dan cabang, 3 hama kulit pohon, 4 hama batang, 5 hama akar dan 6 hama bunga dan buah Haneda 2010.
2.2.2 Kutu Lilin P. boerneri
Dewasa ini pinus telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam bentuk hutan-hutan tanaman murni. Hutan tanaman pinus yang terluas bahkan
terdapat di Pulau Jawa. Semakin luasnya sebaran pinus di Indonesia, dengan sendirinya juga telah menghadirkan beberapa serangga hama yang dilaporkan
menyerang pada tanaman ini. Kutu lilinPine wooly adelgids adalah salah satu hama yang menyerang pinus. Hama ini menyerang dengan cara menghisap cairan
pada pohon pinus yang pada akhirnya dapat mematikan pohon pinus. Nimpa serta hama yang telah dewasa menyerang dengan cara menghisap cairan dari pohon
pinus dan menyebabkan kelainan bentuk serta kehilangan pertumbuhan tinggi pohon tersebut. Hal ini terjadi di Afrika, Australia, Eropa, Selandia Baru serta
Amerika Utara dan Selatan. Dilaporkan serangan pertama terjadi di India pada tahun 1970 yang telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap hutan
tanaman pinus FAO 2007. Kutu lilin yang ditemukan di tegakan Pinus merkusii di Jawa selanjutnya
diidentifikasi sebagai Pineus boerneri. Identifikasi dilakukan oleh Associate Insect Biosystematist
, Dr. Gillian W. Watson. Berdasarkan kedudukan taksonominya kutu lilin diklasifikasikan sebagai berikut Watson 2007:
Phylum : Arthropoda
Klas :
HexapodaInsekta Ordo
: Homoptera
Super famili : Aphidoidae
Famili :
Adelgidae Genus
: Pineus
Species : Pineus boerneri
Kutu lilin memiliki ciri tubuh yang lunak dan berukuran kecil ± 1 mm, tinggal dan berkembang biak di pangkal pucuk bagian luar dari pohon pinus. Kutu
lilin mengeluarkan lilin putih dari lubang yang terdapat di bagian dorsal. Ciri lain dari hama ini adalah pada kutu betina mempunyai ovipositor, rostrum yang
panjang, spirakel pada abdomen dan tidak aktif bergerak. Sebagian besar famili
Adelgidae mempunyai siklus hidup yang cukup kompleks, melibatkan inang dan
mempunyai phase seksual pada tahun kedua. Kutu lilin merupakan serangga aseksualpartenogenesis sepanjang tahun. Serangga ini tahan terhadap kondisi
lingkungan yang dingin Watson 2007. Chilima dan Leather 2001 menyatakan bahwa terdapat pola tertentu dari serangan serangga ini, baik menurut ruang dan
waktu. Kondisi pohon sangat mempengaruhi performance dari serangga ini Dixon 1970; 1998. Selanjutnya kondisi hara tempat tumbuh memberi dampak
terhadap pola distribusi dari serangga ini dan tanaman inangnya Spight dan Wainhause 1989.
Hama kutu lilin diketahui mempunyai inang lebih dari 50 jenis pohon pinus. Serangga ini menghisap cairan pada batang, pucuk dan pangkal daun pinus
sehingga menghasilkan bercak-bercak lilin yang berwarna putih. Serangan kutu ini menyebabkan kematian pucuk dieback secara perlahan, kehilangan
dominansi pucuk, distorsi cabang, pertumbuhan terhambat, daun menjadi kecoklatan dan mati, tajuk menipis dan akhirnya terjadi kematian pohon Chilima
dan Leather 2001. Lebih lanjut Watson 2007 menyatakan bahwa serangan hama kutu lilin menyebabkan gugurnya daun secara premature, hilang dan terlambatnya
pertumbuhan, distorsi titik tumbuh dan pada kondisi yang kronis dapat menyebabkan kematian pohon. Kerusakan akan semakin parah apabila pohon
tumbuh pada kondisi yang buruk sehingga menyebabkan stress. Hal ini terjadi karena kekeringan, tanah yang miskin, tidak ada penjarangan dan lain sebagainya.
Pada tahap awal serangan akan terlihat bintik-bintik putih kecil 1 – 2 mm, biasanya pada pucuk tanaman dan batang dalam jumlah yang kecil. Bintik-bintik
kecil putih tersebut berbentuk seperti hifa-hifa dengan warna putih bening dan lengket yang merupakan cairan yang dikeluarkan kutu lilin sebagai tempat tinggal
rumahtempat berlindung dan berkembang biak bagi kutu lilin. Setelah tanaman terserang kutu lilin maka tahap selanjutnya akan terjadi perkembangan penutupan
lilin. Pada tahap ini bintik-bintik putih tersebut semakin melebar membentuk kelompok-kelompok lapisan lilin. Kemudian akan terus berlangsung sampai
menutupi seluruh permukaan kulit dari tanaman pinus tersebut, sehingga pada tanaman pinus akan terlihat kumpulan warna putih akibat adanya lapisan lilin.
Supriadi 2001.
