Identifikasi Osteoporosis melalui Bone Radiograph Menggunakan Evolving Multilayer Perceptron

(1)

62

DAFTAR PUSTAKA

Bakhireva LN, Barrett-Connor E, Kritz-Silverstein D, Morton DJ. Modifiable predictors of bone loss in older men: A prospective study. Am J Prev Med 2004;26:436-42.

Bartl, R. & Frisch, B. 2009. Osteoporosis: Diagnosis, Prevention, Therapy. 2nd Edition. Springer: Germany.

Brinker, M. R. & O’Connor, D. P. Bone, Basic Science. Dalam: Miller MD,editor. Review of Orthopaedics,6thed. Philadelphia: Saunders Elsevier;2008:29-32. Coghill, G., Zhang, D., Ghobakhlou, A. & Kasabov, N. 2003. Connectionist systems

for rapid adaptive learning: a comparative analysis on speech recognition. Adaptive systems and brain-like computing (International workshop) 3rd International workshop, Adaptive systems and brain-like computing (International workshop); 1365-1368.

Dell, R & Green D. Osteoporosis disease management: The Role of orthopaedic surgeon. J Bone Joint Surg Am. 2008;90.suppl 4:188-94.

Ervianty, I. 2014. Prediksi Harga Saham Syariah Menggunakan Metode Simple Evolving Connectionist System (SECOS). Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Haralick, R. M., Shanmugam, K. & Dinstein, I. 1973. Textural Features for Image Classification. IEEE Transactions on Systems, Man, and Cybernetics 3: 610-621.

Iqbal, M. 2014. Identifikasi Kanker Payudara Pada Citra Digital Mammogram Menggunakan Evolving Connectionist System. Skripsi. Universitas Sumatera


(2)

63

Kadah, Y.M. 2012. Advanced Topics in Biomedical Engineering. Lecture Notes. http://k-space.org/Class_Info/ATBME_2012.html (diakses 27 September 2016).

Kadir, A. & Susanto, A. 2013. Teori dan Aplikasi Pengolahan Citra. Andi: Yogyakarta.

Kasabov, N. 2007. Evolving Connectionist Systems The Knowledge Engineering Approach. 2nd Edition. Springer: London.

Kavitha, M.S., Asano, A., Taguchi, A., Kurita, T. & Sanada, M. 2012. Diagnosis of osteoporosis from dental panoramic radiographs using the support vector machine method in a computer-aided system. BMC Medical Imaging, 12:1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1142/MENKES/SK/XII/2008

tanggal 4 Desember 2008 tentang Pedoman Pengendalian Osteoporosis.

Lane, J. M. & Edward, M. D. Osteoporosis: diagnosis & treatment. AAOS instructional course lecture. volume 6.Ilinois.1997.

Lucas, T. S. & Einhorn, T. A. Osteoporosis : The Role of Orthopaedist. J Am Acad Orthop Surg; 1993:48-56.

Mardianto, I. & Pratiwi, D. 2008. Sistem deteksi penyakit pengeroposan tulang dengan metode jaringan syaraf tiruan backpropagation dan representasi ciri dalam ruang eigen. CommIT, Vol. 2, No. 1, pp. 69-80.


(3)

64

Pertiwi, F.K.. 2011. Analisis Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) dan Region Growing dalam Deteksi Gejala Kanker Payudara Pada Citra Mammogram. Skripsi. Institut Teknologi Telkom.

Prasetyo, E. 2011. Pengolahan Citra Digital dan Aplikasinya menggunakan Matlab. Andi: Yogyakarta.

Putra, D. 2010. Pengolahan Citra Digital. Andi: Yogyakarta.

Université d'Orléans, 2014. Challenge IEEE-ISBI :Texture Characterization of Bone Radiograph Images. Application to Osteoporosis Diagnosis. http://www.univ-orleans.fr/i3mto/challenge-ieee-isbi-bone-texture-characterization (diakses 24 April 2017).

Watts, M.J. 2004. Evolving Connectionist Systems. Characterization, Simplification, Formalization, Explanation and Optimization. Disertasi Ph.D. University of Otago.

Watts, M.J. 2009. A Decade of Kasabov’s Evolving Connectionist Systems: A

Review. IEEE Transactions on Systems, Man and Cybernetics Part C – Applications and Reviews 39(3): 253-269.

Watts, M.J. & Kasabov, N. 2000. Simple evolving connectionist systems and experiments on isolated phoneme recognition. IEEE Symposium on Combinations of Evolutionary Computation and Neural Networks: 232-239.

Watts, M.J. 2009. A Decade of Kasabov’s Evolving Connectionist Systems: A Review. IEEE Transactions on Systems, Man and Cybernetics Part C – Applications and Reviews 39(3): 253-269.

Wahyudiyanta, I. 2010. Lakukan pemeriksaan DXA bila terdiagnosa osteoporosis. Detik.com, 26 Oktober 2010 (diakses 25 Desember 2016).


(4)

65

Watts, M. & Kasabov, N. 2000. Simple evolving connectionist systems and experiments on isolated phoneme recognition. IEEE Symposium on Combinations of Evolutionary Computation and Neural Networks: 232-239. Zhang, D., Ghobakhlou, A. & Kasabov, N. 2004. An adaptive model of person

identification combining speech and image information. Control, Automation, Robotics and Vision Conference 8th Vol. 1, pp 413-418.


(5)

27

BAB 3

ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM 3.1 Identifikasi Masalah

Osteoporosis merupakan penyakit yang ditandai dengan penurunan kepadatan mineral tulang, perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang. Saat ini identifikasi osteoporosis masih dilakukan secara manual oleh pakar Rheumatologi melalui citra hasil X-Ray, sehingga hasil identifikasi tergantung dari keahlian dan pengalaman pakar Rheumatologi mengenai osteoporosis. Oleh karena itu diperlukan suatu pengolahan citra pada citra bone radiograph untuk membantu dokter atau ahli rheumatologi dalam mendiagnosis osteoporosis.

3.2 Dataset

Dataset yang digunakan pada penelitian ini adalah dataset bone radiograph. Dataset terdiri dari 116 citra digital bone radiograph di mana terdapat 58 citra digital bone radiograph normal dan 58 citra bone radiograph osteoporosis.

Dataset bone radiograph diambil dari IEEE-ISBI 2014 competition dataset (http://www.univ-orleans.fr/i3mto/challenge-ieee-isbi-bone-texture-characterization).

Ukuran citra bone radiograph yang diperoleh yaitu × piksel, dengan format TIFF.

3.3 Metode Penelitian

Pada penelitian ini, metode penelitian terdiri atas proses pelatihan dan proses pengujian. Proses pelatihan dan pengujian dapat dilihat pada Gambar 3.1.


(6)

28

Gambar 3.1. Arsitektur umum proses pelatihan dan pengujian

Adapun proses-proses yang dilakukan antara lain: 1. Input

Pada tahap ini, sistem membaca data input yang dimasukkan user, data input harus berupa file citra berskala keabuan dan berekstensi .tiff.


(7)

29

CLAHE digunakan untuk meningkatkan kualitas citra menjadi lebih baik lagi dengan mengatur kekontrasan citra sehingga dapat menampilkan bagian-bagian yang gelap atau tidak terlihat (Pertiwi, 2011).

b. Feature extraction

Citra input harus berupa citra grayscale, jika tidak maka citra tersebut akan dikonversi ke dalam bentuk citra berskala keabuan selanjutnya akan diubah menjadi matriks GLCM yaitu suatu matriks yang merepresentasikan hubungan ketetanggaan antar piksel dalam citra pada berbagai arah orientasi dan jarak spasial sehingga menghasilkan fitur-fitur dengan tingkat diskriminator yang diinginkan.

Penelitian ini akan menggunakan 4 matriks GLCM dalam menentukan fitur pada citra bone radiograph, yaitu GLCM dengan jarak spasial 1 dan sudut 0o, GLCM dengan jarak spasial 1 dan sudut 45o, GLCM dengan jarak spasial 1 dan sudut 90o, dan GLCM dengan jarak spasial 1 dan sudut 135o.

Dari 14 fitur tekstur yang disarankan oleh Haralick et al. (1973), hanya 4 fitur yang akan digunakan pada penelitian ini, keempat fitur tersebut adalah contrast,correlation,energy, dan homogeneity. Karena setiap citra menghasilkan 4 GLCM maka terdapat 16 fitur yang akan terekstrak.

c. Training

Citra dari dataset yang sudah diperbaiki pada tahap preprocessing kemudian akan di ekstrak fiturnya menggunakan GLCM. Hasil dari ektraksi fitur tersebut disimpan di dalam vektor fitur kemudian dilakukan proses pelatihan pada jaringan ECoS sehingga sistem mampu mengidentifikasi citra bone radiograph. Sebuah jaringan ECoS setidaknya memiliki satu layar neuron yang berevolusi (evolving layer). Evolving layer adalah layer konstruktif yang akan berkembang dan mengadaptasikan dirinya terhadap data-data yang dimasukkan. Pelatihan dengan menggunakan algoritma ECoS melibatkan empat parameter yaitu sensitivity threshold (Sthr), error threshold (Ethr), dan dua buah learning rate � dan � . Sensitivity threshold dan error threshold


(8)

30

merupakan parameter yang menentukan penambahan neuron baru pada jaringan ECoS. Arsitektur umum dari ECoS dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 General ECoS architecture (Watts, 2009)

d. Classification

Jaringan yang telah dilatih pada tahap sebelumnya digunakan oleh sistem dalam mengklasifikasikan citra input yaitu citra bone radiograph.

3. Output

Output dari citra digital bone radiograph ada 2 klasifikasi yaitu normal dan osteoporosis.

3.4 Analisis Sistem


(9)

31

perbaikan citra menggunakan teknik adjust, median filtering dan metode CLAHE, kemudian menggunakan metode feature extraction GLCM dari citra yang sudah diperbaiki tersebut untuk mendapatkan fitur tekstur. Kemudian fitur tekstur tersebut diproses dengan metode evolving multilayer perceptron untuk diklasifikasikan ke dalam 2 kategori normal atau osteoporosis.

