I. PENDAHULUAN
Masalah kemiskinan hampir kita jumpai pada beberapa negara di dunia ini, khususnya di
negara berkembang atau terbelakang. Masalah ini merupakan salah satu masalah berat dan kompleks
yang dihadapi oleh manusia. Kemiskinan dapat dijumpai di mana-mana
khususnya di kota-kota besar, seperti di pusat-pusat keramaian, pinggir-pinggir jalan, di sekitar lorong-
lorong gelap emper-emper toko, dan di kolong jembatan. Tampaknya bagi mereka hidup hanya
sekedar mengadu nasib. Di antara mereka itu ada yang menjadi pengemis, penjual koran di pinggir
jalan, gelandangan, pemungut puntung rokok atau pemulung, tunawisma bahkan ada yang tuna susila.
Ironisnya, di antara mereka itu kebanyakan dalam usia muda yang seharusnya masih harus duduk di
bangku sekolah, tetapi oleh ketidakberdayaan orang tuanya akibat kemiskinanya terpaksa sang
anak “berkorban” atau “dikorbankan” demi kelangsungan hidup.
Kemiskinan bukanlah monopoli perkotaan. Di pedesaan pun dijumpai kemiskinan, bahkan
jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan yang ada di kota. Di pedesaan, kemiskinan tampaknya
sudah dianggap sebagai suatu keadaan yang biasa dan bahkan boleh dikatakan sudah mendara daging
dalam kehidupan mereka.
Dari situasi dan kondisi demikian, tidaklah mengherankan kalau pada akhir-akhir ini para
Ilmuwan dari lembaga Perguruan Tinggi semakin menaruh perhatian terhadap masalah kemiskinan ini
baik melalui seminar, lokakarya maupun melalui penelitian-penelitian.
Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran secara garis besar mengenai masalah kemiskinan,
penyebabnya dan upaya untuk mengatasinya.
II. KONSEP MENGENAI KEMISKINAN
Kata “kemiskinan” sudah tidak asing lagi bagi kita. Namun jawaban atas apa itu “kemiskinan”
tampaknya masih simpang siur. Menurut Prof. Dr. Sajogyo kemiskinan adalah suatu tingkat kehidupan
yang berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas
kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat berdasarkan atas
kebutuhan beras dan kebutuhan gizi, sedangkan Emil Salim mengatakan bahwa kemiskinan
biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.
Dari kedua pendapat di atas dapat dikatakan
bahwa kemiskinan
adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan
pokok serta ketidakmampuan untuk mencapai tingkat kehidupan yang layak. Dimana kemiskinan
itu tidak hanya berkaitan dengan aspek-aspek material saja, tetapi juga aspek-aspek
nonmaterial. Mengenai pengertian dari kemiskinan pada
umumnya mengandung dua dimensi yang erat hubungannya satu dengan yang lain. Kedua dimensi
tersebut yaitu kemiskinan absolut absolute property dan kemiskinan relatif relative
inequality. Kemiskinan absolut diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolut
dari seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang,
pemukiman, pendidikan, dan kesehatan. Konsumsi pokok ini dinyatakan secara kuantitatif fisik atau
dalam uang berdasarkan harga pada suatu tahun dasar tertentu. Porf. Dr. Sajogyo, menggunakan
tingkat pendapatan 240 ekuivalen beras perkapita pertahun bagi daerah pedesaan dan 30 kg perkapita
pertahun untuk daerah perkotaan berdasarkan patokan ini diperkirakan 46 penduduk pedesaan
dan 49 penduduk perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 1969, sedangkan Prof. Dr.
Sumitro, mempergunakan patokan pendapatan 75 perkapita per tahun, dari bank dunia diperkirakan
bahwa 40 penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.
