BAB VI. OTONOMI DAERAH DAN PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA
6.1 Desentralisasi sebagai Substansi Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan salah satu buah paling penting dari gerakan reformasi 1998. Otonomi daerah dianggap sebagai jawaban paling tepat dari tidak terjadinya
pemerataan pembangunan nasional dan pemerataan kesejahteraan masyarakat selama rezim pemerintahan orde baru. Walaupun pedoman pembangunan nasional pada masa orde baru
menggunakan trilogi pembangunan. Ringkasnya trilogi pembangunan ini berisi tentang pemeraataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan
stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Kebijakan otonomi daerah ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa pemerintahan
yang lebih dekat dengan rakyat akan lebih mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat karena pemerintah dapat membuat dan melaksanakan rancangan program yang sesuai dengan
kebutuhan rakyat. Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya berdasarkan
kebijaksanaannya sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Dalam konteks hubungan struktural, konsekwensi dari otonomi daerah adalah pemerintah kabupatenkota
tidak lagi sekedar menjadi wakil atau perpanjangan tangan pemerintah pusat. Lebih dari itu, pemerintah daerah memiliki kewenangan otonom untuk menjalankan roda pemerintahan dan
pembangunan di daerahnya masing-masing. Melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999
tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, kebijakan otonomi daerah secara resmi diberlakukan di Indonesia. Pada dasarnya semua wewenang
didesentralisasikan kewenangannya kepada pemerintah kabupatenkota, dan hanya lima bidang strategis yang kewenangannya dipertahankan sebagai kewenangan pemerintah pusat,
yaitu politikhubungan luar negeri, agama, keuangan, pertahanan dan keamanan, dan hukumperadilan.
Basri 2009 membagi pelaksanaan otonomi daerah menjadi dua periode, yaitu otonomi daerah gelombang pertama 2001-2004 dan gelombang kedua 2005 sampai
sekarang. Pada gelombang pertama otonomi daerah semangat dan harapan perubahan bercampur dengan perasaan khawatir dan perasaan skeptis atas keberhasilan otonomi daerah
ini. Hal ini terjadi karena masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa masalah yang harus
dihadapi dan aneka pekerjaan yang harus dilaksanakan sangat banyak dan simultan. Padahal pemerintah daerah perlu waktu untuk belajar memikul tanggung jawab yang lebih besar dan
berkreasi secara mandiri dalam mengelola pembangunan di daerahnya masing-masing. Kesan yang dominan dari pelaksanaan otonomi daerah pada gelombang pertama ini
adalah ketidaksiapan aparat pemerintah daerah termasuk pimpinan-pimpinan politik dan pemerintahan lokal dalam menyambut otonomi daerah. Akibatnya otonomi daerah
diterjemahkan dengan perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip good governance. Penguasa lokal cenderung menganggap dirinya sebagai penguasa baru.
Gelombang kedua pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan revisi paket undang- undang otonomi daerah dari UU nomor 221999 dan UU nomor 251999 menjadi UU nomor
322004 dan UU nomor 332004. Perubahan paling fundamental dari revisi UU otonomi daerah itu adalah diberlakukannya mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat. Hal ini semakin menegaskan bahwa keberadaan kepala daerah merupakan representasi dari kehendak rakyat di daerah tersebut, bukan representasi dari pemerintah
pusat. Namun, terdapat kontradiksi dalam hal kewenangan pengangkatan sekretaris daerah, dimana pengangkatan sekretaris kabupatenkota menjadi kewenangan gubernur, dan
pengangkatan sekretaris provinsi menjadi kewenangan Presiden RI. Pengangkatan Sekda oleh Pejabat pemerintahan satu tingkat di atas ini menunjukkan bahwa Pemerintah masih tidak
rela terhadap desentralisasi secara penuh. Otonomi daerah di Indonesia diwujudkan dengan melakukan desentralisasi
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kewenangan yang didesentralisasikan meliputi desentralisasi administrasi, desentralisasi fiskal dan
desentralisasi politik. Dengan adanya desentralisasi tersebut yang sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah pusat bergeser menjadi kewenangan daerah. Sebagai konsekwensi
dari penyerahan kewenangan tersebut, pemerintah pusat memberikan dana yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah untuk pelaksanaan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat
kepada daerah.
6.2 Definisi dan Tujuan Desentralisasi 6.2.1 Definisi Desentralisasi