Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa ini mengalami dinamika yang mengagumkan. Semangat perubahan terjadi sebagai bentuk kesadaran anak bangsa untuk mencapai sebuah Negara-Bangsa yang bermartabat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan bernegara yang demokratis dan berkeadilan. Perubahan ini diperlukan agar Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai pionir demokrasi oleh bangsa-bangsa seluruh Negara di dunia. Maka bangsa Indonesia dengan semangat reformasi terus berupaya menata tata pergaulan dan penglolaan, serta penyelenggaraan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berlandaskan pada hukum. Namun demikian, untuk mencapai pada sasaran itu, bangsa Indonesia dalam rentang sejarah yang panjang atas realitas kehidupan kenegaraan selama tiga dasawarsa yang lalu membuktikan terjadinya inkonsistensi dan diviasi dari konsep dasar cita- cita seluruh bangsa Indonesia. 1 Konsep dasar dalam kehidupan kenegaraan terutama berkaitan dengan system tata kelola pemerintahan yang seharusnya berlandaskan hukum tertinggi dan menjungjung tinggi prinsip “good governance”, terutama dalam hal ini terjadinya penghianatan dalam pelaksanaan konstitusi Negara yang justru melenceng jauh dari ketetntuan amanah UUD 1945 sebagai landasan Negara. 2 1 Mokhammad Najih dan Soimin, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. I, Setara Press, Malang, h.1. 2 Ibid. Negara Indonesia sebagai Negara yang berkeadilan, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang mandiri, berahlak, cinta tanah air, berkesadaran hukum, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satunya pendukung stabilitas nasional yaitu dengan mewujudkan kepastian dan ketertiban hukum yang dimana menjunjung tinggi dharma hukum yaitu kebenaran dan keadilan, sehingga hukum di dalam masyarakat dapat menjadi pedoman yang mengayomi masyarakat seperti memberi rasa aman dan nyaman dalam masyarakat. Maka dari itu perlu penyempurnaan hukum nasional melalui pembaharuan hukum sesuai dengan zaman yang semakin berkembang pada abad ke – 21 ini. Hukum diperlukan bagi kehidupan masyarakat, minimal ada 4 empat hal yang mendasarinya yaitu: menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, terutama mengenai pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak pribadi; menjaga agar tidak terjadi konflik antar anggota masyarakat, sehingga keseimbangan hidup bermasyarakat dapat tercapai; hukum diciptakan untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi agar kondisi sosial yang tidak seimbang dapat dipulihkan kembali; menjamin terciptanya suasana aman, tertib dan damai, agar untuk mendukung tercapainya tujuan hidup bersama yaitu keadilan dan kesejahteraan. 3 3 Ibid, h. 2. Dinamika kehidupan masyarakat Negara kita yang sedang mengalami perkembangan, proses perkembangan selain mempunyai pengaruh yang baik, disisi lain dapat mengundang timbulnya suatu kejahatan sebagai yang merupakan akibat dari pembangunan yang belum merata dan kehidupan sosial kemasyarakatan yang masih terdapat kesenjangan dalam bidang perekonomian. Dari adanya kesenjangan tersebut maka akan berakibat kecemburuan sosial yang mengarah kepada suatu kejahatan Adalah suatu kenyataan bahwa antara pembangunan dan kejahatan atau pelanggaran hukum ada hubungan yang erat, oleh karena itu perencanaan pembangunan harus juga meliputi perencanaan perlindungan masyarakat terhadap pelanggaran hukum. 4 Perkembangan saat ini sering terlihat terjadi penistaan terhadap agama baik di dunia nyata maupun dunia maya yang dapat berupa perkataan, perilaku, ataupun tulisan bermuatan provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang berhubungan dengan unsur SARA yang dapat menimbulkan rasa kebencian. Dalam hal ini kasus penistaan terhadap agama yang terjadi di dunia maya telah terjadi di Bali. Dimana pada hari raya nyepi tahun baru saka 1937 baru saja dilaksanakan oleh umat hindu pada hari sabtu tanggal 21 Maret 2015 kesucian dari pelaksanaan nyepi tersebut harus dinodai oleh Nando Irwansyah M‟Ali yang membuat postingan penghinaan terhadap pelaksanaan hari raya nyepi, hanya karena dirinya tak bisa menyaksikan siaran televisi dimana pada saat itu Nando Irwansyah tidak bisa menyaksikan laga Arsenal. Kekesalannya ia curahkan di media sosial yang trend saat ini adalah Facebook yang menyatakan 4 Sudarto. 1983, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung, h. 111. “bener 2 fuck nyepi sialan se goblok ne, q jadi gak bisa nonton ARSENAL maen,, q sumpahin acara gila nyepi semoga tahun depan pasa ogoh-ogoh terbakar semua yang merayakan,, fuck you hindu ”. 5 Penistaan agama dalam hukum positif di Indonesia di atur dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP antara lain : unsur subjektif : dengan sengaja dan unsur objektif : didepan umum; mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; dan yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana kedua yang diatur dalam Pasal 156a huruf b KUHP antara lain : unsur subjektif : dengan sengaja; dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dan unsur objektif : di depan umum; mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa terdapat norma kabur dalam ketentuan Pasal 156a huruf a KUHP karena dalam pasal tersebut memiliki rumusan norma yang begitu luas dan menimbulkan multitafsir. Rumusan norma 5 http:www.dewatanews.com201503lecehkan-umat-hindu-nando-resmi.html?m=0, diakses tanggal 9 Desember 2015, pukul 13.28 WITA. dalam Pasal 156a KUHP tidak memiliki tolak ukur dan tidak memiliki parameter yang jelas bilamana seseorang dapat dikenakan pasal tersebut. Bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156a huruf a KUHP tidak memiliki kejelasan apa itu yang dimaksud permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan sehingga siapa saja yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di muka umum terlebih-lebih manakala perspektif berpikirya berbeda dengan perspektif berpikir mayoritas masyarakat di mana dia tinggal sehingga kapan saja dapat dikenai tuduhan penodaan, pencemaran dan penistaan terhadap suatu agama dengan berdasarkan pasal tersebut. Sementara di sisi yang lain, UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya, berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan sehingga Pasal 156a huruf a KUHP mengandung ketidakpastian hukum. Undang-Undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengatur mengenai penistaan agama. yang tercantum dalam Pasal 28 ayat ayat 2 menyatakan bahwa: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan SARA” Pasal tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut : unsur subjektif : dengan sengaja dan unsur objektif : menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu danatau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan SARA. Pasal 28 ayat 2 UU ITE terdapat norma kabur. Hal ini dikarenakan pasal tersebut memiliki definisi yang terlalu luas untuk mengartikan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian. Padahal harusnya yang dimaksud penyebaran kebencian itu bisa dirinci seperti hasutan tersebut bisa melalui pamflet, berita, pidato ataupun siaran yang berisi kebencian. Hate speech umumnya bersifat menyerang kelompok atau individu yang dianggap sebagai lawan. Yang terjadi sekarang, Pasal 28 ayat 2 UU ITE ini malah digunakan untuk menjerat orang yang mengaku berbeda keyakinan dan agama dengan anggapan pernyataannya itu dianggap sebagai kebencian kepada agama tertentu. Penistaan agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan DanAtau Penodaan Agama. Mengenai penistaan agama dapat dilihat pada Pasal 1 yang berbunyi : Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan- kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas dapat diketahui bahwa kedua pasal tersebut jelas terdapat norma kabur. Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah Pasal 156a huruf a KUHP dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penistaan agama. Hal inilah yang menjadi perhatian penulis untuk diangkat menjadi skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama Dalam Media Sosial Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah