Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
BAB I PENDAHULUAN
Sebagai bagian awal disertasi ini, pendahuluan memuat latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, cakupan
penelitian, dan struktur organisasi disertasi. Dengan mengetahui hal-hal tersebut diharapkan dapat dipahami ihwal isi laporan penelitian dalam disertasi ini.
A. Latar Belakang Penelitian
Guru sebagai
pendidik yang
profesional harus
memiliki kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional UU No.14 Tahun 2005. Kompetensi
profesional mengharuskan
guru memiliki
penguasaan materi
pembelajaran, kurikulum, serta struktur dan metodologi keilmuannya. Di dalam kompetensi kepribadian, guru mampu dewasa, arif, berwibawa,
berakhlak mulia
,
serta menjadi teladan bagi peserta didik
. Kompetensi pedagogik mensyaratkan
guru agar
memiliki pemahaman terhadap peserta didik, mengembangkan potensi peserta
didik
, merancang
dan melaksanakan
pembelajaran. Selanjutnya,
kompetensi sosial menghendaki
guru mampu berkomunikasi dan bergaul dengan peserta didik
, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tuawali peserta didik serta masyarakat sekitar. Kompetensi ideal yang diharapkan itu akan menjamin
tercapainya tujuan pendidikan nasional kita, seperti yang diamanatkan dalam UU
No. 20 tahun 2003, yakni
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan semua kompetensi guru profesional tersebut, salah satunya adalah penggunaan bahasa guru dalam pembelajaran, lebih tegasnya,
tuturan guru yang digunakan dalam pembelajaran. Hal ini sangat penting karena strategi bertutur guru berdampak pada emosi peserta didik yang kemudian
Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
memengaruhi perilakunya
Zhang, 2007.
Oleh karena itu, guru harus memperhatikan strategi bertutur karena jika strategi yang digunakan tidak tepat
akan berdampak kepada emosi siswa yang berpengaruh pada perilakunya sehingga mengganggu proses pembelajaran yang sedang berlangs ung.
Setiap peserta didik memiliki kebutuhan defisiensi Maslow dalam Slavin, 2011, yakni kebutuhan fisiologi, keselamatan, cinta, dan harga diri sebagai
kebutuhan dasar yang harus terpuaskan terlebih dahulu sebelum kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan pertumbuhan peserta didik meliputi mengetahui dan
memahami, estetika, serta aktualisasi diri. Para pendidik harus mengakui bahwa pembelajaran akan terganggu jika kebutuhan dasar siswa tidak terpenuhi dan
kebutuhan defisiensi terpenting adalah cinta dan harga diri Slavin, 2011. Peserta didik yang merasa tidak dicintai dan tidak dihargai, padahal mereka mampu, tidak
akan mungkin memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan dalam kebutuhan pertumbuhan Stipek, 2001. Pendidik yang dapat menenangkan
peserta didiknya dan membuat mereka merasa diterima dan dihargai sebagai individu akan membantu peserta didik untuk gemar belajar dan bersedia bersikap
kreatif dalam rangka mengaktualisasikan dirinya. Kebutuhan defisiensi peserta didik dapat dipenuhi dengan upaya guru melalui bertutur yang baik sehingga
memotivasi mereka untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya. Oleh karena itu, guru harus mampu mengendalikan perilaku peserta didik dengan bertutur yang
dapat meningkatkan kepercayaan dirinya Ormrod, 2009. Hal senada pun diungkapkan Fried 2011 dalam penelitiannya bahwa
dalam pembelajaran, emosi banyak memengaruhi proses belajar kognitif, motivasi, dan interaksi kelas. Emosi dapat meningkatkan proses kognitif sehingga
ia dipandang sebagai bagian integral dari proses pembelajaran. Selain
itu, emosi
berfungsi sebagai
sarana yang penting untuk
meningkatkan atau menghambat proses belajar. Temuan Fried 2011 ini mendukung pandangan bahwa emosi secara berkala perlu diatur. Dalam
