1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, tentang
Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum mempunyai otonomi yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Suatu
daerah ketika membentuk kebijakan untuk kepentingan umum baik dalam bentuk Peraturan Daerah Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya tetap
memperhatikan kepentingan nasional. Penyelenggara
Pemerintahan Daerah
Provinsi dan
Pemerintah KabupatenKota terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD dibantu oleh perangkat
2 daerah.
1
DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda,
anggaran dan pengawasan, sedangkan Kepala Daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah.
Dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, Kepala Daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan Daerah
membuat Perda sebagai dasar hukum bagi daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari
setiap daerah. Perda yang ditetapkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatnya. Disamping itu Perda sebagai
bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Kepentingan umum meliputi aspek-aspek ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Semakin berkembangnya kehidupan manusia termasuk lembaga dimana
manusia hidup dalam suatu organisasi, maka diperlukan pengaturan-pengaturan dalam berbagai aspek agar terdapat suatu keteraturan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah sejalan dengan kompleksitas kehidupan manusia dan perananannya dalam organisasi maka problem-problem yang ditimbulkannya
menjadi semakin luas dan melibatkan banyak kepentingan yang memerlukan adanya rambu-rambu hukum baik berupa pembuatan peraturan baru,
penyempurnaan, revisi maupun penetapan kebijakan, terhadap peraturan yang sudah ada.
1
Pasal 57 Undang-undang No 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
3 Daerah berhak menetapkan Kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, wajib berpedoman pada norma, standar, prosedur dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat
dalam jangka waktu 2 tahun.
2
Dalam konteks seperti itulah diperlukan kebijakan terhadap suatu peraturan yang tengah berlaku agar peraturan tersebut dapat
menyesuaikan dengan tingkat perkembangan kehidupan masyarakat, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan peraturan itu
harus tetap memperhatikan hak-hak dan kewajiban warga negara. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan
dasar rencana dalam pelaksanaan sesuatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan dalam pemerintahan, organisasi dan
kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku, kebijakan
hanya menjadi pedoman yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan. Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan
keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan
dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai tujuan eksplisit.
3
Dalam penelitian ini kebijakan lebih diartikan sebagai suatu pedoman untuk tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan. Menurut
Andrew Lee Suer dan Maurice Sunkin, dalam definisinya antara kebijakan dengan
2
Pasal 17 undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia
4 undang
–undang terdapat langkah-langkah dari kebijakan, langkah pertama proses dimana kebijakan adalah identifikasi masalah yang memerlukan tindakan
pemerintah. Langkah kedua, bahwa pemerintah mengajukan suatu kebijakan. Ketiga, undang-undang menyediakan otoritas legal bagi kebiajakan untuk
diaplikasikan. Keempat, adalah implementasi kebijakan. Kelima, adalah menghadapi tantangan politik dan legal dalam implementasi kebijakan. Tanpa
undang- undang tidak memiliki kekuasaan untuk diimplementasikan. Legitimasi undang- undang sangat penting dalam demokrasi modern. Hal ini disebut
akuntabilitas publik yang berarti kesepakaan yang tertulis formal untuk publik harus ditanggung jawabkan kepada publik. Proses tersebut adalah pembuatan
kebijakan, pembuatan undang- undang, kebijakan publik yang berubah menjadi undang-undang.
4
Perda Kota Salatiga Nomor 10 tahun 2003 tentang Retribusi Surat Izin Usaha Perdagangan telah berlangsung selama 13 tahun. Dalam kurun waktu
tersebut telah dikeluarkan berbagai peraturan baik Undang-Undang, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Perdagangan. Peraturan yang dimaksud antara
lain, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Restribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk usaha
Mikro dan Kecil dan Menengah, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 tahun
4
Riant Nugroho, Kebijakan Publik di Negara – Negara Berkembang.Pustaka Pelajar,Yogyakarta,
2014, hal 74.
5 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan, Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 39 tahun 2011 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan nomor 36 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin
Perdagangan, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77 Tahun 2013 tentang Surat Izin Usaha Perdagangan dan Tanda Daftar Perusahaan. Peraturan-peraturan
tersebut secara bersama-sama mempunyai sifat pengaturan regeling yang pada intinya berisi penegasan berupa kebijakan pemerintah untuk tidak mengenakan
retribusi izin usaha mikro dan usaha kecil. Dalam pertimbangan Perda Nomor 10 tahun 2003 dijelaskan bahwa
dalam rangka pelaksanaan Pemerintahan Daerah dan untuk meningkatkan kelancaran pemberian izin dibidang perdagangan dan berdasarkan pelimpahan
kewenangan yang telah ditetapkan, maka perlu menetapkan Retribusi Surat Izin Usaha Perdagangan SIUP.
