The Determinants of Foreign Direct Investment Inflows in Non Oil Manufacturing Sector in Indonesia.

(1)

MANUFAKTUR NON MIGAS DI INDONESIA

MOHAMMAD AMIN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan bahwa tesis “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Langsung di Sektor Industri Manufaktur Non Migas di Indonesia” merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

NRP. H151064224 Mohammad Amin


(3)

MOHAMMAD AMIN. The Determinants of Foreign Direct Investment Inflows in Non Oil Manufacturing Sector in Indonesia. (R.NUNUNG NURYARTONO as Chairman and DEDI BUDIMAN HAKIM as member of the advisory comittee)

The phenomena of de-industrialization as shown by the decrease of the contribution of the manufacturing sector to national GDP, could be one of the factors which is caused by the decrease of the proportion of FDI in the manufacturing industry to the overall foreign direct investment in non-oil manufacturing sector in Indonesia. This study analise the factors that influence FDI in non-oil manufacturing sector in Indonesia by using panel data from the period 1993 to 2008 with a unit cross section includes 26 main provinces (provinces that formed prior to the implementation of regional autonomy) in Indonesia .In addition to knowing the factors that affect of FDI in the manufacturing industry, this research is also expected to know the effect of decentralization on FDI in the manufacturing sector in Indonesia. Regression results using panel data indicate that the pull factors of FDI in non-oil manufacturing sector is the market size and infrastructure. While main push factor influencing FDI in non-oil manufacturing sector is wages and inflation. Fixed Effect Model output results show that decentralization (regional autonomy) significantly negative impact on FDI.


(4)

MOHAMMAD AMIN. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Di Sektor Industri Manufaktur Non Migas di Indonesia (R.NUNUNG NURYARTONO sebagai Ketua dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai anggota Komisi Pembimbing)

Gejala de-industrialisasi yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB nasional salah satunya dapat disebabkan oleh semakin menurunnya proporsi PMA di sektor industri manufaktur terhadap keseluruhan PMA di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian RI, pertumbuhan industri manufaktur selama 2004-2008 lebih rendah daripada pertumbuhan PDB. Dimana industri manufaktur tumbuh 5,6 persen, sedangkan PDB Nasional tumbuh 5,7 persen. Di sisi lain, persentase PMA di sektor industri manufaktur terhadap total PMA semakin menurun, dari 60,4 persen pada tahun 2006 menjadi hanya 30,4 persen pada tahun 2008.

Penelitian ini melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur di Indonesia dengan menggunakan data panel dari periode tahun 1993 sampai dengan 2008 dengan unit cross section meliputi 26 propinsi induk (propinsi yang terbentuk sebelum pelaksanaan otonomi daerah) di Indonesia. Selain untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur, penelitian ini juga diharapkan dapat mengetahui pengaruh otonomi daerah terhadap PMA di sektor industri manufaktur di Indonesia.

Hasil regresi menggunakan data panel menunjukkan bahwa faktor penarik yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur non migas adalah market size dan infrastruktur. Sedangkan faktor pendorong yang mempengaruhi PMA di sektor industri manufaktur non migas adalah upah dan inflasi. Hasil output Model Fixed Effect

menunjukkan bahwa otonomi daerah signifikan berpengaruh negatif terhadap PMA. Hasil ini bertolak belakang dari tujuan kebijakan otonomi daerah, yang diharapkan dapat memacu pembangunan ekonomi di daerah luar Jawa.

Otonomi daerah berpengaruh negatif terhadap PMA karena implementasi otonomi daerah mempunyai berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum penguasa lokal daerah. Locus praktek korupsi menyebar hampir merata di seluruh daerah propinsi dan kabupaten se-Indonesia dengan berbagai modus operandi. Permasalahan lain dalam implementasi kebijakan otonomi daerah adalah maraknya perda pungutan dan retribusi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Hal ini mendorong terciptanya

high cost economy, sehingga pelaku usaha harus membayar biaya tambahan yang membuat ongkos melakukan usaha menjadi lebih mahal. Selain itu, permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah menyangkut kapasitas aparatur daerah sehingga pekerjaan yang didesentralisasikan kewenangannya kepada daerah, tidak terselesaikan secara optimal.


(5)

@ Hak Cipta milik IPB tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB


(6)

MANUFAKTUR NON MIGAS DI INDONESIA

MOHAMMAD AMIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sain

Pada

Program Studi Ilmu EKonomi

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Sri Hartoyo, MS


(8)

Judul Penelitian : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Langsung di Sektor Industri Manufaktur Non Migas di Indonesia

Nama : Mohammad Amin NIM : H151064224 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si

Ketua Anggota

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim,M.Ec

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan SPs IPB

Ilmu Ekonomi

Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si

NIP. 196909091994031001 NIP. 1965081441990021001 Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc,Agr


(9)

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan karena berkat pertolongan, hidayah dan rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Semoga selanjutnya Allah senantiasa berkenan memberikan pertolongan, hidayah, rahmat dan ridlo dalam setiap proses hidup yang kita jalani.

Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing langsung di sektor industri manufaktur di Indonesia dalam kurun tahun 1993-2008. Topik penelitian ini relevan sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan untuk membenahi sektor industri dari sisi penanaman modal asingnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah studi penanaman modal asing di Indonesia.

Tulisan ini merupakan hasil dari proses yang cukup panjang, dengan berbagai kesulitan karena awamnya pengetahuan penulis. Hal ini dapat diatasi dengan bantuan dari banyak pihak, terutama komisi pembimbing melalui saran, masukan dan pemikiran untuk memperkaya tesis ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Bapak Dr. R. Nunung Nuryartono sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Dedi Budiman Hakim sebagai anggota komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Sri Hartoyo sebagai dosen penguji luar komisi.

Ucapan terimakasih khususnya penulis sampaikan kepada :

1. Rektor, Dekan dan seluruh keluarga besar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Pasca Sarjana di IPB.

2. Pengelola program beserta seluruh staf pengajar Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor atas bimbingan selama masa perkuliahan serta staf sekretariat Pasca Sarjana Program Ilmu Ekonomi atas dukungan dan bantuan selama perkuliahan.

3. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana IPB.

4. Teman-teman di BKPM, BPS, Kementerian Perindustrian, PLN dan pihak-pihak lain yang telah membantu data.


(10)

ekonometrika, walaupun masih jauh dari sempurna. 6. Sahabat Nusron Wahid yang telah membantu biaya kuliah.

7. Ibu, Bapak, Ibu Mertua, saudara dan semua insan yang telah memberikan budi baik kepada penulis. Semoga Tuhan yang Maha Kuasa memberi balasan dengan berlipat ganda.

8. Terakhir tetapi teramat penting, terimakasih saya sampaikan ke pada istri saya Yustiti Mufidah atas dukungan yang telah diberikan untuk menyelesaikan studi. Juga untuk amanah Tuhan yang mewujud dalam diri anak-anak kami, Mohammad Rajendra Jati dan Indira Shofia Wardani. Semoga kelak engkau berdua lebih baik daripada Ibu Bapakmu.

Tulisan ini saya yakini sangat banyak kekurangan dan keterbatasan, namun demikian penulis berharap walaupun kecil ada manfaat yang dapat diambil dari tulisan ini. Semoga kelak penulis dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Amin

Bogor, Juli 2011


(11)

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Desember 1980 di Demak, Jawa Tengah, sebagai anak kelima dari enam bersaudara keluarga Bapak Mat Hasyim dan Ibu Siti Muslichah.

Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Merak, Dempet Demak. Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Godong, Grobogan, dan Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Negeri 1 Demak, Jawa Tengah. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan tinggi di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Diponegoro Semarang, dan lulus sebagai Sarjana Sosial pada tahun 2004. Penulis mulai bekerja pada tahun 2004 sebagai Asisten Anggota DPRRI, dan mulai tahun 2005 bekerja sebagai staf Yayasan MataAir Jakarta sampai sekarang.

Penulis menikah dengan Yustiti Mufidah pada tahun 2005, dan dikaruniai dua orang anak, Mohammad Rajendra Jati dan Indira Shofia Wardani.


(12)

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB. I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan Penelitian ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian... 5

1.5 Keterbatasan Penelitian ... 6

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritik ... 7

2.2. Penelitian Terdahulu ... 26

2.3. Kerangka Penelitian ... 30

BAB.III METODE PENELITIAN 3.1. Data... 32

3.2 Metode Analisis Data ... 33

3.3 Model Penelitian ... 35

BAB.IV GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR DAN PMA 4.1.Industri Manufaktur dan Perekonomian Nasional... 37

4.2 Gambaran Penanaman Modal di Indonesia... 44

BAB.V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.Pemilihan Model Terbaik... 56


(13)

6.2 Definisi dan Tujuan Desentralisasi... 65

6.3 Permasalahan Otonomi Daerah... 67

BAB.VII.KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1.Kesimpulan... 72

7.2 Implikasi Kebijakan... 73

7.3 Saran untuk Penelitian Lebih Lanjut... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(14)

Nomor Halaman

1. Perkembangan 12 Besar Hasil Industri... 39

2. Kontribusi Industri Manufaktur terhadap PDB... 42

3. Realisasi PMA Langsung di Sektor Industri Manufaktur ... 48

4. Realisasi PMA berdasarkan Negara Asal ... 49

5. Distribusi PMA Langsung... 54

6. Hasil Regresi Data Panel ... 57

7. Produktivitas Tenaga Kerja Negara ASEAN ... 61


(15)

1. Keterkaitan Industri dengan Penanaman Modal... 1

2. Persebaran PMA berdasarkan Lokasi ... 4

3. Marginal Efficiency of Investment ... 8

4. Visious circle of cumulative development ... 18

5. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 30

6. Pengujian Penentuan Model ... 33

7. Kontribusi Industri Manufaktur terhadap Ekspor ... 39

8. Kontribusi Industri Manufaktur terhadap PDB ... 41

9. Realisasi PMDN dan PMA ... 45


(16)

Nomor

1. Hasil Output Eviews

2. Index Persepsi Korupsi Tahun Tahun 2004-2008 3. Data Perda yang Dikaji Pemerintah Pusat 4. Data Perda yang Dibatalkan Pemerintah Pusat


(17)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penanaman modal sangat penting untuk membiayai pembangunan dan untuk membiayai industri, karena dana yang dimiliki negara terbatas sehingga tidak cukup untuk membiayai keseluruhan sektor belanja pembangunan, membayar pinjaman luar negeri dan membiayai subsidi. Jika tidak didukung dengan penanaman modal dari swasta, program-progam pembangunan nasional akan berjalan lambat. Untuk menutup kekurangan dana pembangunan tersebut, pemerintah dapat mengandalkan dari sektor swasta domestik, yakni bank, non bank dan pasar modal maupun dari swasta asing, baik berupa pinjaman ataupun investasi langsung.

