Masa Protrombin Plasma prothrombin time PT Waktu parsial tromboplastin teraktivasi activated partial tromboplastin timeaPTT Waktu thrombin thrombin timeTT

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Pada cara tak langsung, jumlah trombosit pada sediaan hapus dibandingkan dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah mutlaknya dapat diperhitungkan dari jumlah mutlak eritrosit. Karena sukarnya dihitung, penilaian semi kuantitatif tentang jumlah trombosit dalam sediaan hapus darah sangat besar artinya sebagai pemeriksaan penyaring. Pada sediaan hapus darah tepi, selain dapat dilakukan penilaian semi kuantitatif, juga dapat diperiksa morfologi trombosit serta kelainan hematologi lain. Bila sediaan hapus dibuat langsung dari darah tanpa antikoagulan, maka trombosit cenderung membentuk gumpalan. Jika tidak membentuk gumpalan berarti terdapat gangguan fungsi trombosit. Dalam keadaan normal jumlah trombosit sangat dipengaruhi oleh cara menghitungnya dan berkisar antara 150.000-400.000 per ul darah. Pada umunnya, jika morfologi dan fungsi trombosit normal, perdarahan tidak terjadi jika jumlah trombosit lebih dari 100.000ul. Jika fungsi trombosit normal, pasien dengan jumlah trombosit di atas 50.000ul tidak mengalami perdarahan kecuali terjadi trauma atau operasi. Jumlah trombosit kurang dari 50.000ul digolongkan trombositopenia berat dan perdarahan spontan akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari 20.000ul.

4. Masa Protrombin Plasma prothrombin time PT

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama. Dibandingkan dengan aPTT, PT lebih sensitif untuk mengetahui defisiensi faktor yang memerlukan vitamin K. Hasil pemeriksaan akan sangat bervariatif dan tergantung tromboplastin yang digunakan dengan harga normal berkisar 10 -12 detik. Apabila hal ini dipergunakan untuk memonitor penderita pengguna warfarin, maka sensitivitas tromboplastin tersebut harus distandarisasi yang kita kenal dengan nama International Normalized Ratio INR.

5. Waktu parsial tromboplastin teraktivasi activated partial tromboplastin timeaPTT

Tes ini mengukur jalur intrinsik dan jalur bersama F XII, XI, IX, X, V dan memerlukan contact surface material seperti kaolin. Harga normal PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 tergantung pada reagennya yang digunakan, antara 25 – 38 detik. Hasil tes ini akan memanjang bila terdapat defisiensi faktor intrinsik dan jalur bersama. Tes ini lebih sensitif untuk keberadaan antikoagulan dalam darah seperti heparin, antikoagulan antifosfolipid.

6. Waktu thrombin thrombin timeTT

Tes ini menilai langkah terakhir dari hemostasis, yaitu konversi fibrinogen menjadi fibrin. Harga normal antara 9 – 35 detik tergantung pada pengenceran oleh thrombin. Pemanjangan dari TT relihat pada penderita dengan kadar fibrinogen yang rendah atau disfibrinogenemia serta kadar yang tinggi dari FDP. Sensitif untuk kelainan hati dan DIC. LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS PENDERITA DENGAN PERDARAHAN 7 Evaluasi klinik penderita dengan perdarahan dapat dilakukan dengan pendekatan yang disebut 5 step algorithm. Pendekatan ini juga dapat merupakan dasar untuk rencana tatalaksana, termasuk keputusan untuk memberikan terapi komponen darah. Langkah pertama : apakah ada masalah dengan trombosit pasien ? Masalah tentang trombosit dapat diketahui secara kasar dalam hubungannya dengan penyakit tertentu. Penderita dengan kerusakan sumsum tulang akibat anemia aplastic, keganasan hematologic, atau pada paparan dengan obat terutama kemoterapi akan ditemukan dengan trombositopenia akibat berkurangnya produksi. Trombositopenia dapat juga dijumpai pada destruksi trombosit di perifir akibat proses imunologik seperti pada penyakit autoimun dan penyakit limfoproliferatif. Abnormalitas dari fungsi trombosit dapat bersifat herediter atau akibat paparan obat-obatan. Salah satu tanda penting dari gangguan trombosit adalah berupa petekhie. Tergantung pada beratnya trombositopenia, petekhie dapat terlokalisir hanya pada tangan atau kaki atau bahkan dapat meluas kesemua tubuh dan organ. Gejala lainnya dapat berupa easy bruising, perdarahan mukosa, epistaksis, menometroragia dan adanya oozing dari pembuluh darah kecil selama operasi. PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Skrining tes untuk kecurigaan adanya gangguan trombosit adalah pemeriksaan jumlah trombosit dan BT apabila jumlah trombosit dalam batas normal. Tendensi adanya perdarahan pada penderita trombositopenia tidak hanya ditentukan oleh jumlah trombositnya. Meskipun pada orang normal hanya menunjukkan perdarahan minimal pada kadar trombosit 10.000uL akan tetapi penderita dengan keganasan, komplikasi kehamilan, sepsis yang sedang berlangsung, dapat dijumpai perdarahan walaupun jumlah trombositnya masih sekitar 20.000uL. Hal ini menunjukkan adanya kombinasi antara peranan fungsi disamping jumlah trombosit serta adanya kebutuhan yang meningkat akan trombosit akibat kerusakan dari sel endotel. Hal ini dapat dilihat pada kasus dengan trauma dan pembedahan, dimana perdarahan abnormal dapat terjadi pada kadar trombosit sekitar 50.000 uL. Secara klinik disfungsi trombosit dapat diketahui dengan BT. Tes ini kurang sensitive sehingga jarang digunakan sbagai tes skrining rutin. Pada penderita dengan sepsis, uremia atau mendapat obat yang menghambat fusngi trombosit dengan tes ini akan memberikan hasil yang abnormal. Pemeriksaan BT pada kasus-kasus seperti ini akan mengacaukan penilaian. Oleh karena itu pemeriksaan BT sebaiknya hanya digunakan pada pasien dengan dugaan adanya defek herediter dari fungsi trombosit seperti pada penyakit von Willebrand. 7, 14,15 Langkah kedua: apakah pasien mempunyai gangguan koagulasi yang herediter defisiensi faktor tunggal ? Koagulopati herediter dapat diketahui dari presentasi kliniknya. Pada pasien dengan defisiensi faktor VIII dan factor IX hemophilia A dan B yang berat, akan muncul dengan riwayat perdarahan yang berulang yang dialami sejak baru lahir dan selama masa anak dan remaja. Apabila defisiensi tidak terlalu berat, pasien baru akan mengalami perdarahan apabila mendapat trauma atau operasi. Tidak seperti pasien dengan gangguan trombosit, penderita dengan gangguan protein koagulasi biasanya muncul dengan hemartrosis, hematom, perdarahan dari pembuluh darah besar. PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Pemeriksaan PT dan aPTT merupakan tes skrining yang cukup bernilai untuk mendeteksi adanya kelainan itu. Sebaiknya penilaian ini dilakukan secara berpasangan selalu antara PPt dan aPTT. Apabila PT memanjang secara bermakna dan aPTT normal, pasien yang bersangkutan mungkin menderita defisiensi factor VII. Namun apabila aPTT sangat memanjang dan PT normal maka terjadi gangguan pada jalur instrinsik, utamanya factor VIII dan IX. Penilaian ini hanya akan berlaku benar apabila didukung oleh klinik pasien yang sesuai, pasien tidak sedang mendapat obat antikoagulan, pasien tidak dengan penyakit liver atau yang mengalami konsumtif koagulopati DIC. Pemeriksaan PT sangat sensitive untuk penilaian jalur bersama common pathway. Oleh karena itu pada PT yang memanjang dan aPTT normal dapat juga dijumpai pada pasien yang mendapat terapi warfarin atau dengan penyakit liver. Sebaliknya aPTT lebih sensitif untuk mendeteksi adanya heparin dan antikoagulan patologik yang beredar dalam darah. SEmua kemungkinanini harus mendapatkan pertimbangan sebelum menyimpulkan adanya kelainan yang bersifat tunggal . 7,16 Langkah ketiga: apakah pasien mempunyai kelainan faktor multiple? Baik warfarin maupun penyakit liver akan menyebabkan gangguan factor yang multiple yang melibatkan jalur ekstrinsik dan jalur bersama. Pada penyakit liver juga dapat ditemukan gangguan produksi fibrinogen baik jumlahnya ataupun fungsinya . sehingga perlu untuk selalu mengevaluasi fungsi liver pada penderita dengan perdarahan. Jenis dari perdarahannya juga ikut memberi petunjuk penting, dimana perdarahan yang sering dijumpai adalah kombinasi antara easy bruising, purpura yang luas, perdarahan mukosa atau saluran makan. Pada penderita dengan penyakit liver yang berat tidak jarang muncul dengan perdarahan saluran makan atas yang sangat dramatic. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan disini adalah PT, aPTT, TT, fibrinogen assay. Seperti telah diutarakan, PT sangat sensitive untuk penurunan kadar dari factor-faktor yang tergantung pada vitamin K, yaitu VII, IX, X, V, protrombin. Disini akan dijumpai pemanjangan dari PT dengan aPTT yang relative normal. Akan tetapi pada kasus dengan fungsi liver yang sangat jelek maka akan terjadi PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 pemanjangan sari PT, aPTT, TT. Hal ini oleh karena adanya disfibrinogenemia dan FDP yang dapat menghambat fungsi thrombin. 7,16,17 Langkah keempat: Apakah ada anti koagulan yang beredar dalam darah? Pemberian antikoagulan akan dapat menimbulkan perdarahan. Pemberian heparin ataupun antikoagulan jenis lain sebagai terapi thrombosis baik vena maupun arteri sering kita jumpai terutama penderita yang dirawat di ruang intensif. Jika kontrolnya kurang, maka akan dapat mengakibatkan pemanjangan aPTT dan TT. Selain itu keberadaan anti koagulan patologik seperti antibody antifosfolipd juga harus diwaspadai. Hal ini akan mengakibatkan pemanjangan aPTT jauh melebihi PT. Munculnya inhibitor terhadap faktor VIII dan IX juga dapat menyebabkan perdarahan abnormal. Adanya antibody antifosfolipid maupun inhibitor dapat diketahui dengan cara melakukan pemeriksaan aPTT ulangan dan mencampurkan dengan plasma normal, perbandingan 1:1. Apabila hasil tes aPTT terkoreksi dengan baik parsial ataupun total, berarti kemungkinan keberadaan antikoagulan dapat disingkirkan. 7,16,17 Langkah kelima: apakah pasien dengan koagulopati konsumtif? Biasanya muncul pada pasien dengan kondisi DIC. Pada pasien dengan koagulopati konsumtif biasanya muncul perdarahan sistemik. Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan adalah hitung platelet, PT, aPTT, TT, fibrinogen assay, tes untuk FDP, hapusan darah tepi untuk melihat fragmentasi eritrosit, d- dimer, AT III dan αβ-antiplasmin yang memberikan informasi tentang pembentukan klot dan fibrinolisis . 7,16,17 RINGKASAN Pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan penderita dengan perdarahan masih merupakan tantangan bagi para klinisi. Banyaknya kasus perdarahan dengan penyebab, manifestasi klinis dan hasil laboratorium yang bervariasi menuntut para klinisi untuk mengambil keputusan yang sistematis dan efektif dalam bekerja. Evaluasi klinis seperti pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan teliti serta menganalisa data laboratorium yang ada sangat dibutuhkan. Gangguan hemostasis dapat dikelompokkan menjadi gangguan yang didapat dan PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 diturunkan. Berdasarkan komponen yang terganggu dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu gangguan pada vaskuler, platelet dan faktor koagulasi. Algoritme ―5 langkah‖ dapat membantu klinisi untuk menentukan penyebab perdarahan. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan baik untuk penapisan maupun pemeriksaan spesifik. Tabel 3. Evaluasi penderita dengan perdarahan 7 Langkah Gangguan Hemostasis Pemeriksaan Penunjang Langkah 1 Gangguan Platelet ? Trombositopeni atau Defek fungsi trombosit Hitung platelet Waktu perdarahan Langkah 2 Defisiensi Faktor Koagulasi tunggal? Faktor VII, VIII, IX, X, V, XI, fibrinogen PT, PTT Langkah 3 Defisiensi Faktor Koagulasi multiple? Defisiensi vitamin K, penyakit hati, terapi warfarin PT,PTT,TT Fibrinogen assay Langkah 4 Antikoagulan di sirkulasi? Heparin, antibody faktor VIII atau IX, lupus antikoagulan PTT dengan 1:1 mix TT Langkah 5 Koagulopati konsumtif? TTP, HUS, vasculitis, sepsis, komplikasi obstetri, trauma, penyakit hati Penapisan DIC: Hitung platelet PT,PTT,TT Fibrinogen, AT III, αβ-antiplasmin, d dimer, hapusan darah tepi PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 DAFTAR RUJUKAN 1. Rodgers GM, Lehman CM. The Diagnostic approach to the bleeding disorders. In: Pine JW, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM, Arber DA, Glader BG, et al,. editors. Disorders of Hemostasis. 13 th ed. Baltimore: Lippincott WilliamsWilkins, 2014, p 1043-57. 2. Disorders of Coagulation, Platelets, and vessel wall. In: Marder VJ, William CA, Bennet JS, Schulman S, White GC, editors. Hemostasis and Thrombosis. Basic Principles Clinical Practice. 6 th ed. Philadelphia: Lippincott WilliamsWilkins, 2013, p641-7. 3. Quiroga T, Mezzano D. Is my patient a bleeder? A diagnostic framework for mild bleeding disorders. American Society of Hematology. Hematology 2012, p 466-74. 4. Isbister JP, Pittigglio DH. Gagal Hemostatik. Dalam: Kartini A, Hartawan B, Mander LI, editor. Hematologi Klinik. Pendekatan Berorientasi Masalah. Cetakan I. Jakarta: Hipokrates; 1999, p140-65. 5. Tambunan KL, Marcel, Syafrizal, Zubairi, Muthalib, Harryanto. Pendekatan Diagnosis Klinis Kelainan Hemostasis. Dalam: Setiabudy RD, editor. Hemostasis dan Trombosis. Edisi keempat. Jakarta: FKUI; 2009, p 16-33. 6. Saito H. Normal hemostatic mechanism. In: Ratnoff OD, Forbes CD, editors. Disorders of Hemostasis. 3 rd ed. Philadelpia:W.B Saunders Company, 1996, p 23-52. 7. Hillman RS, Ault KA. Clinical Approach to Bleeding Disorders. In: Hematology Clinical Practice. 3 rd ed. New York: McGraw-Hill 2002, p 308-16. 8. Triplett DA. Coagulation and Bleeding Disorders: Review and Update. Clinical Chemistry 2000: 46:8B, p 1260-1269. 9. Williams WJ. Classification and Clinical Manifestations of disorders of hemostasis. In: Williams WJ, Beutler E, Erslev AJ, Lichtman MA, editors. Haematology. 7 th ed. New York: McGraw-Hill, 2007,p.1338-70. 10. Jawarkar AV. Laboratory Approach to Bleeding Disorders. Available at www.pathologybasics.wix.com . Access on October 2015. 11. Goodninght SH, Hathaway WE. Evaluation of Bleeding Tendency in the outpatient Chid and Adukt. In Seils A, McCullough K, Edmonson KG, PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 editors. Disorders of Hemostasis and Thrombosis. A Clinical Guide. 2 nd ed. Lancaster: McGraw-Hill, 2001, p 58-69. 12. Karnath BM. Easy Bruising and Bleeding in the Adult Patient: A Sign of Underlying Disease. Hospital Physician. Jan 2005;p 35-9. 13. Hayward CPM. Diagnosis and Management of Mild Bleeding Disorders. Hematology 2005;p423-8. 14. Ballas M, Kraut EH. Bleeding and Bruising: A Diagnostic Work-up. Am Fam Physician 2008:778;p 1117-24. 15. Bowie EJW, Owen CA. Clinical and laboratory diagnosis of hemorraghic disorders. In: Ratnoff OD, Forbes CD, editors. Disorders of Hemostasis. 3 rd ed. Philadelpia:W.B Saunders Company, 1996, p 53-78. 16. Mehta AB, Hoffbrand AV. Normal Haemostasis. In: Haematology at a Glance. 2 nd ed. Oxford: Blackwell Science Ltd 2005, p68-77. 17. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Platelets, Blood Coagulation and Haemostasis. In: Essential Haematology. 5 th ed. Oxford: Blackwell Science Ltd, 2006, p 264-277 PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 .UPDATE REKOMENDASI IMUNISASI PADA DEWASA Tuti Parwati Merati Divisi Ilmu Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Vaksinasi bukanlah hanya untuk bayi dan anak-anak. Dengan bertambahnya usia menjadi dewasa dan usia lanjut, tidak berarti kebutuhan untuk imunisasi berhenti. Tanpa memandang usia, kita semua perlu daya tahan tubuh yang kuat untuk menjaga tubuh dari berbagai penyakit yang serius dan bahkan fatal. Pada orang dewasa, imunisasi dapat membantu untuk mencegah seseorang terkena penyakit dan menularkan penyakit yang berakibat kondisi kesehatan yang buruk, sakit-sakitan, biaya pengobatan membengkak dan tidak dapat menjaga keluarga. Mungkin saja vaksinasi yang diperoleh saat kanak-kanak masih tetap bertahan sepanjang waktu, tapi masih ada risiko ancaman penyakit infeksi baru baik newemerging and reemerging infectious diseases . Disamping itu dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat ini pembuatan vaksin terus berkembang untuk beberapa penyakit infeksi yang sebelumnya belum ada vaksinnya atau ada pembaharuan dari vaksin yang sudah ada. Perlu diketahui bahwa setiap tahun, the Advisory Committee on Immunization Practices ACIP memperbaharui jadwal imunisasi dewasa yang direkomendasikan untuk memastikan bahwa jadwal imunisasi sekarang adalah jadwal yang sesuai untuk kondisi terbaru saat ini dan dengan vaksin yang telah berlisensi. Karena itu kita perlu mengenal update dari rekomendasi imunisasi pada dewasa. Update rekomendasi vaksinasi pada dewasa Semua orang dewasa perlu mendapat vaksin influenza setiap tahun dengan vaksin terbaru yang ada. Dalam rekomendasi baru, pemberian vaksin influenza direvisi untuk memberikan informasi lebih detail dalam pemilihan vaksin dan cara pemberiannya. Live attenuated influenza vaksin LAIV di setujui untuk diberikan hanya untuk orang sehat yang tidak PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 hamil, usia 2 – 49 tahun. Untuk usia 18 – 64 tahun dapat diberikan produk vaksin influenza inaktif IIV intra muskuler atau intradermal, termasuk vaksin rekombinan RIV3. Untuk usia 65 tahun atau lebih, dapat diberikan dosis standar IIV, dosis tinggi IIV atau RIV3. Setiap orang dewasa seharusnya mendapat vaksinasi tetanus, diphteri dan pertussis Tdap bila sebelumnya dia tidak pernah mendapatkannya, terutama untuk mencegah pertussis. Selanjutnya setiap 10 tahun perlu mendapat booster vaksin tetanus dan diphteri. Disamping itu untuk wanita hamil, vaksinasi Tdap diberikan setiap dia hamil, sebaiknya pada kehamilan 27 – 36 minggu. Vaksinasi varicella diberikan dua dosis selama periode dewasa usia 19 – lebih dari 65 tahun.Vaksin lain yang diperlukan pada orang dewasa, akan ditentukan dari beberapa faktor antara lain usia, gaya hidup, kondisi kesehatan, pekerjaan, perjalanan internasional dan riwayat vaksinasi sebelumnya dan indikasi lainnya.Vaksin tersebut adalah vaksin hepatitis A, hepatitis B, hemofilus influenza tipe B Hib, meningococal, vaksin pneumococal, vaksin human papiloma virus HPV dan vaksin herpes zoster VZV. Disamping itu rekomendasi juga memberi catatan informasi tambahan mengenai vaksin khusus termasuk untuk wisatawan. Untuk vaksin tetanus, difteri, dan pertusis aselular Tdap dan vaksin tetanus, difteri Td ada catatan dalam rekomendasi yang baru. Vaksin Tdap dianjurkan khusus untuk orang yang berhubungan dekat dengan bayi usia kurang dari 12 bulan misalnya, orang tua, kakek nenek, dan petugas perawatan anak dan mereka yang belum menerima Tdap sebelumnya. Namun, pada tahun 2011, ACIP merekomendasikan wanita hamil secara khusus diberikan vaksinasi Tdap dalam kehamilan usia lebih 20 minggu kehamilan. Orang dewasa lainnya yang berhubungan dekat dengan bayi usia kurang dari 12 bulan tetap dianjurkan untuk menerima dosis satu kali vaksin Tdap. Rekomendasi terbaru untuk human papillomavirus HPV dan hepatitis B berdasarkan rekomendasi yang dibuat pada pertemuan ACIP bulan Oktober 2011. Rekomendasi vaksin HPV telah diperbarui untuk memberikan vaksinasi rutin dari laki-laki usia 11-12 tahun, dan untuk laki- laki usia 13-21 tahun. Vaksin HPV juga dianjurkan untuk pria yang sebelumnya tidak divaksinasi. usia 22-26 tahun yang PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 immunocompromised , atau yang dites positif human immunodeficiency virus HIV, atau yang berhubungan seks dengan pria LSL. Sebelumnya, rekomendasi hanya untuk perempuan usia 19 – 26 . Vaksin herpes zoster yang telah disetujui oleh Food and Drugs Administration FDA dipakai sejak 2006 dan direkomendasikan untuk diberikan pada usia 60 tahun atau lebih. Rekomendasi vaksin hepatitis B untuk dewasa usia kurang dari 60 tahun yang menderita diabetes, diberikan segera setelah didiagnosis diabetes. Untuk orang dewasa dengan diabetes yang berusia 60 tahun atau lebih vaksinasi hepatitis B dianjurkan berdasarkan kebutuhan kemungkinan pasien dalam pemantauan glukosa darah, kemungkinan tertular hepatitis B, dan kemungkinan respon kekebalan terhadap vaksinasi. Catatan untuk vaksin campak, gondok, rubella MMR disederhanakan untuk fokus hanya pada penggunaan rutin vaksin pada orang dewasa, informasi tentang penggunaan vaksin untuk pengendalian wabah telah dihapus. Informasi tambahan diberikan tentang penggunaan vaksin konjugasi quadrivalent meningokokus MCV4 dan vaksin polisakarida meningokokus MPSV4 untuk usia tertentu dan kelompok risiko, tentang vaksin varicella, dan vaksin pneumokokus polisakarida PPSV. Referensi 1. CDC: 247 Saving lives, Protecting people. www.cdc.govvaccines 2. Recommended Adult Immunization Schedule — United States, 2015 http:www.cdc.govmmwrpreviewmmwrhtmlmm6104a9.htm 3. Adults schedule vaccination di http:www.cdc.govvaccinesrecsschedulesadult-schedule.htm 4. Pernyataan ACIP untuk vaksin tertentu di http:www.cdc.govvaccinespubsacip-list.htm PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Gambar 1. Recommended Adult Immunization Schedule — United States, 2015 Sumber: http:www.cdc.govmmwrpreviewmmwrhtmlmm6104a9.htm PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Gambar 2. Recommended Adult Immunization Schedule — United States, 2015 Sumber: http:www.cdc.govmmwrpreviewmmwrhtmlmm6104a9.htm PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Prinsip Terapi Obat Kombinasi Pada Hipertensi I Gde Raka Widiana Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP Sanglah Denpasar Abstrak Enam studi klinik terkendali besar menunjukkan bahwa diperlukan dua atau lebih obat anti hipertensi untuk mencapai taget tekanan darah tang diinginkan. JNC-8 menganjurkan bahwa obat kombinasi yang diresepkan terpisah atau kombinasi tetap dapat diberikan bila TD awal diatas 2010 mmHg tekanan darah target. Hindari kombinasi ACE-inhibitor dengan ARB. Terapi kombinasi dengan obat pil tunggal dapat meningkatkan ketaatan pasien terhadap terapi jangka panjang dan seumur hidup. Keberhasilan kendali tekanan darah sangat tergantung ketaatan pasien terhadap pengobatan. Faktor yang meningkatkan ketaatan terapi adalah efek samping. Terapi kombinasi ini selain dapat menurunkan tekanan darah secara lebih efektif, jangka panjang melindungi organ target dengan lebih baik. Strategi Terapi Hipertensi Pada enam studi uji klinik acak terkendali dilaporkan dua atau lebih obat diperlukan untuk mencapai TD target yang perlu dicapai. Pada studi Hypertension Optimal Treatment HOT study, misalnya sebanyak 68 subyek penelitian memerlukan lebih dari satu obat, 41 subyek mendapatkan felodipine plus satu ACE inhibitor, dan 28 mendapatkan felodipine plus satu beta-blocker. Pada studi UKPDS, 29 subyek memerlukan 3 obat atau lebih untuk mencapai TD 15085 mmHg 9 tahun setelah randomisasi 1 . JNC-7 menganjurkan modifikasi gaya hidup sebagai intervensi awal sebelum memberikan terapi obat antihipertensi berdasarkan derajad hipertensi dan adanya compelling indication. Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan dua obat atau lebih untuk mencapai target TD. Tambahan obat ke dua harus dipertimbangkan pemberiannya bila terapi tunggal dengan dosis adekuat gagal mencapat target TD. Bila TD lebih PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 dari2010 mmHg di atas target, perlu dipertimbangkan terapi awal dengan dua obat secara langsung dengan resep terpidah atau kombinasi dosis tetap dalam satu obat. Diuretika tipe tiazid harus diberikan sebagai obat antihipertensi untuk sebagian besar pasien sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada kondisi risiko tinggi tertentu yang merupakan indikasi mendesak, maka obat antihipertensi klas lain ACE-I, Penyekat beta, CCB, ARB dapat diberikan 2 . JNC-8 rekomendasi 6 merekomendasikan, pada populasi berkulit hitam umumnya, termasuk pasien DM, terapi antihipertensi awal harus menyertakan diuretika tiazid, calcium channel blocker CCB, angiotensin- converting enzyme inhibitor ACEI, or angiotensin receptor blocker ARB. Moderate Recommendation – Grade B. Pada rekomendasi 7, JNC-8 merekomendasikan, pada populasi berkulit hitam umumnya, termasuk pasien DM, terapi antihipertensi awal harus menyertakan diuretika tiazid ataucalcium channel blocker CCB, angiotensin-converting enzyme inhibitor ACEI, or angiotensin receptor blocker ARB. Rekomendasi sedang – Grade B. Untuk populasi berkulit hitam: Moderate Recommendation – GradeB; untuk pasien berkulit hitam dengan DM: rekomendasi lemah – Grade C. Pada rekomendasi 9, dinyatakan bahwa tujuan utama terapi hipertensi adalah untuk mencapai dan mempertahankan target TD. Bila target TD ini tidak dapat dicapai dalam satu bulan terapi, peningkatan dosis dari terapi obat awal dan ditambahan obat ke dua dari salah satu klas yang direkomendasikan pada rekomendasi 6, yakni thiazide-type diuretic, CCB,ACEI, or ARB. Klinisi harus selalu menilai TD dan menyesuaikan rejim terapi sampai target TD dicapai. Bila target TD tak dapat dicapai dengan dua obat, tambahkan dan sesuaikan dosis obat ke tiga dari daftar obat yang sesuai. ACEI dan ARB jangan dipakai bersama-sama pada satu pasien. Apabila target TD tak dapat dicapai karena terdapat kontraindikasi terhadap pemakaian obat-obat ini atau diperlukan lebih dari 3 obat untuk mencapai taget TD, maka obat antihipertensi dari klas lain dapat digunakan. Rujuk ke dokter spesialis hipertensi, bila taget TD tak dapat dicapai dengan menggunakan strategi tersebut di atas atau untu manajemen pasien yang sulit dimana konsultasi klinis tambahan Expert Opinion – Grade E 3 . Strategi pemilihan obat anti hipertensi dapat dilakukan dengan tiga pendekatan: 1 dimulai dengan satu PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 obat sampai dosis maksimun, bila gagal mencapai target tekanan darah yang diinginkan, baru ditambahkan obat ke dua; 2 dimulai dengan satu obat walaupun belum mancapai dosis maksimun, dan belum mencapai target tekanan darah baru ditambah kan obat ke dua, dan 3 langsung dimulai dengan dua obat kombinasi yang diberikan secara terpisah atau dalam satu obat kombinasi 4 . ESHESC 2013, menganjurkan kombinasi dua obat antihipertensi dengan dosis tetapi dalam satu tabel karena mengurangi jumlah tablet yang diminum sehingga meningkatkan ketaatan, yang ternyata rendah pada pasien hipertensi. Gambar 1. Kombinasi antihipertensi yang dianjurkan oleh ESHESC 2013. Garisputus-putus menunjukkan kombinasi yang kurang dianjurkan, garis hijau menunjukkan kombinasi yang dianjurkan, dan garis merah adalah kombinasi yang tidak dianjurkan 5 . ASHISH Hypertension Guidelines 2013, menganjurkan bila pasien hipertensi yang belum diobati memiliki TD sedikitnya 2010 mmHg di atas TD taget perlu dipertimbangkan segera memulai terapi dengan dua obat 6 . PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Pemilihan jenis obat antihipertensi dilakukan dengan mempertimbangkan compelling indication WHOESH, 2003 seperti melihat pada tabel 1. Tabel 1. Pemilihan jenis obat antihipertensi dilakukan dengan mempertimbangkan compelling indication WHOESH, 2003 2 . British Society of Hypertension menganjurkan obat antihipertensi pertama yang dipakai pada pasien muda berumur kurang dari 55 tahun atau ras bukan hitam adalah obat tunggal ACEI atau angiotensin receptor blockers ARB atau beta blockers, dan pasien tua berumur 55 tahun atau lebih, atau ras hitam adalah obat tunggal CCB atau diuretika step 1. Bila dengan obat tunggal tersebut di atas gagal mencapai target tekanan darah yangdiinginkan, maka langkah selanjutnya step 2, maka tambahan obat kedua dapat diberikan. Pada pasien muda berumur kurang dari 55 tahun atau ras bukan hitam, obat tambahan ke dua yang PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 diberikan adalah obat pasangannya ACEI atau ARB atau beta blockers dan pada pasien tua berumur 55 tahun atau lebih, atau ras hitam adalah obat tunggal tambahan ke dua yang diberikan adalah obat pasangannya CCB atau diuretika . Pada langkah selanjutnya step 3, bila tekanan darah yang diinginkan tidak tercapai maka tambahan obat yang dipilih adalah salah satu dari tiga obat ACEI atau ARB, CCB atau diuretika . Bila gagal mencapai target tekanan darah, maka tambahan obat ke empat adalah alpha receptor blockers atau spirololacton atau diuretika 7,8 , lihat gambar 1. Pemilihan kombinasi obat ini sangat tergantung dari indikasi kelainan organ target sesuai dengan compelling indication efek samping yang muncul dan harga yang dapat dijangkau pasien. Efek batuk dan penurunan fungsi ginjal secara akut dan hiperkalemia adalah efek samping yang dikhawatirkan pada ACE-I, sementara efek batuk ini dapat diatasi dengan obat ARB yang bekerja pada sistem sama yakni sistem renin angiotensin aldosteron. Diuretika murah harganya, namun demikian efek samping yang perlu diwaspadai adalah kelainan elektrolit hipokalemia dan hipomagnesemia serta kontraksi volume cairan tubuh. Calcium channel blockers dapat meyebabkan edema perifer tungkai, sakit kepala akibat vasokonstriksi venula, sehingga mengakibatkan ekstravasasi di kapiler. Disisi lain keuntungan obat yang bekerja pada sistem rennin angiotensin aldosteron, seperti ACE-I dan ARB adalah proteksi penurunan fungsi ginjal, karena dapat menurunkan tekanan darah intraglomeruler. Efek ini disebabkan oleh pengaruh vasodilatasi yang lebih besar pada vas eferen dibandingkan vas aferen. Di sisi lain, kondisi ini diperlukan untuk melindungi fungsi ginjal pada penyakit ginjal diabetik atau pasien dengan proteinuria. Sedangkan, obat CCB sering meningkatkan proteinuria. Kondisi ini dapat dimaknai sebagi meningkatnya tekanan intraglomeruler yang merugikan. Efek ini disebabkan oleh efek vasodilatasi yang lebih besar pada vas afferent dibandingkan vas eferen oleh CCB. Efek yang tidak diinginkan pada ginjal khususnya meningkatnya tekanan darah intraglomeruler dapat diimbangi dengan efek penurunan tekanan darah intraglomeruler oleh obat ACE-I atau CCB. Di lain pihak efek edema oleh PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 CCB dapat diimbangi oleh vasodilatasi venula pada sirkulasi perifer sehinga efek samping edema dapat ditekan. Menurunnya risiko efek samping obat kombinasi ACE-I dan CCB ini selain dapat meningkatkan efek penurunan fungsi ginjal secara akut sebagai efek samping jangka pendek, namun kedua obat ini memberikan efek perlindungan ginjal jangka panjang. Gambar 2. Diagram langkah-langkah terapi hipertensi berdasarkan British Society of Hypertension,2003 Ketaatan pasien terhadap terapi obat antihipertensi jangka panjang ditingkatkan sehingga perlindungan organ target menjadi lebih baik. Namun, efek gagal ginjal akut harus dihindari, dan hal ini dapat ditekan dengan kombinasi dengan obat CCB. Pada prinsipnya terapi hipertensi adalah seumur hidup, sehingga factor-faktor penentu keberhasilan terapi hipertensi adalah: 1 efek penurunan tekanan darah yang cepat dan intensif; 2 memberikan ketaatan terapi yang lebih baik. Terapi yang lebih sederhana misalnya sekali sehari PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 dengan obat tunggal dapat meningkatkan ketaatan pasien, dan 3 dapat memberikan perlindungan perlindungan organ target yang lebih baik 9-11 . Kesimpulan Efek jangka panjang terhadap perlindungan organ oleh kontrol tekanan darah tergantung dengan ketaatan terapi antihipertensi dan target penurunan tekanan darah. Efek samping obat sangat menentukan ketaatan terapi obat anthipertensi. Keberhasilan pengobatan dapat menekan morbiditas dan mortalitas pasien hipertensi. Terapi kombinasi dalam satu pil, selain memiliki efek potensiasi terhadap penurunan tekanan darah, juga mengimbangi efek samping satu obat oleh obat lainnya Daftar Pustaka 1. King P, Peacock I and Donnelly R. The UK Prospective Diabetes Study UKPDS: clinical and therapeutic implications for type 2 diabetes. Br J Clin Pharmacol . 1999 Nov; 485: 643 –648.doi: 10.1046j.1365- 2125.1999.00092.x . 2. Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo Jr JL, Jones DW et al. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. U.S. DEPARTMENT OF HEALTH AND HUMAN SE RVICES. National Institutes of Health National Heart, Lung, and Blood Institute. NIH Publication No. 03-5233 December 2003. 3. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler C, et al. Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in AdultsReport From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee JNC 8. JAMA. 2014;3115:507-520. doi:10.1001jama.2013.284427. 4. Paul A, Suzanne O, Barry L C, Cushman, WC, Cheryl Dennison- Himmelfarb RN, Handler J, 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee JNC 8. JAMA . doi:10.1001jama.2013. PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 5. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redán J, Zanchetti A, Böhm M, et al. Practice guidelines for the management of arterial hypertension of the European Society of Hypertension ESH and the European Society of Cardiology ESC: ESHESC Task Force for the Management of Arterial Hypertension. Journal of Hypertension 2013. 31:1281-1357. 6. Weber M et al. The Journal of Clinical Hypertension. 2013. 1-13. 7. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, et al and the National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. The JNC 7 Report. JAMA. 2003;28919:2560-2571. doi:10.1001jama.289.19.2560. 8. Brown MJ. Better blood pressure control, how to combine drugs.J Hum Hypertens 2003;17:81-86.; 2007. 9. Guidelines for the management of hypertension‖ J Hypertens. 2007;25:1105 –1187.J Hypertens. 2009;27:2121-2158. 