8. Persentase out come pada bayi baru lahir setelah dilakukan induksi persalinan di
RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Out Come pada Bayi Baru Lahir
setelah Ibu Diinduksi Persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013
Out come pada bayi Serviks belum matang
Serviks sudah matang Frekuensi
Persentase Frekuensi
Persentase
Bayi sehat Asfiksia neonatorum
Meninggal 8
4 4
50 25
25 40
8 3
78,43 15,69
5,88
Total 16 100 51 100
Hasil penelitian pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa mayoritas out come pada bayi dengan kondisi serviks ibu yang belum matang sebelum dilakukan induksi
persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013 yaitu bayi dalam keadaan sehat yakni sebanyak 8 orang 50. Sedangkan pada ibu dengan kondisi
serviks yang sudah matang, mayoritas out come pada bayi baru lahir setelah dilakukan induksi persalinan yaitu bayi juga dalam keadaan sehat yakni sebanyak 40
orang 78,43.
B. Pembahasan
1. Kondisi serviks ibu hamil sebelum diinduksi di RSU Muhammadiyah Sumatera
Utara tahun 2013. Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa dari 67 ibu hamil yang merupakan
sampel dalam penelitian ini, didapatkan 16 orang kondisi serviksnya belum matang sebelum dilakukannya induksi persalinan dan 51 orang lainnya kondisi serviksnya
sudah matang.
Universitas Sumatera Utara
Merujuk dari persyaratan sebelum dilakukannya induksi persalinan, tingkat kematangan serviks adalah merupakan faktor penentu keberhasilan dan salah satu
syarat dilakukannya tindakan induksi persalinan. Jika kondisi serviks baik sudah matang yakni skor bishop 6 atau lebih, maka persalinan biasanya berhasil diinduksi
dengan hanya menggunakan induksi. Sinclair, 2010 Cunningham, 2013. Harnani, ED, dalam penelitiannya mengatakan bahwa berdasarkan studi-studi
terkini, dimana rasionya bervariasi dari 9,5-33,7 dari semua kehamilan setiap tahun. Pada keadaan serviks yang tidak matang, jarang terjadi keberhasilan partus
pervaginam. Hal ini dikarenakan kemampuan induksi dengan metode drip oksitosin akan lebih baik dan lebih berhasil pada kondisi serviks yang sudah matang. Jika
kondisi serviks belum matang, maka sebaiknya dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu. Dengan demikian, pematangan serviks atau persiapan induksi harus
dinilai sebelum pemilihan terapi. Menilai kondisi serviks ibu hamil sebelum dilakukannya induksi persalinan
penting untuk dilakukan, hal ini bertujuan untuk menentukan tindakan yang harus dokter lakukan terlebih dahulu. Perlukah tindakan prainduksi untuk kondisi serviks
yang belum matang dan langsung menggunakan metode induksi tertentu untuk kondisi serviks yang sudah matang. Hal ini berkaitan dengan keberhasilan proses
induksi kearah pelahiran spontan pervaginam dan menghindari gagal induksi sehingga mengakibatkan peningkatan angka kejadian seksio sesarea.
2. Metode induksi yang digunakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun
2013.
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa mayoritas metode induksi yang
digunakan untuk tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera
Universitas Sumatera Utara
Utara tahun 2013 yaitu drip oksitosin pada kondisi serviks yang sudah matang yakni sebanyak 50 orang 98,04.
Kemudian diikuti drip oksitosin pada kondisi serviks yang belum matang yaitu sebanyak 12 orang 75.
Pada ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang, metode induksi yang mayoritas menggunakan drip oksitosin didukung dan sesuai dengan studi yang
dikutip berikut ini, yang mengatakan bahwa stimulasi persalinan yang direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists 1999
yaitu menggunakan sejumlah regimen oksitosin. Regimen oksitosin baik dengan dosis rendah maupun tinggi tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi
persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk memperpendek waktu persalinan. Cunningham, 2013
Akan tetapi pada ibu dengan kondisi serviks yang belum matang, penggunaan drip oksitosin sebagai metode yang mayoritas digunakan tidak sesuai dengan
Cunningham 2013 yang menyatakan bahwa perempuan yang serviksnya pada kondisi serviks yang tidak ideal unfavorable merupakan indikasi untuk dilakukan
pematangan serviks terlebih dahulu sebelum induksi pematangan serviks prainduksi. Pemberian beberapa teknik prainduksi dapat memberikan keuntungan
jika dibandingkan dengan induksi oksitosin saja. Beberapa teknik terbukti cukup berhasil untuk induksi, misalnya dengan kateter transservikal, pemberian
prostaglandin E1 misoprostol atau cytotec. Menurut asumsi peneliti hal tersebut dapat terjadi dikarenakan di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara selain menggunakan teknik pematangan serviks menggunakan preparat farmakologi yakni misoprostol, mereka juga menggunakan
teknik secara mekanis yaitu menggunakan balon kateter. Dikarenakan peneliti tidak memasukkan metode atau teknik tersebut dalam penelitian ini sebagai variable,
Universitas Sumatera Utara
sehingga di hasil tidak tampak berapa banyak ibu hamil yang menjalani teknik pematangan serviks dengan cara mekanis seperti balon kateter. Oleh karena itu untuk
ibu hamil yang serviksnya belum matang terkesan hanya menggunakan drip oksitosin saja, yang pada kenyataannya dilakukan tindakan prainduksi terlebih
dahulu yakni pematangan serviks dengan menggunakan balon kateter.