Algoritma ECoS yang dipakai yaitu algoritma Simple Evolving Connectionist Systems (SECoS) atau disebut juga evolving Multilayer Perceptron (eMLP), untuk selanjutnya penulis akan sebut eMLP. Adapun gambaran algoritma eMLP dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Arsitektur umum SECoS (Kasabov, 2007)

Ekstraksi fitur pada citra input menggunakan GLCM yaitu matriks yang merepresentasikan hubungan ketetanggaan antara dua piksel dalam citra berskala keabuan (grayscale) pada arah orientasi tertentu dan jarak spasial. GLCM merupakan matriks berukuran n x n, di mana n adalah banyaknya level abu-abu yang dimiliki oleh citra grayscale. Langkah-langkah ekstraksi fitur menggunakan GLCM adalah sebagai berikut:


(10)

32

b. Tentukan jarak spasial dan sudut orientasi antara piksel referensi dengan piksel tetangga. Jarak yang digunakan pada penelitian ini adalah 1 dan sudut yang digunakan adalah 0, 45, 90, 135.

c. Hitung nilai kookurensi berdasarkan jarak dan sudut yang telah ditentukan. d. Jumlahkan matriks kookurensi dengan matriks transposenya agar matriks

kookurensi menjadi simetris.

e. Normalisasi matriks kookurensi ke bentuk probabilitas dengan cara membagi masing-masing nilai kookurensi dengan jumlah semua nilai kookurensi yang ada pada matriks, sehingga hasil penjumlahan semua nilai pada matriks bernilai 1.

f. Hitung fitur tekstur yang diusulkan oleh Haralick. 4 fitur tekstur yang digunakan pada penelitian ini adalah contrast, correlation, energy, dan homogeneity.

Hasil dari perhitungan tersebut diubah ke dalam bentuk vektor kolom. Karena terdapat 4 matriks GLCM di mana setiap masing-masing dari matriks tersebut menghasilkan 4 tekstur fitur, maka secara keseluruhan terdapat 16 fitur yang selanjutnya digunakan pada tahap pembelajaran dengan metode eMLP.

Cara kerja sistem CAD yang akan dibangun terdiri dari 2 proses yaitu proses training dan proses testing. Adapun cara kerja sistem pada saat training antara lain sebagai berikut:

1. Input citra.

2. Lakukan image enhancement menggunakan metode adjust, median filtering, dan CLAHE kemudian bentuk matriks GLCM dengan grey level (GL) atau brightness value sebesar 64 dan jarak sebesar 1.


(11)

33

7. Cari node dengan nilai aktivasi tertinggi.

8. Jika nilai maksimum A1 lebih kecil dari nilai sensitivity threshold maka node ditambah satu dan bobot vektor masukan diberi inisialisasi sesuai dengan input vector I dan bobot vektor keluarnya diinisialisasi sesuai dengan desiredoutput vector Od, kemudian menuju ke langkah (13).

9. Lakukan propagasi terhadap most highly activated node dengan menggunakan metode OneOfN yaitu nilai yang digunakan untuk propagasi maju dari evolving layer ke output layer menggunakan node dengan nilai aktivasi tertinggi.

10.Hitung error yaitu selisih antara desired output dan actual output.

11.Jika error antara desired output dan actual output yang dihasilkan dari node-node yang aktif lebih besar dari error threshold (Ethr) atau desired output dari node yang aktif tidak sama dengan desired output pada saat i maka node ditambah satudan bobot vektor masukan diberi inisialisasi sesuai dengan input vector I dan bobot vektor keluarnya diinisialisasi sesuai dengan desired output vector Od, kemudian menuju ke langkah (13).

12.Nilai bobot 1 diubah menggunakan Persamaan 2.15 dan nilai bobot 2 diubah menggunakan Persamaan 2.16.

13.Melakukan pelatihan terhadap data selanjutnya dan menuju langkah (6). Ketika seluruh data sudah dilatih, jumlah node dan matriks bobot yang terkait pada setiap node kemudian disimpan untuk selanjutnya digunakan pada proses testing.

Cara kerja sistem pada saat testing antara lain sebagai berikut:

1. Input citra dan lakukan perbaikan citra menggunakan metode adjust, median filtering, dan CLAHE.

2. Bentuk matriks GLCM dengan grey level (GL) atau brightness value sebesar 64 dan jarak sebesar 1.

3. Buat vektor kolom dari hasil perhitungan tekstur fitur dari matriks GLCM yang telah dinormalisasi.

4. Inisialisasi jumlah node sama dengan jumlah keseluruhan node dari hasil pelatihan dan inisialisasi nilai dari bobot yang terkait dengan node-node


(12)

34

5. Hitung nilai aktivasi (A1) dari input vektor menggunakan Persamaan 2.13. 6. Cari node dengan nilai aktivasi tertinggi.

7. Lakukan propagasi pada evolving layer menggunakan OneOfN.

8. Actual output akan dibagi menjadi 2 bagian yaitu normal dan osteoporosis 9. Melakukan testing terhadap data selanjutnya dan menuju langkah (2).

Cara kerja sistem bagian testing terhadap data baru antara lain sebagai berikut: 1. Input citra dan lakukan perbaikan citra menggunakan metode adjust, median

filtering, dan CLAHE.

2. Bentuk matriks GLCM dengan grey level (GL) atau brightness value sebesar 64 dan jarak sebesar 1.

3. Buat vektor kolom dari hasil perhitungan tekstur fitur dari matriks GLCM yang telah dinormalisasi.

4. Inisialisasi jumlah node sama dengan jumlah keseluruhan node dari hasil pelatihan dan inisialisasi nilai dari bobot yang terkait dengan node-node tersebut.

5. Hitung nilai aktivasi (A1) dari input vektor menggunakan Persamaan 2.13. 6. Cari node dengan nilai aktivasi tertinggi.

7. Lakukan propagasi terhadap evolving layer menggunakan OneOfN. 8. Actual output akan dibagi menjadi 2 bagian yaitu normal dan osteoporosis. 9. Melakukan testing terhadap data selanjutnya dan menuju langkah (2).


(13)

35


(14)

36

3.5 Perancangan Sistem

Pada tampilan awal aplikasi CAD, terdapat beberapa menu yaitu menu file dengan sub-menu open dan sub-menu exit, menu classification dengan sub-menu new dan sub-menu eMLP, serta menu help dengan sub-menu get started dan sub-menu about. Di dalam tampilan awal aplikasi CAD juga terdapat panel “ORIGINAL IMAGE” dan

“ENHANCED IMAGE” untuk menampilkan citra input baru yang asli dan setelah di perbaiki dan juga tersedia tombol “INFO” untuk melihat informasi mengenai citra. Panel “GLCM INFO” juga disajikan di dalam tampilan awal aplikasi untuk melihat nilai-nilai GLCM setiap fitur dan setiap vektor. Panel “PREDICTION” pada tampilan awal aplikasi CAD juga disajikan tombol “CHECK” untuk melihat hasil prediksi citra input baru untuk menentukan suatu citra di klasifikasikan sebagai citra bone radiograph yang normal atau osteoporosis dan tombol “EXIT” untuk keluar dari tampilan utama. Rancangan tampilan awal aplikasi CAD dapat dilihat pada Gambar 3.5.


(15)

37

Salah satu sub-menu dari menu classification yaitu sub-menu create dataset. Pada tampilan create dataset, disajikan 3 panel yaitu “INPUT TRAINING SET”,

“INPUT TESTING SET”, dan “DATASET NAME”. Pada panel “INPUT TRAINING SET”, terdapat tombol “NORMAL” dan “OSTEO”. Tombol “NORMAL” pada panel

“INPUT TRAINING SET” digunakan untuk membuka citra bone radiograph normal yang akan digunakan sebagai data training dan tombol “OSTEO” di panel yang sama digunakan untuk membuka citra bone radiograph osteoporosis yang akan digunakan sebagai data training. Pada panel “INPUT TESTING SET” juga terdapat tombol

“NORMAL” dan “OSTEO”. Tombol “NORMAL” pada panel “INPUT TESTING SET” digunakan untuk membuka citra bone radiograph normal yang akan digunakan sebagai data testing dan tombol “OSTEO” pada panel yang sama digunakan untuk membuka citra bone radiograph osteoporosis yang akan digunakan sebagai data testing. Panel “DATASET NAME” digunakan untuk memberi nama pada dataset yang baru. Tombol “CREATE” digunakan untuk membuat dataset dan tombol

“CANCEL” digunakan bila user tidak jadi membuat dataset baru. Rancangan tampilan dari sub-menu create dataset dapat dilihat pada Gambar 3.6.


(16)

38

Gambar 3.6 Rancangan tampilan menu Create Dataset

Sub-menu lain dari menu classification yaitu sub-menu evolving Multilayer Perceptron (eMLP). Pada tampilan ini terdapat menu File untuk dan sub-menu Open untuk memilih dataset yang akan dilatih dan diuji dan juga terdapat sub-menu Close untuk menutup tampilan eMLP. Pada tampilan terdapat ini panel N. PARAMETER

untuk melihat dan mengubah nilai parameter. Tombol “TRAIN” digunakan untuk

melatih data-data dari dataset yang dipilih dengan parameter yang telah ditentukan pada panel “N. PARAMETER” dan tombol “RECALL” digunakan untuk menguji data-data dari dataset yang dipilih. Pada panel “RESULTS” disajikan nilai akurasi pelatihan di “TRAINING ACCURACY”, nilai akurasi pengujian di “TEST ACCURACY” dan akurasi rata-rata di “OVERALL ACCURACY”. Tombol

“RESULTS” digunakan untuk melihat hasil dari pelatihan dan pengujian di tampilan baru dan tombol “OK” digunakan untuk keluar dari tampilan eMLP. Terdapat juga panel “SELECT TRAINING INPUT” yang menampilkan variabel-variabel dari dataset yang telah dipilih sebelumnya dan selanjutnya user memilih variabel “Training

Inputs” dan box TRAINING INPUT SAMPLES” untuk menampilkan jumlah sample, “SELECT TRAINING TARGETS” yang menampilkan variabel-variabel dari dataset yang telah dipilih sebelumnya dan selanjutnya user memilih variabel “Training

Targets” dan box “TRAINING TARGET SAMPLES” untuk menampilkan jumlah sample, SELECT TESTING INPUT” yang menampilkan variabel-variabel dari dataset yang telah dipilih sebelumnya dan selanjutnya user memilih variabel “Test

Inputs” dan box “TESTING INPUT SAMPLES” untuk menampilkan jumlah sample, dan SELECT TESTING TARGETS” yang menampilkan variabel-variabel dari dataset yang telah dipilih sebelumnya dan selanjutnya user memilih variabel “Test

Targets” dan box “TRAINING TARGET SAMPLES” untuk menampilkan jumlah sample. Rancangan tampilan dari sub-menu evolving Multilayer Perceptron (eMLP)


(17)

39

Gambar 3.7 Rancangan tampilan menu evolving Multilayer Perceptron (eMLP) Pada tampilan “RESULTS”, terdapat tabel “TRAINING RESULT TABLE”,

“DETECTION TABLE”, dan “TESTING RESULT TABLE”. “TRAINING RESULT TABLE” menampilkan hasil pelatihan dengan waktu dan node-node yang ditambah pada setiap data-data training. “DETECTION TABLE” menampilkan hasil klasifikasi dengan akurasi. “TESTING RESULT TABLE” menampilkan hasil klasifikasi untuk setiap citra berdasarkan actual output dan desired output. Tombol “SHOW SAMPLE” digunakan untuk melihat citra yang user ingin lihat berdasarkan nomor sample. Pada tampilan “SHOW SAMPLE”, ditampilkan citra yang user ingin lihat sesuai dengan nomor sample dan disajikan dengan citra sebelum dan sesudah perbaikan. Tampilan

“RESULTS” dapat dilihat di Gambar 3.8 dan tampilan “SHOW SAMPLE” dapat dilihat pada Gambar 3.9.