tulisannya, Fried 2011 menekankan pentingnya guru melakukan regulasi emosi di dalam kelas, yakni kemampuan untuk mengontrol pengalaman dan ekspresi
Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
emosi. Guru harus memahami situasi yang dapat membuat peserta didik merasa marah, frustrasi, takut dan sedih. Melalui tuturan yang baik dan efektif guru harus
menjaga emosi siswa agar selalu positif, yakni senang, gembira, dan semangat dalam belajar. Besarnya peran profesi guru dalam mendidik dan membentuk
generasi bangsa yang berkualitas, tentunya tidak bisa dilakukan secara “sembarangan” atau oleh “sembarang” orang Susilowati, 2013. Guru harus
menjadi pribadi yang berkualitas, baik dari segi intelektual maupun kepribadian. Berkaitan dengan makna “guru yang berkualitas”, pada umumnya guru yang
berkualitas diartikan sebagai guru yang mengajarnya dimengerti, wawasan keilmuannya luas, memiliki suri tauladan bagi pendidikan moral muridnya, dan
punya keinginan untuk meng-
up grade
dirinya, serta punya semangat untuk melakukan perbaikan dan perkembangan secara progresif bagi dunia pendidikan.
Figur guru seperti ini terasa semakin sulit ditemui.Sulitnya menemukan sosok guru ideal yang berkualitas ditunjukkan dengan banyaknya fakta mengenai kasus
kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid-muridnya di negeri ini. Kekerasan yang berkaitan dengan aktivitas mendidik, yang oleh Charters Susilowati, 2013
diartikan sebagai tindakan keras baik fisik maupun nonfisik guru terhadap siswanya dengan alasan pendisiplinan atau pendidikan yang menimbulkan luka
fisik maupun psikis. Berdasarkan definisi kekerasan tersebut, jenis kekerasan dibagi menjadi dua
macam, yaitu kekerasan fisik dan nonfisik Susilowati, 2013. Contoh kekerasan fisik, seperti penghukuman, penganiayaan, pemukulan, pemerkosaan, sedangkan
kekerasan nonfisik meliputi verbal dan psikis. Contoh kekerasan nonfisik verbal ialah memaki, membentak, menghina. Contoh kekerasan nonfisik psikis, seperti
memandang sinis,
merendahkan, mengucilkan,
mengabaikan, dan
mempermalukan. Dampak kekerasan secara verbal dan psikis dapat menimbulkan perasaan tidak
nyaman, takut, tegang, bahkan dapat menimbulkan efek traumatis yang cukup lama. Selain itu, karena tidak tampak secara fisik, penanggulangannya menjadi
cukup sulit. Dampak lain yang timbul dari efek
bullying
ini adalah peserta didik
Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
menjadi pendiam atau penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, seperti yang
terjadi pada 06 November 2013 Tribun —Lampung seorang wali murid
melaporkan ada wali kelas yang selalu berkata kasar kepada anaknya sehingga anaknya menjadi takut dan malas ke sekolah.
Selanjutnya, kasus
bullying
yang lebih parah dapat mengakibatkan peserta didik bunuh diri. Kasus ini telah terjadi di Lampung, pada 10 November 2013
Radar TV, seorang anak laki-laki kelas VI sekolah dasar bunuh diri karena malu terhadap teman-
temannya, karena gurunya berkata “Kalau kamu nakal terus, nanti diturunkan ke kelas V”, ia pulang ke rumah sebelum jam pelajaran berakhir
karena malu dan mengadu kepada orang tuanya. Pada sore harinya, orang tua tersebut telah mendapatkan putranya gantung diri di pohon belakang rumah.
Sungguh sebuah tragedi yang memilukan. Dengan demikian, guru diharapkan menggunakan strategi bertutur yang efektif agar tidak berdampak negatif pada
peserta didik. Apalagi tuturan yang dianggap
bullying
harus dihindari karena akan menghancurkan masa depan peserta didik. Untuk itu, penting dilakukan kajian
tentang bagaimana strategi tuturan direktif guru dalam pembelajaran yang dapat berdampak pada emosi peserta didik.
