PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Pada  cara  tak  langsung,  jumlah  trombosit  pada  sediaan  hapus dibandingkan  dengan  jumlah  eritrosit  kemudian  jumlah  mutlaknya  dapat
diperhitungkan dari jumlah mutlak eritrosit. Karena sukarnya dihitung, penilaian semi kuantitatif tentang jumlah
trombosit  dalam  sediaan  hapus  darah  sangat  besar  artinya  sebagai pemeriksaan  penyaring.  Pada  sediaan  hapus  darah  tepi,  selain  dapat
dilakukan  penilaian  semi  kuantitatif,  juga  dapat  diperiksa  morfologi trombosit  serta  kelainan  hematologi  lain.  Bila  sediaan  hapus  dibuat
langsung  dari  darah  tanpa  antikoagulan,  maka  trombosit  cenderung membentuk  gumpalan.  Jika  tidak  membentuk  gumpalan  berarti  terdapat
gangguan fungsi trombosit.
Dalam  keadaan  normal  jumlah  trombosit  sangat  dipengaruhi  oleh cara menghitungnya dan berkisar antara 150.000-400.000 per ul darah.
Pada  umunnya,  jika  morfologi  dan  fungsi  trombosit  normal, perdarahan  tidak  terjadi  jika  jumlah  trombosit  lebih  dari  100.000ul.  Jika
fungsi trombosit normal, pasien dengan jumlah trombosit di atas 50.000ul tidak  mengalami  perdarahan  kecuali  terjadi  trauma  atau  operasi.  Jumlah
trombosit  kurang  dari  50.000ul  digolongkan  trombositopenia  berat  dan perdarahan  spontan  akan  terjadi  jika  jumlah  trombosit  kurang  dari
20.000ul.
4. Masa Protrombin Plasma prothrombin time PT
Pemeriksaan  ini  digunakan  untuk  menguji  pembekuan  darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama. Dibandingkan dengan aPTT, PT
lebih  sensitif  untuk  mengetahui  defisiensi  faktor  yang  memerlukan  vitamin K. Hasil pemeriksaan akan sangat bervariatif dan tergantung tromboplastin
yang digunakan dengan harga normal berkisar 10 -12 detik. Apabila hal ini dipergunakan  untuk  memonitor  penderita  pengguna  warfarin,  maka
sensitivitas  tromboplastin  tersebut  harus  distandarisasi  yang  kita  kenal dengan nama International Normalized Ratio INR.
5.  Waktu  parsial  tromboplastin  teraktivasi  activated  partial tromboplastin timeaPTT
Tes  ini  mengukur jalur  intrinsik  dan jalur  bersama  F  XII, XI, IX, X, V  dan  memerlukan  contact  surface  material  seperti  kaolin.  Harga  normal
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
tergantung pada reagennya yang digunakan, antara 25 – 38 detik. Hasil tes
ini  akan  memanjang  bila  terdapat  defisiensi  faktor  intrinsik  dan  jalur bersama. Tes ini lebih sensitif untuk keberadaan antikoagulan dalam darah
seperti heparin, antikoagulan antifosfolipid.
6.  Waktu thrombin thrombin timeTT
Tes  ini  menilai  langkah  terakhir  dari  hemostasis,  yaitu  konversi fibrinogen menjadi fibrin. Harga normal antara 9
– 35 detik tergantung pada pengenceran  oleh  thrombin.  Pemanjangan  dari  TT  relihat  pada  penderita
dengan  kadar  fibrinogen  yang  rendah  atau  disfibrinogenemia  serta  kadar yang tinggi dari FDP. Sensitif untuk kelainan hati dan DIC.
LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS
PENDERITA DENGAN
PERDARAHAN
7
Evaluasi  klinik  penderita  dengan  perdarahan  dapat  dilakukan dengan  pendekatan  yang  disebut  5  step  algorithm.  Pendekatan  ini  juga
dapat  merupakan  dasar  untuk  rencana  tatalaksana,  termasuk  keputusan untuk memberikan terapi komponen darah.
Langkah pertama : apakah ada masalah dengan trombosit pasien ?
Masalah  tentang  trombosit  dapat  diketahui  secara  kasar  dalam hubungannya  dengan  penyakit  tertentu.  Penderita  dengan  kerusakan
sumsum tulang akibat anemia aplastic, keganasan hematologic, atau pada paparan  dengan  obat  terutama  kemoterapi  akan  ditemukan  dengan
trombositopenia akibat berkurangnya produksi. Trombositopenia dapat juga dijumpai pada destruksi trombosit di perifir akibat proses imunologik seperti
pada  penyakit  autoimun  dan  penyakit  limfoproliferatif.  Abnormalitas  dari fungsi  trombosit  dapat  bersifat  herediter  atau  akibat  paparan  obat-obatan.
Salah satu tanda penting dari gangguan trombosit adalah berupa petekhie. Tergantung  pada  beratnya  trombositopenia,  petekhie  dapat  terlokalisir
hanya  pada  tangan  atau  kaki  atau  bahkan  dapat  meluas  kesemua  tubuh dan organ. Gejala lainnya dapat berupa easy bruising, perdarahan mukosa,
epistaksis, menometroragia  dan  adanya  oozing  dari  pembuluh  darah kecil selama operasi.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Skrining  tes  untuk  kecurigaan  adanya  gangguan  trombosit  adalah pemeriksaan  jumlah  trombosit  dan  BT  apabila  jumlah  trombosit  dalam
batas normal.
Tendensi adanya
perdarahan pada
penderita trombositopenia  tidak  hanya  ditentukan  oleh  jumlah  trombositnya.
Meskipun  pada  orang  normal  hanya  menunjukkan  perdarahan  minimal pada kadar trombosit 10.000uL akan tetapi penderita dengan keganasan,
komplikasi  kehamilan,  sepsis  yang  sedang  berlangsung,  dapat  dijumpai perdarahan walaupun jumlah trombositnya masih sekitar 20.000uL. Hal ini
menunjukkan  adanya  kombinasi  antara  peranan  fungsi  disamping  jumlah trombosit  serta  adanya  kebutuhan  yang  meningkat  akan  trombosit  akibat
kerusakan dari sel endotel. Hal ini dapat dilihat pada kasus dengan trauma dan  pembedahan,  dimana  perdarahan  abnormal  dapat  terjadi  pada  kadar
trombosit sekitar 50.000 uL.
Secara klinik disfungsi trombosit dapat diketahui dengan BT. Tes ini kurang sensitive sehingga jarang digunakan sbagai tes skrining rutin. Pada
penderita  dengan  sepsis,  uremia  atau  mendapat  obat  yang  menghambat fusngi  trombosit  dengan  tes  ini  akan  memberikan  hasil  yang  abnormal.
Pemeriksaan  BT  pada  kasus-kasus  seperti  ini  akan  mengacaukan penilaian.  Oleh  karena  itu  pemeriksaan  BT  sebaiknya  hanya  digunakan
pada  pasien  dengan  dugaan  adanya  defek  herediter  dari  fungsi  trombosit seperti pada penyakit von Willebrand.
7, 14,15
Langkah kedua: apakah pasien mempunyai gangguan koagulasi yang herediter defisiensi faktor tunggal ?
Koagulopati  herediter  dapat  diketahui  dari  presentasi  kliniknya. Pada pasien dengan defisiensi faktor VIII dan factor IX  hemophilia A dan
B    yang  berat,  akan  muncul  dengan  riwayat  perdarahan  yang  berulang yang dialami sejak baru lahir dan selama masa anak dan remaja. Apabila
defisiensi  tidak  terlalu  berat,  pasien  baru  akan  mengalami  perdarahan apabila  mendapat  trauma  atau  operasi.  Tidak  seperti  pasien  dengan
gangguan  trombosit,  penderita  dengan  gangguan  protein  koagulasi biasanya  muncul  dengan  hemartrosis,  hematom,  perdarahan  dari
pembuluh darah besar.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Pemeriksaan  PT  dan  aPTT  merupakan  tes  skrining  yang  cukup bernilai  untuk  mendeteksi  adanya  kelainan  itu.  Sebaiknya  penilaian  ini
dilakukan  secara  berpasangan  selalu  antara  PPt  dan  aPTT.  Apabila  PT memanjang  secara  bermakna  dan  aPTT  normal,  pasien  yang
bersangkutan  mungkin  menderita  defisiensi  factor  VII.  Namun  apabila aPTT sangat memanjang dan PT normal maka terjadi gangguan pada jalur
instrinsik,  utamanya  factor  VIII  dan  IX.  Penilaian  ini  hanya  akan  berlaku benar apabila didukung oleh klinik pasien yang sesuai, pasien tidak sedang
mendapat obat antikoagulan, pasien tidak dengan penyakit liver atau yang mengalami konsumtif koagulopati DIC. Pemeriksaan PT sangat sensitive
untuk penilaian jalur bersama common pathway. Oleh karena itu pada PT yang memanjang dan aPTT normal dapat juga dijumpai pada pasien yang
mendapat  terapi  warfarin  atau  dengan  penyakit  liver.  Sebaliknya  aPTT lebih sensitif untuk mendeteksi adanya heparin dan antikoagulan patologik
yang  beredar  dalam  darah.  SEmua  kemungkinanini  harus  mendapatkan pertimbangan  sebelum  menyimpulkan  adanya  kelainan  yang  bersifat
tunggal .
7,16
Langkah ketiga: apakah pasien mempunyai kelainan faktor multiple?
Baik  warfarin maupun  penyakit  liver  akan menyebabkan gangguan factor  yang  multiple  yang  melibatkan  jalur  ekstrinsik  dan  jalur  bersama.
Pada  penyakit  liver  juga  dapat  ditemukan  gangguan  produksi  fibrinogen baik  jumlahnya  ataupun  fungsinya  .  sehingga  perlu  untuk  selalu
mengevaluasi  fungsi  liver  pada  penderita  dengan  perdarahan.  Jenis  dari perdarahannya  juga  ikut  memberi  petunjuk  penting,  dimana  perdarahan
yang sering dijumpai adalah kombinasi antara easy bruising, purpura yang luas,  perdarahan  mukosa  atau  saluran  makan.  Pada  penderita  dengan
penyakit  liver  yang  berat  tidak  jarang  muncul  dengan  perdarahan  saluran makan  atas  yang  sangat  dramatic.  Pemeriksaan  laboratorium  yang  dapat
dilakukan  disini  adalah  PT,  aPTT,  TT,  fibrinogen  assay.  Seperti  telah diutarakan,  PT  sangat  sensitive  untuk  penurunan  kadar  dari  factor-faktor
yang tergantung pada vitamin K, yaitu VII, IX, X, V, protrombin. Disini akan dijumpai  pemanjangan  dari  PT  dengan  aPTT  yang  relative  normal.  Akan
tetapi pada kasus dengan fungsi liver yang sangat jelek maka akan terjadi
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
pemanjangan  sari  PT,  aPTT,  TT.  Hal  ini  oleh  karena  adanya disfibrinogenemia dan FDP yang dapat menghambat fungsi thrombin.
7,16,17
Langkah  keempat:  Apakah  ada  anti  koagulan  yang  beredar  dalam darah?
Pemberian  antikoagulan  akan  dapat  menimbulkan  perdarahan. Pemberian  heparin  ataupun  antikoagulan  jenis  lain  sebagai  terapi
thrombosis baik vena maupun arteri sering kita jumpai terutama penderita yang  dirawat  di  ruang  intensif.  Jika  kontrolnya  kurang,  maka  akan  dapat
mengakibatkan  pemanjangan  aPTT  dan  TT.  Selain  itu  keberadaan  anti koagulan  patologik  seperti  antibody  antifosfolipd  juga  harus  diwaspadai.
Hal  ini  akan  mengakibatkan  pemanjangan  aPTT  jauh  melebihi  PT. Munculnya  inhibitor  terhadap  faktor  VIII  dan  IX  juga  dapat  menyebabkan
perdarahan  abnormal.  Adanya  antibody  antifosfolipid  maupun  inhibitor dapat  diketahui  dengan  cara  melakukan  pemeriksaan  aPTT  ulangan  dan
mencampurkan  dengan  plasma  normal,  perbandingan  1:1.  Apabila  hasil tes aPTT terkoreksi dengan baik parsial ataupun total, berarti kemungkinan
keberadaan antikoagulan dapat disingkirkan.
7,16,17
Langkah kelima: apakah pasien dengan koagulopati konsumtif?
Biasanya  muncul  pada  pasien  dengan  kondisi  DIC.  Pada  pasien dengan  koagulopati  konsumtif  biasanya  muncul  perdarahan  sistemik.
Pemeriksaan  laboratorium  yang  bisa  dilakukan  adalah  hitung  platelet,  PT, aPTT,  TT,  fibrinogen  assay,  tes  untuk  FDP,  hapusan  darah  tepi  untuk
melihat  fragmentasi  eritrosit,  d-
dimer,  AT  III  dan  αβ-antiplasmin  yang memberikan informasi tentang pembentukan klot dan fibrinolisis .
7,16,17
RINGKASAN
Pendekatan  diagnosis  dan  penatalaksanaan  penderita  dengan perdarahan  masih  merupakan  tantangan  bagi  para  klinisi.  Banyaknya
kasus  perdarahan  dengan  penyebab,  manifestasi  klinis  dan  hasil laboratorium  yang  bervariasi  menuntut  para  klinisi  untuk  mengambil
keputusan yang sistematis dan efektif dalam bekerja. Evaluasi klinis seperti pengambilan  anamnesis  dan  pemeriksaan  fisik  dengan  teliti  serta
menganalisa  data  laboratorium  yang  ada  sangat  dibutuhkan.  Gangguan hemostasis  dapat  dikelompokkan  menjadi  gangguan  yang  didapat  dan
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
diturunkan.  Berdasarkan  komponen  yang  terganggu  dapat  dikelompokkan menjadi  3  yaitu  gangguan  pada  vaskuler,  platelet  dan  faktor  koagulasi.
Algoritme ―5 langkah‖ dapat membantu klinisi untuk menentukan penyebab perdarahan.  Pemeriksaan  laboratorium  yang  dilakukan  baik  untuk
penapisan maupun pemeriksaan spesifik.
Tabel 3. Evaluasi penderita dengan perdarahan
7
Langkah Gangguan Hemostasis
Pemeriksaan Penunjang
Langkah 1 Gangguan Platelet ?
Trombositopeni atau Defek fungsi trombosit
Hitung platelet Waktu perdarahan
Langkah 2 Defisiensi Faktor
Koagulasi tunggal? Faktor VII, VIII, IX, X, V,
XI, fibrinogen PT, PTT
Langkah 3 Defisiensi Faktor
Koagulasi multiple? Defisiensi vitamin K,
penyakit hati, terapi warfarin
PT,PTT,TT Fibrinogen assay
Langkah 4 Antikoagulan di
sirkulasi? Heparin, antibody faktor
VIII atau IX, lupus antikoagulan
PTT dengan 1:1 mix TT
Langkah 5
Koagulopati konsumtif? TTP, HUS, vasculitis,
sepsis, komplikasi obstetri, trauma, penyakit
hati Penapisan DIC:
Hitung platelet PT,PTT,TT
Fibrinogen, AT III, αβ-antiplasmin, d dimer,
hapusan darah tepi
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
DAFTAR RUJUKAN
1.  Rodgers  GM,  Lehman  CM.  The  Diagnostic  approach  to  the  bleeding disorders.  In:  Pine  JW,  Paraskevas  F,  Greer  JP,  Rodgers  GM,  Arber
DA,  Glader  BG,  et  al,.  editors.  Disorders  of  Hemostasis.  13
th
ed. Baltimore: Lippincott WilliamsWilkins, 2014, p 1043-57.