3. Dosis, rata-rata lama induksi dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang belum matang di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013. Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa mayoritas drip oksitosin diberikan
dengan dosis awal 2.5 IU yaitu sebanyak 9 orang 75. Hal ini tidak mendukung pernyataan Cunningham 2013 yang menyarankan penggunaan dosis tinggi 6
mUmenit ±5 IU untuk penggunaan dosis awal pada pemakaian drip oksitosin untuk proses induksi persalinan. Akan tetapi dari hasil diatas didukung oleh banyak
studi acak yang menemukan bahwa regimen oksitosin dosis rendah dan dosis tinggi sama-sama efektif dalam menegakkan pola persalinan yang adekuat. Begitu juga
dengan dosis ulangan, dimana pada tabel 5.4 mayoritas dosis ulangan diberikan dengan dosis 2.5 IU dan 10 IU yang masing-masing sebanyak 3 orang 25. Pada
kondisi serviks yang belum matang telah dianjurkan bahwa sebaiknya dilakukan teknik pematangan serviks terlebih dahulu, hal ini juga dimaksudkan agar proses
persalinan pervaginam dapat terjadi dengan tanpa pemberian dosis ulangan. Selain itu juga, pada tabel tampak bahwa total dosis oksitosin yang diterima
ibu hamil yang kondisi serviksnya belum matang, mayoritas dosis yang digunakan yaitu 10 IU sebanyak 3 orang 25. Hal ini sesuai dan mendukung teori yang mana
mengatakan bahwa jika kontraksi tidak adekuat dan jika keadaan janin baik serta
Universitas Sumatera Utara
persalinan telah berhenti, maka dosis infus oksitosin lebih besar dari 48 mUmenit ±10 IU tidak menimbulkan resiko yang nyata. Selain itu juga hasil tersebut diatas
mendukung hasil penelitian Wen dkk, tahun 2001 dalam penelitiannya terhadap 1151 nulipara secara berurutan menemukan bahwa kecenderungan kemajuan kepelahiran
pervaginam menurun pada atau di atas dosis oksitosin 36 mUmenit, namun pada dosis 72 mUmenit, setengah nulipara melahirkan pervaginam. Cunningham, 2013
Untuk rata-rata lama induksi yang tampak pada tabel 5.4, mayoritas yaitu 12 jam dan bervariasi sesuai dengan berapa kali ulangan yang diberikan. Hal ini sesuai
dengan teori di dalam buku Cunningham, tahun 2013 dimana ibu hamil yang mendapatkan regimen oksitosin dengan dosis 6 mUmenit ±5 IU memiliki durasi
waktu persalinan yang lebih singkat. Selain itu juga hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Muarif, YS 2002 dimana dalam penelitiannya diperoleh lama
induksi baik menggunakan misoprostol maupun oksitosin berlangsung dalam waktu 4-12 jam.
Dari tabel 5.4 juga tampak metode persalinan yang terjadi pada kondisi serviks ibu yang belum matang yang mengalami partus pervaginam yaitu sebanyak
10 orang dan mayoritas pada metode drip oksitosin sebanyak 8 orang 66,7. Hal ini sesuai dengan teori buku Cunninghan, 2013 yang mana dikatakan bahwa pada
induksi dengan menggunakan regimen oksitosin maka akan lebih sedikit induksi yang gagal. Akan tetapi hal ini tidak didukung dengan hasil penelitian dari Muarif,
YS tahun 2002, yang mendapatkan hasil bahwa pencapaian pembukaan lengkap yang lebih tinggi pada kelompok misoprostol daripada oksitosin.
Universitas Sumatera Utara
4. Dosis, rata-rata lama induksi dan metode persalinan setelah dilakukan induksi
persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013. Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa mayoritas dosis awal drip oksitosin
yang digunakan untuk tindakan induksi persalinan yaitu 2.5 IU sebanyak 31 orang 62. Dari hasil ini tampak bahwa teori dalam buku Cunningham tahun 2013, yang
mana dikatakan bahwa dosis tinggi untuk metode dengan drip oksitosin dianjurkan dan telah menunjukkan keberhasilan ke proses persalinan pervaginam. Menurut
asumsi peneliti dengan dosis tersebut dapat menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan yakni pelahiran pervaginam dikarenakan kondisi serviks ibu hamil yang
favorable sudah matang.
Sedangkan untuk dosis ulangan, pada tabel tampak bahwa mayoritas ibu hamil yang diberikan dosis ulangan yaitu dengan dosis 2.5 IU sebanyak 16 orang
32. Sebagaimana telah dibahas pada 5.4, Hasil ini mendukung teori didalam buku Cunningham yang mengatakan bahwa pada kondisi serviks yang sudah matang,
tingkat keberhasilan ke pelahiran pervaginam akan semakin tinggi hanya dengan regimen oksitosin saja.