10. Gupta AK, Arshad S, and Poulte NR. Compliance, safety, and effectiveness of fixed-dose combinations of antihypertensive agents a meta-analysis. Hypertension 2010; 55:399-407 11. Makani H, Bangalore S, Romero J, Wever-Pinzon O, Messerli FH. Effect of renin-angiotensin system blockade on calcium channel blocker-associated peripheral edema. Am J Med. 2011;1242:128 –135. PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Problems Regarding Herpes Zoster in Elderly RA Tuty Kuswardhani RS PTN Universitas Udayana Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Epidemiologi Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6 setahun, di Inggris 0,34 setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1 setahun. Herpes Zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya karena varisela dan Herpes Zoster disebabkan oleh virus yang sama yaitu virus varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela, virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun 1,2 Herpes zoster ditemukan pada lebih kurang 20 dewasa sehat dan lebih kurang 50 pada orang dengan imunokompromais yang pernah terinfeksi VZV. Kebanyakan kasus berumur lebih dari 45 tahun dan insidennya meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Insiden herpes zoster pada individu kurang dari 50 tahun ratio insidennya 2,51000, pada individu lebih tua 60-79 tahun adalah 6,51000, sedangkan pada usia di atas 80 tahun meningkat menjadi 1011000. Herpes zoster sangat jarang ditemukan pada anak-anak usia di bawah 10 tahun, dengan insiden 0,74 per 1000 anak. Adanya herpes zoster pada anak disebabkan infeksi primer VZV selama tahun-tahun pertama kehidupan atau infeksi intra uteri dari ibu selama kehamilan 2,3 Diperkirakan lebih dari 90 orang dewasa di Amerika membawa virus varisela zoster dan berisiko untuk mengalami herpes zoster. Kejadian herpes zoster meningkat seiring penambahan umur. Hal ini diduga diakibatkan oleh penurunan respon sistem imun yang dimediasi sel seiring penambahan umur. Suatu studi menunjukkan bahwa kejadian reaktivasi PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 VVZ pada keseluruhan populasi sebesar 0,3, sedangkan pada populasi berumur lebih dari 80 tahun ditemukan 1. Pada studi berbasis populasi lainnya dilaporkan insiden reaktivasi VVZ sebesar 0,5 pada populasi berumur lebih dari 75 tahun. Pada studi ketiga, insiden meningkat menjadi 1 pada orang yang berumur lebih dari 65 tahun. Onset kedua dari penyakit muncul dalam 6 pada individu lebih tua, sering setelah interval lebih dari 1 dekade. Insiden terjadinya komplikasi, seperti postherpetic neuralgia, juga meningkat seiring peningkatan umur 1,2,3 Reaktivasi VVZ lebih umum terjadi pada seseorang dengan infeksi HIV dibandingkan dengan populasi umum. Suatu study menunjukkan reaktivasi VZV sebesar 3 pada pasien dengan serologi HIV positif dibandingkan dengan pasien serologi HIV negatif sebesar 0,2. Reaktivasi VVZ secara signifikan lebih umum terjadi pada wanita dibanding laki-laki, khususnya pada lanjut usia. Insiden reaktivasi VVZ dilaporkan lebih tinggi pada ras Kaukasia dibanding non Kaukasia. Pada studi Geriatrik, 3,4 subjek ras Kaukasian mengalami herpes Zoster dibandingkan dengan 1,4 pada ras Afrika-amerika 3,4 Etiologi dan Patogenesis Herpes Zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela Zoster dan tergolong virus berinti DNA, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili Alfa herpes viridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, pejamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran pejamu yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine thymidine kinase yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi 3,4 PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Gambar 1. Struktur Virus Herpes Zooster Beberapa subtipe dari herpes zoster membutuhkan terapi antivirus intravena. Pengobatan Herpes Zoster melibatkan saraf kranial kelima, hal tersebut dapat menyebabkan luka pada kornea dan panophthalmitis sekunder serta kaburnya pengelihatan. Tanda-tanda karakteristik Herpes Zoster adalah vesikula di ujung hidung dan sensasi-benda asing pada mata.Sindrom Ramsay Hunt merupakan Herpes Zoster bagian dari ganglion geniculate, yang terletak di genu saraf ketujuh. Hal ini ditandai dengan ipsilateral facial palsy mirip dengan Bell palsy dan dapat menyebabkan ketulian. Vesikel berkembang di meatus auditori eksternal, pada pinna dan kadang-kadang di langit-langit yang lunak. Glossopharingeus dan zoster vagal mempengaruhi jugularis dan petrosus ganglia yang berdekatan dan sering terlibat secara bersamaan, meskipun keterlibatan ganglial individu juga dapat terjadi sendiri 3,4,5 Penyebarluasan Herpes Zoster melibatkan lebih dari 3 dermatom atau memiliki lebih dari 20 lesi diluar dermatom. Hal tersebut mempengaruhi pasien dengan limfoma non-Hodgkin atau infeksi HIV. Hal tersebut juga bermanifestasi sebagai vesikel umum, papulovesicles, atau erosi. Penyebarluasan Herpes Zoster dapat melibatkan organ internal, menyebabkan hepatitis, pneumonitis, meningoencephalitis, myelitis, atau motorik radiculopathy 5 PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Pathogenesis dari PHN Pathogenesis dari PHN ditandai dengan kerusakan saraf di sumsum tulang belakang dan ganglion serta saraf perifer. Fibrosis tercatat di akar ganglion, akar saraf dan saraf perifer pada resolusi tahap akut. Kerusakan saraf utama dapat aktif secara langsung dan menjadi hypersensitive pada rangsangan perifer 5,6 Gejala Klinis Gejala klinis Herpes Zoster timbul 3 sampai 5 hari setelah gejala awal ditandai dengan bercak makulopapupar pada saraf dermatom sensoris dan vesikel mengandung VZV. Timbul pustul kemudian ulkus dengan krusta pada 7 sampai 10 hari berikutnya dan dapat bertahan sampai 30 hari pada fase akut.. Pada akhir proses penyembuhan, muncul hiperpigmentasi post inflamasi sepanjang dermatom yang terkena 5,6,7 Tanda khas dari adanya destruksi neuronal akibat VZV adalah kulit yang sangat sensitif pada dermatom yang terkena 1. Gejala prodormal biasanya bertahan beberapa hari, meskipun beberapa laporan kasus mendapatkan gejala tersebut dapat bertahan beberapa minggu sampai bulan. Pada akhirnya virus akan menginfeksi sel pada dermis dan epidermis, menghasilkan bercak yang khas.Dalam 3 sampai 5 hari setelah gejala awal, bercak makulopapupar akan timbul pada saraf dermatom sensoris di sebelah ganglia yang terlibat, biasanya mengenai T1 sampai L2 dan dermatom V1. Vesikel-vesikel tersebut mengandung VZV. Dalam 7 sampai 10 hari berikutnya, bercak tersebut berubah menjadi pustul dan ulkus dengan krusta, scabbing, atau keduanya, yang dapat bertahan sampai 30 hari pada fase akut. Pada akhir proses penyembuhan, muncul hiperpigmentasi post inflamasi sepanjang dermatom yang terkena 5,6 Neuralgia post herpetika NPH didefinisikan sebagai nyeri herpes zoster yang berlangsung selama lebih dari 30 hari setelah dimulainya penyembuhan kulit. NPH merupakan sekuele herpes zoster yang paling sering dan paling berat pada pasien dengan sistem imun yang baik NPH mengenai 8 sampai 70 pasien dan insiden serta durasinya meningkat sesuai usia pasien 3 Pada satu penelitian, kurang dari 1 pasien dengan zoster yang berusia kurang dari 40 tahun mengalami NPH, dibandingkan dengan 18 pasien berusia lebih dari 75 tahun. Sebagai tambahan, setiap PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 10 tahun penambahan usia berkaitan dengan peningkatan insiden kelainan ini secara proporsional 6,7 Persentase pasien berusia lebih dari 50 tahun dengan nyeri pada grup plasebo mencapai 54 pada 3 bulan dan 35 pada 6 bulan setelah bercak. Alodinia, atau nyeri yang timbul setelah rangsangan yang tidak nyeri, merupakan komponen paling berat dari penyakit ini. Pasien dengan alodinia akan nyeri dengan sentuhan ringan seperti memakai baju. Tipe nyeri ini menimbulkan rasa lelah kronis, gangguan tidur, depresi, anoreksia, penurunan berat badan dan isolasi social 6,7 Diagnosis Nyeri merupakan gejala yang paling umum dariHerpes Zoster dan didahului ruam pada kulit dalam hitungan hari sampaiminggu.Kebanyakan pasien merasakan sensasi seperti terbakar atau dysesthesias.Ruam initerbatas pada satu dermatom, tetapi dapat mempengaruhi dua atau tiga dermatom didekatnya.Beberapapasien memiliki vesikel yang tersebar beberapa tempat, jauh dari dermatom yang terjangkit dan ini tidak memiliki arti prognostik.Penyebaran herpes zoster untuk organ visceral sangat jarang terjadi di individu imunologis utuh, meskipun beberapa pasien dengan vaskulitis dan myelitistelah dilaporkan.Komplikasi herpes zoster termasuk okular danmerupakan manifestasi neurologis, superinfeksi bakteri dari kulitdan neuralgia postherpetic.Herpes zoster juga dapat mengakibatkanperadangan meningeal dan ensefalitis klinis 9 Terkadang, VZV reaktivasinya mempengaruhi motor neuron dijaringan dan batang otak tulang belakang yang mengakibatkan motor neutrofilropathies.Kemungkinan VZV multilokallopathy pada pasien dengan perubahan status mental atau focal neurologicselama atau setelah herpes zoster.Mengevaluasi pasien dengan hemiparesis yang diikuti denganherpes zoster oftalmikus dalam beberapa minggu atau bulan untuk kemungkinanVZV terkait sistem saraf pusat vasculitis.Herpes zoster oftalmikus adalah komplikasi serius terkait dengan reaktivasi VZV di ganglion trigeminal.Sindromdimulai dengan sakit kepala dan demam diikuti denganerupsi vesikular sepanjang dermatitis trigeminalmatome dan dapat menyebabkan conjunctivitis, episkleritis dan lid droop.Sebagian besar pasien akan terus berkembang menjadi keratitis.Diagnosis yang cepat danpengobatan sangat penting untuk mencegah hilangnya PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 penglihatan.VZV juga sebagai penyebab patogen dari nekrosis retina akut dipasien imunokompeten.Pasien biasanyamengeluh penglihatan kabur dan sakit disekitar mata dan dapat menunjukkaniridosiklitis akut, vitritis, necrotizing retinitisdan oklusif vaskulitis retina. 8,9 Pada kasus dengan presentasi tidak khas diperlukan tes diagnosis secara laboratoris untuk memastikan diagnosis. Virus sulit diisolasi dari swab lesi, pemeriksaan imunofluoresensi lebih sensitif dan terpercaya.Spesimen dari lesi vesikel awal memberikan nilai diagnosis yang lebih baik dibandingkan lesi yang sudah berpustul atau berkrusta. Deteksi antigen VZV secara imunofluoresensi pada vesikel atau spesimen lain seperti biopsi jaringan atau cairan serebrospinal merupakan tes terbaik karena cepat dalam hitungan jam, sensitif dan spesifik sampai 90 . Kultur VZV lebih lambat dan kurang sensitif 40, namun tetap merupakan standar pada diagnosis virologis. 8,9 Pewarnaan Tzanck dapat mengarahkan diagnosis infeksi VZV jika ditemukan sel raksasa multinukleus dan inklusi intranuklear, namun teknik ini tidak dapat membedakan VZV dan infeksi virus herpes simpleks.Deteksi DNA oleh PCR sangat sensitif hampir 100 dan spesifik dan sangat berguna pada spesimen yang tidak biasa atau kasus yang tidak khas. 8 Penatalaksanaan Pengobatan untuk herpes zoster terdiri dari dua cara yaitu, non farmakologidan terapi obat.Banyak pasien hanya memerlukan dasar intervensi untuk mengurangi risiko infeksi dan meminimalkan rasa sakit.Orang lain mungkin memerlukan terapi antiviral oral atau intravena untukmempercepat penyembuhan dan mengurangi rasa sakit.Untuk pasien dengan infeksi herpes zoster berat, dapat dipertimbangkan untuk rawat inap dan terapi dengan parenteraluntuk terapi antivirus.Hal ini penting untuk pasien dengan okular atau visceral involment 8,9 Terapi Non Farmakologi Beberapa intervensi dasar dapat mengurangi risiko infeksi dan meringankan gejala 1,2,10 . Pasien harus dianjurkan untuk:  Menjaga agar lesi bersih sabun dan air dankering untuk mengurangi risiko superinfeksi bakteri. PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015  Terapkan kompres air, garam, larutan Burrow danganti pelindung untuk mengurangi gejala-gejala.  Melindungi lesi dengan steril, oklusif, ganti nonadherent.  