2.  Disorders  of  Coagulation,  Platelets,  and  vessel  wall.  In:  Marder  VJ, William  CA,  Bennet  JS,  Schulman  S,  White  GC,  editors.  Hemostasis
and  Thrombosis.  Basic  Principles    Clinical  Practice.  6
th
ed. Philadelphia: Lippincott WilliamsWilkins, 2013, p641-7.
3.  Quiroga  T,  Mezzano  D.  Is  my  patient  a  bleeder?  A  diagnostic framework  for  mild  bleeding  disorders.  American  Society  of
Hematology. Hematology 2012, p 466-74. 4.  Isbister JP, Pittigglio DH. Gagal Hemostatik. Dalam: Kartini A, Hartawan
B,  Mander  LI,  editor.  Hematologi  Klinik.  Pendekatan  Berorientasi Masalah. Cetakan I. Jakarta: Hipokrates; 1999, p140-65.
5.  Tambunan  KL,  Marcel,  Syafrizal,  Zubairi,  Muthalib,  Harryanto. Pendekatan  Diagnosis  Klinis  Kelainan  Hemostasis.  Dalam:  Setiabudy
RD,  editor.  Hemostasis  dan  Trombosis.  Edisi  keempat.  Jakarta:  FKUI; 2009, p 16-33.
6.  Saito  H.  Normal  hemostatic  mechanism.  In:  Ratnoff  OD,  Forbes  CD, editors.  Disorders  of  Hemostasis.  3
rd
ed.  Philadelpia:W.B  Saunders Company, 1996, p 23-52.
7.  Hillman  RS,  Ault  KA.  Clinical  Approach  to  Bleeding  Disorders.  In: Hematology  Clinical  Practice.  3
rd
ed.  New  York:  McGraw-Hill  2002,  p 308-16.
8.  Triplett  DA.  Coagulation  and  Bleeding  Disorders:  Review  and  Update. Clinical Chemistry 2000: 46:8B, p 1260-1269.
9.  Williams  WJ.  Classification  and  Clinical  Manifestations  of  disorders  of hemostasis.  In:  Williams  WJ,  Beutler  E,  Erslev  AJ,  Lichtman  MA,
editors. Haematology. 7
th
ed. New York: McGraw-Hill, 2007,p.1338-70. 10. Jawarkar AV. Laboratory Approach to Bleeding Disorders. Available at
www.pathologybasics.wix.com . Access on October 2015.
11. Goodninght SH, Hathaway WE. Evaluation of Bleeding Tendency in the outpatient  Chid  and  Adukt.  In  Seils  A,  McCullough  K,  Edmonson  KG,
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
editors. Disorders of Hemostasis and Thrombosis. A Clinical Guide. 2
nd
ed. Lancaster: McGraw-Hill, 2001, p 58-69. 12. Karnath BM. Easy Bruising and Bleeding in the Adult Patient: A Sign of
Underlying Disease. Hospital Physician. Jan 2005;p 35-9. 13. Hayward CPM. Diagnosis and Management of Mild Bleeding Disorders.
Hematology 2005;p423-8. 14. Ballas M, Kraut EH. Bleeding and Bruising: A Diagnostic Work-up. Am
Fam Physician 2008:778;p 1117-24. 15. Bowie EJW, Owen CA. Clinical and laboratory diagnosis of hemorraghic
disorders. In: Ratnoff OD, Forbes CD, editors. Disorders of Hemostasis. 3
rd
ed. Philadelpia:W.B Saunders Company, 1996, p 53-78. 16. Mehta  AB,  Hoffbrand  AV.  Normal  Haemostasis.  In:  Haematology  at  a
Glance. 2
nd
ed. Oxford: Blackwell Science Ltd 2005, p68-77. 17. Hoffbrand  AV,  Petit  JE,  Moss  PAH.  Platelets,  Blood  Coagulation  and
Haemostasis.  In:  Essential  Haematology.  5
th
ed.  Oxford:  Blackwell Science Ltd, 2006, p 264-277
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
.UPDATE  REKOMENDASI  IMUNISASI  PADA DEWASA
Tuti Parwati Merati
Divisi  Ilmu Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Vaksinasi  bukanlah  hanya  untuk  bayi  dan  anak-anak.  Dengan bertambahnya usia menjadi dewasa dan usia lanjut, tidak berarti kebutuhan
untuk  imunisasi  berhenti.  Tanpa  memandang  usia,  kita  semua  perlu  daya tahan  tubuh  yang  kuat  untuk  menjaga  tubuh  dari  berbagai  penyakit  yang
serius  dan  bahkan  fatal.  Pada  orang  dewasa,  imunisasi  dapat  membantu untuk  mencegah  seseorang  terkena  penyakit  dan  menularkan  penyakit
yang  berakibat  kondisi  kesehatan  yang  buruk,  sakit-sakitan,  biaya pengobatan  membengkak  dan  tidak  dapat  menjaga  keluarga.    Mungkin
saja  vaksinasi  yang  diperoleh  saat  kanak-kanak  masih  tetap  bertahan sepanjang waktu, tapi masih ada risiko ancaman penyakit infeksi baru baik
newemerging  and  reemerging  infectious  diseases
.  Disamping  itu  dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat ini  pembuatan
vaksin  terus  berkembang  untuk  beberapa  penyakit  infeksi  yang sebelumnya belum ada vaksinnya atau ada pembaharuan dari vaksin yang
sudah ada.
Perlu  diketahui  bahwa  setiap  tahun,  the  Advisory  Committee  on Immunization  Practices
ACIP  memperbaharui    jadwal  imunisasi  dewasa yang  direkomendasikan  untuk  memastikan  bahwa  jadwal  imunisasi
sekarang  adalah    jadwal  yang  sesuai  untuk  kondisi  terbaru  saat  ini  dan dengan vaksin yang telah berlisensi. Karena itu kita perlu mengenal update
dari rekomendasi imunisasi pada dewasa.
Update rekomendasi vaksinasi pada dewasa
Semua    orang  dewasa  perlu  mendapat  vaksin  influenza  setiap tahun  dengan  vaksin  terbaru  yang  ada.  Dalam  rekomendasi  baru,
pemberian vaksin influenza direvisi untuk memberikan informasi lebih detail dalam pemilihan vaksin dan cara pemberiannya. Live attenuated influenza
vaksin LAIV di setujui untuk diberikan hanya untuk orang sehat yang tidak
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
hamil, usia 2 – 49 tahun. Untuk usia 18 – 64 tahun dapat diberikan produk
vaksin  influenza  inaktif  IIV  intra  muskuler  atau    intradermal,  termasuk vaksin rekombinan RIV3. Untuk usia 65 tahun atau lebih, dapat diberikan
dosis standar IIV, dosis tinggi IIV atau RIV3.
Setiap  orang  dewasa  seharusnya  mendapat  vaksinasi  tetanus, diphteri  dan  pertussis  Tdap  bila  sebelumnya  dia  tidak  pernah
mendapatkannya,  terutama  untuk  mencegah  pertussis.  Selanjutnya  setiap 10  tahun  perlu  mendapat  booster  vaksin  tetanus  dan  diphteri.  Disamping
itu untuk wanita hamil, vaksinasi Tdap diberikan setiap dia hamil, sebaiknya pada kehamilan 27
– 36 minggu. Vaksinasi  varicella  diberikan  dua  dosis  selama  periode  dewasa
usia  19 –  lebih  dari  65  tahun.Vaksin  lain  yang    diperlukan  pada    orang
dewasa, akan ditentukan dari beberapa faktor antara lain usia, gaya hidup, kondisi  kesehatan,  pekerjaan,  perjalanan  internasional  dan  riwayat
vaksinasi  sebelumnya  dan  indikasi  lainnya.Vaksin  tersebut  adalah  vaksin hepatitis  A,  hepatitis  B,  hemofilus  influenza  tipe  B  Hib,  meningococal,
vaksin  pneumococal,  vaksin  human  papiloma  virus  HPV  dan  vaksin herpes  zoster  VZV.  Disamping  itu  rekomendasi  juga  memberi  catatan
informasi tambahan mengenai vaksin khusus termasuk untuk wisatawan.
Untuk  vaksin  tetanus,  difteri,  dan  pertusis  aselular  Tdap  dan vaksin  tetanus,  difteri  Td    ada  catatan  dalam  rekomendasi  yang  baru.
Vaksin  Tdap    dianjurkan  khusus  untuk  orang  yang  berhubungan  dekat dengan  bayi usia kurang dari 12 bulan misalnya, orang tua, kakek nenek,
dan  petugas  perawatan  anak  dan  mereka  yang  belum  menerima  Tdap sebelumnya.    Namun,  pada  tahun  2011,  ACIP  merekomendasikan  wanita
hamil secara khusus diberikan vaksinasi Tdap dalam kehamilan usia lebih 20  minggu  kehamilan.  Orang  dewasa  lainnya  yang  berhubungan  dekat
dengan  bayi  usia  kurang  dari  12  bulan  tetap  dianjurkan  untuk  menerima dosis satu kali vaksin Tdap.
Rekomendasi  terbaru  untuk  human  papillomavirus  HPV  dan hepatitis  B  berdasarkan  rekomendasi  yang  dibuat  pada  pertemuan  ACIP
bulan  Oktober  2011.  Rekomendasi  vaksin  HPV  telah  diperbarui  untuk memberikan vaksinasi rutin dari laki-laki usia 11-12 tahun, dan  untuk laki-
laki  usia    13-21  tahun.  Vaksin  HPV  juga  dianjurkan  untuk  pria  yang sebelumnya
tidak divaksinasi.
usia 22-26
tahun yang
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
immunocompromised ,  atau  yang  dites  positif  human  immunodeficiency
virus HIV, atau yang berhubungan seks dengan pria LSL. Sebelumnya, rekomendasi hanya untuk perempuan usia  19
– 26 . Vaksin herpes zoster yang  telah  disetujui  oleh  Food  and  Drugs  Administration  FDA    dipakai
sejak  2006  dan      direkomendasikan    untuk  diberikan  pada  usia  60  tahun atau lebih.
Rekomendasi vaksin hepatitis B untuk dewasa  usia kurang dari 60 tahun  yang  menderita  diabetes,  diberikan  segera  setelah  didiagnosis
diabetes.    Untuk  orang  dewasa  dengan  diabetes  yang  berusia  60  tahun atau  lebih  vaksinasi  hepatitis  B  dianjurkan  berdasarkan  kebutuhan
kemungkinan  pasien  dalam  pemantauan  glukosa  darah,  kemungkinan tertular  hepatitis  B,  dan  kemungkinan  respon  kekebalan  terhadap
vaksinasi.
Catatan    untuk  vaksin    campak,  gondok,  rubella  MMR disederhanakan  untuk  fokus  hanya  pada  penggunaan  rutin  vaksin  pada
orang  dewasa,  informasi  tentang  penggunaan  vaksin  untuk  pengendalian wabah  telah  dihapus.  Informasi  tambahan  diberikan  tentang  penggunaan
vaksin  konjugasi  quadrivalent  meningokokus  MCV4  dan  vaksin polisakarida  meningokokus  MPSV4  untuk  usia  tertentu  dan  kelompok
risiko,  tentang  vaksin  varicella,  dan  vaksin  pneumokokus  polisakarida PPSV.
Referensi
1.  CDC: 247 Saving lives, Protecting people. www.cdc.govvaccines
2.  Recommended  Adult  Immunization  Schedule —  United  States,  2015
http:www.cdc.govmmwrpreviewmmwrhtmlmm6104a9.htm 3.  Adults
schedule vaccination
di http:www.cdc.govvaccinesrecsschedulesadult-schedule.htm
4.  Pernyataan ACIP
untuk vaksin
tertentu di
http:www.cdc.govvaccinespubsacip-list.htm
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Gambar  1.  Recommended  Adult  Immunization  Schedule —  United  States,
2015 Sumber: http:www.cdc.govmmwrpreviewmmwrhtmlmm6104a9.htm
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Gambar  2.  Recommended  Adult  Immunization  Schedule —  United  States,
2015 Sumber: http:www.cdc.govmmwrpreviewmmwrhtmlmm6104a9.htm
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Prinsip Terapi Obat Kombinasi Pada Hipertensi
I Gde Raka Widiana
Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
– RSUP Sanglah Denpasar
Abstrak
Enam  studi  klinik  terkendali  besar  menunjukkan  bahwa  diperlukan dua  atau  lebih  obat  anti  hipertensi  untuk  mencapai  taget  tekanan  darah
tang  diinginkan.  JNC-8  menganjurkan  bahwa  obat  kombinasi  yang diresepkan  terpisah  atau  kombinasi  tetap  dapat  diberikan  bila  TD  awal
diatas 2010 mmHg  tekanan darah target. Hindari kombinasi ACE-inhibitor dengan  ARB.  Terapi  kombinasi  dengan  obat  pil  tunggal  dapat
meningkatkan ketaatan pasien terhadap terapi jangka panjang dan seumur hidup.  Keberhasilan  kendali  tekanan  darah  sangat  tergantung  ketaatan
pasien  terhadap  pengobatan.  Faktor  yang  meningkatkan  ketaatan  terapi adalah  efek  samping.  Terapi  kombinasi  ini  selain  dapat  menurunkan
tekanan darah secara lebih efektif, jangka panjang melindungi organ target dengan lebih baik.
Strategi Terapi Hipertensi
Pada  enam  studi  uji  klinik  acak  terkendali  dilaporkan    dua  atau  lebih obat  diperlukan  untuk  mencapai  TD  target  yang  perlu  dicapai.  Pada  studi
Hypertension  Optimal  Treatment  HOT  study,  misalnya  sebanyak  68 subyek  penelitian  memerlukan  lebih  dari  satu  obat,    41  subyek
mendapatkan  felodipine  plus  satu  ACE  inhibitor,  dan  28  mendapatkan felodipine  plus  satu  beta-blocker.  Pada  studi  UKPDS,  29  subyek
memerlukan 3 obat atau lebih untuk mencapai TD 15085 mmHg 9 tahun setelah randomisasi
1
.
JNC-7  menganjurkan  modifikasi  gaya  hidup  sebagai  intervensi  awal sebelum  memberikan  terapi  obat  antihipertensi  berdasarkan  derajad
hipertensi  dan  adanya  compelling  indication.  Sebagian  besar  pasien hipertensi  memerlukan  dua  obat  atau  lebih  untuk  mencapai  target  TD.