5
Perda Nomor 10 tahun 2003 terdiri dari 23 bab, mulai dari bab I yang berisi tentang ketentuan umum, sampai dengan bab 23 yang
berisi tentang ketentuan penutup. Ketentuan-ketentuan tersebut kemudian dijelaskan dalam bentuk pasal-pasal yang jumlahnya ada 43 butir. Pasal 1 berisi
tentang masalah-masalah ketentuan umum, pasal 2, 3, dan 4 berisi tentag nama, subjek dan objek, pasal 5 dan 6 berisi tentang golongan restribusi, pasal 7 berisi
tentang tingkat penggunaan jasa, pasal 8 berisi tentang prinsip penetapan tarif restribusi SIUP, Pasal 9 berisi tentang index investasi, index lokasi jalan, index
5
Peraturan Daerah nomor 10 Tahun 2003 Tentang Retribusi Surat Izin Usaha Perdagangan.
6 luas ruangan dan tarif ruangan serta tarif dasar SIUP, sampai pasal 43 yang berisi
tentang mulainya diundangkan peraturan tersebut.
6
Berdasarkan berbagai peraturan dimaksud di atas dan dalam kurun waktu yang sudah cukup lama ternyata Perda Nomor 10 tahun 2003 masih berlaku.
Masih berlakunya Perda tersebut memberikan kesan bahwa selama ini Pemerintah Kota Salatiga masih memberlakukan pemungutan biaya pada pengusaha yang
mengajukan SIUP. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan peraturan Undang- Undang, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Perdagangan yang secara tegas
tidak mengenakan retribusi izin usaha mikro dan usaha kecil. Sehingga dapat dikatakan bahwa Perda Nomor 10 tahun 2003 merupakan Perda yang bermasalah.
Secara teoritis Perda yang bermasalah merujuk pada dua hal penting, yaitu Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum, dan Perda yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Suatu Perda dikatakan bertentangan dengan kepentingan umum apabila
pemberlakuan Perda tersebut berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, pelayanan umum, dan ketentramanketertiban umum, demikian pula
suatu kebijakan yang bersifat diskriminatif. Jadi dapat diyakini jika dipaksakan keberlakuannya maka akan menimbulkan konflik di masyarakat. Sementara Perda
KabupatenKota dan peraturan bupatiwali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,
danatau kesusilaan dibatalkan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
7
Sebagai contoh dalam penerbitan SIUP terlalu banyaknya mata rantai dalam
6
Ibid, hal 5-24.
7
Undang-undangNomor 23 Tahun 2014 Pasal 251 ayat 2.
7 proses perizinan banyak membuang waktu dan biaya yang pada akhirnya akan
menyebabkan ekonomi biaya tinggi higtcosheconomy.
8
Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka ada beberapa hal baru yang diatur
didalamnya. Khusus berkenaan sanksi terhadap pemberlakuan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah
kabupatenkota masih memberlakukan Perda mengenai pajak daerah danatau retribusi daerah yang dibatalkan oleh Menteri atau dibatalkan oleh Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat, dikenai sanksi penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum DAU danatau Dana Bagi Hasil DBH bagi Daerah
bersangkutan.
9
Ketentuan pada Pasal 252 ayat 5 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tersebut juga dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 28 tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah Pasal 159 ayat 1 yang berbunyi ”Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat 1
dan ayat 2 serta Pasal 158 ayat 1 dan ayat 6 oleh Daerah dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum danatau Dana Bagi
Hasil atau retribusi”.
10
Mengantisipasi konsekuensi tersebut tentunya penting bagi Pemerintah Kota Salatiga untuk menindaklanjutinya dengan mengambil kebijakan
menyusun Perda baru, dan segera mengesahkannya untuk menggantikan Perda Nomor 10 tahun 2003 yang dinilai bermasalah karena bertentangan dengan
8
Soehardjo, 2008. Pengurusan Perizinan dan dokumen. Jakarta: Visimedia.
9
Pasal 252 ayat 5 Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
10
Pasal 159 ayat 1 Undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
8 Undang-Undang, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Perdagangan yang
secara hirarki memiliki kedudukan lebih tinggi. Untuk mengetahui kondisi sesungguhnya tentang pelayanan perijinan
khususnya tentang SIUP akan lebih bijaksana jika dilakukan wawancara dengan instansi terkait di Kota Salatiga yang menangani masalah tersebut. Hasil
wawancara dengan Kasubag Perundang-undangan Bagian Hukum Setda Kota Salatiga diperoleh keterangan, bahwa Pemerintah Kota Salatiga telah
mempersiapkan rancangan Perda pengganti untuk mencabut Perda Nomor 10 Tahun 2003. Sementara hasil wawancara dengan Kepala Bidang Perijinan BPPT
Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kota Salatiga juga diperoleh keterangan yang sama, bahwa kebijakan yang diambil dalam pengurusan SIUP tetap
berpegang pada peraturan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 36 tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Pasal 16 ayat 1
yang berbunyi ”Setiap Perusahaan Perdagangan yang mengajukan permohonan SIUP baru tidak dikenakan retribusi”.