Sesungguhnya, kajian tuturan direktif guru sudah banyak dilakukan, seperti
Tindak Tutur Direktif Guru Taman Kanak-Kanak dalam P roses Belajar Mengajar di TK Aisyiah Kabupaten Banyumas
Widyaningrum, 2011,
Tindak Tutur Direktif Guru SMA Dalam Kegiatan Belajar-Mengajar di Kelas
Mulyani, 2011, dan
Analisis Tindak Tutur Direktif Guru pada P embelajaran Biologi Kelas VIII B MTs. 1 Muhammadiyah Malang
Budiarti, 2013. Ketiga kajian dalam penelitian tersebut secara deskriptif
memerikan bentuk tuturan direktif guru
sebagai
penutur
. Dari ketiga kajian tersebut tidak diketahui bagaimana reaksi atau respons
peserta didik sebagai mitra tutur. Hal ini tentu saja membutuhkan sebuah kajian yang empiris. Apalagi aspek konteks tuturan salah satunya adalah penutur dan
mitra tutur Leech, 1983; Yule, 1996; Cummings, 2007. Sejauh pengamatan
Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
peneliti, kajian salah satu fungsi komunikatif tuturan direktif, yakni meminta yang melibatkan penutur dan mitra tutur baru dilakukan oleh Zhang 2007 dalam
jurnalnya yang berjudul ”
Teacher Request P oliteness: Effects on Student P ositive
Emotions and Compliance Intention”. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa
tuturan permintaan guru yang santun berdampak pada emosi positif dan kepatuhan siswa.
Dengan demikian,
strategi kesantunan dalam bertutur permintaan hendaknya diketahui guru agar siswa dapat berperilaku patuh dan mempunyai
emosi positif seperti berbahagia melakukan permintaan guru tersebut. Para cendekiawan telah banyak meneliti aktivitas tindak tutur direktif dari
perspektif kesopanan Brown Levinson, 1978, 1987; Holtgrave Yang, 1990, 1992. Teori implisit mengenai tindak tutur direktif, seperti meminta Kim
Wilson, 1994 beserta strategi dan pengaruhnya secara kontekstual Holtgraves Yang, 1990, 1992; Meyer, 2001, 2002. Akan tetapi, penelitian yang mendominasi
mengenai tindak tutur direktif beserta realisasinya memfokuskan pada pilihan- pilihan pesan, strategi-strategi, dan pengaruh-pengaruh kontekstual misalnya
kekuatan, ketertutupan hubungan, dan pemaksaan terhadap pemilihan-pemilihan pesan dalam hubungan-hubungan interpersonal Brown Levinson, 1987;
Holtgraves Yang, 1992. Perhatian yang relatif kurang adalah pada efek-efek pesan terhadap penerima,
terutama reaksi dan respons mereka Grant, King Behnke, 1994, Zhang, 2007. Penelitian ini dirancang untuk memerikan efek-efek pesan terhadap pendengar
dalam konteks-konteks instruksional, khususnya efek-efek dari strategi tuturan direktif guru terhadap emosi siswa. Dengan demikian, masih sangat diperlukan
kajian empiris tuturan direktif guru dalam pembelajaran untuk berbagai fungsi komunikasi yang lain, seperti memerintah, menyarankan, dan menanya.
Berdasarkan pandangan Searle 1979:14, jenis tindak tutur direktif meliputi fungsi komunikasi
a sk
’menanya’,
order
’memesan’,
comma nd
’menyuruh’,
request
’meminta’,
plea d
’memohon’,
pra y
’berdoa’,
invite
’mengundang’,
permit
’mengizinkan’, dan
a dvise
’menyarankan’. Untuk memperoleh data penelitian yang
Oleh karena itu, dalam usulan penelitian ini peneliti tidak membatasi fungsi
Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
komunikasi tuturan direktif tertentu, tetapi membuka peluang seluruh fungsi komunikasi tuturan direktif yang muncul secara empiris di lapangan.
