Gambaran Induksi Persalinan dan Out Come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013

(1)

GAMBARAN INDUKSI PERSALINAN DAN

OUT COME

DI RSU MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

TAHUN 2013

SUMARNI 135102008

KARYA TULIS ILMIAH

PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

GAMBARAN INDUKSI PERSALINAN DAN OUT COME DI RSU MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA TAHUN 2013

ABSTRAK

Sumarni

Latar belakang: induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya persalinan. WHO menemukan di Indonesia dari 500.000 ibu bersalin dengan risiko, 200.000 diantaranya dilakukan induksi persalinan dan 300.000 melakukan seksio sesarea. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Dinas Kesehatan Sumatera Utara pada tahun 2009 mencatat sebanyak 250 ibu hamil per bulan dilakukan induksi persalinan.

Tujuan penelitian: untuk mengetahui gambaran induksi persalinan dan outcome di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Metodologi: desain penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 67. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Analisa data univariat.

Hasil: hasil penelitian dari 67 ibu hamil didapatkan bahwa mayoritas tindakan induksi persalinan dilakukan pada kondisi serviks yang sudah matang sebanyak 51 orang (76,1%). Metode induksi yang digunakan yaitu drip oksitosin 50 orang (98,04%), dengan dosis oksitosin yang diberikan 2,5 IU 31 orang (62%). Metode persalinan yang dilakukan adalah partus pervaginam 43 orang (86%), outcome pada ibu dan bayi setelah diinduksi, yakni dalam keadaan sehat dimana pada ibu 43 orang (84,31%) dan pada bayi 40 orang (78,43%).

Kesimpulan: hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi persalinan dengan menggunakan metode drip oksitosin dan dosis yang tepat, merupakan tindakan yang efektif untuk tercapainya proses persalinan pervaginam bagi ibu hamil yang kondisi serviksnya sudah matang. Namun dikarenakan masih adanya perbedaan metode dan dosis dalam pelaksanaan induksi persalinan, maka diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk membuat standar operasional prosedur tentang penatalaksanaan induksi persalinan agar tidak ada perbedaan prosedur induksi bagi setiap ibu hamil dan tindakan induksi akan menjadi lebih baik.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapakan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya.

Adapun judul karya tulis ilmiah ini adalah “Gambaran Induksi Persalinan dan Out Come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013”.

Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini peneliti mengalami beberapa keterbatasan. Namun, berkat bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, akhirnya karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep selaku ketua program studi D-IV Bidan

Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. dr. M. Fahdhy SPOG M.Sc selaku dosen pembimbing karya tulis ilmiah peneliti.

4. Seluruh dosen , staf, dan pegawai administrasi program D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. 5. Bagian tata usaha RSU Muhammadiyah Sumatera Utara yang telah

memberikan data yang peneliti perlukan.

6. Herdianto ST suamiku tercinta yang senantiasa membantu dan mendukung peneliti dalam menyelesaikan program D-IV Bidan Pendidik.

7. Anak-anakku (Dira, Rizky) dan keluargaku yang telah mendukung hingga sampai saat sekarang.


(5)

8. Teman-teman D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Tahun 2013-2014, yang telah banyak membantu dalam memberi masukan terhadap karya tulis ilmiah ini.

Penulis juga menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini baik dari segi isi dan bahasa. Untuk itu penulis akan menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan karya tulis ilmiah ini..

Medan, 1 juli 2014


(6)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR SKEMA ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum ... 5

2. Tujuan Khusus ... 5

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pendidikan ... 6

2. Bagi Rumah Sakit ... 6

3. Bagi Peneliti ... 7

4. Bagi Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Induksi Persalinan... ... 8

1. Definisi Induksi Persalinan ... 8

2. Indikasi Induksi Persalinan ... 8


(7)

4. Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi ... 9

5. Persyaratan ... 9

6. Proses Induksi ... 11

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep ... 23

B. Defenisi Operasional ... 25

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 27

B. Populasi dan Sampel ... 27

C. Tempat Penelitian ... 28

D. Waktu Penelitian ... 28

E. Etika Penelitian ... 28

F. Alat Pengumpulan Data ... 29

G. Prosedur Pengumpulan Data ... 29

H. Rencana Analisa Data ... 29

BAB V HASIL DAN PENELITIAN A. Hasil Penelitian ... 30

B. Pembahasan ... 41

C. Keterbatasan Penelitian ... 49

D. Implikasi Penelitian ... 50

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 51

B. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Sistem penilaian pelvic menurut Bishop ... 10 Tabel 2.2: Berbagai regimen oksitosin dosis rendah dan tinggi ... 15 Tabel 2.3: Kecepatan infuse oksitosin untuk induksi persalinan ... 16 Tabel 2.4: Kece[patan infus lanjutan untuk induksi persalinan

Pada primigrafida ... 17 Tabel 3.1: Defenisi Operasional ... 25 Tabel 5.1: Distribusi frekuensi karakteristik umum responden ... Tabel 5.2: Distribusi Frekuensi Induksi Persalinan Berdasarkan

Kondisi Serviks Ibu Hamil Sebelum Diinduksi di RSU

Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013 ………. 31

Tabel 5.3: Distribusi Frekuensi Induksi Persalinan Berdasarkan Metode Induksi yang Digunakan di RSU Muhammadiyah

Sumatera Utara Tahun 2013………. 32

Tabel 5.4: Distribusi Frekuensi Dosis, Rata-rata Lama Induksi

Diberikan, Total Dosis Diterima dan Metode Persalinan setelah Dilakukan Induksi Persalinan pada Ibu-Ibu dengan Kondisi Serviks yang Belum Matang di RSU Muhammadiyah

Sumatera Utara Tahun 2013 ……… 33 Tabel 5.5: Distribusi Frekuensi Dosis, Rata-rata Lama Induksi

Diberikan, Total Dosis Diterima dan Metode Persalinan setelah Dilakukan Induksi Persalinan pada Ibu-Ibu dengan Kondisi Serviks


(9)

yang Sudah Matang di RSU Muhammadiyah

Sumatera Utara Tahun 2013 ……… 36 Tabel 5.6: Distribusi Frekuensi Penyebab Dilakukan

Sectio Caesarea pada Ibu Hamil Setelah Dilakukan Induksi

di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013 ………… 39 Tabel 5.7: Distribusi Frekuensi Out Come pada Ibu setelah

Dilakukan Induksi Persalinan di RSU Muhammadiyah

Sumatera Utara Tahun 2013……… 40

Tabel 5.8: Distribusi Frekuensi Out Come pada Bayi Baru Lahir setelah Ibu Diinduksi Persalinan di RSU Muhammadiyah


(10)

DAFTAR SKEMA

Skema 1 : Kerangka Teori ……… 22


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : lembar checklist/Master tabel

Lampiran 2 : lembar izin pengambilan data penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Lampiran 3 : lembar pernyataan telah selesai melakukan penelitian dari Rumah Sakit Muhammadiyah Sumatera Utara

Lampiran 4 : lembar konsultasi

Lampiran 5 : lembar daftar riwayat hidup

 


(12)

GAMBARAN INDUKSI PERSALINAN DAN OUT COME DI RSU MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA TAHUN 2013

ABSTRAK

Sumarni

Latar belakang: induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya persalinan. WHO menemukan di Indonesia dari 500.000 ibu bersalin dengan risiko, 200.000 diantaranya dilakukan induksi persalinan dan 300.000 melakukan seksio sesarea. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Dinas Kesehatan Sumatera Utara pada tahun 2009 mencatat sebanyak 250 ibu hamil per bulan dilakukan induksi persalinan.

Tujuan penelitian: untuk mengetahui gambaran induksi persalinan dan outcome di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Metodologi: desain penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 67. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Analisa data univariat.

Hasil: hasil penelitian dari 67 ibu hamil didapatkan bahwa mayoritas tindakan induksi persalinan dilakukan pada kondisi serviks yang sudah matang sebanyak 51 orang (76,1%). Metode induksi yang digunakan yaitu drip oksitosin 50 orang (98,04%), dengan dosis oksitosin yang diberikan 2,5 IU 31 orang (62%). Metode persalinan yang dilakukan adalah partus pervaginam 43 orang (86%), outcome pada ibu dan bayi setelah diinduksi, yakni dalam keadaan sehat dimana pada ibu 43 orang (84,31%) dan pada bayi 40 orang (78,43%).

Kesimpulan: hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi persalinan dengan menggunakan metode drip oksitosin dan dosis yang tepat, merupakan tindakan yang efektif untuk tercapainya proses persalinan pervaginam bagi ibu hamil yang kondisi serviksnya sudah matang. Namun dikarenakan masih adanya perbedaan metode dan dosis dalam pelaksanaan induksi persalinan, maka diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk membuat standar operasional prosedur tentang penatalaksanaan induksi persalinan agar tidak ada perbedaan prosedur induksi bagi setiap ibu hamil dan tindakan induksi akan menjadi lebih baik.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), indikator kesejahteraan suatu bangsa salah satunya diukur dari besarnya angka kematian (morbiditas). Makin tinggi angka tersebut, maka makin rendah kesejahteraan suatu bangsa. Di samping menunjukkan derajat kesehatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat, angka tersebut juga menunjukkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. (Hidaya & Sujiatini, 2010)

Menurut WHO, sekitar 500.000 wanita hamil di dunia menjadi korban proses reproduksi setiap tahun. Sebagian besar kematian ibu dan bayi terjadi di negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara-negara dengan angka kematian ibu tertinggi di Asia. WHO memperkirakan 15.000 dari sekitar 4,5 juta wanita melahirkan di Indonesia mengalami komplikasi yang menyebabkan kematian. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mengalami kenaikan dari 228 kasus kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Angka ini sangat jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam (59 per 100.000 kelahiran hidup) dan Cina (37 per 100.000 kelahiran hidup). Dengan adanya fakta terbaru ini, upaya Indonesia untuk mencapai target penurunan AKI berdasarkan Millenium Development Goals (MDGs), yakni 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 menjadi semakin sulit untuk dicapai. Angka kematian ibu tersebut meningkat diperkirakan akibat dari komplikasi kehamilan dan persalinan. (Sufa, 2013, ¶ 1)


(14)

Persalinan merupakan proses fisiologis yang terjadi pada setiap wanita hamil. Akan tetapi proses fisiologis tersebut dapat menjadi patologis, dan bila dalam penatalaksanaannya salah dapat mengakibatkan komplikasi dalam persalinan, sehingga dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Proses persalinan tidak selalu akan berlangsung secara normal, akan tetapi dapat berlangsung dengan risiko atau bahkan telah terjadi gangguan proses persalinan yang disebut dengan distocia. Distocia erat kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses persalinan, beberapa diantaranya yaitu power dan passageway. Salah satu cara mengatasi gangguan proses persalinan (distocia) khususnya terkait dengan faktor-faktor tersebut diatas, yakni dengan induksi persalinan. (Sumapradja, 2013).

