Buku Naskah lengkap Pendidikan Kendokteran Berkelanjutan XXIII.

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

BUKU NASKAH LENGKAP

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII

―LEADING INTERNAL MEDICINE TO BEST CARE OF PATIENT: BASED ON NOVEL RESEARCH‖

Inna Grand Bali Beach Sanur, 05 - 07 November 2015

Editor:

Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM, FINASIM Prof. Dr. dr. IDN Wibawa, SpPD-KGEH, FINASIM

Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM, FINASIM dr. I Nyoman Astika, SpPD-KGer, FINASIM


(6)

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Ilmu Penyakit Dalam merupakan ilmu yang terus berkembang dan memiliki banyak variasi dalam aplikasi klinis, baik dalam hal teori, prosedur diagnostik, maupun terapi. Dokter dan tenaga paramedis lainnya memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk dapat memberikan pelayanan di bidang kesehatan yang terbaik bagi pasien, sehingga klinisi dituntut untuk senantiasa memperbaharui keilmuan dan keahliannya sesuai standar global.

Tidak hanya ilmu kedokteran yang berkembang, sistem kesehatan pun berbenah seiring perkembangan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, sehingga untuk dapat menghadapi semua tantangan tersebut, kami mengundang seluruh sejawat baik dokter spesialis penyakit dalam, dokter umum, dan tenaga kesehatan lainnya untuk memperdalam serta update kembali ilmu yang dimiliki melalui workshop dan simposium yang diselenggarakan dalam PKB Ilmu Penyakit Dalam dengan topik Leading Internal Medicine to Best Care of Patient : Based on Novel Research.

Semoga acara ini memberikan manfaat yang baik bagi kita semua untuk satu tujuan mulia; memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk pasien.

Om Cantih, Cantih, Cantih, Om Hormat Saya,

Ketua Panitia PKB XXIII


(7)

KONTRIBUTOR

Prof. DR. Dr. Ketut Suwitra, SpPD

Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. Gde Raka Widiana, SpPD

Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

DR. Dr. Yenny Kandarini, SpPD

Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. I B Ngurah Rai, SpP

Konsultan , Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. IGN Bagus Artana, SpPD

Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. Tjok Raka Putra, SpPD

Konsultan Reumatologi, Divisi

Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. Gede Kambayana, SpPD

Konsultan Reumatologi, Divisi

Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. K. Tuti Parwati Merati, SpPD

Konsultan Tropik Infeksi, Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

DR. Dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD

Konsultan Geriatri, Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. I G P Suka Aryana, SpPD

Konsultan Geriatri, Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. I Nyoman Astika, SpPD

Konsultan Geriatri, Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. Ketut Suastika, SpPD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Divisi Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali


(8)

Prof. DR. Dr. IMade Bakta, SpPD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik, Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. IWayan Losen Adnyana,SpPD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik, Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr.Ni Made Reni A. Rena, SpPD

Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. I Wayan Wita, SpJP

Konsultan, Departemen Jantung dan Pembuluh Darah, FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

DR.Dr. Ketut Suryana, SpPD

Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. IDN Wibawa, SpPD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi, Divisi Gastroenterologi-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. Nyoman Purwadi, SpPD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi, Divisi Gastroenterologi-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. I Ketut Rina, SpJP

Konsultan, Departemen Jantung dan Pembuluh Darah, FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

DR. Dr. Thomas Eko Purwata, SpS

Konsultan, Departemen Neurologi, FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali


(9)

Kamis, 05 November 2015

WORKSHOP EFFECT AND ACTION OF LIRAGLUTIDE INJECTION IN DIABETES

07.30 – 08.00 Registration

08.00 – 08.30 Opening Ceremony and Coffe Break

08.30 – 10.30 Effect and Action of Liraglutide Injection in Diabetes

10.30 – 11.30 Discussion

12.00 Closing Ceremony and Lunch

WORKSHOP THE INITIATION OF ARV ON DIFFERENT CASES, WHEN AND HOW?

07.30 – 08.00 Registration

08.00 – 08.30 Opening Ceremony and Coffe Break

08.30 – 10.00 INITIATION OF ARV ON DIFFERENT CASES, WHEN AND HOW? Case Study

Prof DR dr K. Tuti Parwati, Sp.PD-KPTI

dr. I Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI

dr. I Ketut Agus Somia, Sp.PD-KPTI

dr. Anak Agung Yuli Gayatri, Sp.PD

dr. Ni Made Dewi Dian Sukmawati,Sp.PD

10.00-12.00 DIscussion

12.00 – Finish Closing Ceremony and Lunch

WORKSHOP ALERGI AND IMUNOLOGY

07.30 – 08.00 Registration

08.00 – 08.30 Opening Ceremony and Coffe Break

08.15 – 13.00 Updated Management in Type 1 Alergic Reaction With and Without Shock DR. dr. Ketut Suryana, Sp.PD KAI

Management of Shock: Focus on Fluid Resuscitation and Acid-Base Disbalance dr. Putu Andrika, Sp.PD KIC

11.30-12.30 Discussion


(10)

Jumat, 06 November 2015

07.30-08.00 Registration 08.00-08.15 Opening 08.15-08.45 Plenary Lecture 1

An Overview of Medical Emergency in Thrombosis

Speaker : Prof. DR. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM Coffee Break

09.00-10.00 Pre Lunch Sympo 1

Neuropathic Pain in Elderly: Role of Pregabalin

Moderator : dr. I Nyoman Astika, SpPD-KGer

The Importance to Manage Neurophatic Pain in Diabetic Elderly Patient

Speaker : Prof. DR. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD)

Pregabalin as the Cornerstone of Treating Neuropathic Pain

Speaker : DR. dr. Thomas Eko Purwata, SpS (K) 10.00-11.00 Pre Lunch Sympo 2

Update in Management of Geriatric Syndrome

Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS

Controversion of Using Antioxidant in Elderly Degenerative Disease

Speaker : dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer

Nutrional Management in Frailty Elderly

Speaker : dr. I Nyoman Astika, SpPD-KGer 11.00-12.30 Lunch Sympo 1

The Role of Small Airways in Management of Asthma

Moderator: dr. IB Suta, Sp.P

The Role of Small Airways Management in Asthma

Speaker : Prof. DR. dr. IB Ngurah Rai, SpP (K)

Recent Management of Asthma

Speaker : dr. IGN Bagus Artana, SpPD 12.30-13.30 Lunch

13.30-14.30 Post Lunch Sympo 1

Current Issues in Chronic Cardiac Problems

Moderator : dr. IGN Putra Gunadhi, SpJP (K) FIHA

Current Issue in Management of Chronic Stable Angina

Speaker : Prof. DR. dr. I Wayan Wita SpJP (K) FIHA

Optimizing Management of Chronic Heart Failure

DR. dr. I Ketut Rina, SpPD, SPJP (K) FIHA 14.30-15.30 Post Lunch Sympo 2

Recent Management of Hematological Problems

Moderator : DR. dr . Ketut Suega, SpPD-KHOM

Updating in diagnostic of thrombocytopenia

Speaker : dr. I Wayan Losen, SpPD-KHOM)

An Approach to Medical Bleeding

Speaker : dr. Ni Made Renny Anggreni Rena, SpPD 15.30-15.45 Closing


(11)

Sabtu, 07 November 2015

08.15-08.45 Plenary Lecture 2

Update recommendation of Vaccination in Adult

Speaker : Prof. DR. dr. K. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI 08.45-09.00 Coffee Break

09.00-10.00 Pre Lunch Sympo 3

Combined Drugs use on Hypertension treatment

Moderator : DR. dr. I Wayan Sudhana, SpPD-KGH

The Principal of Drug combination on Hypertension Treatment

Speaker : Prof. DR. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH

Advantage of Valsartan and Amlodipine Combination on Hypertension treatment

Speaker : Prof. DR. dr. Ketut Suwitra, SpPD-KGH 10.00-11.00 Pre Lunch Sympo 4

Role of Vaccination in Elderly

Moderator: dr. Ni Ketut Rai Purnami, SpPD

Problems Regarding Herpes Zoster Infection in Elderly

DR. dr. RA. Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS

Evidence Based of Herpes Zoster Vaccination in Elderly

Speaker : dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer 11.00-12.30 Lunch Sympo 2

Use of CCB on Hypertension Treatment : What’s new?

Moderator : dr. Jodi S. Loekman, SpPD-KGH

Role of CCB on treatment of Hypertension

Speaker : Prof. DR. dr. Ketut Suwitra, SpPD-KGH

Long acting nifedipine (GITS system) on treatment of Hypertension

Speaker : DR. dr. Yenny Kandarini, SpPD-KGH 12.30-13.30 Lunch

13.30-14.30 Post Lunch Sympo 3

Update Management of Chronic Hepatitis B

Moderator : dr. IGA. Suryadharma, SpPD-KGEH

Immunobiology Immunotherapy Chronic Hepatitis B

Speaker : Prof. DR. dr. IDN Wibawa, SpPD-KGEH

Strategy Therapy Chronic Hepatitis B

Speaker : dr. Nyoman Purwadi, SpPD-KGEH 14.30-15.30 Post Lunch Sympo 4

Recent update in Rheumatology diseases

Moderator : dr. Pande Kurniari, SpPD

New Issue in Hyperuricemia and Gouty Arthritis

Prof. DR. dr. Tjokorda Raka Putra, SpPD-KR

The Role of ANA-IF and ANA-Profile Examination in SLE

dr. Gede Kambayana, SpPD-KR 15.30-15.45 Closing


(12)

(13)

Pregabalin as the Cornerstone of Treating Neuropathic Pain

Thomas Eko P, Putu Eka Widyadharma

SMF/Bagian Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar Abstrak

Nyeri Neuropatik (NN) merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang sulit diobati , obat-obatan penghilang rasa sakit dan anti inflamasi non steroid pada umumnya kurang responsif untuk mengobati NN.

