PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENISTAAN AGAMA DALAM MEDIA SOSIAL BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA.

(1)

SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU

PENISTAAN AGAMA DALAM MEDIA SOSIAL

BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

ALEXANDER IMANUEL KORASSA SONBAI 1203005065

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(2)

SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU

PENISTAAN AGAMA DALAM MEDIA SOSIAL

BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

ALEXANDER IMANUEL KORASSA SONBAI 1203005065

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU

PENISTAAN AGAMA DALAM MEDIA SOSIAL

BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

OLEH

ALEXANDER IMANUEL KORASSA SONBAI 1203005065

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(4)

(5)

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 23 JUNI 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Nomor:1662/UN14.1.11.1/PP.05.02/2016 Tanggal : 06 JUNI 2016

Ketua : Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS NIP. 195309141979031002

Sekertaris : I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, SH., MH NIP. 198007142003122033

Anggota : 1. Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH., MH NIP. 196206051988031020

2. A.A Ngurah Yusa Darmadi, SH., MH NIP. 195805141986021001

3. I Made Walesa Putra, SH., M.kn NIP.198202222009121003


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama Dalam Media Sosial Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia”

Penulis menyadari bahwa aa yang tersusun dalam skripsi ini jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman penulis miliki. maka dari itu, kritik, saran, bimbingan serta petunjuk-petunjuk dari semua pihak sangat penulis harapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan dorongan motivasi dari berbagai pihak secara moril maupun materiil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gede Made Swardhana, SH., MH selaku Pembantu Dekan I 3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH selaku Pembantu Dekan II

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, SH.,MH selaku Pembantu Dekan III.

5. Dr. Ida Bagus Surya Dharmajaya SH.,MH, selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(7)

6. Bapak I Ketut Keneng SH.,MH, selaku Pembimbing Akademis yang membimbing dan menuntun penulis sejak awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Prof. I Ketut Rai Setiabudhi SH.,M.SI, selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berarti dalam penulisan skripsi ini.

8. Ibu I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti SH.,MH, selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berarti selama penulisan skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang selama ini telah mendidik dan membimbing penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Bapak/Ibu Staf Pegawai Administrasi di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11.Bapak/Ibu Pegawai Perpustakaan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam memeroleh literatur yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

12.Keluarga, Bapak, Ibu, Adik, Sodara sepupu, yang telah memberikan perhatian, motivasi, semangat serta doa yang dipanjatkan setiap hari untuk penulis selama ini.

13.Untuk sahabat, Pejuang Skripsi, Teman-teman serta Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan motivasi dan semangat selama penulisan skripsi ini.


(8)

Akhir kata, semooga karya tulis ilmiah dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya, dan bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya.

Denpasar, Mei 2016


(9)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah / Penulisan Hukum/ Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah / Penulisan Hukum / Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dan hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini penullis buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, Mei 2016 Yang menyatakan,

(Alexander Imanuel Korassa Sonbai) NIM : 1203005065


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PENETAPAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ………. xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 7

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 9

1.5.1 Tujuan Umum ... 9

1.5.2 Tujuan Khusus ... 9

1.6 Manfaat Penelitian ... 10

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 10

1.6.2 Manfaat Praktis ... 10

1.7 Landasan Teoritis... 10


(11)

1.8.1 Jenis Penelitian ... 17

1.8.2 Jenis Pendekatan... 17

1.8.3 Bahan Hukum ... 18

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 19

1.8.5 Teknik Analisis ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENISTAAN AGAMA DALAM MEDIA SOSIAL ... 21

2.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 21

2.2 Pengertian Penistaan Agama ... 24

2.3 Pengertian Media Sosial ... 26

BAB III PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENISTAAN AGAMA DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA ... 28

3.1 Pengaturan Penistaan Agama dalam Hukum Positif di Indonesia. ... 28

3.1.1 Pengaturan Penistan Agama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ... 28

3.1.2 Pengaturan Penistaan Agama di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ... 29

3.2 Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama. ... 30


(12)

3.2.2 Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 31 3.2.3 Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan

Agama dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ... 34

BAB IV HARMONISASI PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA DALAM HUKUM PIDANA DI MASA DATANG. ... 40 4.1 Kebijakan Hukum Pidana Tentang Penistaan Agama Saat

Ini ... 40 4.1.1 Fakta Dalam Masyarakat Saat Ini Tentang Penistaan

Agama ... 40 4.1.2 Masalah Yuridis Tentang Penistaan Agama dalam

Peraturan Perundang-undangan saat ini. ... 41 4.1.2.1 Masalah Yuridis Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana ... 41 4.1.2.2 Masalah Yuridis Undang-Undang Informasi

dan Transaksi Elektronik... 42 4.1.2.3 Kebijakan Hukum Pidana Tentang

Penistaan Agama ... 44 4.2 Kajian Perbandingan Hukum Pidana Tentang Penistaan

Agama di Beberapa Negara. ... 45 4.2.1 Kajian Perbandingan Tentang Penistaan Agama di

Beberapa Negara ... 45 4.2.1.1 Negara Belanda ... 45 4.2.1.2 Negara Brunei ... 47 4.3 Kebijakan Hukum Pidana Tentang Penistaan Agama di


(13)

4.3.1 Usulan-Usulan Terkait Penistaan Agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Indonesia di Masa yang Akan Datang ... 48