Pemahaman tentang distribusi populasi kutu berdasarkan ruang dan waktu sangat penting dalam pengelolaan hama kutu lilin ini yaitu pemilihan waktu dan
teknik yang tepat untuk aplikasi pengendalian. Kegiatan silvikultur seperti penjarangan dan pemangkasan serta faktor lainnya umur, spesies, vigor pohon
dan gugur daun karena hama lain dapat mempengaruhi distribusi kutu lilin ini. Chilima dan Leather 2001. Barnes et al 1976 menyatakan bahwa penggunaan
pinus jenis resisten sangat dimungkinkan sebagai pendekatan pencegahan secara genetik. Tindakan pengendalian lainnya yang bisa diusahakan adalah dengan
merawat pohon dengan baik, penanaman jangan terlalu rapat, usahakan tajuk terbuka, menjaga tidak ada luka dan melakukan pemupukan secara berkala
disertai dengan pemberian air yang tepat Nik 2006. Pengendalian hama kutu lilin bisa juga dilakukan dengan menggunakan
insektisida berbahan aktif acephate atau melathion. Aplikasi dilakukan dengan menyemprot seluruh bagian pohon, bukan hanya yang terinfeksi kutu saja. selain
itu penyemprotan dilakukan pada pohon-pohon disekitarnya sehingga tidak terjadi re-infestasi. Penyemprotan dilakukan setiap dua bulan sekali Anonim 2002.
Penggunaan insektisida dengan sabun dan “hortikultura oil” dapat dipakai untuk mengendalikan hama kutu lilin ini. Pengunaan musuh alami masih dalam tahap
penelitian dan belum banyak yang diaplikasikan di lapangan. Di Malawi, Kenya dan negara-negara Afrika Timur pernah mendatangkan predator Leucopis tapiae
Diptera: Chamaemyiidae dari Eropa untuk mengendalikan kutu ini Nik S 2001. Spesies-spesies seperti laba-laba, belalang sembah dan undur-undur Neuroptera
diketahui berpotensi sebagai pengendali secara alami. Upaya yang dapat diterapkan antara lain :
a. Karantina
b. Survei dan Monitoring : cara ini penting dilakukan untuk mengetahui
perkembangan penyebaran dan dampak serangan hama kutu lilin dari waktu ke waktu secara detail. Dengan demikian maka keputusan langkah
pengendalian kapan dan dimana dapat diambil secara tepat. c.
Pengendalian secara kimiawi : keuntungannya merupakan cara cepat untuk melindungi pohon; kerugiannya antara lain dapat mematikan parasit dan
predator, di samping dampak polusi lingkungan.
d. Manipulasi Silvikultur : penggunaan jenis-jenis spesies alternatif, pemilihan
tapak yang tidak cocok bagi hama kutu lilin, penjarangan tegakan yang terserang untuk meningkatkan kesehatan vigoritas pohon, penanaman
lebih dari satu jenis spesies pada suatu lokasi pertanaman. e.
Pengendalian secara mekanik : melalui penggunaan perangkap dan penyemprotan air volume tinggi ke cabang-cabang. Cara ini tidak
menimbulkan efek negatif pada lingkungan, tapi belum teruji untuk hama kutu lilin, juga perlu banyak tenaga pelaksana.
f. Observasi resistensi genetik : pada suatu tegakan pinus yang terserang hama
kutu lilin. Dari berbagai observasi lapangan diketahui bahwa terdapat peluang adanya pohon resisten pohon sehat hijau tidak dijumpai adanya
serangan kutu lilin, pohon bersih dari kutu lilin dan juga pohon toleran kutu lilin menyerang, tapi pohon tetap sehat hijau tidak menunjukkan
gejala sakit. Untuk mendapatkan pohon yang benar-benar resisten ataupun toleran, maka observasi kontinyu perlu dilakukan terhadap pohon-pohon
kandidat resisten – toleran yang telah dipilih. g.
Pengendalian secara biologi, dilakukan dengan cara mengintroduksi musuh alami hama kutu lilin.
BAB III BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di dua tempat yaitu tegakan pinus Perum Perhutani KPH Sumedang dan Laboratorium Entomologi Hutan Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan sejak bulan Oktober hingga Desember 2009.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian ranting pinus yang terserang hama kutu lilin. Alat-alat penelitian yang digunakan selama
pengambilan sample di lapangan adalah tali tambang, pita ukur, gunting ranting, penggaris plastik ukuran 50 cm, alat tulis, kantong plastik dan karung sebagai
tempat untuk menyimpan sample penelitian dari tiap pohon. Selain itu alat yang digunakan selama di laboraturium adalah gunting, tabung bekas film, alkohol,
stiker tabel, mikroskop, tally sheet, dan alat tulis.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer. Data primer yang dikumpulkan berupa data tingkat serangan hama kutu lilin pada
berbagai stadia telur, nimfa dan imago. Data yang diambil meliputi tingkat serangan pada arah timur, utara, barat dan selatan serta pada berbagai bagian
tanaman pinus. Pengumpulan data primer pada penelitian ini meliputi:
3.3.1 Pengambilan data contoh di lapangan
Pengambilan bagian tanaman pinus yang terserang hama kutu lilin dilakukan dengan beberapa tahap. Pengambilan data ini diawali dengan
menentukan 18 contoh pohon tusam P. merkusii berumur 20-30 tahun yang terserang hama kutu lilin P. boerneri. Pohon contoh tersebut terdiri atas 10
pohon contoh dengan kategori rusak ringan dan 8 pohon contoh dengan kategori rusak berat. Kerusakan ringan didefinisikan pada kondisi dimana sekitar 25
bagian tanaman yang mengalami kerusakan, sedangakn kerusakan berat adalah kondisi dimana sekitar 75 lebih bagian tanaman mengalami kerusakan.