(18)

40

Gambar 3.8 Rancangan tampilan Results


(19)

41

BAB 4

IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN SISTEM 4.1 Implementasi Sistem

Algoritma Evolving Connectionist Systems (ECoS) yang diimplementasikan ke dalam sistem menggunakan MATLAB R2012b 64-bit sesuai dengan perancangan yang telah dilakukan sebelumnya. Ukuran kinerja hasil diagnosis dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Ukuran kinerja hasil diagnosis (Kadah, 2012)

No. Index Keterangan Formula

1. Sensitivity (TP rate) Kemampuan untuk mengidentifikasi adanya penyakit

TP/(TP+FN) 2. Specificity (TN rate) Kemampuan untuk mengidentifikasi

ketiadaan penyakit

TN/(TN+FP) 3. Positive predictive

value (PPV)

Keandalan dari hasil yang positif TP/(TP+FP) 4. Negative predictive

value (NPV)

Keandalan dari hasil yang negatif TN/(TN+FN)

5. Overall accuracy Keandalan secara keseluruhan (TP+TN)/(TP+TN+FP+FN) 6. FN rate Proporsi antara FN dan semua yang

terkena dampak

FN/(FN+TP) = (1-Sensitivity) 7. FP rate Proporsi antara FP dan semua yang

tidak terkena dampak

FP/(FP+TN) = (1- Specificity) 8. Positive likelihood ratio Peningkatan probabilitas penyakit

ketika hasilnya positif

Sensitivity/(1-Specificity) 9. Negative likelihood

ratio

Penurunan probabilitas penyakit ketika hasilnya negatif


(20)

42

Dalam mengevaluasi kinerja hasil pemeriksaan, penulis membandingkan

hasilnya sesuai dengan “Gold Standard di mana penilaiannya antara lain:  True Positive (TP)

False Positive (FP) True Negative (TN) False Negative (FN)

4.1.1 Spesifikasi software dan hardware yang digunakan

Spesifikasi perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) yang digunakan dalam membangun sistem CAD ini adalah sebagai berikut:

1. Sistem operasi yang digunakan adalah Microsoft Windows 7 Ultimate 64-bit Service Pack 1.

2. MATLAB R2012b 64-bit.

3. Processor Intel® Core™ i7-3517U CPU @ 1.90 GHz (4CPUs), ~2-4 GHz. 4. 4.00GB Single-Channel DDR3 @ 798MHz.

5. Storage 698GB Seagate ST750LM022 HN-M750MBB(SATA). 4.1.2 Implementasi perancangan antarmuka

Adapun implementasi perancangan antarmuka yang telah dilakukan sebelumnya pada sistem CAD adalah:

1. Tampilan awal aplikasi CAD

Tampilan awal aplikasi CAD merupakan tampilan yang pertama kali muncul ketika sistem berjalan. Ada beberapa menu dan tombol yang dapat dipilih dan memiliki fungsi masing-masing. Tampilan awal aplikasi CAD dapat dilihat pada Gambar 4.1.


(21)

43

Gambar 4.1 Tampilan awal aplikasi CAD 2. Tampilan menu Create Dataset

Tampilan menu Create Dataset digunakan untuk membuat dataset baru dari citra yang ada di komputer. Data tersebut terdiri atas data training dan data testing untuk masing-masing citra bone radiograph normal dan osteoporosis. Dataset tersebut akan disimpan ke sebuah file berekstensi .mat. Tampilan menu Create Dataset dapat dilihat pada Gambar 4.2.


(22)

44

Gambar 4.2 Tampilan menu Create Dataset 3. Tampilan menu evolving MultilayerPerceptron (eMLP)

Tampilan menu evolving Multilayer Perceptron (eMLP) dapat dilihat pada Gambar 4.3. Tampilan menu ini digunakan untuk melatih dan menguji suatu dataset menggunakan metode eMLP. Result dari data testing dapat dilihat pada Gambar 4.4.


(23)

45

Gambar 4.3 Tampilan menu evolving Multilayer Perceptron (eMLP)

4. Tampilan hasil klasifikasi

Tampilan hasil klasifikasi digunakan untuk menampilkan hasil temuan dan hasil diagnosis. Hasil klasifikasi ini dipresentasikan dalam bentuk tabel. Perbandingan antara actual output dan desired output dapat dilihat pada tabel Testing Result. Sample data uji dapat dilihat berdasarkan urutan data sample. Tampilan hasil klasifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.4.


(24)

46

Gambar 4.4 Tampilan hasil klasifikasi

5. Tampilan pemilihan citra secara manual

Tampilan pemilihan citra secara manual digunakan untuk memilih citra yang ingin dilihat oleh user dan disajikan dalam bentuk citra asli dan citra setelah di enhanced. Tampilan pemilihan citra secara manual dapat dilihat pada Gambar 4.5.


(25)

47

Gambar 4.5 Tampilan pemilihan citra secara manual 4.1.3 Implementasi data

Data yang dimasukkan ke dalam sistem CAD adalah citra bone radiograph normal dan osteoporosis.

Pada penelitian ini penulis menggunakan dataset yang diambil dari IEEE-ISBI 2014 competition dataset (http://www.univ-orleans.fr/i3mto/challenge-ieee-isbi-bone-texture-characterization). Dataset berjumlah 116 di mana terdapat 58 bone radiograph normal dan 58 bone radiograph osteoporosis. Rangkuman benchmark data atau dataset bone radiograph yang diperoleh tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Rangkuman bone radiograph dataset

No. File Name Normal Osteoporosis

1. Image_0_01 X

2. Image_0_02 X

3. Image_0_03 X

4. Image_0_04 X

5. Image_0_05 X


(26)

48

Tabel 4.2. Rangkuman bone radiograph dataset (Lanjutan)

No. File Name Normal Osteoporosis

113 Image_1_55 X

114 Image_1_56 X

115 Image_1_57 X

116 Image_1_58 X

Total 58 58

4.2 Prosedur Operasional

Tampilan awal dari aplikasi ini terdiri dari tiga menu utama, yaitu menu File, Classification, dan Help.


(27)

49

4.2.1 Menu file

Ada 2 sub-menu dari menu File yaitu Open dan Exit. Sub-menu Load Image digunakan untuk memilih citra bone radiograph sebagai input baru untuk diklasifikasikan dengan menggunakan jaringan yang telah dilatih. Sub-menu Exit digunakan untuk keluar dari aplikasi yang sedang berjalan.

Sub-menu Open dapat dilihat pada Gambar 4.7. Pada tampilan awal aplikasi

terdapat tombol “Exit” yang fungsinya sama dengan sub-menu Exit yaitu untuk keluar dari aplikasi yang sedang berjalan.

Gambar 4.7 Tampilan sub-menu Open

Citra yang dipilih akan diperbaiki menggunakan metode adjust, median filtering, dan CLAHE. Citra asli dan citra hasil perbaikan akan ditampilkan kembali di tampilan awal aplikasi CAD. Tombol “Info” pada panel Original Image dan Enhanced


(28)

50

“GLCM 90”, “GLCM 135” digunakan untuk melihat nilai-nilai fitur di setiap vektor. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8 Tampilan awal aplikasi setelah memilih citra input baru 4.2.2 Menu Classification

Pada menu Classification terdapat 2 sub-menu yaitu New dan evolving Multilayer Perceptron (eMLP). menu New digunakan untuk membuat dataset baru. Sub-menu ini dapat dilihat pada Gambar 4.9.


(29)

51

Gambar 4.9 Tampilan sub-menu New Keterangan tombol pada panel Training Set pada Gambar 4.9:

 Tombol “Normal” digunakan untuk memilih citra bone radiograph normal sebagai data latih.

 Tombol “Osteo” digunakan untuk memilih citra bone radiograph osteoporosis sebagai data latih.

Keterangan tombol pada panel Test Set pada Gambar 4.9:

 Tombol “Normal” digunakan untuk memilih citra bone radiograph normal sebagai data uji.

 Tombol “Osteo” digunakan untuk memilih citra bone radiograph sebagai data uji.


(30)

52

Sub-menu evolving Multilayer Perceptron (eMLP) digunakan untuk melatih dan menguji suatu dataset. Sub-menu ini dapat dilihat pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10 Tampilan sub-menu evolving Multilayer Perceptron (eMLP) Keterangan Gambar 4.10:

 Pada menu File terdapat 2 sub-menu yaitu Open dan Close. Sub-menu Open digunakan untuk memilih dataset yang akan digunakan untuk pelatihan dan pengujian. Sub-menu Close memiliki fungsi yang sama


(31)

53  Tombol “Result” digunakan untuk menampilkan hasil klasifikasi dari

data testing dan menampilkan hasil proses pelatihan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.12.

Gambar 4.11 Tampilan train dan recall suatu dataset

Tombol “Show” pada Gambar 4.12 digunakan untuk menampilkan citra suatu sample beserta citra hasil perbaikannya.

4.2.3Menu help

Pada menu Help terdapat 2 sub-menu yaitu Get Started dan About. Sub-menu Get Started digunakan untuk menampilkan tutorial penggunakan aplikasi CAD dalam bentuk file dokumen berformat .pdf. Sub-menu About digunakan untuk menampilkan versi dari aplikasi CAD, sub-menu ini dapat dilihat pada Gambar 4.13.


(32)

54

Gambar 4.12 Contoh hasil klasifikasi suatu dataset

Gambar 4.13 About 4.3 Evaluasi Pengujian Sistem

Pelatihan dan pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan dataset yang sudah ada, di mana dataset tersebut berekstensi .mat. Selain itu, pelatihan dan pengujian


(33)

55

4.3.1 Pelatihan dan pengujian pada dataset

IEEE-ISBI 2014 competition dataset terdiri dari 116 citra bone radiograph di mana terdapat 58 citra bone radiograph normal dan 58 citra bone radiograph osteoporosis.