4.3.2 Usulan-Usulan Terkait Penistaan Agama dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). ... 50

BAB V PENUTUP ... 53

5.1 Kesimpulan ... 53

5.2 Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA


(14)

ABSTRAK

Saat ini sering terlihat terjadi pensitaan agama baik di dunia nyata atau maya yang dapat berupa perkataan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang berhubungan dengan unsur SARA yang dapat menimbulkan rasa kebencian. Pada hari raya nyepi tahun baru saka 1937 di Bali dinodai oleh Nando Irwansyah M’Ali yang membuat postingan penghinaan terhadap pelaksanaan hari raya nyepi. Kekaburan norma terjadi pada Pasal 156a huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang-Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan latar belakang tersebut maka didapatkan rumusan masalah yaitu :1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana mengenai penistaan agama dalam hukum positif di Indonesia 2) Bagaimanakah sebaliknya pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penistaan agama dalam hukum pidana di masa datang.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum dan pendekatan perbandingan. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan system kartu. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat masalah yuridis dalam Pasal 156a huruf a KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Agar pelaku yang melakukan penistaan agama dapat dipidana maka yang harus dipenuhi antara lain adanya perbuatan dan sikap batin, adanya kesalahan, dan tidak adanya alasan pemaaf. Saat ini kedua pasal tersebut tidak tepat digunakan dan perlu dilakukan pengkajian dengan metode perbandingan hukum terhadap kalimat yang kabur serta dalam media apa perbuatan itu dilakukan serta dibuatkan bab khusus tentang kehidupan beragama.


(15)

ABSTRACT

The current is often seen going blasphemy in both the real world or the virtual can be either words or insults to individuals or groups associated with the element of SARA that may give rise to a sense of resentment. On Nyepi holiday saka new year 1937 in Bali tainted by Nando Irwansyah M’Ali that makes posting insults towards the implementation of the Nyepi holiday. The haze of the norm occurs on article 156a letters a book of criminal law and article 28 paragraph (2) of the law number 11 year 2008 of the Information and electronic transactions. Then the problem formulation is obtained as follows : 1) How is the criminal liability about the blasphemy in the positive law in Indonesia 2) How should the setting of the criminal liability for the perpetrators of the blasphemy in the Penal code in the future.

This research is normative legal research approach to The Statue Approach, Analytical & Conseptual Approach and Comparative Approach. Legal materials used in the study include legal materials of primary and secondary legal materials.legal materials techniques used is with a card system. Analysis techniques of materials used is the legal description technique, evaluation technique and argumentation technique.

The results of this research indicates there is a juridical problems in the Article 156a of the penal code and Article 28 paragraph ( 2 ) act ite. To make the perpetrators of the blasphemy can be imprisoned, the criteria that should be fulfilled such as there is a actus reus and mens rea, there is a mistake, and there is no reason of forgiving. At this moment, those two articles are not appropriate to be used and it is need to do the assessment using the comparative law method to the sentences that still unclear and also in what kind of media that act committed and it need to made a specific chapter about religious life.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa ini mengalami dinamika yang mengagumkan. Semangat perubahan terjadi sebagai bentuk kesadaran anak bangsa untuk mencapai sebuah Negara-Bangsa yang bermartabat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan bernegara yang demokratis dan berkeadilan. Perubahan ini diperlukan agar Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai pionir demokrasi oleh bangsa-bangsa seluruh Negara di dunia. Maka bangsa Indonesia dengan semangat reformasi terus berupaya menata tata pergaulan dan penglolaan, serta penyelenggaraan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berlandaskan pada hukum. Namun demikian, untuk mencapai pada sasaran itu, bangsa Indonesia dalam rentang sejarah yang panjang atas realitas kehidupan kenegaraan selama tiga dasawarsa yang lalu membuktikan terjadinya inkonsistensi dan diviasi dari konsep dasar

cita-cita seluruh bangsa Indonesia.1

Konsep dasar dalam kehidupan kenegaraan terutama berkaitan dengan system tata kelola pemerintahan yang seharusnya berlandaskan hukum tertinggi

dan menjungjung tinggi prinsip “good governance”, terutama dalam hal ini terjadinya penghianatan dalam pelaksanaan konstitusi Negara yang justru

melenceng jauh dari ketetntuan amanah UUD 1945 sebagai landasan Negara.2

1

Mokhammad Najih dan Soimin, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. I, Setara Press, Malang, h.1.

2


(17)

2

Negara Indonesia sebagai Negara yang berkeadilan, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang mandiri, berahlak, cinta tanah air, berkesadaran hukum, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Salah satunya pendukung stabilitas nasional yaitu dengan mewujudkan kepastian dan ketertiban hukum yang dimana menjunjung tinggi dharma hukum yaitu kebenaran dan keadilan, sehingga hukum di dalam masyarakat dapat menjadi pedoman yang mengayomi masyarakat seperti memberi rasa aman dan nyaman dalam masyarakat. Maka dari itu perlu penyempurnaan hukum nasional melalui pembaharuan hukum sesuai dengan zaman yang semakin berkembang

pada abad ke – 21 ini.

