Permasalahan Otonomi Daerah .1. Korupsi

di daerah. Dengan desentralisasi, pemerintah daerah dapat merancang program-program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerahnya, sehingga permasalahan-permasalahan masyarakat dapat lebih mudah diselesaikan. 6.3 Permasalahan Otonomi Daerah 6.3.1. Korupsi Dugaan korupsi yang terjadi tidak lama setelah pelaksanaan otonomi daerah memperlihatkan terjadinya locus dan modus baru kasus korupsi di Indonesia. Setelah otonomi daerah, korupsi di tingkat lokal terjadi dalam jumlah dan cakupan yang sangat luas. Jika pada era orde baru korupsi terjadi terpusat di pemerintah pusat, pada era otonomi daerah, korupsi menyebar di daerah, baik yang dilakukan oleh lembaga eksekutif daerah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau pemerintah kota, maupun yang dilakukan oleh lembaga legislatif daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan modus operandi yang beragam. Berdasarkan hasil pengamatan Indonesian Corruption Watch dan Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah salah satu simpul utama korupsi di era otonomi daerah ini adalah otoritas daerah Pemda dan DPRD. Implementasi otonomi daerah yang diiringi dengan peningkatan dana yang dikelola daerah berimplikasi pada terbukanya peluang oleh pemegang otoritas daerah untuk melakukan korupsi. Pergeseran penting dalam penyelenggaraan kekuasaan daerah adalah diberikannya kewenangan kepada DPRD untuk memilih dan memberhentikan Kepala Daerah. Hal ini membuat DPRD mempunyai kedudukan politik yang sangat kuat. Kewenangan DPRD memilih kepala daerah ini dicabut sejak tahun 2005, namun posisi politik DPRD masih tetap kuat, karena DPRD masih mempunyai kewenangan untuk menyusun dan mengesahkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah dan kewajiban kepala daerah untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD. Posisi politik yang kuat ini mendorong anggota DPRD melakukan abuse of power , sehingga marak dugaan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD. Padahal seharusnya DPRD bertindak sebagai pengawas penyelenggaraan kekuasaan oleh pemerintah daerah. Tabel 6.1 Contoh Kasus Korupsi Setelah Pelaksanaan otonomi daerah Daerah Jenis Kasus dan Tahun Peristiwa Diungkap ke Publik Nilai Kerugian Negara Rp. Miliar Aceh Korupsi Pembelian Helikopter M2, tahun 2004 12,5 Sumatera Barat Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2001 2,78 Cirebon Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2001 0,99 DI Yogyakarta Korupsi Dana asuransi sebagai APBD oleh DPRD, tahun 2001 4 Padang Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2002 4,67 Kalimantan Selatan Korupsi penyalahgunaan anggaran belanja rutin pos kepala daerah, tahun 2001-2004 5,47 Toli-Toli Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2002 4,5 Mentawai Manipulasi Keuangan oleh Sekda,tahun 2002 7,9 Sumatera Barat Perjalanan dinas fiktif DPRD, tahun 2003 5,93 Donggala Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2003 5,2 NTB Korupsi APBD oleh DPRD,tahun 2004 23 Sumbawa Manipulasi APBD oleh DPRD,tahun 2004 6,4 Madiun Markup proyek APBD oleh DPRD, tahun 2004 8,8 Blitar Manipulasi APBD oleh Bupati, tahun 2004 73 Kapuas Hulu Korupsi dana sumber daya hutan oleh Bupati, Tahun 2005 150 Sukabumi Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2007 3,6 Situbondo Korupsi APBD, tahun 2005-2007 45,75 Makassar Pengadaan mobil pemadam kebakaran, tahun 2003 4,31 Kendal Korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, Dana Tak Tersangka DTT dan Dana Alokasi Umum DAU dalam APBD Kabupaten Kendal, 2003-2005 52,9 Boven Digul Papua penunjukan langsung pengadaan kapal tanker LCT 180 dan penggelapan dana kas daerah, 2006-2007 Tidak ada data Sumber : dari berbagai sumber diolah Namun tidak tepat jika dikatakan bahwa korupsi di daerah baru saja terjadi setelah ditetapkannya kebijakan desentralisasi. Tidak adanya pengungkapan kasus- kasus korupsi di daerah pada era orde baru, bukan karena benar-benar tidak terjadi korupsi, melainkan karena faktor dominasi birokrasi yang sangat kuat dan sekaligus penegakan hukum yang lemah. Akibatnya, kasus-kasus korupsi pada era orde baru tidak tersentuh dan tidak ter-ekspose media massa. Dalam konteks ini, desentralisasi hanya memberikan panggung baru bagi pentas korupsi di tingkat lokal. Hasil Survey rutin dua tahunan yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia memperlihatkan bahwa kondisi daerah terkait dengan korupsi masih memprihatinkan. Dengan range skor 0 sampai dengan 10, dimana 0 menyatakan kondisi paling korup dan 10 menyatakan kondisi paling bersih, selama survey tahun 2002, 2004, 2006 dan 2008, skor paling tinggi yang berhasil dicapai oleh suatu daerah adalah 6,61.Skor ini diraih oleh Kota Palangkaraya pada tahun 2006. Sedangkan skor paling rendah dibukukan oleh Kabupaten Maumere Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan nilai 3,22 pada tahun survey 2006. Data lengkap pada lampiran 3 dan 4.

