ingin kita capai. Setelah kita mengetahui dengan pasti definisi kompetensinya maka kita dapat menyusun kurikulum, silabus, perencanaan pengajaran, penulisan materi dan
memikirkan metode pengajaran apa yang akan digunakan, pengalaman pembelajaran apa yang sebaiknya diberikan kepada siswa dan sebagainya. Ibarat orang bepergian, kita
perlu tahu tujuan perjalanan kita, baru kemudian kita memutuskan bagaimana kita bisa sampai ke sana.
Sebagaimana terlihat dalam kurikulum, model Celce-Murcia et al. 1995 yang digunakan di sini adalah sebagai berikut.
Diagram 5: Model Kompetensi Komunikatif Celce-Murcia et al. 1995:10
Model KK di atas menunjukkan bahwa inti dari KK adalah discourse competence atau kompetensi wacana KW. Apa maksudnya?
a. Kompetensi wacana
Pernahkah Anda diminta orang untuk memberi les bahasa Inggris? Apa biasanya yang mereka minta? Mungkin orang minta begini “Bu, tolong saya diajari conversation
Socio- cultural
competence
Actional Competence
Linguistic Competence
Strategic Competence
Discourse Competence
saja… tidak perlu grammar. Yang penting bisa omong.” Mendengar perkataan ini, kompetensi atau kemampuan apa yang sebenarnya ingin dicapai orang tersebut?
“Omong” berarti berbicara dengan orang lain, dan “omongannya’ tentu perlu memakai tata cara yang digunakan oleh orang yang berbahasa Inggris dengan sesama orang
Indonesia kita tidak perlu bahasa Inggris. “Omong” berarti menciptakan wacana sebagaimana diuraikan di atas atau mengaktifkan atau merealisasikan kompetensi
wacana. Jika Anda telah membaca bagian sebelumnya yang menyangkut wacana, maka jika ada orang yang minta kursus conversation dan enggan belajar tata bahasa Anda bisa
berkata dalam hati “This person must be joking.” Anda benar; komunikasi sejati hanya
terjadi jika dibingkai oleh aturan yang difahami bersama.
Kompetensi wacana tidak mungkin dicapai jika orang tidak memiliki kompetensi linguistik seperti penguasaan bunyi, tulisan, intonasi, tanda baca, kosa kata, susunan
kalimat, susunan teks lisan dan tulis, kata-kata penghubung dan sebagainya. Apalagi dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa asing, orang mengenal bahasa Inggris lewat
membaca dan mendengar dari guru, bukan lewat pemajanan sehari-hari di lingkungan sosial. Dalam konteks ini, orang memang harus lewat pengetahuan dulu, baru kemudian
bisa menggunakan. Dalam konteks imersi, misalnya anak Indonesia bersekolah di Australia, dia belajar lewat ujaran-ujaran rutin yang didengar tiap hari; dia terbiasa
dengan ungkapan-ungkapan “jadi’ atau fixed yang tata bahasanya sudah benar, konteks penggunaannya jelas sehingga dia tinggal meniru ungkapan-ungkapan yang benar. Dalam
konteks imersi anak tidak punya pilihan lain kecuali berbahasa Inggris baik di dalam maupun di luar sekolah.
Dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, anak-anak “tertinggal satu langkah”, artinya, bahasa ibu pertama di rumah adalah bahasa lain, dan di sekolah atau
di kantor-kantor ia harus berbahasa Inggris. Bahasa Inggris yang standar, tata bahasa yang benar, harus dipelajari di sekolah agar anak dapat berkomunikasi atau berpartisipasi
dalam masyarakat pengguna bahasa Inggris kelak jika ia harus bekerja. Dalam konteks ini terdapat “paksaan” yang jelas mengapa anak harus berbahasa Inggris. Dalam
kurikulum Singapura 2001 jelas dicantumkan bahwa tujuan pengajaran bahasa Inggris adalah membuat siswa mampu menggunakan bahasa Inggris yang internationally
acceptable. Artinya bukan bahasa Inggris “jalanan”, tetapi bahasa Inggris yang menggunakan grammar yang berterima.
Dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa asing kita memang “tertinggal dua langkah”, kita harus memberi pengetahuan tentang bahasa sebab di sekolah tidak
digunakan bahasa Inggris, begitu juga di luar sekolah. Kita dapat memberi pengetahuan selengkap mungkin kepada siswa, tetapi ini bukan jaminan bahwa anak akan mampu
berkomunikasi atau berwacana dalam bahasa Inggris. Yang dapat dilakukan oleh guru adalah menciptakan wacana semaksimal mungkin di dalam kelas. Maksudnya adalah
bahwa guru perlu menyelenggarakan pelajaran dalam bahasa Inggris scaffolding talk sehingga siswa memperoleh input atau ungkapan-ungkapan jadirutin dalam bahasa
Inggris dengan cara mendengar, merespon dan kemudian menggunakan dalam konteks lain. Untuk meningkatkan kemampuan guru melakukan scaffolding talk ini silakan Anda
baca modul Speaking for Instructional Purposes yang dimaksudkan untuk membantu guru menciptakan classroom discourse atau wacana kelas Salaberri 1995; Slattery dan
Willis 2001. Selain wacana kelas, siswa perlu juga dipajankan kepada wacana-wacana lain
seperti wacana transaksional yang diperlukan anak seusianya. Jadi pelajaran bahasa Inggris perlu membekali siswa dengan kemampuan, misalnya, bercakap-cakap dengan
kepala sekolah, dengan penjual barang apapun, dengan penjual jasa pariwisata atau lainnya. Dalam ragam tulis siswa perlu dibiasakan untuk menulis pesan-pesan tertulis
seperti ucapan ulang tahun, berduka cita, turut berbahagia dan sebagainya yang juga sering dilakukan dalam bahasa Indonesia.
Di luar kelas siswa juga membaca teks dengan berbagai bentuk. Siswa SMP, misalnya, banyak menemui teks bahasa Indonesia di luar kelas dengan berbagai bentuk.
Agas siswa dapat berpartisipasi dalam teks bahasa Inggris yang beraneka ragam, pengajaran bahasa Inggris perlu memajankan siswa ke teks-teks tulis yang disusun atau
ditulis untuk berbagai tujuan dan berbagai struktur teks. Mengapa kita perlu memperhatikan hal ini? Karena jika kita memajankan siswa kepada teks yang tidak tentu
bentuknya karena ditulis oleh penulis Indonesia yang kurang kompeten makan kita membuang-buang waktu. Pesan utamanya adalah membiasakan siswa dengan teks-teks
bahasa Inggris yang otentik untuk mengembangkan kompetensi wacana baik dalam mendengarkan, berbicara, membaca maupun menulis.
b. Kompetensi Tindak Bahasa