44
e.Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana Tindak Pidana ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan
gabungan antara penganiayaan berat Pasal 353 ayat 1 dan penganiayaan berencana Pasal 353 ayat 2. Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara
serentakbersama. Oleh karena itu harus terpenuhi unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berat
berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesenganjaannya ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Sebab, jika
kesenganjaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana.
38
B. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan Terhadap Anak
1. Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Suatu tindak penganiayaan apabila ditinjau dari aspek hukum pidana positif Indonesia, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak
pidana, karena hukum pidana positif Indonesia selain mengatur mengenai kepentingan antar individu juga dengan negara selaku institusi yang memiliki
fungsi untuk melindungi setiap warga negaranya, dalam hal ini seseorang yang telah menjadi korban dari suatu tindak pidana. Pada dasarnya untuk menentukan
seseorang telah melakukan suatu tindak pidana atau tidak, maka harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana, agar kita dapat mengetahui apakah perbuatan si
38
Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan Fifit Fitri Lutfianingsih, Op.Cit, hal.6-8
Universitas Sumatera Utara
45
pelaku tersebut merupakan suatu tindak pidana atau bukan dan agar si pelaku dapat diminta pertanggungjawabannya atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan
manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam
keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.
39
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
40
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau Culpa; b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
39
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal.193
40
Ibid, hal. 193
Universitas Sumatera Utara
46
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
41
Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid; b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di
dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP; c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
42
a. Diancam dengan pidana oleh hukum; b. Bertentangan dengan hukum;
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah; d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
41
Ibid, hal.194
42
Andi Hamzah, KUHP KUHAP, Jakarta : PT Asdi Mahasatya, 2004, hal.88
Universitas Sumatera Utara
47
Van Hamel mengemukakan unsur-unsurnya tindak pidana adalah :
43
Emezger mengemukakan:” Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana”. Unsur-unsur tindak pidana adalah :
a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang; b. Melawan hukum;
c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana.
44
43
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang : Penerbit Yayasan Sudarto FH Undip, 1990, hal.41
44
Ibid, hal.41-42
a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia aktif atau membiarkan ; b. Sifat melawan hukum baik bersifat obyektif maupun yang subyektif ;
c. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang; d. Diancam dengan pidana.
Moeljatno mengemukakan “ perbuatan pidana “ sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk
adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur tindak pidana, yaitu : 1. Perbuatan
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang 3. Bersifat melawan hukum
4. kelakuan manusia dan 5. diancam pidana dalam undang-undang
Universitas Sumatera Utara
48
Namun tidak selalu setiap orang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana, tergantung apakah orang atau terdakwa tersebut dalam melakukan
tindak pidananya mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana tidak cukup hanya
dengan dilakukanya suatu tindak pidana, tetapi juga harus ada unsur kesalahan di dalamnya. Mengenai pengertian kesalahan atau pertanggungjawaban pidana
terlepas dari perbuatan pidana, karena dalam hal perbuatan pidana yang menjadi objeknya adalah perbuatannya sedangkan dalam hal pertanggungjawaban pidana
yang menjadi objeknya adalah orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut. Dasar dari perbuatan pidana adalah asas legalitas Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana KUHP, isi pasal tersebut menyatakan bahwa “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas peraturan perundang-undangan yang
telah ada sebelumnya”, sedangkan dasar daripada dipidananya pelaku adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan geen straf zonder shculd.
Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa:
45
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. Dengan demikan,
“Pertanggungjawaban pidana adalah di teruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada
pembuatyang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatanya”.
45
Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1987 ,hlm.75
Universitas Sumatera Utara
49
menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu 1 harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain,
harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif, dan 2 terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan,
sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya jadi ada unsur subjektif.
46
Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan
mengenai hakikat kejahatan, yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya.
Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.
47
46
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia Jakarta: Pradnya Paramita, 1997, hlm.31
47
Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy ed.…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9 Jakarta: Pustaka sinar Harapan, 1987, hlm.41-42
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari
sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran
manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
50
Untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang dalam hal ini pelaku tindak penganiayaan anak dalam keluarga, Moeljatno berpendapat bahwa:
48
Untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada pelaku tindak pidana, pertama-tama harus ditentukan apakah terdakwa mempunyai kemampuan untuk
bertanggung jawab atau tidak atas tindak pidana yang dilakukannya. Kemampuan bertanggung jawab terdakwa berkenaan dengan keadaan jiwabatin terdakwa yang
sehat ketika melakukan tindak pidana, pelaku dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
Terlebih dahulu harus dipastikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum baik formil maupun materiil baru
kemudian perbuatan pidana yang dilakukan pelaku tersebut dapat dihubungkan dengan unsur-unsur kesalahan, sehingga untuk adanya
kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa haruslah: 1. Melakukan perbuatan pidana;
2. Mampu bertanggung jawab; 3. Dengan kesengajaan dolusopzet atau kealpaan culpa;
4. Tidak danya alasan pemaaf.
49
48
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, hlm. 166.
