Analisis “ Boxplot”: Hubungan Antara Rambut dorsal Puparium Dengan

30

4.1 Analisis “ Boxplot”: Hubungan Antara Rambut dorsal Puparium Dengan

Tanaman Inang Karakter morfologi banyak dijumpai pada bagian dorsal bagian punggung puparium. Karakter morfologi rambut dorsal yang memanjang kadang dijumpai dan kadang tidak dijumpai pada bagian median atau submedian dorsal puparium B. tabaci Watson 2007. Jumlah rambut dorsal yang memanjang ini antara 0-7 pasang Gambar 3.2. Berdasarkan tekstur permukaan daun tanaman inang B. tabaci Tabel 3.3 dapat dikelompokkan menjadi 3: Kelompok I tekstur permukaan daun halus tanpa rambut terdiri atas: kacang tanah, singkong, cabai, kacang panjang. Kelompok II tekstur permukaan daun kasar terdiri atas: kedelai, mentimun, gambas, kacang merah. Kelompok III terkstur permukaan daun kasar dan berambut terdiri atas: terung, buncis, tomat, labu, melon. Puparium yang hidup pada tanaman inang kelompok I mempunyai jumlah rambut dorsal yang memanjang dengan nilai median nol. Puparium juga ditemukan mempunyai rambut dorsal yang memanjang berjumlah lebih dari satu tetapi jumlah puparium tersebut tidak dominan Gambar 3.3. Bentuk puparium yang hidup pada tanaman inang kelompok I umumnya berbentuk oval 100 pada kacang tanah, 95 pada singkong, 63,4 pada cabai, dan 62,3 pada kacang panjang. Puparium yang hidup pada tanaman inang kelompok II mempunyai jumlah rambut dorsal yang memanjang dengan nilai median antara 2-4. Bentuk puparium yang hidup pada tanaman inang kelompok II terdiri atas bentuk: oval, oval dengan 1-2 lekukan dan oval dengan 3 lekukan dengan rincian: 100 bentuk oval pada kedelai; 44,5 bentuk oval dan 55,5 bentuk berlekuk pada mentimun; 100 bentuk berlekuk pada gambas; 100 bentuk berlekuk pada kacang merah. G j p l m p h o i d y d d m Gambar 3.2 Pupa jumlah ram puparium ya lekukan: 46, melon. Terd puparium, d halus dan ta oval dengan inang denga dengan 1-2 yang meman dan beramb dan jumlah r menyebutka Rambut d 7 pasang puparium arium yang mbut dorsal ang hidup pa ,7 pada ter dapat hubung dan jumlah r anpa adanya n jumlah ram an permuka lekukan dan njang umum ut mempuny rambut dors an bahwa B. A dorsal yang m C yang d B. tabaci hidup pad yang mem ada tanaman rung, 60 p gan antara rambut dors a rambut-ram mbut dorsal aan daun ka n oval deng mnya 2-4. T yai bentuk p sal yang mem tabaci yan memanjang b dijumpai pad a tanaman manjang den n inang kelom pada buncis, jenis tanam sal. Tanama mbut mempu l yang mem asar mempun gan 3 lekuk Tanaman ina puparium um manjang um ng hidup pad B R m berjumlah 0 da median a inang kelo ngan nilai m mpok III um 62,5 pad man inang d an inang de unyai bentu manjang umu nyai bentuk kan dengan ang dengan p mumnya ov mumnya tujuh da inang de ambut dorsa memanjang A, 4 pasa atau submed mpok III m median tuju mumnya oval a labu, dan dengan bentu engan permu uk puparium umnya nol. k puparium jumlah ram permukaan val dengan h. Watson engan permu C al yang 31 ang B dan dian dorsal mempunyai uh. Bentuk dengan 3 100 pada uk, ukuran ukaan daun m umumnya Tanaman oval, oval mbut dorsal daun kasar 3 lekukan 2007 juga ukaan daun 32 halus mempunyai ukuran puparium paling besar berbentuk oval. B. tabaci yang hidup pada inang dengan permukaan daun kasar mempunyai ukuran lebih mengecil dan yang hidup pada permukaan daun berambut mempunyai ukuran puparium paling kecil. Gambar 3.3 Gambar “boxplot” jumlah rambut dorsal berdasarkan nilai median garis hitam pada 13 tanaman inang B. tabaci: Buncis Pisum sativum , Labu Cucurbita moschata, Melon Cucumis melo var. reticulates , Terung Solanum melongena, Tomat Solanum lycopersicum , Gambas Luffa acutangula, KacangM Kacang Merah = Vigna angularis, Kedelai Glycine max, Mentimun Cucumis sativus, Cabai Capsicum annum, KacangP Kacang Panjang = Vigna sinensis, KacangT Kacang Tanah = Arachis hypogaea , Singkong Manihot esculenta. 