Berdasarkan National Center for Health Statistics, insiden induksi persalinan di Amerika Serikat melebihi 2 kali lipat dari 9,5% pada tahun 1991 menjadi 22,5% pada tahun 2006. (Martin dkk, 2009). Dan menurut penelitian Widjanarko pada tahun 2011 di Indonesia angka tindakan pemberian oksitosin baik dengan tujuan induksi persalinan atau mempercepat jalannya persalinan (akselerasi persalinan) meningkat dari 20% pada tahun 1989 menjadi 38% pada tahun 2002.

Menurut Wiknjosastro, pada tahun 2007 tindakan induksi persalinan terjadi antara 10% sampai 20% dari seluruh persalinan dengan berbagai indikasi baik dari ibu maupun dari janinnya. WHO menemukan di Indonesia dari 500.000 ibu bersalin dengan risiko, 200.000 diantaranya dilakukan induksi persalinan dan 300.000 melakukan seksio sesarea. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Dinas Kesehatan Sumatra Utara pada tahun 2009 mencatat sebanyak 250 ibu hamil per bulan dilakukan induksi persalinan.


(15)

Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya persalinan. Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum terjadi persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane. Tujuan tindakan induksi ialah mencapai his atau kontraksi 3 kali dalam 10 menit, lamanya 40 detik. Pola persalinan ini merupakan hal yang diharapkan setelah dilakukannya induksi. (Yulianti, 2006)

Induksi persalinan dapat dilakukan dengan berbagai metode, indikasi, kontra indikasi dan persyaratan tertentu yang kesemuanya ditetapkan dalam standar operasional prosedur untuk mencegah risiko yang mungkin akan terjadi dan berakibat fatal pada janin maupun ibu. Walaupun tindakan induksi persalinan bertujuan agar persalinan berlangsung normal, namun tindakan ini dapat menimbulkan risiko baik pada ibu maupun pada janin. Pengelolaan induksi persalinan yang tidak tepat dapat mengakibatkan beberapa kegawatan baik pada ibu maupun pada janin. (Cunningham, 2013).

Induksi persalinan mungkin diperlukan untuk menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang potensial berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu. Sebelum kehamilan mencapai usia cukup bulan, induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. (Cunningham, 2013).

American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) berdasarkan risiko persalinan yang berlangsung secara cepat, tidak mendukung tindakan induksi persalinan kecuali untuk indikasi-indikasi tertentu (misalnya rumah parturien yang jauh dari rumah sakit atau alasan psikososial). (Cunningham, 2013).


(16)

Tindakan induksi persalinan berhubungan dengan kenaikan angka kejadian tindakan sectio caesarea, angka ini terutama meningkat pada nulipara yang menjalani induksi. Luthy dkk, 2002. in Cunningham, 2013 mengatakan Induksi persalinan elektif menyebabkan peningkatan kejadian sectio caesarea 2–3 kali lipat. Oleh karena itu induksi persalinan elektif pada kehamilan aterm sebaiknya tidak dilakukan secara rutin mengingat bahwa tindakan sectio caesarea dapat meningkatkan risiko yang berat sekalipun jarang dari pemburukan outcome maternal termasuk kematian. (Hoffman dan Sciscione, 2003, et al. in Cunningham, 2013)

Angka tersebut di atas berkebalikan dengan tingkat kesiapan serviks untuk diinduksi, yaitu score Bishop. (Vahratian dkk, 2005). pematangan serviks prainduksi mungkin tidak mengurangi angka sectio caesarea pada nulipara. Walaupun begitu tingkat kematangan servik tetap merupakan faktor penentu keberhasilan dan salah satu syarat dilakukannya tindakan induksi persalinan. Akan tetapi sebagian besar kasus menunjukkan bahwa ibu hamil dengan induksi persalinan memiliki servik yang tidak favourable (Skoring Bishop <5 ) untuk dilakukannya induksi persalinan. Hal inilah yang menyebabkan tindakan induksi persalinan akan berujung pada tindakan sectio caesarea. (Sinclair, 2010).

Ada dua cara atau metode yang biasa dilakukan untuk melalui proses induksi, yaitu kimia (farmakologis) dan mekanik. Pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk mengeluarkan hormon prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim berkontraksi secara kimia. (Cunningham, 2013).

Keadaan mulut rahim menjadi hal penting untuk dijadikan pertimbangan dalam proses melahirkan dengan cara diinduksi. Induksi akan bermanfaat ketika mulut rahim telah menipis sekitar 50% dan berdilatasi 3-4 cm, atau dengan skor Bishop ≥5. Hal ini karena tubuh telah siap untuk menghadapi proses persalinan.


(17)

Namun, jika mulut rahim belum cukup menipis dan berdilatasi, itu menandakan bahwa tubuh belum siap untuk melahirkan. Melakukan induksi dan melahirkan pervaginam bukan hal yang tepat pada keadaan demikian, karena kemungkinan besar persalinan akan diubah menjadi sectio caesarea. (Llewellyn-Jones, 2002).

Berdasarkan survei awal yang peneliti lakukan di RSU Muhammadiyah Sumatra Utara kejadian induksi persalinan tahun 2012 sebanyak 38%, berdasarkan angka tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Induksi Persalinan dan Out Come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk mengetahui “Bagaimanakah Gambaran Induksi Persalinan dan Out Come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara pada Tahun 2013”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran induksi persalinan dan Out Come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui persentase kondisi serviks ibu hamil sebelum diinduksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

b. Untuk mengetahui persentase metode induksi yang digunakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.


(18)

c. Untuk mengetahui persentase dosis, rata-rata lama induksi, total dosis diterima dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang belum matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

d. Untuk mengetahui persentase dosis, rata-rata lama induksi, total dosis diterima dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

e. Untuk mengetahui persentase penyebab dilakukan sectio caesarea pada ibu hamil setelah dilakukan induksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

f. Untuk mengetahui out come pada ibu setelah dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

g. Untuk mengetahui out come pada bayi baru lahir setelah ibu diinduksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan bacaan di perpustakaan dan menambah wawasan mahasiswa di fakultas keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya mahasiswa D-IV Bidan Pendidik tentang metodologi penelitian, terutama mengenai topik induksi persalinan.

2. Bagi Rumah Sakit

Memberikan informasi tentang kasus induksi persalinan yang terjadi di RSU Muhammadiyah selama tahun 2013.


(19)

3. Bagi Peneliti

Sebagai pengalaman dan menambah wawasan peneliti dalam metodologi penelitian khususnya mengenai induksi persalinan.

4. Bagi penelitian

Sebagai referensi dan bahan perbandingan untuk penelitian berikutnya, yang berkaitan dengan induksi persalinan.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Induksi Persalinan

1. Definisi Induksi Persalinan

Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan adalah meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan. (Saifuddin, 2002).

Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane. Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin. (Cunningham, 2013).

Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara-cara buatan sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya his. (Sinclair, 2010)

Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk merangsang timbulnya atau mempertahankan kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Atau dapat juga diartikan sebagai inisiasi persalinan secara buatan setelah janin viable. (Llewellyn, 2002).

2. Indikasi Induksi Persalinan

Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin diperlukan untuk menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang potensial


(21)

berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu. (Llewellyn, 2002).

Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri doppler.(Oxford, 2013).

3. Kontra Indikasi

Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif. (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002).

4. Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan

Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri, hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio plasenta, hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum, kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan pelahiran caesar pada induksi elektif. (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002).

5. Persyaratan

Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi/persyaratan sebagai berikut:


(22)

b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau dengan metode mekanis.

c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin. d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul. (Oxorn, 2010).

Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor Bishop. berdasarkan kriteria Bishop, yakni:

a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya berhasil diinduksi dengan hanya menggunakan induksi.

b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih dahulu sebelum melakukan induksi. (Yulianti, 2006 & Cunningham, 2013)

Tabel. 2.1 Sistem Penilaian Pelvik Menurut Bishop

Faktor

Nilai

0 1 2 3

Pembukaan (cm) 0 1-2 3-4 5-6

Penipisan/Pendataran (%) 0-30% 40-50% 60-70% 80%

Penurunan -3 -2 -1 / 0 +1 / +2

Konsistensi Kuat Sedang Lunak

Posisi Posterior Pertengahan Anterior

Pada kebanyakan kasus, teknik yang digunakan untuk meningkatkan favorability atau kematangan serviks juga menstimulasi kontraksi. Jadi teknik tersebut dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Metode yang digunakan


(23)

untuk mematangkan serviks meliputi preparat farmakologis dan berbagai bentuk distensi serviks mekanis. (Cunningham, 2013)

Metode farmakologis diantaranya yaitu pemberian prostaglandin E2

(dinoprostone, cervidil, dan prepidil), prostaglandin E1 (Misoprostol atau cytotec),

dan donor nitrit oksida. Sedangkan ynag termasuk kedalam metode mekanis yakni kateter transservikal (kateter foley), ekstra amnionik salin infusion (EASI), dilator servikal higroskopik, dan stripping membrane. (Cunningham, 2013)

6. Proses Induksi

Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu kimia dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk mengeluarkan zat prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim berkontraksi.

a. Secara kimia atau medicinal/farmakologis 1). Prostaglandin E2 (PGE2)

PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan

intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan secara lokal akan menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan peningkatan kandungan air di dalam jaringan serviks. PGE2 memperlunak jaringan ikat serviks dan merelaksasikan

serabut otot serviks, sehingga mematangkan serviks. PGE2 ini pada umumnya

digunakan untuk mematangkan serviks pada wanita dengan nilai bishop <5 dan digunakan untuk induksi persalinan pada wanita yang nilai bishopnya antara 5 - 7. (Sinclair, 2010, Llewellyn, 2002)

Bentuk gelnya (prepidil) tersedia dalam suntikan 2,5 ml untuk pemberian intraserviks berisi 0,5 mg dinoprostone. Ibu dalam posisi terlentang, ujung suntikan yang belum diisi diletakkan di dalam serviks, dan gel dimasukkan tepat di bawah os


(24)

serviks interna. Setelah pemberian, ibu tetap berbaring selama setidaknya 30 menit. Dosis dapat diulang setiap 6 jam, dengan maksimum tiga dosis yang direkomendasikan dalam 24 jam.