Terkait dengan sumber pembiayaan pembangunan, Lutfi (2006) mengklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, sumber internal dalam negeri, dari tabungan domestik. Kedua, sumber eksternal (luar negeri), dari pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing. Ketiga, dari hasil ekspor. Hubungan antara industri dengan penanaman modal ditunjukkan pada Gambar 1.1

Gambar 1.1 : Keterkaitan Industri dengan Penanaman Modal Sumber : Lutfi (2006) dengan modifikasi.


(18)

Penanaman modal asing langsung (PMAL) merupakan sumber pembiayaan yang paling berkualitas. PMAL lebih mampu menjamin kelangsungan pembangunan daripada bantuan atau modal portofolio, karena PMAL akan diikuti dengan pengembangan SDM negara tujuan PMAL melalui transfer teknologi, pengetahuan dan kemampuan manajerial dari perusahaan yang melakukan PMAL (Panayotou, 1998). Biasanya negara-negara yang akumulasi modal (kapital) dan pengembangan teknologinya lemah, akan tumbuh lebih lambat daripada negara-negara yang mempunyai tingkat investasi tinggi dan belanja untuk penelitian dan pengembangannya tinggi (Udo & Obiora, 2006).

Indonesia memiliki modal dasar yang cukup kuat untuk menarik minat swasta agar menanamkan modal di sektor riil yang meliputi potensi pasar yang sangat besar, tenaga kerja yang murah dan sumber daya alam yang melimpah. Dalam konteks potensi pasar, Indonesia memiliki jumlah penduduk mencapai 230 juta jiwa, akibat langsung dari jumlah penduduk ini adalah jumlah permintaan terhadap berbagai produk barang dan jasa juga sangat besar. Dengan jumlah permintaan yang sangat besar, produksi barang dan jasa yang harus dihasilkan juga sangat besar. Biasanya, ongkos produksi dalam jumlah besar jauh lebih murah jika dibandingkan dengan ongkos produksi barang dan jasa dalam jumlah lebih sedikit. Dalam konteks tenaga kerja, selain melimpah jumlah tenaga kerja Indonesia juga murah. Hal ini sangat cocok bagi perusahaan untuk menekan biaya produksi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja Indonesia pada bulan Februari 2009 ini mencapai 113.744.408 jiwa. Sedangkan dalam konteks sumber daya alam, ketersediaan potensi alam Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku industri manufaktur, baik dari hasil hutan, pertanian, perikanan dan kelautan, tambang dan perkebunan.

Modal dasar tersebut merupakan daya tarik bagi pelaku usaha untuk menanamkan modal usahanya, tetapi ada faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha. Prinsip pokok yang menjadi pertimbangan dalam melakukan kegiatan penanaman modal adalah ekspektasi terhadap keuntungan yang mungkin diperoleh. Jika lebih menguntungkan untuk melakukan kegiatan penanaman modal di luar negeri dari pada di dalam negeri, maka investor akan melakukan kegiatan


(19)

penanaman modal di luar negeri, yang lazim disebut dengan penanaman modal asing.

1.2 Permasalahan

Isu yang paling krusial dalam strategi pembangunan pada era orde baru adalah terjadinya sentralisasi pembangunan di Jawa. Akibatnya, terjadi ketimpangan sosial ekonomi antara daerah di Jawa dan di luar Jawa. Tidak hanya dalam hal infrastruktur ekonomi, tetapi juga meluas dalam sektor lain, termasuk dalam hal jumlah penduduk dan sarana pendidikan. Permasalahan sentralisasi di Jawa ini yang diperbaiki melalui kebijakan otonomi daerah pada era reformasi.

Praktek sentralisasi pada era orde baru juga terjadi pada sektor penanaman modal asing. Penanaman modal asing di Indonesia tidak tersebar secara seimbang di setiap propinsi. Terjadi kesenjangan yang sangat mencolok antara satu propinsi dengan propinsi lainnya, terutama kalau dikelompokkan menjadi Jawa dan Luar Jawa. Secara rata-rata pada periode 1993-2008, prosentase distribusi penanaman modal asing di Jawa mencapai 81 persen sedangkan di luar Jawa hanya 19 persen. Fakta ini menjadi jawaban terhadap lambatnya pembangunan dan kemajuan di daerah luar Jawa.

Gambaran tentang kondisi penanaman modal asing di atas memperlihatkan bahwa permasalahan pokok dalam PMAL di Indonesia adalah tidak terjadinya unsur pemerataan dalam konteks persebaran geografis dari realisasi PMAL di propinsi-propinsi di Indonesia. Dengan mempertimbangkan manfaat PMAL langsung bagi pembangunan, khususnya dalam hal pengembangan industri, tidak terjadinya pemerataan realiasi PMAL dapat menjadi penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi yang cukup tajam di antara kawasan di Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang terkonsentrasinya realisasi PMAL di propinsi tertentu saja, dapat dilihat pada Gambar 1.2 tentang persebaran realisasi PMA berdasarkan lokasi.


(20)

Gambar 1.2 : Konsentrasi PMAL di Lima Propinsi Sumber : BKPM (diolah)

Gambar di atas memperlihatkan secara jelas bahwa persebaran tidak terjadi secara merata di semua propinsi. Bahkan terlihat ketimpangan yang sangat tajam. Realisasi PMAL berdasarkan lokasi di lima besar propinsi, selama sepuluh tahun terakhir rata-rata mencapai 84,9 persen dari keseluruhan realisasi PMAL di Indonesia. Itu artinya, selama sepuluh tahun terakhir ini hanya rata-rata sebesar 15,1 persen dari keseluruhan realisasi PMAL yang terdistribusi ke 28 propinsi lainnya di Indonesia.

Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, dari peringkat besar 5 propinsi dengan realisasi PMAL terbesar tersebut, daerah yang menjadi langganan 5 besar tidak banyak mengalami perubahan. Hanya Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten yang selalu masuk peringkat 5 besar. Catatan cukup baik diraih oleh Riau, Jatim dan Kaltim yang masing masing masuk 7 kali (Riau), 6 kali (Jatim) dan 3 kali (Kaltim) ke jajaran peringkat 5 besar. Sedangkan Sumut, Sulteng, Jateng, Papua, Sumsel dan Sulsel masing-masing hanya sekali masuk 5 besar. Bahkan, jika dilihat dari prosentase setiap provinsi dari 5 besar tersebut, DKI Jakarta mendominasi realisasi PMA dengan rata-rata mencapai 33,47 persen, disusul Jawa Barat (24,8 persen), Jawa Timur (10,7 persen), Banten (9,6 persen), dan Riau (7,1 persen).


(21)

Berdasarkan gambaran tersebut, permasalahan yang secara khusus dikaji lebih jauh adalah :

1. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya PMAL di sektor industri manufaktur non migas ke propinsi di Indonesia?

2. Apakah kebijakan otonomi daerah berpengaruh terhadap perubahan distribusi realisasi PMAL di sektor industri manufaktur non migas di propinsi-propinsi di Indonesia?

3. Kebijakan apa yang seharusnya diterapkan untuk meningkatkan PMAL di sektor industri manufaktur non migas di Indonesia?

Dugaan awal terkait dengan permasalahan tersebut adalah bahwa terjadinya perbedaan mencolok jumlah realisasi PMAL di daerah-daerah di Indonesia karena adanya perbedaan kondisi variabel-variabel yang berpengaruh. perbedaan yang paling mencolok terdapat pada aspek infrastruktur dalam hal ini adalah listrik dan jalan. Sebagai contoh akumulasi jumlah listrik yang terjual di Pulau Jawa, lebih tinggi daripada jumlah listrik terjual di seluruh Indonesia selain Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel infrastruktur mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap PMAL di Indonesia. Selain itu, dalam aspek upah, besar UMP di Jawa lebih murah daripada wilayah lain di Indonesia selain Bali dan Nusa Tenggara. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat upah mempunyai pengaruh negatif terhadap PMAL.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA langsung di sektor industri manufaktur non migas di propinsi-propinsi di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap perubahan distribusi realisasi PMA langsung di Indonesia.

3. Merekomendasikan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan PMA langsung di sektor industri manufaktur non migas di propinsi-propinsi di Indonesia.


(22)

1.4 Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dalam konteks akademik, penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan teori tentang penanaman modal, dan sekaligus diharapkan akan dapat menjadi referensi akademik bagi mahasiswa dan pengajar yang menggeluti bidang ekonomi.

2. Dalam konteks praksis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan referensi bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi, khususnya yang terkait dengan penanaman modal dan pengembangan industri nasional.

1.5 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pembatasan sebagai berikut :

1. Jumlah propinsi yang dipilih untuk penelitian ini hanya 26 Propinsi, yaitu propinsi-propinsi yang sudah terbentuk sebelum tahun 2000. Jadi propinsi baru hasil pemekaran, tidak diikutsertakan dalam analisis penelitian ini.

2. Periode waktu penelitian ini hanya pada rentang waktu tahun 1993 sampai dengan 2008, dengan menggunakan data tahunan (annual). Secara khusus untuk mengkaji realisasi PMAL di sektor industri manufaktur non migas sebelum kebijakan otonomi daerah diberlakukan (1993-2000) dan setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan (2001-2008).


(23)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teoritik

2.1.1 Investasi atau penanaman modal

Fisher (1930) dalam teori yang dikenal sebagai “second approximation to the theory of interest’ berpendapat bahwa pada dasarnya semua modal adalah modal yang berputar, atau dengan kata lain semua modal digunakan dalam proses produksi, jadi dalam istilah Fisher, tidak ada yang namanya stock of capital (K). Dalam pengertian ini, secara faktual semua modal merupakan investasi. Dalam pengertian yang lebih mudah, Fisher ingin menjelaskan bahwa investasi yang dilakukan dalam bentuk membeli saham di pasar modal (bursa efek) tidak dapat dikategorikan sebagai modal, karena investasi jenis ini dapat diambil sewaktu-waktu oleh pemegang saham sehingga tidak dapat digunakan untuk proses produksi.