Penatalaksanaan NN masih merupakan tantangan , hanya sekitar 50% pasien yang diobati berkurang rasa nyerinya, itupun nyerinya tidak hilang total dan seringkali efek samping obat tidak dapat ditoleransi oleh pasien. Pendekatan terapi NN yang rasional adalah berdasarkan mekanisme terjadinya NN. Menejemen NN kronik idealnya dilakukan secara multidisiplin dan berdasarkan guideline (GL) dengan memperhatikan untung dan ruginya. Obat-obatan untuk NN yang mempunyai efikasi yang baik berdasarkan bukti klinik adalah analgesik adjuvan seperti misalnya : anti-konvulsan, anti-depresan, anestesi lokal dan lain-lainnya.

Pregabalin merupakan anti-konvulsan yang bekerja pada α2-δ subunit dari voltage gated calcium channel. Mekanisme kerjanya adalah memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan neuro-transmiter eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin gene-related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. Pregabalin memiliki efikasi dan keamanan yang baik. Semua organisasi Internasional merekomendasikan pregabalin sebagai obat lini pertama untuk terapi farmakologik hampir semua NN, kecuali untuk neuralgia trigeminal obat lini pertama adalah karbamasepin dan okskarbasepin.

Kata kunci : pregabalin, nyeri neuropatik, menejemen, guideline, terapi farmakologik


(14)

Pendahuluan

Nyeri Neuropatik (NN) merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang sangat sulit ditangani, obat-obatan golongan analgesik dan anti inflamasi non steroid kurang mempan untuk mengobati NN. Nyeri neuropatik sering membuat frustasi baik pasien maupun dokternya, tidak jarang terjadi gangguan tidur, kecemasan dan depresi, sebagai akibatnya kualitas hidup pasien menurun.1 Survei epidemiologi menunjukkan bahwa banyak pasien NN belum mendapatkan penatalaksanaan yang memadai. Hal ini antara lain disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang diagnosis yang tepat, pemilihan terapi dan efikasi dari obat-obatan untuk NN.1-3

Gejala klinik NN sangat bervariasi dan individual. Pada penyakit yang sama gejala kliniknya dapat berubah dari waktu ke waktu dan pada individu yang satu gejalanya tidak selalu sama dengan individu yang lain, demikian pula respon pengobatannya sangat individual sehingga hal ini menyulitkan diagnosis dan terapinya.

Manajemen NN masih merupakan tantangan , hanya sekitar 50% pasien yang diobati berkurang rasa nyerinya, itupun nyerinya tidak hilang total dan seringkali efek samping obat tidak dapat ditoleransi oleh pasien.4 Pendekatan terapi NN yang rasional adalah berdasarkan mekanisme terjadinya NN.

Pregabalin merupakan anti-konvulsan yang bekerja pada α2-δ subunit dari voltage gated calcium channel. Mekanisme kerjanya adalah memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan neuro-transmiter eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin gene-related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. Pregabalin memiliki efikasi dan keamanan yang baik

Manajemen NN kronik idealnya dilakukan secara multidisiplin dan berdasarkan guideline (GL) dengan memperhatikan untung dan ruginya. Semua organisasi Internasional merekomendasikan pregabalin sebagai obat lini pertama untuk terapi farmakologik hampir semua NN, kecuali untuk neuralgia trigeminal obat lini pertama adalah karbamasepin dan okskarbasepin.5-8 Nyeri neuropatik pada HIV (Human Immunodeficiency Virus), Chemotherapy Induced Peripheral Neuropathy dan Lumbasacral radiculopathy seringkali refrakter terhadap obat-obatan dan sampai


(15)

sekarang masih belum ada obat-obatan yang memberikan hasil yang memuaskan.9

Definisi Nyeri Neuropatik

Definisi baru dari NN adalah nyeri yang berasal dari lesi atau penyakit yang mengenai sistem saraf somatosensoris.10 Prevalensi NN berkisar antara 7-10% pada populasi umum di negara maju.11 Penyakit yang termasuk NN antara lain : radikulopati servikal dan lumbal, neuropati diabetik, cancer related neuropathy, neuralgia pasca herpes, HIV-related painful polyneuropathy, cedera medula spinalis, central post stroke pain, neuralgia trigeminal, complex regional pain syndrome tipe 2 , nyeri phantom dan lain-lainnya.12

Pregabalin.

Pregabalin (PGB) adalah substansi yang secara struktural analog gamma aminobutyric acid (GABA) yang bersifat lipofilik namun secara fungsional tidak berhubungan dengan neuro-transmitter GABA.13 Berdasarkan bukti klinis PGB bermanfaat untuk mengobati epilepsi, gangguan psikiatri, fibromialgia dan NN.

Mekanisme kerja

Pregabalin adalah anti-konvulsan yang memiliki afinitas tinggi terhadap α2-δ subunit dari voltage gated calcium channel dan bertindak sebagai ligandα2-δ subunit . Terdapat 4 subtipe protein α2-δ, PGB hanya terikat dengan afinitas yang kuat pada subtipe 1 dan 2. Mekanisme utama kerjanya adalah memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan neuro-transmiter eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin gene-related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. 13,14

Farmakokinetik

Penelitian menunjukkan bahwa PGB memiliki farmakokinetik linear yang dapat diramalkan dengan variasi antar subjek yang rendah.13 Pregabalin diabsorbsi secara cepat setelah pemberian oral pada keadaan puasa. Konsentrasi maksimal dalam plasma dicapai kurang lebih 1 jam


(16)

setelah pemberian dosis tunggal atau ganda dan keadaan steady state dicapai dalam waktu 24-48 jam setelah pemberian dosis ulangan. 13

Bioavailabilitas PGB secara oral tinggi > 90% dan tidak tergantung dosis. Rerata waktu paruh PGB adalah 6,3 jam dan tidak tergantung dosis dan pemberian obat ulangan sehingga menjamin tingkat kepercayaan dosis-respon dalam praktek klinik. Efek klinik PGB tidak dipengaruhi oleh makanan sehingga dosis obat tidak dipengaruhi oleh makanan.13,15

Efikasi Pregabalin

Pregabalin terbukti efektif untuk mengurangi skala nyeri, memperbaiki gangguan tidur dan memperbaiki kualitas hidup penderita NN. Studi klinik PGB telah dilakukan secara luas pada berbagai macam penyakit antara lain: radikulopati servikal dan lumbal, neuropati diabetik, cancer related neuropathy, neuralgia pasca herpes, HIV-related painful polyneuropathy, cedera medula spinalis, central post stroke pain, neuralgia trigeminal, complex regional pain syndrome tipe 2 , nyeri phantom dan lain-lainnya.6 Dari 25 placebo-controlled randomized trials didapatkan 18 studi PGB dengan dosis 150-600 mg/hari terbukti efektif dalam menurunkan skala nyeri dan terdapat response gradient dosis ( dosis 600 mg/hari responnya lebih tinggi daripada 300 mg/hari). Dua trial pada HIV-related painful polyneuropathy dengan respon plasebo yang tinggi hasilnya negatif. Gabungan number needed to treat (NNT) adalah 7.7 (95% CI 6,5-9,4) seperti terlihat pada gambar 1.8

Efikasi PGB dalam mengurangi nyeri pada pasienPainful Diabetic Neuropathy (PDN) dan PHN telah establish.7,16. Penurunan skala nyeri sudah dapat terlihat setelah 1 minggu terapi. Perbaikan fungsional dan kualitas hidup sebagai respon terhadap PGB berhubungan dengan semakin berkurangnya keluhan nyeri. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa PGB memberikan efek pengobatan yang lebih baik dibandingkan dengan amitriptilin pada pasien dengan PHN.17 Kombinasi antara PGB dan Imipramin mempunyai efikasi yang lebih baik daripada obat tunggal.18

Pada HIV-related painful polyneuropathy tidak ada perbedaan yang bermakna antara PGB dan plasebo dalam menurunkan skala nyeri.19


(17)

Gambar 1 Forest Plot Data dari Pregabalin. 8

NNT = number needed to treat. CPSP = centralpost-stroke pain. SCI = spinalcord injury pain. PPN = painfulpolyneuropathy. FDA= USFood and DrugAdministration. PHN= postherpeticneuralgia.PNI = peripheral nerve injury. PhRMA = Pharmaceutical Research and Manufacturers of America. Keamanan Pregabalin

Pada umumnya PGB dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, efek samping yang paling sering dilaporkan adalah dizziness, ngantuk, edema perifer, mulut kering, dan penambahan berat badan, efek samping meningkat dengan peningkatan dosis.16,20 Disarankan untuk memulai dosis awal kecil, 2-3 kali 50 mg sehari kemudian dititrasi sesuai dengan efikasi dan respon pasien.6,15 Dosis maksimum yang dianjurkan pada pasien dengan klirens kreatinin > 60 ml/menit adalah 300 mg/hari pada pasien neuropati diabetik, sedangkan untuk neuralgia pasca herpes maksimal 600 mg/hari.21. Number needed to harm (NNH) PGB adalah 13.9 (11,6-17.4).8


(18)

Pregabalin mempunyai kemampuan untuk menembus sawar darah otak secara cepat, sehingga mampu mempengaruhi aktivitas susunan saraf pusat. Metabolisme PGB dalam tubuh manusia hanya sedikit ( < 2% ) dan diekskresi dalam bentuk tidak berubah oleh ginjal. Pregabalin tidak berikatan dengan protein plasma, tidak mengalami metabolism di hati, tidak menginduksi atau menghambat enzim-enzim hati seperti sitokrom P450 sehingga PGB tidak menimbulkan farmakokinetik interaksi antar-obat. Ekskresi PGB melalui ginjal sehingga perlu penyesuaian dosis pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal, pada pasien dengan klirens kreatinin < 60 ml/menit.13,15 Pada pasien dengan klirens kreatinin 30-60 ml/menit , dosis harian dikurangi 50%. Penurunan dosis harian sampai 50% dianjurkan setiap penurunan klirens kreatinin 50%. Tambahan dosis PGB dianjurkan pada pasien yang menjalani hemodialis kronis. Dosis harian harus segera segera ditambahkan setelah setiap 4 jam sesi hemodialysis untuk menjaga konsentrasi plasma PGB stabil dalam rentang yang diinginkan.15

Menejemen Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang sangat sulit ditangani, meskipun pengetahuan kita tentang NN telah berkembang sangat pesat dengan diketemukannya sistem sinyal multipel dan peranan sel glia dalam mekanisme NN. Penemuan tersebut membawa kemajuan dalam terapi tetapi masih banyak pasien NN yang tidak mendapatkan pengurangan nyeri yang memadai dengan terapi yang ada pada saat ini.22 Pada NN kronik jarang dapat dilakukan terapi kausal sehingga pengobatan simtomatis masih merupakan pilihan yang terbaik.7

Menejemen NN kronik idealnya dilakukan secara multidisiplin. Pada prinsipnya menejemen NN dibagi menjadi terapi farmakologik dan non farmakologik. Terapi farmakologik sampai saat ini masih merupakan pilihan utama untuk NN.7 Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal diperlukan strategi pengobatan pasien NN seperti terlihat pada Tabel 1.