Cervidil (dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan serviks. Bentuknya yang persegi panjang (berupa wafer polimerik) yang tipis dan datar, yang dibungkus dalam kantung jala kecil berwarna putih yang terbuat dari polyester. Kantungnya memiliki ekor panjang agar mudah untuk mengambilnya dari vagina.pemasukannya memungkinkan dilepaskannya obat 0,3 mg/jam (lebih lambat dari pada bentuk gel). (Cunningham, 2013)

Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan melintang pada forniks posterior vagina. Pelumas harus digunakan sedikit, atau tidak sama sekali, saat pemasukan. Pelumas yang berlebihan dapat menutupi dan mencegah pelepasan dinoprostone. Setelah pemasukan, ibu harus tetap berbaring setidaknya 2 jam. Obat ini kemudian dikeluarkan setelah 12 jam atau ketika persalinan aktif mulai terjadi. Cervidil ini dapat dikeluarkan jika terjadi hiperstimulasi. American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) merekomendasikan agar pemantauan janin secara elektronik digunakan selama cervidil digunakan dan sekurang-kurangnya selama 15 menit setelah dikeluarkan. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013)

Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah

peningkatan aktivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) mendeskripsikannya sebagai berikut:

a) Takisistol uterus diartikan sebagai ≥6 kontraksi dalam periode 10 menit.

b) Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang berlangsung lebih lama dari 2 menit.


(25)

c) Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola denyut jantung janin yang meresahkan.

Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin bisa berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya persalinan spontan, maka penggunaannya tidak direkomendasikan. Kontra indikasi untuk agen prostaglandin secara umum meliputi asma, glaucoma, peningkatan tekanan intra-okular. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013)

2). Prostaglandin E1 (PGE1)

Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui sebagai tablet 100 atau

200 μg. Obat ini telah digunakan secara off label (luas) untuk pematangan serviks prainduksi dan dapat diberikan per oral atau per vagina. Tablet ini lebih murah daripada PGE2 dan stabil pada suhu ruangan. Sekarang ini, prostaglandin E1

merupakan prostaglandin pilihan untuk induksi persalinan atau aborsi pada Parkland Hospital dan Birmingham Hospital di University of Alabama. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013)

Misoprostol oral maupun vagina dapat digunakan untuk pematangan serviks atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan 25 – 50 μg dan ditempatkan di dalam forniks posterior vagina. 100 μg misoprostol per oral atau 25 μg misoprostol per vagina memiliki manfaat yang serupa dengan oksitosin intravena untuk induksi persalinan pada perempuan saat atau mendekati cukup bulan, baik dengan rupture membrane kurang bulan maupun serviks yang baik. Misoprostol dapat dikaitkan dengan peningkatan angka hiperstimulasi, dan dihubungkan dengan rupture uterus pada wanita yang memiliki riwayat menjalani seksio sesaria. Selain itu induksi dengan PGE1, mungkin terbukti tidak efektif dan memerlukan augmentasi lebih lanjut


(26)

pemberian misoprostol. Karena itu, terdapat pertimbangan mengenai risiko, biaya, dan kemudahan pemberian kedua obat, namun keduanya cocok untuk induksi persalinan. Pada augmentasi persalinan, hasil dari penelitian awal menunjukkan bahwa misoprostol oral 75 μg yang diberikan dengan interval 4 jam untuk maksimum dua dosis, aman dan efektif. (Saifuddin, 2002, Cunningham, 2013) 3). Donor nitrit oksida

Beberapa temuan telah mengarahkan pada pencarian zat yang menstimulusi produksi nitrit oksida (NO) lokal yang digunakan untuk tujuan klinis diantaranya yakni, nitrit oksida merupakan mediator pematangan serviks, metabolit NO pada serviks meningkat pada awal kontraksi uterus, dan produksi NO di serviks sangat rendah pada kehamilan lebih bulan. Dasar pemikiran dan penggunaan donor NO yaitu isosorbide mononitrate dan glyceryl trinitrate. isosorbide mononitrate menginduksi siklo-oksigenase 2 serviks, agen ini juga menginduksi pengaturan ulang ultrastruktur serviks, serupa dengan yang terlihat pada pematangan serviks spontan. Namun sejauh ini uji klinis belum menunjukkan bahwa donor NO sama efektifnya dengan prostaglandin E2 dalam menghasilkan pematangan serviks, dan penambahan

isosorbide mononitrate pada dinoprostone atau misoprostol tidak meningkatkan pematangan serviks pada awal kehamilan atau saat cukup bulan dan tidak mempersingkat waktu pelahiran pervaginam. (Cunningham, 2013)

4). Pemberian oksitosin intravena

Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktifitas uterus yang cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Sejumlah regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (1999a). Oksitosin diberikan dengan menggunakan protokol dosis rendah (1 – 4 mU/menit) atau dosis tinggi (6 – 40


(27)

mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang digunakan di Amerika Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis tinggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk memperpendek waktu persalinan. (Cunningham, 2013)

Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada multipara. Untuk itu senantiasa lakukan observasi yang ketat pada ibu yang mendapat oksitosin. Dosis efektif oksitosin bervariasi, kecepatan infus oksitosin untuk induksi persalinan dapat dilihat pada table berikut:

Table 2.2 Berbagai Regimen Oksitosin Dosis Rendah dan Tinggi

Regimen

Dosis awal (mU/menit)

Penaikan dosis (mU/menit)

Interval (menit)

Rendah

0,5 – 1,5 1 15 – 40

2 4,8,12,16,20,25,30 15

Tinggi

4 4 15

4,5 4,5 15 – 30

6 6 20 – 40

nnnn Dublin (tahun 1984) menguraikan protokol untuk penatalaksanaan aktif persalinan yang menggunakan oksitosin dosis awal dan tambahan 6 mU/menit. Dan di Parkland Hospital, Satin, dkk (1992) mengevaluasi regimen oksitosin dengan dosis tersebut, peningkatan dengan interval 20 menit jika diperlukan, menghasilkan rata-rata waktu masuk ke persalinan yang lebih singkat, lebih sedikit induksi yang gagal, dan tidak ada kasus sepsis neonatus. Dan dengan percobaan pada sampel yang berbeda, mereka yang mendapat regimen 6 mU/menit memiliki durasi waktu


(28)

karena distosia yang lebih sedikit, dan menurunnya korioamnionitis intrapartum atau sepsis neonatorum.

Dengan demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan memberikan regimen dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland hospital penggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara rutin telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University Alabama memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan setiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang pertama tampaknya sangat berbeda, jika tidak ada aktifitas uterus, kedua regimen tersebut mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam infuse. (Cunningham, 2013)

Di bawah ini merupakan tabel untuk salah satu protab kecepatan infus oksitosin untuk induksi persalinan:

Table 2.3 Kecepatan Infus Oksitosin untuk Induksi Persalinan Waktu sejak induksi (jam) Konsentrasi oksitosin Tetes per menit Dosis (mIU/menit) Volume infus Total volume infus 0,0

2,5 unit dalam 500 ml dekstrose atau

garam fisiologi (5mIU/ml)

10 3 0 0

0,5 Sama 20 5 15 15

1,0 Sama 30 8 30 45

1,5 Sama 40 10 45 90

2,0 Sama 50 13 60 150

2,5 Sama 60 15 75 225

3,0

5 unit dalam 500 ml dekstrose atau garam fisiologi (10 mIU/ml)


(29)

3,5 Sama 40 20 45 360

4,0 Sama 50 25 60 420

4,5 Sama 60 30 75 495

5,0

10 unit dalam 500 ml dekstrose atau garam fisiologik (20 mIU/ml)

30 30 90 585

5,5 Sama 40 40 45 630

6,0 Sama 50 50 60 690

6,5 Sama 60 60 75 765

7,0 Sama 60 60 90 855

Jika setelah mengikuti protokol berdasarkan tabel di atas tetap belum terbentuk pola kontraksi yang baik dengan penggunaan konsentrasi oksitosin yang tinggi maka pada multigravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan section caesar. Pada primigravida dapat diberikan infuse oksitosin konsentrasi tinggi (10 unit dalam 500 ml) sesuai dengan protokol berikut:

Table 2.3 Kecepatan Infus Oksitosin Lanjutan untuk Induksi Persalinan pada primigravida Waktu sejak induksi (jam) Konsentrasi oksitosin Tetes per menit Dosis (mIU/menit) Volume infus Total volume infus 0,0

2,5 unit dalam 500 ml dekstrose atau

garam fisiologi (5mIU/ml)

15 4 0 0

0,5 Sama 30 8 23 23

1.0 Sama 45 11 45 68

1,5 Sama 60 15 58 135

2,0 5 unit dalam 500 ml dekstrose atau garam


(30)

fisiologi (10 mIU/ml)

2,5 Sama 45 23 45 270

3,0 Sama 60 30 68 338

3,5

10 unit dalam 500 ml dekstrose atau garam fisiologik (20 mIU/ml)

30 30 90 428

4,0 Sama 45 45 45 473

4,5 Sama 60 60 68 540

5,0 Sama 60 60 90 630

Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal, lahirkanlah janin melalui sectio caesar. Dalam pemberian infuse oksitosin, selama pemberian ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu: a) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara cermat.

b) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran.

c) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri

d) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20 mIU/ml) pada multigravida dan pada ibu dengan riwayat section caesar.

e) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk pola kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan tersebut. (Saifuddin, 2002)

b. Secara mekanis atau tindakan 1). Kateter Transservikal (Kateter Foley)

Kateter foley merupakan alternatif yang efektif disamping pemberian prostaglandin untuk mematangkan serviks dan induksi persalinan. Akan tetapi


(31)

pecah ketuban, dan terdapat riwayat perdarahan. Kateter foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis servikalis (os seviks interna) di dalam segmen bawah uterus (dapat diisi sampai 100 ml). tekanan kearah bawah yang diciptakan dengan menempelkan kateter pada paha dapat menyebabkan pematangan serviks. Modifikasi cara ini, yang disebut dengan extra-amnionic saline infusion (EASI), cara ini terdiri dari infuse salin kontinu melalui kateter ke dalam ruang antara os serviks interna dan membran plasenta. Teknik ini telah dilaporkan memberikan perbaikan yang signifikan pada skor bishop dan mengurangi waktu induksi ke persalinan. (Cunningham, 2013)

Penempatan kateter, dengan atau tanpa infuse salin yang kontinu, menghasilkan perbaikan favorability serviks dan sering kali menstimulasi kontraksi. Sherman dkk. (1996), merangkum hasil dari 13 percobaan dengan metode ini menghasilkan peningkatan yang cepat pada skor bishop dan persalinan yang lebih singkat. Chung dkk. (2003) secara acak mengikutsertakan 135 wanita untuk menjalani teknik induksi persalinan dengan kateter foley ekstra amnion dengan inflasi balon sampai 30 ml juga menghasilkan waktu rata-rata induksi ke pelahiran memendek secara nyata. Dan Levy dkk. (2004) melaporkan bahwa penggunaan balon kateter foley transservikal 80 ml lebih efektif untuk pematangan serviks dan induksi dari pada yang 30 ml. (Cunningham, 2013)

Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai berikut: a) Pasang speculum pada vagina

b) Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik dengan menggunakan cunam tampon.

c) Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum d) Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air


(32)

e) Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina

f) Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau maksimal 12 jam

g) Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan kemudian lanjutkan dengan infuse oksitosin.

(Saifuddin, 2002)

2). Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)

Dilatasi serviks dapat juga di timbulkan menggunakan dilator serviks osmotik higroskopik. Teknik yang dilakukan yakni dengan batang laminaria dan pada keadaan dimana serviks masih belum membuka. Dilator mekanik ini telah lama berhasil digunakan jika dimasukkan sebelum terminasi kehamilan, tetapi kini alat ini juga digunakan untuk pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Pemasangan laminaria dalam kanalis servikalis dan dibiarkan selama 12-18 jam, kemudian jika perlu dilanjutkan dengan infus oksitosin. (Cunningham, 2013)

3). Stripping membrane

Yang dimaksud dengan stripping membrane yaitu cara atau teknik melepaskan atau mamisahkan selaput kantong ketuban dari segmen bawah uterus. Induksi persalinan dengan “stripping” membrane merupakan praktik yang umum dan aman serta mengurangi insiden kehamilan lebih bulan. Stripping dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan jari tengah atau telunjuk dimasukkan dalam kanalis servikalis. (Cunningham, 2013)

4). Induksi Amniotomi

Ruptur membrane artifisial atau terkadang disebut dengan induksi pembedahan, teknik ini dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Pemecahan ketuban buatan memicu pelepasan prostaglandin. Amniotomi dapat dilakukan sejak


(33)

awal sebagai tindakan induksi, dengan atau tanpa oksitosin. Pada uji acak, Bacos dan Backstrom (1987) menemukan bahwa amniotomi saja atau kombinasi dengan oksitosin lebih baik dari pada oksitosin saja. Induksi persalinan secara bedah (amniotomi) lebih efektif jika keadaan serviks baik (skor Bishop > 5). Amniotomi pada dilatasi serviks sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan spontan selama 1 sampai 2 jam, bahkan Mercer dkk. (1995) dalam penelitian acak dari 209 perempuan yang menjalani induksi persalinan baik itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm ataupun amniotomi lanjut pada dilatasi 5 cm didapatkan awitan persalinan yang lebih singkat yakni 4 jam. (Cunningham, 2013; Sinclair, 2010)

Namun ada komplikasi atau resiko yang dapat timbul setelah dilakukan amniotomi yakni: sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali pusat, infeksi (jika jangka waktu antara induksi-persalinan > 24 jam), perdarahan ringan, perdarahan post partum (resiko relatif 2 kali dibandingkan dengan tanpa induksi persalinan), hiperbilirubinemia neonatus (bilirubin > 250 μmol/l). (Llewellyn, 2002)

5). Stimulasi putting susu

Untuk stimulasi payudara gunakan pedoman CST dan pantau DJJ dengan auskultasi atau pemantauan janin dengan cardiotografi. Observasi adanya

hiperstimulasi pada uterus. (Varney, 2002) 6). Hubungan seksual

Hanya dilakukan apabila ketuban dalam keadaan utuh. Orgasme pada wanita akan menyebabkan kontraksi uterus. semen atau sperma mengandung prostaglandin, sehingga dapat pula merangsang kontraksi. (Varney, 2002)

7). Minyak Castor

Digunakan pada serviks yang telah matang, efektif pada multigravida. Dosisnya 1-2 ons minyak Castor diminum dengan mencapur atau diikuti dengan jus


(34)

jeruk atau minuman lain sesuai pilihan ibu. Namun setelah menggunakan cara ini, ibu dianjurkan untuk banyak minum. (Varney, 2002)

Tanda-tanda induksi baik yaitu: respons uterus berupa aktifitas kontraksi miometrium baik, kontraksi simetris, dominasi fundus, relaksasi baik (sesuai dengan tanda-tanda his yang baik/adekuat), dan nilai serviks menurut bishop.

Prinsip penting: monitor keadaan bayi, keadaan ibu, awasi tanda-tanda rupture uteri dan harus memahami farmakokinetik, farmakodinamik, dosis dan cara pemberian obat yang digunakan untuk stimulasi uterus. (Saifuddin, 2002)


(35)

KERANGKA TEORITIS INDIKASI INDUKSI

• KPD

• Kehamilan Lewat Waktu • Oligohidramnion • Korioamnionitis • Preeklampsi

• Hipertensi Gestasional • Insufisiensi plasenta • Iufd Dan Pjt

• Perdarahan antepartum

Umbilical abnormal Arteri

doppler

INDUKSI 

PERSALINAN 

PERSYARATAN

a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)

b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan menipis.

c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.

d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.

CARA MEKANIS ATAU TINDAKAN

 Kateter Transservikal (Kateter Foley)

 Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)

 Stripping membrane

 Induksi Amniotomi

 Stimulasi putting susu

 Hubungan seksual

 Minyak Castor

Partus pervaginam SC karena Gagal Induksi OUT COME  Ibu  Bayi

Gabungan cara farmakologi dan mekanis

CARA FARMAKOLOGI ATAU MEDISINAL

 Prostaglandin E2 (PGE2)

 Protaglandin E1 (PGE1)

 Donor Nitrit Oksida


(36)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep                           INDUKSI  PERSALINAN  METODE  INDUKSI 

Serviks belum  matang 

Misoprostol  Gabungan 

misoprostol dgn drip  oksitosin  Drip  oksitosin Dosis  maksimal  Lama  induksi Dosis oral 

Lama  induksi  Lahir  Dosis  vaginal  Lama  induksi    Pemberian  Ulang 

Dosis awal

Lama  induksi 

Misoprostol  oral+ oksitosin 

drip  Lama induksi

Lahir  pervaginam 

Misoprostol  vaginam +  oksitosin drip 

Lama induksi

Lahir  pervaginam  Pemberian  Ulang  Pemberian  Ulang  Pemberian  Ulang 

Misoprostol  oral &  vaginam + oksitosin 

drip  Lama induksi


(37)

      INDUKSI  PERSALINAN  METODE  INDUKSI 

Serviks sudah  matang 

Misoprostol Drip 

oksitosin Dosis  maksimal  Lama  induksi Lahir  pervaginam Sectio  caesarea  Dosis oral

Lama  induksi  Lahir  pervaginam  Sectio  caesarea  Dosis  vaginal  Lama  induksi  Lahir  pervaginam  Sectio  caesarea  Pemberian  Ulang 

Dosis awal

Lama  induksi  Lahir  pervaginam  Sectio  caesarea  Pemberian  Ulang  Pemberian  Ulang  Pemberian  Ulang  Gabungan  misoprostol dgn drip 

oksitosin 

Misoprostol  oral+ oksitosin 

drip  Lama induksi

Lahir  pervaginam 

Sectio  caesarea

Misoprostol  vaginam +  oksitosin drip 

Lama induksi

Lahir  pervaginam 

Sectio  caesarea

Misoprostol  oral  & vaginam +  oksitosin drip  Lama induksi 

Lahir pervaginam 


(38)

A. Defenisi Operasional

No Variabel Penelitian

Defenisi Operasional

Alat

ukur Cara Ukur Hasil Ukur

Skala Ukur 1. Induksi persalinan upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya persalinan - - - -

2. Kondisi serviks Keadaan serviks yang dinilai dengan Bishop skor pada saat dimulainya induksi.(serviks dikatakan baik jika skor Bishop >5, dan dikatakan tidak baik jika skor Bishop ≤5)

Lembar checklist Mencatat dari dokumentasi atau catatan rekam medis Serviks belum matang Serviks sudah matang Ordinal

3. Metode Induksi cara yang digunakan untuk memulai proses persalinan yakni dengan merangsang uterus sehingga menimbulkan kontraksi yang awalnya tidak ada menjadi ada Lembar check list Mencatat dari dokumentasi atau catatan rekam medis Misoprostol oksitosin drip gabungan misoprostol dan oksitosin drip Ordinal