Keown et.al dalam Lutfi (2006) mendefinisikan penanaman modal sebagai tindakan mengorbankan dana yang dikeluarkan pada saat ini untuk mendapatkan imbalan dana di waktu yang akan datang. Hal ini berkaitan dengan nilai waktu dari uang, dimana uang yang kita terima saat ini akan jauh lebih berharga dibandingkan dengan uang akan kita terima tahun depan.

Penanaman modal mempunyai karakter khusus sebagai instrumen perekonomian yang paling sering berubah, dan sekaligus sebagai penghubung antara komponen fiskal dengan moneter. Fungsi investasi Keyness menyebutkan bahwa investasi (I) merupakan fungsi dari suku bunga (r), dengan menotasikan:

I = I (r)... (2.1)

Blanchard (2006) memberi ilustrasi bahwa dalam melakukan investasi, suatu perusahaan akan menggunakan pertimbangan yang sebenarnya sederhana. Tindakan yang pertama kali dilakukan perusahaan adalah menghitung nilai saat ini (present value) dari keuntungan yang diharapkan dari investasi tersebut, diperbandingkan dengan biaya melakukan investasi tersebut. Jika nilai saat ini dari keuntungan yang diharapkan dari investasi tersebut melebihi biaya investasi, maka perusahaan akan melakukan investasi. Sebaliknya, jika nilai saat ini lebih rendah


(24)

dari biaya dalam melakukan investasi, maka perusahaan tidak akan melakukan investasi.

Lebih jauh, Blanchard menotasikan fungsi investasi sebagai: It=I(V(∏et) ...(2.2)

Maksud dari fungsi tersebut adalah bahwa investasi tergantung pada nilai sekarang yang diharapkan dari keuntungan masa depan. Semakin tinggi nilai saat ini dan nilai yang diharapkan dari keuntungan, maka akan semakin tinggi tingkat investasi yang dilakukan. Dan semakin tinggi nilai suku bunga saat ini, berarti semakin rendah nilai saat ini yang diharapkan, oleh karenanya semakin rendah tingkat investasi yang dilakukan.

Sedangkan dalam perspektif Fisher, fungsi maksimisasi keuntungan perusahaan dapat dituliskan dengan persamaan:

Max ∏ = f (I1)- (1+r) I1 ...(2.3)

Fungsi tersebut menggambarkan keputusan optimal untuk melakukan investasi akan terjadi pada saat : f’ = (1+r). Lebih lanjut Fisher menjelaskan bahwa f’-1 sebagai marginal rate of return over cost, atau dalam istilah lain Keyness menyebutnya sebagai the “marginal efficiency of investment”. Jadi, kondisi optimum dari investasi suatu perusahaan akan terjadi pada saat MEI = r. Ini artinya bahwa investasi berkaitan dengan tingkat suku bunga. MEI ini merupakan indikator untuk melihat apakah nilai tambah yang diperoleh ketika melakukan investasi lebih besar daripada nilai tambah yang diperoleh ketika seseorang memilih menabung uangnya di bank. Secara grafis, MEI dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.1.


(25)

Gambar 2.1 menjelaskan bahwa jika diperkirakan keuntungan yang diperoleh ketika melakukan investasi lebih besar daripada perolehan dari suku bunga bank (r) yang diperoleh seseorang ketika menyimpan uangnya di bank, dengan asumsi pelaku ekonomi bertindak rasional, maka seseorang akan terdorong untuk berinvestasi. Sebaliknya, jika keuntungan yang mungkin diterima ketika melakukan investasi lebih kecil daripada keuntungan ketika menyimpan uangnya di bank, maka pilihan yang rasional adalah menyimpan uang di bank.

2.1.2 Investasi Asing atau Penanaman Modal Asing

Accoley (2005) mendefinisikan penanaman modal asing sebagai penanaman modal yang dilakukan di luar negeri baik dengan membangun fasilitas poduksi baru, ataupun dengan mengakuisisi saham perusahaan yang sudah mapan dalam jumlah minimum tertentu. Tidak jauh berbeda dengan Accoley, UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengartikan penanaman modal asing sebagai kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

Lebih jauh, Asiedu (2002) berpendapat bahwa dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing, sangat penting untuk membedakan dua jenis PMAL, yaitu market seeking dan non market seeking. Tujuan utama dari jenis PMAL market seeking adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Barang-barang diproduksi di negara tujuan PMAL (host country) dan dijual di negara tersebut. Konsekwensinya, permintaan pasar domestik yang terlihat dari populasi yang besar dan pendapatan yang tinggi dari masyarakat host country sangat menentukan keberadaan PMAL. Oleh karena itu, di negara-negara miskin, jenis PMAL market seeking sangat kecil jika dibandingkan dengan jenis PMAL non market seeking. Di negara-negara miskin, barang-barang diproduksi di host country, tetapi di jual ke luar negeri. Sedangkan untuk jenis PMAL non market seeking, penanaman modal lebih dominan berbasis sumber daya alam dan berorientasi ekspor. Oleh sebab itu, faktor permintaan pasar domestik tidak berpengaruh terhadap PMAL jenis ini. Faktor yang lebih berpengaruh terhadap


(26)

PMAL jenis non market seeking adalah kemudahan bagi perusahaan untuk meng-export barang-barang yang diproduksinya ke luar negeri.

Teori-teori tentang faktor yang mempengaruhi PMAL dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu, micro level theory yang fokus pada keadaan yang membuat perusahaan melakukan produksi di luar negeri, dan macro level theory yang mencoba mencari faktor-faktor apa yang menentukan tingkat PMAL yang terjadi pada suatu negara (Accoley, 2005). Teori-teori yang termasuk dalam kategori micro level theory adalah the internationalizaton models of the Uppsala School, Vernon’s product life cycle hypothesis, dan the industrial organization theories. Sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kategori macro level theory adalah Exchange Rate, Economic Growth, Market Size dan Faktor-faktor lainnya (tingkat keterbukaan ekonomi, tingkat upah, privatisasi, hambatan-hambatan perdagangan, stabilitas makro ekonomi dan kebijakan pemerintah tentang penanaman modal asing.

The Internalization Models of the Uppsala School.

Model ini dikembangkan oleh Johanson dan Widersheim-Paul (1975) dari Universitas Uppsala Swedia. Mereka menjelaskan bahwa perusahaan multi nasional biasanya tidak memulai aktivitas usahanya dengan melakukan PMAL ke negara lain. Melainkan melalui empat tahapan proses untuk masuk ke pasar internasional. Pada tahap pertama perusahaan beroperasi di pasar domestik dan secara perlahan memperluas aktivitas usahanya ke pasar luar negeri. Selama tahapan pertama ini, perusahaan multi nasional hanya akan memproduksi dan menjual produknya di dalam negeri. Pada tahapan kedua perusahaan mulai melibatkan diri dalam perdagangan internasional dengan melakukan ekspor produknya ke negara tetangga dan negara-negara yang dikenal dengan baik melalui kantor perwakilan atau agen di negara tersebut. Perbedaan antara negara asal dengan negara tujuan ekspor, baik dalam hal perbedaan bahasa, budaya, sistem politik, tingkat pendidikan dan tingkat industrialisasi mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap keputusan melakukan ekspor.

Tahapan ketiga dari penanaman modal asing ditandai dengan pendirian perusahaan penjualan di luar negeri. Besar atau kecilnya potensi pasar akan menjadi faktor yang menentukan lokasi didirikannya perusahaan penjualan tersebut.


(27)

Sedangkan pada tahap keempat, perusahaan mulai mendirikan perusahaan atau melakukan akuisisi terhadap perusahaan industri di luar negeri. Keputusan untuk mendirikan atau melakukan akuisisi perusahaan manufaktur di luar negeri dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu jarak, hambatan tarif dan non tarif, biaya transportasi dan lain-lain.

The Industrial Organization Theories

Kerangka teori ini berangkat dari argumentasi bahwa penyebab perusahaan melakukan penanaman modal asing sama dengan penyebab perusahaan ini melakukan perluasan usaha di dalam negeri. (Penrose, 1956; Caves, 1971; Accoley, 2005). Caves meneliti karakteristik intrinsik dari industri yang mempunyai potensi menarik PMAL. Caves membagi PMAL menjadi dua, yaitu horizontal investment dan vertical investment. Untuk horizontal investment, PMAL terjadi pada industri yang mempunyai karakter oligopoli dengan diferensiasi produk, baik di host country maupun di home country. Sedangkan untuk vertical investment, PMAL akan lebih menyukai industri yang mempunyai karakter oligopoli, dengan tidak ada diferensiasi produk di home country.

Menurut Hymer (1960), perusahaan melakukan horizontal investment karena mereka memiliki aset-aset khusus yang menghasilkan return tinggi di pasar luar negeri dengan hanya melalui produksi di luar negeri. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus ekspansi di pasar domestik, alasan dibalik terjadinya integrasi vertikal di antara perusahaan domestik adalah untuk menghindari ketidakpastian pasar oligopolistik dan untuk menghindari ketegangan dengan pesaing baru karena ada hambatan untuk masuk ke pasar.

Product Life Cycle Theory

Pada tahun 1960-an, Raymond Vernon mengembangkan teori yang populer dengan nama product life cycle theory. Teori ini menggabungkan antara kaidah inovasi, ekspansi pasar, keunggulan komparatif dan respon strategis terhadap persaingan global dalam hal keputusan industri, perdagangan dan investasi.

Teori product life cycle ini menggambarkan bahwa pergeseran produksi, perdagangan dan investasi internasional terbentuk melalui tiga tahapan. Tahapan pertama, the new product stage. Dalam tahap ini, perusahaan mengembangkan dan


(28)

memperkenalkan produk baru untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Karena produk baru, belum dapat dipastikan penerimaan produk dan keuntungan perusahaan yang memproduksinya. Perusahaan harus memantau secara dekat dan langsung untuk mengetahui kepuasan konsumen terhadap produk tersebut. Umpan balik dari pasar yang cepat sangat penting. Awalnya produk baru diproduksi di negara yang tradisi penelitian dan pengembangannya sangat kuat. Seperti Jepang, Jerman dan USA. Kemudian, karena pasar juga tidak pasti, perusahaan biasanya akan meminimalisasi kapasitas investasi untuk produk baru tersebut. Sehingga sebagian besar produk awalnya dijual di pasar domestik, dan hanya sedikit yang dijual di pasar ekspor.