5 Hubungan Ketinggian Tempat terhadap Jumlah Rambut Dorsal, Panjang dan Lebar Puparium, Panjang Seta Kauda. Tidak terdapat hubungan antara ketinggian tempat dengan jumlah rambut dorsal yang memanjang atau lebar puparium. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai korelasi silang yang mendekati nol yaitu 0,0794 dan 0,0548 untuk berturut-turut Singkong I KacangT I KacangP I Cabai I Mentimun II Kedelai II KacangM II Gambas II Tomat III Terung III Melon III Labu III Buncis III Inang kelompok tekstur permukaan daun: berambut III, kasar II, halus I 7 6 5 4 3 2 1 Ra mbu t Do rs al 33 korelasi silang antara ketinggian tempat dengan jumlah rambut dorsal yang memanjang dan antara ketinggian tempat dengan lebar puparium. Ketinggian tempat akan mempengaruhi panjang seta kauda dan panjang puparium tetapi pengaruh tersebut tidak terlalu kuat karena nilai korelasi silang mendekati nol. Nilai korelasi silang berdasarkan analisis kanonikal antara ketinggian tempat dengan panjang seta kauda sebesar 0,2312 dan nilai korelasi silang antara ketinggian tempat dengan panjang puparium sebesar 0,1511 Lampiran 3. Ukuran rata-rata puparium mm B. tabaci dari berbagai ketinggian tempat disajikan dalam Tabel 3.6. Ukuran puparium B. tabaci yaitu: lebar antara 0,4962 - 0,5501 mm; panjang antara 0,6883 - 0,7497 mm; panjang seta kauda antara 0,0936 - 0,0975 mm Tabel 3.6 Nilai rata-rata dan standar deviasi sd panjang dan lebar puparium mm, panjang seta kauda mm B. tabaci pada berbagai ketinggian tempat Ketinggian tempat mdpl Karakter Morfologi Puparium Bemisia tabaci Gennadius Lebar Puparium mm Panjang Puparium mm Panjang Seta Kauda mm rata-rata ± sd rata-rata ± sd rata-rata ± sd A 0-100 0.5155 ± 0.0543 0.7035 ± 0.0682 0.0956 ± 0.0100 B 100-500 0.5286 ± 0.0726 0.7337 ± 0.0765 0.0967 ± 0.0158 C 500-700 0.4962 ± 0.0566 0.6883 ± 0.0697 0.0975 ± 0.0110 D 700-1000 0.5501 ± 0.0481 0.7623 ± 0.0510 0.0936 ± 0.0095 E 1000-1200 0.5397 ± 0.0702 0.7497 ± 0.0669 0.0937 ± 0.0090 Rataan ± sd 0,501 ± 0,056 0,714 ± 0,056 0,088 ± 0,009 Jenis tanaman inang merupakan faktor yang lebih kuat menyebabkan variasi puparium dibandingkan ketinggian tempat. Nilai korelasi variabel jenis tanaman inang dengan fungsi kanoniknya yaitu 0,9262 lebih besar dibandingkan dengan nilai korelasi variabel ketinggian tempat dengan fungsi kanoniknya 0,3296 Lampiran 4. Diantara variabel pengukuran panjang puparium, lebar puparium, panjang seta kauda, jumlah rambut dorsal dengan variabel lingkungan ketinggian tempat, tanaman inang hubungan yang tampak jelas antara jumlah rambut dorsal dengan jenis tanaman inang Lampiran 5 dan 6. Dengan kata lain faktor pengamatan karakter morfologi yang paling bervariasi adalah jumlah rambut dorsal yang dipengaruhi oleh jenis tanaman inang. 