(19)

Tabel 1.Tahapan menejemen terapi farmakologik Nyeri Neuropatik.2,23 Tahap 1

 Assesmen nyeri dan tegakkan diagnosis NN, bila ragu-ragu rujuk ke ahli saraf atau spesialis nyeri.

 Bila mungkin cari dan obati kausa NN, bila ragu-ragu rujuk ke spesialis terkait.

 Identifikasi komorbiditas yang relevan (misalnya penyakit jantung, ginjal, hati, depresi dll.) yang dapat diperberat oleh NN.

 Berikan penjelasan diagnosis dan rencana pengobatan pasien.

 Berikan penjelasan kepada pasien bahwa pengobatan NN memerlukan obat dengan awitan yang relatif lambat, berlangsung cukup lama dan kemungkinan dapat terjadi efek samping.

Tahap 2

 Terapi awal penyebab NN bila mungkin.

 Terapi awal gejala NN sesuai dengan guideline : TCA/SSNRI dan atau Gabapentin/Pregabalin.

 Pemilihan obat yang dipakai dengan memperhatikan jenis penyakit, khasiat dan efek samping obat, misalnya pada penderita dengan gangguan tidur dan cemas, obat pilihan adalah amitriptilin yang diberikan pada malam hari, kecuali ada kontra indikasi dengan obat tersebut.

 NN perifer terlokalisir : lidokain topikal secara tunggal atau kombinasi dengan obat lini pertama.

 Dimulai dengan dosis rendah dan titrasi setiap beberapa hari.

 Dosis dinaikkan sampai dosis optimal bila respon pengobatan kurang memadai dan efek samping obat dapat ditoleransi penderita.

 Untuk pasien NN akut, nyeri kanker, atau eksaserbasi episodik dari nyeri hebat dipertimbangkan terapi analgesik opiat atau tramadol secara tunggal atau kombinasi dengan obat lini pertama.

 Evaluasi pasien kemungkinan untuk mendapatkan terapi non farmakologik.


(20)

Tahap 3

 Assesmen ulang nyeri dan kualitas hidup pasien

 Bila terjadi penurunan nyeri yang memadai (misalnya rata-rata VAS

menjadi ≤ γ/10) dan efek samping obat dapat ditoleransi maka terapi

dilanjutkan.

 Bila nyeri berkurang sebagian (misalnya rata-rata VAS menjadi ≥ 4/10) tambahkan salah satu obat lini pertama dan penambahan obat ini dilakukan dengan titrasi dosis. Kombinasi obat kemungkinan lebih efektif daripada obat tunggal meskipun interaksi obat seringkali menimbulkan masalah.

 Untuk nyeri yang bersifat tajam dan menusuk, misalnya neuralgia trigeminal, maka pengobatan dapat dimulai dengan obat golongan antikonvulsan seperti karbamasepin atau okskarbasepin, gabapentin, fenitoin dan lain-lain.

 Untuk nyeri yang bersifat tumpul seperti terbakar dan sulit dilokalisir seperti neuralgia pasca herpes zoster maka pengobatan dapat dimulai dengan anti depresan seperti amitriptilin, nortriptilin, desipramin, duloksetin, venlafaksin, dan lain-lain.

 Bila respons tidak memadai ( misalnya penurunan skala nyeri < 30% ) ganti obat dengan obat lini pertama yang lain.

Tahap 4

 Bila obat tunggal dan kombinasi dari obat golongan lini pertama gagal pertimbangkan obat lini 2 dan 3 atau rujuk ke spesialis nyeri atau pusat nyeri multidisiplin.

____________________________________________________________ Keterangan : NN = nyeri neuropatik; TCA = tricyclic antidepressant; SSNRI = selective serotonin norepinephrine reuptake inhibitor. VAS = visual analog scale

Guideline (GL)

European Federation Neurological Society (EFNS), Canadian PainSociety (CPS), Neuropathic Special Interest Group (NeuPSIG) of the International Association for the Study of Pain (IASP), membuat GL terapi


(21)

farmakologik NN.5-8 , tetapi GL ini mempunyai keterbatasan karena hanya fokus pada PDN dan PHN.

Terapi NN secara umum berdasarkan bukti klinis dan rekomendasi klinik terbaru GRADE ( Grading of Recommendations Assesment, Development, and Evaluation ) dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.8 GRADE ini didasarkan pada systematic review dan meta-analysis dari seluruh obat yang dipakai untuk terapi NN baik yang dipublikasi maupun yang tidak dipublikasi dari Januari 1966 sampai April 2013.8

Tabel 2. Dosis dan rekomendasi terapi nyeri neuropatik berdasarkan klasifikasi GRADE


(22)

Tabel. 3 Ringkasan Rekomendasi GRADE

Pada semua GL yang dibuat oleh berbagai organisasi Internasional tersebut diatas pregabalin direkomendasikan sebagai obat line pertama untuk NN (kecuali pada neuralgia trigeminal).

RINGKASAN

Menejemen NN yang rasional adalah berdasarkan mekanisme terjadinya NN dan GL yang direkomendasikan oleh beberapa organisasi Internasional. Pregabalin merupakan anti-konvulsan yang bekerja pada α2 -δ subunit dari voltage gated calcium channel dengan mekanisme kerjanya adalah memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan neuro-transmiter eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin gene-related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. Pregabalin memiliki efikasi dan keamanan yang baik


(23)

Semua organisasi Internasional sepakat merekomendasikan pregabalin sebagai obat lini pertama untuk terapi farmakologik NN, kecuali untuk neuralgia trigeminal.

Daftar Pustaka

1. Attal N, Lanteri-Minet M, Laurent B, Fermanian J, Bouhassira D.The specific disease burden of neuropathic pain: Results of a French nationwide survey. Pain 2011; 152: 2836–43.

2. Dworkin RH, Panarites CJ, Armstrong EP, Malone DC, Pham SV. Is treatment of postherpetic neuralgia in the community consistent with evidence-based recommendations? Pain2012; 153: 869–75.

3. Torrance N, Ferguson JA, Afolabi E, et al. Neuropathic pain in the community: more under-treated than refractory? Pain2013; 154:690–99. 4. O‘ Connor AB. Neuropathic Pain : a review of the quality of life impact.

Cost and cost effectiveness of therapy.

Pharmacoeconomic.2009;(3):143-9

5. Attal N, Cruccu G, Baron R, Haanpaa M et al, EFNS Guidelines on The Pharmacological Treatment of Neuropathic Pain, European J of Neurol 2010:17:1113-1123.

6. Attal N, Finnerup NB, Pharmacologic Management of Neuropathic Pain, Pain Clinical Updates 2010, 28(9).

7. Finnerup NB, Sindrup SH, Jensen TS . The evidence for pharmacological treatment of neuropathic pain. PAIN 2010;150 : 573– 581

8. Finnerup NB, Attal N., Haroutounian S, McNicol E, Baro R., Dworkin RH,et al.Pharmacotherapy for neuropathic pain in adults: a systematic review and meta-analysis. Lancet Neurol.2015; 162–7

9. Dworkin RH, O‘Connor AB, Audette J et al, Recommendations for the Pharmacological Management of Neuropathic Pain: An Overview and Literature Update.Mayo Clin Proc 2010;85(3)(suppl):S3-S14.

10. Treede RD,Jensen TS, Campbell JN, Gruccu G, Dostrovsky JO et al. Neuropathic pain redefinition and a grading system for clinical and research purposes. Neurology 2008;70:1630-5


(24)

11. van Hecke O, Austin SK, Khan RA Smith BH, Torrance N. Neuropathic pain in the general population : a systematic review of epidemiological studies. Pain 2014:155;654-62

12. Gilron I, Watson CP, Cahill CM, Moulin DE. Neuropathic pain : a practical guide for the clinician. CMAJ 2006;175:265-75

13. Ben-Menachen E. Pregabalin Pharmacology and Its Relevance to Clinical Practice. Epilepsia 2004;45;(Suppl.6):13-18

14. Chen SR, Xu Z, Pan HL. Stereospecific Effect of Pregabalin on Ectopic Afferent Discharged and Neuropathic Pain Induced by Sciatic Nerve Ligation in Rats. Anesthesiology 2001;95:1473-9

15. Cada DJ, Levien T, Baker DE. Pregabalin, Hospital Pharmacy.2006;41(2):157-72

16. Freeman R, Durso-Decruz E, Emir B. Efficacy, safety, and tolerability of pregabalin treatment for painful diabetic peripheral neuropathy: findings from seven randomized, controlled trials across a range of doses. Diabetes Care 2008;31:1448–54.

17. Achar A, Chakraborty P, Bisai S. Comparative Study of Clinical Efficacy of Amytriptiline and Pregabalin in Postherpetic Neuralgia. Acta Dermatovenerol Croat, 2011; 20(2): 89-94.