Tahap kedua dari product life cycle theory adalah the maturing product stage. Permintaan pasar terhadap produk meningkat secara tajam setelah konsumen mengetahui nilai produk tersebut, sehingga perusahaan harus membangun pabrik baru untuk meningkatkan kapasitas produk dan memenuhi permintaan konsumen, baik permintaan domestik maupun permintaan luar negeri. Dalam tahap ini, pesaing bisnis mulai bermunculan, karena prospek bisnis yang menjanjikan keuntungan besar.

Tahapan ketiga dari teori ini adalah the standardized product stage. Dalam tahap ini, produk menjadi lebih dari sekedar komoditas, dan perusahaan dipaksa untuk menurunkan biaya produksinya semurah mungkin, sehingga perusahaan harus memindahkan atau mengalihkan produksinya ke negara yang ongkos tenaga kerjanya murah. Konsekwensinya, negara asal (home country) tempat perusahaan induk harus mengimpor produk tersebut untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Ilustrasi dari tahap ini misalnya terjadi dalam kasus industri komputer, di mana perusahaan di Amerika Serikat harus meng-impor dari produsen baru seperti Hyundai dan Samsung (Korea Selatan) atau Lenovo dari China. Perusahaan-perusahaan industri manufaktur Taiwan seperti MITAC International, Tatung dan TECO Information System secara rutin setiap tahun mengekspor jutaan komputer ke Amerika Serikat, beberapa diantara perusahaan manufaktur Taiwan melakukan kontrak produksi dengan distributor asing.

Berdasarkan teori Product Life Cycle ini, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa produksi domestik mulai tumbuh pada tahap 1, mencapai puncaknya pada


(29)

tahap 2 dan merosot pada tahap 3. Ekspor oleh perusahaan inovatif (innovating firms) mulai pada tahap 1, mencapai puncak pada tahap 2, dan pada tahap 3, perusahaan inovatif itu menjadi net importir produk yang pertama kali diperkenalkannya. Kompetitor asing mulai tumbuh pesat pada akhir tahap 1, karena perusahaan di negara industri lain mulai mengetahui potensi pasar produk tersebut, pada tahap 2, kompetitor asing mulai memperluas kapasitas produksi untuk memenuhi peningkatan permintaan pasar domestik, dan mungkin juga menjadi net eksportir. Karena kompetisi yang sangat ketat pada tahap 2, the innovating firms dan pesaing-pesaingnya (baik lokal maupun asing) berupaya menurunkan biaya produksinya dengan mengalihkan produksinya di negara-negara berkembang yang masih murah upah tenaga kerjanya. Sehingga pada tahap ketiga, negara-negara berkembang dapat menjadi net eksportir produk tersebut.

Teori Eklektik Dunning

Dunning (1960) dengan teori eklektik untuk menjelaskan tentang kenapa dalam melakukan produksi suatu perusahaan memilih di luar negeri. Dalam teori ini, perusahaan akan melakukan proses produksi di luar negeri jika tiga hal berikut memuaskan: 1). Ownership advantage. Perusahaan harus memiliki keunggulan kompetitif yang unik daripada perusahaan di negara tujuan (host country). 2). Location advantage. Aktivitas usaha di luar negeri harus menguntungkan daripada aktivitas usaha di negara asal. Contohnya, PT. Caterpillar memproduksi Buldoser di Brazil karena upah tenaga kerja lebih murah dan untuk menghindari tarif ekspor yang tinggi di Amerika Serikat. 3). Internalization advantage. Aktivitas perusahaan mengelola atau mengawasi langsung usaha di luar negeri harus lebih menguntungkan daripada menyewa perusahaan lokal untuk menyediakan jasa tersebut.

Ownership Advantages merupakan kekayaan yang dimiliki oleh

perusahaan, baik yang tangible maupun yang intangible yang mempunyai keunggulan kompetitif yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Dengan asumsi bahwa perusahaan lokal di negara tujuan (host country) lebih memahami kondisi di dalam negerinya dari pada perusahaan asing, maka perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar host country harus mempunyai ownership advantage agar dapat mengatasi hambatan-hambatan tentang kondisi pasar yang belum diketahuinya


(30)

dengan baik, baik menyangkut informasi tentang negara tujuan, kondisi politik maupun budaya-budaya negara tujuan.

Location Advantages merupakan faktor-faktor yang membuat perusahaan

lebih lebih menguntungkan melakukan produksi di negara tujuan (host country) dari pada di negara asal (home country). Dalam menentukan tempat melakukan produksi, perusahaan-perusahaan secara seksama membandingkan karakter ekonomi dan non ekonomi dari negara asal (home country) dengan karakter negara tujuan (host country). Jika melakukan produksi di negara asal lebih menguntungkan daripada melakukan produksi di negara tujuan, perusahaan akan lebih memilih masuk ke pasar negara tujuan melalui ekspor. Pilihan seperti ini dilakukan oleh Siam Cement-perusahaan semen Thailand- yang lebih mengandalkan ekspor untuk memasok semen ke Kamboja, Semen dan Laos. Namun jika melakukan produksi di negara tujuan lebih menguntungkan, maka perusahaan asing akan memilih melakukan penanaman modal di negara tujuan atau memberikan lisensi penggunaan teknologi dan merk kepada perusahaan lokal di negara tujuan.

Banyak faktor yang digunakan sebagai pertimbangan untuk sampai kepada pilihan yang lebih menguntungkan tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah tingkat upah, harga sewa lahan, peluang pasar di negara tujuan, akses terhadap pengembangan SDM, dukungan logistik, biaya administrasi, resiko politik, keamanan, korupsi birokrasi, stabilitas pemerintahan dan kebijakan pemerintah.

Internalization advantages merupakan faktor-faktor yang membuat

perusahaan lebih menguntungkan untuk melakukan sendiri proses produksi barang dan jasa daripada menyerahkan proses produksi kepada perusahaan di negara tujuan. Besarnya biaya produksi, baik biaya negosiasi, biaya pengawasan dan biaya enforcing agreement menjadi faktor penentu untuk memilih model dalam melakukan penanaman modal. Jika biaya-biaya tersebut mahal, perusahaan asing akan lebih memilih penanaman modal asing secara penuh atau joint venture. Namun jika biaya-biaya tersebut murah, maka perusahaan asing akan lebih memilih model franchising, lisencing atau contract manufacturing.

Griffin & Pustay (2007) membuat klasifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi PMA langsung ke dalam tiga kategori, yaitu supply factors, demand factors dan political factors. Faktor yang termasuk ke dalam kategori supply factors


(31)

adalah biaya produksi, logistik, ketersediaan sumber daya alam dan akses terhadap teknologi. Sedangkan faktor yang termasuk ke dalam demand factors adalah akses kepada pelanggan, keunggulan pemasaran, exploitation of competitive advantages dan mobilitas pelanggan. Sedangkan faktor yang termasuk dalam political factors adalah penghilangan hambatan perdagangan dan insentif pengembangan ekonomi.

Lebih jauh, Griffin & Pustay menjelaskan ada tiga metode dalam melakukan PMA langsung. Yaitu, greenfield strategy, Acquisition strategy dan joint venture. Pada prinsipnya, greenfield strategy ini adalah metode PMA langsung dengan cara membangun sarana & prasarana produksi baru. Perusahaan membeli atau menyewa lahan, membangun fasilitas baru menyewa atau menempatkan manajer dan pekerja di tempat baru ini, lalu melakukan operasi bisnis baru.

Greenfield strategy mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, perusahaan dapat memilih tempat yang terbaik untuk bertemu langsung dengan pelanggan (pasar), dan membangun fasilitas produksi yang modern dan canggih. Kedua, biasanya pemerintahan di suatu negara menawarkan insentif bagi kegiatan pengembangan ekonomi, karena menciptakan lapangan kerja baru. Ketiga, perusahaan tidak memulai usaha dengan permasalahan warisan. Seperti peralatan yang usang, tanggung jawab terhadap utang ataupun permasalahan dengan karyawan. Keempat, perusahaan juga dapat menemukan atau menciptakan budaya bisnis yang baru. Faktor adanya perbedaan budaya yang sangat tajam antara home country dengan host country, biasanya membuat perusahaan multinasional memilih membangun perusahaan baru daripada memebli perusahaan yang sudah berjalan.

Tetapi, green field strategy juga mempunyai kelemahan. Pertama, untuk meraih keberhasilan membutuhkan waktu dan kesabaran. Dalam hal ini, perusahaan baru harus memulai semua proses dari nol, sehingga tidak bisa langsung meraih keberhasilan. Kedua, lokasi yang diinginkan seringkali tidak tersedia (unavailable) atau sangat mahal. Ketiga, dalam membangun pabrik baru, perusahaan harus menyesuaikan dg berbagai macam peraturan lokal dan peraturan perundang-undangan nasional, seperti AMDAL, ijin gangguan dan lain-lain. Keempat, perusahaan harus mengawasi proses pembangunan gedung dan sarana perusahaan, agar sesuai dengan kualifikasi dan standard yang ditetapkan. Kelima, perusahaan harus merekrut pekerja lokal dan melatihnya sesuai dengan standard perusahaan.


(32)

Keenam, dengan membangun pabrik baru, anggapan masyarakat bahwa pabrik tersebut merupakan perusahaan asing akan sangat kuat.

Strategi kedua dikenal dengan akuisi. Pada prinsipnya, srategi akusisi ini adalah dengan mengambil alih perusahaan yang sudah berjalan di host country. Proses akuisisi sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak, mulai dari bankir, pengacara, dan ahli-ahli merger & akuisisi perusahaan. Motivasi dasar dari akuisisi ini sederhana, melalui akuisisi perusahaan yang sudah berjalan, pembeli dapat langsung melakukan kontrol terhadap perusahaan, tenaga kerja, teknologi dan jaringan kerja perusahaan. Tidak seperti greenfield strategy, tidak ada penambahan kapasitas produksi baru dalam industri. Seringkali, perusahaan asing melakukan akuisisi sebagai cara untuk masuk ke pasar baru. Sebagai contohnya, Produsen semen asal Mexico, Cemex SA, pada tahun 1998 membeli 14 persen saham PT Semen Gresik, untuk mendapatkan keuntungan dari penguasaan pasar PT Semen Gresik di Indonesia. Atau juga, PT. Philip Morris yang mencoba masuk ke pasar rokok kretek Indonesia dengan membeli 40 persen saham PT. HM. Sampoerna pada tahun 2005. Dalam kepentingan yang lain, akuisisi dilakukan untuk melakukan perubahan strategis secara besar-besaran. Seperti yang dilakukan perusahaan minyak Arab Saudi, dengan membeli perusahaan pemurnian Korea Selatan, untuk mengurangi ketergantungan terhadap produksi minyak mentah.