34 6 Adaptasi Morfologi Puparium B. tabaci Fenotipe suatu organisme merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Walaupun mempunyai faktor genetik sama, fenotipe suatu organisme mampu berubah-ubah phenotypic plasticity tergantung dari pengaruh lingkungan Mackenzie et al. 2001. Variasi morfologi puparium B. tabaci dalam penelitian ini merupakan salah satu contoh adanya perubahan fenotipe. Fenotipe puparium B. tabaci dapat berubah tergantung jenis tanaman inangnya. Contoh perubahan fenotipe akibat pengaruh lingkungan juga dapat diamati pada anjing tanah Gryllotalpa sp. Orthoptera: Gryllidae. Anjing tanah yang hidup pada kebun singkong akan mempunyai eksoskeleton lebih keras, kepada lebih besar dan mata mengecil dibandingkan anjing tanah yang hidup pada persawahan dan pinggiran sungai Simamora 2000. Perubahan fenotipe merupakan salah satu bentuk adaptasi. Adaptasi adalah suatu sifat yang dapat diturunkan pada generasi berikutnya meliputi tingkah laku, morfologi atau fisiologi untuk membantu bertahan hidup pada suatu lingkungan tertentu Mackenzie et al. 2001. Pupaium B. tabaci berlekuk merupakan adaptasi agar bagian tubuh puparium tersebut tidak terkena rambut permukaan daun. Rrambut dorsal pada puparium berlekuk biasanya memanjang diduga merupakan bentuk adaptasi agar puparium terhindar dari musuh alami. Rambut dorsal puparium sekilas menyerupai rambut pada permukaan daun. McFarland 1999 menyatakan tingkat kesamaan antara hewan dengan latarbelakang visual merupakan proses seleksi sehingga hewan dapat menghindar dari predator atau musuh alami. SIMPULAN Kutukebul yang teridentifkasi dalam penelitian adalah B. tabaci dan T. vaporariorum. B. tabaci ditemukan dari ketinggian 1-1200 mdpl sedangkan T. vaporariorum ditemukan mulai dari ketinggian 550-1200 mdpl. Kelimpahan populasi B. tabaci semakin menurun seiring ketinggian tempat dan digantikan oleh populasi T. vaporariorum yang semakin meningkat. Bentuk puparium B. 35 tabaci yang diambil dari 13 jenis inang adalah oval, oval dengan 1-2 lekukan, oval dengan 3 lekukan dan berbentuk seperti kerang laut. Dari analisis kanonikal dapat disimpulkan bahwa jenis tanaman inang merupakan faktor yang lebih tinggi menyebabkan variasi puparium dibandingkan ketinggian tempat. Variasi puparium dapat dilihat pada rambut dorsal yang memanjang, panjang puparium, lebar puparium sedangkan seta kauda tidak dilihat adanya variasi. Karakter puparium yang paling bervariasi adalah jumlah rambut dorsal yang dipengaruhi oleh jenis tanaman inang. Analisis “boxplot” dapat menggambarkan hubungan antara jenis tanaman inang dengan bentuk, ukuran puparium dan jumlah rambut dorsal yang memanjang. Tanaman inang dengan permukaan daun halus biasanya akan dijumpai bentuk puparium oval, ukuran puparium paling besar, dan umumnya tidak mempunyai rambut dorsal yang memanjang. Pada tanaman inang dengan permukaan daun kasar biasanya akan dijumpai campuran bentuk puparium oval, oval dengan 1-2 lekukan, oval dengan 3 lekukan dalam satu populasi, ukuran puparium mengecil dan rambut dorsal yang memanjang berjumlah antara 2-4. Tanaman inang dengan permukaan daun berambut akan dijumpai bentuk puparium oval dengan 3 lekukan, ukuran puparium paling kecil dan rambut dorsal yang memanjang berjumlah 7. DAFTAR PUSTAKA Brown JK, Frohlich DR, Rossell RC. 1995. The sweet potato or silverleaf whiteflies: biotypes of Bemisia tabaci or a species complex? Ann Rev Entomol 40:511-534. Ghozali I. 2005. Korelasi Kanonikal Canonical correlation dalam Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Undip. Gill RJ. 2006. Can molecules solve the bemisia conundrum when morphology cannot? A taxonomists perspective. J of In Sci 8:1-53. Mackenzie A, Ball AS, Virdee SK. 2001. Instant Note Ecology, Sec Ed. Oxford: Bios Scien Publ Ltd. McFarland D. 1999. Animal behavior. Taipei: Longman 36 Martin JH. 1987. An identification guide to common whitefly pest species of the world Homoptera: Aleyrodidae. Trop Pest Manag 334:298-322. Martin JH. 1999. The whitefly fauna of Australia Sternorrhyncha: Aleyrodidae a taxonomic account and identification guide. CSIRO Entomologycal Technical Paper 38. 197 hlm. Perring TM, Cooper AD, Russell RJ, Farrar CA, Bellows TS. 1993. Identification of a whitefly species by genomic and behavioural studies. Science 259:74-77. Perring TM. 2001. Review article: the Bemisia tabaci species complex. Crop Prot 20:709-723. Rahayu STS. 2004. Understanding the flight activity for decision making in management of Bemisia tabaci [tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Univesitas Gadjah Mada. Simamora D. 2000. Kajian morfologi, perilaku, habitat dan analisis proksimat anjing tanah Gryllotalpa sp. dari Balige Sumatera Utara [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sudiono, Yasin N, Hidayat SH, Hidayat P. 2005. Penyebaran dan deteksi molekuler virus gemini penyebab penyakit kuning pada tanaman cabai di Sumatera. J. HPT Tropika 5 2: 113-121. Watson GV. 2007. Identification of whiteflies Hemiptera: Aleyrodidae. APEC Re-enctry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur 16-26 April. Xie M, Chen YH, Wan FH. 2006. Responses of two whitefly species, Trialeurodes vaporariorum Westwood and Bemisia tabaci Gennadius B- biotype, to low temperature. J of Insec Sci 8:1-53. 37 IV VARIASI GENETIK DAN FILOGENI Bemisia tabaci GENNADIUS HEMIPTERA: ALEYRODIDAE DARI DAERAH ENDEMIK PENYAKIT KUNING CABAI DI INDONESIA BAGIAN BARAT MENGGUNAKAN ANALISIS FRAGMEN MITOKONDRIA SITOKROM OKSIDASE I ABSTRAK Bemisia tabaci dikenal mempunyai variasi genetik tinggi. Dilaporkan bahwa B. tabaci biotipe B dan Q dapat menyebabkan masalah serius karena kemampuannya untuk berkembang biak dengan cepat dan keefektifannya dalam menularkan geminivirus. B. tabaci biotipe B dan Q sudah tersebar luas dan menjadi hama penting dibanyak negara di Amerika, Afrika, Asia dan Eropa. Penyakit kuning pada cabai yang disebabkan oleh geminivirus dan ditularkan oleh B. tabaci menjadi masalah penting di Indonesia mengingat kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai 100. Informasi mengenai genetik B. tabaci yang berasosiasi dengan penyakit kuning cabai di Indonesia masih sedikit. Untuk itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui variasi genetik B. tabaci. Kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi: 1 ekstraksi DNA total B. tabaci dari hasil pengambilan sampel di daerah endemik penyakit PYLCIV; 2 amplifikasi fragmen mitokondria sitokrom oksidase I mtCOI dengan metode Polymerase Chain Reaction PCR; 3 analisis filogenetik berdasarkan fragmen mtCOI. Ekstraksi DNA disarankan menggunakan metode Frohlich karena memberikan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi untuk mengamplifikasi fragmen mtCOI. Berdasarkan fragmen mtCOI, sampel B. tabaci yang berasal dari daerah endemik penyakit kuning cabai di Indonesia