18. Jakob VH, Flemming WB, Finnerup N, Brøsen K, Jensen TS, Sindrup SH. Imipramine and pregabalin combination for painful polyneuropathy: a randomized controlled trial.
Pain 2015;156 : 958–966

19. Simpson DM , Rice ASC, Emir B, Landen J, Semel D, Chew ML, Sporn J. A randomized, double-blind, placebo-controlled trial and open-label extension study to evaluate the efficacy and safety of pregabalin in the treatment of neuropathic pain associated with human immunodeficiency virus neuropathy Pain 2014;155:1943–1954

20. Kim JS, Bashford G, Murphy TK, Martin A , Dror V, Cheung R. Safety and efficacy of pregabalin in patients with central post-stroke pain
. Pain 2011;152: 1018–1023

21. Chong MS. Pregabalin in Painful Diabetic Peripheral Neuropathy. Drug. 2004;64(24):2821

22. Jensen TS, Finnerup NB. Management of Neuropathic Pain. In : Mogil F, editor. Pain 2010 An updated review Refresher Course Syllabus. Seattle: IASP Press, p 283-9.


(25)

23. Konsensus Nasional 1 Kelompok Studi Nyeri Perdossi. Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik. Dalam : Suryamiharja A dkk editor. Penuntun Penggunaan obat-obat analgesik dan analgesic adjuvant. Edisi pertama, Airlangga University Press 2011, p 53-60


(26)

KONTROVERSI PENGGUNAAN ANTIOKSIDAN

PADA USIA LANJUT

IGP SUKA ARYANA

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar ABSTRAK

Pada salah satu teori proses penuaan dinyatakan bahwa radikal bebas bertanggungjawab terhadap terjadinya proses penuaan yang terjadi sebagai akibat kerusakan pada tingkat sel maupun jaringan yang ditimbulkan. Dalam tubuh secara normal terdapat keseimbangan secara dinamis dan terus menerus antara oxidant/radikal bebas dan antioksidan. Apabila terjadi peningkatan radikal bebas melebihi kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan secara endogen melawan aktifitas radikal bebas berkontribusi terhadap terjadinya penurunan fungsi sel. Kecepatan dari kerusakan dan penurunan fungsi sel menjadi dasar dari cepatnya proses penuaan dan munculnya berbagai jenis penyakit degeneratif. Walaupun saat ini telah banyak ada suplementasi antioksidan untuk menghambat proses tersebut tetapi sampai saat ini berbagai penelitian hasilnya masih belum memuaskan dan sering tidak konsisten. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam meneliti efektifitas penggunaan suplementasi antioksidan adalah:1. Pengembangan konsep mekanisme oksidasi yang menjadi dasar proses penuaan, 2. Tentukan petanda yang tepat status oxidative damage dan antioksidan, 3. Temukan level dari therapeutic window sehingga kita tahu dosis suplementasi antioksidan yang efektif, 4. Perdalam pengetahuan tentang adanya molekul antioksidan yang dapat berubah menjadi pro-oksidan. Dengan memperhatikan hal tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efektifitas suplementasi antioxidan baru yang tergolong ensimatik antioksidan seperti SOD (sodium dismutase). Antioksidan ini diharapkan dapat memberikan hal yang konsisten untuk menghambat proses penunaan dan mencegah atau memperlambat munculnya penyakit degenratif.


(27)

PENDAHULUAN

Ada banyak teori yang berusaha menjelas tentang proses penuaan tetapi belum dapat memuaskan. Teori radikal bebas satu-satunya teori yang paling mendekati dasar mekanisme proses penuaan tersebut. Teori ini berkembang yang menyatakan pengaruh radikal bebas akan dimodifikasi oleh faktor genetik dan lingkungan. Radikal bebas bertanggung jawab terhadap rusaknya sel dan jaringan akibat proses oksidasi dari molekul biologi lemak, protein dan asam nukleat. Pada tahun 1972 diketahui bahwa mitokondria bertanggungjawab terhadap reaksi radika bebas dalam sel. Umur dinyatakan ditentukan oleh lajukerusakan mitokondria oleh radikal bebas. Mitokondria akan terus menerus menghasilkan radikal bebas sepanjang hidup mitokondria tersebut sampai akhirnya DNA mitokondria ini diserang dan dirusak yang mengakibatkan kematian sel. Sel untuk hidupnya selalu menggunakan oksigen tetapi membawa konsekuensi menghasilkan radikal bebas Reactive Oxygen Species (ROS) dan memacu terbentuknya antioksidan endogen untuk menetralkan efek oksidan tersebut.

Pada proses penuaan sepertinya terjadi ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan pertahanan antioksidan dalam sekala besar. Untuk menghambat proses tersebut maka diperlukan usaha-usaha untuk menurunkan produksi radikal bebas dan meningkatkan antioksidan yang ada dalam tubuh. Hal ini yang menjadi landassan banyaknya penelitian yang mencoba mengevaluasi efektifitas suplementasi antioksidan untuk menghambat proses penuaan dan mencegah munculnya penyakit degeneratif sehingga umur harapan hidup menjadi lebih panjang. Studi-studi di negara barat masih mendapatkan hasil yang tidak konsisten. OXIDATIVE DAMAGE

Dalam kondisi normal setiap hari ada 1% ROS yang terlepas dari kontrol pertahanan antioksidan endogen dan inilah yang menumpuk dan berperan dalam proses penuaan tersebut. Kondisi ini dapat menyebabkan lebih dari seratus ganguan patologis pada tubuh manusia. Pengukuran aktifias radikal bebas secara in vivo berbeda dengan praktis analisis dan merupakan masalah. Kita sudah tidak memakai lagi petanda produk akhir dari proses kerusakan akibat oksidai tersebut. Kerusakan akibat proses


(28)

oksidasi tersebut sebaiknya menggunakan pengukuran kuantitas asa nukleat dan kerusakan yang ditimbulkannnya dengan menggunakan Comet Assay. Comet assay merupakan akhir produk dari peroksidase lipid atau oksidasi protein.

Radikal bebas adalah suatu molekul atau rantai molekul yang mengandung satu atau lebih rantai yang tidak berpasangan yang orbit putaran atomnya berada paling luar sehingga dapat bebas menempel dengan atao/molekul lain. ROS adalah turunan dari oksigen berupa radical oksigen sedangkan RNS adalah non reaktif radikal tetapi dapat mengoksidasi atom/molekul lain dan bersifat sangat mudah menjadi radikal. Beberapa contoh radikal bebar antara lain: superoxide (O2•-), hydroxyl (OH-), peroxyl (RO2•), hydroperoxyl (HO2•), alkoxyl (RO•), peroxyl (ROO•), nitric oxide (NO•), nitrogen dioxide (NO2•) and lipid peroxyl (LOO•) and non radicals like hydrogen peroxide (H2O2), hypochlorous acid (HOCl), ozone (O3), singlet oxygen (1Δg), peroxynitrate (ONOO-), nitrous acid (HNO2), dinitrogen trioxide (N2O3), lipid peroxide (LOOH).Dalam tubuh kita terdapat sumber radical bebas yang bersumber dari dalam tubuh (endogen ataupun luar tubuh (exogen).

Gambar 1. Gambar pembentuk reactive oxygen spesies (ROS) dan Reactive nitrogen species (RNS).

Mereka dapat dihasilkan oleh enzim XO, NADPH oxidase dan lain atau dengan cara auto oxidation seperti adrenaline, dopamine dan lain-lain, atau bisa juga dengan pelepasan electron dari mitochondrial. Penggunaan bahan kimia seperti. doxorubicin, cigarettes lain-lain, katalitik


(29)

free transition metals (e.g. Fe++, Cu+ etc.) dan radiasi dari lingkungan (seperti. radon, UV, dan lain-lain) dapat pula mengakibatkan tingginya kadar oksidan tubuh. Molekul oksigen reaktif seperti superoxide (O2, OOH•), hydroxyl (OH•) dan peroxyl (ROOH•) berperan besar dan penting sebagai oksidatif stress dalam pathogenesis berbagai penyakit. Radikal bebas ini dihasilkan oleh:

1. mitochondria (superoxide radical and hydrogen peroxide);

2. phagocytes (generators of nitric oxide and hydrogen peroxide during the „respiratory burst‟ that takes place in activated phagocytic cells in order to kill bacteria after phagocytosis);

3. peroxisomes or microbodies (degrade fatty acids and other substances yielding hydrogen peroxide); and

4. cytochrome P450 enzymes, responsible for many oxidation reactions of endogenous substrates

Gambar 2. Efek oxidative stress pada semua organ AKTIFITAS FISIK

Peningkatan produksi radikal bebas selama latihan fisik disebabkan oleh beberapa faktor, seperti peningkatan katekolamin sehingga terjadi autooksdiasi, hipoksia dan reoksigenasi otot, asam laktat


(30)

yang memicu pelepasan besi dari myoglobin, dan inflamasi yang terjadi akibat gangguan fungsi lekosit.Tetapi masih sedikit data yang meneliti pengaruh akut dan kronik latihan fisik terhadap proses penuaan baik pada binatang maupun manusia.

Aktifitas fisik dan latihan sangat direkomendasi untuk menjaga optimalnya kesehatan dan mencegah penyakit degeneratif. Aktifitas fisik pada usia pertengahan, berhenti merokok, jaga tekanan darah, dan hindari obesitas adalah faktor yang secara independen berhubungan dengan penurunan kejadian kardiovaskular dan menurunkan mortalitas secara keseluruhan. Aktifitas fisik yang teratur dapat mengembalikan komposisi tubuh usia lanjut dimana masa otot meningkat dan masa lemak berkurang dan mencegah beberapa penyakit seperti diabetes, hipertensi, kanker dan osteoporosis. Aktiftas fisik ternyata walaupun menyebabkan produksi radikal bebas tetapi dilain pihak ternyata memacu proses adaptasi sel untuk meningkatkan produksi antioksidan endogen. Aktifitas fisik dapat meningkatkan aktiftas produksi antioksidan endogen baik pad a usia muda maupu usia lanjut. Walaupun aktifatas antioksidan dapat ditingkatkan dengan latihan fisik tetapi secara keseluruhan proses penuaan menyebabkan semakin turunnya aktifitas antioksidan. Aktiftas fisik mendadak dapat meningkatak aktiftas antioksitas di otot rangka, jantung dan hati dengan kualitas yang berbeda beda baik untuk golongan enzim antioksida maupun nonenzimatik antioksidan. Aktifitas latihan fisik secara batahap dan terus menurun dapat aktifitas enzim antioksidan walaupun pada otot yang sudah menua.

