Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

23 6. Rina Hutagalung, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Murtahin Penerima Gadai Dalam Pelaksanaan Akad Rahn Emas”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a. Bagaimana ketentuan pelaksanaan akad rahn emas dalam sistem gadai syariah? b. Bagaimanakah tanggung jawab murtahin terhadap marhun yang dijadikan objek jaminan dalam pelaksanaan akad rahn emas? c. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap rahin dalam pelaksanaan akad rahn emas? Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi. 27 Teori adalah ungkapan mengenai hubungan kausal yang logis diantara perubahan Variable dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai 27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, hlm.122. Universitas Sumatera Utara 24 kerangka berpikir Frame of Thingking dalam memahami serta menangani segala permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut. 28 Kerangka teori yakni kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan problem, yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak setujuinya. 29 Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori perjanjian dalam Islam oleh Wahbah Zuhaili yang dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh menyatakan bahwa “akad adalah hubunganketerkaitan antara ijab dan qabul atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu”. 30 Istilah akad dalam hukum Islam dikenal dalam hukum Indonesia dengan istilah “perjanjian”. Kata akad berasal dari kata al ‘aqd yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan, juga bisa bermakna afirmasi atau pengukuhan. Adapun secara terminologi, ulama fiqih memberikan dua makna; makna khusus dan makna umum. Adapun akad dalam arti khusus adalah pernyataan dari dua pihak atau lebih ijab dan qabul yang menghasilkan hukum syar’i yang melazimkan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan akad dalam arti umum adalah tindakan atau kehendak sepihak yang melahirkan hukum syar’i yang melazimkan dirinya. 31 28 Bintaro Tjokroamidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta : Haji Masagung, 1998, hal.12. 29 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hal. 80. 30 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 48. 31 Ibid. Universitas Sumatera Utara 25 Secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dilihat dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang, seperti jual-beli, perwakilan dan gadai. Pengertian akad secara umum di atas adalah sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah. 32 Pengertian akad secara khusus adalah pengaitan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya. Pengertian akad secara khusus lainnya adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya. 33 Hal yang penting bagi terjadinya akad adalah adanya ijab dan qabul. Ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridlaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridlaan dan syari’at Islam. Dalam al-Qur’an, setidaknya ada 2 dua istilah yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-’aqdu akad dan al-’ahdu janji. Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan al-rabth maksudnya adalah menghimpun 32 Rachmad Syafe’I, Fiqih Muamalah, cet. Ke-2, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004, hlm.43. 33 Ibid. , hlm.44. Universitas Sumatera Utara 26 atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu. 34 kata al’-aqdu terdapat dalam surat al- Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-’aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata. 35 Sedangkan istilah al-’ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. 36 Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imron ayat 76 yaitu “sebenarnya siapa yang menepati janji yang dibuatnya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orangyang bertaqwa”. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan Verbintenis, sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 BW yang berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut ulama fiqh, rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. Ulama fiqh juga berpendapat bahwa Apabila barang 34 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 75 35 Fatturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari’ah, dalam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan , Cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm.247-248. 36 Ibid. , hlm.248. Universitas Sumatera Utara 27 jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad ar-rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Dalam pelaksanaan gadai emas pada Bank Syariah Mandiri Cabang Pembantu Petisah, pihak Bank membutuhkan jaminan sebagai kepercayaan atas kemampuan atau kesanggupan nasabahnya dalam memenuhi kewajiban dari hubungan timbal balik. Penyerahan barang atau benda yang dijadikan jaminan gadai adalah untuk melunasi utang nasabah dan mempermudah proses eksekusi apabila dikemudian hari nasabah wanprestasi. Sebagai teori pendukung digunakan teori kemaslahatan oleh Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al- Syatibi. Al-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syari’ah. Al-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syari’ah. Secara bahasa, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan. Al- Syatibi menyatakan bahwa, “sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia ini dan akhirat”. 37 37 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi, edisi kedua, Jakarta: PT Raja Grofindo Persada, 2004, hlm.316-318. Universitas Sumatera Utara 28 Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan bahwa syari’ah berurusan dengan perlindungan mashalih, syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih walaupun dengan cara preventif seperti syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apapun yang secara aktual atau pontensial merusak mashalih. 38 Secara etimologi kata mashlahat, jamaknya mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan. Mashlahat kadang-kadang disebut dengan istilah yang berarti mencari yang benar. Esensi mashlahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum. 39 Ibnu Taymiyyah, sebagaimana dikutip oleh syekh Abu Zahrah, 40 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mashlahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara. Menurut Hasballah, 41 mashlahat yang dimaksud adalah kemashlahatan yang menjadi tujuan syara, bukan kemashlahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan hawa nafsu manusia. Sebab disadari sepenuhnya bahwa tujuan dari syariat 38 Ibid., hlm.320 39 H.M. Hasballah Thaib, Tajdid Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Islam, Medan: Program Pascasarjana USU, 2002. 40 Nasroen Haroen b, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.126. 41 H.M. Hasballah Thaib, Op.Cit., hlm.28. Universitas Sumatera Utara 29 hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemashlahatan bagi manusia dari segala segi dan aspek kehidupan manusia di dunia dari berbagai bentuk yang dapat membawa kepada kerusakan. Oleh karena itu masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. 42 Menurut Kamus Bahasa Indonesia manfaat artinya guna, faedah. Dalam Bahasa Arab manfaat disebut mashlahah jamaknya mashalih merupakan sinonim dari kata manfaat, dapat digunakan untuk perbuatan yang mengandung manfaat. Kata manfaat sendiri selalu diartikan dengan ladzhzah rasa enak dan upaya mendapatkan atau mempertahankannya. 43 Al-Ghazali mengatakan arti asli mashlahat ialah menarik manfaat atau menolak mudharat. Adapun artinya secara istilah ialah pemeliharaan tujuan maqashid syara, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala sesuatu yang mengandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima ini adalah mashlahat, semua yang menghilangkannya adalah mafsadat dan menolaknya merupakan mashlahat. 44 42 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1988, hlm.134-135. 43 Husein Hamid Hassan, Nazhariyah Al-Mashlahah Fi Al-Fiqh Al-Islami, Kairo: Al- Mutanabbi, 1981, hlm.4, dalam Jamaluddin, Analisis Hukum Perkawinan Terhadap Perceraian Dalam Masyarakat Kota Lhokseumawe Dan Kabupaten Aceh Utara , Disertasi, Medan: PPs-USU, 2008, hlm. 23. 44 Ibid. Universitas Sumatera Utara 30 Selanjutnya Imam al-Ghazali mengatakan bahwa yang dijadikan patokan dalam kemashlahatan adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, aqal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang intinya bertujuan memelihara kelima aspek tujuan syara’ tersebut, maka perbuatannya dinamakan mashlahat. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahat. 45

2. Konsepsi