4. Dosis awal drip oksitosin

Takaran oksitosin yang diberikan saat pertama kali infus oksitosin akan diberikan atau dimulai Lembar check list Mencatat dari dokumentasi atau catatan rekam medis Sesuai dengan internasional grade (dalam IU) Numerik

5. Dosis ulangan Pemberian kembali dosis induksi jika pemberian

sebelumya belum berhasil sampai ke pelahiran spontan Lembar check list Mencatat dari dokumentasi atau catatan rekam medis Sesuai dengan internasional grade (dalam IU) Numerik


(39)

   

pemberian ulangan) 6. Total dosis

yang diterima Jumlah dosis oksitosin yang diberikan selama proses induksi sampai mencapai kelahiran Lembar check list Mencatat dari dokumentasi atau catatan rekam medis Sesuai dengan internasional grade (dalam IU) Numerik

7. Rata-rata lama induksi Waktu pemberian induksi sejak dimulai induksi hingga terjadi persalinan (waktu istirahat tidak termasuk dalam hitungan) Lembar check list Mencatat dari dokumentasi atau catatan rekam medis

dalam jam numerik

8. Metode persalinan

Cara keluarnya janin secara normal atau tindakan setelah induksi dilakukan Lembar check list Mencatat dari dokumentasi atau catatan rekam medis Partus pervaginam/ spontan sectio caesarea ordinal

9. Penyebab gagal induksi

(dilakukan SC)

Indikasi atau alasan dilakukan SC setelah pelaksanaan induksi dianggap gagal Lembar check list Mencatat dari dokumentasi atau catatan rekam medis Tidak respon Ibu menolak Rupture uteri imminen Fetal disstres Partus macet ordinal

10. Out Come pada ibu

Hasil, efek, atau konsekuensi yang akan terjadi dari pelaksanaan induksi persalinan pada ibu

Lembar check list Mencatat dari dokumentasi atau catatan rekam medis Ibu sehat Post partum hemmorage Rupture uteri meninggal Ordinal


(40)

   

11. Out Come pada bayi

Hasil, efek, atau konsekuensi yang akan terjadi dari pelaksanaan induksi persalinan pada bayi

Lembar cheklist

Mencatat dari

dokumentasi atau catatan rekam medis

Bayi sehat Asfiksia

neonatorum meninggal


(41)

   

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan studi pendokumentasian dimana penelitian dilakukan dengan cara melihat catatan keperawatan atau rekam medik subyek yang diteliti, dengan tujuan untuk mencari persentase tindakan induksi persalinan dan out come di RSU Muhammadiyah sumatera utara tahun 2013.

B. Populasi Dan Sampel 1. Populasi

Pada penelitian ini, populasinya adalah seluruh ibu hamil yang dilakukan tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara dari bulan Januari sampai bulan Desember Tahun 2013, yaitu sebanyak 67 orang.

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan total sampling, yaitu seluruh populasi dijadikan sampel, atau seluruh ibu hamil yang dilakukan tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara dari bulan Januari sampai bulan Desember Tahun 2013 adalah sampel dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 67 orang.


(42)

   

C. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara. Rumah sakit ini dipilih sebagai tempat penelitian karena belum pernah dilakukan penelitian yang sesuai dengan judul karya tulis ini dan lokasi rumah sakit tersebut mudah dijangkau oleh peneliti. Selain itu rumah sakit ini juga merupakan rumah sakit rujukan untuk seluruh Rumah Sakit Muhammadiyah yang ada di provinsi Sumatera Utara.

D. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Mei tahun 2014.

E. Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Institusi Pendidikan Program D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan RSU Muhammadiyah Sumatera Utara. Dalam melakukan penelitian ini, beberapa hal yang peneliti lakukan, yaitu:

1. Peneliti mengajukan permohonan izin untuk melakukan penelitian pada Ketua Program D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Peneliti mengajukan surat keterangan izin penelitian ke bagian Tata Usaha RSU Muhammadiyah Sumatera Utara untuk memperoleh surat pengantar izin penelitian yang ditujukan kepada bagian penelitian RSU Muhammadiyah Sumatera Utara.


(43)

   

3. Setelah mendapat surat izin penelitian dari Direktur RSU Muhammadiyah Sumatera Utara, peneliti melihat rekam medik setiap pasien yang telah diinduksi dan mengisi sendiri lembar checklist.

4. Jika beberapa data yang peneliti perlukan tidak terdapat di dalam rekam medik, maka peneliti meminta izin kepada kepala ruangan VK RSU. Muhammadiyah Sumatera Utara untuk melihat catatan keperawatan di ruangan tersebut.

5. Untuk menjaga kerahasiaan pasien (Confidentiality) maka peneliti tidak mencantumkan nama dan alamat responden (Anonimity) dalam penelitian ini.

F. Alat Pengumpulan Data

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah menggunakan lembar checklist yang diisi oleh peneliti.

G. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mendapat surat izin penelitian dari program pendidikan D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan telah mendapat izin dari RSU Muhammadiyah Sumatera Utara. Setelah mendapat izin peneliti terlebih dahulu membuat lembar checklist, kemudian melihat rekam medik pasien dan mencatat semua data yang sesuai dengan kriteria ke dalam lembar cecklist. Namun ada beberapa data yang tidak peneliti temukan di dalam rekam medik, oleh karena itu peneliti meminta izin bagian tata usaha dan kepala ruangan VK untuk melihat catatan keperawatan di ruangan, dan memasukkan data yang diperlukan kedalam lembar checklist.


(44)

   

H. Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, kemudian peneliti melakukan analisa data. Adapun langkah-langkah dalam menganalisa data yang telah terkumpul adalah sebagai berikut:

1. Editing Data

Data yang terkumpul diperiksa kembali, apakah semua data yang sesuai dengan kriteria penelitian sudah benar dan lengkap.

2. Coding Data

Kemudian data diberi kode untuk memudahkan peneliti dalam melakukan analisa data dan pengambilan kesimpulan data.

3. Entry Data

Kemudian data yang telah diperoleh ditabulasi dalam bentuk tabel untuk mempermudah perhitungan dengan menggunakan teknik komputerisasi. 4. Cleaning

Setelah semua data telah dientry, kemudian dilakukan pengecekan/pemeriksaan kembali apakah ada kesalahan atau tidak.

5. Analisa Data

Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data yakni dengan menggunakan analisa univariat dimana analisa ini dilakukan untuk mengetahui jumlah dan persentase dari variable-variabel yang diteliti. Data akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.


(45)

   

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian mengenai gambaran induksi persalinan dan out come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013. Adapun sampel dalam penelitian ini yaitu berjumlah 67 responden, dimana peneliti menggunakan total sampling yaitu seluruh ibu hamil yang dilakukan tindakan induksi persalinan Untuk mengetahui persentase tindakan induksi persalinan dan out come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013, peneliti menggunakan lembar checklist yang memudahkan peneliti dalam proses pengambilan dan pengolahan data.

1. Persentase karakteristik umum responden yang dilakukan tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Tabel 5.1

Distribusi Frekuensi Karakteristik Umum Responden yang Dilakukan Tindakan Induksi Persalinan di RSU Muhammadiyah

Sumatera Utara Tahun 2013

Karakteristik responden Frekuensi Persentase (%)

Umur Ibu (tahun)

<20 1 1,5

20-35 63 94

>35 3 4,5

Total 67 100

Paritas Primipara 16 23,9

Multipara 51 76,1

Total 67 100

Hasil penelitian pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 67 responden yang dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013


(46)

   

mayoritas umur responden 20-35 tahun yaitu sebanyak 63 orang (94%), sedangkan paritas responden mayoritas terjadi pada multipara sebanyak 51 orang (76,1%).

2. Persentase induksi persalinan berdasarkan kondisi serviks ibu hamil sebelum diinduksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Induksi Persalinan Berdasarkan Kondisi Serviks Ibu Hamil Sebelum Diinduksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara

Tahun 2013

Kondisi Serviks Frekuensi Persentase (%)

Belum Matang 16 23,9

Sudah Matang 51 76,1

Total 67 100

Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa kondisi serviks ibu hamil sebelum dilakukan tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013, mayoritas dengan kondisi serviks yang sudah matang yaitu sebanyak 51 orang (76,1%).

3. Persentase metode induksi yang digunakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Induksi Persalinan Berdasarkan Metode Induksi yang Digunakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara

Tahun 2013

Metode induksi Frekuensi Persentase (%)

Serviks belum matang

Misoprostol 1 6,25

Drip oksitosin 12 75

Gabungan misoprostol dan drip oksitosin

3 18,75

Total 16 100

Serviks sudah matang

Misoprostol 0 0

Drip oksitosin 50 98,04

Gabungan misoprostol dan drip oksitosin


(47)

   

Hasil penelitian pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa mayoritas metode induksi yang digunakan untuk tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013 yaitu drip oksitosin pada kondisi serviks yang sudah matang yakni sebanyak 50 orang (98,04%). Kemudian diikuti drip oksitosin pada kondisi serviks yang belum matang yaitu sebanyak 12 orang (75%).


(48)

 

Universitas

Sumatera


(49)

   


(50)

Hasil penelitian pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa induksi persalinan dengan metode drip oksitosin pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang belum matang yaitu sebanyak 12 orang, mayoritas dosis awal oksitosin yang digunakan yaitu 2.5 IU sebanyak 9 orang (75%), dengan rata-rata lama induksi 3,4 jam, dan yang mencapai ke persalinan pervaginam sebanyak 2 orang (25 %). Selanjutnya dari 8 orang (66,7%) yang belum mencapai ke proses kelahiran yang hanya dengan pemakaian drip oksitosin pertama, maka dilakukan pemberian ulangan drip oksitosin, dimana pada pemberian dosis ulangan pertama mayoritas diberikan dengan dosis oksitosin 2.5 IU dan 10 IU yakni masing-masing sebanyak 3 orang (25%), dengan rata-rata lama induksi 6,2-6,7 jam, dan yang mencapai ke persalinan yaitu sebanyak 5 orang (62,5%) dengan mayoritas metode persalinannya yaitu seksio caesarea sebanyak 4 orang (50%). Sedangkan untuk pemberian dosis ulangan kedua yang dilakukan pada 3 orang ibu hamil yang belum mencapai ke proses kelahiran, mayoritas diberikan dengan dosis oksitosin 10 IU yaitu sebanyak 2 orang (25%), dengan rata-rata lama induksinya yaitu 10,3 jam dan semuanya yaitu 3 orang (100%) mencapai ke persalinan yaitu partus pervaginam.