AGING

Proses penuaan adalah proses alami yang hadapi. Faktor genetik tidak bisa dipungkiri memang berperan dalam proses penuaan tetapi mekanismenya ternyata kompleks. Perbedaan umur spesies adalah akibat faktor genetik tetapi teori ini mengalami evolusi yang menyatakan penuaan tidak terprogram dan bukan genetik melainkan terjadi akibat akumulasi kerusakan somatik yang tidak dapat dipertahankan atau diperbaiki. Gen memang dapat mengontrol level aktifitas seperti aktifitas perbaikan DNA atau pertahanan dengan mengeluarkan antioksidan. Hal inilah yang mengontrol umur harapan hidup seseorang. Ada kemungkinan terjadi


(31)

gangguan gen secara perlahan akibat seleksi alam atau respon adaptasi gen terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan kualitas asupan makanan.

Gambar 3. Pengaruh faktor genetik dan lingkungan terhadap proses penuaan Radikal bebas berperan dalam sepanjang hidup manusia. Pada masa embrio radikal bebas berperan dalam merangsang terjadinya deferensiasi sel dan organ , pada masa pertumbuhan berperan dalam proses perkembangan dan kematangan sel dan organ hanya pada tahap selanjutnya radikal bebas berperan dalam proses penuaan dan terjadinya berbagai penyakit degeneratif. Perbedaan mendasar dari pengaruh radikal bebas pada masa pertumbuhan dan usia dewasa adalah pada pemumpukan sisa metabolik, adanya proses remodeling, kerusakan sel dan akhirnya penyakit seperti terlihat di tabel 1.


(32)

Tabel 1. Perbedaan pengaruh radikal bebas pada usia muda dan dewasa

Pada 2 dekade terakhir telah banyak penelitian yang mendapatkan peranan antioxidant dalam kesehatan. Penggunaan terapi antioksidan maupun diet yang mengandung banyak antioksidan dapat menghambat perkembangan beberapa penyakit termasuk proses penuaan. Setelah dilakukan penelitian yang lebih baik ternyata didapatkan terapi antioksidan maupun diet banyak yang berhasil tetapi banyak pula yang gagal membuktikannya. Sebagai contoh penelitian tentang asupan nutrisi yang banyak sayur-sayuran dan buah-buahan dapat menurunkan risiko kanker akibat peningkatan kadar beta karotein dalam darah. Tetapi terapi menggunakan suplemen beta karotein ternyata tidak dapat membuktikan


(33)

efek tersebut. Konsumsi sayur dan buah-buahan yang tinggi dapat menurunkan kadar radikal bebas dalam tubuh yang akan merusak DNA tetapi terapi suplemen dengan askorbat, vit E, dan beta karotein ternyata tidak dapat menurunkan kerusakan DNA yang terjadi. Studi terkenal lainnya adalah CHAOS yang dapat membuktikan bahwa suplemen vit E sebagai proteksi terhadap kejadian kardiovaskular tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan pada studi GISSI Prevention Trial.

Ada 2 hal yang dapat menjelaskan kontroversi ini yaitu:

1. Efek proteksi yang dimiliki oleh diet tidak sama dengan efek dengan terapi suplemen.

2. Sebagaian besar radikal bebas memerlukan antioksidan yang bekerja menurunkan efek oksidan. Kekuatan menurunkan efek oksidan secara invitro adalah kekuatan total antioksidanya.

Proses keseimbangan antioksidan dan radikal bebas terjadi secara dinamis dalam tubuh. Rendahnya kadar antioksidan dapat menstimulus proliferasi sel. BIla oksidasi meningkat dapat terjadi apoptosis sedangkan bila kadar terlalu tinggi dapat menghentikan apoptosis melalui enzim caspase.

PERANAN ANTIOKSIDAN

Antioksidan adalah substran yang dapat menghambat atau memperlambat prose oksidasi. Antioksidan endogen ada dalam bentuk non- enzymatic (seperti asam urat, glutathione, bilirubin, thiols, albumin, dan faktor nutrisi: vitamins & phenols) dan enzymatic (seperti superoxide dismutases, glutathione peroxidases [GSHPx], &catalase). Pada subyek normal antioxidan endogen menjaga keseimbangan dengan ROS tetapi ada sekitar 1% yang tidak mampu dinetralkan oleh antioksidan endogen. Antioksidan nutrisional merupakan sumber antioksidan yang penting dengan mekanisme yang berbeda dari setiap jenisnya tetapi utamanya sebagai scavenger radikal bebas: 1) langsung menetralkan, 2) menurunkan konsentrasi peroxide dan memperbaiki membran yang teroxidasi, 3) menurunkan produksi ROS, 4) melalui metabolisme lipid, asam lemak bebas rantai pendek, dan kolesteril ester menetralkan ROS. Kemampuan antioksidan tubuh dapat diperkirakan dengan mengukur kadar antioksidan


(34)

plasma (mikronutrien, ensim, antioksidan lain), tetapi harus diingat bahwa hal tersebut hanyalah kandungan dalam aliran darah belum tentu sama dengan di tingkat sel dan jaringan. Hal lain yang harus diwaspai adalah ternyata pemberian anti oksidan nutrisional ada risiko menjadi pro-oksidan. Beberapa studi telah membuktikan hal tersebut terjadi. Antioksidan suplementasi harus digunakan berhati-hati, sebaiknya digunakan pada saat ada kecurigaan adanya radikal bebas yang berlebih baik oleh karena paparan lingkungan maupun penyakit.

Antioksidan nutrisional sering diindikasikan untuk meningkatkan status kesehatan dan memperpanjang umur harapan hidup. Tetapi masih sangat jarang studi yang membuktikan efek proteksi micronutrien atau antioksidan nutrisional secara spesifik. Ternyata juga masih belum jelas dapat dibuktikan bahwa manfaat diet yang tinggi sayur dan buah-buahan untuk kesehatan dapat digantikan oleh suplementasi antioksidan. Beberapa kendala penting yang dihadapi untuk dapat membuktikan peranan antioksidan dalam proses penuaan adalah masih sedikitnya leteratur tentang bagaimana mekanisme kerja dari oksidan dan bagaimana mengevaluasi petanda keberhasilan terapi antioksidan. Terapi antioksidan mungkin perlu diberikan lebih awal. Perbedaan studi antara observasional dan uji klinis akan menyebabkan perbedaan lama paparan terhadap diet antioksidan. Hal penting lainnya adalah studi pada percobaan binatang yang walaupun studinya berbasis mekanisme biologi tetapi bila diterapkan pada manusia akan terjadi prubahan atau translasi hasil. Antioxidan memiliki dosis terapi (therapeutic window) secara sendiri-sendiri, dan pemberian kombinasi mungkin akan mengubah therapeutic window. Dosis terapi belum dapat dipastikan, dosis yang berlebih malah dapat menimbulkan efek yang berlawanan.

Adanya antioksidan baru memberikan harapan suplementasi ini bekerja lebih baik. Hampir semua studi sebelumnya menggunkan antioksidan nutrisional yang tergolong non-enzimatic antioxidant. Antioksidan ini berpotensi menjadi pro-oksidan sedangkan antioksidan yang tergolong ensimatik diharapkan bekerja lebih baik dan tidak menjadi pro-oksidan di dalam tubuh. Belum banyak studi yang meneliti tentang antioksidan yang tergolong ensimatik. Salah satu contoh yang saat ini ada adalah golongan sodium dismutase (SOD). SOD tergolong juga sebagai


(35)

antioksidan primer dan endogen. Studi yang baik sangat diperlukan untuk menguji efektifitas antioksidan ini. Hal yang harus disiapkan adalah 1) harus memahami mekanisme dasar dari proses penuaan, 2) bagaimana hubungan saling terkaitnya antar antioksidan yang berbeda, 3) hubungan antara faktor antioksidan dan pro-oksidan, 4) patogenesis oksidasi menimbulkan kerusakan sel dan penyakit, dan 5) ditemukannya petanda oksidan dan antioksidan yang dapat dipercaya berperan dalam proses yang sesungguhnya.

DAFTAR RUJUKAN

1. Fusco D, Colloca G, Monaco MLR, Cesari M, Effects of antioxidant supplementation on the aging process, Clinical Interventions in Aging 2007:2(3) 377–387

2. T. B. L. Kirkwood, Understanding Ageing From An Evolutionary Perspective. Blackwell Publishing Ltd Journal of Internal Medicine 2008: 263; 117–127

3. Couteur DGL, McLachlan AJ, Quinn JJ, Simpson SJ, and Cabo R, Aging Biology and Novel Targets for Drug Discovery. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2012 February;67A(2):168–174

4. Kregel KC and Zhang HJ. An integrated view of oxidative stress in aging: basic mechanisms, functional effects, and pathological considerations. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2007; 292: R18–R36

5. Cutler RG. Antioxidants and aging. Am J Clin Nutr 199 l;53:373S-9S. 6. Mandal S, Yadav S , Yadav S, Nema RK. Antioxidants: A

Review.Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 2009, 1 (1):102-104.

7. Jones DP. Radical-free biology of oxidative stress. Am J Physiol Cell Physiol 295: C849–C868, 2008.

8. Shinde A , Ganu J , Naik P. Effect of Free Radicals & Antioxidants on Oxidative Stress: A Review. Journal of Dental & Allied Sciences 2012;1(2):63-66

9. Pham-Huy LA, He H, Pham-Huy C. Free Radicals, Antioxidants in Disease and Health. Int J Biomed Sci 2008;4(2):89-96.


(36)

10. J.G. Scandalios. Oxidative Stress: Molecular Perception And Transduction Of Signals Triggering Antioxidant Gene Defenses. Brazilian Journal of Medical and Biological Research (2005) 38: 995-1014.