Pada penelitian ini penulis menggunakan 92 citra bone radiograph data training di mana terdapat 46 citra bone radiograph normal dan 46 citra bone radiograph osteoporosis. Rangkuman citra bone radiograph yang digunakan untuk training dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Citra bone radiograph sebagai data training

No. ImageName Classification

Normal Osteoporosis

1. Image_0_04 X 2. Image_0_05 X 3. Image_0_06 X 4. Image_0_07 X 5. Image_0_08 X

6. Image_1_03 X

7. Image_1_04 X

8. Image_1_05 X

9. Image_1_06 X

… … … …

90. Image_0_54 X 91. Image_0_55 X

92. Image_1_54 X

Jumlah 46 46

Pelatihan data digunakan untuk mencari bobot-bobot yang terdapat pada setiap layer yang akan digunakan selanjutnya pada saat pengujian data yang tidak dilakukan pelatihan. Suatu set parameter (metode propagasi One-Of-N) terdiri dari sensitivity threshold, error threshold, learning rate 1, dan learning rate 2. Citra bone radiograph sebagai data testing berjumlah 24, di mana terdapat 12 citra bone radiograph normal


(34)

56

dan 12 citra bone radiograph osteoporosis. Rangkuman citra bone radiograph sebagai data testing dapat dilihat pada Tabel 4.4. Hasil pelatihan data dengan menggunakan metode propagasi One-Of-N pada suatu dataset dapat dilihat di Tabel 4.5.

Tabel 4.4 Citra bone radiograph sebagai data testing

No. ImageName Classification

Normal Osteoporosis

1. Image_0_1 X 2. Image_0_2 X 3. Image_0_3 X

4. Image_1_1 X

5. Image_1_2 X

… … … …

22. Image_1_11 X

23. Image_0_24 X 24. Image_0_56 X

Jumlah 12 12

Tabel 4.5 Parameter dan hasil pelatihan pada bone radiograph suatu dataset Parameter set Sensitivity threshold Error threshold Learning rate 1 Learning rate 2 Total Node Estimated time Recall data

1. 0.9 0.001 0.01 0.01 92 0.1248 83.33 %

2. 0.9 0.01 0.05 0.05 87 0.0156 83.33 %

3. 0.9 0.09 0.09 0.09 55 0 54.16 %

4. 0.5 0.09 0.1 0.1 55 0.0312 58.33 %


(35)

57

Parameter yang berbeda akan menghasilkan jumlah node, waktu eksekusi, dan hasil klasifikasi yang berbeda pula. Grafik waktu eksekusi, hasil pelatihan, dan akurasi pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.14, Gambar 4.15, dan Gambar 4.16.

Gambar 4.14 Grafik hasil pelatihan (waktu eksekusi) pada dataset

Gambar 4.15 Grafik hasil pelatihan (total node) pada dataset 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14

1 2 3 4 5 6 7 8 9

T im e ( s) Parameter set 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1 2 3 4 5 6 7 8 9

T o ta l n o d e Parameter set


(36)

58

Gambar 4.16 Grafik hasil pelatihan (akurasi pengujian) pada dataset Dari hasil pengujian didapat bahwa parameter dengan hasil terbaik dibandingkan dengan parameter yang digunakan pada penelitian ini dari evolving layer untuk klasifikasi bone radiograph adalah metode One-Of-N dengan sensitivity threshold=0.5, error threshold=0.01, learning rate1=0.5, dan learning rate 2=0.5 di mana diraih akurasi 87.50% dari data testing.

Data hasil testing (detection dan diagnosis) untuk 24 sample (propagasi One-Of-N) dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Data hasil testing (detection dan diagnosis) pada dataset

No. Sample Actual Output Desired Output

Normal Osteoporosis Normal Osteoporosis 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9

A cc u ra cy ( % ) Parameter set


(37)

59

Tabel 4.6 Data hasil testing (detection dan diagnosis) pada dataset (lanjutan)

No. Sample Actual Output Desired Output

Normal Osteoporosis Normal Osteoporosis

7. 7 X X

8. 8 X X

9. 9 X X

10. 10 X X

11. 11 X X

12. 12 X X

13. 13 X X

14. 14 X X

15. 15 X X

16. 16 X X

17. 17 X X

18. 18 X X

19. 19 X X

20. 20 X X

21. 21 X X

22. 22 X X

23. 23 X X

24. 24 X X

Correct

Classification 11 10 2 1

Detail hasil testing data sample pada dataset yang telah ditentukan dapat dilihat pada Tabel 4.7. Dari 12 sampel bone radiograph normal, didapat nilai True positive 11 dan False positive 1 yang maksudnya adalah dari 12 sampel bone radiograph normal 11 diantaranya teridentifikasi normal dan 1 teridentifkasi osteoporosis. Pada bone radiograph osteoporosis, didapat nilai True negative 10 dan False negative 2 yang maksudnya adalah dari 12 sampel bone radiograph normal 10 diantaranya teridentifikasi osteoporosis dan 2 teridentifikasi normal. Nilai-nilai True positive,


(38)

60

False positive, True negative, dan False negative diperlukan untuk mengukur kinerja hasil diagnosis.

Tabel 4.7 Detail hasil testing data sample pada dataset No. Keterangan Jumlah Persentase

1. True positive 11

2. True negative 10

3. False positive 1

4. False negative 2

5. Sensitivity (TP rate) 84.61 %

6. Specificity (TN rate) 90.90 %

7. Positive predictive value (PPV) 91.00 % 8. Negative predictive value (NPV) 83.33 %

9. Overall accuracy 87.50 %

10. FN rate 15.39 %

11. FP rate 9 %

12. Positive likelihood ratio 8.46 13. Negative likelihood ratio 1.71


(39)

61

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan pengujian sistem berbasis CAD dengan menggunakan evolving Multilayer Perceptron (eMLP) antara lain:

1. Sensitivity threshold=0.5, error threshold=0.01, learning rate 1=0.5, dan learning rate 2=0.5 merupakan parameter yang digunakan dengan hasil terbaik dibandingkan dengan parameter yang lain digunakan di penelitian ini pada jaringan eMLP untuk klasifikasi pada citra bone radiograph dengan akurasi 87.50% dengan dataset atau citra-citra yang sudah ditentukan.

2. Pada bone radiograph dataset yang sudah ditentukan didapat nilai sensitivitas dan spesifisitas yang diperoleh masing-masing yaitu 84.61% dan 90.90%. 5.2 Saran

Beberapa saran penulis untuk penelitian selanjutnya yaitu:

1. Gunakan metode ekstraksi fitur lainnya untuk mendapatkan nilai ciri atau karakteristik yang lebih unik ditemukan pada setiap citra.

2. Parameter berbeda dan citra yang digunakan untuk training dan testing dapat menghasilkan hasil yang berbeda juga, oleh karena itu penulis menyarankan untuk penelitian selanjutnya memakai neural network selain dari set parameter metode propagasi One-Of-N dan membuat dataset dengan citra-citra yang tidak digunakan pada penelitian ini baik untuk pelatihan maupun pengujian.


(40)

6

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Osteoporosis

Osteoporosis adalah kelainan tulang yang dikarakterisasikan dengan densitas massa tulang yang rendah dan deteriorisasi jaringan tulang, dengan subsekuensi kerapuhan tulang dan mengakibatkan tulang menjadi rawan patah (Bartl & Frisch, 2009).

2.1.1 Patofisiologi

Pada wanita yang memasuki fase menopause dan pasca menopause, proses osteoporosis yaitu penurunan densitas massa tulang akan terjadi secara berlanjut dan bertahap. Sementara pada pria osteoporosis terjadi lebih lambat, namun seperti halnya dengan wanita, hal ini disebabkan karena meningkatnya proses resorpsi sel osteoclast yang merupakan akibat langsung dari penurunan hormone steroid, seperti pada penderita hypogonadism (Bartl & Frisch, 2009).

Penurunan hormon steroid ini juga memiliki dampak langsung terhadap sel-sel yang memiliki reseptor estrogen alpha atau beta, seperti pada sel-sel mesenchymal progenitor di sumsum tulang yang memproduksi sel osteoblast (sel pembangun tulang) dan sel adipocytes (sel lemak). Hormon estrogen lah yang akan mempromosikan perubahan osteoblastogenic menjadi osteoblast, dan juga akan menghambat proses adipogenesis (pembentukan lemak). Oleh karena itu, pada usia lanjut proses pembentukan sel-sel tulang akan menurun karena dampak langsung dari pergeseran keseimbangan proses produksi sel tulang dan sel lemak di sumsum tulang, yang mana akan lebih banyak proses pembentukan sel adiposit (Bartl & Frisch, 2009).


(41)

7

dan penyakit dari organ lain di tubuh (penyakit ginjal, tumor, dll). Osteoporosis dapat dibagi atas beberapa jenis berdasarkan penyebaran, umur, jenis kelamin, dan histology (Bartl & Frisch, 2009).

A. Penyebaran

Osteoporosis dapat terlokalisir pada satu tulang atau satu bagian tubuh, yaitu osteoporosis focal atau osteoporosis regional, berbeda dari osteoporosis pada yang bersifat sistemik atau diseluruh tubuh. Faktor-faktor penyebab utama proses osteoporosis adalah (Bartl & Frisch, 2009) :

 Kurangnya aktifitas tubuh

Contohnya adalah osteoporosis regional yang terjadi pada satu tulang setelah mengalami patah tulang atau cedera syaraf motorik. Kurangnya pergerakan pada bagian tubuh tersebut akan menyebabkan peningkatan proses osteoplastic resorption yang mana jika terjadi secara ekstensif, akan menyebabkan komplikasi pada ginjal (hypercalciuria dan hyperphospaturia). Dan jika aktivitas pergerakan pada bagian tubuh tersebut dimulai kembali, proses osteoporosis ini dapat berhenti dan tulang dapat menjadi normal kembali, khususnya pada anak-anak dan remaja.

Penyakit Complex regional pain syndrome (CRPS, Sudeck’s disease, algodystrophy, symphatetic reflex dystrophy)

Penyakit-penyakit ini biasanya terjadi pada bagian tangan, lutut, pergelangan kaki dan dikarakteristikkan dengan pembengkakan dan rasa sakit. Kondisi ini akan berakhir pada terjadinya proses osteoporosis pada tulang-tulang bagian tubuh yang terlibat.

 Osteoporosis sementara

Pada awalnya hal ini ditemukan pada tulang pinggul wanita hamil yang mana tulang akan kembali normal setelah proses hamil dan melahirkan terlewati.Telah ditemukan juga suatu penyakit osteoporosis sementara pada tulang-tulang sendi lutut dan pergelangan kaki terutama pada laki-laki dan perempuan muda.

Rasa sakit kelihatannya muncul secara spontan tanpa ada trauma sebelumnya. Diagnosa dilakukan dengan menggunakan magnetic resonance imaging (MRI), yang menunjukkan oedema dari sumsum tulang tersebut. Biasanya proses ini


(42)

8

terbatas hanya dalam kurun waktu 1 tahun dan akan sembuh dengan sendirinya. Bersamaan dengan CRPS gangguan ini sekarang dinamakan sebagai “bone marrow oedema syndrome”.