Selanjutnya pada tabel 5.4 tampak total dosis oksitosin yang diterima untuk ibu-ibu dengan kondisi serviks yang belum matang, mayoritas yakni dengan total dosis 10 IU sebanyak 3 orang (25%), dengan rata-rata lama persalinan 5,7 jam, dan mayoritas metode persalinannya yaitu partus pervaginam sebanyak 8 orang (66,7%).


(51)

5. Persentase dosis, rata-rata lama induksi diberikan, total dosis diterima dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Tabel 5.5

Distribusi Frekuensi Dosis, Rata-rata Lama Induksi Diberikan, Total Dosis Diterima dan Metode Persalinan setelah Dilakukan Induksi Persalinan pada Ibu-Ibu dengan Kondisi Serviks yang Sudah Matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013

Metode

induksi Cara pemberian

Dosis yang

diberikan Jumlah

Persentase (%)

Rata-rata lama induksi

Metode persalinan

Pervaginam Sectio caesar Jumlah Persentase

(%) Jumlah

Persentase (%)

Drip oksitosin

Dosis awal I 2.5 IU

5 IU 10 IU 20 IU 31 7 11 1 62 14 22 2 3,2 3,1 3,2 3 15 2 8 - 30 4 16 - - 3 1 1 - 6 2 2

Total 50 100 25 50 5 10

Dosis ulangan

II 2.5 IU

5 IU 10 IU

16 2 2 32 4 4 5,8 6,5 6,3 12 2 2 60 10 10 2 - - 10 - -

Total 20 40 16 80 2 10

III 2.5 IU 2 10 10,5 2 100 - -

Total 2 10 2 100 - -

Total dosis diberikan

2.5 IU

5IU 7.5 IU 10 IU 12.5 IU 15 11 7 12 2 30 22 14 24 4 3,4 4,5 5,6 4,6 5,5 15 7 6 11 2 30 14 12 22 4 - 4 1 1 - - 8 2 2 -


(52)

    15 IU 20 IU 1 2 2 4 6 5,3 1 1 2 2 - 1 - 2

Total 50 100 43 86 7 14

Gabungan misoprostol dan drip oksitosin Misoprostol vaginal

& drip oksitosin dosis awal

Total dosis diberikan

25 μg 10 IU Total 10 IU 1 1 1 100 100 100 6 2 8 1 1 1 100 100 100 - - - - - -

Total 1 100 1 100 - -


(53)

Hasil penelitian pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa induksi persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013, mayoritas ibu-ibu yang diinduksi dengan drip oksitosin yakni menggunakan dosis awal 2.5 IU yaitu sebanyak 31 orang (62%), dengan rata-rata lama induksinya 3,2 jam, dan dari 50 orang yang diberikan dosis awal tersebut yang mencapai ke persalinan yaitu sebanyak 30 orang (60%), dengan mayoritas metode persalinannya yaitu partus pervaginam sebanyak 25 orang (50%). Selanjutnya ibu-ibu yang belum berhasil mencapai kepersalinan dilanjutkan dengan pemberian ulangan pertama, yang mayoritas menggunakan dosis ulangan 2.5 IU yakni sebanyak 16 orang (32%) dengan rata-rata lama induksinya 5,8 jam. Dari 20 orang yang diberikan ulangan pertama yang mencapai ke persalinan yaitu sebanyak 18 orang (90%). Dan 2 orang lainnya dari 50 orang yang diinduksi dengan drip oksitosin yang belum juga mencapai ke persalinan dilanjutkan ke pemberian ulangan kedua, dimana keduanya diberikan dosis ulangan 2.5 IU dan keduanya mencapai ke persalinan dengan metode persalinan pervaginam.

Kemudian untuk total dosis yang diterima mayoritas menggunakan dosis 2.5 IU sebanyak 15 orang (30%) dengan rata-rata lama induksi 3,4 jam, dan dari 50 orang ibu hamil yang diinduksi dengan drip oksitosin mayoritas mencapai ke persalinan dengan cara pervaginam sebanyak 43 orang (86%).


(54)

   

6. Persentase penyebab dilakukan sectio caesarea pada ibu hamil setelah dilakukan induksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013

Tabel 5.6

Distribusi Frekuensi Penyebab Dilakukan Sectio Caesarea pada Ibu Hamil Setelah Dilakukan Induksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara

Tahun 2013

Penyebab dilakukan sectio caesarea

Serviks belum matang Serviks sudah matang Frekuensi Persentase

(%) Frekuensi

Persentase (%)

Tidak respon

4 66,7 - - Ibu menolak

1 16,7 2 28,6 Rupture uteri imminen

- - 1 14,3

Fetal disstres

- - 4 57,1

Partus macet 1 16,7 - -

Total 6 100 7 100

Hasil penelitian pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa mayoritas penyebab dilakukannya tindakan sectio sesarea pada ibu-ibu yang diinduksi dengan kondisi serviks yang belum matang yaitu karena tidak adanya respon terhadap induksi yang diberikan atau tidak dapat mencapai kontraksi uterus yang adekuat (3 kali dalam 10 menit), sebanyak 4 orang (66,7%). Sedangkan pada ibu-ibu hamil dengan kondisi serviks yang sudah matang mayoritas penyebab dilakukannya tindakan sectio sesarea yaitu karena fetal disstres sebanyak 4 orang (57,1%).


(55)

   

7. Persentase out come pada ibu setelah dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Tabel 5.7

Distribusi Frekuensi Out Come pada Ibu setelah Dilakukan Induksi Persalinan di RSU Muhammadiyah

Sumatera Utara Tahun 2013

Out come pada ibu

Serviks belum matang Serviks sudah matang Frekuensi Persentase

(%) Frekuensi

Persentase (%)

Ibu sehat

Post partum hemmorage Rupture uteri iminens

13 3 -

81,25 18,75

-

43 7 1

84,31 13,73 1,96

Total 16 100 51 100

Hasil penelitian pada tabel 5.7 menunjukkan bahwa mayoritas out come pada ibu setelah ibu dengan kondisi serviks yang belum matang dilakukan tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013 yaitu ibu dalam keadaan sehat yakni sebanyak 13 orang (81,25%). Sedangkan pada ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang, mayoritas out come pada ibu setelah dilakukan induksi persalinan yaitu ibu juga dalam keadaan sehat yakni sebanyak 43 orang (84,31%).


(56)

   

8. Persentase out come pada bayi baru lahir setelah dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Tabel 5.8

Distribusi Frekuensi Out Come pada Bayi Baru Lahir setelah Ibu Diinduksi Persalinan di RSU Muhammadiyah

Sumatera Utara Tahun 2013

Out come pada bayi

Serviks belum matang Serviks sudah matang Frekuensi Persentase

(%) Frekuensi

Persentase (%) Bayi sehat Asfiksia neonatorum Meninggal 8 4 4 50 25 25 40 8 3 78,43 15,69 5,88

Total 16 100 51 100

Hasil penelitian pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa mayoritas out come pada bayi dengan kondisi serviks ibu yang belum matang sebelum dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013 yaitu bayi dalam keadaan sehat yakni sebanyak 8 orang (50%). Sedangkan pada ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang, mayoritas out come pada bayi baru lahir setelah dilakukan induksi persalinan yaitu bayi juga dalam keadaan sehat yakni sebanyak 40 orang (78,43%).

B. Pembahasan

1. Kondisi serviks ibu hamil sebelum diinduksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa dari 67 ibu hamil yang merupakan sampel dalam penelitian ini, didapatkan 16 orang kondisi serviksnya belum matang sebelum dilakukannya induksi persalinan dan 51 orang lainnya kondisi serviksnya


(57)

   

Merujuk dari persyaratan sebelum dilakukannya induksi persalinan, tingkat kematangan serviks adalah merupakan faktor penentu keberhasilan dan salah satu syarat dilakukannya tindakan induksi persalinan. Jika kondisi serviks baik (sudah matang yakni skor bishop 6 atau lebih), maka persalinan biasanya berhasil diinduksi dengan hanya menggunakan induksi. (Sinclair, 2010 & Cunningham, 2013).

Harnani, ED, dalam penelitiannya mengatakan bahwa berdasarkan studi-studi terkini, dimana rasionya bervariasi dari 9,5%-33,7% dari semua kehamilan setiap tahun. Pada keadaan serviks yang tidak matang, jarang terjadi keberhasilan partus pervaginam. Hal ini dikarenakan kemampuan induksi dengan metode drip oksitosin akan lebih baik dan lebih berhasil pada kondisi serviks yang sudah matang. Jika kondisi serviks belum matang, maka sebaiknya dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu. Dengan demikian, pematangan serviks atau persiapan induksi harus dinilai sebelum pemilihan terapi.

Menilai kondisi serviks ibu hamil sebelum dilakukannya induksi persalinan penting untuk dilakukan, hal ini bertujuan untuk menentukan tindakan yang harus dokter lakukan terlebih dahulu. Perlukah tindakan prainduksi untuk kondisi serviks yang belum matang dan langsung menggunakan metode induksi tertentu untuk kondisi serviks yang sudah matang. Hal ini berkaitan dengan keberhasilan proses induksi kearah pelahiran spontan (pervaginam) dan menghindari gagal induksi sehingga mengakibatkan peningkatan angka kejadian seksio sesarea.

2. Metode induksi yang digunakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa mayoritas metode induksi yang digunakan untuk tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera


(58)

   

Utara tahun 2013 yaitu drip oksitosin pada kondisi serviks yang sudah matang yakni sebanyak 50 orang (98,04%). Kemudian diikuti drip oksitosin pada kondisi serviks yang belum matang yaitu sebanyak 12 orang (75%).