Tambahan  obat  ke  dua  harus  dipertimbangkan  pemberiannya  bila  terapi tunggal  dengan  dosis  adekuat  gagal  mencapat  target  TD.  Bila  TD  lebih
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
dari2010 mmHg di atas target, perlu dipertimbangkan  terapi awal dengan dua  obat  secara  langsung  dengan  resep  terpidah  atau  kombinasi  dosis
tetap  dalam  satu  obat.  Diuretika  tipe  tiazid  harus  diberikan  sebagai  obat antihipertensi  untuk  sebagian  besar  pasien  sebagai  terapi  tunggal  atau
kombinasi.  Pada  kondisi  risiko  tinggi  tertentu  yang  merupakan  indikasi mendesak,  maka  obat  antihipertensi    klas  lain    ACE-I,  Penyekat  beta,
CCB, ARB dapat diberikan
2
. JNC-8  rekomendasi  6  merekomendasikan,  pada  populasi  berkulit
hitam  umumnya,  termasuk  pasien  DM,  terapi  antihipertensi  awal  harus menyertakan  diuretika  tiazid,  calcium  channel  blocker  CCB,  angiotensin-
converting enzyme inhibitor ACEI, or angiotensin receptor blocker ARB. Moderate  Recommendation
–  Grade  B.  Pada  rekomendasi  7,  JNC-8 merekomendasikan,  pada  populasi  berkulit  hitam  umumnya,  termasuk
pasien  DM,  terapi  antihipertensi  awal  harus  menyertakan  diuretika  tiazid ataucalcium  channel  blocker  CCB,  angiotensin-converting  enzyme
inhibitor
ACEI,  or  angiotensin  receptor  blocker  ARB.  Rekomendasi sedang
–  Grade  B.  Untuk  populasi  berkulit  hitam:  Moderate Recommendation
–  GradeB;    untuk  pasien  berkulit  hitam  dengan  DM: rekomendasi  lemah
–  Grade  C.  Pada  rekomendasi  9,  dinyatakan  bahwa tujuan
utama terapi
hipertensi adalah
untuk mencapai
dan mempertahankan  target  TD.  Bila  target  TD  ini  tidak  dapat  dicapai  dalam
satu bulan terapi, peningkatan dosis dari terapi obat awal dan ditambahan obat ke dua dari salah satu klas yang direkomendasikan pada rekomendasi
6,  yakni  thiazide-type  diuretic,  CCB,ACEI,  or    ARB.  Klinisi  harus  selalu menilai  TD  dan  menyesuaikan  rejim  terapi  sampai  target  TD  dicapai.  Bila
target  TD  tak  dapat  dicapai  dengan  dua  obat,  tambahkan  dan  sesuaikan dosis  obat  ke  tiga  dari  daftar  obat  yang  sesuai.  ACEI  dan  ARB  jangan
dipakai  bersama-sama  pada    satu  pasien.  Apabila  target  TD  tak  dapat dicapai  karena  terdapat  kontraindikasi  terhadap  pemakaian  obat-obat  ini
atau  diperlukan  lebih  dari  3  obat  untuk  mencapai  taget  TD,  maka  obat antihipertensi  dari  klas  lain  dapat  digunakan.  Rujuk  ke  dokter  spesialis
hipertensi,  bila  taget  TD  tak  dapat  dicapai  dengan  menggunakan  strategi tersebut di atas atau untu manajemen pasien yang sulit dimana konsultasi
klinis tambahan  Expert Opinion
– Grade E
3
. Strategi pemilihan obat anti hipertensi dapat dilakukan dengan tiga pendekatan: 1 dimulai dengan satu
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
obat  sampai  dosis  maksimun,  bila  gagal  mencapai  target  tekanan  darah yang  diinginkan,    baru  ditambahkan  obat  ke  dua;  2  dimulai  dengan  satu
obat  walaupun  belum  mancapai  dosis  maksimun,  dan  belum  mencapai target  tekanan  darah  baru  ditambah  kan  obat  ke  dua,  dan  3  langsung
dimulai  dengan  dua  obat  kombinasi  yang  diberikan  secara  terpisah  atau dalam satu obat kombinasi
4
. ESHESC  2013,    menganjurkan  kombinasi  dua  obat  antihipertensi
dengan  dosis  tetapi  dalam  satu  tabel  karena  mengurangi  jumlah  tablet yang  diminum  sehingga  meningkatkan  ketaatan,  yang  ternyata  rendah
pada pasien hipertensi.
Gambar  1.  Kombinasi  antihipertensi  yang  dianjurkan  oleh  ESHESC  2013. Garisputus-putus  menunjukkan  kombinasi  yang  kurang  dianjurkan,  garis
hijau  menunjukkan  kombinasi  yang  dianjurkan,  dan  garis  merah  adalah kombinasi yang tidak dianjurkan
5
.
ASHISH  Hypertension Guidelines  2013, menganjurkan  bila  pasien hipertensi  yang  belum  diobati  memiliki  TD  sedikitnya  2010  mmHg  di  atas
TD taget perlu dipertimbangkan segera memulai terapi dengan dua obat
6
.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Pemilihan jenis
obat antihipertensi
dilakukan dengan
mempertimbangkan  compelling  indication  WHOESH,  2003  seperti melihat pada tabel 1.
Tabel 1.
Pemilihan jenis
obat antihipertensi
dilakukan dengan
mempertimbangkan compelling indication WHOESH, 2003
2
.
British Society of  Hypertension menganjurkan obat antihipertensi pertama yang dipakai pada pasien muda berumur kurang dari 55 tahun
atau  ras  bukan  hitam  adalah  obat  tunggal  ACEI  atau    angiotensin receptor blockers ARB atau beta blockers, dan pasien tua berumur  55
tahun atau lebih, atau ras hitam adalah obat tunggal CCB atau diuretika step 1. Bila dengan obat tunggal tersebut di atas gagal mencapai target
tekanan darah yangdiinginkan, maka langkah selanjutnya step 2, maka tambahan  obat  kedua  dapat  diberikan.  Pada  pasien    muda  berumur
kurang dari 55 tahun atau ras bukan hitam, obat tambahan ke dua yang
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
diberikan adalah obat pasangannya ACEI atau ARB atau beta blockers dan pada pasien tua berumur  55 tahun atau lebih, atau ras hitam adalah
obat tunggal tambahan ke dua yang diberikan adalah obat pasangannya CCB  atau  diuretika .   Pada  langkah  selanjutnya  step  3,  bila  tekanan
darah  yang  diinginkan  tidak  tercapai  maka  tambahan  obat  yang  dipilih adalah salah satu dari tiga obat  ACEI atau ARB, CCB atau diuretika .
Bila  gagal  mencapai  target  tekanan  darah,  maka  tambahan  obat  ke empat  adalah      alpha  receptor  blockers  atau  spirololacton  atau
diuretika
7,8
, lihat gambar 1. Pemilihan  kombinasi  obat  ini  sangat  tergantung  dari  indikasi
kelainan  organ  target  sesuai  dengan  compelling  indication  efek samping  yang  muncul  dan  harga  yang  dapat  dijangkau  pasien.  Efek
batuk dan penurunan fungsi ginjal secara akut dan hiperkalemia adalah efek samping yang dikhawatirkan pada ACE-I, sementara efek batuk ini
dapat  diatasi  dengan  obat  ARB  yang  bekerja  pada  sistem  sama    yakni sistem renin angiotensin aldosteron.
Diuretika  murah  harganya,  namun  demikian  efek  samping  yang perlu
diwaspadai adalah
kelainan elektrolit
hipokalemia dan
hipomagnesemia  serta  kontraksi  volume  cairan  tubuh.  Calcium    channel blockers
dapat  meyebabkan  edema  perifer  tungkai,  sakit  kepala  akibat vasokonstriksi venula, sehingga mengakibatkan ekstravasasi di kapiler.
Disisi  lain  keuntungan  obat  yang  bekerja  pada  sistem  rennin angiotensin aldosteron, seperti ACE-I dan ARB adalah proteksi penurunan
fungsi  ginjal,  karena  dapat  menurunkan  tekanan  darah  intraglomeruler. Efek ini disebabkan oleh pengaruh vasodilatasi yang lebih besar pada vas
eferen  dibandingkan  vas  aferen.  Di  sisi  lain,  kondisi  ini  diperlukan  untuk melindungi  fungsi  ginjal  pada  penyakit  ginjal  diabetik  atau  pasien  dengan
proteinuria.
Sedangkan, obat CCB sering meningkatkan proteinuria. Kondisi ini dapat  dimaknai  sebagi  meningkatnya  tekanan  intraglomeruler  yang
merugikan.  Efek  ini  disebabkan  oleh  efek  vasodilatasi  yang  lebih  besar pada  vas  afferent  dibandingkan  vas  eferen  oleh  CCB.  Efek  yang  tidak
diinginkan  pada  ginjal  khususnya  meningkatnya  tekanan  darah intraglomeruler  dapat  diimbangi  dengan  efek  penurunan  tekanan  darah
intraglomeruler  oleh  obat  ACE-I  atau  CCB.  Di  lain  pihak  efek  edema  oleh
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
CCB  dapat  diimbangi  oleh  vasodilatasi  venula  pada  sirkulasi  perifer sehinga  efek  samping  edema  dapat  ditekan.  Menurunnya  risiko  efek
samping  obat  kombinasi  ACE-I  dan  CCB  ini  selain  dapat  meningkatkan efek  penurunan  fungsi  ginjal  secara  akut  sebagai  efek  samping  jangka
pendek, namun kedua obat ini memberikan efek perlindungan ginjal jangka panjang.
Gambar  2.  Diagram  langkah-langkah  terapi  hipertensi  berdasarkan  British Society of Hypertension,2003
Ketaatan pasien terhadap terapi obat antihipertensi jangka panjang ditingkatkan  sehingga  perlindungan  organ  target  menjadi  lebih  baik.
Namun,  efek  gagal  ginjal  akut  harus  dihindari,  dan  hal  ini  dapat  ditekan dengan kombinasi dengan obat CCB.
Pada  prinsipnya  terapi  hipertensi  adalah  seumur  hidup,  sehingga factor-faktor  penentu  keberhasilan  terapi  hipertensi  adalah:  1  efek
penurunan tekanan darah yang cepat dan intensif; 2 memberikan ketaatan terapi yang lebih baik. Terapi yang lebih sederhana misalnya sekali sehari
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
dengan  obat  tunggal  dapat  meningkatkan  ketaatan  pasien,  dan  3  dapat memberikan perlindungan perlindungan organ target yang lebih baik
9-11
.
Kesimpulan
Efek  jangka  panjang  terhadap  perlindungan  organ  oleh  kontrol tekanan darah tergantung dengan ketaatan terapi antihipertensi dan target
penurunan tekanan darah. Efek samping obat sangat menentukan ketaatan terapi  obat  anthipertensi.  Keberhasilan  pengobatan  dapat  menekan
morbiditas  dan  mortalitas  pasien  hipertensi.  Terapi  kombinasi  dalam  satu pil, selain memiliki efek potensiasi terhadap penurunan tekanan darah, juga
mengimbangi efek samping satu obat oleh obat lainnya Daftar Pustaka
1.
King P,
Peacock I and
Donnelly R. The UK Prospective Diabetes Study
UKPDS: clinical and therapeutic implications for type 2 diabetes. Br J Clin  Pharmacol
.  1999  Nov;  485:  643 –648.doi:
10.1046j.1365- 2125.1999.00092.x
. 2.  Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo Jr JL, Jones DW et
al. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,  Evaluation,  and  Treatment  of  High  Blood  Pressure.  U.S.
DEPARTMENT  OF  HEALTH  AND  HUMAN  SE  RVICES.  National Institutes  of  Health  National  Heart,  Lung,  and  Blood  Institute.
NIH Publication No. 03-5233 December 2003.
3.  James  PA, Oparil  S,  Carter  BL,   Cushman  WC, Dennison-Himmelfarb C,  Handler  C, et  al.  Evidence-Based  Guideline  for  the  Management of
High  Blood  Pressure  in  AdultsReport  From  the  Panel  Members Appointed  to  the  Eighth  Joint  National  Committee  JNC  8.
JAMA.
2014;3115:507-520. doi:10.1001jama.2013.284427. 4.  Paul  A,  Suzanne  O,  Barry  L  C,  Cushman,  WC,  Cheryl  Dennison-
Himmelfarb  RN,    Handler  J,    2014  Evidence-Based  Guideline  for  the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel
Members  Appointed  to  the  Eighth  Joint  National  Committee  JNC  8. JAMA
. doi:10.1001jama.2013.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
5.  Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redán J, Zanchetti A, Böhm M, et al.  Practice  guidelines  for  the  management  of  arterial  hypertension  of
the European Society of Hypertension ESH and the European Society of  Cardiology  ESC:  ESHESC  Task  Force  for  the  Management  of
Arterial Hypertension. Journal of Hypertension 2013. 31:1281-1357.
6.  Weber M et al. The Journal of Clinical Hypertension. 2013. 1-13. 7.  Chobanian  AV,  Bakris  GL,  Black  HR,  Cushman  WC,  et  al  and  the
National  High  Blood  Pressure  Education  Program  Coordinating Committee.  The  Seventh  Report  of  the  Joint  National  Committee  on
Prevention,  Detection,  Evaluation,  and  Treatment  of  High  Blood Pressure.  The  JNC  7  Report.  JAMA. 2003;28919:2560-2571.
doi:10.1001jama.289.19.2560.
8.  Brown MJ. Better blood pressure control, how to combine drugs.J Hum Hypertens
2003;17:81-86.; 2007. 9.