Selanjutnya kemiskinan relatif dinyatakan dengan berapa persen dari pendapatan nasional
yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya. Kriteria yang ditetapkan
oleh Bank Dunia untuk mengukur kemiskinan relatif adalah sebagai berikut : pertama; jika 40
jumlah penduduk dengan jumlah pendapatan terendah menerima kurang 12 dari pendapatan
nasional GNP maka disebut kepincangan menyolok, kedua; jika 40 penduduk dengan
pendapatan terendah menerima antara 12 – 17 dari pendapatan nasional maka disebut kepincangan
sedang dan ketiga; jika 40 penduduk dengan pendapatan terendah menerima 16 dari
pendapatan nasional, maka disebut kepincangan lunak terendah.
Prof. Dr. Sayogyo membedakan kemiskinan atas dua, yaitu “miskin dan miskin
sekali”. Dikatakan “miskin” jika pengeluaran rumah tangga dibawah 320 kg nilai tukar beras
perorang per tahun. Dan dikatakan “miskin sekali” jika pangan tidak cukup dibawah 240 kg nilai tukar
beras perorang pertahun. Dr. Ir. Rudolf Sinaga dan Benyamin White
membedakan kemiskinan atas “kemiskinan alamiah” dan “kemiskinan buatan”, pembedaan ini
dikaitkan dengan faktor penyebabnya. “Kemiskinan buatan” adalah lebih erat hubungannya dengan
perubahan-perubahan ekonomi, teknologi dan pembangunan secara keseluruhan. “Kemiskinan
buatan” dapat terjadi karena kelembagaan yang ada anggota masyarakat tidak menguasai sumber-
41
sumber secara ekonomis dan fasilitas-fasilitas secara merata.
Sedangkan “kemiskinan alamiah” adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat sumber-
sumber daya yang langkah jumlahnya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang
rendah.
Adapun ciri-ciri dari kemiskinan, Emil Salim mengatakan dalam bukunya “perencanaan
pembangunan dan pemerataan pendapatan” ada lima ciri-ciri yang dimiliki orang miskin, yaitu
pertama, mereka pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup
modal ataupun keterampilan yang memadai faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga
kemampuan untuk memperoleh tambahan pendapatan menjadi sangat terbatas. Kedua, mereka
umumnya tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asat produksi dengan kekuatan sendiri.
Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sementara mereka
pun tidak memiliki syarat seperti jaminan untuk memperoleh kredit dari lembaga perbankan yang
sah, sehingga mereka perlu dan butuh kredit terpaksa berpaling kepada “lintah darat” yang
biasanya meminta syarat pelunasan yang cenderung memberatkan si peminjam dan memungut bunga
yang tinggi. Ketiga, tingkat pendidikan mereka rendah, umumnya tidak sampai tamat sekolah
dasar. Waktu yang mereka miliki umumnya lebih banyak tersisa habis untuk mencari nafkah
sehingga tidak ada tersisa lagi untuk belajar. Demikian juga anak-anak mereka tidak bisa
menyelesaikan sekolah karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan atau
menjaga adik-adik di rumah, sehingga secara turun temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan
dibawah garis kemiskinan. Keempat, kebanyakan di antara mereka tinggal di pedesaan dan tidak
memiliki tanah garapan, jika ada relatif kecil, pada umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja
kasar di luar sektor pertanian. Karena sektor pertanian bekerja dengan musiman, maka
kesinambungan kerja kurang terjamin sehingga banyak di antara mereka lalu menjadi “pekerja
keras” self employed yang berusaha apa saja. Akibatnya, dalam keadaan penawaran tenaga kerja
yang banyak, tingkat upah rendah. Perolehan upah yang rendah tentu saja akan mendukung mereka
dalam suasana yang selalu “hidup di bawah garis kemiskinan”. Adanya kesulitan hidup di desa,
langsung atau tidak langsung akan mendorong mereka untuk pergi ke kota urbanisasi dengan
satu harapan dapat memperoleh hidup yang lebih baik. Kelima, di antara mereka yang hidup di kota
kebanyakan masih berusia muda dan kurang memiliki keterampilan skill atau pendidikan,
sementara itu, kota belum siap menerima gerak urbanisasi desa.
III. SUMBER-SUMBER KEMISKINAN 3.1 Jumlah Penduduk yang besar