Strategi akuisisi mempunyai beberapa kelemahan. Dalam proses akuisisi, perusahaan yang mengakuisisi harus mengambil alih semua tanggung jawab perusahaan yang diakuisisi. Jika perusahaan yang diakuisisi mempunyai catatan yang buruk terkait dengan hubungan industrial (hubungannya dengan tenaga kerja) atau catatan buruk dalam pengelolaan lingkungan, maka perusahaan akan terbebani untuk mengambil alih tanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

Strategi lain untuk melakukan penanaman modal adalah melalui joint venture. Joint venture terbentuk ketika dua atau lebih perusahaan menyetujui untuk bekerja bersama dan membuat perusahaan bersama yang terpisah dari perusahaan induknya untuk mempromosikan kepentingan bersama mereka. Beberapa pertimbangan yang digunakan dalam melakukan joint venture adalah perkembangan yang sangat cepat dalam hal teknologi, komunikasi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang melampaui kemampuan perusahaan internasional untuk


(33)

mendapatkan keuntungan atau peluang bisnis. Bentuk pengelolaan perusahaan joint venture ini ada tiga. Pertama, perusahaan pendiri bergabung bersama-sama dengan melakukan share manajemen, dengan masing-masing menempatkan key person yang mewakili perusahaan pendiri. Kedua, salah satu perusahaan pendiri diberi tanggung jawab untuk mengelola perusahaan secara lebih dominan. Atau ketiga, menyewa tim manajemen independen untuk mengelola perusahaan joint venture tersebut. Joint venture mempunyai beberapa keunggulan, yaitu, dapat menjadi pintu masuk untuk masuk ke pasar potensial, dan kemudahan berbagi pengetahuan dan pengalaman antar partner perusahaan, meningkatkan sinergi dan keunggulan kompetitive dari pasangan bisnis.

2.1.3 Aglomerasi Ekonomi

Secara sederhana, aglomerasi didefinisikan sebagai berkumpulnya aktivitas-aktivitas kegiatan ekonomi pada satu lokasi. Aktivitas tersebut dapat berupa kegiatan produksi yang menghasilkan barang, atau juga dapat berupa kegiatan penjualan barang yang berada pada satu lokasi. Agglomeration economies atau localized industries menurut Marshall muncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha di sekitar lokasi tersebut.

Sedangkan menurut Weber ( ), pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Terutama dalam hal total biaya transportasi dan tenaga kerja. Berdasarkan asumsi tersebut, faktor yang mempengaruhi lokasi industri ada tiga, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Biaya transportasi dan biaya upah tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara fundamental menentukan lokasi. Sedangkan kekuatan aglomerasi dan deaglomerasi merupakan kekuatan lokal yang berpengaruh menciptakan konsentrasi atau pemencaran berbagai kegiatan dalam ruang.

Myrdal ( ) dalam Capello (2007), membuat virtuous circle of cumulative development untuk menjelaskan proses terjadinya fenomena daerah kaya yang semakin kaya dan daerah yang miskin semakin miskin. Model ini sekaligus untuk membantah pandangan neoklasik yang meyakini bahwa adanya proses yang spontan dalam terjadinya kondisi re-equilibrium. Daerah-daerah kaya yang


(34)

mempunyai tingkat produksi tinggi menarik minat tenaga kerja untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerja di daerah kaya. Migrasi tenaga kerja ini akan memperluas local market di daerah kaya. Di satu sisi hal ini akan meningkatkan permintaan barang dan jasa, di sisi lain, hal ini akan mendorong masuknya investasi baru dan juga capital baru.

Peningkatan kegiatan produksi di daerah kaya ini akan memicu timbulnya aglomerasi ekonomi yang akan meningkatkan produktivitas, kerjasama dan persaingan antar pelaku usaha sehingga akan memicu pertumbuhan ekonomi daerah kaya. Sebaliknya,di daerah miskin akan semakin tertinggal, karena mengalami emigrasi tenaga kerja dan capital loss, karenanya akan terjadi penurunan permintaan barang dan jasa di daerah miskin dan penurunan produktivitas.

Gambar 2.2. Virtuous circle of cumulative development

2.1.4 Data Panel

Ruang lingkup studi ekonometrika mengenal tiga macam jenis data, yaitu data time series, cross section dan data panel (pooled data). Regresi yang menggabungkan data time series dengan data cross section, dikenal sebagai regresi data panel. Seringkali, dalam penelitian terdapat permasalahan tentang ketersedian data yang dapat digunakan untuk mewakili variabel-variabel dalam penelitian. Baik dalam bentuk pendeknya data time series yang tersedia, sehingga proses analisis tidak dapat dilakukan karena terkait dengan persyaratan jumlah data minimum. Ataupun dalam bentuk jumlah unit cross section yang juga terbatas, sehingga

Peningkatan produksi Peningkatan

produktifitas Peningkatan

produksi Peningkatan

labour supply

Peningkatan

market size

Peningkatan investasi

Peningkatan


(35)

analisis yang bertujuan untuk mendapatkan informasi perilaku dari model yang hendak diteliti. Model ekonometrika yang dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah model data panel. Dengan menggunakan data panel, akan dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik, karena terjadi peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi pada peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom).

Data panel melakukan observasi berulang pada setiap unit cross-section yang sama. Bila data yang diobservasi memiliki karakteristik dimana N (jumlah unit cross-section) hanya satu dan T (jumlah unit time series) besar (lebih dari satu), maka data tersebut dikenal sebagai data time series murni.

Sebaliknya, bila T hanya satu dan N lebih besar dari satu, maka data tersebut dikenal sebagai data cross-section murni. Sedangkan data panel memiliki karakteristik N > 1 dan T > 1. Notasi yang biasanya digunakan dalam estimasi panel data adalah Yit = variabel dependen dan Xjit

Misalnya Y

= variabel penjelas.

it merupakan nilai variabel dependen untuk unit cross-section ke-i pada waktu ke-t dengan i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T. Dan terdapat K variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2, ..., K serta didenotasikan sebagai Xjit

Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut:

, yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit ke-i pada waktu ke-t.

1 2

1 1 1

1 1

1 2

2 2 2 2 2

1 2

; ;

K

i i i

i i

K

i i i i i

i i i

K

iT iT iT iT iT

X X X

y

y X X X

y X

y X X X

ε ε ε ε                   = = =                       ... (2.4)

dengan εit menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Selanjutnya data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut:


(36)

1 1 1

2 2 2

; ;

N N N

y X y X y X y X ε ε ε ε                   = = =                  

   ... (2.5)

dengan y adalah matriks berukuranNT×1, X adalah matriks berukuran NT×K, danε adalah matriks berukuran NT×1. Model standar data panel linier dapat diekspresikan sebagai

'

y= X β ε+ ... (2.6) dengan β adalah matriks berukuran NT×1 yang diekspresikan sebagai

1 2 N β β β β       =      

 ... (2.7)

Verbeek (2004) menyebutkan bahwa terdapat dua keuntungan menggunakan data panel. Pertama, data panel yang merupakan gabungan dari data time series dan cross section mampu menyediakan data yang lebih banyak dan variabel penjelas dapat diselang-seling antara dua dimensi (individual dan waktu). Oleh karenanya estimasi dengan menggunakan data panel seringkali lebih akurat jika dibandingkan dengan estimasi menggunakan jenis data lain.

Kedua, data panel dapat mengurangi permasalahan identifikasi. Meliputi identifikasi terhadap adanya variabel endogen dalam model atau kesalahan dalam pengamatan (measurement error), ketahanan terhadap penghilangan variabel dan identifikasi pada dinamika individu.

Sedangkan menurut Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan baik secara statistik maupun secara teoritik. Manfaat penggunaan data panel menurut Baltagi adalah sebagai berikut :

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.

2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan derajat kebebasan dan lebih efisien.


(37)

3. Lebih baik untuk mempelajari studi yang bersifat dinamis.

4. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data murni cross section dan time series.

5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Namun, data panel juga mempunyai beberapa kelemahan dan keterbatasan. Kelemahan tersebut sebagai berikut:

(1) Masalah dalam kesulitan desain survey panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi diantaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara. (2) Distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contohnya: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain).

(3) Masalah selektifitas, yakni: self-selectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan).

(4) Kemungkinan terjadinya cross-section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference). Oleh karena itu, orang-orang yang menggunakan data panel juga harus memahami bahwa tidak semua masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh metode time series dan cross section dapat diselesaikan dengan metode analisis data panel.

Analisis model data panel menggunakan tiga pendekatan untuk melakukan estimasi model regresi. Yaitu, pendekatan Pooled Least Square, Fixed Effect dan Random Effect. Ketiga-tiganya mempunyai karakter yang berbeda.

Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square)

Pendekatan Pooled Least Square atau juga disebut sebagai pendekatan kuadrat terkecil merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel. Pendekatan ini tidak melihat adanya perbedaan antar waktu dan antar individu. Dalam pendekatan ini, diasumsikan bahwa perilaku data antar perusahaan sama antar waktu.


(38)

Model yang dibangun dengan dasar susunan data sebagaimana persamaan (2.6) adalah

'

y= X β ε+ ...(2.8)

Dimana sekarang diasumsikan

ε

it ~ iid (0,σ2

Pendekatan ini mempunyai kelemahan mendasar dalam melakukan asumsi. Dimana intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan. Implikasi penggunaan asumsi ini adalah tidak terlihatnya variasi atau perbedaan, baik antara individu maupun antar waktu. Ini berarti tidak sesuai dengan tujuan penggunaan data panel. Bahkan dalam beberapa kasus, penduga yang dihasilkan melalui metode Pooled Least Square ini akan bias sebagai akibat dari kesalahan spesifikasi data. Kelemahan yang terjadi pada metode pendekatan kuadrat terkecil, biasanya dapat diatasi dengan menggunakan metode fixed effect (fixed effect) dan metode efek random (random effect).

) untuk semua i dan t. Dalam hal ini untuk given individual, observasi tidak berkorelasi secara serial, dan untuk pengamatan lintas individu dan lintas waktu, terjadi homoscedastisity pada error -nya.

