Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Di pelabuhan
orang-orang yang
mempunyai kepentingan-
kepentingan seperti inipun sangat diperlukan, karena orang-orang yang hendak bepergian apabila mereka haus atau lapar maka mereka akan
memerlukan warung-warung makanan, dan apabila mereka kebetulan tidak mendapatkan karcis kapal sehingga perjalanannya harus ditunda untuk
beberapa waktu, maka mungkin mereka akan memerlukan penginapan- penginapan atau kalau mereka mau membatalkan kepergiannya sehingga
mereka harus kembali ke tempat tinggalnya maka mereka akan datang ke terminal yang ada di daerah pelabuhan untuk mencari kendaraan yang bisa
membawa mereka pulang ke daerah tempat tinggalnya. Selain itu kalau mereka yang bepergian hendak membawa buah tangan atau oleh-oleh maka
mereka akan pergi ke toko-toko yang menjual keperluan-keperluan tersebut. Biasanya daerah pelabuhan berlokasi cukup jauh dengan daerah-
daerah dari orang-orang yang memiliki keperluan tadi. Dan agar mereka tidak meninggalkan sanak saudaranya maka keluarganya itu biasanya
mereka boyong ke daerah pelabuhan dan lama-kelamaan biasanya mereka menetap di sana. Dan anggota keluarga yang mereka bawa biasanya mencari
nafkah juga di tempat itu, apakah menjadi kuli atau buruh pelabuhan, membuka warung nasi, mencari ikan, menjadi calo dan lain sebagainya.
Akhirnya lama-kelamaan daerah pelabuhan itu berubah menjadi suatu tempat tinggal sekelompok orang-orang yang memerlukan keteraturan-
keteraturan hidup. Karena mereka menempati suatu daerah, akhirnya
mereka membentuk suatu masyarakat dengan hasil budaya-budaya setempat.
Di pelabuhan Belawan, ada tiga faktor pendukung yang sangat penting dalam kecepatan arus barang, yaitu: pertama, sumber daya
manusia yang dalam hal ini Tenaga Kerja Bongkar Muat Barang TKBM atau buruh pelabuhan; kedua, peralatan atau fasilitas dan ketiga, sistim
administrasi. TKBM menjadi bagian yang ternyata tidak bisa dipisahkan dari yang namanya pelabuhan karena kinerja bongkar muat barang yang
dikerjakan oleh buruh akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran, kecepatan dan efisiensi biaya operasional perusahaan bongkar muat dan
kapal pengangkut barang itu sendiri. Dari sekian banyak buruh di pelabuhan Belawan, suku Batak yang mendominasi. Data registrasi buruh
menunjukkan bahwa 80 buruh Pelabuhan Belawan adalah suku Batak. Buruh Batak yang postur tubuh tinggi besar, wajahnya yang khas, kulitnya
sawo matang dan suaranya yang keras, sangat gampang dijumpai di Pelabuhan Belawan. Dan buruh Batak tersebut sudah lama bekerja di
Pelabuhan Belawan bahkan sudah ada yang sampai tiga generasi. Jumlah buruh di Pelabuhan Belawan didominasi oleh suku Batak
disebabkan sistim kekerabatan dalam budaya orang Batak. Kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang
berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua suku Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan
kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistim kekerabatan muncul di
tengah-tengah masyarakat karena menyangkut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup. Begitulah yang terjadi di pelabuhan Belawan,
biasanya buruh yang bekerja ke pelabuhan Belawan karena diajak oleh saudaranya yang tinggal tidak jauh dari daerah pelabuhan atau karena diajak
oleh temannya. Perkenalan antara sesama buruh yang ternyata satu suku membuat para buruh merasa pelabuhan adalah lingkungannya atau
rumpunnya karena dalam perkenalan tersebut biasanya buruh menyebut marganya bukan namanya dan peran Dalihan Na Tolu atau tungku yang tiga
dalam budaya Batak, mengikat para buruh menjadi satu keluarga. Selain faktor sistim kekerabatan, buruh di Pelabuhan Belawan
didominasi oleh orang Batak juga disebabkan oleh sifat kerja keras orang Batak. Bekerja sebagai buruh tentu membutuhkan tenaga yang kuat karena
harus memikul atau mengangkat barang dalam jumlah yang besar, belum lagi kalau mereka harus bekerja sesuai target atau waktu yang sudah
ditentukan. Namun pekerjaan itu tidak membuat para buruh Batak menyerah, dengan sifat kerja kerasnya mereka mampu melakukannya dan
mereka menyukai pekerjaan tersebut. Dan sekalipun upah mereka sedikit, yaitu antara Rp. 600.000
– Rp. 700.000 per bulannya, para buruh Batak tidak meninggalkan pekerjaan tersebut karena sistim gilir dalam kerja
membuka peluang mereka untuk melakukan usaha lain agar pendapatannya dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Etos kerja orang Batak didasari dari semangat kerja yang diadopsi dari sistim nilai budaya. Budaya yang berakar pada Dalihan Na Tolu
tersebut berproses menjadi sebuah sistim nilai kerja. Etos kerja tersebut jika ditinjau dari sisi budaya kerja berarti mengerti posisi. Ada waktunya
menjadi pimpinan hulahula, ada saatnya menjadi mitra kerja dongan sabutuha, ada saatnya menjadi pesuruh, karyawan, karier terbawah boru.
Namun sesungguhnya ketiga sistim ini tidak bisa berdiri sendiri, harus kait mengkait. Hulahula pimpinan harus mengayomi, memperhatikan boru
karyawannya. Dongan sabutuha atau rekan kerja, sesama setingkat harus saling menghargai di depan pimpinan. Boru karyawan harus menghargai
pimpinan sebagai pemilik perusahaan. Artinya ada moral kerja tertanam di filosofi Dalihan Na Tolu.
Buruh Batak yang bekerja sebagai TKBM di Pelabuhan Belawan pada umumnya memiliki masa kerja yang cukup lama bahkan sudah ada
masa kerjanya 35 tahun. Mereka dapat bertahan di pelabuhan disamping faktor etnisitas yang mayoritas suku Batak juga disebabkan oleh dukungan
fasilitas dari pemerintah berupa pelayanan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja dan pelatihan-pelatihan tentang
ketenagakerjaan serta pendirian perumahan buruh oleh pemerintah yang sudah dimulai pembangunannya.
Terkait dengan hal tersebut di atas menjadi ketertarikan penulis untuk meneliti eksistensi Buruh Bongkar Muat Barang di Pelabuhan
Belawan. Yaitu mengenai segala aktivitas atau usaha Tenaga Kerja Bongkar Muat Barang TKBM dalam hal ini buruh Batak sehingga mereka dapat
mendominasi jumlah buruh dan mampu bertahan di Pelabuhan Belawan.