Subjek kalimat ini adalah third person singular dan Finite-nya adalah ‘is’. Kalau kita ganti subjeknya menjadi plural ‘they’ maka Finitenya harus berubah menjadi
‘are’ begitu pula a teacher menjadi teachers sebagai konsekuensinya. Jika kita ubah menjadi past tense, maka ‘are’ harus berubah menjadi ‘were’. Dapat
dikatakan Finite ini ‘menanggung beban’ yang cukup berat dalam klausa atau kalimat. Mengapa? Karena Finite-lah yang wajib berubah mengikuti tuntutan
lingkungannya. Lalu, apa relevansinya dengan tugas guru bahasa Inggris? Siswa yang baru belajar bahasa Inggris sering melupakan Finite ini dengan
membuat kalimat seperti He a teacher. Siswa berharap meskipun ia tidak menggunakan Finite orang akan mengerti atau dianggap komunikatif.
Masalahnya, penutur asli bahasa Inggris tidak berpikir seperti orang Indonesia; jika tidak ada penanda apa-apa berarti kalimat tersebut deklaratif positif dan harus
diartikan ‘dia adalah seorang guru’. Akan tetapi, dalam komunikasi biasanya kita menggunakan bahasa Inggris kalau kita bertemu penutur bahasa Inggris, dan
bukan dengan sesama penutur bahasa Indonesia. Bagi penutur asli bahasa Inggris kalimat He a teacher membingungkan karena tidak memiliki Finite. Kalimat
tersebut tidak otomatis berarti ‘dia sekarang adalah seorang guru’ sebab ada banyak kemungkinan Finite dalam cetak tebal yang bisa disisipkan di kalimat
ini seperti:
a. He is a teacher. b. He is not a teacher.
c. He was a teacher. d. He was not a teacher.
e. He may be a teacher. f. He must be a teacher dst.
Hilangnya Finite dalam kalimat membuka berbagai penafsiran bagi pendengar pembaca yang penutur asli sebab bagi mereka amat penting untuk mengetahui
apakah sesuatu itu terjadi sekarang atau sudah lewat. Jika yang kita maksud
adalah ‘Dulu ia adalah seorang guru’, maka ‘He a teacher’ tidak menyampaikan makna itu. Makna akan sampai kalau kita jadikan ‘He was a teacher’ barangkali
sekarang sudah pensiun. Kesimpulannya, bahasa Inggris yang komunikatif adalah bahasa Inggris yang gramatikal sebab jika grammar-nya salah makna yang
kita sampaikan bisa disalahartikan. Kalau kita lihat contoh lain di mana Finite ‘do’ disatukan dengan
predikator ‘travel’ seperti:
They travel by Trans-Jakarta buses every morning.
maka kata ‘travel’ di sini mengandung Finite ‘do’ dan Predicator ‘travel’ . Dengan demikian, kalau dinegatifkan kita harus ‘menampakkan’ Finite ini
menjadi ‘do not’,; kalau di past-tense-kan kita harus mengubahnya menjadi ‘did not’ dst. Konsep ini sering menjadi batu sandungan dalam pembelajaran bahasa
Inggris apalagi kalau kita sudah sampai ke modalitas atau verb phrases yang susunannya lumayan rumit seperti yang terdapat dalam klausa-klausa berikut:
a. I might want to buy a new car.
b. He should be able to buy a new car. c. He could have bought a new car.
d. He would have been buying cars if …
Jika pengajaran bahasa Inggris hanya memfokuskan kepada bentuk form dan kurang menekankan makna, bisa jadi kita hanya mengatakan bahwa might
adalah bentuk lampau dari may; should adalah bentuk lampau dari shall dan sebagainya. Sementara kalau kita perhatikan makna dari modalitas di atas, kita
dapat melihat bahwa perubahan bentuk tersebut membawa pula pergeseran makna yang semuanya dapat digunakan dalam present time meskipun bentuknya past
tense. Kalimat a. berarti ‘Saya mungkin sekali mau membeli …’; kalimat b. berarti ‘Mestinya dia bisa membeli …’; kalimat c. berarti ‘Sebenarnya dia bisa
membeli …’; kalimat d. berarti ‘Mestinya dia sudah bisa membeli… kalau…’
dsb. Perbedaan-perbedaan makna yang ‘tipis’ atau ‘halus’ yang terdapat dalam sistem modalitas bahasa Inggris ini tidak selalu mudah diajarkan kecuali kalau
guru sering menggunakannya dalam kegiatan belajar mengajar sehingga modalitas tersebut menjadi bagian dari ungkapan rutin atau ‘fixed expression’
yang tanpa sadar dipelajari siswa. Lalu, mengapa bagian Subject dan Finite ini disebut makna interpersonal?
Sebab di sinilah Mood atau sikap batin kita terhadap pesan yang kita sampaikan diungkapkan. Tentunya Anda telah mendengar kata Mood, bukan? Misalnya I’m
in the Mood of Love judul lagu; atau terkadang orang mengatakan ‘Ah… gua lagi nggak mood ah’; ‘Kalau mau minta sih… tunggu kalau mood-nya lagi
bagus.’ Dengan contoh konteks di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa Mood adalah bagian kalimat yang mengungkapkan attitude atau sikap. Sebagai
ilustrasi, bandingkan ungkapan cinta berikut ini:
a. I love you. b. I do not love you.