49
Ibid, hal 167
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;
Universitas Sumatera Utara
51
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Yang pertama merupakan faktor akal intelektual factor yaitu dapat membeda- bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah
faktor perasaan atau kehendak volitional factor yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang
tidak. Sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 44 ayat 1 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana KUHP, yaitu:
50
1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan
kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab sebagai hal yang dapat menghapuskan pidana dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu:
51
50
R.Soesilo, Op.Cit, Pasal 44
51
Moeljatno. Op.Cit, hal.147
Universitas Sumatera Utara
52
1. Ditentukan sebab-sebab yang menghapuskan pemidanaan.Menurut
sistem ini, jika tabib psychiater telah menyatakan bahwa terdakwa adalah gila insane atau tak sehat pikirannya unsound mind, maka
hakim tidak boleh menyatakan salah dan menjatuhkan pidana. Sistem ini dinamakan dengan sistem deskriptif menyatakan.
2. Menyebutkan akibatnya saja; penyakitnya sendiri tidak ditentukan.Di
sini yang penting ialah, apakah dia mampu menginsyafi makna perbuatannya atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu yang
tidak baik atau bertentangan dengan hukum. Perumusan ini luas sekali sehingga mungkin ada bahayanya. Sistem ini dinamakan normatif
mempernilai. Di sini hakimlah yang menentukan. 3.
Gabungan dari 1 dan 2, yaitu menentukan sebab-sebab penyakit, dan jika penyakit itu harus sedemikian rupa akibatnya hingga dianggap
tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya deskriptif normatif. Untuk menentukan mampu bertanggung jawab atau tidaknya pelaku dalam
melakukan perbuatan pidana diperlukan adanya kerjasama antara dokterpsikiater dan hakim, karena sudah menjadi tugas dan wewenang dokterpsikiater dalam
menentukan ada atau tidaknya sebab-sebab ketidakmampuan bertanggung jawab, sedangkan hakim yang menilai apakah karena sebab-sebab tersebut terdakwa
mampu bertanggung jawab atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
53
2.Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan terhadap anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tindak penganiayaan atau mishandeling diatur dalam Bab XX, buku II KUHP, yang terdapat dalam Pasal 351 ayat 1 sampai dengan ayat 5 yang
berbunyi :
52
Dalam rumusan Pasal 351 KUHP tersebut, bahwa undang-undang hanya berbicara mengenai “penganiayaan” tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana
penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa “kesengajaan merugikan kesehatan” orang lain itu adalah sama dengan penganiayaan. Yang
dimaksud dengan penganiayaan itu adalah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Untuk menyebutkan seseorang itu
telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus a. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun; c. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun; d. Dengan penganiayaan di samakan sengaja merusak kesehatan;
e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
52
R.Soesilo, Op.Cit, Pasal 351
Universitas Sumatera Utara
54
mempunyai opzet atau suatu kesengajaan untuk,menimbulkan rasa sakit pada orang lain, menimbulkan luka pada tubuhorang lain atau merugikan kesehatan
orang lain, dengan kata lain orang tersebut harus mempunyai kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau
untuk menimbulkan luka pada tubuh orang lain dan merugikan kesehatan orang lain tersebut.
Untuk dapat disebut sebagai suatu penganiayaan itu tidak perlu kesengajaan dari pelaku secara langsung dengan ditujukan pada perbuatan untuk membuat
orang lain tersebut merasa sakit atau menjadi terganggu kesehatannya, akan tetapi rasa sakit atau terganggunya kesehatan orang lain tersebut dapat saja terjadi
sebagai akibat dari kesengajaan pelaku yang ditunjukkan pada perbuatan yang lain. Hal ini secara tegas telah dinyatakan oleh Hoge Raad dalam arrestnya
tanggal 15 Januari 1934, N.J. 1934 halaman 402, W. 12754, yang menyatakan, “kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindakan yang besar
kemungkinannya dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi masalah bahwa kasus ini
kesengajaan pelaku tidak menunjukkan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari
penangkapan oleh polisi”.
53
Dalam hal pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan
53
P.A.F.Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Sinar Baru, 1983, hlm. 145.
Universitas Sumatera Utara
55
hak hak-hak tertentu sesuai dengan yang telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, yaitu:
54
Dalam hal kasus tindak penganiayaan anak dalam keluarga, maka pidana tambahan yang dijatuhkan oleh hakim adalah berupa pencabutan hak asuh atas
seorang anak. Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak asuh yang dijatuhkan oleh hakim dalam pemidanaan terhadap orang tua ayah atau ibu sebagai pelaku
tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga dilakukan dengan pertimbangan bahwa orang tua telah gagal atau tidak melaksanakan kewajibannya terhadap
anak. Mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh atas anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku orang tua dalam kasus tindak
Pidana terdiri atas: a. pidana pokok;
1. pidana mati; 2. pidana penjara;
3. pidana kurungan; 4. pidana denda;
5. pidana tutupan. b. pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
54
Ibid, Pasal 10
Universitas Sumatera Utara
56
pidana penganiayaan anak dalam keluarga, diatur dalam Pasal 37 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, yaitu:
55
Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 80 ayat 1, 2, dan 3 sebagaimana tersebut di bawah ini
1 Kekuasaan bapak kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas nama anak sendiri maupun atas orang lain, dapat dicabut
dalam hal pemidanaan: 1. Orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan dengan
bersama-sama dengan anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya;
2. Orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya, melakukan kejahatan yang tersebut dalam Bab XIII,
XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX Buku Kedua.
3.Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memuat tindak pidana yang dapat dikenakan terhadap penegak hukum yang dalam memeriksa
perkara anak yang berhadapan dengan hukum melakukan tindak kekerasan atau penyiksaan terhadap anak.
55
Ibid, Pasal 37
Universitas Sumatera Utara
57
Pasal 80 1.
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tiga tahun 6 enam bulan danatau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 tujuh puluh dua juta rupiah.
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 luka berat, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah.
3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun danatau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah.
Dalam Pasal 80 ayat 4 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur secara khusus mengenai tidak pidana penganiayaan terhadap
anak dalam keluarga disertai sanksi pidana yaitu: Pidana ditambah 13 sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
1, ayat 2, dan ayat 3 apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah orang tuanya.
Selanjutnya dalam Pasal 30 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur mengenai pencabutan hak asuh bagi orang tua
yang melakukan tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
58
2. Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan
kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
3. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Apabila hakim menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak asuh anak terhadap orang tua sebagai pelaku tindak pidana penganiyaan anak dalam
keluarga, maka hakim juga harus menentukan batas waktu atau lamanya pencabutan hak asuh anak tersebut, dengan kata lain orang tua mempunyai hak
untuk memperoleh kembali hak asuh anak melalui penetapan pengadilan. Mengenai pengembalian hak asuh anak kepada orang tua pelaku tindak
pidana penganiayaan anak dalam keluarga melalui penetapan pengadilan, menurut penulis terlebih dahulu perlu diberikan bimbingan atau konseling kepada orang
tua baik oleh tenaga ahli, psikolog atau psikiater dengan tujuan memastikan agar orang tua dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai orang tua
sebagaimana mestinya dan tidak mengulangi perbuatannya penganiayaan terhadap anaknya. Dengan demikian, hasil bimbingan atau konseling yang
diberikan kepada orang tua sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan apakah
akan mengembalikan hak asuh anak atau tidak terhadap orang tua tersebut.
Universitas Sumatera Utara
59
4. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tindak penganiayaan anak dalam keluarga merupakan bagian dari tindak kekerasan yang
dilakukan dalam rumah tangga dan telah disebutkan juga bahwa salah satu bagian dari suatu rumah tangga itu adalah seorang anak, maka penulis berpendapat
bahwa lebih relevan jika ketentuan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak penganiayaan anak dalam keluarga adalah ketentuan pidana yang terdapat dalam
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu dalam Pasal 44 ayat 1, 2, dan 3 dijelaskan mengenai
ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, yaitu: 1.
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 lima belas juta rupiah.
2. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling
banyak Rp. 30.000.000,00 tiga puluh juta rupiah. 3.
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
Universitas Sumatera Utara
60
lima belas tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 empat puluh lima juta rupiah.
Selanjutnya dalam Pasal 45 ayat 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatur mengenai
ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, yaitu: “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling
banyak Rp. 9.000.000,00 sembilan juta rupiah”. Untuk tetap mewaspadai akan terjadinya tindak penganiayaan anak dalam
keluarga tersebut, tentu saja tetap dibutuhkan peran serta dari masyarakat, anggota keluarga itu sendiri, bahkan peran serta dari korban yang bersangkutan, guna
terungkapanya kasus tindak penganiayaan anak dalam keluarga.Hal tersebut diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tantang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di mana disebutkan bahwa: “Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh
orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I PENDAHULUAN