Adapun kajian yang berfokus pada strategi yang digunakan telah dilakukan Flor
dan Usqun
2005:175 dalam tindak tutur memberi saran. Dia mengidentifikasi strategi tuturan memberi saran, yang meliputi tipe langsung,
tidak langsung, dan bentuk konvensional. Setiap tipe tersebut terdiri atas beberapa strategi tuturan, misalnya untuk tipe langsung, bisa menggunakan strategi verba
performatif, imperatif, dan imperatif negatif. Semua strategi tersebut tentu saja sangat bergantung pada konteks berbahasa. Demikian halnya, dalam konteks
pembelajaran, peneliti berupaya memerikan setiap strategi tindak tutur direktif yang digunakan guru serta dampaknya terhadap emosi peserta didik. Dalam
tuturan yang berbeda, yakni menolak, Aziz 2000 mengidentifikasi strategi menolak dari berbagai etnis penutur di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Minang,
dan Batak dengan judul “Ralisasi Tindak Tutur Menolak dalam Masyarakat
Indonesia: Kajian
dari Perspekstif
Kesantunan Bahasa,
Hasil penelitian
menunjukkan beragam strategi penolakan berdasarkan etnis tersebut. Kajian pragmatik tentang tindak tutur direktif telah banyak dilakukan para
pakar dari perspektif kesantunan Brown Levinson, 1978, 1987; Holtgrave Yang, 1990, 1992 dan menyelidiki strategi-strategi tindak tutur direktif dan
pengaruh-pengaruh kontekstual Holtgraves Yang, 1990, 1992; Meyer, 2001, 2002. Menurut teori kesantunan Brown dan Levinson 1987, tindak tutur
direktif bersifat memaksa karena mengganggu kebebasan bertindak dari mitra tutur Holtgraves Yang, 1990; Kim Wilson, 1994.
Perhatian yang relatif kurang pada efek-efek tuturan terhadap mitra tutur, terutama reaksi dan respons mereka Grant, King Behnke, 1994. Oleh karena
itu, penelitian ini dilakukan untuk memerikan efek-efek tuturan direktif guru berupa respons warna afektif siswa dalam konteks pembelajaran.
Pembelajaran di sekolah menengah pertama sebagai peristiwa tutur yang dipilih karena menurut psikologi perkembangan, siswa SMP sedang mengalami
fase pencarian jati diri sehingga mudah berperilaku negatif dan positif, sangat
Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
bergantung pada lingkungan. Santrock 2012 dan Muhibbin Syah 2011
menyebut fase usia anak SMP ini sebagai masa remaja
adolescence
Masa remaja ini bermula pada usia 12 tahun sampai 21 tahun yang awalnya ditandai dengan
perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti
pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol
pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis. Oleh karena itu, fase perkembangan peserta didik usia SMP 12
—15 tahun diasumsikan telah mampu mengekspresikan perasaannya terutama ketika mendengar tuturan direktif guru.
.
Respons warna afektif terhadap strategi tuturan guru akan sangat kentara pada perilaku peserta didik di usia ini karena mereka cenderung bersikap terbuka
dan tidak bersandiwara. Berdasarkan pengamatan, guru banyak menggunakan tindak tutur direktif
dalam pembelajaran, seperti
memerintah, meminta, melarang, menyarankan,
atau
mengajak
. Hakikat tindak tutur direktif ini adalah penutur menghendaki mitra tutur melakukan tindakan tertentu. Tentu saja tindak tutur ini berisiko dipatuhi
atau tidak oleh mitra tutur. Oleh karena itu, diperlukan strategi bertutur yang efektif dan komunikatif.