11. Stephens NG, Parsons A, Schofield PM, et al. Randomised controlled trial of vitamin E in patients with coronary disease: Cambridge Heart Antioxidant Study (CHAOS). Lancet 1996; 347: 781–86.

12. GISSI-Prevenzione Investigators. Dietary supplementation with n-3 polyunsaturated fatty acids and vitamin E after myocardial infarction: results of the GISSI-Prevenzione trial. Lancet 1999; 354: 447–55. 13. Fraga CG, Motchnik PA, Wyrobek AJ, Rempel DM, Ames BN. Smoking

and low antioxidant levels increase oxidative damage to sperm DNA. Mutat Res 1996; 351: 199–203.

14. Benzie IF, Strain JJ. Ferric reducing/antioxidant power assay: direct measure of total antioxidant activity of biological fluids and modified version for simultaneous measurement of total antioxidant power and ascorbic acid concentration. Meth Enzymol 1999; 299: 15–27.

15. Joe Beckman. The ABC‘s of the Reactions between Nitric Oxide, Superoxide, Peroxynitrite and Superoxide Dismutase. Oxygen'99: 1;13 16. Barry Halliwell. The antioxidant paradox. Lancet 2000; 355: 1179–80 17. Sujogya Kumar Panda. Assay Guided Comparison for Enzymatic and

Non-Enzymatic Antioxidant Activities with Special Reference to Medicinal Plants. http://dx.doi.org/10.5772/50782


(37)

Nutritional Management in

Frailty

Elderly

I Nyoman Astika

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Frailty merupakan sekumpulan gejala yang sering ada pada usia tua dan memiliki peranan besar dalam meningkatkan risiko morbiditas termasuk risiko jatuh, ketidakmampuan, ketergantungan, kebutuhan untuk rawat inap hingga mortalitas pada pasien usia tua. Kesulitan lain yang dihadapi pada frailty terkait peningkatan risiko rawat inap akhirnya dapat meningkatkan isolasi sosial dan menurunkan kualitas hidup pasien usia tua(1).

Estimasi prevalensi dari sindrom ini adalah 7% diantara penduduk laki-laki dan perempuan yang berumur 65 tahun atau lebih, dan mencapai 25-40% pada yang berumur 80 tahun atau lebih. Suatu studi melaporkan bahwa prevalensi frailtypada masyarakat sangat bervariasi (berkisar 4,0-59,1%). Prevalensi keseluruhan dari frailtyyang dilaporkan adalah 10,7%. Prevalensi untuk frailtyfisik adalah 9,9% dan 13,6% untuk prevalensi frailtydengan fenotipe luas. Prevalensi meningkat seiring dengan usia dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (2).

Data di Indonesia, didapatkan dari penelitian oleh Setiati dkk, kondisi pre-frail sebesar 71,1 % sedangkan frailty sebesar 27,4% (3).

Melihat tren epidemiologi yang meningkat demikian tajam, terapi dan pencegahan terhadap frailty merupakan tantangan besar yang harus segera mendapatkan perhatian penting. Untuk mengetahui penyebab dan bagaimana perjalanan dari frailty sendiri sangat penting untuk bagi para klinisi untuk mencari faktor risiko yang terkait sehingga dapat dilakukan manajemen dan pencegahan yang tepat(4).

Sarkopenia merupakan suatu penurunan massa otot, kekuatan dan terganggunya kemampuan otot itu sendiri. Sarkopenia memiliki hubungan yang signifikan terhadap perkembangan dari frailty itu sendiri. Kondisi


(38)

malnutrisi sendiri termasuk penyebab utama kondisi sarkopenia, baik under nutrisi atau over nutrisi(4).

Oleh karena patogenesis malnutrisi dan frailty yang terkait dan seringnya gejala ini muncul secara bersama-sama maka diperlukan manajemen nutrisi yang baik untuk mencegah ataupun terapi pada frailty itu sendiri.

Definisi Frailty

Frailty merupakan status klinis dimana terjadi peningkatan kerentanan akibat suatu proses penuaan dan kemunduran sistem fisiologis. Saat ini belum ada baku emas yang dapat digunakan untuk menegakkkan diagnosis frailty. Frailty secara operasional didefinisikan oleh Fried dkk sebagai pertemuan tiga dari lima kriteria fenotipik : (1) penurunan berat badan secara progresif, (2) kecepatan berjalan melambat, (3) kekuatan cengkeraman tangan menurun, (4) keletihan atau daya tahan menurun, dan (5) tingkat aktivitas fisik yang rendah. Apabila seseorang menunjukkan

tiga gejala atau lebih disebut ―frailty‖, apabila hanya menunjukkan satu atau

dua gejala disebut ―pre-frailty‖, sedangkan tidak menujukkan gejala apapun

disebut ―tak frailty‖. Ketiga level tersebut tergantung pada usia, kondisi penyakit kronis, fungsi kognitif, dan gejala depresif (4)

Patofisiologi Frailty

Menurut Ferrucci dan Ruggiero, diperlukan energi dalam jumlah besar untuk mempertahankan ekuilibrium homeostatik. Sejumlah energi ini dinamakan laju metabolisme basal. Bukti terkini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi laju metabolisme basal tidak hanya faktor-faktor fisiologis tetapi juga komponen patologis. Selain energi minimum yang diperlukan untuk homeostasis, terdapat kuota energi tambahan untuk menyeimbangkan homeostasis tidak stabil yang disebabkan oleh patologi. Energi ekstra ini dapat kita sebut dengan ―usaha

homeostatik‖. Pada individu yang sehat usaha homeostatik ini dapat

diabaikan, namun ia akan meningkat dengan perburukan status kesehatan. Peningkatan kebutuhan energi ini dapat mengurangi persediaan energi yang ada untuk kebutuhan aktivitas fisik dan kemampuan kognitif.


(39)

Dikatakan gangguan ini terjadi pada tingkat mitokondria dimana terjadi pembelahan sel (5).

Peningkatan beban kerja akan menyebabkan individu merasa lelah. Ambang dimana lelah mulai dirasakan dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis (inflamasi, stress oksidatif, hormonal, metabolisme anaerob), fisiologis dan psikologis. Efesiensi aktivitas fisik dan kognitif juga mempengaruhi kegiatan yang dapat dilakukan sebelum seorang individu merasa kelelahan. Jika ambang batas lelahnya rendah, ia cenderung tidak beraktivitas. Pada jangka panjang keadaan lebih banyak diam ini akan mengurangi energi total yang dapat diproduksi dan memicu penurunan fungsi fisik secara progresif. Pada akhirnya respon homeostatik akan menjadi sangat tidak efisien sehingga mekanisme homeostatik normal tidak akan kembali dan muncul mekanisme lain yang kurang kuat dan efisien. Menurut pendekatan ini fenotip dari kerapuhan mewakili status ekuilibirium terbaik yang mungkin pada individu spesifik pada berbagai fungsi fisiologis (5).Beberapa patofisiologi frailty dapat dilihat pada skema di bawah ini :


(40)

Gambar 2. Etiologi dan Risiko Frailty (7)

Sarkopenia

Sarkopenia atau kehilangan massa otot akibat proses penuaan diduga merupakan manifestasi utama dari kerapuhan. Seorang geriatri dikatakan sarkopenik jika massa tubuhnya di bawah dua standar deviasi jika dibandingkan dengan rata-rata pada sampel individu muda yang sehat .Sarkopenia akan terjadi secara fisiologik setelah usia sekitar 35 tahun. Jika diperberat oleh berbagai penyakit dan undernutrisi kronik, kehilangan massa otot dapat mencapai lebih dari 50% dan diganti jaringan ikat atau lemak. Hilangnya massa otot ini akan menyebabkan penurunan kekuatan dan toleransi olahraga, kelemahan, kelelahan dan penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari (8)

Derajat sarkopenia bervariasi pada penderita usia lanjut dan tergantung pada banyak faktor, antara lain: olahraga, berbagai penyakit akut dan kronik, obat-obatan, sekresi hormon pertumbuhan dan faktor-faktor neuroendokrin. Penderita lanjut usia dengan jumlah jaringan otot yang paling sedikit akan merupakan penderita yang lebih rapuh terhadap berbagai morbiditas lain (9)

Stress oksidatif merupakan mekanisme utama yang terlibat dalam patogenesis sarkopenia; otot yang menua menunjukkan kerusakan oksidatif pada DNA, protein dan lipid. Ambilan nutrien antioksidan dan antiinflamasi yang tidak adekuat (khususnya selenium, vitamin E,


(41)

karotenoid, dan PUFA) berkontribusi terhadap kejadian sarkopenia dan penurunan fungsi fisik pada geriatri(10).

Nutrisi pada Geriatri (11)

Kebutuhan nutrisi mengalami perubahan seiring bertambahnya usia. Pada geriatri perubahan ini dapat berkaitan dengan proses penuaan normal, kondisi medis, atau gaya hidup. Nutrisi merupakan determinan penting pada status kesehatan lansia. Penilaian status nutrisi merupakan hal yang penting untuk mencegah berbagai penyakit akut dan kronis dan juga untuk kesembuhan. Seiring bertambahnya usia terjadi berbagai perubahan pada tubuh yang dapat mempengaruhi status nutrisi seorang lansia. Masalah yang umumnya terjadi adalah kehilangan densitas tulang yang meningkatkan risiko osteoporosis. Sarkopenia juga adalah suatu perubahan yang terkait usia. Kehilangan massa otot berkibat pada meningkatnya massa lemak. Kehilangan massa otot ini dapat terjadi juga pada mereka yang sehat, yang menunjukkan bahwa perubahan metabolik terjadi merupakan sesuatu yang universal. Terjadi penurunan kekuatan, fungsional, daya tahan, dan penurunan total air kandungan air tubuh. Beberapa perubahan terjadi di sepanjang sistem pencernaan. Terdapat penurunan sekresi asam lambung yang menghambat penyerapan besi dan vitamin B12, penurunan produksi saliva yang memperlambat peristaltik dan konstipasi, disregulasi nafsu makan dan rasa haus. Perubahan sesnsoris mempengaruhi nafsu makan dalam banyak hal. Sebagai contoh, hilangnya daya penglihatan membuat masak dan makan lebih sulit, daya perasa dan penciuman yang menurun membuat makanan menjadi lebih tawar dan tidak menarik sehingga nafsu makan semakin menurun, asupan nutrisi berkurang dan timbul berbagai masalah kesehatan.

