
biasanya tidak ada tenggang waktu berapa lama untuk proses perdamaian”
3
. Pendapat Kanit PPA Polres Tegal ini diperkuat
dengan membaca Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dalam konteks penanganan perkara anak, tidak ada pasal-pasal
yang secara
khusus mengatur
kewenangan diskresi. Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur
tindakan dan metode untuk menangani anak yang melanggar
hukum pidana.
Pasal 16
ayat 1
menetapkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas dalam bidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan; ... h.
mengadakan penghentian penyidikan. Selanjutnya Pasal
18 ayat
1 menyatakan
bahwa untuk
kepentingan umum
pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ketentuan tersebut dapat menjadi acuan bagi
3
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014
77 polisi untuk mengambil tindakan diskresi, namun
penggunaan kewenangan ini belum jelas ditujukan dalam menangani perkara apa.
Beijing Rules mengatur kewenangan diskresi melalui
mekanisme pengalihan.
Butir 11.1
menyatakan pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum
berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang berkompeten. Selanjutnya
Butir 11.2 menetapkan polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara
anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara- perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka,
tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang ditentukan
untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing- masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang
terkandung di
dalam peraturan-peraturan
ini. Langkah ini diperlukan karena menurut Butir 13.1
dinyatakan bahwa penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah
terakhir. Dan menurut Butir 13.2 dinyatakan di mana mungkin, penahanan sebelum pengadilan akan diganti
dengan langkah-langkah alternatif, seperti penga- wasan
secara dekat,
perawatan intensif
atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada suatu
tempat atau rumah pendidikan. Ketentuan ini diatur oleh Konvensi Hak Anak
Pasal 37 huruf b yang mewajibkan negara untuk
78 menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas
kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau
pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai
upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Konstruksi hukum serupa dapat
ditemukan pada Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 14 ayat 4 yang menyatakan dalam kasus orang di
bawah umur,
prosedur yang
dipakai harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kepolisian mempunyai kewenangan dan kebijakan tersendiri
dalam menentukan apakah kasus anak tersebut dapat diselesaikan melalui pengalihan atau tidak seperti
kasus pencabulan dan narkoba yang biasanya diteruskan ke penuntutan. Apabila diversi berhasil
dilakukan maka akan dilakukan pemulihan. Namun jika diversi tidak berhasil atau kepolisian berdasarkan
kewenangannya menyatakan bahwa kasus tersebut harus diterukan maka proses akan dilanjutkan
dengan pelimpahan berkas ke kejaksaan. Namun
terkadang dalam
melaksanakan tugasnya, kepolisian bahkan tidak menawarkan diversi
dan restorative justice. Selain itu pihak keluarga korban juga tidak bersedia melakukan perdamaian
yang ditandai dengan adanya surat pernyataan diatas
79 materai yang meminta pelaku dihukum seberat-
beratnya. Berdasarkan
temuan di
lapangan, tidak
dilakukannya diversi dan restorative justice secara maksimal oleh kepolisian di Polres Tegal dikarenakan
kemampuan pihak polisi sendiri dalam memahami konsep
ini masih
kurang sehingga
dalam penerapannya
jarang dilakukan
kecuali pihak
keluarga korban
atau keluarga
pelaku yang
melakukan perdamaian diluar kepolisian. Sehubungan dengan hal tersebut, Kapolres Tegal
mengatakan bahwa: Memang dalam beberapa perkara yang melibatkan anak sebagai pelakunya, terutama
kasus-kasus yang kerugian materiilnya kecil, antara korban dan pelaku lebih memilih penyelesaiannya
melalui jalan perdamaian, karena mereka merasa lebih memperoleh kemudahan dan tidak berlarut-larut.