Kenakan pakaian longgar untuk meningkatkan kenyamanan. Terapi Farmakologi Terapi antivirus mempercepat penyembuhan kulitlesi dan mengurangi durasi nyeri, mungkin dengan batas tingkat kerusakan dilakukan pada saraf sensorik oleh replikasi VZV dan dengan memperpendek durasipembentukan lesi baru.Penggunaan krim topikal atau salep, temasuk kortikossteroid topikal, acyclovir atau famciclovir. Tiga obat antivirus oral yang disetujui FDA untukpengobatan herpes zoster pada pasien imunokompeten: acyclovir, valacyclovir dan famciclovir.Valacyclovir dan Famciclovirdisukai dalam praktek sehari hari karena memiliki cara pemberian dosis yang mudah dan meningkatkan farmakokinetik dibandingkan dengan Asiklovir.Valasiklovir dan Famsiklovir terapi ini setara untuk pengobatan herpes zoster ,Valacyclovir denganbiaya efektif 10,11,12 Acyclovir Acyclovir serum tiga sampailima kali lipat lebih tinggi efektifitasnya daripada yang dicapai dengan Acyclovir oral.Dalam kontrol plasebo, Valacyclovir dan Acyclovirsetara dalam hal mempercepat proses penyembuhan kulit pada pasien herpes zoster. Acyclovir800 mg po 5 x hari selama 7-10 hari.Acyclovir efektifmengurangi durasi pelepasan virus, memperpendek pembentukan lesi baru, dan mempercepat peristiwapenyembuhan kulit.Banyak studi telah membuktikan bahwa terapi Asiklovirmengurangi frekuensi akhir inflamasi komplikasi okular dari 50 - 60 menjadi 20 -30.Sistemikterapi antivirus telah digantikan antivirus topikalpersiapan untuk mengobati komplikasi okular dari herpes zoster ophthalmicus 12,13 Valacyclovir PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Valacyclovir paling cepat memperpendek durasinyeri zoster dan durasi postherpeticneuralgia pada orang dewasa.Perawatan dalam tujuh hari Valacyclovir 1 gr po tiddisarankan 12,13 Famciclovir Famciclovir secara signifikan unggul dengan plasebo dalammengurangi durasi pelepasan virus, membatasi durasi pembentukan lesi baru, mempercepat penyembuhan kulitdan, khususnya pada pasien yang lebih tua dari 50 tahun, mengurangidurasi neuralgia postherpetik.Perawatan dalam tujuh hariFamsiklovir 500 mg po tid disarankan, meskipun rejimen lainnya telah terbukti efektif sehubungan denganpenyembuhan kulit dan resolusi nyeri akut.Saraf kranial yang paling sering terkenaherpes zoster adalah oftalmik dari trigem.Pasien dengan herpes zoster oftalmikusharus ditangani dengan terapi antivirus bahkan jika lesi selama lebih dari 72 jam.Dalam ketiadaanterapi antivirus apapun, sekitar 50 pasiendengan kondisi ini akan mengalami komplikasi ocular 12,13 Analgesik narkotik Ketika nyeri neuralgiaHerpes Zoster semakinparah dan pasien yang kulitnya terkena ruam relatif memiliki rasa sakit yang parah.Nyeri ini tidak boleh diabaikan dan harus segera diatasi. Upaya sedini mungkin untuk melemahkan nyeri akut dapat mencegah sakit dan mengurangi risiko postherpetic neuralgia 12,13 Edukasi dan Prevensi untuk Pasien Imunisasi Saat ini vaksin untuk Herpes Zoster telah tersedia,pasien dengan imunokompeten yang berusia 60 tahun dan lebih tua harus diberi imunisasi. Mempersiapkan pasien secara psikologis untuk mengelolasakit kronis dan menyarankanmereka untuk menatalaksanai pengendalian nyeri yang adekuat 12 Simpulan PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Insiden herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Insiden terjadinya komplikasi, seperti postherpetic neuralgia, juga meningkat seiring peningkatan umur. Herpes Zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster dan terjadi akibat reaktivasi virus yang dorman pada infeksi primer. Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis adanya lesi sesuai dermatome yang disertai nyeri dan didukung oleh pemeriksaan penunjang dengan pewarnaan tzanck, kultur VVZ, ataupun deteksi DNA dengan PCR. Penatalaksanaan herpes zoster dapat dilakukan dengan pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis. Saat ini telah tersedia vaksin untuk herpes zoster untuk pasienimunokompeten yang berusia 60 tahun atau lebih. Daftar Pustaka 1. Hasan T, Donald L.; Best Practice Guide Vaccination programmes in Older People. British Geriatrics Society. 2011. 2. American Geriatric Society. A Pocket Guide To CommonImmunizations For The OlderAdult ≥ 65 years. Available at : http:www.americangeriatrics. orgfilesdocuments AGS_PocketGuide.pdf. 2015. 3. Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N Engl J Med 2012; 3475: 340-346 4. Schmader K. Herpes Zoster in the Elderly: Issues Related to Geriatrics. Clin Infect Dis 1999; 28: 736-739 5. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnostic and Therapiutic Consideration. Altern Med Rev 2006; 11: 102-113. 6. Straus SE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, et al., eds. Fitzpatrick‘s dermatology in general medicine, 6th ed. New York: McGraw-Hill, 2006; 2427 –50. 7. Cohen K, Salbu R, Frank J, Israel I. Presentation and Management of Herpes Zoster Shingles in the Geriatric Population. Pharmacy and Health Outcomes. 2008; 201:38;217-27. 8. Cohen JI. Herpes Zoster. Clinical Practice. 2013 9. Shaikh S, Ta CN. Evaluation and management of herpes zoster ophthalmicus. Am Fam Physician 2002;66:1723 –1730 PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 10. Greenberg S.A. Immunizations for Older Adults. Hartford Institute for Geriatric Nursing, New York University College of Nursing. Hardfordgin. Available at : http:consultgerirn.orguploadsFiletrythistry_this_21.pdf. 2012 11. Opstelten W, van Essen G, Schellevis F, et al. Gender as an independent risk factor for herpes zoster: A population-based prospective study. Ann Epidemiol 2006;16:692 –695 12. Straus SE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K , et al., eds. Fitzpatrick‘s dermatology in general medicine, 6th ed. New York: McGraw-Hill, 2006; 2427 –50. 13. Scheinfeld NS. Skin Disorders in Elderly Persons: Identifying Viral Infections. 2007. Lampiran Kategori Histori dan Pemeriksaan Fisik untuk PenyakitHerpes Zoster 13 Kategori Histori Kategori Pemeriksaan Fisik Catatan Histori varicella sebelumnya Herpes zoster tidak dapat berkembang tanpa infeksi VZV primer sebelumnya. Proporsi orang dewasa Amerika yang seropositif untuk VZV mencapai 100. Namun, beberapa orang dewasa seropositif tidak akan dapat memberikan riwayat varicella sebelumnya Histori Gejala constitutional Pasien mengeluh sakit kepala, fotofobia, dan malaise, tapi demam yang signifikan jarang terjadi Histori Nyeri Pasien mengeluh gatal atau kesemutan ringan PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 hingga parah yang mendahului perkembangan lesi kulit dengan 1-5 hari atau kadang-kadang minggu Pemeriksaan Fisik Tanda vital: suhu Pasien dengan herpes zoster menderita demam ringan, peningkatan suhu yang signifikan biasa terjadi. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan kulit: bintil merah pada kulit Perubahan kulit dimulai dengan eritematosa ruam makulopapular diikuti dengan munculnya vesikel secara jelas. Pembentukan vesikel baru biasanya terjadi selama 3-5 hari, diikuti oleh lesi pustulation dan scabbing . kulit lesi sembuh dalam 2-4 minggu, sering meninggalkan jaringan parut kulit secara permanen serta perubahan pigmentasi. Bintil pada kulit, muncul disertai segmen dan dipersarafi oleh ganglion sensorik tunggal. Tumpang tindih lesi ke dermatom yang berdekatan terjadi di 20 dari pasien. Dermatom yang paling sering terlibat adalah dada, diikuti oleh tengkorak terutama trigeminal, PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 lumbar, dan serviks. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan kulit: selulitis Superinfeksi bakteri dari lesi kulit terkadang dapat terjadi Pemeriksaan fisik Pemeriksaan HEENT Sindrom berhubungan dengan herpes zoster dari saraf kranial termasuk herpes zoster oftalmikus divisi pertama dari saraf trigeminal dan Sindrom Ramsay Hunt ganglion geniculate dari CN VII, dengan vesikel telinga menyebabkan menurunnya rasa pada anterior dua pertiga dari lidah, dan ipsilateral kelumpuhan wajah. Vesikel di luar hidung tanda Hutchinson biasanya terlihat pada pasien dengan keratitis VZV Pemeriksaan fisik Pemeriksaan syaraf Allodynia nyeri yang dipicu oleh sentuhan ringan dapat terjadi pada dermatom. Berbagai komplikasi neurologis dapat terjadi selama herpes zoster akut, termasuk vaskulopati, mielitis, tengkorak dan perifer palsi saraf, serta polyradiculitis PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 EFIKASI DAN KEAMANAN VAKSINASI HERPES ZOSTER PADA USIA LANJUT IGP Suka Aryana Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar PENDAHULUAN Proses penuaan berhubungan dengan penurunan kekebalan dapat mengakibatkan usia lanjut semakin mudah terkena penyakit infeksi dan penurunan respon terhadap vaksinasi. Penurunan kekebalan tubuh akibat penuaan terjadi baik pada system kekebalan yang alami maupun yang didapat. Keadaan ini dikenal dengan nama immunosenescence dengan berbagai konsekuensi klinis yang terjadi. Di masa mendatang akan terjadi ledakan populasi usia lanjut. Beberapa penyakit infeksi akan mengalami peningkatan pula seperti infeksi influenza, pneumonia, herpes zoster dan beberapa penyakit infeksi lainnya. Di lain pihak usaha untuk pencegahan dengan vaksinasi untuk menurunkan kejadian infeksi tersebut menjadi tantangan. Efikasi vaksinasi pada usia lanjut akan menurun dibandingkan dengan usia dewasa. Pemahaman tentang manifestasi klinis dan konsekuensi dari immunosenescence terutama dalam menentukan petanda dari penurunan dari fungsi imun pada kondisi pasien usia lanjut dengan kerapuhan dan hubungannya dengan mobiditas dan mortalitas sangat dibutuhkan. Herpas Zoster adalah penyakit yang yang sering terjadi pada usia lanjut akibat reaktifasi dari virus varisela. Manifestasi klinis berupa ras vesicular yang unilateral dan lokasinya terbatas pada satu dermatom sebagai ciri khasnya. Klinis akan disertai dengan adanya nyeri seoanjang dematom tersebut. Nyeri secara terus menurus akan menetap dapat seminggu, sebulan bahkan sampai beberapa tahun untuk kasus yang berat. Hal ini akan menurunkan kualitas hidup pasien usia lanjut kita. Komplikasi nyari yang serius ini kita sebut sebagai Postherpetic Neuralgia PHN. Studi menunjukan rerata nyeri menetap kurang lebih sekitar 90 hari setelah penyembuhan ras di kulit. Komplikasi serius dapat terjadi kebutaan pada optalmik zoster, superinfeksi bakteri pada kulit, dan herpes zoster PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 diseminata. Komplikasi yang serius biasanya terjadi pada pasien yang kekebalannya menurun. Pengobatan antiviral sangat diperlukan baik untuk pasien dengan kekbalan menurun maupun yag sehat. Oral antiviral sebaiknya diberikan lebih awal mempunyai prognosis lebih baik. Terapi antiviral sebaiknya mulai diberikan dalam waktu 3 hari setelah muncul lesi kulit. Lama terapi diberikan seminggu dan bila terjadi Herpes Zoster yang serius, pasien dengan kekebalan menurun dan adanya komplikasi neurologis dapat diberikan antiviral intra vena. Tantangan dalam penanganan Herpes zoster tidak saja akibat virusnya tetapi juga adanya komorbiditas yang lain yang berkontribusi terhadap tingginya morbiditas dan mortalitas pasien herpes Zoster. Disamping proses penuaan, penurunan kekebalan akibat penyakit keganasan, HIV, obat imunosupresif meningkatkan risiko terinfeksi herpes zoster hamper 10 kali lipat. Program vaksin menjadi program penting untuk menurunkan kejadian herpes zoster pada kelompok berisiko terutama pada usia lanjut. Program Vaksin Varisela yang dilakukan pada anak-anak secara bermakna