Penyakit osteolytic lainnya

Proses osteoporosis dapat terjadi akibat penyakit osteolytic, seperti infeksi, tumor, trauma dan juga penyakit metabolic, vascular, congenital serta perubahan genetik.

 Osteoporosis sistemik

Penyakit ini lebih sering muncul dibandingkan osteoporosis regional. Terlepas dari namanya, osteoporosis sistemik bukan berarti osteoporosis yang terjadi pada seluruh tulang kerangka di tubuh dalam satu waktu, namun mempunyai distribusi yang simetris (kanan dan kiri). Juvenile dan Postmenopausalosteoporosis umumnya mempengaruhi tulang kerangka axial (tulang belakang), sementara yang osteoporosis primer akan mengenai tulang tubular, khususnya laki-laki. Akibatnya, adanya densitas massa tulang yang normal pada tulang-tulang tubular, bukan berarti tulang axial tidak mungkin mengalami osteoporosis. Hal ini penting untuk diperhatikan dalam evaluasi pengukuran Bone Mineral Density (BMD) yang dilakukan lokal akan hanya mewakili tulang yang diukur saja, dan tidak dapat diekstrapolasi ke tulang-tulang lainnya.

B. Umur dan jenis kelamin

Idiopathic Juvenile Osteoporosis

Osteoporosis ini biasanya terjadi pada anak-anak atau remaja di antara usia 8 sampai 18 tahun. Diagnosa penyakit ini meliputi osteogenesis imperfecta, cushing syndrome dan penyakit-penyakit sumsum tulang yang didiagnosa dari analisis darah, sumsum tulang, dan biopsi tulang.


(43)

9

Postmenopausal (type I) osteoporosis

Osteoporosis ini adalah osteoporosis yang paling umum ditemukan pada wanita pada umur di antara 51 sampai 75 tahun akibat dari postmenopause. Hilangnya densitas tulang sebenarnya dimulai tahun-tahun sebelumnya dan bertambah parah seiring waktu dengan menopause (perimenopausal). Sekitar 30% dari semua wanita akan terkena osteoporosis setelah menopause. Berkurangnya produksi hormone estrogen pada wanita menopause akan meningkatkan proses penghancuran tulang yang tidak mampu diimbangi oleh proses pembentukannya, terutama pada tulang-tulang kompak yang rentan seperti tulang vertebrae dan tulang panggul yang dapat berakhir pada patah tulang. Hal yang sama dapat juga terjadi pada pria dikarenakan berkurangnya hormone testosterone namun tidak secepat dan sehebat menurunnya hormone estrogen pada wanita.

C. Nilai densitas tulang

Di dalam praktik klinis, degree of severity (tingkat keparahan) dari penyakit tulang harus ditentukan secara akurat sebelum keputusan diambil untuk strategi terapi. Pada wanita, osteoporosis bisa didiagnosa jika nilai densitas tulang (BMD) sebesar 2.5 SD (standar deviasi) di bawah rata-rata dengan referensi populasi muda. Kategori diagnosa adalah sebagai berikut (Bartl & Frisch, 2009):

Normal : nilai densitas tulang yang lebih tinggi 1 SD dibawah rata-rata nilai wanita muda ( nilai T lebih tinggi atau sama dengan -1 SD)

Osteopenia (densitas rendah) : nilai densitas tulang lebih tinggi 1 SD dibawah rata-rata wanita muda, namun kurang dari 2.5 SD dari nilai normal (nilai T <-1 dan > -2.5 SD)

 Osteoporosis: nilai densitas tulang 2.5 SD atau lebih daripada nilai rata-rata wanita muda (nilai T kurang dari atau sama dengan -2.5 SD)

 Osteoporosis berat: nilai densitas 2.5 SD atau lebih dibawah nilai rata-rata wanita muda disertai dengan terdapatnya patah tulang yang diakibatkan osteoporosis.

Nilai-nilai diatas tersebut berdasarkan nilai T yang dihiutng dengan menggunakan X-ray absoptiometry (DXA) pada tulang panggul, dan nilai-nilai tersebut ditentukan


(44)

10

setelah dilakukan pemantaun secara mendalam terhadap perbedaan densitas tulang berdasarkan usia, jenis kelamin, dan ras.

D. Histologi

Ketebalan tulang dapat diperiksa secara mikroskopis, dimana pada tulang panggul normal sebesar 20-25%, dan jika nilai tersebut turun hingga 16% maka dapat dikatakan bahwa penipisan tulang sudah terjadi (Bartl & Frisch, 2009).

2.1.3 Faktor resiko

Banyak faktor resiko yang dihubungkan dengan terjadinya osteoporosis pada pria. Hampir setengah dari seluruh faktor adalah akibat genetik atau usia, dengan sisanya akibat terhadap variabel yang dapat dimodifikasi. Bakhireva dkk secara prospektif meneliti prediktor dari kehilangan massa tulang pada usia tua (usia 45 sampai 92 tahun) dan menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi massa tulang:

usia >75 tahun

rendahnya indeks massa tubuh (<24 kg/m2)penurunan berat badan > 5% selama 4 tahunmerokok

kurangnya aktifitas fisik

Pada kelompok tersebut kejadian hilangnya massa tulang lebih besar pada leher femur dan vertebra lumbar dibanding dengan yang aktif secara fisik. Resiko fraktur osteoporosis akan meningkat, tidak hanya dengan BMD yang rendah (<18,5 kg/m2) tetapi juga dengan riwayat fraktur sebelumnya dan menurunnya berat badan lebih dari 10 persen dalam waktu singkat.


(45)

11

 Usia tua, dikatakan bahwa pria atau wanita yang telah berusia diatas 70 tahun, akan meningkat resiko mengalami osteoporosis setiap kelipatan 5 tahun berikutnya

 Ras kaukasia

Beberapa faktor resiko yang masih dapat diubah:  Perilaku merokok

 Rendahnya massa tubuh

 Rendahnya konsumsi vitamin D dan kalsium  Peminum alcohol yang berlebih

 Aktifitas fisik yang kurang

 Trauma minor yang berkelanjutan terus menerus  Kesehatan yang buruk

 Defisiensi estrogen pada wanita 2.1.4 Tanda dan gejala

Nyeri tulang belakang adalah gejala yang paling sering dialami seseorang terutama pada usia tua yang telah mengalami osteoporosis. Nyeri terebut harus diperiksa oleh dokter untuk memastikan bahwa gejala tersebut memang disebabkan oleh proses osteoporosis. Terdapat beberapa gjala lainnya yang sering dijumpai pada pasien-pasien osteoporosis:

 Berkurangnya tinggi tubuh

 Berubahnya postur tubuh (bungkuk)  Tulang belakang yang terasa bergeser  Kontraksi otot yang tidak sinkron

Gejala osteoporosis yang paling berat adalah ketika sudah dijumpainya patah tulang yang terjadi akibat trauma-trauma ringan seperti terjatuh.

2.1.5 Pencegahan dan Pengobatan

Penatalaksanaan osteoporosis membutuhkan edukasi dan usaha terhadap modifikasi gaya hidup, asupan kalsium dan vitamin D yang adekuat, berhenti


(46)

12

osteoporosis sekunder adalah dengan intervensi spesifik untuk proses penyakit individu termasuk menghindari penggunaan hormon tiroid yang berlebihan (Thyroid Replacement Therapy), menjalani paratiroidektomi untuk hiperparatiroidisme, dan pemberian dosis terendah kortikosteroid untuk kontrol penyakit (Bartl & Frisch, 2009).

Pencegahan terjadinya proses osteoporosis merupakan hal penting yang pertama kali harus dilakukan, dikarenakan memang tidak ada metode yang sepenuhnya efektif dan aman dalam mengembalikan jaringan tulang yang telah hilang. Prinsip pencegahan adalah dengan memaksimalkan proses formasi tulang disaat muda dan mengurangi hal-hal yang memicu resorpsi tulang di saat tua. Hal-hal pencegahan yang umum berupa:

 Nutrisi yang adekuat

 Modifikasi gaya hidup (mengurangi konsumsi alkohol dan merokok)  Aktifitas fisik yang baik

 Fisioterapi

 Mengurangi resiko jatuh

Penanganan non-farmakologis tersebut berperan sebagai pendukung utama penanganan farmakologis yang diberikan dan akan jauh mengurangi resiko terjadinya fraktur osteoporosis. Penanganan farmakologis termasuk:

a. Kalsium

Kadar kalsium darah normalnya berkisar 9.5 – 10.5 mg/dL. The National Osteoporosis Foundation merekomendasikan konsumsi kalsium senilai 1000mg/hari pada pria dan wanita di bawah usia 50 tahun dan 1200mg/hari setelah diatas usia 50 tahun yang dibagi dalam beberapa dosis per harinya. Suplemen kalsium terdapat dalam dua bentuk, yaitu kalsium karbonat dan


(47)

13

osteopenia hingga terjadi osteoporosis. Sumber vitamin D didapat dari tiga bentuk (Dell & Green, 2008):

- paparan sinar matahari (ultraviolet)

- makanan ( ikan salmon, tuna, dan lainnya) - suplemen vitamin D

c. Kalsitonin

Kalsitonin merupakan hormon yang beraksi mengurangi aktifitas osteoclast, dan juga memiliki efek analgesik yang mekanisme nya belum jelas. Dibeberapa negara maju terdapat sediaan injeksi kalsitonin yang diekstrak dari salmon dengan dosis 100IU per harinya (Lucas & Einhom, 1993).

d. Estrogen dan terapi hormon

Penurunan atau hilangnya produksi hormon estrogen pada wanita dewasa akan meningkatkan proses remodeling tulang. Terapi pengganti hormon estrogen mengembalikan keseimbangan remodeling tulang, mencegah hilangnya massa tulang, dan mengurangi resiko terjadinya fraktur osteoporosis (Lucas & Einhom, 1993).

e. Bisphosponates

Bisphoponates merupakan analog yang aktif dan stabil dari pirophospate, yang mampu menekan proses resorpsi oleh osteoclast dan menghambat turnover tulang. Beberapa contoh produk biphosponate yang banyak di pasaran (Lucas & Einhom, 1993):

- Etindronate - Alendronate - Pamindronate - Residronate

Bisphosponate berkerja secara primer di dalam trabekula tulang, namun kurang efektif dalam mencegah resorpsi tulang kortikal contohnya pada fraktur osteoporosis tulang panggul (Lane & Edward, 1997).

2.2 Image Processing

Citra dapat dibuat dalam persamaan fungsi dua dimensi f(x,y) yang memliki M baris dan N kolom, x dan y adalah koordinat spasial, amplitudo f di titik koordinat (x,y)


(48)

14

disebut dengan intensitas (intensity) atau tingkat keabuan (gray level) dari citra pada titik tersebut. Jika nilai x, y, dan nilai intensitas dari f secara keseluruhan berhingga (finite) atau terbatas dan bernilai diskrit maka citra tersebut dinamakan citra digital.

Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matriks seperti pada persamaan 2.1.

� , = [

� ,

� , � ,� ,

− , � − ,

� , −� , −

� − , −

](2.1)

Nilai pada posisi (x,y) atau suatu irisan antara baris dan kolom disebut dengan picture elements, image elements, pels, atau piksel(pixels).

2.2.1File Format

Citra memiliki tipe file yang beragam. Sebuab format file citra mengandung informasi dan metadata dari fungsi citra. Setiap format mimiliki karakteristik masing-masing. Beberapa format tersebut adalah :

a. JPEG (.jpg)

Joint Photographic Experts Group (JPEG) Format ini digunakan untuk menyimpan citra hasil kompresi yang menggunakan metode JPEG.

b. Bitmap (.bmp)

Bitmap adalah format penyimpanan standar tanpa kompresi yang dapat digunakan untuk menyimpan citra biner hingga citra warna.

c. Portable Network Graphics (.png)

PNG merupakan format penyimpanan citra terkompresi. Format ini dapat digunakan pada citra grayscale, citra dengan color pallete, dan juga citra full color.


(49)

15

f. DICOM (.dcm)

Digital Imaging and Communication in Medicine (DICOM) merupakan standar pengolahan (penyimpanan, komunikasi, percetakan, dan pemrosesan) untuk keperluan medis (Kristianto, 2010). DICOM diciptakan oleh National Electrical Manufacturers Association (NEMA) untuk mendukung proses pendistribusian dan proses review gambar medis seperti CT scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan USG.

2.3 Perbaikan Citra (Image Enhancement)

Perbaikan citra bertujuan untuk dapat meningkatkan kualitas dari sebuah citra dalam hal pandangan manusia (human vision) dan pandangan komputer (computer vision) agar dapat diolah dengan lebih mudah. Perbaikan citra dapat dilakukan dengan operasi titik (point operation), operasi spasial (spatial operation), operasi geometri (geometric operation), dan operasi aritmatik (artihmetic operation).

2.3.1 Ekualisasi histogram (histogram equalization)

Untuk dapat menghasilkan histrogram citra yang seragam dibutuhkan metode ekualisasi histogram. Fungsi distribusi kumulatif yang merupakan perhitungan kumulatif dari histogram dapat didefinisikan sebagai berikut:

� = − ∙ ∑ ℎ ; � = , , , … , −

� =

.

M = pixel

N = grayscale, dan

h(k) = histogram pada suatu nilai gray value k. 2.3.2 Adaptif histogram equalization

Merupakan teknik perbaikan kontras pada citra dengan meningkatkan kontras lokal citra dengan membentuk region size. Struktur regional citra dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :Corner Region (CR), Border Region (BR), dan Inner Region (IR). Struktur regional citra dapat dilihat pada Gambar 2.1.


(50)

16

CR BR BR CR BR IR IR BR BR IR IR BR CR BR BR CR

Gambar 2.1. Struktur regional citra (Pertiwi, 2011)

Gray level yang baru untuk setiap region size didapatkan dengan cara menghitung Cumulative Distribution Function (CDF). Perhitungan tersebut berlaku untuk setiap regional lokal (i, j).

2.4 Ekstraksi Fitur (Feature Extraction)

Ekstraksi fitur merupakan bagian fundamental dari analisis citra. Fitur adalah karakteristik atau ciri unik dari suatu objek (Putra, 2010). Karakteristik fitur yang baik sebaiknya memenuhi persyaratan seperti berikut ini:

1. Dapat membedakan suatu objek dengan yang lainnya (discrimination). 2. Memperhatikan kompleksitas komputasi.

3. Independence (tidak terikat) yang berarti bersifat invarian terhadap berbagai transformasi (rotasi, penskalaan, pergeseran, dan lain sebagainya).

4. Jumlahnya sedikit, karena fitur yang jumlahnya sedikit akan dapat menghemat waktu komputasi dan ruang penyimpanan untuk proses selanjutnya (proses pemanfaatan fitur).

Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) diusulkan pertama kali oleh Haralick pada tahun 1973 dam memiliki 28 fitur untuk menjelaskan pola spasial. GLCM menggunakan perhitungan tekstur pada orde kedua. Misalkan, f(x,y) adalah citra dengan ukuran Nx dan Ny yang memiliki piksel dengan kemungkinan hingga L level dan vektor r adalah vektor arah ofset spasial. GLCM


(51)

17

Sebagai ilustrasi, ketetanggaan piksel dapat dipilih ke arah timur (kanan).Salah satu cara untuk merepresentasikan hubungan ini yaitu berupa (1,0), yang menyatakan hubungan dua piksel yang sejajar secara horizontal dengan piksel bernilai 1 diikuti dengan piksel bernilai 0, sehingga jumlah kelompok piksel yang memenuhi hubungan tersebut dihitung. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Contoh penentuan awal matriks GLCM (Kadir & Susanto 2013) Matriks pada Gambar 2.2 dinamakan matrix framework. Matriks ini kemudian diolah menjadi matriks simetris dengan cara menambahkan dengan hasil transposnya, seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Matriks framework menjadi matriks simetris (Kadir & Susanto 2013)

Untuk menghilangkan ketergantungan pada ukuran citra, nilai-nilai elemen GLCM perlu dinormalisasi sehingga jumlahnya bernilai 1. Dengan demikian, hasil


(52)

18

Gambar 2.4. Normalisasi matriks GLCM (Kadir & Susanto 2013)

Untuk mendapatkan fitur tekstur GLCM, hanya 14 besaran yang diusulkan oleh Haralick (1973) untuk dipakai. Beberapa fitur yang akan dipakai nantinya adalah contrast,correlation, energy, dan homogeneity.

A. Contrast merupakan ukuran keberadaan variasi aras keabuan piksel citra dihitung dengan cara seperti berikut:

Contrast = ∑ | − | � ,, .

B. Correlation merupakan ukuran ketergantungan linear antar nilai aras keabuan dalam citra. Correlation dihitung dengan cara seperti berikut:

Correlation = ∑ ∑ � � , −μ

μ

=

= .

Dengan :

μ′= ,

=

= .

μ′= ,

=

= .

σ′= ,

=

= ( −μ′) .

σ′= ,

=


(53)

19

matriks GLCM diagonal. Homogeneity dihitung dengan cara seperti berikut:

Homogeneity =∑ � , +| − |

, .

2.5 Pattern Recognition

Dalam melakukan pengembangan sistem cerdas, diperlukan sebuah teknik pengenalan pola yang akan memberikan gambaran bagaimana sebuah objek dalam pengambilan pengetahuan dan kesimpulan.

2.5.1Struktur dan sistem pengenalan pola

Struktur dari sistem pengenalan pola dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur sistem pengenalan pola (Putra, 2010)

Menurut gambar 2.5, sistem terdiri atas sensor, algoritma atau mekanisme pencari fitur, dan algoritma untuk klasifikasi atau pengenalan.

a. Sensor berfungsi untuk menangkap objek dari dunia nyata dan kemudian diubah menjadi sinyal digital. Pada penelitian ini sensor lebih dispesifikasikan pada kamera atau alat pengolah citra lainnya.

b. Pra-pengolahan berfungsi untuk mempersiapkan citra agar dapat menghasilkan ciri yang lebih baik pada tahap selanjutnya.

c. Pencari dan seleksi fitur berfungsi menemukan karakteristik pembeda yang mewakili sifat utama objek dan sekaligus mengurangi dimensi sinyal menjadi sekumpulan bilangan yang representatif dan lebih sedikit.


(54)

20

d. Algoritma klasifikasi berfungsi untuk mengelompokkan fitur ke dalam kelas yang sesuai sementara Algoritma deskripsi berfungsi untuk memberikan deskripsi pada sinyal.

2.5.2 Fitur dan vektor fitur

Fitur didapat melalui pengolahan berbagai metode atau algoritma feature extraction. Fitur dapat dinyatakan dengan variabel kontinu, diskret, atau diskret-biner. Sementara Vektor fitur (features vector) merupakan gabungan atau kombinasi dari beberapa fitur yang dinyatakan ke dalam vektor kolom atau vektor baris.

2.5.3 Supervised dan Unsupervised Learning

Pengenalan pola terarah (supervised) dan tak terarah (unsupervised) berkaitan dengan bagaimana klasifikasi akan dilakukan. Sebuah pola dikatakan supervised apabila vektor fitur pelatihan tersedia dan telah diketahui kelas-kelasnya yang kemudian vektor fitur pelatihan tersebut digunakan untuk merancang pemilah. Sementara pola dikatakan unsupervised apabila sekumpulan vektor fitur dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok (cluster) berdasarkan tingkat kemiripannya dan tidak terdapat vektor fitur pelatihan untuk proses klasifikasi.

2.6 Evolving Connectionist Systems (ECoS)

Jaringan Saraf Tiruan (JST), sistem fuzzy, evolutionary computation, hybrid system, dan metode-metode lain dari adaptive machine learning merupakan beberapa metode dalam komputasi cerdas, namun terdapat sejumlah masalah saat menerapkan teknik ini untuk proses berkembang yang kompleks (Kasabov, 2007). Hal tersebut antara lain:


(55)

21

4. Kurangnya fasilitas dalam merepresentasikan pengetahuan. Banyak arsitektur dari komputasi cerdas yang dapat mengambil beberapa parameter statistik selama pelatihan, akan tetapi hal tersebut tidak memfasilitasi ekstraksi dari aturan-aturan yang ada ke dalam bentuk informasi linguistik yang dapat dimengerti.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, peningkatan connectionist serta penggabungan teknik dan metode perlu dilakukan baik dalam hal pembelajaran algoritma maupun pengembangan sistem.

Aturan-aturan dalam sistem yang terus berkembang secara dinamis, untuk meningkatkan kinerja proses yang terus-menerus berkembang merupakan bagian dari kecerdasan buatan yang disebut dengan Evolving Intelligent Systems (EIS). EIS merupakan sistem informasi yang dapat mengembangkan struktur, fungsi, dan pengetahuannya secara mandiri dengan cara terus-menerus, self-organized, adaptif, dan interaktif. Salah satu bentuk dari metode EIS adalah Evolving Connectionist Systems (ECoS) yaitu suatu metode pembelajaran yang adaptif, bertahap dan sistem representasi pengetahuan yang mengembangkan struktur dan fungsinya, dimana dalam sistem tersebut terdapat arsitektur connectionist yang terdiri dari neuron (unit pengolah informasi) dan hubungan antar-neuron.

ECoS adalah sistem komputasi cerdas yang berdasarkan JST, tetapi menggunakan teknik lain dari komputasi cerdas yang beroperasi secara terus menerus dan dapat mengadaptasikan strukturnya melalui interaksi terhadap lingkungan dan sistem lainnya (Kasabov, 2007). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.6.