Guidelines  for  the  management  of  hypertension‖  J  Hypertens. 2007;25:1105
–1187.J Hypertens. 2009;27:2121-2158. 10. Gupta  AK,  Arshad  S,  and  Poulte  NR.    Compliance,  safety,  and
effectiveness  of  fixed-dose  combinations  of  antihypertensive  agents  a meta-analysis. Hypertension 2010; 55:399-407
11. Makani  H,  Bangalore  S,  Romero  J,  Wever-Pinzon  O,  Messerli  FH. Effect  of  renin-angiotensin  system  blockade  on  calcium  channel
blocker-associated peripheral edema. Am J Med. 2011;1242:128 –135.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Problems Regarding Herpes Zoster in Elderly
RA Tuty Kuswardhani
RS PTN Universitas Udayana Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan Epidemiologi
Herpes  zoster  dapat  muncul  disepanjang  tahun  karena  tidak dipengaruhi  oleh  musim  dan  tersebar  merata  di  seluruh  dunia,  angka
kesakitan  meningkat  dengan  peningkatan  usia.  Di  negara  maju  seperti Amerika,  penyakit  ini  dilaporkan  sekitar  6  setahun,  di  Inggris  0,34
setahun  sedangkan  di Indonesia  lebih  kurang  1  setahun.  Herpes  Zoster terjadi  pada  orang  yang  pernah  menderita  varisela  sebelumnya  karena
varisela  dan  Herpes  Zoster  disebabkan  oleh  virus  yang  sama  yaitu  virus varisela  zoster.  Setelah  sembuh  dari  varisela,  virus  yang  ada  di  ganglion
sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun
1,2
Herpes zoster ditemukan pada lebih kurang 20 dewasa sehat dan lebih  kurang  50  pada  orang  dengan  imunokompromais  yang  pernah
terinfeksi  VZV.  Kebanyakan  kasus  berumur  lebih  dari  45  tahun  dan insidennya  meningkat  sesuai  dengan  pertambahan  usia.  Insiden  herpes
zoster pada individu kurang dari 50 tahun ratio insidennya 2,51000, pada individu  lebih  tua  60-79  tahun  adalah  6,51000,  sedangkan  pada  usia  di
atas  80  tahun  meningkat  menjadi  1011000.  Herpes  zoster  sangat  jarang ditemukan  pada  anak-anak  usia  di  bawah  10  tahun,  dengan  insiden  0,74
per  1000  anak.  Adanya  herpes  zoster  pada  anak   disebabkan  infeksi primer VZV selama tahun-tahun pertama kehidupan atau infeksi intra uteri
dari ibu selama kehamilan
2,3
Diperkirakan  lebih  dari  90  orang  dewasa  di  Amerika  membawa virus varisela zoster dan berisiko untuk mengalami herpes zoster. Kejadian
herpes  zoster  meningkat  seiring  penambahan  umur.  Hal  ini  diduga diakibatkan oleh penurunan respon sistem imun yang dimediasi sel seiring
penambahan  umur.  Suatu  studi  menunjukkan  bahwa  kejadian  reaktivasi
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
VVZ  pada  keseluruhan  populasi  sebesar  0,3,  sedangkan  pada  populasi berumur  lebih  dari  80  tahun  ditemukan  1.  Pada  studi  berbasis  populasi
lainnya  dilaporkan  insiden  reaktivasi  VVZ  sebesar  0,5  pada  populasi berumur lebih dari 75 tahun. Pada studi ketiga, insiden meningkat menjadi
1  pada  orang  yang  berumur  lebih  dari  65  tahun.  Onset  kedua  dari penyakit  muncul  dalam 6  pada  individu  lebih  tua,  sering  setelah  interval
lebih  dari  1  dekade.  Insiden  terjadinya  komplikasi,  seperti  postherpetic neuralgia, juga meningkat seiring peningkatan umur
1,2,3
Reaktivasi VVZ lebih umum terjadi pada seseorang dengan infeksi HIV  dibandingkan  dengan  populasi  umum.  Suatu  study  menunjukkan
reaktivasi  VZV  sebesar  3  pada  pasien  dengan  serologi  HIV  positif dibandingkan dengan pasien serologi HIV negatif sebesar 0,2. Reaktivasi
VVZ  secara  signifikan  lebih  umum  terjadi  pada  wanita  dibanding  laki-laki, khususnya  pada  lanjut  usia.  Insiden  reaktivasi  VVZ  dilaporkan  lebih  tinggi
pada  ras  Kaukasia  dibanding  non  Kaukasia.  Pada  studi  Geriatrik,  3,4 subjek  ras  Kaukasian  mengalami  herpes  Zoster  dibandingkan  dengan
1,4 pada ras Afrika-amerika
3,4
Etiologi dan Patogenesis
Herpes  Zoster  disebabkan  oleh  infeksi  virus  varisela  Zoster  dan tergolong virus berinti DNA, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk
subfamili  Alfa  herpes  viridae.  Berdasarkan  sifat  biologisnya  seperti  siklus replikasi, pejamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan
kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai  sifat  khas  menyebabkan  infeksi  primer  pada  sel  epitel  yang
menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya  setelah infeksi primer, infeksi oleh virus  herpes  alfa  biasanya  menetap  dalam  bentuk  laten  didalam  neuron
dari  ganglion.  Virus  yang  laten  ini  pada  saatnya  akan  menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai
jajaran  pejamu  yang  relatif  luas  dengan  siklus  pertumbuhan  yang  pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik
DNA  polimerase  dan  virus  spesifik  deoxypiridine  thymidine  kinase  yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi
3,4
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Gambar 1. Struktur Virus Herpes Zooster
Beberapa  subtipe  dari  herpes  zoster membutuhkan terapi  antivirus intravena.  Pengobatan  Herpes  Zoster  melibatkan  saraf  kranial  kelima,  hal
tersebut  dapat  menyebabkan  luka  pada  kornea  dan  panophthalmitis sekunder  serta  kaburnya  pengelihatan.  Tanda-tanda  karakteristik  Herpes
Zoster  adalah  vesikula  di  ujung  hidung  dan  sensasi-benda  asing  pada mata.Sindrom  Ramsay  Hunt  merupakan  Herpes  Zoster  bagian  dari
ganglion  geniculate,  yang  terletak  di  genu  saraf  ketujuh.  Hal  ini  ditandai dengan  ipsilateral  facial  palsy  mirip  dengan  Bell  palsy  dan  dapat
menyebabkan  ketulian.  Vesikel  berkembang  di  meatus  auditori  eksternal, pada
pinna dan
kadang-kadang di
langit-langit yang
lunak. Glossopharingeus  dan  zoster  vagal  mempengaruhi  jugularis  dan  petrosus
ganglia  yang  berdekatan  dan  sering  terlibat  secara  bersamaan,  meskipun keterlibatan ganglial individu juga dapat terjadi sendiri
3,4,5
Penyebarluasan  Herpes  Zoster  melibatkan  lebih  dari  3  dermatom atau  memiliki  lebih  dari  20  lesi  diluar  dermatom.  Hal  tersebut
mempengaruhi  pasien  dengan  limfoma  non-Hodgkin  atau  infeksi  HIV.  Hal tersebut  juga  bermanifestasi  sebagai  vesikel  umum,  papulovesicles,  atau
erosi.  Penyebarluasan  Herpes  Zoster  dapat  melibatkan  organ  internal, menyebabkan  hepatitis,  pneumonitis,  meningoencephalitis,  myelitis,  atau
motorik radiculopathy
5
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Pathogenesis dari PHN
Pathogenesis  dari  PHN  ditandai  dengan  kerusakan  saraf  di sumsum tulang belakang dan ganglion serta saraf perifer. Fibrosis tercatat
di  akar  ganglion,  akar  saraf  dan  saraf  perifer  pada  resolusi  tahap  akut. Kerusakan  saraf  utama  dapat  aktif  secara  langsung  dan  menjadi
hypersensitive pada rangsangan perifer
5,6
Gejala Klinis
Gejala  klinis  Herpes  Zoster  timbul  3  sampai  5  hari  setelah  gejala awal  ditandai  dengan  bercak  makulopapupar  pada  saraf  dermatom
sensoris  dan  vesikel  mengandung  VZV.  Timbul  pustul  kemudian  ulkus dengan  krusta  pada  7  sampai  10  hari  berikutnya  dan  dapat  bertahan
sampai 30 hari pada fase akut.. Pada akhir proses penyembuhan, muncul hiperpigmentasi post inflamasi sepanjang dermatom yang terkena
5,6,7
Tanda khas dari adanya destruksi neuronal akibat VZV adalah kulit yang  sangat  sensitif  pada  dermatom  yang  terkena  1.  Gejala  prodormal
biasanya  bertahan  beberapa  hari,  meskipun  beberapa  laporan  kasus mendapatkan  gejala  tersebut  dapat  bertahan  beberapa  minggu  sampai
bulan.  Pada  akhirnya  virus  akan  menginfeksi  sel  pada  dermis  dan epidermis, menghasilkan  bercak yang khas.Dalam 3 sampai 5 hari setelah
gejala  awal,  bercak  makulopapupar  akan    timbul  pada  saraf  dermatom sensoris di sebelah ganglia yang terlibat, biasanya mengenai T1 sampai L2
dan  dermatom  V1.  Vesikel-vesikel  tersebut  mengandung  VZV.    Dalam  7 sampai  10  hari  berikutnya,  bercak  tersebut  berubah  menjadi  pustul  dan
ulkus  dengan  krusta,  scabbing,  atau  keduanya,  yang  dapat  bertahan sampai  30  hari  pada  fase  akut.  Pada  akhir  proses  penyembuhan,  muncul
hiperpigmentasi post inflamasi sepanjang dermatom yang terkena
5,6
Neuralgia  post  herpetika  NPH  didefinisikan  sebagai  nyeri  herpes zoster  yang  berlangsung  selama  lebih  dari  30  hari  setelah  dimulainya
penyembuhan  kulit.    NPH  merupakan  sekuele  herpes  zoster  yang  paling sering  dan  paling  berat  pada  pasien  dengan  sistem  imun  yang  baik  NPH
mengenai 8 sampai 70 pasien dan insiden serta durasinya  meningkat sesuai usia pasien 3 Pada satu penelitian, kurang dari 1 pasien dengan
zoster  yang  berusia  kurang  dari  40  tahun  mengalami  NPH,  dibandingkan dengan 18 pasien berusia lebih dari 75 tahun. Sebagai tambahan, setiap
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
10 tahun penambahan usia berkaitan dengan peningkatan insiden kelainan ini secara proporsional
6,7
Persentase  pasien  berusia  lebih  dari  50  tahun  dengan  nyeri  pada grup plasebo mencapai 54 pada 3 bulan dan 35 pada 6 bulan setelah
bercak.  Alodinia,  atau  nyeri  yang  timbul  setelah  rangsangan  yang  tidak nyeri, merupakan komponen paling berat dari penyakit ini. Pasien dengan
alodinia  akan  nyeri  dengan  sentuhan  ringan  seperti  memakai  baju.  Tipe nyeri ini menimbulkan rasa lelah kronis, gangguan tidur, depresi, anoreksia,
penurunan berat badan dan isolasi social
6,7
Diagnosis
Nyeri merupakan  gejala yang paling umum dariHerpes Zoster dan didahului  ruam  pada kulit  dalam  hitungan  hari sampaiminggu.Kebanyakan
pasien  merasakan  sensasi  seperti  terbakar  atau  dysesthesias.Ruam initerbatas pada satu dermatom, tetapi dapat mempengaruhi dua atau tiga
dermatom  didekatnya.Beberapapasien  memiliki  vesikel  yang  tersebar beberapa tempat, jauh dari dermatom yang terjangkit dan ini tidak memiliki
arti  prognostik.Penyebaran  herpes  zoster  untuk  organ  visceral  sangat jarang  terjadi  di  individu  imunologis  utuh,  meskipun  beberapa  pasien
dengan  vaskulitis  dan  myelitistelah  dilaporkan.Komplikasi  herpes  zoster termasuk okular danmerupakan manifestasi neurologis, superinfeksi bakteri
dari
kulitdan neuralgia
postherpetic.Herpes zoster
juga dapat
mengakibatkanperadangan meningeal dan ensefalitis klinis
9
Terkadang,  VZV  reaktivasinya  mempengaruhi  motor  neuron dijaringan  dan  batang  otak  tulang  belakang  yang  mengakibatkan  motor
neutrofilropathies.Kemungkinan VZV multilokallopathy pada pasien dengan perubahan status mental atau focal neurologicselama atau setelah herpes
zoster.Mengevaluasi
pasien dengan
hemiparesis yang
diikuti denganherpes zoster oftalmikus dalam beberapa minggu atau bulan untuk
kemungkinanVZV  terkait  sistem  saraf  pusat  vasculitis.Herpes  zoster oftalmikus  adalah  komplikasi  serius  terkait  dengan  reaktivasi  VZV  di
ganglion trigeminal.Sindromdimulai dengan sakit kepala dan demam diikuti denganerupsi  vesikular  sepanjang  dermatitis  trigeminalmatome  dan  dapat
menyebabkan  conjunctivitis,  episkleritis  dan  lid  droop.Sebagian  besar pasien  akan  terus  berkembang  menjadi  keratitis.Diagnosis  yang  cepat
danpengobatan
sangat penting
untuk mencegah
hilangnya
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
penglihatan.VZV juga sebagai penyebab patogen dari nekrosis retina akut dipasien imunokompeten.Pasien biasanyamengeluh penglihatan kabur dan
sakit  disekitar  mata  dan  dapat  menunjukkaniridosiklitis  akut,  vitritis, necrotizing retinitisdan oklusif vaskulitis retina.
8,9
Pada kasus dengan presentasi tidak khas diperlukan tes diagnosis secara  laboratoris  untuk  memastikan  diagnosis.  Virus  sulit  diisolasi  dari
swab lesi,
pemeriksaan imunofluoresensi
lebih sensitif
dan terpercaya.Spesimen  dari  lesi  vesikel  awal  memberikan  nilai  diagnosis
yang  lebih  baik  dibandingkan  lesi  yang  sudah  berpustul  atau  berkrusta. Deteksi antigen VZV secara imunofluoresensi pada vesikel atau spesimen
lain  seperti  biopsi  jaringan  atau  cairan  serebrospinal  merupakan  tes terbaik  karena  cepat  dalam  hitungan  jam,  sensitif  dan  spesifik  sampai
90  .  Kultur  VZV  lebih  lambat  dan  kurang  sensitif  40,  namun  tetap merupakan standar pada diagnosis virologis.
8,9
Pewarnaan  Tzanck  dapat  mengarahkan  diagnosis  infeksi  VZV  jika ditemukan sel raksasa multinukleus dan inklusi intranuklear, namun teknik
ini tidak dapat membedakan VZV dan infeksi virus herpes simpleks.Deteksi DNA  oleh  PCR  sangat  sensitif  hampir  100  dan  spesifik  dan  sangat
berguna pada spesimen yang tidak biasa atau kasus yang tidak khas.
8
Penatalaksanaan
Pengobatan  untuk  herpes  zoster  terdiri  dari  dua  cara  yaitu,  non farmakologidan  terapi  obat.Banyak  pasien  hanya  memerlukan  dasar
intervensi  untuk  mengurangi  risiko  infeksi  dan  meminimalkan  rasa sakit.Orang  lain  mungkin  memerlukan  terapi  antiviral  oral  atau  intravena
untukmempercepat penyembuhan dan mengurangi rasa sakit.Untuk pasien dengan  infeksi  herpes  zoster  berat,  dapat  dipertimbangkan  untuk  rawat
inap  dan  terapi  dengan    parenteraluntuk  terapi  antivirus.Hal  ini  penting untuk pasien dengan okular atau visceral involment
8,9
Terapi Non Farmakologi
Beberapa  intervensi  dasar  dapat  mengurangi  risiko  infeksi  dan meringankan gejala
1,2,10
. Pasien harus dianjurkan untuk:   Menjaga agar lesi bersih sabun dan air dankering untuk mengurangi risiko
superinfeksi bakteri.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
  Terapkan kompres air, garam, larutan Burrow  danganti pelindung untuk mengurangi gejala-gejala.
  Melindungi lesi dengan steril, oklusif, ganti nonadherent.   Kenakan pakaian longgar untuk meningkatkan kenyamanan.