dapat menurunkan kejadian infeksi varisela tetapi tidak herpes zosternya, walaupun herpes zoster adalah reaktivasi dari infeksi virus varisela sebelumnya. Di Amerika program vaksin varisela yang dilakukan secara universal ternyata tidak mengubah insiden dari infeksi herpes zoster. Hal ini menunjukan bahwa kejadian infeksi herpes zoster disebabkan oleh factor lain. Studi terus dikembangkan termasuk mengetahui kemungkinan vaksinanasi virus varisela meningkatkan kejadian infeksi zoster. Dikembangkannya vaksin herpes zoster menjadi jawaban terhadap masalah ini. Vaksin herpes zoster telah mendapat ijin untuk didistribusikan sejak tahun 2006 oleh badan resmi seperti Food and drug Administration FDA, European Medicine Agency EMEA, Australia Therapeutic Goods Administration TGA , vaksin tersebut mulain banyak digunakan termasuk di Asia. Vaksin direkomendasikan untuk populasi umur lebih dari 50 tahun Austria dan Swedia, 60 tahun Amerika, Kanada, Korea dan Thailand, 60- 79 tahun Australia dan 70-79 tahun Inggris. PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 IMMUNOSENESCENCE Perubahan sistem imun akibat penuaan immunosenescence terjadi pada sistem imun alami dan didapat serta perubahannya meliputi jumlah dan fungsi dari sistem imun tersebut tabel1 Tabel 1. Perubahan sistem imun akibat proses penuaan Sistem imun alami Sistem imun didapat Sitokin Proinflamasi status inflamasi subklinis Netrofil jumlah, pagositosis tetap tetapi produksi superoxide, kemotaksis, apoptosis, dan tranduksi sinyal menurun Makrofag jumlah tetap, tetapi pagositosis, produksi superoxide, kemotaksis, apoptosis, produksi sitokin dan tranduksi sinyal menurun Sel Natural Killer tranduksi sinyal, respon terhadap sitokin, produksi sitokin dan aktifitas sitotoksik menurun Sel dendritic jumlah plastositoid tetap, tetapi jumlah total dan myeloid sel dendritik darah perifer, sel dendritik timus, jumlah dan migrasi sel Langerhans , serta produksi IL 12 oleh dendritik di darah perifer menurun Sel T 1. Involusi timus, 2. Penurunan Naïve CD45RA+CD28+, CD8, kemampuan replikasi, respon terhadap antigen dan efektor memori CD4, serta 3. Peningkatan memori CD45RA- CD28, CD8+, efektor CD45RA+CD28-, end stage deffentited effector T cells, Produksi IL4 oleh CD8, central memory CD4 Sel B 1. Penurunan Naïve sel B, diversitas respon antibody, class switching and somatic recombinantion TCR repertoire. 2. Peningkatan efektor sel B Imunitas alami adalah elemen kunci system imun yang mencegah masuknya bahan pathogen ke dalam tubuh, dan memberikan instruksi kepada imunitas didapat untuk membentuk bahan humoral khusus dan memacu respon imunitas seluler. Sistem imun alami terdiri system seluler seperti sel makrofag, sel natural killer, dan netrofil sebagai pertahanan lini pertama terhadap infeksi bakteri dan virus. Fungsi sel ini menurun PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 sehingga meningkatkan risiko infeksi pada saluran cerna, kulit, dan pneumonia baik karena bakteri maupun virus pada usia lanjut. Immunosenescence juga mengakibatkan penuruunan respon terhadap vaksin influenza dari 70-90 pada dewasa sehat menjadi 17-53 pada usia lanjut. Perubahan sistem imun alami ternyata didapatkan pada reseptor yang disebut toll-like receptors TLR yang ada pada permukaan makrofag berfungsi mendeteksi adanya antigen bakterivirus kemudian menyampaikan sinyal yang memacu produksi berbagai protein yang bersifat antibacterial sehingga memacu proses inflamasi. Immunosenescence mengakibatkan perubahan ekspresi dan fungsi dari TLR sehingga terjadi dysregulasi sitokin inflamasi dan sekresi kemokin sehingga usia lanjut gagal mengekspresi gejala klasik pada beberapa penyakit infeksi. Disamping itu imunosenescence juga mengakibatkan gangguan fungsi TLR dalam memberikan instruksi kepada system imunitas didapat sehingga respon menjadi tidak adekuat. Proses penuaan menyebabkan penurunan jumlah sel T naïve oleh timus yang mungkin disebabkan oleh perubahan pada mikroenviromen pada timus sehingga terjadi gangguan timopoisis. Satu elemen penting yang berperan dalam proses ini adalah interleukin 7 IL 7. IL 7 yang berinteraksi dengan resetor di timus untuk memacu pembentukan sel T. Penurunan kadar IL 7 mengakibatkan penurunan ukuran dan hasilan dari timus. Saat ini telah dilakukan studi dengan injeksi IL 7 dengan tujuan menghambat atropi timus dan memacu produksi sel T, tetapi masih belum efektif karena didapatkan banyak IL 7 tidak memcapai timus secara optimal. RESPON IMUNITAS TERHADAP VAKSIN Vaksin beserta bahan tambahannya akan sebagai antigen dalam tubuh dan memicu system imun. Antigen akan diambil oleh antigen presentating cells APC seperti sel makrofag dan sel dendritic. Respon imunitas local akan memacu pematangan sel dendritic. Pada tempat tersebut akan terbentuk kompleks peptide, sedang sel dendritic akan bermigrasi ke jaringan limfonodi untuk memacu aktivasi dan ekspansi dari klonal naïve sel T CD4+ dan CD8+. Aktivasi dan diferensiasi dari naïve sel PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 B dirangsang oleh antigen dan sel T CD4+ helper. Naïve sel B kemudian berdiferensiasi menjadi sel B memori dan sel B secreting antibody. Sel B memori dan sel T dalam darah dan limfonodi akan terus bekerja sepanjang meraka masih hidup di sumsum tulang. Gambar 1. Perbedaan imunitas usia muda dan usia lanjut PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Gambar 2. Respon imunitas terhadap vaksin PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Untuk meningkatkan respon imunitas vaksin pada usia lanjut diperlukan beberapa intervensi khusus seperti memberikan boosting, meningkatkan dosis vaksn, atau menambahkan bahan tambahanadjuvant untuk meningkatkan respon APC dan memacu aktifitas sel B lebih lama. Gambar 3. Respon imunitas terhadap vaksinasi pada usia lanjut. VAKSIN HERPES ZOSTER Vaksin Herpes Zoster mengandung 19.400 plaque-forming units PFU memiliki potensi setara dengan satu formula vaksin MMR ProQuad dan diperkirakan mempunyai potensi 14 kali lebih kuat dibandingkan dengan vaksin varisela yang monovalen. Penggunaan vaksin herpes zoster memiliki kontraindikasi seperti adanya reaksi anafilaksis atau alergi dengan gelatin, neomisin, atau dengan imunodefisiensi berat seperti HIV, leukemia, limpoma, atau malignansi lain yang berefek pada gangguan di system limfatik dan sumsum tulang, serta pasien yang mendapatkan obat imunosupresif seperti kortikosteroid dosis tinggi, kemoterapi serta wanita hamil. PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Penggunaan vaksin Herpes Zoster dengan vaksin lain Penggunaan vaksin Herpes Zoster dengan vaksin lain seperti vaksin influenza inaktif pada pasien berumur 50 tahun atau lebih tidak menunjukan adanya penurunan imunogenitas kedua vaksin. Meskipun studi penggunaan vaksin herpes zoster secara simultan dengan vaksin pneumococcal polysaccharide menunjukan penurunan secara signifikan antibody virus herpes Zoster, sebuah studi kohort retrospektif pada lebih dari 76.000 resipien menunjukan menunjukan efikasi herpes zoster tidak menurun pada penggunaan bersamaan dengan vaksin pneumococcal polysaccharide. Lama Proteksi Data yang meneliti tentang lamanya proteksi setelah vaksin herpes zoster sangat sedikit. Pada studi SPS median waktu survei untuk mengetahui efektifitas vaksin hanya 3,12 years.Hasil dari Short-Term Persistence Study STPS mengindikasikan kemungkinan proteksi sepanjang tahun. Studi STPS fase 3, sebuah randomized, placebo- controlled, double-blind trial pada 12 senter di Amerika, STPS re-enrolled 7320 vaksin and 6950 placebo resipien dari 38 546 subjek yang sebelumnya ada pada studi SPS dan setelah diikuti selama 7 tahun didapatkan hasil yang menjanjikan. Pada awalnya, penurunan kejadian herpes zoster didapatkan secara bermakna pada kelompok vaksin RR: 0.53, 95CI: 0.38-0.74. Pada STPS efikasi vaksin didapatkan 61.195CI: 51.1 –69.1 pada tahun 0.0–4.9 menjadi 50.195CI: 14.1 –71.0 pada tahun ke 3.3–7.8. Efikasi vaksin mencegah PHN didapatkan menurun dari 66.5 95CI: 47.5 –79.2 pada tahun 0.0–4.9 menjadi 60.195CI: −9.8 to 86.7pada tahun 3.3–7.8, dan Efikasi vaksin mencegah insiden herpes zoster menurun dari 51.3 95CI: 44.2 –57.6 pada tahun 0.0 –4.9 menjadi 39.695CI: 18.2– 55.5 pada tahun ke 3.3 –7.8. Studi ini dilengkapi dengan melihat herpes zoster burden of illness HZBOI yaitu skoring yang melihat derajat beratnya penyakit akibat dari herper zoster tersebut. Studi lanjutan untuk melengkapi STPS, disebut the long-term persistence study LTPS mengevaluasi lamanya proteksi terhadap kejadian herpes zoster, PHN dan HZBOI. Total subyek penelitian PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 6.867 yang telah divaksin pada studi SPS. Rerata umur pada LTPS adalah 74.5 tahun dan median follow-up ~3.9 tahun. Plasebo yang digunakan adalah placebo yang sebelumnya ontrol was not available in the LTPS; data from prior placebo recipients were use. LTPS dianalissis berdasarkan data yang telah terkumpul setelah 7-10 tahun dilakukan vaksinasi pada studi SPS. Efikasi vaksin didapatkan sebesar 21 95 CI: [11 to 30] untuk insiden Herpes Zoster, 35 95 CI: [9 to 56] untuk insiden PHN dan 37 95 CI: [27 to 46] untuk HZ BOI. EFIKASI DAN KEAMANAN VAKSINASI HERPES ZOSTER Efikasi Tantangan mengenai bagaimana efikasi dan keamanan vaksin herpes zoster pada usia lanjut menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji. Studi SPS Shingles Prevention Study adalah sebuah studi randomized double-blinded placebo-controlled dimulai November 1998, dengan jumlah sampel 38,546 usia 60 tahun ke atas di 22 senter di Amerika. Semua sampel diikuti secara aktif sampai bulan September 2003 berapa jumlah kasus baru Herpes Zoster yang muncul. Rerata lama waktu diikuti 3.13 tahun, 95 mengikuti studi secara lengkap sampai akhir studi, 1 mengalami lost to follow up dan 4 meninggal selama masa studi. Kurang dari 7 sampel berumur 80 tahun atau lebih sehingga secara statistik powernya kurang kuat untuk dilakukan evaluasi pada kelompok tersebut. Kejadian Herpes z oster dikonfirmasi dengan menggunakan PCR93, kultur virus 1, atau dievaluasi oleh panel yang terdiri dari 5 spesialis yang ahli dibidang Herpes 6. Pasien yang telah terdiagnosis Herpes Zoster diikuti sedikitnya selama 182 hari untuk dievaluasi kondisi luaran seperti kondisi umum dan derajat nyeri yang diderita. Hasil yang didapatkan adalah bahwa penurunan insiden Herpes Zoster pada kelompok vaksin pada 42 hari RR: 0.29; 95CI: 0.13-0.68. Secara umum efikasi untuk mencegah kejadian herpes Zoster adalah sebesar 51,3 5,42 kasus1000 orang pertahun : 11,12 kasus1000 orang pertahun; p 0.001. Efikasi vaksin mencegah PHN sebesar 66,5 27 : 80 kasus; p0.001 menunjukan penurunan yang sangat bermakna dengan nilai relative risk PHN pada kelompok vaksin dibandingkan dengan plasebo PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 RR: 0.34, 95 CI: 0.22-0.52. Bila dilihat dari nilai illness score Herpes Zoster terdiri dari insiden, derajat berat, lamanya nyeri dan rasa tidak nyaman akibat herpes zoster didapatkan memiliki efikasi pencegah sebesar 61.1 95 CI 51.1-69.1. 
 Pada studi ini juga didapatkan bahwa efikasi vaksin akan menurun seiring dengan peningkatan usia yaitu dari 64 pada umur 60 –69 tahun menjadi 38 pada usia 70 tahun atau lebih. Efikasi vaksin mencegah PHN didapatkan stabil yaitu 66 pada usia 60 – 69 tahun dan 67 pada 70 tahun atau lebih. 