Misalnya di dalam kasus perkara penganiayaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh
Tersangka anak yakni dalam Laporan Polisi Nomor LPB259VIII2013Res.Tgl tertanggal 28 Agustus
2013, di mana yang melaporkan adalah Sarah Matahelumual binti Warja, tanggal lahir 07 Oktober
1964 pekerjaan ibu rumah tangga agama Kristen, alamat Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan
Slawi Kabupaten Tegal yang melaporkan bahwa pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 pukul 16.30 WIB
di belakang rumah Sdri. Surip Desa Dukuhsalam RT
80 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal terjadi
tindak pidana melakukan kekerasan terhadap anak yakni korban Samuel Matahelumual bin Abraham
Yosep Matahelumual umur 12 tahun pelajar SD, agama Kristen alamat desa Dukuhsalam RT 02 RW 04
Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal yang dilakukan oleh Tersangka Panggi bin Rasman umur 17 tahun,
pekerjaan pelajar, agama Islam, pelajar SMK, alamat desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi
Kabupaten Tegal. Kejadian yang dilaporkan Pelapor adalah bahwa pada saat korban sedang bermain
bersama teman-temannya di belakang rumah Sdri Surip tiba-tiba korban didatangi oleh Tersangka dari
arah sungai dan langsung mendorong sehingga terjengkang
kemudian ditendang
perutnya dan
ditampar hingga merasakan sakit. Dalam perkara penganiayaan yang tersang-
kanya adalah berusia anak, maka pihak kepolisian Resor Tegal mengadakan pendekatan Restorative
Justice yakni dengan melakukan pendekatan kepada keluarga korban dan keluarga pelaku. Usaha ini
berhasil dilaksanakan
dengan adanya
surat pernyataan dari kedua belah pihak yang isinya adalah
sebagai berikut : Yang bertandatangan di bawah ini
a. Nama :Sarah M.binti Warja
Tempat tanggal lahir : Tegal, 07 Oktober 1964
81 Pekerjaan
: Ibu rumah Tangga Alamat
: Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04
Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal
Disebut sebagai pihak kesatu b.Nama
: Nursitin binti Sanusi Tempat tanggal lahir : Tegal, 21 Januari
1961 Pekerjaan
: Swasta Alamat
: Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04
Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal
Disebut sebagai Pihak kedua merupakan orang tua dari tersangka Sdr. Panggi bin Rasman
Pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 sekira pukul 16.30 WIB di belakang rumah Sdri Surip
tepatnya di sekitar sungai Kaligung turut desa Dukuhsalam Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal telah
terjadi tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh anak dari pihak
kedua yang bernama Sdr. Panggi bin Rasman terhadap korbananak dari pihak kesatu yang bernama Sdr.
Samuel Matahelumual bin Abraham Yosef dan atas kejadian ini antara kedua belah pihak telah sepakat
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan jalan
kekeluargaan, serta
kedua belah
pihak menyatakan:
82 1. Bahwa pihak kedua tidak akan mengulangi
perbuatannya seperti tersebut di atas baik terhadap pihak kesatu maupun terhadap
pihak lain
2. Pihak kedua
meminta maaf
atas perbuatannya tersebut di atas kepada Pihak
kesatu dan Pihak kesatu menerima serta memberikan maaf kepada Pihak Kedua
3. Pihak kedua bersedia dilakukan proses hukum yang berlaku jika mengingkari surat
pernyataan ini. 4. Pihak kedua dan pihak kesatu telah sepakat
untuk tidak saling memprovokasi tentang permasalahan ini
5. Apabila di kemudian hari pihak kedua mengulangi perbuatan tersebut terhadap
pihak kesatu maka pihak kedua bersedia diproses secara hukum
Sesuai dengan tanggapan dari Kasat Reskrim Polres Tegal, yang mengatakan bahwa: Mengingat
kasus yang ditangani oleh penyidik Polres Tegal cukup banyak,
maka untuk
efisiensi dan
kecepatan penanganan perkara, memang ada beberapa kasus
yang melibatkan anak sebagai pelaku, penyidik menerapkan konsep keadilan restoratif yang tentunya
dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dari berbagai aspek, misalnya kerugian yang ditimbulkan
kecil, tidak me-nimbulkan korban jiwa, dan yang paling penting kedua belah pihak sepakat untuk
diselesaiikan secara kekeluargaan
4
.
4
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014
83 Hal yang sama juga dikemukakan para Penyidik,
yang mengatakan bahwa: Dalam menangani kasus yang pelakunya anak-anak memang ada beberapa
kasus yang kami selesaikan dengan kekeluargaan, itupun atas permintaan kedua belah pihak yang telah
sepakat untuk menyelesaikannya secara damai, tapi tidak semua kasus anak yang kami tangani kami
selesaikan secara kekeluargaan, terutama kasus- kasus yang menjadi atensi pimpinan seperti curanmor,
penganiayaan berat
tetap kami
proses sesuai
ketentuan yang berlaku. Berdasarkan uraian dan fakta-fakta di atas
tentunya kenyataan di lapangan seseorang yang menjalani
pemidanaan pada
lembaga pemasya-
rakatan yang tujuannya memberikan efek jera, ternyata setelah kembali ke masyarakat, orang yang
bersangkutan justru terdidik menjadi pelaku tindak pidana jenis lain, bahkan dalam banyak kasus, orang
yang telah
menjalani pemidanaan
tetap saja
mengulangi perbuatan pidana atau recidive pada masa datang. Hal ini juga telah menjadi pertimbangan
sendiri terhadap efektivitas pemidanaan dalam sistem hukum pidana, sehingga perlu dicari cara lain yang
lebih dapat menjamin penyelesaian kasus pidana secara efektif dan efisien, serta lebih memenuhi
prinsip keadilan. Cara penyelesaian perkara pidana dimaksud
adalah dengan
pendekatan keadilan
restoratif.