Hukum diperlukan bagi kehidupan masyarakat, minimal ada 4 (empat)

hal yang mendasarinya yaitu: menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, terutama mengenai pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak pribadi; menjaga agar tidak terjadi konflik antar anggota masyarakat, sehingga keseimbangan hidup bermasyarakat dapat tercapai; hukum diciptakan untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi agar kondisi sosial yang tidak seimbang dapat dipulihkan kembali; menjamin terciptanya suasana aman, tertib dan damai, agar untuk mendukung tercapainya tujuan hidup bersama yaitu

keadilan dan kesejahteraan. 3


(18)

3

Dinamika kehidupan masyarakat Negara kita yang sedang mengalami perkembangan, proses perkembangan selain mempunyai pengaruh yang baik, disisi lain dapat mengundang timbulnya suatu kejahatan sebagai yang merupakan akibat dari pembangunan yang belum merata dan kehidupan sosial kemasyarakatan yang masih terdapat kesenjangan dalam bidang perekonomian. Dari adanya kesenjangan tersebut maka akan berakibat kecemburuan sosial yang mengarah kepada suatu kejahatan Adalah suatu kenyataan bahwa antara pembangunan dan kejahatan atau pelanggaran hukum ada hubungan yang erat, oleh karena itu perencanaan pembangunan harus juga meliputi perencanaan

perlindungan masyarakat terhadap pelanggaran hukum.4

Perkembangan saat ini sering terlihat terjadi penistaan terhadap agama baik di dunia nyata maupun dunia maya yang dapat berupa perkataan, perilaku, ataupun tulisan bermuatan provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang berhubungan dengan unsur SARA yang dapat menimbulkan rasa kebencian. Dalam hal ini kasus penistaan terhadap agama yang terjadi di dunia maya telah terjadi di Bali. Dimana pada hari raya nyepi tahun baru saka 1937 baru saja dilaksanakan oleh umat hindu pada hari sabtu tanggal 21 Maret 2015 kesucian dari pelaksanaan nyepi tersebut harus dinodai oleh Nando

Irwansyah M‟Ali yang membuat postingan penghinaan terhadap pelaksanaan hari

raya nyepi, hanya karena dirinya tak bisa menyaksikan siaran televisi dimana pada saat itu Nando Irwansyah tidak bisa menyaksikan laga Arsenal. Kekesalannya ia curahkan di media sosial yang trend saat ini adalah Facebook yang menyatakan

4


(19)

4

bener 2 fuck nyepi sialan se goblok ne, q jadi gak bisa nonton ARSENAL maen,, q sumpahin acara gila nyepi semoga tahun depan pasa ogoh-ogoh terbakar semua yang merayakan,, fuck you hindu”.5

Penistaan agama dalam hukum positif di Indonesia di atur dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa

pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP antara lain : unsur subjektif : dengan sengaja dan unsur objektif : didepan umum; mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; dan

yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana kedua yang diatur dalam Pasal 156a huruf b KUHP antara lain : unsur subjektif : dengan sengaja; dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dan unsur objektif : di depan umum; mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa terdapat norma kabur dalam ketentuan Pasal 156a huruf a KUHP karena dalam pasal tersebut memiliki rumusan norma yang begitu luas dan menimbulkan multitafsir. Rumusan norma

5


(20)

5

dalam Pasal 156a KUHP tidak memiliki tolak ukur dan tidak memiliki parameter yang jelas bilamana seseorang dapat dikenakan pasal tersebut. Bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 156a huruf a KUHP tidak memiliki kejelasan apa itu yang dimaksud permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan sehingga siapa saja yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di muka umum terlebih-lebih manakala perspektif berpikirya berbeda dengan perspektif berpikir mayoritas masyarakat di mana dia tinggal sehingga kapan saja dapat dikenai tuduhan penodaan, pencemaran dan penistaan terhadap suatu agama dengan berdasarkan pasal tersebut. Sementara di sisi yang lain, UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya, berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan sehingga Pasal 156a huruf a KUHP mengandung ketidakpastian hukum.

Undang-Undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengatur mengenai penistaan agama. yang tercantum dalam Pasal 28 ayat ayat (2) menyatakan bahwa:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi

yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,

agama, ras, dan antargolongan (SARA)”

Pasal tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut : unsur subjektif : dengan sengaja dan unsur objektif : menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok


(21)

6

masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 28 ayat 2 UU ITE terdapat norma kabur. Hal ini dikarenakan pasal tersebut memiliki definisi yang terlalu luas untuk mengartikan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian. Padahal harusnya yang dimaksud penyebaran kebencian itu bisa dirinci seperti hasutan tersebut bisa

melalui pamflet, berita, pidato ataupun siaran yang berisi kebencian. Hate

speech umumnya bersifat menyerang kelompok atau individu yang dianggap sebagai lawan. Yang terjadi sekarang, Pasal 28 ayat 2 UU ITE ini malah digunakan untuk menjerat orang yang mengaku berbeda keyakinan dan agama dengan anggapan pernyataannya itu dianggap sebagai kebencian kepada agama tertentu.

Penistaan agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 1/ PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Mengenai penistaan agama dapat dilihat pada Pasal 1 yang berbunyi :

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas dapat diketahui bahwa kedua pasal tersebut jelas terdapat norma kabur. Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah Pasal 156a huruf a KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penistaan agama. Hal


(22)

7

inilah yang menjadi perhatian penulis untuk diangkat menjadi skripsi dengan

judul: “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama Dalam Media Sosial

Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penistaan agama

dalam hukum positif di Indonesia ?