Pendekatan Fixed Effect, menggunakan variabel dummy untuk menangkap adanya perbedaan intersep antara individu (propinsi), namun intersepnya sama antar waktu (time invariant). Di samping itu, model ini juga mengasumsikan bahwa koefisien regresi (slope) tetap antar individu dan antar waktu. Model estimasi ini juga sering disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variables (LSDV). Namun, penggunaan variabel dummy di dalam model fixed effect dapat berimplikasi pada berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom), yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi parameter.

Persamaan 2.9 menjelaskan tentang struktur model fixed effect. '

it it it

y = X β ε+ ... (2.9)

dengan gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model sebagai berikut:

it i uit


(39)

dan diasumsikan bahwa uit merupakan gangguan acak yang tidak berkorelasi

dengan Xit. Sedangkan αi disebut sebagai efek individual (atau time-invariant

person-specific effect). Beberapa aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan satu diantara asumsi mengenai efek individual. Asumsi tersebut adalah:

1). Jika αi diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi antar 1, 2, ,

i=  N, maka model ini disebut sebagai fixed effects model (FEM). Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep α pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual.

Pada dasarnya, FEM lebih menekankan pada perbedaan di antara individu, yakni menjelaskan bagaimana yit berbeda dari yi, dan tidak menjelaskan kenapa

i

y berbeda dari yj (Verbeek, 2004).

Di sisi lain, asumsi parametrik mengenai β, menekankan bahwa perubahan yang terjadi dalam X memiliki pengaruh yang sama, baik perubahan dari satu periode ke periode lainnya ataupun perubahan dari satu individu ke individu lainnya.

2). Jika αi diperlakukan sebagai parameter random, maka model disebut sebagai random effects model (REM). Dalam REM, perbedaan karakeristik individu diakomadasi oleh error dalam model. REM umumnya digunakan bila N relatif besar dan T relatif kecil. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai

'

it it it i

y = +α X β +u +τ ... (2.15)

dengan αi = +α τi dan memiliki rata-rata nol. Di sini, τi merepresentasikan gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Beberapa asumsi yang melekat dalam model efek andom antara lain:

(

it | i

)

0


(40)

(

2 |

)

2

it i u

E u τ =σ

... (2.17)

(

i | it

)

0 ; ,

E τ x = ∀i t

... (2.18)

(

2

)

2

|

it it

E τ xτ

... (2.20)

( )

it j 0 ; , ,

E u τ = ∀i t j

... (2.21)

(

it js

)

0 ; atau

E u u = ij ts

... (2.22) Pendugaan REM umumnya menggunakan metode generalized least square (GLS). Misalkan kombinasi error pada Persamaan (3.12) dituliskan menjadi

it it i

w =u +τ , dengan

( )

it 0

E w = ... (2.23)

( )

2 2 2 ; ,

it u

E w =σ +στi t ... (2.24)

(

)

2

;

it is

E w wτ ∀ ≠t s

... (2.25)

(

it js

)

0 ; untuk atau

E w w = ij ts

... (2.26) Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor

(

1, 2,

)

'

i i i iT

w = w ww maka dapat dituliskan bahwa

(

i 'i

)

E w w = Ω ... (2.27)

dengan

2 2 2 2 2

2 2 2 2 2

2 2 2 2 2

2 2 2 2 2

u

u

u

u

τ τ τ τ

τ τ τ τ

τ τ τ τ

τ τ τ τ

σ σ σ σ σ

σ σ σ σ σ

σ σ σ σ σ

σ σ σ σ σ

 + 

+

 

 

Ω = +

     +             ... (2.28)


(41)

Untuk keseluruhan observasi panel, matriks kovarian error

(

1, 2, , N

)

'

w= w ww dapat diturunkan sebagai

0 0 0

0 0 0

0 0 0

0 0 0 0

N NT NT V I × Ω  

 

 

= Ω = ⊗ Ω

 

 

          ... (2.29)

dengan IN menyatakan matriks identitas berdimensi N dan ⊗ merepresentasikan

Kronecker product. Misalkan Y pada Persamaan (3.12) direpresentasikan sebagai vektor stack dari yityang dibentuk dengan pola yang sama dengan w (dengan struktur yang sama untuk X). Selanjutnya keseluruhan sistem yang dituliskan sebagai

Y = Xβ +w ... (2.30) dapat diestimasi dengan menggunaan metode GLS. Secara umum pendugaan GLS untuk persamaan regresi (3.26) memerlukan transformasi untuk menghilangkan struktur yang tidak baku dari matriks kovarian E ww

(

'

)

=V . Kemudian dengan mendefinisikan matriks penimbang 1/ 2

P=V− dan mengalikannya ke kedua ruas pada persamaan (3.26) akan diperoleh hasil transformasi sebagai berikut

PY =PXβ +Pw ... (2.31) atau

* * *

Y = X β+w ... (2.32) sekarang

(

)

(

)

(

)

* * ' ' ' NT

E w w E Pww P

PE ww P PVP I = = = =


(42)

Sehingga, penduga GLS pada persamaan regresi (2.30) dapat dituliskan sebagai

(

1

)

1 1

ˆ ' '

GLS X V X X V Y

β = − − −

... (2.33)

Penggunaan model random effect dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlah unit datanya sehingga parameter hasil estimasi akan menjadi semakin efisien.

2.3. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu ini sangat penting untuk mengetahui bukti-bukti

empirik dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, baik penelitian yang dilakukan dengan kasus Indonesia maupun penelitian yang dilakukan dengan kasus di luar negeri.

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing yang mengambil kasus Indonesia tergolong masih jarang. Untuk mendapatkan gambaran dan landasan empirik yang lebih kuat, penulis juga menggunakan hasil penelitian yang dilakukan di negara lain dengan metode penelitian dan periode waktu yang beragam.

2.3.1 Market Size

Market size menunjukkan aktivitas perekonomian suatu wilayah, baik dalam lingkup negara maupun provinsi. Semakin tinggi aktivitas perekonomian suatu wilayah, berarti semakin besar market wilayah tersebut.

Tingginya aktivitas perekonomian suatu wilayah akan menjadi daya tarik bagi penanaman modal karena memberikan peluang bagi industri dan usaha di wilayah tersebut mendapatkan keuntungan dari terjadinya economies of scale dan dampak lanjutannya (spillover effects) (Firdaus:2006)

Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif dari market size terhadap arus masuknya PMA langsung. Dengan mengambil lokus penelitian yang berbeda, Aqeel & Nishat (2005) di Pakistan, Erdal & Tatoglu (2001) di Turki, Firdaus (2006) di Indonesia, Tsen (2006) di Malaysia dan Udo & Obiora (2006) di Kawasan Afrika Barat, menemukan bukti adanya pengaruh positif tersebut. Hanya saja, Erdal & Tatoglu (2001) dan Tsen (2006) memberikan catatan tambahan bahwa market size mempunyai pengaruh positif terhadap PMA namun secara statistik tidak signifikan.


(43)

Aqeel dan Nishat (2005) menggunakan PDB perkapita sebagai proxy untuk variabel market size di Pakistan, Erdal & Tatoglu (2001) menggunakan laju pertumbuhan PDB riil, Firdaus (2006) menggunakan PDB riil, Tsen (2006) menggunakan gross national index (GNI) dan Udo & Obiora menggunakan PDB perkapita. Sedangkan Sarwedi (2002), walaupun tidak menggunakan istilah market size, dalam penelitiannya juga menemukan bukti adanya pengaruh positif dari PDB dan pertumbuhan ekonomi dengan PMA langsung. Dalam penelitiannya ini, Sarwedi mengklasifikasikan faktor yang mempengaruhi PMA menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Variabel PDB dan pertumbuhan ekonomi ke dalam kategori faktor ekonomi.

2.3.2 Infrastruktur

Iklim investasi yang baik perlu ditopang dengan tersedianya infrastruktur yang memadai. Kondisi infrastruktur yang buruk merupakan ekstra biaya yang ditanggung oleh pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karenanya, penyediaan infrastruktur yang ada saat ini harus segera ditingkatkan seperti membangun jalan baru dan memperbaiki jalan yang rusak, menyediakan alat transportasi massal yang murah, aman dan nyaman untuk mengurangi kemacetan jalan, mengembangkan pembangkit listrik denga energi alternatif, memperbaiki sistem irigasi dan pengairan dan lain-lain (Departemen Keuangan RI, 2007).

Terjadinya perbedaan pembangunan di antara Asia dan Afrika selama beberapa dekade bisa ditelusuri sebagiannya akibat ketidaksamaan infrastruktur di kedua kawasan tersebut, dan perbedaan prioritas sektor yang memperoleh investasi di negara di dua kawasan tersebut. Infrastruktur yang baik menjadi esensi bagi pengurangan waktu transportasi dan komunikasi serta efisiensi distribusi pasokan energi, sedangkan infrastruktur yang lemah dipandang sebagai hambatan besar bagi pertumbuhan sektor swasta di sebagian besar negara di kawasan Amerika Latin.

Hampir semua hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya hubungan positif antara infrastruktur dengan PMA. Tsen (2006) menggunakan proxy panjang jalan, Erdal & Tatoglu (2002) menggunakan share of transportation,

energy and communication expenditures in GDP, dan Firdaus (2006) menggunakan


(44)

Berbeda dengan mereka, Asiedu (2002) dengan menggunakan jumlah sambungan telepon sebagai proxy infrastruktur, menemukan bukti bahwa infrastruktur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PMA langsung di negara kawasan Sub Sahara Afrika. Dalam analisisnya, Asiedu menjelaskan bahwa infrastruktur tidak berpengaruh signifikan di negara kawasan Sub Sahara karena PMA langsung di kawasan ini berbasiskan pada exploitasi sumber daya alam, selain itu juga karena proxy yang digunakan tidak relevan dengan penanaman modal yang berbasiskan sumber saya alam.

2.3.3 Tingkat Pendidikan

Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara adalah tersedianya SDM berkualitas dalam jumlah yang cukup memadai. Kualitas SDM ini akan dapat diraih melalui jalur pendidikan, baik formal maupun nonformal. Merujuk pada jenjang pendidikan formal, penduduk usia sekolah biasanya diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok umur, yaitu 7-12 tahun untuk jenjang sekolah dasar), 13-15 tahun untuk jenjang sekolah menengah pertama, 16-18 tahun untuk jenjang sekolah menengah atas dan 19-24 tahun untuk jenjang pendidikan perguruan tinggi (Badan Pusat Statistik, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tsen (2006) di Malaysia dan Firdaus (2006) di Indonesia, menunjukkan bahwa variabel pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap PMA.