(56)

22

Proses adaptasi didefinisikan melalui:

1. Sekumpulan aturan yang diatur untuk dapat terus berkembang. 2. Satu set parameter yang dapat berubah selama sistem beroperasi.

3. Sebuah aliran input informasi yang datang secara terus menerus yang mungkin terjadi pada distribusi data yang tidak menentu.

4. Kriteria goal atau tujuan yang ditetapkan untuk mengoptimalkan kinerja sistem dari waktu ke waktu.

Secara khusus sistem EIS, dan ECoS terdiri dari empat bagian utama yaitu: 1. Data masukan.

2. Pra-pengolahan dan evaluasi fitur. 3. Pemodelan.

4. Pengetahuan masukan.

Proses interaksi ECoS dapat dilihat pada Gambar 2.7 Proses tersebut mengilustrasikan bagian-bagian dari sebuah EIS yang melakukan proses berbagai jenis informasi secara adaptif dan kontinu. Pengolahan online dari semua informasi dapat membuat ECoS untuk berinteraksi dengan pengguna dan sistem cerdas.


(57)

23

Simple Evolving Connectionist Systems (SECoS) diusulkan sebagai implementasi minimalis dari algoritma ECoS. SECoS dikembangkan oleh (Watts & Kasabov 2000). Model SECoS diciptakan untuk beberapa alasan. Pertama yaitu sebagai alternatif yang lebih sederhana dari Evolving Fuzzy Neural Networks (EFuNN) karena kerumitan pada struktur fuzzification dan defuzzification EFuNN, SECoS lebih mudah untuk diimplementasikan, dengan sedikit matriks koneksi dan jumlah neuron yang lebih sedikit, dan pemrosesan yang terlibat dalam simulasi jaringan SECoS jauh lebih sedikit.

a. Arsitektur SECoS

Simple Evolving Connectionist Systems (SECoS) memiliki 3 lapisan neuron. Input layer merupakan lapisan pertama, lapisan kedua yaitu hidden layer yang dapat berevolusi, dan output layer merupakan lapisan ketiga dengan fungsi aktivasi simple saturated linear.

Fungsi aktivasi dari sebuah evolving layer adalah seperti berikut:

�� = − � .

dimana Dn adalah jarak antara input vector dan incoming weight vector pada neuron tersebut. Ketika jaringan ECoS terhubung sepenuhnya, hal tersebut memungkinkan untuk mengukur jarak di antara input vector dan incoming weight vector dari setiap evolving-layer neuron.

Algoritma ECoS yang akan diimplementasikan pada penelitian ini adalah Simple Evolving Connectionist System (SECoS). Jaringan SECoS terdiri dari tiga layer neuron yaitu input layer, evolving layer dan output layer. Pengukuran jarak yang digunakan pada evolving layer adalah normalisasi Manhattan distance seperti berikut:

� =∑ |� −�,�| �

=1

∑�=1|� +�,�| .

dimana c adalah jumlah input neuron di SECoS, I adalah input vector, dan W adalah input ke evolving layer weight matrix.

Selain tiga layer neuron tersebut juga terdapat dua layer penghubung yaitu yang menghubungkan input layer dengan evolving layer serta yang menghubungkan evolving layer dengan output layer.


(58)

24

b. SECoS Learning Algorithm

Algoritma pembelajaran SECoS (Watts & Kasabov 2000) adalah seperti berikut ini:

Gambar 2.8 PseudoCode SeCOS

Ketika sebuah node ditambahkan, bobot vektor masukan diberi inisialisasi sesuai dengan input vector I dan bobot vektor keluarnya diinisialisasi sesuai dengan desired output vector Od (Kasabov, 2007).

Modifikasi bobot masuk pada winning node j dilakukan dengan cara seperti berikut:

�, � + = �, � + � � − �, � . di mana:

 �, � merupakan bobot masuk , pada saat � .

 �, � + merupakan bobot masuk , pada saat � + .  � merupakan learning rate 1.

Function SECoS()

While(Vector(P)) :

IF (A¬max) LESS THAN treshold :

AddNode()

ELSE

- error = CalcError(OutputVector, TargetVector)

IFerror >EthrOR NodeTarget is not active :

AddNode()

ELSE


(59)

25

di mana:

 �,� � merupakan bobot keluar , � pada saat �

 �,� � + merupakan bobot masuk , � pada saat � +  � merupakan learning rate 2

 � merupakan nilai aktivasi dari node j

 �merupakan error pada saat p yang dihitung berdasarkan Persamaan 2.17.

� = �− �� . di mana:

 � merupakan nilai aktivasi dari keluaran o.

 �� merupakan nilai aktivasi hasil perhitungan dari o.

2.7 Penelitian Terdahulu

Adapun beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan osteoporosis antara lain: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Tahun Hasil 1. Ken Zheng dan

Sokratis Makrogiannis

2016 Tercapai akurasi 79.3% dan AUC 81% menggunakan Bayes Classifier

2. Yang Song, Weidong Cai, Fan Zhang, Heng

Huang, Yun

Zhong, David Dagan Feng

2014 Menggunakan Fisher Encoding of

Local Descriptors, tercapai peningkatan sensitivity dan

specifity sebesar 16% dan 13%

dibandingkan dengan

menggunakan model Bag-of-Visual (BoW)


(60)

26

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)

No Nama Peneliti Tahun Hasil

3. Florian Yger 2014 Tercapai

sensitivity dan specificity sebesar 62% dan 66% menggunakan metode Marginal-Haar

4. Kavya R, Joshi

Manisha Shivaram

2015 Menggunakan

Feed Forward Neural Network Classifier,

tercapai

sensitivity sebesar 95%

5. Khaled Harrar,

Latifa Hamami, Eric Lespesailles, Rachid Jennane

2013 Sensitivity 100%

dari p-WhE untuk diagnosis

osteoporosis dicapai pada Hi = 0.7871 dan specificity 100% pada Hi = 0.7804


(61)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Osteoporosis merupakan penyakit yang ditandai dengan penurunan kepadatan mineral tulang, perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang mengakibatkan tulang menjadi rapuh, sehingga tulang mudah retak atau bahkan patah (Depkes, 2008). Osteoporosis adalah kelainan tulang yang dikarakterisasikan dengan densitas massa tulang yang rendah dan deteriorisasi jaringan tulang, dengan subsekuensi kerapuhan tulang dan mengakibatkan tulang menjadi rawan patah (Bartl & Frisch, 2009). Osteoporosis tidak memiliki gejala khusus, sehingga dibutuhkan deteksi awal agar penyakit ini dapat dicegah. Adapun deteksi awal osteoporosis dilakukan dengan cara melihat tekstur tulang. Tekstur tulang dapat dilihat melalui citra bone radiograph.

Ada beberapa teknik yang digunakan untuk mengukur kepadatan mineral tulang, diantaranya adalah SXA (Single Energy X-Ray Absorptiometry), DXA (Dual Energy X-Ray Absorptiometry), PDXA (Peripheral Dual Energy X-ray Absorptiometry),QCT (Quantitative Computated Tomography), SPA (Single Photon Absorptiometry),DPA (Dual Photon Absorptiometry), Ultrasound, dan RA (Radiographic Absorptiometry). Adapun teknik yang dijadikan standar dalam diagnosis osteoporosis adalah DXA. Di Indonesia, jumlah DXA yang tersedia masih sedikit dan biaya pemeriksaannya relatif mahal (Wahyudiyanta, 2010). Hal ini menyebabkan pemeriksaan radiologi biasa (morfometri) masih memiliki peranan besar dalam diagnosis osteoporosis karena jumlahnya lebih banyak dan biayanya relatif lebih murah. Akan tetapi, identifikasi osteoporosis melalui citra hasil morfometri masih dilakukan secara manual oleh pakar Rheumatologi, sehingga hasil identifikasi tergantung pada keahlian dan pengalaman pakar Rheumatologi tentang osteoporosis.

Penelitian yang memanfaatkan citra X-Ray untuk mengidentifikasi osteoporosis sudah dilakukan dengan menggunakan Support Vector Machine dengan kernel Radial


(62)

2

Basis Function (RBF) (Kavitha et al, 2012), dimana bagian yang diidentifikasi adalah tulang rahang. Penelitian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan jaringan saraf tiruan backpropagation dan representasi ciri dalam ruang eigen (Mardianto & Pratiwi, 2008). Bagian yang diidentifikasi adalah pergelangan tangan dan jari tangan. Jaringan saraf tiruan yang digunakan mampu mengenali pola learning dengan baik, tetapi kurang berhasil mengenali pola non-learning, sehingga hasil klasifikasi menjadi kurang baik.

Ekstraksi fitur merupakan proses pengambilan karakteristik atau ciri-ciri yang unik dari suatu objek yang akan diolah. Gray Level Co-occurrence Matrix(GLCM) yang juga disebut dengan grey tone spatial dependency matrix merupakan salah satu metode statistik analisis tekstur berdasarkan pada hubungan antara nilai piksel abu-abu dalam citra. GLCM menggunakan perhitungan tekstur pada orde kedua yang memperhitungkan hubungan antar pasangan dua piksel pada citra asli (Kadir, 2013). Evolving Connectionist Systems (ECoS) adalah neural network yang mampu mengembangkan struktur, fungsionalitas, dan representasi pengetahuan internal melalui pembelajaran yang berkelanjutan dari data dan interaksi dengan lingkungan (Kasabov, 2007). ECoS mampu mengatasi kelemahan-kelemahan pada jaringan saraf tiruan seperti kesulitan dalam menentukan arsitektur sistem dan waktu pelatihan yang cukup lama. Algoritma ECoS yang akan diimplementasikan adalah Simple Evolving Connectionist Systems (SECoS) atau disebut juga Evolving Multilayer Perceptrons (eMLP). Evolving multilayer perceptron merupakan algoritma multi layer perceptron pada jaringan syaraf tiruan yang telah mengimplementasikan konsep dari Evolving Connectionist System (ECOS). Algoritma ini dapat mengembangkan struktur jaringannya sendiri sesuai dengan input yang diterima.

Pada penelitian ini penulis akan menggunakan Evolving Multilayer Perceptron dalam mengklasifikasikan citra bone radiograph.


(63)

3

pengalaman pakar Rheumatologi mengenai osteoporosis. Oleh karena itu diperlukan suatu pengolahan citra pada citra bone radiograph untuk membantu dokter atau ahli rheumatologi dalam mendiagnosis osteoporosis.

1.3. Batasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Citra bone radiograph yang digunakan berformat .tiff. 2. Citra yang digunakan adalah citra grayscale.