Keefektifan dan kekomunikatifan
tindak tutur direktif guru
selanjutnya disingkat TTDG dapat dicapai jika siswa sebagai mitra tutur merasa dihargai dan
dicintai Maslow dalam Slavin, 2011. Artinya, guru harus memiliki kompetensi pragmatik dalam bertutur yang dapat menimbulkan respons warna afektif positif
siswa, seperti
senang
dan
bangga
. Jika tidak menimbulkan
respons warna afektif positif siswa
selanjutnya disingkat RWAPS dan menimbulkan
respons warna afektif negatif siswa
selanjutnya disingkat RWANS,
strategi tindak tutur direktif guru
selanjutnya disingkat STTDG akan menyebabkan siswa menjadi rendah diri karena
malu
, malas karena
kesal
, atau menghindar tidak mematuhi karena
takut
.
Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
Respons warna afektif positif siswa terbukti dapat memicu kepatuhan siswa terhadap tuturan meminta guru Zhang, 2007 dan sebaliknya respons warna
afektif negatif siswa membuat mereka tidak patuh. Apalagi jika tuturan guru menimbulkan efek emosi negatif pada siswa, seperti malu atau takut yang dapat
memicu perilaku buruk, seperti tidak mau berangkat sekolah, benci kepada guru, atau bahkan ada yang sampai bunuh diri Tribun, 2013. Oleh karena itu,
diperlukan kajian yang mendalam bagaimana STTDG yang berdampak pada RWAPS sehingga siswa merasa dihargai dan dicintai. Penghargaan dan cinta yang
dirasakan siswa dari guru yang mengajarnya dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan
mereka, yakni
kompetensi pengetahuan,
pemahaman, dan
aktualisasi diri sehingga berkembang secara optimal. Selanjutnya, temuan penelitian yang mengkaji STTDG be-RWAPS ini dapat
diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP dengan menggunakan sebuah model yang berorientasi pada tuturan guru untuk dapat
mengondisikan siswa belajar aktif dan kreatif. Dengan demikian, kajian pragmatik terhadap STTDG dalam penelitian ini dapat bermakna bagi pendidikan
secara langsung. Adapun sumber data yang dipilih ialah tuturan direktif guru karena dalam
pembelajaran, guru banyak bertutur yang menghendaki siswa sebagai mitra tutur untuk melakukan sesuatu, seperti tuturan menyuruh, menyarankan, dan meminta.
Melalui penelitian ini akan diperoleh
strategi tindak tutur direktif guru
selanjutnya disingkat STTDG beserta
respons warna afektif siswa
selanjutnya disingkat RWAS yang berdampak pada perilaku mereka. Temuan ini akan
menegaskan apa yang diungkapkan McDonald 2011 bahwa saat guru bertutur atau berbicara dalam pembelajaran, tanpa disadari siswa merespons secara afektif.
Hal ini pun menegaskan apa yang dikemukakan Jansen 2010 bahwa setiap pembelajaran akan meninggalkan parut emosional pada siswa dan emosi tersebut
akan memengaruhi keyakinan, keputusan, serta tindakanperilaku mereka. Dengan demikian, strategi tindak tutur direktif guru yang memicu munculnya respons
warna afektif positif akan berpengaruh pada pembelajaran secara efektif.
Sumarti, 2015 STRATEGI TIND AK TUTUR D IREKTIF GURU DAN RESPONS WARNA AFEKTIF SISWA
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu |
perpustakaan.upi.edu
Selanjutnya, orientasi strategi bertutur guru yang efektif akan memunculkan kreativitas dan produktivitas gagasan siswa Joyce, 2011. Inilah yang menjadi
hakikat model pembelajaran sinektik yang digagas William Gordon Joyce, 1978. Untuk itulah, kajian empiris tentang STTDG yang be-RWAPS diimplikasikan
terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP dengan menggunakan model pembelajaran yang berbasis temuan, yakni STTDG be-RWAPS sehingga hasil
penelitian ini menjadi lebih bermakna.
B. Rumusan Masalah