2.3.4 Tingkat Upah

Penanaman modal asing yang jenis non market seeking akan mencari daerah tempat melakukan usaha yang dapat meminimumkan biaya usaha. Tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi mempunyai peran penting dalam struktur biaya usaha, karena perusahaan harus membayarkan upah sebagai kompensasi terhadap kontribusi tenaga kerja sehingga upah menjadi salah satu faktor yang sangat sensitif. Besaran atau tingkat upah dapat ditentukan melalui berbagai cara. Seringkali upah ditentukan melalui collective bargaining, di mana upah pekerja tidak ditentukan oleh kondisi kesetimbangan penawaran dan permintaan, tetapi ditentukan oleh posisi tawar menawar kolektif antara pimpinan serikat pekerja dan manajemen perusahaan (Mankiw, 2006). Model ini populer di Jepang dan negara-negara Eropa (Blanchard, 2006).


(45)

Upah yang rendah akan secara langsung berpengaruh terhadap biaya usaha yang rendah. Namun diskursus tentang upah tidak cukup sekedar dikaitkan dengan biaya usaha. Upah juga harus dilihat keterkaitannya dengan produktivitas tenaga kerja. Teori efisiensi upah menekankan bahwa upah yang tinggi akan membuat pekerja lebih produktif, karena dengan upah yang tinggi pekerja akan mempunyai kesempatan untuk membeli nutrisi yang lebih baik. Dengan nutrisi yang lebih baik, maka hasil kerja pekerja akan meningkat.

Studi yang dilakukan oleh Aqeel & Nishat (2005) menunjukkan bahwa upah mempunyai pengaruh positif terhadap PMA langsung, itu artinya bahwa semakin tinggi tingkat upah, maka PMA langsung juga akan semakin tinggi. Lebih jauh, Aqeel & Nishat (2005) menjelaskan bahwa PMA langsung lebih menyukai tenaga kerja yang mempunyai keterampilan tinggi, walaupun tingkat upahnya lebih tinggi daripada tenaga kerja yang keterampilannya rendah. Berbeda dengan temuan Aqeel & Nishat (2005), Tsen (2006) dalam penelitiannya di Malaysia justru menemukan hubungan negatif antara tingkat upah dengan PMA langsung.

Sedangkan Sarwedi (2002) menemukan bukti bahwa tingkat upah mempunyai hubungan positif dengan PMA langsung dalam hubungan jangka pendek, namun dalam jangka panjang hubungan tingkat upah dengan PMA langsung mempunyai hubungan negatif. Sarwedi menjelaskan bahwa perbedaan pengaruh tersebut terjadi karena terjadinya fluktuasi nilai variabel yang mendorong terjadinya perubahan dalam keseimbangan jangka panjang.

2.3.6 Stabilitas Sosial Politik

Pengusaha dalam melakukan penanaman modal berharap return di waktu yang akan datang. Oleh karenanya, penanam modal lebih menyukai kondisi stabil. Studi yang dilakukan Sarwedi (2002) menunjukkan bahwa jumlah kerusuhan yang digunakan sebagai proxy stabilitas politik mempunyai hubungan negatif dengan PMA langsung baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Senada dengan itu, Vittorio & Ugo (2008) juga menemukan bukti adanya hubungan negatif antara arus masuk PMA langsung dengan tingkat kriminalitas di Italia. Berbeda dengan kedua penelitian tersebut, hasil studi Asiedu (2002) di negara kawasan Sub Sahara Afrika menunjukkan bahwa stabilitas politik yang dilihat dari jumlah


(46)

pembunuhan dan revolusi pemerintahan tidak berpengaruh signifikan terhadap masuknya PMA langsung ke negara di kawasan Sub Sahara Afrika.

Terkait dengan iklim investasi di daerah, KPPOD melakukan kajian secara rutin setiap tahun mulai 2001. Berdasarkan kajian KPPOD, terdapat 5 (lima) faktor yang dianggap mempengaruhi daya tarik investasi di daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Faktor ini mencakup aspek kepastian hukum, aparatur dan pelayanan, kebijakan daerah dan kepemimpinan lokal. Kedua, faktor keamanan, politik dan sosial budaya. Faktor ini mencakup aspek keamanan, politik dan budaya. Ketiga, faktor ekonomi daerah. Faktor ini mencakup aspek potensi ekonomi dan struktur ekonomi. Keempat, faktor tenaga kerja. Faktor ini meliputi aspek ketersediaan tenaga kerja, kualitas dan biaya tenaga kerja. Kelima, faktor infrastruktur fisik. Faktor ini meliputi aspek ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur fisik.

2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian

Berdasarkan studi pustaka dan penelitian terdahulu, untuk mempermudah dalam melakukan analisis, penulis membuat klasifikasi faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi menjadi dua sektor, yaitu pull factors dan push factors. Dalam penelitian ini, pull factors merupakan faktor-faktor yang terkait dengan tingkat

Kebijakan Otonomi Daerah

Push Factors

Upah Inflasi

Stabilitas sosial politik

Pull Factors

Market Size

Tingkat Pendidikan Infrastruktur

Lokasi PMA

Jumlah & Persebaran PMA di daerah


(47)

output dari aktivitas penanaman modal di suatu daerah, baik output dalam bentuk tingkat penjualan maupun output dalam bentuk tingkat produksi. Sedangkan push factor merupakan faktor-faktor yang terkait dengan biaya yang mungkin dikeluarkan oleh penanam modal dalam menjalankan usahanya di suatu daerah, baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung.

Variabel yang termasuk dalam kategori pull factor adalah market size, tingkat pendidikan dan infrastruktur. Sedangkan variabel yang termasuk dalam kategori push factor adalah upah, inflasi dan jumlah kriminalitas. Kedua faktor tersebut, secara bersama-sama akan menentukan minat investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah.

Kebijakan otonomi daerah yang efektif mulai berjalan pada tahun 2001 salah satunya diharapkan untuk meningkatkan jumlah penanaman modal di daerah-daerah di luar Jawa. Melihat potret pelaksanaan kebijakan otonomi daerah-daerah selama 2001-2009, kebijakan otonomi daerah mengandung dua dimensi sekaligus, baik sebagai pull factor dan sebagai push factor. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap jumlah dan persebaran realisasi PMA langsung di propinsi-propinsi di Indonesia, penelitian ini akan menggunakan variabel dummy kebijakan otonomi daerah.


(48)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Data

Analisis penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan dari data sekunder 26 propinsi di Indonesia dalam bentuk data panel, yaitu gabungan time series dan cross section tahunan periode tahun 1993 sampai tahun 2008 untuk mendapatkan tujuan penelitian. Propinsi-propinsi yang baru terbentuk pada tahun 2000 dan setelahnya, tidak diikutkan dalam penelitian ini. Periode ini dipilih untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing langsung di sektor manufaktur pada periode setelah krisis ekonomi. Berbagai data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber yang credible dan terpercaya, diantaranya Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Departemen Perindustrian.

Selain melakukan analisis dengan menggunakan data statistik yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut, penulis juga melakukan studi pustaka, baik yang bersumber dari buku, jurnal ilmiah, artikel internet, dan bahan bacaan lain yang relevan dengan permasalahan penelitian ini.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Market Size

b. Upah

c. Tingkat Pendidikan d. Inflasi

e. Infrastruktur f. Stabilitas Sosial

Penelitian ini akan dikhususkan untuk mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penanaman modal asing langsung di sektor industri manufaktur non migas. Maksud dari penekanan pada sektor industri manufaktur non migas adalah untuk benar-benar melihat sektor industri kreatif yang prospektif dan layak dikembangkan sebagai basis industri nasional.

Sebagian data dalam penelitian ini dirubah ke dalam bentuk logaritma natural (ln). Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan adanya permasalahan heteroscedasticity. Dengan melakukan transformasi data ke dalam


(49)

bentuk logaritma natural, akan menekan skala yang akan membuat variabel-variabel itu menjadi measured.

3.2 Metode Analisis Data

Faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing langsung di sektor industri manufaktur non migas akan diuji dengan melakukan analisis data panel.

3.2.1 Penentuan Metode Estimasi

Prosedur dalam penelitian ini akan diawali dengan terlebih dulu melakukan penentuan metode estimasi data panel yang paling tepat untuk mendapatkan hasil yang paling baik. Penentuan dilakukan melalui pengujian statistik. Secara grafis pengujian dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

Gambar. 3.1 Pengujian penentuan model dalam pengolahan data panel Keterangan Gambar :

1. Untuk menentukan pilihan antara model PLS atau fixed effect, dilakukan dengan Chow Test. Hipotesis yang dibangun dalam uji ini sebagai berikut :

Pooled Least Square

Fixed Effect

Random Effect

Chow Test

Hausman Test LM Test


(50)

H0 = Model PLS (restricted)

H1 = Model fixed effect(Unrestricted).

Sebagai dasar untuk menolak H0 adalah dengan melihat nilai Chow Statistik dengan nilai F tabel. Jika Chow Statistik (F Statistik) lebih besar dari F tabel, maka H0 ditolak, sehingga yang dipilih model fixed effect, dan sebaliknya. Penentuan model terbaik juga dapat menggunakan nilai probabilitas F hitung, jika nilainya lebih kecil dari alpha 0,05 maka tolak H0,artinya model fixed effect lebih baik daripada PLS.

2. Untuk menentukan pilihan antara fixed effect atau random effect, dilakukan dengan menggunakan Uji Hausmann.

Uji Hausman dilakukan dengan terlebih dahulu membangun hipotesis sebagai berikut:

H0 : Model Random effect H1 : Model Fixed effect.

Sebagai dasar untuk menolak hipotesa nol, statistik Hausman akan diperbandingkan dengan nilai Chi Square. Jika statistik Hausman ˃ Chi Square Table maka hipotesis nol ditolak, berarti lebih baik menggunakan model fixed effect. Selain dengan membandingkan Statistik Hausman, dasar menolak hipotesis nol juga dapat menggunakan nilai probabilitas (p-value). Jika (p-value)˂ tingkat

kritis α, maka hipotesis nol ditolak.