84 Dalam praktiknya penyidikan terhadap perkara
pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku di Polres Tegal, banyak pihak yang terlibat pelaku dan korban
serta masyarakat lebih cenderung memilih penerapan konsep keadilan restoratif, karena dianggap tidak
memakan waktu yang lama dan prosesnya tidak berbelit-belit. Hal ini menjadi pertimbangan bagi pihak
penyidik untuk memberikan ruang bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidananya diluar
pengadilan, namun kewenangan untuk melakukan penegakkan hukum tetap berada di pihak Kepolisian.
Sebagaimana penegasan Pasal 13 huruf b Undang- undang Nomor 2 Tahun 2002 yang berbunyi Tugas
Pokok Polri adalah menegakkan hukum. Namun tidak menutup
kemungkinan bagi
kepolisian untuk
bertindak diluar ketentuan hukum yang berlaku demi kepentingan umum. Berdasarkan pasal 18 ayat 1
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 justru kepolisan diberikan peluang untuk bertindak menurut
penilaiannya sendiri untuk kepentingan umum. Di bawah ini disajikan data perkara tindak
pidana anak di Polres Tegal dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 dalam tabel sebagai berikut :
85
Tabel 3.1. Data Perkara Tindak Pidana Anak di Polres Tegal Tahun 2013
No Jenis Tindakan
Pidana Pasal yang
dilanggar Penyelesaian
Keterangan 1
Kekerasan terhadap anak
Pasal 80 UUPA
Restorative Justice
Keluarga pelaku meminta maaf
2 Pencurian HP olah
anak 16th Pasal 362
KUHP diversi
kekeluargaan 3
Perkelahian anak Pasal 80
UUPA Restorative
justice damai
4 Pengrusakan sepeda
motor oleh anak 16 th
Pasal 406 KUHP
Restorative justice
Korban memaafkan
5 Perkelahian anak
Pasal 80 UUPA Anak
Restorative Justice
damai 6
Kekerasan sesama anak
Pasal 80 UUPA
diversi Korban
memaafkan 7
Perkelahian antar anak
Pasal 170 KUHP
Diversi Mediasi
8 Pencurian oleh anak
Pasal 362 KUHP
Diteruskan ke kejaksaan
Mall menolak damai
9 Pencabulan oleh
anak Pasal 81, 82
UUPA diproses
Ancaman 5 th 10 Pemerasan oleh
anak Pasal 368
KUHP Dilanjutkan
peradilan Kejahatan berat
11 Pencurian helm oleh anak
Pasal 362 KUHP
Dikembalikan kepada orang
tua Orang tua pelaku
tergolong keluarga tidak
mampu sehingga tidak mampu
mengembalikan kerugian korban
Sumber: Unit PPA Polres Tegal
86 Pada kasus kejahatan anak di bawah umur
tidak semuanya dapat didamaikan secara restorative justice diversi. Dan sebagian kasus kejahatan yang
dilakukan anak sebagian diteruskan ke kejaksaan sehingga kewenangan diskresi belum dipergunakan
secara maksimal untuk menangani perkara anak yang bermasalah dengan hukum.
Fakta ini menunjukkan bahwa kepolisian belum menggunakan
kewenangan diskresinya
dalam penanganan anak, dengan alasan pihak kepolisian
tidak dapat menggunakan kewenangan diskresinya secara maksimal dikarenakan beberapa kasus anak
yang berhadapan
hukum wajib
diteruskan ke
kejaksaan seperti pemerkosan, pemerasan, Narkoba, curanmor, sedangkan untuk beberapa kasus yang
ringan dapat dilakukan perdamaian secara restorative justice
Retorative justice yang berlandaskan pada hukuman,
balas dendam
terhadap pelaku,
pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh keadilan restorasi yang berlandaskan pemulihan
terhadap korban. Teori hukum progresif berupa usaha untuk mengubah paradigma legalistic yang sudah
terdogma dalam pemikiran aparat penegakan hukum untuk tidak hanya berpedoman pada teks hukum
belaka.
