penanaman modal di luar negeri, yang lazim disebut dengan penanaman modal asing.
1.2 Permasalahan
Isu yang paling krusial dalam strategi pembangunan pada era orde baru adalah terjadinya sentralisasi pembangunan di Jawa. Akibatnya, terjadi
ketimpangan sosial ekonomi antara daerah di Jawa dan di luar Jawa. Tidak hanya dalam hal infrastruktur ekonomi, tetapi juga meluas dalam sektor lain, termasuk
dalam hal jumlah penduduk dan sarana pendidikan. Permasalahan sentralisasi di Jawa ini yang diperbaiki melalui kebijakan otonomi daerah pada era reformasi.
Praktek sentralisasi pada era orde baru juga terjadi pada sektor penanaman modal asing. Penanaman modal asing di Indonesia tidak tersebar secara seimbang
di setiap propinsi. Terjadi kesenjangan yang sangat mencolok antara satu propinsi dengan propinsi lainnya, terutama kalau dikelompokkan menjadi Jawa dan Luar
Jawa. Secara rata-rata pada periode 1993-2008, prosentase distribusi penanaman modal asing di Jawa mencapai 81 persen sedangkan di luar Jawa hanya 19 persen.
Fakta ini menjadi jawaban terhadap lambatnya pembangunan dan kemajuan di daerah luar Jawa.
Gambaran tentang kondisi penanaman modal asing di atas memperlihatkan bahwa permasalahan pokok dalam PMAL di Indonesia adalah tidak terjadinya
unsur pemerataan dalam konteks persebaran geografis dari realisasi PMAL di propinsi-propinsi di Indonesia. Dengan mempertimbangkan manfaat PMAL
langsung bagi pembangunan, khususnya dalam hal pengembangan industri, tidak terjadinya pemerataan realiasi PMAL dapat menjadi penyebab terjadinya
kesenjangan ekonomi yang cukup tajam di antara kawasan di Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang terkonsentrasinya realisasi PMAL di
propinsi tertentu saja, dapat dilihat pada Gambar 1.2 tentang persebaran realisasi PMA berdasarkan lokasi.
Gambar 1.2 : Konsentrasi PMAL di Lima Propinsi Sumber : BKPM diolah
Gambar di atas memperlihatkan secara jelas bahwa persebaran tidak terjadi secara merata di semua propinsi. Bahkan terlihat ketimpangan yang sangat tajam.
Realisasi PMAL berdasarkan lokasi di lima besar propinsi, selama sepuluh tahun terakhir rata-rata mencapai 84,9 persen dari keseluruhan realisasi PMAL di
Indonesia. Itu artinya, selama sepuluh tahun terakhir ini hanya rata-rata sebesar 15,1 persen dari keseluruhan realisasi PMAL yang terdistribusi ke 28 propinsi
lainnya di Indonesia. Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, dari peringkat besar 5 propinsi
dengan realisasi PMAL terbesar tersebut, daerah yang menjadi langganan 5 besar tidak banyak mengalami perubahan. Hanya Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan
Banten yang selalu masuk peringkat 5 besar. Catatan cukup baik diraih oleh Riau, Jatim dan Kaltim yang masing masing masuk 7 kali Riau, 6 kali Jatim dan 3
kali Kaltim ke jajaran peringkat 5 besar. Sedangkan Sumut, Sulteng, Jateng, Papua, Sumsel dan Sulsel masing-masing hanya sekali masuk 5 besar. Bahkan, jika
dilihat dari prosentase setiap provinsi dari 5 besar tersebut, DKI Jakarta mendominasi realisasi PMA dengan rata-rata mencapai 33,47 persen, disusul Jawa
Barat 24,8 persen, Jawa Timur 10,7 persen, Banten 9,6 persen, dan Riau 7,1 persen.
Persen
Berdasarkan gambaran tersebut, permasalahan yang secara khusus dikaji lebih jauh adalah :
1. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya PMAL di sektor industri manufaktur non migas ke propinsi di Indonesia?
2. Apakah kebijakan otonomi daerah berpengaruh terhadap perubahan distribusi realisasi PMAL di sektor industri manufaktur non migas di propinsi-propinsi di
Indonesia? 3. Kebijakan apa yang seharusnya diterapkan untuk meningkatkan PMAL di sektor
industri manufaktur non migas di Indonesia? Dugaan awal terkait dengan permasalahan tersebut adalah bahwa terjadinya
perbedaan mencolok jumlah realisasi PMAL di daerah-daerah di Indonesia karena adanya perbedaan kondisi variabel-variabel yang berpengaruh. perbedaan yang
paling mencolok terdapat pada aspek infrastruktur dalam hal ini adalah listrik dan jalan. Sebagai contoh akumulasi jumlah listrik yang terjual di Pulau Jawa, lebih
tinggi daripada jumlah listrik terjual di seluruh Indonesia selain Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel infrastruktur mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap PMAL di Indonesia. Selain itu, dalam aspek upah, besar UMP di Jawa lebih murah daripada wilayah lain di Indonesia selain Bali dan Nusa
Tenggara. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat upah mempunyai pengaruh negatif terhadap PMAL.
1.3 Tujuan Penelitian