Terapi Farmakologi
Terapi antivirus
mempercepat penyembuhan
kulitlesi dan
mengurangi  durasi  nyeri,  mungkin  dengan  batas  tingkat  kerusakan dilakukan  pada  saraf  sensorik  oleh  replikasi  VZV  dan  dengan
memperpendek  durasipembentukan  lesi  baru.Penggunaan  krim  topikal atau salep, temasuk kortikossteroid topikal, acyclovir atau famciclovir. Tiga
obat antivirus oral yang disetujui FDA untukpengobatan herpes zoster pada pasien imunokompeten: acyclovir, valacyclovir dan  famciclovir.Valacyclovir
dan  Famciclovirdisukai  dalam  praktek  sehari  hari  karena  memiliki  cara pemberian  dosis  yang  mudah  dan  meningkatkan  farmakokinetik
dibandingkan dengan Asiklovir.Valasiklovir dan Famsiklovir terapi ini setara untuk pengobatan herpes zoster ,Valacyclovir denganbiaya efektif
10,11,12
Acyclovir
Acyclovir  serum  tiga  sampailima  kali  lipat  lebih  tinggi  efektifitasnya daripada  yang  dicapai  dengan  Acyclovir  oral.Dalam  kontrol  plasebo,
Valacyclovir  dan  Acyclovirsetara  dalam  hal  mempercepat  proses penyembuhan  kulit  pada  pasien  herpes  zoster.  Acyclovir800  mg  po  5  x
hari  selama 7-10 hari.Acyclovir efektifmengurangi durasi pelepasan virus, memperpendek
pembentukan lesi
baru, dan
mempercepat peristiwapenyembuhan kulit.Banyak studi telah membuktikan bahwa terapi
Asiklovirmengurangi frekuensi akhir inflamasi komplikasi okular dari 50  - 60  menjadi  20  -30.Sistemikterapi  antivirus  telah  digantikan  antivirus
topikalpersiapan  untuk  mengobati  komplikasi  okular  dari  herpes  zoster ophthalmicus
12,13
Valacyclovir
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Valacyclovir  paling  cepat    memperpendek  durasinyeri  zoster  dan durasi  postherpeticneuralgia  pada  orang  dewasa.Perawatan  dalam  tujuh
hari Valacyclovir 1 gr po tiddisarankan
12,13
Famciclovir
Famciclovir secara
signifikan unggul
dengan plasebo
dalammengurangi durasi pelepasan virus, membatasi durasi pembentukan lesi  baru,  mempercepat  penyembuhan  kulitdan,  khususnya  pada  pasien
yang lebih
tua dari
50 tahun,
mengurangidurasi neuralgia
postherpetik.Perawatan  dalam  tujuh  hariFamsiklovir  500  mg  po  tid disarankan,  meskipun  rejimen  lainnya  telah  terbukti  efektif  sehubungan
denganpenyembuhan kulit dan resolusi nyeri akut.Saraf kranial yang paling sering  terkenaherpes  zoster  adalah  oftalmik  dari  trigem.Pasien  dengan
herpes zoster oftalmikusharus ditangani dengan terapi antivirus bahkan jika lesi  selama  lebih  dari  72  jam.Dalam  ketiadaanterapi  antivirus  apapun,
sekitar  50  pasiendengan  kondisi  ini  akan  mengalami  komplikasi ocular
12,13
Analgesik narkotik
Ketika nyeri neuralgiaHerpes Zoster semakinparah dan pasien yang kulitnya terkena ruam relatif  memiliki rasa sakit yang parah.Nyeri ini tidak
boleh  diabaikan  dan  harus  segera  diatasi.  Upaya  sedini  mungkin  untuk melemahkan  nyeri  akut  dapat  mencegah  sakit  dan  mengurangi  risiko
postherpetic neuralgia
12,13
Edukasi dan Prevensi untuk Pasien Imunisasi
Saat  ini  vaksin  untuk  Herpes  Zoster  telah  tersedia,pasien  dengan imunokompeten  yang  berusia  60  tahun  dan  lebih  tua  harus  diberi
imunisasi. Mempersiapkan  pasien  secara  psikologis  untuk  mengelolasakit
kronis dan menyarankanmereka untuk menatalaksanai pengendalian nyeri yang adekuat
12
Simpulan
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Insiden herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Insiden  terjadinya  komplikasi,  seperti  postherpetic  neuralgia,  juga
meningkat  seiring  peningkatan  umur.  Herpes  Zoster  disebabkan  oleh infeksi virus varisela zoster dan terjadi akibat reaktivasi virus yang dorman
pada  infeksi  primer.  Diagnosis  ditegakkan  berdasarkan  klinis  adanya  lesi sesuai  dermatome  yang  disertai  nyeri  dan  didukung  oleh  pemeriksaan
penunjang  dengan  pewarnaan  tzanck,  kultur  VVZ,  ataupun  deteksi  DNA dengan  PCR.  Penatalaksanaan  herpes  zoster  dapat  dilakukan  dengan
pendekatan  farmakologis  dan  nonfarmakologis.  Saat  ini  telah  tersedia vaksin  untuk  herpes  zoster  untuk  pasienimunokompeten  yang  berusia  60
tahun atau lebih.
Daftar Pustaka 1.  Hasan  T,  Donald  L.;  Best  Practice  Guide  Vaccination  programmes  in
Older People. British Geriatrics Society. 2011. 2.  American Geriatric Society. A Pocket Guide To CommonImmunizations
For The
OlderAdult ≥  65  years.  Available  at  :
http:www.americangeriatrics. orgfilesdocuments
AGS_PocketGuide.pdf. 2015. 3.  Gnann  JW,  Whitley  RJ.  Herpes  Zoster.  N  Engl  J  Med  2012;  3475:
340-346 4.  Schmader K. Herpes Zoster in the Elderly: Issues Related to Geriatrics.
Clin Infect Dis 1999; 28: 736-739 5.  Roxas  M.  Herpes  Zoster  and  Postherpetic  Neuralgia:  Diagnostic  and
Therapiutic Consideration. Altern Med Rev 2006; 11: 102-113. 6.  Straus SE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. In: Freedberg IM,
Eisen  AZ,  Wolff  K,  et  al.,  eds.  Fitzpatrick‘s  dermatology  in  general medicine, 6th ed. New York: McGraw-Hill, 2006; 2427
–50. 7.  Cohen K, Salbu  R, Frank J, Israel I. Presentation and  Management of
Herpes  Zoster  Shingles  in  the  Geriatric  Population.  Pharmacy  and Health Outcomes. 2008; 201:38;217-27.
8.  Cohen JI. Herpes Zoster. Clinical Practice. 2013 9.  Shaikh  S,  Ta  CN.  Evaluation  and  management  of  herpes  zoster
ophthalmicus. Am Fam Physician 2002;66:1723 –1730
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
10. Greenberg  S.A.  Immunizations  for  Older  Adults.  Hartford  Institute  for Geriatric Nursing, New York University College of Nursing. Hardfordgin.
Available at : http:consultgerirn.orguploadsFiletrythistry_this_21.pdf.
2012 11. Opstelten  W,  van  Essen  G,  Schellevis  F,  et  al.  Gender  as  an
independent  risk  factor  for  herpes  zoster:  A  population-based prospective study. Ann Epidemiol 2006;16:692
–695 12. Straus SE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. In: Freedberg IM,
Eisen  AZ,  Wolff  K ,  et  al.,  eds.  Fitzpatrick‘s  dermatology  in  general
medicine, 6th ed. New York: McGraw-Hill, 2006; 2427 –50.
13. Scheinfeld  NS.  Skin  Disorders  in  Elderly  Persons:  Identifying  Viral Infections. 2007.
Lampiran Kategori Histori dan Pemeriksaan Fisik untuk PenyakitHerpes Zoster
13
Kategori Histori Kategori
Pemeriksaan Fisik
Catatan
Histori varicella sebelumnya
Herpes  zoster  tidak  dapat berkembang  tanpa  infeksi
VZV  primer  sebelumnya. Proporsi  orang  dewasa
Amerika  yang  seropositif untuk VZV mencapai
100.  Namun,  beberapa orang  dewasa  seropositif
tidak
akan dapat
memberikan riwayat
varicella sebelumnya
Histori Gejala constitutional
Pasien  mengeluh  sakit kepala,
fotofobia, dan
malaise, tapi demam yang signifikan jarang terjadi
Histori Nyeri
Pasien  mengeluh  gatal atau  kesemutan  ringan
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015 hingga
parah yang
mendahului perkembangan  lesi  kulit
dengan  1-5  hari  atau kadang-kadang minggu
Pemeriksaan Fisik Tanda vital: suhu
Pasien  dengan  herpes zoster  menderita  demam
ringan,  peningkatan  suhu yang
signifikan biasa
terjadi. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan  kulit:  bintil merah pada kulit
Perubahan  kulit  dimulai dengan  eritematosa  ruam
makulopapular diikuti dengan
munculnya vesikel
secara jelas.
Pembentukan vesikel
baru biasanya terjadi selama  3-5  hari,  diikuti
oleh  lesi  pustulation  dan scabbing
. kulit
lesi sembuh
dalam 2-4
minggu, sering
meninggalkan jaringan
parut kulit
secara permanen
serta perubahan
pigmentasi. Bintil  pada  kulit,  muncul
disertai segmen
dan dipersarafi  oleh  ganglion
sensorik tunggal.
Tumpang  tindih  lesi  ke dermatom
yang berdekatan  terjadi  di  20
dari  pasien.  Dermatom yang  paling  sering  terlibat
adalah dada, diikuti
oleh tengkorak
terutama trigeminal,
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015 lumbar, dan serviks.
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan
kulit: selulitis
Superinfeksi  bakteri  dari lesi  kulit  terkadang  dapat
terjadi Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan HEENT Sindrom
berhubungan dengan herpes zoster dari
saraf  kranial  termasuk herpes  zoster  oftalmikus
divisi  pertama  dari  saraf trigeminal  dan  Sindrom
Ramsay  Hunt  ganglion geniculate  dari  CN  VII,
dengan  vesikel  telinga menyebabkan
menurunnya  rasa  pada anterior  dua  pertiga  dari
lidah,
dan ipsilateral
kelumpuhan wajah.
Vesikel  di  luar  hidung tanda
Hutchinson biasanya
terlihat pada
pasien  dengan  keratitis VZV
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan syaraf
Allodynia nyeri
yang dipicu
oleh sentuhan
ringan  dapat  terjadi  pada dermatom.
Berbagai komplikasi
neurologis dapat
terjadi selama
herpes zoster
akut, termasuk
vaskulopati, mielitis,  tengkorak  dan
perifer palsi
saraf, serta
polyradiculitis
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
EFIKASI DAN KEAMANAN VAKSINASI HERPES ZOSTER PADA USIA LANJUT
IGP Suka Aryana
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar
PENDAHULUAN
Proses penuaan berhubungan dengan penurunan kekebalan dapat mengakibatkan  usia  lanjut  semakin  mudah  terkena  penyakit  infeksi  dan
penurunan respon terhadap vaksinasi.  Penurunan kekebalan tubuh akibat penuaan  terjadi  baik  pada  system  kekebalan  yang  alami  maupun  yang
didapat.  Keadaan  ini  dikenal  dengan  nama  immunosenescence  dengan berbagai konsekuensi klinis yang terjadi. Di masa mendatang akan terjadi
ledakan  populasi  usia  lanjut.  Beberapa  penyakit  infeksi  akan  mengalami peningkatan  pula  seperti  infeksi  influenza,  pneumonia,  herpes  zoster  dan
beberapa  penyakit  infeksi  lainnya.  Di  lain  pihak  usaha  untuk  pencegahan dengan  vaksinasi  untuk  menurunkan  kejadian  infeksi  tersebut  menjadi
tantangan.  Efikasi  vaksinasi  pada  usia  lanjut  akan  menurun  dibandingkan dengan  usia  dewasa.  Pemahaman  tentang  manifestasi  klinis  dan
konsekuensi  dari  immunosenescence  terutama  dalam  menentukan petanda  dari  penurunan  dari  fungsi  imun  pada  kondisi  pasien  usia  lanjut
dengan  kerapuhan  dan  hubungannya  dengan  mobiditas  dan  mortalitas sangat dibutuhkan.
Herpas  Zoster  adalah  penyakit  yang  yang  sering  terjadi  pada  usia lanjut  akibat  reaktifasi  dari  virus  varisela.  Manifestasi  klinis  berupa  ras
vesicular  yang  unilateral  dan  lokasinya  terbatas  pada  satu  dermatom sebagai  ciri  khasnya.  Klinis  akan  disertai  dengan  adanya  nyeri  seoanjang
dematom  tersebut.  Nyeri  secara  terus  menurus  akan  menetap  dapat seminggu,  sebulan  bahkan  sampai  beberapa  tahun  untuk  kasus  yang
berat.  Hal  ini  akan  menurunkan  kualitas  hidup  pasien  usia  lanjut  kita. Komplikasi nyari yang serius ini kita sebut sebagai  Postherpetic Neuralgia
PHN. Studi menunjukan rerata nyeri menetap kurang lebih sekitar 90 hari setelah penyembuhan ras di kulit. Komplikasi serius dapat terjadi kebutaan
pada  optalmik  zoster,  superinfeksi  bakteri  pada  kulit,  dan  herpes  zoster
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
diseminata.  Komplikasi  yang  serius  biasanya  terjadi  pada  pasien  yang kekebalannya menurun.
Pengobatan  antiviral  sangat  diperlukan  baik  untuk  pasien  dengan kekbalan  menurun  maupun  yag  sehat.  Oral  antiviral  sebaiknya  diberikan
lebih  awal  mempunyai  prognosis  lebih  baik.  Terapi  antiviral  sebaiknya mulai  diberikan  dalam  waktu  3  hari  setelah  muncul  lesi  kulit.  Lama  terapi
diberikan  seminggu  dan  bila  terjadi  Herpes  Zoster  yang  serius,  pasien dengan  kekebalan  menurun  dan  adanya  komplikasi  neurologis  dapat
diberikan antiviral intra vena. Tantangan dalam penanganan Herpes zoster tidak  saja  akibat  virusnya  tetapi  juga  adanya  komorbiditas  yang  lain  yang
berkontribusi  terhadap  tingginya  morbiditas  dan  mortalitas  pasien  herpes Zoster.  Disamping  proses  penuaan,  penurunan  kekebalan  akibat  penyakit
keganasan, HIV, obat imunosupresif meningkatkan risiko terinfeksi herpes zoster hamper 10 kali lipat.
Program  vaksin  menjadi  program  penting  untuk  menurunkan kejadian herpes zoster pada kelompok berisiko terutama pada usia lanjut.
Program Vaksin Varisela yang dilakukan pada anak-anak secara bermakna dapat  menurunkan  kejadian  infeksi  varisela  tetapi  tidak  herpes  zosternya,
walaupun  herpes  zoster  adalah  reaktivasi  dari  infeksi  virus  varisela sebelumnya.  Di  Amerika  program  vaksin  varisela  yang  dilakukan  secara
universal ternyata tidak mengubah insiden dari infeksi herpes zoster. Hal ini menunjukan  bahwa  kejadian  infeksi  herpes  zoster  disebabkan  oleh  factor
lain.    Studi  terus  dikembangkan  termasuk  mengetahui  kemungkinan vaksinanasi  virus  varisela  meningkatkan  kejadian  infeksi  zoster.