2. Bagaimanakah sebaliknya pengaturan pertanggungjawaban pidana

terhadap pelaku pernistaan agama dalam hukum pidana di masa datang ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk mendapatkan uraian yang lebih tepat dan baik kiranya perlu diadakan pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut. Dalam hal ini untuk menghindari kemungkinan adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Adapun yang menjadi pokok pembahasannya adalah mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama dalam Media Sosial Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran atas judul penelitian kal ini, penulis akan menampilkan satu skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan


(23)

8

Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia”. Dalam rangka menumbuhkan

semangat anti plagiat di dalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan penelititan skripsi terdahulu sebagai pendamping.

NNo Judul Penulis Rumusan Masalah

1. Pertanggungjawaban

Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Muhammad Andri Fauzan Lubis, NIM 090200055, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2013.

1. Bagaimana pengaturan

penistaan agama melalui jejaring sosial ?

2. Bagaimana

pertanggungjawaban pelaku penistaan agama melalui jejaring sosial ?

3. Bagaimana upaya yang

dapat dilakukan untuk

menanggulangi penistaan agama di jejaring sosial ?


(24)

9

2. Analisa Pidana

Hukum Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia.

Ismuhadi, NIM 1203005065, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2008.

1. Apakah faktor-faktor yang

menjadi penyebab

terjadinya Tindak pidana

Penistaan agama di

Indonesia dan bagaimana cara penanggulangannya ? 2. Bagaimanakah pengaturan

hukum terhadap tindak pidana penistaan agama di

dalam peraturan

perundang-undangan

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum.

1). Memberikan pengetahuan secara umum mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penistaan Agama dalam Media Sosial Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia

1.5.2 Tujuan Khusus.

1. Untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penistaan agama dalam hukum positif di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah sebaiknya pengaturan terhadap pelaku penistaan agama dalam hukum pidana di masa mendatang.


(25)

10

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis.

1). Pada hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

2). Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan pedoman dalam penelitian hukum yang lain yang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti.

1.6.2 Manfaat Praktis.

1). Diharapkan dapat bermanfaat sebagai pedoman bagi masyarakat atau praktisi hukum dan instansi yang terkait tentang bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penistaan agama dalam media sosial berdasarkan hukum positif di Indonesia.

2). Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat

dan praktisi hukum tentang pertanggungjawaban pidana pelaku penistaan agama dalam media sosial berdasarkan hukum positif di Indonesia.

1.7 Landasan Teoritis

1. Teori Kepastian Hukum

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system norma. Norma adalah

pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma


(26)

11

aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungannya dengan masyarakat.

Dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki mengenai teori kepastian hukum adalah :

Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aliran yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim

lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.6

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran yuridis-dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.

2. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai toereken- baarheid, criminal responsibility, atau criminal liability.

6

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, h. 158.


(27)

12

Pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak

terhadap tindakan yang dilakukannya itu.7

Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan

perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan.8 Dengan demikian

membicarakan pertanggungjawaban pidana mau tidak mau harus didahului penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab seorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil jika tiba-tiba seorang harus bertanggungjawab atas suatu

tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan perbuatan tersebut.9 Dimana dasar

dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat 4 unsur - unsurnya yaitu melakukan perbuatan, mampu bertanggungjawab, dengan kesengajaan atau kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf.

3. Teori Pemidanaan

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan

dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings

7

S.R Sianturi,1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet. IV, Alumni, Jakarta, h. 245.

8

Moejatno,2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. VIII, Rineka Cipta, Jakarta, , h. 165.

9


(28)

13

theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).10

a. Teori Pembalasan atau Teori Absolut

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya

absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of

Law, bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana

untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri

maupun bagi masyarakat. 11

b. Teori Tujuan atau Teori Relatif

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu :

1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat;

10

E. Utrecht,1958, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta, Jakarta, h. 157

11

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 11


(29)

14

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai

akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad

onstane maatschappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de

misdadiger);

5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).12

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan, bahwa:

Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuantujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan

quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).13

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

c. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :

12

Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka


(30)

15

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan

karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan

ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah

kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.14

walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat

diterima kembali dalam masyarakat.15

4 . Teori Harmonisasi Hukum

Harmonisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

upaya mencari keselarasan.16 Kata harmonisasi sendiri berasal dari kata harmoni

yang dalam bahasa Indonesia berarti pernyataan rasa, aksi, gagasan, dan minat: keselarasan, keserasian. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, harmoni dapat diartikan dengan harmonize, dalam bahasa Perancis disebut dengan Harmonie,

14

Ibid, h. 11-12.

15

Djoko Prakoso dan Nurwachid,1984, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 24.5.

16


(31)

16

dan dalam bahasa yunani disebut Harmonia. Harmonize dalam buku Jean.L diartikan sebagai

a fitting together, agreement, to exist in peace and friendship as individuals or families (1) combination of parts into an orderly or proportionate whole (2) agreement in feeling, idea, action,interest, etc”.17

Berdasarkan penjabaran diatas ditarik kesimpulan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah upaya untuk menselaraskan peraturan perundang-undangan agar menjadi proposional dan bermanfaat bagi kepentingan

bersama atau masyarakat.

Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam buku yang disusun oleh Moh. Hasan Wargakusumah dan kawan-kawan, menyatakan bahwa harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisan tertulis yang

mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis, maupun yuridis.18

Nilai filosofis adalah ketika suatu kaedah hukum sejalan dengan cita-cita hukum. Sedangkan Nilai yuridisnya adalah persyaratan formal terbentuknya peraturan perundang-undangan telah tercapai. Nilai sosiologis yaitu efektivitas atau hasil

guna peraturan perundang-undangan dalam kehidupan masyarakat.19 Dan nilai

17

Jean L. McKechnie, 1983, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridge, Second Edition, Page. 828, dikutip dari Dessy Lina Oktaviani Suendra, Thesis Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin, Universitas Udayana, 2015, h. 23.

18

Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodelogi Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, h.2

19


(32)

17

ekonominya adalah substansi peraturan perundang-undangan hendaknya dibuat dengan memperhatikan efisiensi dalam pelaksanaannya.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian.

Jenis penilitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mendekati masalah dan norma hukum yang berlaku. yang di dukung bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang

digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau pelaksanaan.20

1.8.2. Jenis Pendekatan.

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan ( The

Statute Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Anallitical & Conseptual Approach) dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach).

Pendekatan perundang-undangan adalah Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan perundang-undangan

20


(33)

18

dalam penelitian hukum normatif memiliki kegunaan baik secara praktis maupun

akademis.21

Pendekatan Analisis Konsep Hukum adalah pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, dengan mempelajari pandang-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun

suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.22

Pendekatan Perbandingan adalah Pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari beberapa sistem hukum Negara asing untuk kemudian diperbandingkan. Pendekatan perbandingan dalam penelitian hukum normative memiliki kegunaan secara teoritis dan praktis.

1.8.3 Bahan Hukum.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari Asas dan Kaidah Hukum Asas yang digunakan dalam penelitian ini teori-teori yang

digunakan dalam penelitian ini Teori Kepastian Hukum, teori

pertanggungjawaban pidana, teori pemidanaan dan teori harmonisasi hukum. Selian asas dan teori digunakan juga peraturan perundang-undangan yaitu Kitab

21


(34)

19

Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Bahan hukum sekunder yang terdiri dari : Buku - buku hukum (text

book); Jurnal; jurnal hukum; Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang

termuat dalam media massa; Kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum tersier); dan Internet dengan menyebut nama situsnya

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu dengan membaca dan mencatat literature-literatur yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dengan system kartu. Dalam System kartu ini bahan hukum yang telah dikumpulkan dicatat nama penulis, tahun terbit, judul bahan hukum, penerbit, halaman. Kartu-kartu tersebut kemudian akan di gunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

1.8.5 Teknik Analisis.

Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah setelah semua bahan hukum terkumpul baik dari bahan hukum primer dan sekunder kemudian diklasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan permasalahan. Bahan hukum tersebut dianalisa dengan teori-teori dan asas kemudian disimpulkan untuk menjawab permasalahan yang ada.

Teknik yang digunakan untuk menganalisis yaitu :


(35)

20

Teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

b. Teknik Evaluasi

Penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan perumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

c. Teknik Argumentasi

Tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alas an-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.


(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENISTAAN AGAMA DALAM MEDIA SOSIAL 2.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

toerekenbaarheid”, “criminal responbility”, “criminal liability”. Bahwa pertanggungjawaban pidana ditujukan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Dalam hal ini apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang

dilakukan tersebut.1

Menurut Roeslan Sale tentang Pertanggungjawaban Pidana:

“pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan

yang objektif yang ada pada perbuatan pidama dan secara subjektif

memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu”.2

Maksud celaan objektif adalah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang memang merupakan suatu perbuatan yang dilarang. Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum baik dalam arti melawan hukum formil maupun

1

Roeslan Saleh, 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indoensia, Jakarta, h. 250.

2 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, h. 20-23.


(37)

22

melawan hukum materiil. Sedangkan maksud celaan subjektif menunjuk kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tadi. Sekalipun perbuatan yang dilarang telah dilakukan oleh seseorang, namun jika orang tersebut tidak dapat dicela karena pada dirinya tidak terdapat kesalahan, maka pertanggungjawaban

pidana tidak mungkin ada.3

Suatu perbuatan telah dapat dikatakan melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi pidana maka harus memenuhi dua unsur yaitu adanya unsur

perbuatan pidana yang dalam bahasa asingnya actrus reus dan keadaan sifat batin

pembuat yang dalam bahasa asingnya mens rea. Kesalahan atau schuld

merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang mana terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Dalam hal kesalahan tidak terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana sebenarnya tidak terbukti, karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya kesalahan jika ia telah mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada atau tidak

terbukti diwujudkan oleh terdakwa.4

Adapun dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu :

“faktor akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya

3

Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan dan Penerapan, Cet. I, Rajawali Pers, Jakarta, h. 21.

4


(38)

23

dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak

diperbolehkan tadi”.5

Menurut Mulyatno (dalam Tri Andrisman) unsur-unsur

pertanggungjawaban pidana adalah: a. Kesalahan;

b. Kemampuan bertanggungjawab;

c. Tidak ada alasan pemaaf. 6

Berdasarkan penjelassan diatas tersebut dapat diketahui bahwa subjek pertanggungjawaban pidana yang akan mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana itu adalah pelaku tindak pidana dalam hal ini manusia atau korporasi. Maka dari itu subjeknya harus sama antara pelaku tindak pidana dan yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.