Pada ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang, metode induksi yang mayoritas menggunakan drip oksitosin didukung dan sesuai dengan studi yang dikutip berikut ini, yang mengatakan bahwa stimulasi persalinan yang direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) yaitu menggunakan sejumlah regimen oksitosin. Regimen oksitosin baik dengan dosis rendah maupun tinggi tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk memperpendek waktu persalinan. (Cunningham, 2013)

Akan tetapi pada ibu dengan kondisi serviks yang belum matang, penggunaan drip oksitosin sebagai metode yang mayoritas digunakan tidak sesuai dengan Cunningham (2013) yang menyatakan bahwa perempuan yang serviksnya pada kondisi serviks yang tidak ideal (unfavorable) merupakan indikasi untuk dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu sebelum induksi (pematangan serviks prainduksi). Pemberian beberapa teknik prainduksi dapat memberikan keuntungan jika dibandingkan dengan induksi oksitosin saja. Beberapa teknik terbukti cukup berhasil untuk induksi, misalnya dengan kateter transservikal, pemberian prostaglandin E1 (misoprostol atau cytotec).

Menurut asumsi peneliti hal tersebut dapat terjadi dikarenakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara selain menggunakan teknik pematangan serviks menggunakan preparat farmakologi yakni misoprostol, mereka juga menggunakan teknik secara mekanis yaitu menggunakan balon kateter. Dikarenakan peneliti tidak memasukkan metode atau teknik tersebut dalam penelitian ini sebagai variable,


(59)

   

sehingga di hasil tidak tampak berapa banyak ibu hamil yang menjalani teknik pematangan serviks dengan cara mekanis seperti balon kateter. Oleh karena itu untuk ibu hamil yang serviksnya belum matang terkesan hanya menggunakan drip oksitosin saja, yang pada kenyataannya dilakukan tindakan prainduksi terlebih dahulu yakni pematangan serviks dengan menggunakan balon kateter.

3. Dosis, rata-rata lama induksi dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang belum matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Berdasarkantabel 5.4 dapat dilihat bahwa mayoritas drip oksitosin diberikan dengan dosis awal 2.5 IU yaitu sebanyak 9 orang (75%). Hal ini tidak mendukung pernyataan Cunningham (2013) yang menyarankan penggunaan dosis tinggi 6 mU/menit (±5 IU) untuk penggunaan dosis awal pada pemakaian drip oksitosin untuk proses induksi persalinan. Akan tetapi dari hasil diatas didukung oleh banyak studi acak yang menemukan bahwa regimen oksitosin dosis rendah dan dosis tinggi sama-sama efektif dalam menegakkan pola persalinan yang adekuat. Begitu juga dengan dosis ulangan, dimana pada tabel 5.4 mayoritas dosis ulangan diberikan dengan dosis 2.5 IU dan 10 IU yang masing-masing sebanyak 3 orang (25%). Pada kondisi serviks yang belum matang telah dianjurkan bahwa sebaiknya dilakukan teknik pematangan serviks terlebih dahulu, hal ini juga dimaksudkan agar proses persalinan pervaginam dapat terjadi dengan tanpa pemberian dosis ulangan.

Selain itu juga, pada tabel tampak bahwa total dosis oksitosin yang diterima ibu hamil yang kondisi serviksnya belum matang, mayoritas dosis yang digunakan yaitu 10 IU sebanyak 3 orang (25%). Hal ini sesuai dan mendukung teori yang mana mengatakan bahwa jika kontraksi tidak adekuat dan jika keadaan janin baik serta


(60)

   

persalinan telah berhenti, maka dosis infus oksitosin lebih besar dari 48 mU/menit (±10 IU) tidak menimbulkan resiko yang nyata. Selain itu juga hasil tersebut diatas mendukung hasil penelitian Wen dkk, tahun 2001 dalam penelitiannya terhadap 1151 nulipara secara berurutan menemukan bahwa kecenderungan kemajuan kepelahiran pervaginam menurun pada atau di atas dosis oksitosin 36 mU/menit, namun pada dosis 72 mU/menit, setengah nulipara melahirkan pervaginam. (Cunningham, 2013)

Untuk rata-rata lama induksi yang tampak pada tabel 5.4, mayoritas yaitu <12 jam dan bervariasi sesuai dengan berapa kali ulangan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan teori di dalam buku Cunningham, tahun 2013 dimana ibu hamil yang mendapatkan regimen oksitosin dengan dosis 6 mU/menit (±5 IU) memiliki durasi waktu persalinan yang lebih singkat. Selain itu juga hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Muarif, YS (2002) dimana dalam penelitiannya diperoleh lama induksi baik menggunakan misoprostol maupun oksitosin berlangsung dalam waktu 4-12 jam.

Dari tabel 5.4 juga tampak metode persalinan yang terjadi pada kondisi serviks ibu yang belum matang yang mengalami partus pervaginam yaitu sebanyak 10 orang dan mayoritas pada metode drip oksitosin sebanyak 8 orang (66,7%). Hal ini sesuai dengan teori buku Cunninghan, 2013 yang mana dikatakan bahwa pada induksi dengan menggunakan regimen oksitosin maka akan lebih sedikit induksi yang gagal. Akan tetapi hal ini tidak didukung dengan hasil penelitian dari Muarif, YS tahun 2002, yang mendapatkan hasil bahwa pencapaian pembukaan lengkap yang lebih tinggi pada kelompok misoprostol daripada oksitosin.


(61)

   

4. Dosis, rata-rata lama induksi dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Berdasarkantabel 5.5 dapat dilihat bahwa mayoritas dosis awal drip oksitosin yang digunakan untuk tindakan induksi persalinan yaitu 2.5 IU sebanyak 31 orang (62%). Dari hasil ini tampak bahwa teori dalam buku Cunningham tahun 2013, yang mana dikatakan bahwa dosis tinggi untuk metode dengan drip oksitosin dianjurkan dan telah menunjukkan keberhasilan ke proses persalinan pervaginam. Menurut asumsi peneliti dengan dosis tersebut dapat menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan yakni pelahiran pervaginam dikarenakan kondisi serviks ibu hamil yang favorable (sudah matang).

Sedangkan untuk dosis ulangan, pada tabel tampak bahwa mayoritas ibu hamil yang diberikan dosis ulangan yaitu dengan dosis 2.5 IU sebanyak 16 orang (32%). Sebagaimana telah dibahas pada 5.4, Hasil ini mendukung teori didalam buku Cunningham yang mengatakan bahwa pada kondisi serviks yang sudah matang, tingkat keberhasilan ke pelahiran pervaginam akan semakin tinggi hanya dengan regimen oksitosin saja.

Untuk total dosis yang diberikan yang diberikan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang, maksimal dosis yang digunakan yakni 2.5 IU sebanyak 15 orang (30%). Hal ini tidak mendukung teori yang mengatakan dosis ulangan pada proses induksi sebaiknya ditingkatkan setelah pemberian dosis awal tersebut masih belum berhasil, Dan jika kontraksi tidak adekuat dan jika keadaan janin baik serta persalinan telah berhenti, maka dosis infus oksitosin lebih besar dari 48 mU/menit (±10 IU) tidak menimbulkan resiko yang nyata.


(62)

   

Selain itu dari tabel 5.5 juga tampak rata-rata lama induksi persalinan dengan ibu hamil yang kondisi serviksnya sudah matang mayoritas terjadi dalam waktu <12 jam. Hal ini sesuai dengan teori di dalam buku Cunningham, tahun 2013 dimana ibu hamil yang mendapatkan regimen oksitosin dengan dosis 6 mU/menit (±5 IU) memiliki durasi waktu persalinan yang lebih singkat. Selain itu juga juga hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Muarif, YS tahun 2002 dimana dalam penelitiannya diperoleh lama induksi baik menggunakan misoprostol maupun oksitosin berlangsung dalam waktu 4-12 jam.

Selanjutnya metode persalinan yang tampak pada tabel 5.5 mayoritas metode yang terjadi yaitu partus pervaginam sebanyak 44 orang (86,3%). Hal ini sesuai dengan teori buku Cunninghan (2013) yang mana dikatakan bahwa pada induksi dengan menggunakan regimen oksitosin maka akan lebih sedikit induksi yang gagal. Akan tetapi hal ini tidak didukung dengan hasil penelitian dari Muarif, YS tahun 2002, yang mendapatkan hasil bahwa pencapaian pembukaan lengkap yang lebih tinggipada kelompok misoprostol daripada oksitosin.

5. Penyebab dilakukan sectio caesarea pada ibu hamil setelah dilakukan induksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Pada tabel 5.6 diperoleh mayoritas penyebab terjadinya seksio sesarea (terjadinya gagal induksi) pada kondisi serviks belum matang yaitu dikarenakan uteri yang tidak respon yakni sebanyak 4 orang (66,7%), dan pada kondisi serviks yang sudah matang yakni fetal disstres sebanyak 4 orang (57,1%). Maksudnya tidak respon disini yaitu uterus tidak mencapai kontraksi sesuai dengan yang diharapkan/adekuat (3 kali dalam 10 menit) sampai batas maksimal preparat metode induksi yang digunakan. Hal ini tidak mendukung teori yang mana dengan kondisi


(63)

   

serviks yang sudah matang, sangat jarang sekali induksi dapat gagal. Dan penelitian yang didapatkan dari Muarif, YS tahun 2002, hanya mendukung terjadinya DJJ yang abnormal (fetal disstres) akibat proses induksi yakni berkisar 8,6%-38,3%, takisistol, hipertonus dan hiperstimulasi yang berkisar 0-12%. Sedangkan untuk kejadian tidak adanya respon uteri, peneliti belum menemukan satu penelitianpun yang mendukung hasil tersebut, sangat jarang sekali pada kondisi serviks yang sudah matang pemberian regimen oksitosin dengan dosis tinggipun tidak dapat mencapai ke proses pelahiran pervaginam.