6.3.2. Perda Pungutan dan Retribusi

Hasil survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah KPPOD pada tahun 2007 menunjukkan berbagai pungutan dan proses perizinan di daerah masih menjadi penghambat investasi. Survei ini mencakup 243 kabupatenkota di Indonesia dengan melibatkan 12.187 pelaku usaha bidang manufaktur, perdagangan, dan jasa. Sejalan dengan temuan tersebut, Departemen Keuangan tak segan-segan menolak peraturan daerah yang kurang mendukung iklim investasi. Peraturan ini umumnya terkait biaya seperti penambahan biaya administrasi dan retribusi yang ditarik di awal ketika pengusaha baru mau melakukan investasi. Hasil dari kajian terhadap peraturan daerah tersebut adalah rekomendasi terhadap keberadaan peraturan daerah tersebut. Apakah perda tersebut harus direvisi, dibatalkan atau dapat diimplementasikan. Kewenangan ini mengalami perubahan dari awalnya menjadi domain Menteri Keuangan menjadi domain Presiden sesuai dengan Pasal 158 Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini akan membuat proses kajian terhadap Perda ini akan menjadi lebih lambat. Perda itu dinilai menghambat penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerah dan membebani pelaku usaha maupun masyarakat. Rancangan peraturan daerah yang ditolak itu berasal dari sektor perhubungan, pertanian, pekerjaan umum, perindustrian, perdagangan, dan kehutanan. Sementara itu, rancangan perda yang paling banyak ditolak berasal dari Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Survei KPPOD ini juga menyimpulkan banyak daerah yang menetapkan biaya perizinan usaha lebih tinggi dibandingkan dengan keputusan pemerintah. Misalnya, biaya pengurusan tanda daftar perusahaan TDP mencapai Rp 500 ribu, lebih tinggi dibandingkan Permendag nomor 372007 tentang Biaya Pengurusan Izin TDP untuk jenis perusahaan perseroan sebesar Rp. 100.000,-. Namun, KPPOD juga mencatat ada juga perda yang mendukung investasi, seperti Perda Kota Balikpapan Nomor 9 Tahun 2004 tentang Insentif bagi Investor. Fakta yang mengkhawatirkan, jumlah Perda bermasalah dari tahun ke tahun tidak menunjukan tren penurunan. Pada tahun 2002, jumlah Perda yang dibatalkan oleh pemerintah pusat tercatat sebanyak 19 buah. Pada 2003 jumlahnya melonjak drastis menjadi 105 perda. Sedangkan pada 2004 tak kurang dari 236 Perda, dan menjadi 136 Perda pada 2005. Pada 2005 dan 2006 masing-masing sebanyak 114 dan 151 Perda yang dibatalkan. Realitas yang lebih memprihatinkan lagi, Perda-Perda yang dibatalkan itu tampaknya masih banyak yang diterapkan di berbagai daerah. Pungutan resmi yang dituangkan dalam Perda ini di lapangan masih ditambah lagi dengan masih adanya biaya tak resmi atas pelayanan birokrasi. Dalam hitungan KPPOD, biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan birokrasi itu bahkan bisa mencapai 2 sampai 3 persen dari total biaya produksi. Menurut Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia GAPMI jumlah pungutan tak resmi untuk biaya distribusi makanan dan minuman mencapai 30 persen dari total biaya distribusi.

6.3.3. Rendahnya Kapasitas Pemerintah Daerah .

Kapasitas pemerintah daerah pada umumnya masih rendah yang ditandai oleh 1 masih terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia aparatur baik jumlah maupun yang profesional, 2 masih terbatasnya ketersediaan sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang berasal dari kemampuan daerah itu sendiri internal maupun sumber dana dari luar daerah eksternal dan terbatasnya kemampuan pengelolaannya; 3 belum tersusunnya kelembagaan yang efektif; 4 belum terbangunnya sistem dan regulasi tentang aparatur pemerintah daerah yang jelas dan tegas; 5 kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat termasuk anggota dewan perwakilan rakyat daerah dalam pelaksanaan pembangunan secara lebih kritis dan rasional. Banyaknya peraturan daerah yang direkomendasikan untuk direvisi atau bahkan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat menunjukkan bahwa pemerintah daerah kurang memahami substansi peraturan daerah dan sekaligus menunjukkan bahwa aparatur daerah tidak kreatif dalam mengoptimalkan peluang dan manfaat otonomi daerah. Akibatnya, pilihan yang diambil untuk meningkatkan pendapatan asli daerah PAD adalah pilihan instant dan mudah.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pemilihan Model Terbaik