Dikembangkannya  vaksin  herpes  zoster  menjadi  jawaban  terhadap masalah ini. Vaksin herpes zoster telah mendapat ijin untuk didistribusikan
sejak  tahun  2006  oleh  badan  resmi  seperti  Food  and  drug  Administration FDA,  European  Medicine  Agency  EMEA,  Australia  Therapeutic  Goods
Administration  TGA
,  vaksin  tersebut  mulain  banyak  digunakan  termasuk di Asia. Vaksin direkomendasikan untuk populasi umur lebih dari 50 tahun
Austria dan Swedia, 60 tahun Amerika, Kanada, Korea dan Thailand, 60- 79 tahun Australia dan 70-79 tahun Inggris.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
IMMUNOSENESCENCE
Perubahan  sistem  imun  akibat  penuaan  immunosenescence terjadi  pada  sistem  imun  alami  dan  didapat  serta  perubahannya  meliputi
jumlah dan fungsi dari sistem imun tersebut tabel1
Tabel 1. Perubahan sistem imun akibat proses penuaan Sistem imun alami
Sistem imun didapat
Sitokin  Proinflamasi  status  inflamasi subklinis
Netrofil jumlah, pagositosis tetap tetapi produksi
superoxide, kemotaksis,
apoptosis, dan
tranduksi sinyal
menurun Makrofag
jumlah tetap,
tetapi pagositosis,
produksi superoxide,
kemotaksis,  apoptosis,  produksi  sitokin dan tranduksi sinyal menurun
Sel  Natural  Killer  tranduksi  sinyal, respon
terhadap sitokin,
produksi sitokin dan aktifitas sitotoksik menurun
Sel  dendritic  jumlah  plastositoid  tetap, tetapi  jumlah  total  dan  myeloid  sel
dendritik  darah  perifer,  sel  dendritik timus,
jumlah dan
migrasi sel
Langerhans ,    serta  produksi  IL  12  oleh
dendritik di darah perifer menurun Sel T
1.  Involusi timus, 2.  Penurunan  Naïve  CD45RA+CD28+,
CD8,  kemampuan  replikasi,  respon terhadap
antigen dan
efektor memori CD4, serta
3.  Peningkatan memori
CD45RA- CD28,
CD8+, efektor
CD45RA+CD28-, end
stage deffentited effector T cells, Produksi
IL4 oleh CD8, central memory CD4 Sel B
1.  Penurunan  Naïve  sel  B,  diversitas respon antibody, class switching and
somatic recombinantion
TCR repertoire.
2.  Peningkatan efektor sel B
Imunitas  alami  adalah  elemen  kunci  system  imun  yang  mencegah masuknya  bahan  pathogen  ke  dalam  tubuh,  dan  memberikan  instruksi
kepada  imunitas  didapat  untuk  membentuk  bahan  humoral  khusus  dan memacu respon  imunitas  seluler.  Sistem  imun  alami  terdiri  system  seluler
seperti sel makrofag, sel natural killer, dan netrofil sebagai pertahanan lini pertama  terhadap  infeksi  bakteri  dan  virus.  Fungsi  sel  ini  menurun
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
sehingga  meningkatkan  risiko  infeksi  pada  saluran  cerna,  kulit,  dan pneumonia  baik  karena  bakteri  maupun  virus  pada  usia  lanjut.
Immunosenescence  juga  mengakibatkan  penuruunan  respon  terhadap vaksin  influenza  dari  70-90  pada  dewasa  sehat  menjadi  17-53  pada
usia lanjut.
Perubahan  sistem  imun  alami  ternyata  didapatkan  pada  reseptor yang disebut toll-like receptors TLR yang ada pada permukaan makrofag
berfungsi mendeteksi
adanya antigen
bakterivirus kemudian
menyampaikan  sinyal  yang  memacu  produksi  berbagai  protein  yang bersifat
antibacterial sehingga
memacu proses
inflamasi. Immunosenescence  mengakibatkan  perubahan  ekspresi  dan  fungsi  dari
TLR  sehingga  terjadi  dysregulasi  sitokin  inflamasi  dan  sekresi  kemokin sehingga  usia  lanjut  gagal  mengekspresi  gejala  klasik  pada  beberapa
penyakit  infeksi.  Disamping  itu  imunosenescence  juga  mengakibatkan gangguan  fungsi  TLR  dalam  memberikan    instruksi  kepada  system
imunitas didapat sehingga respon menjadi tidak adekuat.
Proses penuaan menyebabkan penurunan jumlah sel T naïve oleh timus  yang  mungkin  disebabkan  oleh  perubahan  pada  mikroenviromen
pada  timus  sehingga  terjadi  gangguan  timopoisis.  Satu  elemen  penting yang  berperan  dalam  proses  ini  adalah  interleukin  7  IL  7.  IL  7  yang
berinteraksi  dengan  resetor  di  timus  untuk  memacu  pembentukan  sel  T. Penurunan  kadar  IL  7  mengakibatkan  penurunan  ukuran  dan  hasilan  dari
timus.  Saat  ini  telah  dilakukan  studi  dengan  injeksi  IL  7  dengan  tujuan menghambat atropi timus dan memacu produksi sel T, tetapi masih belum
efektif  karena  didapatkan  banyak  IL  7  tidak  memcapai  timus  secara optimal.
RESPON IMUNITAS TERHADAP VAKSIN
Vaksin  beserta  bahan  tambahannya  akan  sebagai  antigen  dalam tubuh  dan  memicu  system  imun.  Antigen  akan  diambil  oleh  antigen
presentating  cells  APC  seperti  sel  makrofag  dan  sel  dendritic.  Respon imunitas  local  akan  memacu  pematangan  sel  dendritic.  Pada  tempat
tersebut  akan  terbentuk  kompleks  peptide,  sedang  sel  dendritic  akan bermigrasi ke jaringan limfonodi untuk memacu aktivasi dan ekspansi dari
klonal naïve sel T CD4+ dan CD8+. Aktivasi dan diferensiasi dari naïve sel
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
B  dirangsang  oleh  antigen  dan  sel  T  CD4+  helper.  Naïve  sel  B  kemudian berdiferensiasi  menjadi  sel  B  memori  dan  sel  B  secreting  antibody.  Sel  B
memori dan sel T dalam darah dan limfonodi akan terus bekerja sepanjang meraka masih hidup di sumsum tulang.
Gambar 1. Perbedaan imunitas usia muda dan usia lanjut
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Gambar 2. Respon imunitas terhadap vaksin
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Untuk  meningkatkan  respon  imunitas  vaksin  pada  usia  lanjut diperlukan  beberapa  intervensi  khusus  seperti  memberikan  boosting,
meningkatkan dosis vaksn, atau menambahkan bahan tambahanadjuvant untuk meningkatkan respon APC  dan memacu aktifitas sel B lebih lama.
Gambar 3. Respon imunitas terhadap vaksinasi pada usia lanjut. VAKSIN HERPES ZOSTER
Vaksin  Herpes  Zoster  mengandung  19.400  plaque-forming  units PFU memiliki potensi setara dengan satu formula vaksin MMR ProQuad
dan  diperkirakan  mempunyai  potensi  14  kali  lebih  kuat  dibandingkan dengan vaksin varisela yang monovalen. Penggunaan vaksin herpes zoster
memiliki kontraindikasi seperti adanya reaksi anafilaksis atau alergi dengan gelatin, neomisin, atau dengan imunodefisiensi berat seperti HIV, leukemia,
limpoma,  atau  malignansi  lain  yang  berefek  pada  gangguan  di  system limfatik  dan  sumsum  tulang,  serta  pasien  yang  mendapatkan  obat
imunosupresif  seperti  kortikosteroid  dosis  tinggi,  kemoterapi  serta  wanita hamil.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Penggunaan vaksin Herpes Zoster dengan vaksin lain
Penggunaan  vaksin  Herpes  Zoster  dengan  vaksin  lain  seperti vaksin  influenza  inaktif  pada  pasien  berumur  50  tahun  atau  lebih  tidak
menunjukan  adanya    penurunan  imunogenitas  kedua  vaksin.    Meskipun studi  penggunaan  vaksin  herpes  zoster  secara  simultan  dengan  vaksin
pneumococcal  polysaccharide  menunjukan  penurunan  secara  signifikan antibody  virus  herpes  Zoster,  sebuah    studi  kohort  retrospektif  pada  lebih
dari  76.000  resipien  menunjukan  menunjukan  efikasi  herpes  zoster  tidak menurun  pada  penggunaan  bersamaan  dengan  vaksin  pneumococcal
polysaccharide.
Lama Proteksi
Data yang meneliti tentang lamanya proteksi setelah vaksin herpes zoster  sangat  sedikit.  Pada  studi  SPS  median  waktu  survei  untuk
mengetahui  efektifitas  vaksin  hanya  3,12  years.Hasil  dari  Short-Term Persistence  Study
STPS  mengindikasikan  kemungkinan  proteksi sepanjang  tahun.  Studi  STPS  fase  3,  sebuah  randomized,  placebo-
controlled,  double-blind  trial  pada  12  senter  di  Amerika,  STPS  re-enrolled 7320  vaksin  and  6950  placebo  resipien  dari  38  546  subjek  yang
sebelumnya  ada  pada  studi  SPS  dan  setelah  diikuti  selama  7  tahun didapatkan  hasil  yang  menjanjikan.  Pada  awalnya,  penurunan  kejadian
herpes  zoster  didapatkan  secara  bermakna  pada  kelompok  vaksin  RR: 0.53,  95CI:  0.38-0.74.  Pada  STPS  efikasi  vaksin  didapatkan
61.195CI:  51.1
–69.1  pada  tahun  0.0–4.9  menjadi  50.195CI: 14.1
–71.0  pada  tahun  ke  3.3–7.8.  Efikasi  vaksin  mencegah  PHN didapatkan  menurun  dari  66.5  95CI:  47.5
–79.2  pada  tahun  0.0–4.9 menjadi 60.195CI: −9.8 to 86.7pada tahun 3.3–7.8, dan Efikasi vaksin
mencegah  insiden  herpes  zoster  menurun  dari  51.3 95CI:  44.2 –57.6
pada  tahun  0.0 –4.9    menjadi  39.695CI:  18.2–  55.5  pada  tahun  ke
3.3 –7.8.
Studi ini dilengkapi dengan melihat herpes zoster burden of illness HZBOI  yaitu  skoring  yang  melihat  derajat  beratnya  penyakit  akibat  dari
herper zoster tersebut. Studi lanjutan untuk melengkapi STPS, disebut the long-term  persistence  study
LTPS  mengevaluasi  lamanya  proteksi terhadap kejadian herpes zoster, PHN dan HZBOI. Total subyek penelitian
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
6.867 yang telah divaksin pada studi SPS.  Rerata umur pada LTPS adalah 74.5  tahun  dan  median  follow-up  ~3.9  tahun.  Plasebo  yang  digunakan
adalah  placebo  yang  sebelumnya  ontrol  was  not  available  in  the  LTPS; data from prior placebo recipients were use. LTPS dianalissis berdasarkan
data  yang  telah  terkumpul  setelah  7-10  tahun  dilakukan  vaksinasi  pada studi  SPS.  Efikasi  vaksin  didapatkan  sebesar  21  95  CI:  [11  to  30]
untuk insiden Herpes Zoster, 35 95 CI: [9 to 56] untuk insiden PHN dan 37 95 CI: [27 to 46] untuk HZ BOI.
EFIKASI DAN KEAMANAN VAKSINASI HERPES ZOSTER Efikasi
Tantangan  mengenai  bagaimana  efikasi  dan  keamanan  vaksin herpes  zoster  pada  usia  lanjut  menjadi  hal  yang  sangat  penting  untuk
dikaji.    Studi  SPS  Shingles  Prevention  Study  adalah  sebuah  studi randomized  double-blinded  placebo-controlled  dimulai  November  1998,
dengan  jumlah  sampel  38,546  usia  60  tahun  ke  atas  di  22  senter  di Amerika. Semua sampel diikuti secara aktif sampai bulan September 2003
berapa jumlah kasus baru Herpes Zoster yang muncul. Rerata lama waktu diikuti 3.13 tahun, 95 mengikuti studi secara lengkap sampai akhir studi,
1  mengalami  lost  to  follow  up  dan  4  meninggal  selama  masa  studi. Kurang  dari  7  sampel  berumur  80  tahun  atau  lebih  sehingga  secara
statistik  powernya  kurang  kuat  untuk  dilakukan  evaluasi  pada  kelompok tersebut.  Kejadian  Herpes  z
oster  dikonfirmasi  dengan  menggunakan PCR93, kultur virus 1, atau dievaluasi oleh panel yang terdiri dari 5
spesialis  yang  ahli  dibidang  Herpes  6.  Pasien  yang  telah  terdiagnosis Herpes  Zoster  diikuti  sedikitnya  selama  182  hari  untuk  dievaluasi  kondisi
luaran  seperti  kondisi  umum  dan  derajat  nyeri  yang  diderita.  Hasil  yang didapatkan  adalah  bahwa  penurunan  insiden  Herpes  Zoster  pada
kelompok vaksin pada 42 hari
RR: 0.29; 95CI: 0.13-0.68. Secara umum efikasi  untuk  mencegah  kejadian  herpes  Zoster  adalah  sebesar  51,3
5,42  kasus1000  orang  pertahun  :  11,12  kasus1000  orang  pertahun;  p 0.001.  Efikasi  vaksin  mencegah  PHN  sebesar  66,5  27  :  80  kasus;
p0.001  menunjukan  penurunan  yang  sangat  bermakna  dengan  nilai relative  risk
PHN  pada  kelompok  vaksin  dibandingkan  dengan  plasebo
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
RR:  0.34,  95  CI:  0.22-0.52.  Bila  dilihat  dari  nilai  illness  score  Herpes Zoster  terdiri  dari  insiden,  derajat  berat,  lamanya  nyeri  dan  rasa  tidak
nyaman  akibat  herpes  zoster  didapatkan  memiliki  efikasi  pencegah sebesar 61.1 95 CI 51.1-69.1.
 Pada studi ini juga didapatkan bahwa
efikasi  vaksin  akan  menurun  seiring  dengan  peningkatan  usia  yaitu  dari 64 pada umur 60
–69 tahun menjadi 38 pada usia 70 tahun atau lebih. Efikasi  vaksin  mencegah  PHN  didapatkan  stabil  yaitu  66  pada  usia  60
– 69 tahun  dan 67 pada 70 tahun atau lebih.