6. Out come pada ibu setelah dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Pada tabel 5.7 tampak mayoritas out come pada ibu, baik pada kondisi serviks yang belum matang maupun sudah matang yakni dalam kondisi yang sehat yaitu sebanyak 13 orang (81,25%) dan 43 orang (84,31%). Dengan mengindahkan persyaratan dan mempertimbangkan metode induksi yang tepat dan dapat digunakan maka untuk outcome pada ibu tidak akan menimbulkan masalah yang serius terutama ke kematian. Di dalam penelitian Katz et al, mendapatkan bahwa kejadian akibat pemberian induksi yang pernah dilaporkan yakni retensio plasenta dan perdarahan post partum, kejadian rupture uteri sekitar 4-5 kejadian yang terjadi pada kasus kecacatan rahim.


(64)

   

7. Persentase out come pada bayi baru lahir setelah dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Pada tabel 5.8 tampak mayoritas out come pada bayi baru lahir, baik pada ibu dengan kondisi serviks yang belum matang maupun sudah matang yakni dalam kondisi yang sehat yaitu sebanyak 8 orang (50%) dan 40 orang (78,43%). Kematian pada bayi yang tampak pada hasil, itu disebabkan karena indikasi induksi yaitu dikarenakan intra uterin fetal death (IUFD). Hal ini sesuai dengan hasil di dalam penelitian Katz et al yang mendapatkan bahwa kejadian asfiksia pada bayi yang dilahirkan hanya berkisar 0%-13,2%, dan mayoritas dalam kondisi yang sehat.

C. Keterbatasan Penelitian

Didalam proses penelitian ini, peneliti mengalami beberapa keterbatan yang meliputi waktu peneliti yang padat dengan kegiatan perkuliahan, terbenturnya pemberian izin pihak rumah sakit saat memberikan waktu untuk mengambil data dengan kegiatan perkuliahan. Selain itu juga masih banyak data-data yang tidak lengkap di dalam catatan rekam medis, sehingga peneliti harus meminta izin untuk melihat catatan keperawatan di ruang bersalin dan ruangan inap ibu post partum untuk mencari data-data yang kurang dan tidak dapat peneliti temukan di catatan rekam medis.

Selain keterbatasan waktu dan kelengkapan data, peneliti juga dibingungkan dengan tidak adanya standar operasional prosedur (SOP) untuk tindakan induksi persalinan di RSU muhammadiyah Sumatera Utara, sehingga metode induksi yang digunakan oleh dokter-dokter Obgyn di rumah sakit tersebut bervariasi dan berbeda-beda.


(65)

   

D. Implikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan sarana untuk memberikan gambaran bagi RSU Muhammadiyah Sumatera Utara pada khususnya dan rumah sakit lain pada umumnya tentang penetalaksanaan induksi persalinan bagi ibu hamil yang terindikasi. Selain itu juga di dalam penelitian ini telah tergambar bagimana metode induksi dan dosis misoprostol dan oksitosin yang merupakan beberapa preparat farmakologi untuk tindakan induksi persalinan. Bagi penelitian yang akan meneliti tentang induksi persalinan, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam mendukung penelitiannya.


(66)

   

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian tentang gambaran induksi persalinan dan out come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan tabel 5.2 hasil penelitian dari 67 ibu hamil yang dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013, mayoritas dilakukan pada ibu hamil dengan kondisi serviks yang sudah matang yaitu sebanyak 51 orang (76,1%).

2. Berdasarkan tabel 5.3 hasil penelitian dari 67 ibu hamil yang dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013, mayoritas metode induksi yang digunakan yaitu drip oksitosin, baik pada ibu hamil dengan kondisi serviks yang sudah matang yakni sebanyak 50 orang (74,6%), maupun pada ibu hamil dengan kondisi serviks yang belum matang yakni sebanyak 12 orang (17,9%). 3. Berdasarkan tabel 5.4 hasil penelitian dari 12 orang (17,9%) ibu hamil dengan kondisi

serviks yang belum matang yang diinduksi dengan drip oksitosin, mayoritas dosis awal yang digunakan yakni 2.5 IU sebanyak 9 orang (75%), dengan rata-rata lama induksi 3,4 jam, dan yang mencapai ke persalinan pervaginam sebanyak 2 orang (25 %). Dan 8 orang (66,7%) lainnya dilanjutkan dengan pemberian dosis ulangan drip oksitosin dengan dosis oksitosin 2.5 IU dan 10 IU, dengan rata-rata lama induksi 6,2-6,7 jam yang mencapai ke persalinan yaitu sebanyak 5 orang


(67)

   

4 orang (50%). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan dosis yang rendah yang diberikan pada ibu dengan kondisi serviks yang belum matang maka akan semakin kecil kemungkinan keberhasilan kepersalinan pervaginam. 4. Berdasarkan tabel 5.5 hasil penelitian dari 50 orang ibu hamil dengan kondisi

serviks yang sudah matang, mayoritas dosis awal yang diberikan yakni 2.5 IU sebanyak 31 orang (62%), dengan rata-rata lama induksinya 3,2 jam, dan dari 50 orang yang diberikan dosis awal tersebut yang mencapai ke persalinan yaitu sebanyak 30 orang (60%), dengan mayoritas metode persalinannya yaitu partus pervaginam sebanyak 25 orang (50%). Dan 20 orang lainnya diberikan ulangan pertama dengan dosis 2.5 IU dan yang mencapai ke persalinan yaitu sebanyak 18 orang (90%). Dengan demikian tindakan induksi persalinan untuk ibu hamil dengan kondisi serviks yang sudah matang, akan semakin besar tingkat keberhasilan menuju ke persalinan pervaginam dari pada kondisi serviks yang belum matang, walaupun dengan menggunakan dosis awal yang rendah yakni 2.5IU.

5. Berdasarkan tabel 5.6 hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas penyebab dilakukannya tindakan sectio sesarea dari 16 ibu yang diinduksi dengan kondisi serviks yang belum matang yaitu karena tidak adanya respon terhadap induksi yang diberikan atau tidak dapat mencapai kontraksi uterus yang adekuat (3 kali dalam 10 menit), sebanyak 4 orang (66,7%). Sedangkan dari 51 ibu hamil dengan kondisi serviks yang sudah matang mayoritas penyebab dilakukannya tindakan sectio sesarea yaitu karena fetal disstres sebanyak 4 orang (57,1%).

6. Berdasarkan tabel 5.7 hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas out come pada ibu dari 16 ibu hamil dengan kondisi serviks yang belum matang setelah dilakukan tindakan induksi persalinan yaitu ibu dalam keadaan sehat yakni


(68)

   

sebanyak 13 orang (81,25%). Sedangkan dari 51 ibu hamil dengan kondisi serviks yang sudah matang, mayoritas out come pada ibu setelah dilakukan induksi persalinan yaitu ibu juga dalam keadaan sehat yakni sebanyak 43 orang (84,31%).

7. Berdasarkan tabel 5.8 hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas out come pada bayi dari 16 ibu hamil dengan kondisi serviks yang belum matang sebelum dilakukan induksi persalinan yaitu bayi dalam keadaan sehat yakni sebanyak 8 orang (50%). Sedangkan dari 51 ibu hamil dengan kondisi serviks yang sudah matang, mayoritas out come pada bayi baru lahir setelah dilakukan induksi persalinan yaitu bayi juga dalam keadaan sehat yakni sebanyak 40 orang (78,43%).

B. Saran

1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan untuk setiap rumah sakit pada umumnya dan RSU Muhammadiyah Sumatera Utara pada khususnya dapat membuat standar operasional prosedur (SOP) tentang penatalaksanaan induksi persalinan, sehingga tidak ada perbedaan prosedur untuk tiap-tiap pasien, dan setiap Dokter Obgyn di rumah sakit tersebut diwajibkan untuk taat mengikuti SOP yang telah dibuat. Selain itu juga sebelum membuat SOP diharapkan para pihak-pihak yang berwenang agar memperhatikan metode induksi dan dosis yang digunakan dalam tindakan induksi persalinan, yang mana sebaiknya disesuaikan pada kondisi dan keadaan pasien prainduksi, yakni dengan memperhatikan kondisi serviks ibu hamil.


(69)

   

2. Bagi penelitian

Untuk bidang penelitian, diharapkan bagi peneliti-peneliti berikutnya yang ingin meneliti tentang induksi persalinan agar dapat lebih detail dan lengkap menjelaskan tentang gambaran induksi persalinan dan meneliti tidak hanya satu rumah sakit tetapi dapat membandingkan beberapa rumah sakit dan menggunakan sampel yang lebih banyak.


(1)

 

 

 

43  32080  11  31  multipara  KLB 

  

  

  

  

10 IU  10 IU     4  √        sehat  sehat  44  36526  7  31  multipara  KLB 

  

  

  

  

2.5 IU  7.5 IU  1=5  6.5  √        PPH  sehat  45  38441  6  23  primipara  KPD 

  

  

  

  

2.5 IU  10 IU  1=2.5 ; 2=5  14  √        sehat  sehat  46  32846  8  28  multipara  KPD 

  

  

  

  

2.5 IU  2.5 IU     2  √        sehat  sehat  47  30102  8  25  multipara  KLB 

  

  

  

  

10 IU  10 IU     2.5  √        sehat  sehat  48  36164  10  26  multipara  oligohidramnion 

  

  

  

  

2.5 IU  2.5 IU     2  √        sehat  sehat  49  33400  10  26  primipara  oligohidramnion 

  

  

  

  

5 IU  5 IU     4     √  fetal disstres  sehat  asfiksia  50  31261  8  28  multipara  KPD 

  

  

  

  

5 IU  10 IU  1=5  7  √        sehat  sehat 

51  30373  7  28  multipara  oligohidramnion 

  

  

  

  

10 IU  10 IU     3     √  fetal disstres  sehat  asfiksia 


(2)

(3)

 

 

 


(4)

(5)

 

 

 


(6)

DATA PRIBADI

Nama

:

Sumarni

Tempat/Tanggal Lahir

: Medan, 03 Desember 1984

Agama

:

Islam

Alamat

: Jl. Marelan IX no 297 pasar I rel lingk VI T 600

Medan Marelan

RIWAYAT PENDIDIKAN

TAHUN 1990-1996

: SD Bersubsidi Tri Bakti Medan

TAHUN 1996-1999

: SMP Negeri 38 Medan

TAHUN 1999-2002

: SMU Negeri 16 Medan