Malnutrisi merupakan penyebab dan juga konsekuensi dari masalah kesehatan. Malnutrisi terdiri dari undernutrition (gizi kurang) , overnutrition (gizi lebih), atau specific nutrient-related deficiencies (defisiensi nutrisi spesifik). Malnutrisi pada pasien tua seringkali underdiagnosed sehingga diperlukan edukasi lebih jauh mengenai status nutrisi pada pasien lansia. Malnutrisi pada geriatri akan memperberat masalah kesehatan lain , seperti sistem imun yang lemah yang meningkatkan risiko infeksi; lambatnya pemulihan luka; dan kelemahan otot, yang akan menyebabkan


(42)

jatuh dan fraktur. Sebagai tambahan, malnutrisi akan mengakibatkan kehilangan nafsu makan lebih jauh sehingga membuat masalah yang ada menjadi lebih sulit.

Sebagian besar pasien geriatri memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya malnutrisi jika dibandingkan dengan populasi dewasa. Diperkirakan 2%-16% geriatri memiliki masalah defisiensi nutrisi dalam protein dan kalori. Jika defisiensi vitamin dan mineral diikutkan dalam estimasi ini, malnutrisi pada geriatri dapat mencapai angka 35%. Pasien geriatri yang sakit berat, yang memiliki demensia atau kehilangan berat badan adalah yang paling rentan terhadap akibat buruk malnutrisi. Malnutrisi sering disebabkan oleh kombinasi dari berbgai faktor. Faktor-faktor sosial kemiskinan, ketidakmampuan berbelanja, ketidakmampuan menyiapkan dan memasak makanan, ketidakmampuan makan sendiri, hidup sendiri, isolasi sosial, atau kurangnya jaringan pendukung social, kegagalan memesan makanan sesuai budaya. Faktor-faktor psikologis seperti alkoholisme, kehilangan, depresi , demensia, fobia kolesterol, mual/muntah: antibiotik, opiat, digoksin, teofilin, OAINS, anoreksia: antibiotik, digoksin , berkurangnya cita rasa: metronidazol, calcium channel blockers, ACE inhibitor, metformin, mudah kenyang: antikolinergik, simpatomimetik , berkurangnya kemampuan makan: sedatif, opiat, psikotropik, disfagia: suplemen potasium, NSAIDs, bifosfonat, prednisolon. konstipasi: opiat, suplemen besi, diuretic, diare: laksans, antibiotic, Hipermetabolisme: tiroksin, efedrin.

Penyebab kurangnya berat badan pada orang tua sering diingkat sebagai MEALS ON WHEELS, yaitu

• Medications (digoxin, theophylinne, psychotropica)

• Emotions (depression)

• Alcoholism, anorexia tardive

• Late-life paranoia

• Swallowing problems

• Oral problems

• No money (poverty)

• Wandering (dementia)

• Hyperthyroidism, Hyperparathyroidism


(43)

• Eating problems

• Low-salt, low-cholesterol diet

• Shopping problems

9D penyebab kurangnya asupan makanan dan penurunan berat badan pada geriatri: Depresi, drug, demensia, disfagia, disgeusia,disfungsi, diare. Yang tersering adalah depresi, gastrointestinal (ulkus peptikum atau gangguan motilitas) dan kanker.

Gambar 4. Masalah nutrisi dan hubungannya dengan frailty (12)

Manajemen Nutrisi pada Frailty

Malnutrisi merupakan kondisi umum yang terjadi pada proses penuaan, sama halnya dengan frailty. Oleh karena perubahan yang terjadi pada komposisi tubuh pada usia lanjut, yaitu kehilangan massa otot tubuh, kehilangan kekuatan otot, sarkopenia dan meningkatnya massa lemak, populasi geriatri sangat rentan terhadap risiko malnutrisi. Selain itu penyakit akut dan kronik juga berperan sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya gangguan makan, menurunnya nafsu makan. Kondisi anoreksia sendiri merupakan faktor risiko awal terjadi frailty. Faktor lain yang bertanggung jawab atas perkembangan malnutrisi adalah penurunan berat badan lebih dari 5% pada bulan sebelumnya atau lebih dari 10% dalam 6


(44)

bulan terakhir, kondisi berat badan berlebih atau kurang yang signifikan ( 20% ), meningkatnya catabolisme, meningkatnya kehilangan nutrisi ( diare, malabsobsi ), riwayat operasi pada saluran pencernaan, radioterapi, obat- obatan, ketergantungan alkohol, penurunan albumin serum dan penurunan jumlah limfosit pada darah pelifer(13).

Pada usia lanjut, terdapat perubahan pada traktus gastrointestinal dan perubahan lain yang meningkatkan terjadinya anoreksia pada penuaan (gambar 4)

Gambar 3. Patogenesis terjadinya anoreksia akibat penuaan (14)

Kuosioner dasar yang tervalidasi pada geriatri untuk mendiagnosis malnutrisi adalah MNA (Mini Nutritional Assessment). Versi lengkapnya memuat 18 pertanyan yang memuat pengukuran antropometrik, penilaian umum, diet, dan self assessment. Selama analisis MNA dan frailty pada geriatri, terdapat perbedaan statistik signifikan antara risiko malnutrisi dan terjadinya sindrom frailty. Terdapat risiko malnutrisi pada 2,2% pasien non-frail, 12,2% pada pre-frail dan 46.9% pasien frail (p < 0.001).

Piramida makanan sehat yang disarankan untuk geriatri disebut

sebagai ―Modified Food Pyramid‖ yang terdiri dari • 8 gelas


(45)

• Ca, vitamin D, dan B12 yang adekuat

• Karbohidrat kompleks pada dasar piramid

• Protein dengan lemak hidrogenasi sebagian dan tersaturasi ada di atas piramid sedangkan lemak monounsaturated dan polyunsaturated omega-3 fats ada di bawah.

• Ikan, kacang, minyak sayur harus dikonsumsi lebih banyak dari daripada daging merah dan mentega.

Diet mediterranean terkenal sebagai diet sehat dimana pasien yang menjalani diet ini memiliki insiden frailty yang lebih rendah setelah follow up selama 6 tahun. Diet ini terinspirasi dari pola makan populasi di Yunani, Italia Selatan dan Spanyol. Prinsip diet ini adalah konsumsi minyak zaitun yang tinggi, kacang-kacangan, sereal, sayur dan buah-buahan, konsumsi ikan sedang sampai tinggi dan konsumsi produk susu sedang (yoghurt dan keju)(12).

Manajemen nutrisi yang baik dapat menghindarkan seorang geriatri dari terjadinya demensia . Beberapa nutrisi yang disarankan antara lain omega 3 (DHA), vitamin A, C, D, E (14). Asupan mikronutrien pada geriatri yang harus diperhatikan adalah

• Besi- besi yang berlebihan akan bertindak sebagai prooksidan. Besi hanya diberikan jika memang terdapat anemia defisiensi besi. Rekomendasi asupan perhari pada wanita di atas usia 51 tahun menurun, yaitu 8 mg (15).

• Seringkali terjadi defisiensi vitamin B12 karena asam lambung yang menurun. Asam lambung yang menurun sering disebabkan gastritis atrofi yang merupakan kondisi inflamasi kronik pada geriatri. Defisiensi B12 akan menyebabkan anemia pernisiosa, kerusakan saraf dan kemunduran kognitif. Rekomendasi asupan perhari 2ug/ hari. B12 di suplemen akan diabsorpsi lebih baik daripada di makanan (16).

• Insufisiensi kalsium dan vitamin D akan meningkatkan risiko osteoporosis. Insufisiensi ini terjadi karena beberapa hal : penurunan absorpsi kalsium di usus, berkurangnya kapasitas ginjal dalam meretensi kalsium, kurangnya pajanan terhadap sinar matahari, penurunan kemampuan kulit mensintesis vitamin D, penurunan kemampuan ginjal mengbah vitamin D menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D. Rekomendasi asupan kalsium perhari1200 mg setelah usia 50


(46)

tahun pada wanita women, 1200 mg setelah usia 70 pada laki laki. Asupan vitamin D yang disarankan adalah 20u/hari untuk usia di atas 70 tahun (17).

Penelitian juga menunjukkan bahwa defisiensi mikronutrien dan beta karoten serum yang rendah merupakan faktor risiko signifikan untuk frailty (18) ditemukan perbedaan konsentrasi mikronutrien (vitamin D, A, E, B6, B12, folat, zinc, dan selenium) yang signifikan antara pasien frail dan non-frail .

Diet efektif dengan memperhatikan kebutuhan protein, mikronutrien, disertai dengan program latihan yang efektif memberikan perbaikan signifikan pada frailty yang diukur dengan perbaikan massa, kekuatan otot dan performa klinis. Pada beberapa literatur, didapatkan kebutuhan protein yang disarankan berupa 10–20 g protein perhari, ada juga yang menyarankan asam amino esensial 12 gram/hari atau 6 gram/hari, dan metabolit leusin HMB ,3 gram /hari dimana ketiga sudi ini memberikan hasil yang sama baiknya. Untuk vitamin D, pemberian suplementasi pada studi digunakan bolus 100.000 U diikuti dengan suplemen perminggu 50.000 U selama 8 minggu atau 400 IU perhari selama 9 bulan dimana keduanya memberikan hasil yang sama baik (19).

Secara keseluruhan, piramida makanan sehat yang disarankan

untuk geriatri disebut sebagai ―Modified Food Pyramid‖ yang terdiri dari

(20):

• 8 gelas

• Ca, vitamin D, dan B12 yang adekuat

• Karbohidrat kompleks pada dasar piramid

• Protein dengan lemak hidrogenasi sebagian dan tersaturasi ada di atas piramid sedangkan lemak monounsaturated dan polyunsaturated omega-3 fats ada di bawah.