Menurut Pandangan Ey. Kanter dan SR. Sianturi, yang dianggap

sebagai subyek tindak pidana adalah Manusia (natuurlijke-persoonen), sedangkan

hewan dan badan-badan hukum (rechtspersonen) tidak dianggap sebagai subjek. 7

Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subjek tindak pidana, ini tersimpulkan antara lain dari :

a. Dalam perumusan delik yang dalam menentukan subjek tindak

pidananya terdapat istilah : barangsiapa, warga negara indonesia, nakhoda, pegawai negeri, dan lain sebagainya. Istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, ditemukan dasarnya dari pasal-pasal: 2 sampai

5

Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan dan Penerapan, Cet. I, Rajawali Pers, Jakarta, h. 30.

6

Tri Andrisman, 2009, Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung, h. 73.

7

E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, h. 253.


(39)

24

dengan 9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam pasal-pasal : 2,

3 dan 4 KUHP digunakan istilah een ieder (setiap orang).

b. Dalam ketentuan mengenai pidana sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 10 KUHP, terutama mengenai pidana denda, hanya manusialah yang memiliki akal pikiran untuk mengerti tentang nilai uang .

c. Dalam Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana

sebagaimana yang diatur dalam Pasal: 44, 45, 49 KUHP, yang

mengisyaratkan sebagai dari petindak (geestelijke vermogens).8

Dari uraian penjelasan di atas dapat diketahui bahwa objek dari pertanggungjawaban pidana sebagaimana yang telah diuraikan adalah tindak pidana yang dilakukannya, secara objektif orang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran sesuai dengan syarat yang telah ditentukan Undang-undang, maka dengan demikian asas legalitas menjadi tolak ukur dan jika dilihat secara subjektif maka orang atau pelaku tersebut telah mempunyai kapasitas untuk dapat dimintai pertanggungjawaban dimana tolak ukurnya adalah kesalahan.

2.2 Pengertian Penistaan Agama

Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar

mempergunakan kata celaan . perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan

kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa Belanda. “Nista” berarti

hina, rendah, celah, noda.9

Dalam bahasa Sansekerta istilah agama berasal dari “a” artinya kesini dan “gam” artinya berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti peraturan-peraturan

8

Muhammad Gribaldi, 2013, “Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Perikanan (Studi Putusan Nomor:237/PID.SUS/2013/PN.TK), Diligib Unila, URL : http://digilib.unila.ac.id/532/1/COVER%20DALAM.pdf, diakses tanggal 6 Maret 2016.

9


(40)

25

tradisional, ajaran, kumpulan bahan-bahan hukum. Pendeknya apa saja yang turun

temurun dan ditentukan oleh adaptaasi kebiasaan.10

Menurut M. Taib Thahir Abdul Muin, agama adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan

kebahagiaan kelak di akherat.11

Menurut Koentjaraningrat, agama merupakan suatu sistem yang terdiri atas empat komponen :

a. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius;

b. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta

bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib, serta segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan;

c. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk

mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib;

d. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan

tersebut butir b, dan yang melakukan sistem ritus dan upacara tersebut butir c. 12

Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama bahwa penistaan agama adalah:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

10

Mujahid Abdul Manaf,1996, Sejarah Agama-Agama,Cet. II, PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.1.

11

Ibid, h. 3.

12

Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta , h. 144-145


(41)

26

2.3 Pengertian Media Sosial

Dewasa ini perkembangan teknologi semakin pesat. Dengan perkembangan teknologi saat ini, banyak hal yang dapat dikerjakan dengan mudah. Salah satunya dalam hal berkomunikasi. Jika dahulu kala orang berkomunikasi dengan bertatap muka secara langsung agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik, namun sekarang orang tidak harus bertatap muka secara langsung agar dapat berkomunikasi. Sehingga komunikasi dapat berlangsung lebih mudah dengan adanya teknologi.

Menurut seorang pakar Internet asal Indonesia, Onno W. Purbo menjelaskan bahwa Internet dengan berbagai aplikasinya seperti Web, VoIP, E-mail pada dasarnya merupakan medis yang digunakan untuk mengefesiensikan

proses komunikasi.13

Menurut Lani Sidharta : walaupun secara fisik Internet adalah interkoneksi antar jaringan komputer namun secara umum Internet harus dipandang sebagai sumber daya informasi. Isi Internet adalah informasi, dapat dibayangkan sebagai suatu database atau perpustakaan multimedia yang sangat besar dan lengkap. Bahkan Internet dipandang sebagai dunia dalam bentuk lain (maya) karena hamper seluruh aspek kehidupan di dunia nyata ada di Internet

seperti bisnis, hiburan, olah raga, politik dan lain sebagainya.14

13

Laylan Umayyah, Pengertian Internet, Perpustakaan Digitallaylan, URL : http://perpustakaandigitallaylan.weebly.com/uploads/2/0/5/7/20579744/pengertian_internet.pdf, diakses tanggal 6 Maret 2016

14

Laylan Umayyah, Pengertian Internet, Perpustakaan Digitallaylan, URL : http://perpustakaandigitallaylan.weebly.com/uploads/2/0/5/7/20579744/pengertian_internet.pdf,


(42)

27

Salah satu bentuk baru dalam berkomunikasi yang ditawarkan salam dunia internet adalah media sosial. Dimana dengan menggunakan media sosial dalam internet, pengguna bisa meluaskan perkataan ataupun hal yang dia alami.