bagian barat berada dalam satu kelompok, yang tidak termasuk dalam kelompok biotipe B atau Q. B. tabaci yang terkoleksi dalam studi ini merupakan spesies lokal termasuk dalam biotipe non B, kelompok wilayah Asia I. Kata kunci: B. tabaci, mtCOI, biotipe, kelompok Asia I. PENDAHULUAN Bemisia tabaci Hemiptera: Aleyrodidae dideskripsikan oleh Gennadius tahun 1889 dan dilaporkan sebagai hama tanaman tembakau Oliveira et al. 2001. Hama ini tidak menjadi perhatian sampai dengan pertengahan tahun 1980- an. Pada waktu itu dilaporkan terjadi ledakan populasi B. tabaci di Amerika Serikat dan serangga tersebut menyebabkan peningkatan serangan geminivirus 38 genus: Begomovirus, famili: Geminiviridae. B. tabaci dapat berperan sebagai hama langsung dan vektor geminivirus, tetapi peran B. tabaci sebagai vektor lebih merugikan Brown Bird 1992. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa beberapa populasi B. tabaci di Amerika Serikat mempunyai kemampuan berbeda dalam menularkan geminivirus. Costa Brown 1991 membandingkan pola esterase terhadap dua popoulasi yang berbeda kemampuannya dalam menularkan geminivirus tersebut. Populasi asli Amerika dinamakan sebagai biotipe A sedangkan populasi B. tabaci yang baru masuk dinamakan biotipe B. Biotipe B dilaporkan mampu menggeser kelimpahan populasi asli, memiliki kisaran inang lebih luas dan keperidian tinggi, lebih resisten terhadap insektisida, lebih efektif menularkan geminivirus sehingga dilaporkan lebih merugikan. Analisis Frochlih et al. 1999 menggunakan fragmen mtCOI menyimpulkan bahwa biotipe B masuk ke benua Amerika dari wilayah antara Israel dan Yaman. Aktivitas B. tabaci biotipe B ini juga dilaporkan menimbulkan kerugian di Turki dan menggeser keberadaan biotipe asli TC Bayhan et al. 2006. Rekha et al. 2005 melaporkan adanya penyebaran biotipe B di India Selatan dan mulai menggeser keberadaan populasi asli. Menyebarnya biotipe B juga dilaporkan di Argentina, Uganda, Pakistan, dan Cina Viscarret et al. 2003, Simon et al. 2003, Zhang et al. 2005. Selain biotipe A dan B, biotipe lain yang teridentifikasi di Amerika adalah biotipe Q yang diduga menginvasi Amerika dari wilayah Mediterania Spanyol, Portugal, Itali Shatterr et al. 2006. Biotipe Q tersebut dilaporkan lebih merugikan dibandingkan biotipe B CDFA 2005. Saat ini biotipe Q dilaporkan sudah menyebar ke wilayah Israel, Cina dan Jepang. De Barro et al. 2008 menyimpulkan B. tabaci biotipe B dan Q merupakan biotipe invasif dan menjadi vektor efektif geminivirus yang saat ini tersebar luas melalui perdagangan tanaman hias. Variasi genetik B. tabaci di Indonesia sudah diteliti sebelumnya oleh Hidayat et al. 2008. Biotipe B sudah ditemukan pada tanaman brokoli di Jawa Barat. Peranan B.tabaci sebagai vektor geminivirus menjadi sangat penting karena kerusakan yang disebabkan oleh infeksi virus tersebut pada cabai 39 dilaporkan menjadi masalah serius. Rahayu 2004 melaporkan kejadian penyakit hingga 100 akibat penyakit kuning pada cabai di Yogyakarta dan Magelang. Sudiono et al. 2005 melaporkan kejadian penyakit 0-100 di Lampung, 20-60 di Sumatera Selatan, 0-40 di Bengkulu, 0-5 di Jambi, 0-5 di Sumatera Barat dan 0-80 di Sumatera Utara. Penyebab penyakit kuning pada cabai diidentifikasi sebagai pepper yellow leaf curl Indonesia virus PYLCIV yang termasuk dalam genus Begomovirus Hidayat et al. 2006. Peranan B. tabaci