3. Untuk menentukan pilihan antara PLS dengan random effect dilakukan dengan lagrange multiplier test (LM Test).

Hipotesis yang dibangun dalam uji ini sebagai berikut : H0 : Model PLS

H1 : Model random effect

Sebagai dasar untuk menolak H0, nilai statistik LM diperbandingkan dengan nilai kritis statistik chi square. Jika nilai LM statistik lebih besar dari nilai kritis statistik chi square, maka H0 ditolak, sehingga model yang digunakan adalah random effect.

Walaupun demikian, dasar untuk menentukan pemilihan model sebenarnya tidak hanya dengan uji statistik saja. Tetapi juga dapat diidentifikasi dengan beberapa guidance berikut (Judge, 1985) :


(51)

1. Jika T (banyaknya unit time series) besar, sedangkan N (jumlah unit cross section) kecil, maka hasil fixed effect dengan random effect tidak akan jauh berbeda, sehingga dapat dipilih pendekatan yang lebih mudah, yaitu fixed effect.

2. Jika N besar dan T kecil, hasil estimasi pendekatan fixed effect dengan random effect akan berbeda jauh. Jadi apabila diyakini bahwa unit cross section yang kita pilih dalam penelitian diambil secara acak, maka random effect yang lebih baik digunakan. Sebaliknya, jika diyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian tidak diambil secara acak, maka model fixed effect yang lebih baik digunakan.

3. Jika komponen error individual (εi) berkorelasi dengan variabel bebas X, parameter yang diperoleh dengan model fixed effect akan bias, sementara parameter yang diperoleh dengan model fixed effect tidak bias. Oleh karena itu model fixed effect lebih tepat untuk digunakan. Sebaliknya, jika εi dan variabel bebas X tidak berkorelasi maka model random effect yang lebih tepat untuk dipilih.

4. Jika N besar dan T kecil, dan jika asumsi yang mendasari model random effect dapat terpenuhi, maka model random effect lebih efisien untuk digunakan jika dibandingkan dengan model fixed effect.

3.3 Model Penelitian

Salah satu tahapan paling penting dalam penelitian ini adalah menentukan model umum yang akan digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel dependent terpilih, akan dimasukkan ke dalam model umum ini. Untuk mendapatkan tujuan penelitian ini digunakan metode ekonometrika yaitu regresi linier berganda. Data yang digunakan untuk regresi adalah data panel, yang merupakan kombinasi antara data time series periode 1993-2008 dan data cross section 26 provinsi di Indonesia, dengan memasukkan kebijakan otonomi daerah sebagai variabel dummy.

Model yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari model yang dikembangkan dalam penelitian empiris sebelumnya oleh Sarwedi (2002), Asiedu (2002), Aqeel & Nishat (2005), Firdaus (2006), Tsen


(52)

(2006), Udo & Obiora (2006) dan Vittorio & Ugo (2008). Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut :

LOGPMALit = α0 + α1LOGPDRBRKit + α2LOGIHKit + α3LOGUPAHit + α4PENDIKit + α5JALANit + α6LogLISTRit + α7Dpelab + α8Dkrim + Dotda + ε

Dimana:

it

PMALit

periode t (dalam ribu US $).

= Jumlah PMA langsung di sektor manufaktur di provinsi i pada

PDRBRKit

periode t (dalam ribu rupiah)

= Produk domestik regional bruto perkapita di provinsi i pada

IHKit UPAH

= Index harga konsumen di provinsi i pada periode t. it

PENDIK

= Upah minimum di provinsi i pada periode t (dalam Rp/bulan). it

SLTA Terhadap total jumlah penduduk di provinsi i pada periode = Prosentase penduduk yang lulus sekolah paling rendah setingkat

t (dalam persen). JALANit

panjang jalan di provinsi i pada periode t (dalam persen). = Prosentase panjang jalan dalam kondisi baik terhadap total

LISTRit

(dalam KVA).

= Jumlah kapasitas listrik tersambung di provinsi i pada periode t

Dpelab

1 untuk Propinsi yang mempunyai pelabuhan kelas 1 atau yang = Dummy Pelabuhan

lebih baik.

0 untuk Propinsi yang mempunyai pelabuhan di bawah kelas 1 Dkrim

1 untuk Propinsi yang rawan = Index Kerawanan daerah

0 untuk Propinsi yang tidak rawan

Dotda = Variabel dummy, kebijakan otonomi daerah 1 untuk periode 2001-2008

0 untuk periode 1993-2000 α

ε

= Koefisien Regresi it = Error term


(1)

LAMPIRAN 2 : INDEX PERSEPSI KORUPSI TAHUN 2004-2008

No Kota Propinsi 2004 2006 2008

1 Jakarta DKI Jakarta 3,87 4 4,06

2 Surabaya Jatim 3,93 4,4 4,26

3 Medan Sumut 4,09 4,67 3,84

4 Semarang Jateng 4,17 5,28 4,58

5 Batam Kepri 4,32 4,51 4,44

6 Pekanbaru Riau 4,37 4,43 3,55

7 Denpasar Bali 4,44 3,67 4,25

8 Yogyakarta DIY 4,51 5,59 6,43

9 Tangerang Banten 4,54 4,51

10 Balikpapan Kaltim 4,59 5,1 4,86

11 Bekasi Jabar 4,61 4,27 3,87

12 Palembang Sumsel 4,67 4,6 3,87

13 Solok Sumbar 4,7 5,51

14 Padang Sumbar 4,83 5,39 4,64

15 Tanah Datar Sumbar 4,87 5,66

16 Manado Sulut 5,12 4,87 3,98

17 Kota Baru Kalsel 5,23 4,94

18 Cilegon Banten 5,28 3,85 4,57

19 Makassar Sulsel 5,31 5,25 4,7

20 Banjarmasin Kalsel 5,39 4,93 5,11

21 Wonosobo Jateng 5,63 5,66

22 Palangkaraya Kalteng 6,61 6,1

23 Pare-pare Sulsel 5,66

24 Kupang NTT 5,51 2,97

25 Ambon Maluku 5,28 4,32

26 Banda Aceh NAD 4,69 5,87

27 Larantuka NTT 4,21


(2)

29 Pontianak Kalbar 3,95 3,81

30 Gorontalo Gorontalo 3,44 4,83

31 Mataram NTB 3,42 5,41

32 Maumere NTT 3,22

33 bandar lampung Lampung 4,58

34 Palu Sulteng 4,5

35 Bengkulu Bengkulu 4,46

36 Bandung Jabar 3,67

37 Mamuju Sulbar 4,08

38 Jambi Jambi 5,57

39 Samarinda Kaltim 5,03

40 Jayapura Papua 5,01

41 Pangkal Pinang Babel 5,03

42 Ternate Maluku Utara 5,01

43 Surakarta Jateng 5,35

44 Tasikmalaya Jabar 5,12

45 Malang Jatim 5

46 Jember Jatim 4,96

47 Kediri Jatim 4,9

48 Sampit Kalbar 4,6

49 Sorong Papua 4,39

50 Tenggarong Kaltim 4,38

51 Tanjung Pinang Kepulauan Riau 4,35

52 Sibolga Sumatera Utara 4,25

53 Lokseumawe NAD 4,14

54 Pematang Siantar Sumatera Utara 3.,96

55 Kendari Sultra 3,43

56 Manokwari Papua 3,39

57 Tegal Jateng 3,32

58 Purwokerto Jateng 3,54


(3)

LAMPIRAN 3 :DATA PERDA YANG DIKAJI PEMERINTAH PUSAT

No Wilayah 2001-2006 2007 2008 Jumlah

1 NAD 10 22 1 33

2 Sumatera Utara 99 70 37 206

3 Sumatera Barat 48 32 11 91

4 Riau 41 23 0 64

5 Kepulauan Riau 6 4 3 13

6 Jambi 37 15 2 54

7 Sumatera Selatan 21 19 0 40

8 Bangka Belitung 11 28 0 39

9 Bengkulu 21 4 2 27

10 Lampung 26 0 0 26

11 DKI Jakarta 1 0 0 1

12 Jawa Barat 65 62 20 147

13 Banten 20 17 6 43

14 Jawa Tengah 70 46 6 122

15 DI Yogyakarta 30 6 6 42

16 Jawa Timur 68 82 49 199

17 Kalimantan Barat 31 19 8 58

18 Kalimantan Tengah 48 49 5 102

19 Kalimantan Selatan 41 19 3 63

20 Kalimantan Timur 39 24 1 64

21 Sulawesi Utara 24 10 0 34

22 Gorontalo 21 12 2 35

23 Sulawesi Tengah 31 1 17 49

24 Sulawesi Selatan 80 30 0 110

25 Sulawesi Barat 7 10 0 17

26 Sulawesi Tenggara 15 15 0 30

27 Bali 27 14 7 48


(4)

29 Nusa Tenggara Timur

27 19 0 46

30 Maluku 16 12 0 28

31 Maluku Utara 5 5 0 10

32 Papua 11 44 3 58

33 Irian Jaya Barat 5 25 10 40

TOTAL 1043 773 201 2017


(5)

LAMPIRAN 4 : DATA PERDA YANG DIBATALKAN PEMERINTAH PUSAT

No Wilayah 2002-2007 2008 Jumlah

1 NAD 14 0 14

2 Sumatera Utara 74 29 103

3 Sumatera Barat 27 8 35

4 Riau 36 5 41

5 Kepulauan Riau 4 0 4

6 Jambi 35 2 37

7 Sumatera Selatan 25 1 26

8 Bangka Belitung 9 6 15

9 Bengkulu 18 1 19

10 Lampung 33 2 35

11 DKI Jakarta 1 0 1

12 Jawa Barat 47 5 52

13 Banten 18 0 18

14 Jawa Tengah 37 3 40

15 DI Yogyakarta 9 3 12

16 Jawa Timur 50 38 88

17 Kalimantan Barat 26 2 28

18 Kalimantan Tengah 36 6 42

19 Kalimantan Selatan 22 7 29

20 Kalimantan Timur 27 4 31

21 Sulawesi Utara 23 2 25

22 Gorontalo 10 7 17

23 Sulawesi Tengah 28 1 29

24 Sulawesi Selatan 57 7 64

25 Sulawesi Barat 1 1 2

26 Sulawesi Tenggara 8 3 11

27 Bali 15 4 19


(6)

29 Nusa Tenggara Timur

21 6 27

30 Maluku 11 1 12

31 Maluku Utara 7 0 7

32 Papua 6 13 19

33 Irian Jaya Barat 7 16 23

TOTAL 774 194 968