 Studi  RCT  lain  dilakukan  pada  individu  imunokopeten  22.439
berumur  50 –59 tahun Amerika utara dan Eropa didapatkan efikasi vaksin
sebesar 69.8 95 CI: 54.1 –80.6 dalam hal mencegah kejadian Herpes
Zoster.  Insiden  Herpes Zoster  didapatkan  1,991000  orang  pertahun  pada kelompok  vaksin  vs  6,571000  orang  pertahun  pada  kontrol  RR:  0,31
95CI: 0,2-0,5, p0.0001
Keamanan
Studi RCT lebih kecil mencoba melihat keamanan dan imunogenik dibandingkan  antara  vaksin  formula  potensi  tinggi  dan  rendah.  Hasilnya
tidak  ada  risiko  bermakna  terjadi  herpes  zoster  pada  kelompok  potensi tinggi  RR  2.55,  95  CI:  0.012-52.99.Laporan  data  setelah  distribusi
vaksin dari 76.000 orang yang telah dilakukan vaksin dibandingkan dengan 227.000  orang  tidak  divaksin  yang  berumur    60  tahun  atau  lebih
menunjukan  bahwa  efektifitas  vaksin  mencegah  kejadian  herpes  zoster sebesar  55  95  CI  52-  58.  Insiden  Herpes  Zoster  sebesar  6,4  per
1000 orang pertahun pada kelompok vaksin 95 CI: 5,9-6,8, dan 13 per 1000  orang  pertahun  pada  kelompok  tidak  divaksin  95  CI:  12.6-13.3.
Sebagai  hasil  tambahan  lain  adalah  efektifitas mencegah kejadian  herpes zoster optalmikus sebesar 63 dan mencegah kejadian masuk rumah sakit
sebesar 65
. Banyak  studi  yang  telah  dilakukan  menunjukan  keamanan
penggunaannya  pada  usia  lanjut  sehingga  mendapatkan  ijin  untuk didistribuskan  diseluruh  Negara  di  dunia.  Studi  SPS  yang  melibatkan
38.500  subyek  dengan  insiden  satu  atau  lebih  efek  samping  yang  serius setelah observasi 42 hari setelah vaksin didapatkan  0.1 pada kelompok
vaksin  dibandingkan  dengan  placebo.  Pada  substudi  khusus  tentang
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
adverse  event  vaksin,  risiko  serius  dalam  waktu  42  hari  setelah  vaksin didapatkan  1.9  pada  kelompok  vaksin  dan  1.3  pada  plasebo  risk
difference:  0.7  95CI:  0.1  to  1.3.  Laporan  kejadian  varicella-like  rash pada lookasi injeksi 0.1 vs 0.04;  risk difference: 0.07 95 CI: 0.02 to
0.13 dan HZ like-rash 0.1 vs 0.2; risk difference: -0.10 95CI:- 0.18 to -0.03.  Adverse  events  pada  lokasi  injeksi  secara  bermakna  lebih  banyak
pada kelompok vaksin disbanding dengan placebo 48.3 and 16.6;  risk difference
31.7,  95  CI:  28.3 – 32. Manifestasi klinis yang sering muncul
pada  lokasi  injeksi  vaksin  berupa  eritema,  nyeri,  rasa  tebal  dan  bengkak. Angka  mortalitas  antara  kelompok  vaksin  dan  placebo  adalah  sama
sebesar 4,1.
Beberapa studi lain juga mendapatkan hasil yang serupa. Kerzner et  al  melakukan  studi  randomized  dengan  memberikan  vaksin  Herpes
Zozter  and  flu  secara  konkomitan  dan  sekuensial  pada  populasi  umur  50 tahun  atau  lebih  kemudian  diamati  adanya  adverse  events  AEdalam
waktu 28 hari setelah vaksin. Secara umum hasilnya bahwa AE didapatkan sedikit  lebih  tinggi  pada    kelompok  yang  diberikan  vaksin  secara
konkomitan  dibandingkan  secara  tersendiri  walaupun  perbedaannya  tidak bermakna. Adverse event pada lokasi suntikan didapatkan 44.7 vs 38.3
vaksin  concomitant  vs  nonconcomitant  dan  kejadian  lebih  banyak  pada kelompok umur 50-59 vs umur 60 atau lebih 53.6 and 40.3.
MacIntyre melakukan sebuah studi randomized placebo-controlled trial
pada  populasi  umur  60  tahun  atau  lebih  mendapatkan  bahwa pemberian  vaksin  herpes  zoster  dan  pneumococcal  polysaccaride  baik
secara  concomitant  ataupun  non-  concomitant  tidak  terdapat  perbedaan bermakna AE dalam waktu 28 hari setelah vaksin.
Gilderman  et  al  menbandingkan  vaksin  yang  di  refrigerated n=182  vs  frozen  n=185  vaksin  herpes  zoster  pada  pupolasi  umur  50
tahun  atau  lebih.  Efek  pada  lokasi  suntikan  didapatkan  35.6  vs  46.4 refrigerated vs frozen. Tidak ada efek samping yang serius pada studi ini.
Sutradhar et al membandingkan keamanan pada 2 kelompok umur yaitu  50-59  tahun
dan  ≥  60  tahun.  Tidak  dijumpai  efek  samping  yang serius,  efek  pada  lokasi  suntikan  51  vs  34  sedangkan  efek  sistemik
didapatkan  5.8  vs  2.9.  Jadi  efek  samping  lebih  banyak  dijumpai  pada usia yang lebih muda.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Mills  et  al  mengevaluasi  keamanan  vaksin  herpes  zoster  selama 28  hari  setelah  vaksin  pada  101  subyek  yang  sebelumnya  mempunyai
riwayat  herpes  Zoster.  Kejadian  AE  pada  lokasi  vaksin  didapatkan  lebih tinggi pada kelompok vaksin yaitu 45.9 vs placebo 4.2. Tidak dijumpai
efek samping sistemik yang serius pada studi ini.
Data  survey  Post-licensure  mendapatkan  hasil  yang  lebih  baik karena secara statistic mempunyai power yang lebih kuat untuk suatu studi
RCT.  Data  terbaik  dilakukan  di  Amerika  dengan  jumlah  sampel  192,000 vaksin zoster yang diberikan kepada populasi berumur 60 tahun atau lebih.
Berbagai  risiko  dan  efek  samping  diteliti  pada  periode  waktu  1-14,  15-28, dan  29-42  hari.  Risiko  alergi  bermakna  didapatkan  pada  periode  1-7  hari
setelah vaksin RR 2.32, 95CI: 1.85 2.91. Risiko relative alergi pada hari 1-7  didapatkan  3-4 kali  lebih  tinggi  pada  usia  50-59  dibandingkan  dengan
60 tahun atau lebih. Dari medical report didapatkan  80 kejadian reaksi inflamasi  lokalis  berupa  kemerahan,  bengkak  dan  nyeri.  Tidak  dijumpai
risiko  kejadian  yang  serius  seperti  strok,  serangan  jantung,  meningitis, ensefalitis,ensefalopati,  Ramsay-
Hunt  Syndrome  atau  Bell‘s  Palsy  dalam waktu 42 hari setelah vaksin.
KESIMPULAN
Banyak data epidemiologi telah dipublikasi tentang kejadian herpes zoster.  Tetapi  sebagian  besar  data  masih  dari  negara  yang  pendapatan
perkapita  negaranya  tinggi  dan  medium.  Belum  banyak  data  yang dipublikasikan  dari  negara  dengan  pendapatan  rendah.  Kejadian  herpes
zoster  tentu  akan  sangat  tinggi  pula  karena  adanya  kejadian  HIV  yang tinggi, umur harapan hidup yang mulai meningkat, sarana pengobatan, ras
dan  banyak  lagi  factor  yang  lain.  Program  vaksin  varisela  dengan  sekala besar yang telah dilakukan di Amerika, Australia di duga akan berdampak
pada  peningkatan  kejadian  Herpes  Zoster.  Berbagai  factor  yang berpengaruh  terhadap  kejadian  herpes  zoster  menjadi  sangat  menarik
untuk  diteliti  lebih  jauh  lagi.  Efikasi  dan  keamanan  vaksin  Herpes  zoster telah  diteliti  dalam  sekala  besar  di  beberapa  Negara  maju  .  Hasil
menunjukan  bahwa  vaksin  sangat  aman  dan  efektif  mencegah  kejadian herpes  zoster,  PHN,  dan  komplikasi  serius  lain  dari  herpes  zoster.  Belum
ada  data  yang  menunjukan  lama  waktu  proteksi  dari  vaksin  virus  herpes
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
zoster. Data yang ada hanya menjunkan jangka pendek saja. Diperkirakan kemampuan  proteksi  yang  dimiliki  vaksin  herpes  zoster  sekitar  10-15
tahun.  Masih  dibutuhkan  data  tentang  cost  effective  vaksin  herpes  zoster pada Negara dengan pendapatan sedang dan rendah.
DAFTAR RUJUKAN
1.  Oxman MN, Zoster Vaccine: Current Status and Future Prospects, CID 2010;512:197
–213 2.  Bader  MS,  Immunization  for  the  Elderly,  Am  J  Med  Sci
2007;3346:481 –486
3.  Aspinall R, Del Giudice G, Effros RB, Loebenstein BGand Sambhara S, Challenges for vaccination in the elderly
, Immunity  Ageing 2007, 742- 51
4.  Weinberger  B,  Brandstetter  DH,  Schwanninger  A,  Weiskopf  D,  and Loebenstein BG, Biology of Immune Responses to Vaccines in Elderly
Persons , CID 2008:46;1078-84
5.  Loebenstein BG, Bella SD, Iorio AM, Michel JP, Pawelec Gand Solana R,    Immunosenescence  and  vaccine  failure  in  the  elderly,Aging  Clin
Exp Res 2009; 21: 201-209 
6.  Dorrington  MG  and  Bowdish  DME,Immunosenescence  and  novel vaccination  strategies  for  the  elderly,
Frontier  in  Immonology 2013:4;171-82
7.  Kudesia  G,  Partridge  S,  Farrington  CP,  Soltanpoor  N,Changes  in  age related  seroprevalence  of  antibody  to  varicella  zoster  virus:  impact  on
vaccine strategy, J Clin Pathol 2002;55:154
–155 8.  Oxman  MN,  Levin  MJ,  Johnson  GR,  Schmader  KE,  Straus  SE,  Gelb
LD, A Vaccine to Prevent Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia in Older Adults,
N Engl J Med 2005;352:2271-84 9.  Weller  TH.  Varicella  and  herpes  zoster:  changing  concepts  of  the
natural history, control, and importance of a not-so-benign virus . N Engl
J Med 1983;30922:1362 –1368.
 10. Weller  TH.  Varicella  and  herpes  zoster:  changing  concepts  of  the
natural history, control, and importance of a not-so-benign virus. N Engl
J Med 1983;30923:1434 –1440.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
11. Straus SE, Reinhold W, Smith HA, et al. Endonuclease analysis of viral DNA  from  varicella  and  subsequent  zoster  infections  in  the  same
patient. N Engl J Med 1984;31121:1362
–1364. 12. Gilderman  LI,  Lawless  JF,  Nolen  TM,  et  al.  A  double-blind,  random-
 ized,  controlled,  multicenter  safety  and  immunogenicity  study  of  a
refrigerator-stable formulation of Zostavax. Clin Vaccine Immunol 2008;
152:314 –319.
 13. Sutradhar SC, Wang WW, Schlienger K, et al. Comparison of the levels
of  immunogenicity  and  safety  of  Zostavax  in  adults  50  to  59  years  old and  in  adults  60  years  old  or  older.
Clin  Vaccine  Immunol 
2009; 165:646
–652. 
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Long Acting Nifedipine on Treatment of Hypertension
Yenny Kandarini
Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
– RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Hipertensi  merupakan  masalah  kesehatan  dunia,  prevalensi hipertensi  yang  meningkat,  disertai  dengan  penyakit  lain  yang
menyertainya  akan  meningkatkan  risiko  kejadian  kardiovaskuler  dan penyakit  ginjal.  Hipertensi  biasanya  tidak  menimbulkan  gejala  yang
spesifik,  sehingga  menyebabkan  banyak  penderita  hipertensi  yang  tidak diobati,  dari  pasien  hipertensi  yang  mendapat  pengobatan,  hanya  sekitar
10-20  yang  mencapai  target  kontrol  tekanan  darah.  Diperkirakan prevalensi  hipertensi  akan  semakin  meningkat  sehingga  memberikan
dampak pada kesehatan masyarakat.
1,2
Dari berbagai kelas antihipertensi yang ada guideline Eropa terbaru merekomendasikan  5  golongan  obat  sebagai  terapi  awal  yaitu  ACE-
inhibitor ,  ARB,  diuretic  thiazide  dosis  rendah,  CCB  atau
-blocker. Nifedipene  kerja  panjang  yang  merupakan  kelas  CCB  merupakan  kelas
obat antihipertensi yang dapat dipilih sebagai lini pertama penatalaksanaan hipertensi. Berikut akan dibahas mengenai perananLong Acting Nifedipine
pada penatalaksanaan hipertensi.
3,4
Klasifikasi Hipertensi
Terdapat  beberapa  klasifikasi  hipertensi  yang  dipakai  antara  lain: Klasifikasi Tekanan Darah menurut ESHESC, 2013 dan klasifikasi tekanan
darah pada dewasa  menurut JNC-7
5
, seperti tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah TD pada Dewasa  JNC-7
5
Klasifikasi TD SBP mm Hg
DBP mm Hg
Normal 120
dan 80
Prehipertensi 120-139
atau 80-89
Hipertensi Stadium 1 140-159
atau 90-99
Hipertensi Stadium 2 ≥160
atau ≥100
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Inisiasi Terapi Hipertensi
Sebagaian besar
guideline hipertensi
merekomendasikan tatalaksana  farmakologi  pada  pasien  dengan  TD
14090  mmHg  yang belum mencapai target TD yang diinginkan dengan modifikasi gaya hidup.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengobatan tekanan darah 160100 mmHg  dapat  menurunkan  kejadian  stroke,  infrak  jantung,  gagal  jantung
dan  kematian.
4-8
Terbukti  bahwa  terapi  tekanan  darah  14090  mmHg khususnya  pada  pasien  yang  berisiko  tinggi  sangat  bermanfaat.  Hal  yang
berbeda didapat pada JNC-8 yang menyatakan bahwa batas inisiasi terapi adalah  14090  mmHg  untuk  dewasa  umur  60  tahun  tetapi
merekomendasikan batasan yang lebih rendah yaitu pada usia 60 tahun.
9
Target Terapi Hipertensi
Target  terapi  hipertensi  tergantung  dari  umur  dan  penyakit penyerta.  Tabel  berikut  ini  menunjukkan  perbandingan  dari  berbagai
guideline  mengenai  target  tekanan  darah  dan  pemilihan  awal  obat hipertensi.
Tabel 2. Perbandingan target dan pemilihan obat antihipertensi dari berbagai guideline.