Untuk total dosis yang diberikan yang diberikan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang, maksimal dosis yang digunakan yakni 2.5 IU sebanyak
15 orang 30. Hal ini tidak mendukung teori yang mengatakan dosis ulangan pada proses induksi sebaiknya ditingkatkan setelah pemberian dosis awal tersebut masih
belum berhasil, Dan jika kontraksi tidak adekuat dan jika keadaan janin baik serta persalinan telah berhenti, maka dosis infus oksitosin lebih besar dari 48 mUmenit
±10 IU tidak menimbulkan resiko yang nyata.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu dari tabel 5.5 juga tampak rata-rata lama induksi persalinan dengan ibu hamil yang kondisi serviksnya sudah matang mayoritas terjadi dalam waktu 12
jam. Hal ini sesuai dengan teori di dalam buku Cunningham, tahun 2013 dimana ibu hamil yang mendapatkan regimen oksitosin dengan dosis 6 mUmenit ±5 IU
memiliki durasi waktu persalinan yang lebih singkat. Selain itu juga juga hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Muarif, YS tahun 2002 dimana dalam
penelitiannya diperoleh lama induksi baik menggunakan misoprostol maupun oksitosin berlangsung dalam waktu 4-12 jam.
Selanjutnya metode persalinan yang tampak pada tabel 5.5 mayoritas metode yang terjadi yaitu partus pervaginam sebanyak 44 orang 86,3. Hal ini sesuai
dengan teori buku Cunninghan 2013 yang mana dikatakan bahwa pada induksi dengan menggunakan regimen oksitosin maka akan lebih sedikit induksi yang gagal.
Akan tetapi hal ini tidak didukung dengan hasil penelitian dari Muarif, YS tahun 2002, yang mendapatkan hasil bahwa pencapaian pembukaan lengkap yang lebih
tinggipada kelompok misoprostol daripada oksitosin.
5. Penyebab dilakukan sectio caesarea pada ibu hamil setelah dilakukan induksi di
RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013. Pada tabel 5.6 diperoleh mayoritas penyebab terjadinya seksio sesarea
terjadinya gagal induksi pada kondisi serviks belum matang yaitu dikarenakan uteri yang tidak respon yakni sebanyak 4 orang 66,7, dan pada kondisi serviks yang
sudah matang yakni fetal disstres sebanyak 4 orang 57,1. Maksudnya tidak respon disini yaitu uterus tidak mencapai kontraksi sesuai dengan yang
diharapkanadekuat 3 kali dalam 10 menit sampai batas maksimal preparat metode induksi yang digunakan. Hal ini tidak mendukung teori yang mana dengan kondisi
Universitas Sumatera Utara
serviks yang sudah matang, sangat jarang sekali induksi dapat gagal. Dan penelitian yang didapatkan dari Muarif, YS tahun 2002, hanya mendukung terjadinya DJJ yang
abnormal fetal disstres akibat proses induksi yakni berkisar 8,6-38,3, takisistol, hipertonus dan hiperstimulasi yang berkisar 0-12. Sedangkan untuk kejadian tidak
adanya respon uteri, peneliti belum menemukan satu penelitianpun yang mendukung hasil tersebut, sangat jarang sekali pada kondisi serviks yang sudah matang
pemberian regimen oksitosin dengan dosis tinggipun tidak dapat mencapai ke proses pelahiran pervaginam.
6. Out come pada ibu setelah dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara tahun 2013. Pada tabel 5.7 tampak mayoritas out come pada ibu, baik pada kondisi
serviks yang belum matang maupun sudah matang yakni dalam kondisi yang sehat yaitu sebanyak 13 orang 81,25 dan 43 orang 84,31. Dengan mengindahkan
persyaratan dan mempertimbangkan metode induksi yang tepat dan dapat digunakan maka untuk outcome pada ibu tidak akan menimbulkan masalah yang serius terutama
ke kematian. Di dalam penelitian Katz et al, mendapatkan bahwa kejadian akibat pemberian induksi yang pernah dilaporkan yakni retensio plasenta dan perdarahan
post partum, kejadian rupture uteri sekitar 4-5 kejadian yang terjadi pada kasus kecacatan rahim.
Universitas Sumatera Utara
7. Persentase out come pada bayi baru lahir setelah dilakukan induksi persalinan di
RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013. Pada tabel 5.8 tampak mayoritas out come pada bayi baru lahir, baik pada ibu
dengan kondisi serviks yang belum matang maupun sudah matang yakni dalam kondisi yang sehat yaitu sebanyak 8 orang 50 dan 40 orang 78,43. Kematian
pada bayi yang tampak pada hasil, itu disebabkan karena indikasi induksi yaitu dikarenakan intra uterin fetal death IUFD. Hal ini sesuai dengan hasil di dalam
penelitian Katz et al yang mendapatkan bahwa kejadian asfiksia pada bayi yang dilahirkan hanya berkisar 0-13,2, dan mayoritas dalam kondisi yang sehat.
C. Keterbatasan Penelitian