3. Pada bone radiograph tidak ditemui tulang yang retak atau patah. 4. Citra bone radiograph berukuran 400x400 piksel.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi osteoporosis pada citra digital bone radiograph menggunakan Evolving Multilayer Perceptron.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kemampuan metode GLCM untuk ekstraksi fitur dan metode eMLP dalam klasifikasi osteoporosis pada citra bone radiograph.

2. Memberikan masukan untuk penelitian lain dalam bidang image processing. 1.6. Metode Penelitian

Tahapan-tahapan yang akan dilakukan pada pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Studi Literatur

Studi literatur dilakukan dalam rangka pengumpulan bahan referensi mengenai osteoporosis, image processing, dan Evolving Multilayer Perceptron.

2. Analisis Permasalahan

Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap bahan referensi yang telah dikumpulkan sebelumnya untuk mendapatkan pemahaman mengenai metode yang akan digunakan, yaitu Evolving Multilayer Perceptron dalam menyelesaikan


(64)

4

3. Perancangan

Pada tahap ini dilakukan perancangan arsitektur, pengumpulan data, dan perancangan interface.

4. Implementasi

Pada tahap ini dilakukan implementasi dari racangan yang telah dibangun ke dalam kode program.

5. Pengujian

Pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap sistem yang telah dibangun. 6. Dokumentasi dan Penyusunan Laporan

Pada tahap ini dilakukan dokumentasi dan penyusunan laporan hasil analisis dari implementasi Evolving Multilayer Perceptron dalam identifikasi osteoporosis. 1.7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bagian utama antara lain sebagai berikut:

Bab 1: Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2: Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori yang digunakan untuk memahami permasalahan yang dibahas pada penelitian ini. Pada bab ini juga dijelaskan tentang penerapan Evolving Multilayer Perceptron (eMLP) untuk mengidentifikasi osteoporosis pada citra bone radiograph.


(65)

5

Bab 4: Implementasi dan Pengujian Sistem

Bab ini membahas tentang implementasi dari analisis dan perancangan yang disusun pada Bab 3 dan pengujian untuk mengetahui apakah hasil yang didapatkan sesuai dengan yang diharapkan.

Bab 5: Kesimpulan dan Saran

Bab ini terdiri dari kesimpulan yang merupakan uraian dari bab-bab sebelumnya dan saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya.


(66)

v

ABSTRAK

Osteoporosis merupakan penyakit yang ditandai dengan penurunan kepadatan mineral tulang. Osteoporosis merupakan penyebab umum patah tulang untuk orang yang lanjut usia. Saat ini identifikasi osteoporosis masih dilakukan secara manual oleh pakar Rheumatologi melalui citra hasil X-Ray, sehingga hasil identifikasi tergantung dari keahlian dan pengalaman pakar Rheumatologi mengenai osteoporosis. Oleh karena itu diperlukan suatu pengolahan citra pada citra bone radiograph untuk membantu dokter atau ahli rheumatologi dalam mendiagnosis osteoporosis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun suatu sistem Computer Aided Diagnosis (CAD) menggunakan Simple Evolving Connectionist Systems (SECoS) atau disebut juga Evolving Multilayer Perceptrons (eMLP) untuk membantu ahli rheumatologi dalam menganalisis citra bone radiograph, membantu mencegah peningkatan jumlah kesalahan klasifikasi yang mungkin terjadi. Evolving multi layer perceptron merupakan algoritma multi layer perceptron pada jaringan syaraf tiruan yang telah mengimplementasikan konsep dari Evolving Connectionist System (ECOS). Algoritma ini dapat mengembangkan struktur jaringannya sendiri sesuai dengan input yang diterima. Teknik pengolahan citra digital akan diterapkan untuk meningkatkan kualitas citra. Ekstraksi fitur tekstur dari citra dilakukan dengan menggunakan Gray Level Co-occurrence matrix (GLCM) yang dibangun dengan empat arah yang berbeda untuk setiap citra. Hal ini akan digunakan untuk mengklasifikasi setiap citra dan kemudian akan dikelompokkan ke dalam kategori normal atau osteoporosis. Tiga lapisan jaringan dari Simple Evolving Connectionist Systems (SECoS) dengan 16 fitur diusulkan untuk mengklasifikasikan daerah yang ditandai ke dalam normal atau


(67)

vi

OSTEOPOROSIS IDENTIFICATION ON BONE RADIOGRAPH USING EVOLVING CONNECTIONIST SYSTEMS

ABSTRACT

Osteoporosis is a disease characterized by decreased bone mineral density. Osteoporosis identification from radiograph image can be done by various methods, one of them is the measurement of Bone Mineral Densitometry (BMD). However, this method requires comprehensive and expensive equipment and therefore, a cheaper and easier approach is needed. The purpose of this study is to build an Evolving Multilayer Perceptron (eMLP) system to help rheumatologists in analysing bone radiograph images and help preventing classification errors that may occur. Digital image processing techniques will be applied to improve the image quality. Each bone radiograph images is adjusted for intensity transformation, then median filtering to remove noise and Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) is applied to each bone radiograph images to enhance image contrast. Texture feature extraction of bone radiograph images is done using Grey Level Co-occurrence matrix (GLCM) built with four different directions for each bone radiograph images. This will be used to classify each bone radiograph images either normal category or osteoporosis. Three network layers from Simple Evolving Connectionist Systems (SECoS) with 16 features proposed to classify the area marked into normal or osteoporosis. Based on the bone radiograph dataset testing, the results show 84.61% of sensitivity and 90.90% of specificity.

Keyword: osteoporosis, bone radiograph, evolving connectionist systems, identification, evolving multilayer perceptrons.


(68)

IDENTIFIKASI OSTEOPOROSIS MELALUI BONE RADIOGRAPH MENGGUNAKAN EVOLVING MULTILAYER PERCEPTRON

SKRIPSI

SINDI ABUL KHAIRI 101402084

PROGRAM STUDI S1 TEKNOLOGI INFORMASI

FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(1)

vii

DAFTAR ISI

Hal.

PERSETUJUAN ii

PERNYATAAN iii

UCAPAN TERIMA KASIH iv

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Batasan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

1.6 Metode Penelitian 3

1.7 Sistematika Penulisan 4

BAB 2 LANDASAN TEORI 6


(2)

2.1.1 Patofisiologi 6

2.1.2 Jenis-jenis osteoporosis 6

2.1.3 Faktor resiko 10

2.1.4 Tanda dan gejala 11

2.1.5 Pencegahan dan pengobatan 11

2.2 Image Processing 13

2.2.1 File Format 14

2.3 Perbaikan Citra (Image Enhancement) 15

2.3.1 Ekualisasi Histogram (Histogram Equalization) 15

2.3.2 Adaptif Histogram Equalization 15

2.4 Ekstraksi Fitur (Feature Extraction) 16

2.5 Pattern Recognition 19

2.5.1 Struktur dan sistem pengenalan pola 19

2.5.2 Fitur dan vektor fitur 20

2.5.3 Supervised dan Unsupervised 20

2.6 Evolving Connectionist Systems (ECoS) 20

2.7 Penelitian terdahulu 25

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM 27

3.1 Identifikasi Masalah 27

3.2 Dataset 27

3.3 Metode Penelitian 27


(3)

ix

3.5 Perancangan Sistem 36

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN SISTEM 41

4.1 Implementasi Sistem 41

4.1.1 Spesifikasi software dan hardware yang digunakan 41

4.1.2 Implementasi perancangan antarmuka 42

4.1.3 Implementasi data 47

4.2 Prosedur Operasional 48

4.2.1 Menu file 49

4.2.2 Menu classification 50

4.2.3 Menu help 53

4.3 Evaluasi Pengujian Sistem 54

4.3.1 Pelatihan dan pengujian dataset 55

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 61

5.1 Kesimpulan 61

5.2 Saran 61


(4)

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu 26

Tabel 4.1 Ukuran Kinerja Hasil Diagnosis 41

Tabel 4.2 Rangkuman Bone Radiograph Dataset 47

Tabel 4.3 Citra Bone Radiograph Sebagai Data Training 55 Tabel 4.4 Citra Bone Radiograph Sebagai Data Testing 56 Tabel 4.5 Parameter dan hasil pelatihan pada bone radiograph suatu dataset 56 Tabel 4.6 Data hasil testing (detection dan diagnosis) pada dataset 58 Tabel 4.7 Detail hasil testing data sample pada dataset 59


(5)

xi

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 2.1. Struktur regional citra (Pertiwi, 2011) 16 Gambar 2.2 Contoh penentuan awal matriks GLCM (Kadir & Susanto 2013) 17 Gambar 2.3 Matriks framework menjadi matriks simetris (Kadir & Susanto 2013) 17 Gambar 2.4 Normalisasi matriks GLCM (Kadir & Susanto 2013) 18 Gambar 2.5 Struktur sistem pengenalan pola (Putra, 2010) 19

Gambar 2.6 Arsitektur ECoS (Kasabov, 2008) 21

Gambar 2.7 Proses Interaksi ECoS (Kasabov, 2007) 22

Gambar 2.8 PseudoCode SeCOS 24

Gambar 3.1 Arsitektur umum proses pelatihan dan pengujian 28 Gambar 3.2 General ECoS architecture (Watts, 2009) 30 Gambar 3.3 Arsitektur umum SECoS (Kasabov, 2007) 31

Gambar 3.4 Algoritma eMLP pada sistem 35

Gambar 3.5 Rancangan tampilan awal aplikasi CAD 36

Gambar 3.6 Rancangan tampilan menu Create Dataset 38 Gambar 3.7 Rancangan tampilan menu evolving Multilayer Perceptron (eMLP) 39

Gambar 3.8 Rancangan tampilan results 40

Gambar 3.9 Rancangan tampilan pemilihan show sample 40

Gambar 4.1 Tampilan awal aplikasi CAD 43


(6)

Gambar 4.3 Tampilan menu evolving Multilayer Perceptron (eMLP) 45

Gambar 4.4 Tampilan hasil klasifikasi 46

Gambar 4.5 Tampilan pemilihan citra secara manual 47

Gambar 4.6 Tampilan awal aplikasi 48

Gambar 4.7 Tampilan sub-menu Open 49

Gambar 4.8 Tampilan awal aplikasi setelah memilih citra input baru 50

Gambar 4.9 Tampilan sub-menu New 51

Gambar 4.10 Tampilan sub-menu evolving Multilayer Perceptron (eMLP) 52 Gambar 4.11 Tampilan train dan recall suatu dataset 53 Gambar 4.12 Contoh hasil klasifikasi suatu dataset 54

Gambar 4.13 Tampilan About 54

Gambar 4.14 Grafik hasil pelatihan (waktu eksekusi) pada dataset 57 Gambar 4.15 Grafik hasil pelatihan (total node) pada dataset 57 Gambar 4.16 Grafik hasil pelatihan (akurasi pengujian) pada dataset 58