4
Guideline Population
Goal BP, mmHg
Intitial Drug Treatment Options
2014 Hypertension
Guideline Populasi umum ≥ 60
thn 15090
Bukan orang kulit hitam: thiazide-type diuretic, ACEI,
ARB, atau CCB; Orang kulit hitam: thiazide-type diuretic
atau CCB Populasi Umum
60 thn 14090
Diabetes 14090
thiazide-type diuretic, ACEI, ARB, or CCB
PGK 14090
ACEI, ARB ESHESC 2013  Bukan usia lanjut
populasi umum 14090
Diuretik, -blocker, CCB,
ACEI, ataur ARB Usia lanjut populasi
umum 80 thn 15090
Populasi umum ≥ 80 thn
15090
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015 Diabetes
14085 ACEI atau ARB
PGK tanpa proteinuria
14090 ACEI atau ARB
PGK + proteinuria 13090
CHEP 2013 Populasi umum  80
thn 14090
Thizide, -blocker Umur  60
th, ACEI bukan orang kulit hitam, atau ARB
Populasi Umum ≥ 90 thn
15090 Diabetes
13080 ACEI atau ARB dengan risiko
kardiovaskuler ACEI, ARB, thiazide, or  DHPCCB tanpa
risiko kardiovaskuler
PGK 14090
ACEI atau ARB ADA 2013
Diabetes 14080
ACEI atau ARB KDIGO 2012
PGK tanpa proteinuria
≤ 14090  ACEIatau ARB PGK + proteinuria
≤ 1γ080 NICE 2011
Populasi umum  80 thn
14090 55 thn : ACEI atau ARB
Populasi umum ≥ 80 thn
150 90 ≥ 55 thn atau orang kukit
hitam : CCB ISHIB 2010
Orang kulit hitam, Risiko rendah
13585 Diuretik or CCB
Kerusakan organ sasaran atau risiko
kardiovaskuler risk 13080
Pilihan Terapi Inisial Terapi  farmakologi  hipertensi  diawali  dengan  pemakaian  obat
tunggal.  Tergantung  level  TD  awal,  rata-rata  monoterapi  menurunkan  TD sistolik  sekitar  7-13  mm  Hg  dan  diastole  sekitar  4-8  mmHg  Terdapat
beberapa  variasi  dalam  pemilihan  terapi  awal  pada  hipertensi  primer. Sebelumnya  guideline  JNC  VII  merekomendasikan  thiazide  dosis  rendah.
JNC  VIII  saat  ini  merekomendasikan  ACE-inhibitor,  ARB,  diuretic  thiazide dosis  rendah,  atau  CCB  untuk  pasien  yang  bukan  ras  kulit  hitam.  Di  lain
pihak guideline Eropa terbaru merekomendasikan 5 golongan obat sebagai
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
terapi  awal  yaitu  ACE-inhibitor,  ARB,  diuretic  thiazide  dosis  rendah,  CCB atau
-blocker berdasarkan indikasi khusus Gambar 1.
5
Guideline  UK  NICE  memakai  pendekatan  berbeda,  menekankan etnik  dan  ras  merupakan  faktor  determinan  penting  dalam  menentukan
pilihan  obat  awal  pada  hipertensi.  Hal  ini  selanjutnya  diadaptasi  oleh guideline JNC VIII. Rasionalisasi dari konsep ini adalah RAAS bersifat lebih
aktif  pada  usia  muda  jika  dibandingkan  pada  usia  tua  dan  ras  kulit  hitam. Jadi guidelina UK. NICE merekomendasikan ACE-inhibitor atau ARB pada
usia 55 tahun, bukan ras kulit hitam sedangkan CCB untuk untuk usia 55 tahun  bukan  ras  kulit  hitam  dan  ras  kulit  hitam  dengan  semua  rentang
usia.  Batasan  untuk  rekomendasi  ini  adalah:  1  diuretics  thiazide  lebih dipilih dibandingkan CCB untuk kondisi gagal jantung atau pasien dengan
risiko  tinggi  untuk  mengalami  gagal  jantung;  2  ACE  inhibitor  atau  ARB tidak  digunakan  pada  wanita  hamil,  dalam  kondisi  ini
-blocker  lebih dipilih.
5
Pengobatan  antihipertensi  dengan  terapi  farmakologis  dimulai  saat seseorang dengan hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko, belum mencapai
target TD yang diinginkan dengan pendekatan nonfarmakologi. Kombinasi  dua  obat  dosis  rendah  direkomendasikan  untuk  kondisi
TD  2010  mmHg  di  atas  target  dan  tidak  terkontrol  dengan  monoterapi. Secara  fisiologis  konsep  kombinasi  2  obat  dual  therapy  cukup  logis,
karena  respon  terhadap  obat  tunggal  sering  dibatasi  oleh  mekanisme counter  aktivasi
.  Sebagai  contoh  kehilangan  air  dan  sodium  oleh  thiazide akan  dikompensasi  oleh  RAAS  sehingga  akan  membatasi  efektivitas
thiazide dalam menurunkan tensi. Kombinasi  2  golongan  obat  dosis  rendah  yang  direkomendasikan
adalah penghambat RAAS+diuretic dan penghambat RAAS+CCB. Penting harus  diingat  jangan  menggunakan  kombinasi  ACEI  dan  ARB  pada  1
pasien yang sama.
Jika  target  TD  tidak  bisa  dicapaimenggunakan    2  macam  obat antihipertensi  dalam rekomendasi di atas  atau karena kontraindikasi atau
dibutuhkan  lebih  dari  3  obat  untuk  mencapai  target  TD,  obat antihipertensidari  kelas  lain  dapat  digunakan.  Rujukan  kespesialis
hipertensi  dapat  diindikasikan  untuk  pasien  yangtarget  TD  tidak  dapat
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
dicapai  dengan  menggunakan  strategi  di  atas  atau  untuk  pengelolaan pasien yang kompleks yang memerlukan  tambahan konsultasi.
4
Guideline  JNC  VIII  merekomendasikan  kombinasi  ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB dan atau thiazid. Konsep ini sama dengan guideline
UK.  yang  pertama  merekomendasikan  kombinasi  ACE-inhibitor  atau  ARB dengan CCB A+C.
Tabel 3. Indikasi Spesifik Pemilihan Obat Awal Pada Hipertensi
1
. Kondisi
Obat
Kerusakan organ asimptomatik Hipertrofi ventricular kiri
ACEI, antagonis kalsium, ARB Aterosklerosis asimptomatik
Antagonis kalsium, ACEI Mikroalbuminuria
ACEI, ARB Gangguan ginjal
ACEI, ARB Kejadian kardiovaskular
Riwayat stroke Setiap zat efektif menurunkan TD
Riwayat infark miokrad BB, ACEI, ARB
Angina pektoris BB, Antagonis kalsium
Gagal jantung Diuretik, BB, ACEI, ARB, Antagonis
Mineralokortikoid Aneurisma aorta
BB Fibrilasi atrial, pencegahan
Pertimbangkan ARB, ACEI, BB atau antagonis mineralkortikoid
Fibrilasi  atrial,  pengendalian denyut ventrikel
BB, antagonis kalisum nonhidropiridin Penyakit arteri perifer
ACEI, Antagonis kalsium Lainnya
Hipertensi sistolik
terisolasi usia lanjut
Diuretik, Antagonis kalisum Sindrom metabolik
ACEI, ARB, Antagonis kalsium Diabetes mellitus
ACEI, ARB Kehamilan
Methyldopa BB, Antagonis kalsium Kulit hitam
Diuretik. Antagonis Kalsium
ACE  =  angiotensin-converting  enzyme;  ARB  =  angiotensin  reseptor blocker; BB = beta=blocker
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Obat-obat Antihipertensi
Terkait pengobatan hipertensi, berdasarkan JNC-8 2014 terdapat 4 kelas  pengobatan  yang  direkomendasikan  berdasarkan  bukti  ‗RCT‘
Randomized  Clinical  Trial:  ACEI  atau  ARB,  CCB  atau  diuretika.    Semua golongan  obat  antihipertensi  di  atas  direkomendasikan  sebagai
pengobatan awal hipertensi dan terbukti secara signifikan menurunkan TD. Jenis pengobatan yang sama juga direkomendasikan oleh ESHESC 2013
bahkan bisa dilakukan kombinasi antara ke 4 obat tersebut.
Gambar  di  bawah  ini  menunjukkan  algoritme  penatalaksanaan hipertensi berdasarkan Guideline UK. NICE
2
.
Gambar  1.  Algoritma  Penatalaksanaan  Hipertensi  Esensial,  Terapi  Awal  dan Kombinasi Guideline UK. NICE
2
Umur 55 thn
Umur 55 thn atau orang kulit hitam atau  Afrika
atau Karibia pada semua umur
A C
1
A + C
1
A + C + D
Resistant hypertension
A + C + D + pertimbangkan pemberian diuretic lebih lanjut atau
-blocker atau -blocker Pertimbangkan untuk mencari saran dari ahlinya
Langkah 1
Langkah 2
Langkah 4 Langkah 3
Keterangan : A = ACE inhibitor atau angiotensin II receptor blocker ARB
C = Calcium Channel Blocker CCB D = Thiazide-like diuretic
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Nifedipine kerja panjang
Nifedipine kerja pendek banyak dipakai untuk terapi hipertensi dan angina. Nifedipine adalah suatu dihydropyridine CCB yang bekerja sebagai
vasodilator  pembuluh  darah.  Pada  awalnya  nifedipine  dipasarkan  dalam bentuk  kerja  singkat  atau  immediate-release  capsule  formulation.
Nifedipine  kerja  singkat  banyak  mempunyai  efek  samping  dan kemungkinan  berbahaya  bagi  pasien,  sehingga  dikembangkan  formula
baru yang memperpanjang masa kerja obat.  Modified-release formulations memperpanjang  masa  kerja  dari  nifedipine  dan  saat  ini  banyak  dipakai.
Penambahan  mekanisme  controlled-release  pada  nifedipine  akan memberikan  beberapa  keuntungan  yaitu  :  mempertahankan  efek
antihipertensinya,  memperbaiki  kepatuhan  pasien  karena  pemberian  satu kali sehari.
10
Mekanisme Kerja Nifedipine Kerja Panjang
Di  dalam  saluran  gastrointestinal  air  masuk  ke  dalam  tablet Nifedipine  kerja  panjang  dengan  teknologi  GITs  GastroIntestinal
Therapeutik  System  dengan  sistem  osmotik  melalui  membran  semi- permeable  sehingga  lapisan  pendorong  mengembang  dan  lapisan
nifedipine membentuk suspensi.  Suspensi nifedipine didorong oleh lapisan pendorong  keluar  melalui  lubang  yang  dibuat  oleh  laser  secara  stabil
selama  16-18  jam  untuk  memberikan  kontrol  tekananan  darah  selama  24 jam.
Melihat  sistem  kerja  tersebut  maka  Nifedipine  teknologi  GITS-nya menjadi unik dan lebih baik daripada nifedipine biasa yaitu: Pelepasan obat
stabil, fluktuasi TD rendah, kerusakan organ target minimal, pemakaian 1 x sehari TP ratio = 0,81-1,07
Penelitian Klinis Nifedipine kerja panjang dalam terapi Hipertensi
Nifedipine  yang  merupakan  kelas  CCB  dihydropyridine  sudah dipakai  secara  luas  pada  terapi  hipertensi  dan  penyakit  kardiovaskuler
lainnya.  Penambahan  mekanisme  The  gastrointestinal  therapeutic  system GITS memperpanjang efek anti hipertensi dan sudah banyak diteliti dalam
penelitian-penelitian  klinis.  Penelitian-penelitian  yang  membuktikan  bahwa
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Nifedipine  GPTsefektif  dalam  menurunkan  TD  termasuk  pada  kombinasi dengan beberapa ARBs yaitu:
1.  INSIGHT International Nifedipine GITS Study Intervention as a Goal in
Hypertension Treatment. Penelitian ini merupakan  randomized control trial
yang  melibatkan 6,321pasien hipertensi yang berumur antara 55 –
80  tahun.  Pada  penelitian  ini  nifedipine  GITs30 –60mgday  n=3,157
dibandingkan dengan co-amilozide hydrochlorothiazide 25 –50
gday + amiloride  2.5
–5mgday  n=3,164.  Didapatkan  hasil  yang  sama  efektif dalam pencegahan komplikasi kardio dan cerebrovaskuler.
11
2.  ADVANCE  COMBI  Controlled  Release  Nifedipine  and  Valsartan Combination Therapy in Patients with Essential: The ADalat CROROS
and VAlsartaN Cost-Effectiveness Combination , penelitian ini ditujukan
untuk membandingkan efikasi  keamanan terapi kombinasi nifedipine GITS  vs  amlodipine  dengan  Valsartan  pada  505  pasien  hipertensi
esensial. Penelitian dilakukan selama 16 minggu, ganda- buta, ‗parallel-
arm,‘ acak. Dimana hasilnya terapi kombinasi Nifedipine GITS–superior 34.020.1  mmHg    3010  mmHg  dibandingkan  terapi  kombinasi
dengan amlodipine dalam penurunan TD.
3.  NICE  COMBI  The  NIfedipine  and  CandEsartan  Combination. Kombinasi  Nifedipine  OROS  dengan  candesartan  terbukti  dapat
menurunkan  TD  sebesar  138  mmHg.  Pada  penelitian  ini  kombinasi dosis  rendah  antara  nifedipine  CR  GITS  dan  candesartan  lebih  baik
daripada  candesartan  up-titrated  monotherapydalam  control  tekanan darah
dan proteksi
renal pada
pasien dengan
hipertensi esensial.
12
Pada  penelitian  ini  juga  didapatkan  terapi  kombinasi candesartan  nifedipine CR GITS denagn dosis standar lebih efektif
daripada  meningkatkan  dosis  candesartan  monoterapi  dalam menurunkan
tekanan darah
dan memperbaiki
UAE dan
mempertahankan  LFG.  Kombinasi  angiotensin  II  receptor  blocker  and long-acting  calcium  channel  blocker
sangat  disarankan  pada    pasien hipertensi yang disertai dengan albuminuria.
12
4.  TALENT  STudy  EvALuating  the  Efficacy  of  Nifedipine  GITS –
Telmisartan  combination  in  Blood  Pressure  Control ,  kombinasi
Nifedipine  OROS  dengan  telmisartan  terbukti  dapat  menurunkan  TD sebesar 105 mmHg
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Ringkasan
Penurunan tekanan darah sangat penting dalam menurunkan risiko mayor kejadian kardiovaskuler pada pasien hipertensi. Beberapa penelitian
mengindikasikan  bahwa  penyakit  komorbiditas  seperti  diabetes,  dan kerusakan  target  organ  seperti  LVH  dan  CKD  mengindikasikan  pemilihan
klas obat yang spesifik dalam terapi hipertensi.  Pemilihan obat awal terapi hipertensi  dan  kombinasi  obat  antihipertensi  memerlukan  pemahaman
yang  menyeluruh  baik  jenis-jenis  obat  antihipertensi,  mekanisme  kerja maupun  efek  samping  yang  bisa  timbul.    Long  acting  nifedipine  suatu
formulasi
baru dari
nifedipine yang
mempertahankan efek
antihipertensinya, menurunkan efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien  karena  pemberian  satu  kali  sehari.  Penelitian  klinis  menunjukkan
bahwa Long acting nifedipine dapat dipertimbangkan dalam pemilihan obat antihipertensi baik sebagai terapi tunggal maupun kombinasi.
Daftar Pustaka
1.  Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Vander Hoorn S, Murray CJ. Selected