 Studi RCT lain dilakukan pada individu imunokopeten 22.439 berumur 50 –59 tahun Amerika utara dan Eropa didapatkan efikasi vaksin sebesar 69.8 95 CI: 54.1 –80.6 dalam hal mencegah kejadian Herpes Zoster. Insiden Herpes Zoster didapatkan 1,991000 orang pertahun pada kelompok vaksin vs 6,571000 orang pertahun pada kontrol RR: 0,31 95CI: 0,2-0,5, p0.0001 Keamanan Studi RCT lebih kecil mencoba melihat keamanan dan imunogenik dibandingkan antara vaksin formula potensi tinggi dan rendah. Hasilnya tidak ada risiko bermakna terjadi herpes zoster pada kelompok potensi tinggi RR 2.55, 95 CI: 0.012-52.99.Laporan data setelah distribusi vaksin dari 76.000 orang yang telah dilakukan vaksin dibandingkan dengan 227.000 orang tidak divaksin yang berumur 60 tahun atau lebih menunjukan bahwa efektifitas vaksin mencegah kejadian herpes zoster sebesar 55 95 CI 52- 58. Insiden Herpes Zoster sebesar 6,4 per 1000 orang pertahun pada kelompok vaksin 95 CI: 5,9-6,8, dan 13 per 1000 orang pertahun pada kelompok tidak divaksin 95 CI: 12.6-13.3. Sebagai hasil tambahan lain adalah efektifitas mencegah kejadian herpes zoster optalmikus sebesar 63 dan mencegah kejadian masuk rumah sakit sebesar 65 . Banyak studi yang telah dilakukan menunjukan keamanan penggunaannya pada usia lanjut sehingga mendapatkan ijin untuk didistribuskan diseluruh Negara di dunia. Studi SPS yang melibatkan 38.500 subyek dengan insiden satu atau lebih efek samping yang serius setelah observasi 42 hari setelah vaksin didapatkan 0.1 pada kelompok vaksin dibandingkan dengan placebo. Pada substudi khusus tentang PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 adverse event vaksin, risiko serius dalam waktu 42 hari setelah vaksin didapatkan 1.9 pada kelompok vaksin dan 1.3 pada plasebo risk difference: 0.7 95CI: 0.1 to 1.3. Laporan kejadian varicella-like rash pada lookasi injeksi 0.1 vs 0.04; risk difference: 0.07 95 CI: 0.02 to 0.13 dan HZ like-rash 0.1 vs 0.2; risk difference: -0.10 95CI:- 0.18 to -0.03. Adverse events pada lokasi injeksi secara bermakna lebih banyak pada kelompok vaksin disbanding dengan placebo 48.3 and 16.6; risk difference 31.7, 95 CI: 28.3 – 32. Manifestasi klinis yang sering muncul pada lokasi injeksi vaksin berupa eritema, nyeri, rasa tebal dan bengkak. Angka mortalitas antara kelompok vaksin dan placebo adalah sama sebesar 4,1. Beberapa studi lain juga mendapatkan hasil yang serupa. Kerzner et al melakukan studi randomized dengan memberikan vaksin Herpes Zozter and flu secara konkomitan dan sekuensial pada populasi umur 50 tahun atau lebih kemudian diamati adanya adverse events AEdalam waktu 28 hari setelah vaksin. Secara umum hasilnya bahwa AE didapatkan sedikit lebih tinggi pada kelompok yang diberikan vaksin secara konkomitan dibandingkan secara tersendiri walaupun perbedaannya tidak bermakna. Adverse event pada lokasi suntikan didapatkan 44.7 vs 38.3 vaksin concomitant vs nonconcomitant dan kejadian lebih banyak pada kelompok umur 50-59 vs umur 60 atau lebih 53.6 and 40.3. MacIntyre melakukan sebuah studi randomized placebo-controlled trial pada populasi umur 60 tahun atau lebih mendapatkan bahwa pemberian vaksin herpes zoster dan pneumococcal polysaccaride baik secara concomitant ataupun non- concomitant tidak terdapat perbedaan bermakna AE dalam waktu 28 hari setelah vaksin. Gilderman et al menbandingkan vaksin yang di refrigerated n=182 vs frozen n=185 vaksin herpes zoster pada pupolasi umur 50 tahun atau lebih. Efek pada lokasi suntikan didapatkan 35.6 vs 46.4 refrigerated vs frozen. Tidak ada efek samping yang serius pada studi ini. Sutradhar et al membandingkan keamanan pada 2 kelompok umur yaitu 50-59 tahun dan ≥ 60 tahun. Tidak dijumpai efek samping yang serius, efek pada lokasi suntikan 51 vs 34 sedangkan efek sistemik didapatkan 5.8 vs 2.9. Jadi efek samping lebih banyak dijumpai pada usia yang lebih muda. PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Mills et al mengevaluasi keamanan vaksin herpes zoster selama 28 hari setelah vaksin pada 101 subyek yang sebelumnya mempunyai riwayat herpes Zoster. Kejadian AE pada lokasi vaksin didapatkan lebih tinggi pada kelompok vaksin yaitu 45.9 vs placebo 4.2. Tidak dijumpai efek samping sistemik yang serius pada studi ini. Data survey Post-licensure mendapatkan hasil yang lebih baik karena secara statistic mempunyai power yang lebih kuat untuk suatu studi RCT. Data terbaik dilakukan di Amerika dengan jumlah sampel 192,000 vaksin zoster yang diberikan kepada populasi berumur 60 tahun atau lebih. Berbagai risiko dan efek samping diteliti pada periode waktu 1-14, 15-28, dan 29-42 hari. Risiko alergi bermakna didapatkan pada periode 1-7 hari setelah vaksin RR 2.32, 95CI: 1.85 2.91. Risiko relative alergi pada hari 1-7 didapatkan 3-4 kali lebih tinggi pada usia 50-59 dibandingkan dengan 60 tahun atau lebih. Dari medical report didapatkan 80 kejadian reaksi inflamasi lokalis berupa kemerahan, bengkak dan nyeri. Tidak dijumpai risiko kejadian yang serius seperti strok, serangan jantung, meningitis, ensefalitis,ensefalopati, Ramsay- Hunt Syndrome atau Bell‘s Palsy dalam waktu 42 hari setelah vaksin. KESIMPULAN Banyak data epidemiologi telah dipublikasi tentang kejadian herpes zoster. Tetapi sebagian besar data masih dari negara yang pendapatan perkapita negaranya tinggi dan medium. Belum banyak data yang dipublikasikan dari negara dengan pendapatan rendah. Kejadian herpes zoster tentu akan sangat tinggi pula karena adanya kejadian HIV yang tinggi, umur harapan hidup yang mulai meningkat, sarana pengobatan, ras dan banyak lagi factor yang lain. Program vaksin varisela dengan sekala besar yang telah dilakukan di Amerika, Australia di duga akan berdampak pada peningkatan kejadian Herpes Zoster. Berbagai factor yang berpengaruh terhadap kejadian herpes zoster menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih jauh lagi. Efikasi dan keamanan vaksin Herpes zoster telah diteliti dalam sekala besar di beberapa Negara maju . Hasil menunjukan bahwa vaksin sangat aman dan efektif mencegah kejadian herpes zoster, PHN, dan komplikasi serius lain dari herpes zoster. Belum ada data yang menunjukan lama waktu proteksi dari vaksin virus herpes PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 zoster. Data yang ada hanya menjunkan jangka pendek saja. Diperkirakan kemampuan proteksi yang dimiliki vaksin herpes zoster sekitar 10-15 tahun. Masih dibutuhkan data tentang cost effective vaksin herpes zoster pada Negara dengan pendapatan sedang dan rendah. DAFTAR RUJUKAN 1. Oxman MN, Zoster Vaccine: Current Status and Future Prospects, CID 2010;512:197 –213 2. Bader MS, Immunization for the Elderly, Am J Med Sci 2007;3346:481 –486 3. Aspinall R, Del Giudice G, Effros RB, Loebenstein BGand Sambhara S, Challenges for vaccination in the elderly , Immunity Ageing 2007, 742- 51 4. Weinberger B, Brandstetter DH, Schwanninger A, Weiskopf D, and Loebenstein BG, Biology of Immune Responses to Vaccines in Elderly Persons , CID 2008:46;1078-84 5. Loebenstein BG, Bella SD, Iorio AM, Michel JP, Pawelec Gand Solana R, Immunosenescence and vaccine failure in the elderly,Aging Clin Exp Res 2009; 21: 201-209 
 6. Dorrington MG and Bowdish DME,Immunosenescence and novel vaccination strategies for the elderly, Frontier in Immonology 2013:4;171-82 7. Kudesia G, Partridge S, Farrington CP, Soltanpoor N,Changes in age related seroprevalence of antibody to varicella zoster virus: impact on vaccine strategy, J Clin Pathol 2002;55:154 –155 8. Oxman MN, Levin MJ, Johnson GR, Schmader KE, Straus SE, Gelb LD, A Vaccine to Prevent Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia in Older Adults, N Engl J Med 2005;352:2271-84 9. Weller TH. Varicella and herpes zoster: changing concepts of the natural history, control, and importance of a not-so-benign virus . N Engl J Med 1983;30922:1362 –1368. 
 10. Weller TH. Varicella and herpes zoster: changing concepts of the natural history, control, and importance of a not-so-benign virus. N Engl J Med 1983;30923:1434 –1440. 
 PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 11. Straus SE, Reinhold W, Smith HA, et al. Endonuclease analysis of viral DNA from varicella and subsequent zoster infections in the same patient. N Engl J Med 1984;31121:1362 –1364. 12. Gilderman LI, Lawless JF, Nolen TM, et al. A double-blind, random- 
 ized, controlled, multicenter safety and immunogenicity study of a refrigerator-stable formulation of Zostavax. Clin Vaccine Immunol 2008; 152:314 –319. 
 13. Sutradhar SC, Wang WW, Schlienger K, et al. Comparison of the levels of immunogenicity and safety of Zostavax in adults 50 to 59 years old and in adults 60 years old or older. Clin Vaccine Immunol 
 2009; 165:646 –652. 
 PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Long Acting Nifedipine on Treatment of Hypertension Yenny Kandarini Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Hipertensi merupakan masalah kesehatan dunia, prevalensi hipertensi yang meningkat, disertai dengan penyakit lain yang menyertainya akan meningkatkan risiko kejadian kardiovaskuler dan penyakit ginjal. Hipertensi biasanya tidak menimbulkan gejala yang spesifik, sehingga menyebabkan banyak penderita hipertensi yang tidak diobati, dari pasien hipertensi yang mendapat pengobatan, hanya sekitar 10-20 yang mencapai target kontrol tekanan darah. Diperkirakan prevalensi hipertensi akan semakin meningkat sehingga memberikan dampak pada kesehatan masyarakat. 1,2 Dari berbagai kelas antihipertensi yang ada guideline Eropa terbaru merekomendasikan 5 golongan obat sebagai terapi awal yaitu ACE- inhibitor , ARB, diuretic thiazide dosis rendah, CCB atau -blocker. Nifedipene kerja panjang yang merupakan kelas CCB merupakan kelas obat antihipertensi yang dapat dipilih sebagai lini pertama penatalaksanaan hipertensi. Berikut akan dibahas mengenai perananLong Acting Nifedipine pada penatalaksanaan hipertensi. 3,4 Klasifikasi Hipertensi Terdapat beberapa klasifikasi hipertensi yang dipakai antara lain: Klasifikasi Tekanan Darah menurut ESHESC, 2013 dan klasifikasi tekanan darah pada dewasa menurut JNC-7 5 , seperti tampak pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah TD pada Dewasa JNC-7 5 Klasifikasi TD SBP mm Hg DBP mm Hg Normal 120 dan 80 Prehipertensi 120-139 atau 80-89 Hipertensi Stadium 1 140-159 atau 90-99 Hipertensi Stadium 2 ≥160 atau ≥100 PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Inisiasi Terapi Hipertensi Sebagaian besar guideline hipertensi merekomendasikan tatalaksana farmakologi pada pasien dengan TD 14090 mmHg yang belum mencapai target TD yang diinginkan dengan modifikasi gaya hidup. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengobatan tekanan darah 160100 mmHg dapat menurunkan kejadian stroke, infrak jantung, gagal jantung dan kematian. 4-8 Terbukti bahwa terapi tekanan darah 14090 mmHg khususnya pada pasien yang berisiko tinggi sangat bermanfaat. Hal yang berbeda didapat pada JNC-8 yang menyatakan bahwa batas inisiasi terapi adalah 14090 mmHg untuk dewasa umur 60 tahun tetapi merekomendasikan batasan yang lebih rendah yaitu pada usia 60 tahun. 9 Target Terapi Hipertensi Target terapi hipertensi tergantung dari umur dan penyakit penyerta. Tabel berikut ini menunjukkan perbandingan dari berbagai guideline mengenai target tekanan darah dan pemilihan awal obat hipertensi. Tabel 2. Perbandingan target dan pemilihan obat antihipertensi dari berbagai guideline. 4 Guideline Population Goal BP, mmHg Intitial Drug Treatment Options 2014 Hypertension Guideline Populasi umum ≥ 60 thn 15090 Bukan orang kulit hitam: thiazide-type diuretic, ACEI, ARB, atau CCB; Orang kulit hitam: thiazide-type diuretic atau CCB Populasi Umum 60 thn 14090 Diabetes 14090 thiazide-type diuretic, ACEI, ARB, or CCB PGK 14090 ACEI, ARB ESHESC 2013 Bukan usia lanjut populasi umum 14090 Diuretik, -blocker, CCB, ACEI, ataur ARB Usia lanjut populasi umum 80 thn 15090 Populasi umum ≥ 80 thn 15090 PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Diabetes 14085 ACEI atau ARB PGK tanpa proteinuria 14090 ACEI atau ARB PGK + proteinuria 13090 CHEP 2013 Populasi umum 80 thn 14090 Thizide, -blocker Umur 60 th, ACEI bukan orang kulit hitam, atau ARB Populasi Umum ≥ 90 thn 15090 Diabetes 13080 ACEI atau ARB dengan risiko kardiovaskuler ACEI, ARB, thiazide, or DHPCCB tanpa risiko kardiovaskuler PGK 14090 ACEI atau ARB ADA 2013 Diabetes 14080 ACEI atau ARB KDIGO 2012 PGK tanpa proteinuria ≤ 14090 ACEIatau ARB PGK + proteinuria ≤ 1γ080 NICE 2011 Populasi umum 80 thn 14090 55 thn : ACEI atau ARB Populasi umum ≥ 80 thn 150 90 ≥ 55 thn atau orang kukit hitam : CCB ISHIB 2010 Orang kulit hitam, Risiko rendah 13585 Diuretik or CCB Kerusakan organ sasaran atau risiko kardiovaskuler risk 13080 Pilihan Terapi Inisial Terapi farmakologi hipertensi diawali dengan pemakaian obat tunggal. Tergantung level TD awal, rata-rata monoterapi menurunkan TD sistolik sekitar 7-13 mm Hg dan diastole sekitar 4-8 mmHg Terdapat beberapa variasi dalam pemilihan terapi awal pada hipertensi primer. Sebelumnya guideline JNC VII merekomendasikan thiazide dosis rendah. JNC VIII saat ini merekomendasikan ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis rendah, atau CCB untuk pasien yang bukan ras kulit hitam. Di lain pihak guideline Eropa terbaru merekomendasikan 5 golongan obat sebagai PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 terapi awal yaitu ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis rendah, CCB atau -blocker berdasarkan indikasi khusus Gambar 1. 5 Guideline UK NICE memakai pendekatan berbeda, menekankan etnik dan ras merupakan faktor determinan penting dalam menentukan pilihan obat awal pada hipertensi. Hal ini selanjutnya diadaptasi oleh guideline JNC VIII. Rasionalisasi dari konsep ini adalah RAAS bersifat lebih aktif pada usia muda jika dibandingkan pada usia tua dan ras kulit hitam. Jadi guidelina UK. NICE merekomendasikan ACE-inhibitor atau ARB pada usia 55 tahun, bukan ras kulit hitam sedangkan CCB untuk untuk usia 55 tahun bukan ras kulit hitam dan ras kulit hitam dengan semua rentang usia. Batasan untuk rekomendasi ini adalah: 1 diuretics thiazide lebih dipilih dibandingkan CCB untuk kondisi gagal jantung atau pasien dengan risiko tinggi untuk mengalami gagal jantung; 2 ACE inhibitor atau ARB tidak digunakan pada wanita hamil, dalam kondisi ini -blocker lebih dipilih. 5 Pengobatan antihipertensi dengan terapi farmakologis dimulai saat seseorang dengan hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko, belum mencapai target TD yang diinginkan dengan pendekatan nonfarmakologi. Kombinasi dua obat dosis rendah direkomendasikan untuk kondisi TD 2010 mmHg di atas target dan tidak terkontrol dengan monoterapi. Secara fisiologis konsep kombinasi 2 obat dual therapy cukup logis, karena respon terhadap obat tunggal sering dibatasi oleh mekanisme counter aktivasi . Sebagai contoh kehilangan air dan sodium oleh thiazide akan dikompensasi oleh RAAS sehingga akan membatasi efektivitas thiazide dalam menurunkan tensi. Kombinasi 2 golongan obat dosis rendah yang direkomendasikan adalah penghambat RAAS+diuretic dan penghambat RAAS+CCB. Penting harus diingat jangan menggunakan kombinasi ACEI dan ARB pada 1 pasien yang sama. Jika target TD tidak bisa dicapaimenggunakan 2 macam obat antihipertensi dalam rekomendasi di atas atau karena kontraindikasi atau dibutuhkan lebih dari 3 obat untuk mencapai target TD, obat antihipertensidari kelas lain dapat digunakan. Rujukan kespesialis hipertensi dapat diindikasikan untuk pasien yangtarget TD tidak dapat PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 dicapai dengan menggunakan strategi di atas atau untuk pengelolaan pasien yang kompleks yang memerlukan tambahan konsultasi. 4 Guideline JNC VIII merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB dan atau thiazid. Konsep ini sama dengan guideline UK. yang pertama merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB A+C. Tabel 3. Indikasi Spesifik Pemilihan Obat Awal Pada Hipertensi 1 . Kondisi Obat Kerusakan organ asimptomatik Hipertrofi ventricular kiri ACEI, antagonis kalsium, ARB Aterosklerosis asimptomatik Antagonis kalsium, ACEI Mikroalbuminuria ACEI, ARB Gangguan ginjal ACEI, ARB Kejadian kardiovaskular Riwayat stroke Setiap zat efektif menurunkan TD Riwayat infark miokrad BB, ACEI, ARB Angina pektoris BB, Antagonis kalsium Gagal jantung Diuretik, BB, ACEI, ARB, Antagonis Mineralokortikoid Aneurisma aorta BB Fibrilasi atrial, pencegahan Pertimbangkan ARB, ACEI, BB atau antagonis mineralkortikoid Fibrilasi atrial, pengendalian denyut ventrikel BB, antagonis kalisum nonhidropiridin Penyakit arteri perifer ACEI, Antagonis kalsium Lainnya Hipertensi sistolik terisolasi usia lanjut Diuretik, Antagonis kalisum Sindrom metabolik ACEI, ARB, Antagonis kalsium Diabetes mellitus ACEI, ARB Kehamilan Methyldopa BB, Antagonis kalsium Kulit hitam Diuretik. Antagonis Kalsium ACE = angiotensin-converting enzyme; ARB = angiotensin reseptor blocker; BB = beta=blocker PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Obat-obat Antihipertensi Terkait pengobatan hipertensi, berdasarkan JNC-8 2014 terdapat 4 kelas pengobatan yang direkomendasikan berdasarkan bukti ‗RCT‘ Randomized Clinical Trial: ACEI atau ARB, CCB atau diuretika. Semua golongan obat antihipertensi di atas direkomendasikan sebagai pengobatan awal hipertensi dan terbukti secara signifikan menurunkan TD. Jenis pengobatan yang sama juga direkomendasikan oleh ESHESC 2013 bahkan bisa dilakukan kombinasi antara ke 4 obat tersebut. Gambar di bawah ini menunjukkan algoritme penatalaksanaan hipertensi berdasarkan Guideline UK. NICE 2 . Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Esensial, Terapi Awal dan Kombinasi Guideline UK. NICE 2 Umur 55 thn Umur 55 thn atau orang kulit hitam atau Afrika atau Karibia pada semua umur A C 1 A + C 1 A + C + D Resistant hypertension A + C + D + pertimbangkan pemberian diuretic lebih lanjut atau -blocker atau -blocker Pertimbangkan untuk mencari saran dari ahlinya Langkah 1 Langkah 2 Langkah 4 Langkah 3 Keterangan : A = ACE inhibitor atau angiotensin II receptor blocker ARB C = Calcium Channel Blocker CCB D = Thiazide-like diuretic PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Nifedipine kerja panjang Nifedipine kerja pendek banyak dipakai untuk terapi hipertensi dan angina. Nifedipine adalah suatu dihydropyridine CCB yang bekerja sebagai vasodilator pembuluh darah. Pada awalnya nifedipine dipasarkan dalam bentuk kerja singkat atau immediate-release capsule formulation. Nifedipine kerja singkat banyak mempunyai efek samping dan kemungkinan berbahaya bagi pasien, sehingga dikembangkan formula baru yang memperpanjang masa kerja obat. Modified-release formulations memperpanjang masa kerja dari nifedipine dan saat ini banyak dipakai. Penambahan mekanisme controlled-release pada nifedipine akan memberikan beberapa keuntungan yaitu : mempertahankan efek antihipertensinya, memperbaiki kepatuhan pasien karena pemberian satu kali sehari. 10 Mekanisme Kerja Nifedipine Kerja Panjang Di dalam saluran gastrointestinal air masuk ke dalam tablet Nifedipine kerja panjang dengan teknologi GITs GastroIntestinal Therapeutik System dengan sistem osmotik melalui membran semi- permeable sehingga lapisan pendorong mengembang dan lapisan nifedipine membentuk suspensi. Suspensi nifedipine didorong oleh lapisan pendorong keluar melalui lubang yang dibuat oleh laser secara stabil selama 16-18 jam untuk memberikan kontrol tekananan darah selama 24 jam. Melihat sistem kerja tersebut maka Nifedipine teknologi GITS-nya menjadi unik dan lebih baik daripada nifedipine biasa yaitu: Pelepasan obat stabil, fluktuasi TD rendah, kerusakan organ target minimal, pemakaian 1 x sehari TP ratio = 0,81-1,07 Penelitian Klinis Nifedipine kerja panjang dalam terapi Hipertensi Nifedipine yang merupakan kelas CCB dihydropyridine sudah dipakai secara luas pada terapi hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya. Penambahan mekanisme The gastrointestinal therapeutic system GITS memperpanjang efek anti hipertensi dan sudah banyak diteliti dalam penelitian-penelitian klinis. Penelitian-penelitian yang membuktikan bahwa PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Nifedipine GPTsefektif dalam menurunkan TD termasuk pada kombinasi dengan beberapa ARBs yaitu: 1. INSIGHT International Nifedipine GITS Study Intervention as a Goal in Hypertension Treatment. Penelitian ini merupakan randomized control trial yang melibatkan 6,321pasien hipertensi yang berumur antara 55 – 80 tahun. Pada penelitian ini nifedipine GITs30 –60mgday n=3,157 dibandingkan dengan co-amilozide hydrochlorothiazide 25 –50 gday + amiloride 2.5 –5mgday n=3,164. Didapatkan hasil yang sama efektif dalam pencegahan komplikasi kardio dan cerebrovaskuler. 11 2. ADVANCE COMBI Controlled Release Nifedipine and Valsartan Combination Therapy in Patients with Essential: The ADalat CROROS and VAlsartaN Cost-Effectiveness Combination , penelitian ini ditujukan untuk membandingkan efikasi keamanan terapi kombinasi nifedipine GITS vs amlodipine dengan Valsartan pada 505 pasien hipertensi esensial. Penelitian dilakukan selama 16 minggu, ganda- buta, ‗parallel- arm,‘ acak. Dimana hasilnya terapi kombinasi Nifedipine GITS–superior 34.020.1 mmHg 3010 mmHg dibandingkan terapi kombinasi dengan amlodipine dalam penurunan TD. 3. NICE COMBI The NIfedipine and CandEsartan Combination. Kombinasi Nifedipine OROS dengan candesartan terbukti dapat menurunkan TD sebesar 138 mmHg. Pada penelitian ini kombinasi dosis rendah antara nifedipine CR GITS dan candesartan lebih baik daripada candesartan up-titrated monotherapydalam control tekanan darah dan proteksi renal pada pasien dengan hipertensi esensial. 12 Pada penelitian ini juga didapatkan terapi kombinasi candesartan nifedipine CR GITS denagn dosis standar lebih efektif daripada meningkatkan dosis candesartan monoterapi dalam menurunkan tekanan darah dan memperbaiki UAE dan mempertahankan LFG. Kombinasi angiotensin II receptor blocker and long-acting calcium channel blocker sangat disarankan pada pasien hipertensi yang disertai dengan albuminuria. 12 4. TALENT STudy EvALuating the Efficacy of Nifedipine GITS – Telmisartan combination in Blood Pressure Control , kombinasi Nifedipine OROS dengan telmisartan terbukti dapat menurunkan TD sebesar 105 mmHg PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research Denpasar, 05-07 November 2015 Ringkasan Penurunan tekanan darah sangat penting dalam menurunkan risiko mayor kejadian kardiovaskuler pada pasien hipertensi. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa penyakit komorbiditas seperti diabetes, dan kerusakan target organ seperti LVH dan CKD mengindikasikan pemilihan klas obat yang spesifik dalam terapi hipertensi. Pemilihan obat awal terapi hipertensi dan kombinasi obat antihipertensi memerlukan pemahaman yang menyeluruh baik jenis-jenis obat antihipertensi, mekanisme kerja maupun efek samping yang bisa timbul. Long acting nifedipine suatu formulasi baru dari nifedipine yang mempertahankan efek antihipertensinya, menurunkan efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien karena pemberian satu kali sehari. Penelitian klinis menunjukkan bahwa Long acting nifedipine dapat dipertimbangkan dalam pemilihan obat antihipertensi baik sebagai terapi tunggal maupun kombinasi. Daftar Pustaka

1. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Vander Hoorn S, Murray CJ. Selected