Media Sosial adalah sebuah media online, para pengguna dapat dengan mudah berpatrisipasi, berbagi, dan menciptakan isi. Media sosial meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia vitrtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat

seluruh dunia. 15

Menurut Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial:

a. Proyek Kolaborasi yaitu website yang mengijinkan user dapat mengubah, menambah, ataupun remove konten yang ada di website. Contoh media ini adalah wikipedia.

b. Blog dan Microblog, dimana user lebih bebas mengekspresikan

sesuatu di blog ini seperti „curhat‟ ataupun mengritik kebijakan

pemerintah. Contoh media ini adalah twitter.

c. Konten, yaitu web dimana para user dari pengguna website ini

saling share konten media, baik video, e-book, gambar, dan

lain-lain. Contohnya youtube.

d. Situs Jejaring Sosial, yaitu aplikasi yang mengijinkan user untuk dapat terhubung dengan cara membuat informasi pribadi, sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi

itu bisa seperti foto-foto. Contoh jejaring sosial adalah facebook.

e. Virtual Game World, yaitu dunia virtual, yang mengreplikasikan lingkungan 3D, dimana user bisa muncul dalam bentuk avatar-avatar yang diinginkan serta berinteraksi dengan orang lain selayaknya di dunia nyata. Contohnya game online.

f. Virtual Social World, yaitu dunia virtual dimana penggunanya

merasa hidup di dunia virtual, sama seperti virtual game world,

berinteraksi dengan yang lain. Namun, Virtual Social World

lebih bebas dan lebih ke arah kehidupan. Contohnya second

life.16

15

http://www.bin.go.id/awas/detil/127/4/20/07/2012/hati-hati-memanfaatkan-media-sosial, diakses tanggal 24 January 2016

16

http://www.bin.go.id/awas/detil/127/4/20/07/2012/hati-hati-memanfaatkan-media-sosial, diakses tanggal 24 January 2016


(1)

melawan hukum materiil. Sedangkan maksud celaan subjektif menunjuk kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tadi. Sekalipun perbuatan yang dilarang telah dilakukan oleh seseorang, namun jika orang tersebut tidak dapat dicela karena pada dirinya tidak terdapat kesalahan, maka pertanggungjawaban pidana tidak mungkin ada.3

Suatu perbuatan telah dapat dikatakan melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi pidana maka harus memenuhi dua unsur yaitu adanya unsur perbuatan pidana yang dalam bahasa asingnya actrus reus dan keadaan sifat batin pembuat yang dalam bahasa asingnya mens rea. Kesalahan atau schuld merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang mana terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Dalam hal kesalahan tidak terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana sebenarnya tidak terbukti, karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya kesalahan jika ia telah mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada atau tidak terbukti diwujudkan oleh terdakwa.4

Adapun dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu :

“faktor akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya

3

Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan dan Penerapan, Cet. I, Rajawali Pers, Jakarta, h. 21.

4

Andi Zainal Abidin, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, h. 72.


(2)

dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan tadi”.5

Menurut Mulyatno (dalam Tri Andrisman) unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah:

a. Kesalahan;

b. Kemampuan bertanggungjawab; c. Tidak ada alasan pemaaf. 6

Berdasarkan penjelassan diatas tersebut dapat diketahui bahwa subjek pertanggungjawaban pidana yang akan mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana itu adalah pelaku tindak pidana dalam hal ini manusia atau korporasi. Maka dari itu subjeknya harus sama antara pelaku tindak pidana dan yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.

Menurut Pandangan Ey. Kanter dan SR. Sianturi, yang dianggap sebagai subyek tindak pidana adalah Manusia (natuurlijke-persoonen), sedangkan hewan dan badan-badan hukum (rechtspersonen) tidak dianggap sebagai subjek. 7 Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subjek tindak pidana, ini tersimpulkan antara lain dari :

a. Dalam perumusan delik yang dalam menentukan subjek tindak pidananya terdapat istilah : barangsiapa, warga negara indonesia, nakhoda, pegawai negeri, dan lain sebagainya. Istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, ditemukan dasarnya dari pasal-pasal: 2 sampai

5

Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan dan Penerapan, Cet. I, Rajawali Pers, Jakarta, h. 30.

6

Tri Andrisman, 2009, Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung, h. 73.

7

E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, h. 253.


(3)

dengan 9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam pasal-pasal : 2, 3 dan 4 KUHP digunakan istilah een ieder (setiap orang).

b. Dalam ketentuan mengenai pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, terutama mengenai pidana denda, hanya manusialah yang memiliki akal pikiran untuk mengerti tentang nilai uang .

c. Dalam Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal: 44, 45, 49 KUHP, yang mengisyaratkan sebagai dari petindak (geestelijke vermogens).8

Dari uraian penjelasan di atas dapat diketahui bahwa objek dari pertanggungjawaban pidana sebagaimana yang telah diuraikan adalah tindak pidana yang dilakukannya, secara objektif orang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran sesuai dengan syarat yang telah ditentukan Undang-undang, maka dengan demikian asas legalitas menjadi tolak ukur dan jika dilihat secara subjektif maka orang atau pelaku tersebut telah mempunyai kapasitas untuk dapat dimintai pertanggungjawaban dimana tolak ukurnya adalah kesalahan.