11
Hasil wawancara tersebut menunjukkan sekalipun pemerintah daerah Kota Salatiga belum mencabut Perda
Nomor 10 Tahun 2003 dan belum menerbitkan Perda yang baru, tetapi azas lex superior derogat legi inferior telah menjadi kebijakan yang diambil oleh
pemerintah Kota Salatiga, maka Perda nomor 10 Tahun 2003 secara de facto tidak berlaku lagi walaupun secara de yure belum dicabut karena masih menunggu
pengesahan rancangan Perda baru yang disahkan oleh Gubernur. Sehingga dengan
11
Pasal 16 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha
Perdagangan
9 sendirinya di Kota Salatiga, pengusaha mikro dan usaha kecil tidak dipungut
biaya restribusi lagi saat melakukan pengurusan SIUP. Azas lex superior derogat legi inferior artinya bahwa ketentuan-ketentuan
perUndang-Undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perUndang-Undangan
yang lebih tinggi tingkatannya, atau norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam hirarkhi tata susunan sedemikian rupa, yang menurut teori
aquo ketika terjadi adanya pertentanganketidakcocokan, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
12
Teori aquo ini semakin diperjelas dalam hukum positip di Indonesia dalam bentuk jenis, hirarkhi dan materi tata
perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Langkah yang diambil oleh Pemerintah Kota Salatiga tersebut merupakan hal yang positif, namun belum diterbitkannya Perda pengganti Perda Nomor 10
Tahun 2003 tentang Retribusi Surat Izin Usaha Perdagangan tentu akan menimbulkan dampak-dampak yang kurang baik jika dalam pelaksanaannya tidak
ada koordinasi yang baik antar Pemerintah Kota dengan Instansi terkait, seperti Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Disperindag Kop dan
UMKM, dan Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal BPPT dan PM. Mengantisipasi kondisi tersebut, maka penting bagi pemerintah Kota
Salatiga untuk segera menyusun Perda Pengganti Perda Nomor 10 Tahun 2003. Sebab selain akan mewujudkan
penyelenggaraan Pemerintahan daerah yang baik,
12
Pipin Syarifin, dan Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-undangan, Cv Pustaka Setia, Bandung, 2012 , hal 103.
10 yaitu
transparan, efektif
dan efesien,
akuntabel serta
dapat dipertanggungjawabkan, juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap
penyelenggaraan pemerintahan tersebut
13
. Keberadaan usaha mikro, kecil dan menengah telah membantu membuka
peluang pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi kemiskinan. Peran strategis
usaha mikro kecil dan menengah terutama di pedesaan sebagai tempat bermukim sebagian besar penduduk Indonesia yang hidup di sektor pertanian dapat pula
membuka peluang diversifikasi usaha kegiatan ekonomi diluar pertanian. Jika usaha mikro dan kecil diluar kegiatan pertanian di pedesaan bisa tumbuh pesat
tidak saja secara kuantitas tapi juga produktifitasnya dapat terus meningkat maka pada gilirannya akan mengurangi urbanisasi dan akan memperkuat ketahanan
ekonomi. Menyikapi pentingnya keberadaan usaha kecil dan menengah pemerintah
telah mendorong melalui pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan serta membantu dengan berbagai program pembangunan, bantuan keuangan
modal, dan skim-skim kredit tertentu. Untuk memudahkan pembinaan sesuai dengan kewenangan pemerintah berdasarkan perturan-peraturan yang telah
diterbitkan, maka kepada setiap pengusaha mikro dan kecil diberikan keringanan dengan tidak dikenakan biaya retribusi pengurusan SIUP.
Pada tahun 2012 menurut BPPT dan PM jumlah SIUP menurut skala usaha tercatat 282 perusahaan. Pada keadaan yang sama jumlah perusahaan yang
13
Pasal 3 Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 18 Tahun 2009 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
11 mendapat tanda daftar perusahaan turun 4,82 persen dari 326 perusahaan pada
tahun 2011 menjadi 311 perusahaan pada tahun 2012. Adapun data yang diberikan dari Disperindag Kop dan UMKM Kota Salatiga terdapat 1.920
perusahaan kecil pada tahun 2012, menurun jumlahnya dibanding pada tahun tahun 2011 yang berjumlah 1992 perusahaan.
14
Data yang diberikan BPPT dan PM dan Disperindag Kop dan UMKM Kota Salatiga memperlihatkan penurunan
jumlah perusahaan atau usaha kecil yang mendaftarkan usahanya untuk menerbitkan SIUP, padahal pelayanan yang diberikan oleh dinas-dinas terkait
untuk penerbitan SIUP sudah dilakukan sesuai dengan Undang-Undang, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri Perdagangan yang secara hirarki memiliki
kedudukan lebih tinggi. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “KEBIJAKAN PENIADAAN PUNGUTAN
RETRIBUSI SURAT IJIN USAHA PERDAGANGAN SIUP BAGI UMKM DI KOTA SALATIGA
”.
B. RumusanMasalah