Pengelolaan Kolaboratif dan Kemitraan

memanfaatkan air yang bersumber dari kawasan TNBTS. Masyarakat yang memanfaatkan air dan tinggal di sekitar kawasan taman nasional dikenakan kompensasi berupa upaya pemeliharaan kawasan penyangga.

2.3 Pengelolaan Kolaboratif dan Kemitraan

Secara definisi, menurut Borini dan Feyerabend 1996, pengelolaan kolaboratif merupakan suatu hubungan kerjasama antara beberapa pihak dalam mengelola sesuai fungsi, hak, dan tanggung jawab mengenai penggunaan kawasan dan pengaturan sumberdaya. Lebih jauh lagi, pengertian ini digunakan untuk menggambarkan situasi beberapa atau semua pihak yang terkait dalam suatu kawasan dilindungi dilibatkan dalam proses substansial pada kegiatan pengelolaan. Berdasarkan pendekatan para pihak yang terlibat, menurut IUCN 1997 diacu dalam Dephut, GTZ, dan WWF-Indonesia 2009, pengelolaan kolaboratif merupakan hubungan kerjasama antara lembaga pemerintah, komunitas lokal, pengguna sumberdaya, lembaga non-pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya. Di Indonesia, kebijakan yang memberikan definisi tentang pengelolaan kolaboratif terdapat pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P19Menhut- II2004 tentang kolaborasi pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Kolaborasi yang dimaksud merupakan pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pihak yang dimaksud disini adalah semua pihak yang memiliki minat, kepedulian, atau kepentingan dengan upaya konservasi KPA dan KSA, antara lain lembaga pemerintah pusat Departemen Kehutanan RI, lembaga pemerintah daerah, masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUMD, swasta nasional, perorangan maupun masyarakat internasional, serta lembaga pendidikan. Adapun aturan hukum yang lebih tinggi yang mendasari pengelolaan kolaboratif adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang kemudian juga mendasari Kepmenhut Nomor 390Kpts-II2003 tentang tata cara kerjasama KSDAH dan ekosistemnya. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer http:www.novapdf.com Menurut rencana strategis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2005-2009, Departemen Kehutanan RI melalui visinya berupaya untuk mewujudkan konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya yang aman dan mantap secara legal formal, didukung kelembagaan yang kuat dalam pengelolaannya serta mampu memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Adapun salah satu misi yang diembannya adalah mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Konsep kemitraan dalam konteks antar kelompok usaha sampai saat ini masih merupakan masalah untuk beberapa daerah tertentu di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus ikut terlibat dalam memperlancar program kemitraan dengan mendorong kegiatan dan bertindak sebagai katalisator. Selain itu, manajemen kolaboratif dapat bertindak sebagai filter bagi kelompok besar-kecil dalam menyalurkan dana kemitraan Subarudi 2007. Sementara itu, upaya dan peran serta rakyat dalam mengelola sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya termasuk air diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna pasal 37 UU Nomor 5 Tahun 1990. Dalam hal ini, pemerintah juga diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan. Daerah aliran sungai dari hulu sampai hilir merupakan kesatuan sistem ekologi yang tersusun atas komponen-komponen biofisik dan sosial yang hendaknya dipandang sebagai kesatuan yang masing-masing bagiannya tak terpisahkan satu sama lain. Namun secara adminisratif pemerintahan, wilayah tersebut habis terbagi dalam satuan wilayah administrasi pembangunan kabupaten dan kota yang terkotak-kotak. Tidak jarang kondisi ini menyebabkan penanganannya menjadi tersekat-sekat, tidak terintegrasi dan sangat tidak efisien. Semangat ego-sentris kedaerahan membuat banyak program pemerintah yang dijalankan untuk menyelamatkan ekosistem dari kerusakan lingkungan justru semakin kurang operasional. Kenyataan ini juga seringkali memicu konflik sosial antara stakeholder yang ada di suatu kawasan PSP-LPPM IPB 2005. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer http:www.novapdf.com Proses mengembangkan kemitraan bisa dimulai dari tahap pelembagaan, kegiatan di lapang, dan pengembangan produk-produk bernilai ekonomi LATIN 1999 diacu dalam Monica 2006. Pendapat lain mengatakan bahwa proses pengembangan kemitraan dimulai dari tahap persiapan, diikuti dengan membuat kesepakatan bersama dan pengkajian ulang kesepakatan secara terus-menerus. Pada bagian akhir dapat dilakukan evaluasi untuk menilai sejauh mana tindakan yang diambil berhasil, apa yang dicapai dan tidak dapat dicapai, efek sampingan yang tidak diinginkan, mengapa ada kegagalan, apa ada kesalahan dalam analisis, perencanaan, atau dalam pelaksanaan, dan lain sebagainya. Proses analisis, perumusan, dan evaluasi dalam kegiatan perencanaan strategis dipengaruhi oleh potensi-potensi yang ada didalamnya, baik berupa potensi positif atau negatif dan dari faktor internal maupun faktor eksternal. Dengan memahami semua potensi yang ada, para pihak dapat merumuskan sebuah pelaksanaan tindakan dari hasil rumusan analisis tersebut. Pada hubungan antara parameter sosial-ekonomi dengan demografi penduduk, analisis dapat dilakukan dengan langkah eksplorasi secara statistik karakter dari masing-masing variabel sosial-ekonomi yang ada Priyarsono 2002. Langkah selanjutnya adalah penerapan analisis demografi multiregional yang mengaitkan kondisi satu wilayah dengan wilayah lainnya melalui peramalan pola kependudukan. Pada bagian akhir proses analisis disimpulkan melalui penyusunan skenario tentang pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap variabel-variabel sosial- ekonomi yang ada tersebut. Menurut PPLH 1995, dimensi sosial ekonomi budaya mensyaratkan bahwa laju pembangunan hendaknya dirancang dan dilaksanakan sedemikian rupa sehingga permintaan total dari kegiatan manusia dan kegiatan pembangunan atas sumberdaya alam dan jasa lingkungan tidak melebihi kemampuan ekosistem untuk menyediakannya. Untuk memenuhi persyaratan ini diperlukan pengendalian jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita atas sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Selain itu dapat juga dilakukan dengan meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan untuk menyediakan sumberdaya alam melalui rekayasa teknologi. Hal inilah yang kemudian mendasari perlunya informasi tentang kondisi serta dinamika aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi penggunaan sumberdaya selanjutnya. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer http:www.novapdf.com

BAB III METODOLOGI PENELITIAN