2.2 Pengertian Penistaan Agama

Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar mempergunakan kata celaan . perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa Belanda. “Nista” berarti hina, rendah, celah, noda.9

Dalam bahasa Sansekerta istilah agama berasal dari “a” artinya kesini dan “gam” artinya berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti peraturan-peraturan

8

Muhammad Gribaldi, 2013, “Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perikanan (Studi Putusan Nomor:237/PID.SUS/2013/PN.TK), Diligib Unila, URL : http://digilib.unila.ac.id/532/1/COVER%20DALAM.pdf, diakses tanggal 6 Maret 2016.

9

Leden Marpaung, 1997, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Cet. I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta , h. 11.


(4)

tradisional, ajaran, kumpulan bahan-bahan hukum. Pendeknya apa saja yang turun temurun dan ditentukan oleh adaptaasi kebiasaan.10

Menurut M. Taib Thahir Abdul Muin, agama adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akherat.11

Menurut Koentjaraningrat, agama merupakan suatu sistem yang terdiri atas empat komponen :

a. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius; b. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib, serta segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan;

c. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib;

d. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut butir b, dan yang melakukan sistem ritus dan upacara tersebut butir c. 12

Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama bahwa penistaan agama adalah:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

10

Mujahid Abdul Manaf,1996, Sejarah Agama-Agama,Cet. II, PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.1.

11

Ibid, h. 3.

12

Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta , h. 144-145


(5)

2.3 Pengertian Media Sosial

Dewasa ini perkembangan teknologi semakin pesat. Dengan perkembangan teknologi saat ini, banyak hal yang dapat dikerjakan dengan mudah. Salah satunya dalam hal berkomunikasi. Jika dahulu kala orang berkomunikasi dengan bertatap muka secara langsung agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik, namun sekarang orang tidak harus bertatap muka secara langsung agar dapat berkomunikasi. Sehingga komunikasi dapat berlangsung lebih mudah dengan adanya teknologi.

Menurut seorang pakar Internet asal Indonesia, Onno W. Purbo menjelaskan bahwa Internet dengan berbagai aplikasinya seperti Web, VoIP, E-mail pada dasarnya merupakan medis yang digunakan untuk mengefesiensikan proses komunikasi.13

Menurut Lani Sidharta : walaupun secara fisik Internet adalah interkoneksi antar jaringan komputer namun secara umum Internet harus dipandang sebagai sumber daya informasi. Isi Internet adalah informasi, dapat dibayangkan sebagai suatu database atau perpustakaan multimedia yang sangat besar dan lengkap. Bahkan Internet dipandang sebagai dunia dalam bentuk lain (maya) karena hamper seluruh aspek kehidupan di dunia nyata ada di Internet seperti bisnis, hiburan, olah raga, politik dan lain sebagainya.14

13

Laylan Umayyah, Pengertian Internet, Perpustakaan Digitallaylan, URL : http://perpustakaandigitallaylan.weebly.com/uploads/2/0/5/7/20579744/pengertian_internet.pdf, diakses tanggal 6 Maret 2016

14

Laylan Umayyah, Pengertian Internet, Perpustakaan Digitallaylan, URL : http://perpustakaandigitallaylan.weebly.com/uploads/2/0/5/7/20579744/pengertian_internet.pdf, diakses tanggal 6 Maret 2016


(6)

Salah satu bentuk baru dalam berkomunikasi yang ditawarkan salam dunia internet adalah media sosial. Dimana dengan menggunakan media sosial dalam internet, pengguna bisa meluaskan perkataan ataupun hal yang dia alami.

Media Sosial adalah sebuah media online, para pengguna dapat dengan mudah berpatrisipasi, berbagi, dan menciptakan isi. Media sosial meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia vitrtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat seluruh dunia. 15

Menurut Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial:

a. Proyek Kolaborasi yaitu website yang mengijinkan user dapat mengubah, menambah, ataupun remove konten yang ada di website. Contoh media ini adalah wikipedia.

b. Blog dan Microblog, dimana user lebih bebas mengekspresikan sesuatu di blog ini seperti „curhat‟ ataupun mengritik kebijakan pemerintah. Contoh media ini adalah twitter.

c. Konten, yaitu web dimana para user dari pengguna website ini

saling share konten media, baik video, e-book, gambar, dan lain-lain. Contohnya youtube.

d. Situs Jejaring Sosial, yaitu aplikasi yang mengijinkan user untuk dapat terhubung dengan cara membuat informasi pribadi, sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi itu bisa seperti foto-foto. Contoh jejaring sosial adalah facebook.

e. Virtual Game World, yaitu dunia virtual, yang mengreplikasikan

lingkungan 3D, dimana user bisa muncul dalam bentuk avatar-avatar yang diinginkan serta berinteraksi dengan orang lain selayaknya di dunia nyata. Contohnya game online.

f. Virtual Social World, yaitu dunia virtual dimana penggunanya

merasa hidup di dunia virtual, sama seperti virtual game world, berinteraksi dengan yang lain. Namun, Virtual Social World lebih bebas dan lebih ke arah kehidupan. Contohnya second life.16

15

http://www.bin.go.id/awas/detil/127/4/20/07/2012/hati-hati-memanfaatkan-media-sosial, diakses tanggal 24 January 2016

16

http://www.bin.go.id/awas/detil/127/4/20/07/2012/hati-hati-memanfaatkan-media-sosial, diakses tanggal 24 January 2016