87 Tabel 3.2. Data Kejahatan Anak Tahun 2010-2013 di
Polres Tegal
No Saran Petugas
Tahun 2010
2011 2012
2013 Jml
1 Diberikan
hukuman sesuai dengan peraturan
yang berlaku 8
12 5
16 41
27.7
2 Diberikan pidana
bersyarat 5
8 5
10 28
18,9 3
Dilakukan restorative justice
demi kepentingan masa depannya
12 10
7 13
42 28,4
4 Dikembalikan
kepada orang tua nya
11 7
9 10
37 25
Jumlah 36
37 26
49 148
100
Sumber : diolah dari Unit PPA Polres Tegal Dari data tersebut diuraikan bahwa ada
beberapa perkara anak yang diselesaikan melalui restorative justice, sebagian lagi diproses melalui
proses litigasi dan sampai kepada penghukuman serta pidana bersyarat. Ada beberapa kasus juga yang
mengembalikan pelaku tindak pidana anak yang dikembalikan kepada orang tuanya oleh pihak
penyidik Kepolisian Resort Tegal melalui kewenangan diskresinya di mana di dalam tabel di atas mencapai
25. Kasus anak yang diberikan hukuman sesuai
dengan peraturan yang berlaku, dikenakan kepada tindak pidana berat yang ancaman hukumannya lebih
dari 5
tahun seperti
pencabulan, pemerasan,
pencurian dengan pemberatan di mana di dalam tabel
88 prosentase anak yang berkonflik dengan hukum dan
diproses sesuai dengan peraturan peradilan yang berlaku mendapai 27,7.
Pidana bersyarat dikenakan kepada anak pelaku tindak pidana apabila anak tersebut melakukan tindak
pidana namun keluarga korban menolak untuk memaafkan dan menolak untuk berdamai, akhirnya
pihak Polres Tegal melanjutkannya dengan proses litigasi
namun pada
akhirnya anak
tersebut dijatuhkan pidana bersyarat di dalam tabel anak yang
dikenakan pidana bersyarat pada Polres Tegal mencapai 18,9.
Sebagian besar
kasus di
Polres Tegal
diselesaikan melalui pendekatan restorative justice dengan mengundang pihak korban untuk dapat
berdamai dan memaafkan pelaku dan sebagian besar keluarga korban mau memahami dan hadir di Polres
dengan mediasi pihak polisi. Apabila keluarga pelaku ternyata termasuk keluarga tidak mampu dan tindak
pidana yang dilakukan termasuk kategoro tindak pidana
ringan maka
pihak Polres
langsung mengembalikannya
kepada orang tuanya
tanpa meminta ganti rugi dari keluarga pelaku.
Namun apabila tindak pidana yang dilanggar termasuk tindak pidana berat seperti yang dilakukan
oleh tersangka yang melakukan tindak pidana pencabulan, pemerasan dan narkoba, maka pihak
Polres Tegal akan langsung memprosesnya dengan
89 proses litigasi tanpa melakukan diversi, diskresi
maupun pendekatan restorative justice. Penerapan restorative justice terhadap anak
yang melakukan tindak pidana di Polres Tegal apabila dikaitkan dengan model restorative justice dari John
Braithwaite menurut penulis menggunakan model yang kedua di mana di dalam model kedua ini
menggambarkan model
alternatif. Polres
Tegal menggunakan pendekatan restorative justice dalam
penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum hanya sebagai alternatif dengan catatan jika
syarat-syarat untuk diterapkannya restorative justice ini terpenuhi. Di dalam model kedua ini lebih
cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan.
Pendekatan yang dilakukan pada model kedua ini memang dapat dilakukan di kepolisian maupun badan
yang berwenang
seperti kejaksaan
atau pun
pengadilan. Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara
pelaku kejahatan menyatakan permintaan maafnya kepada korban atau pun bentuk-bentuk perbaikan
bagi korban yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Bagi pelaku kejahatan yang rasional, ada
kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam bernegosiasi.
Namun John
Braithwaite telah
meng- antisipasinya dengan menggunakan prinsip active
90 deterrence. Prinsip ini pada intinya mengingatkan
kepada pelaku kejahatan bahwa apabila negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut akan kembali ke
proses penahanan. Jalan keluar bagi pelaku kejahatan adalah penahanan. Misalnya dalam kasus pencurian
di Mall yang dilakukan oleh anak, di mana pihak Mall menyatakan menolak untuk berdamai dikarenakan
Mall menyatakan bahwa pihaknya sudah memberikan pengumuman yang ditempel di setiap rak-rak
penjualan bahwa setiap bentuk pencurian akan diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku
sehingga kasus
ini tetap
dilanjutkan tanpa
menggunakan pendekatan restorative justice.
B. Analisis