• Ikan, kacang, minyak sayur harus dikonsumsi lebih banyak dari daripada daging merah dan mentega.

Daftar Pustaka

1. Xue Q. The Frailty Syndrome: Definition and Natural History. Clin Geriatr Med. 2011:27(1); 1-15


(47)

2. Qu, T., et al., 2009. Upregulated Monocytic Expression Of CXC Chemokine Ligand 10 (CXCL-10) And Its Relationship With Serum Interleukin-6 Levels In The Syndrome Of Frailty. Cytokine. 46(3): 319– 324

3. Setiati S, Seto E, Sumantri S. Frailty profile of elderly outpatient in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. In press. 2013.

4. Dorner T, Lackinger C. Haider S, et al. Nutritional Intervention and Physical Training in Malnourished Frail Community-dwelling Elderly

Persons Carried out by Trained Lay ―buddies‖: Study Protocol of a

Randomized Controlled Trial. BMC Public Health. 2013:13;1232;1471-2458.

5. Weiss Carlos O, Capolla Anne R, et al. Resting Metabolic Rate Among Old-Old Women With and Without Frailty: Variability and Estimation of Energy Requirements. J Am Geriatr Soc. 2012; 60(9): 1695–1700. 6. Fried LP Watson, J Ferruci, Luigi. Frailty. In: Halter Jeffrey B, Ouslander

Joseph G, Tinetti Mary E, Studenski Stephanie, High Kevin E, Asthana

Sanjay eds Hazzard‘s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th

ed. New York: MCGraw-Hill; 2009. pp 631-646.

7. Morley JE, Kim MJ, Haren MT, et al. Frailty and the aging male. Aging Male 2005;8:135–40.

8. Morley JE, Baumgartner RN, Roubenoff R, et al. Sarcopenia. J Lab Clin Med 2001;137: 231–43.

9. Janssen I, Heymsfield SB, Ross R. Low relative skeletal muscle mass (sarcopenia) in older persons is associated with functional impairment and physical disability. J Am Geriatr Soc 2002;50:889–96

10. Amarya Shilpa , Singh Kalyani, Sabharwal Manisha. Changes during aging and their association with malnutrition. Journal of Clinical Gerontology & Geriatrics. 2015:6; 78-84.

11. Jaroch A, Kedziora K. Nutritional Status of Frail Elderly. Prog Health Sci. 2014;4;2;145-149

12. Walston J. Frailty. J Am Geriatr Soc. 2006;54:991-1001.

13. Tanvir A, Haboubi N. Assesment and Management of Nutrition in Older People and Its Importance to Health. Clinical Interventions in Aging. 2010:5;2017-216.


(48)

14. M. Hasan Mohajeri, Barbara Troesch, Peter Weber. Inadequate supply of vitamins and DHA in the elderly: Implications for brain aging and Alzheimer-type dementia. Nutrition. 2015:31;261-275

15. Hui Sian Tay, Roy L. Soiza. Systematic Review and Meta-Analysis: What Is the Evidence for Oral Iron Supplementation in Treating Anaemia in Elderly People? Drugs and Aging. 2015: 32; 149-158

16. Karen Appold. Dangers of Vitamin B12 Deficiency. Aging Well. 2012:5;30

17. Smit E, Winters-Stone K, Loprinzi P, Tang A, Crespo C. Lower Nutritional Status and Higher Food Insufficiency in Frail Older US Adults. Br J Nutr. 2013: 110(1);172-8

18. Shardell M, Hicks G, Miller R, Kritchevsky S, Andersen D, Bandinelli S, Cherubini A, Ferrucci L. Association of Low Vitamin D Levels with the Frailty Syndrome in Men and Women. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2009 Jan;64(1):69-75

19. Hayley J Denison, Cyrus Cooper, Avan Aihie Sayer, Sian M Robinson. Prevention and optimal management of sarcopenia: a review of combined exercise and nutrition interventions to improve muscle outcomes in older people.Clinical Interventions in Aging. 2015:10; 859– 869

20. Lichtenstein A, Rasmussen H, Yu W, Epstein K, Russell R. Modified MyPyramid for Older Adults. The Journal of Nutrition. 2008: 138; 5–11.


(49)

Hubungan Kelainan Saluran Nafas Kecil dengan

Keluhan Respirasi dan Karakteristik Klinis Asma

IB Ngurah Rai, IGN Bagus Artana Divisi Paru, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan

Asma terjadi pada berbagai belahan dunia serta berbagai kalangan dan status social ekonomi. Hingga saat ini asma masih menjadi salah satu penyakit non-infeksi dengan prevalensi tertinggi. Perkiraan global terbaru dari Global Asthma Network menunjukkan bahwa sebanyak 334 juta orang menderita asma di seluruh dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat. Sementara di Indonesia berdasarkan RISKESDAS 2013, prevalensi asma didapatkan 4,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Asma menduduki peringkat pertama dari kategori prevalensi penyakit kronik tidak menular.1,2

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai oleh inflamasi saluran napas kronik. Hal tersebut didefinisikan sebagai riwayat gejala respirasi seperti mengi, sesak napas, berat di dada dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu serta intensitasnya, disertai variasi nilai hambatan aliran udara ekspirasi. Asma biasanya berhubungan dengan hiper-responsivitas saluran udara, serta berhubungan dengan inflamasi jalan nafas kronik. Kedua kondisi ini biasanya selalu didapatkan, walaupun pasien sudah tidak merasakan gejala asmanya serta dengan fungsi paru normal. Kondisi hiper-responsivitas dan inflamasi jalan nafas ini dapat dikendalikan dengan pemberian obat yang sesuai.1

Secara tradisional, asma dikaitkan dengan kelainan yang terjadi pada saluran nafas besar. Belakangan ini para ahli di dunia mulai melirik kelainan saluran nafas kecil pada patofisiologi asma. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah penelitian mengenai saluran nafas kecil pada asma sejak tahun 2009, dimana artikel ilmiah dengan topik ini meningkat dari kurang dari seratu menjadi 200 artikel lebih. Konsep tradisional ini diuji


(50)

dengan banyaknya bukti ilmiah yang menunjukkan abnormalitas jalan nafas kecil berperan dalam ekspresi klinis asma secara umum.3

Konsep mengenai peranan saluran nafas kecil pada asma memang masih baru dan masih banyak mengalami tentangan dari beberapa ahli. Tetapi dengan banyaknya bukti klinis yang telah dipublikasi baik dari tatanan review keilmuan maupun penelitian klinis, maka perkembangan peran jalan nafas kecil pada asma ini penting untuk dipahami. Berikut ini kami uraikan mengenai saluran nafas kecil serta pengaruhnya pada gejala dan karakteristik klinis kontrol asma.

Kelainan Saluran Nafas Kecil pada Asma

Secara tradisional, asma telah dianggap sebagai penyakit yang dominan melibatkan saluran udara besar. Sekitar satu dekade terakhir, konsep ini sedang diuji dimana semakin banyak bukti telah menunjukkan bahwa kelainan pada saluran udara kecil juga berkontribusi terhadap ekspresi klinis asma. Saluran udara kecil dapat dipengaruhi oleh peradangan, remodeling, dan perubahan-perubahan di jaringan sekitarnya. Semua proses ini berkontribusi pada terjadinya disfungsi jalan nafas kecil. Banyak ahli telah menulis review tentang disfungsi jalan nafas kecil dan perannya dalam memperburuk kontrol asma, meningkatkan jumlah serangan asma serta nocturnal asthma, perburukan hiper-responsivitas bronkus, serta respons fase lambat alergi.3

Keterlibatan saluran udara kecil dalam patogenesis asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) telah diperdebatkan untuk waktu yang lama. Namun, definisi yang tepat dari penyakit saluran napas kecil masih kurang jelas dan tidak ada biomarker atau parameter fungsional yang dapat diterima secara luas untuk menilai kelainan saluran napas kecil.4

Saluran udara kecil didefinisikan sebagai saluran udara dengan diameter internal <2mm dan tanpa tulang rawan (Gambar 1). Meskipun saluran udara kecil sedikit kontribusinya pada resistensi jalan nafas pada orang sehat, beberapa penelitian yang menggunakan teknik pengukuran invasive untuk menilai resistensi saluran napas telah menunjukkan bahwa saluran udara kecil adalah lokasi utama untuk terjadinya hambatan aliran


(51)

udara pada asma dan PPOK. Tetapi masalahnya, jalan nafas kecil sampai saat ini terbukti masih sulit untuk dieksplorasi dan dipelajari.4,5

Gambar 1. Saluran Nafas Manusia.

Sebagian besar penelitian patologi yang dilakukan pada subyek asma menggunakan teknik otopsi jaringan yang dikumpulkan dari pasien asma akut yang fatal. Penelitian-penelitian ini menunjukkan adanya sumbat-luminal yang luas akibat eksudat muko-inflamasi dan hyperplasia sel-sel goblet pada epitel jalan nafas besar dan kecil. Penebalan dinding jalan nafas dengan peningkatan massa otot polos dan infiltrasi sel-sel


(1)

TERAPI NYERI NEUROPATIK PADA PENDERITA DIABETES USIA LANJUT

Ketut Suastika

Divisi Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa neuropati (tepi) diabetik adalah ditemukannya gejala dan/atau tanda disfungsi saraf perifer pada penderita diabetes setelah menyingkirkan penyebab lainnya. Menyisihkan penyebab lain ini amat penting, mengingat pada penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa sampai 5% penyakit saraf tepi yang ditemukan pada penderita diabetes bukan disebabkan oleh diabetesnya.

Klasifikasi dan patogenesis neuropati diabetik

Ada berbagai klasifikasi neuropati diabetik, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Kerusakana saraf progresif dan menetap: polineuropati diabetic simetris difus (neuropati sensorimotor), neuropati serabut kecil selektif, neuropati autonomik; (2) neuropati reversible akut: neuropati femoral (amiotrofi diabetik), kelumpuhan araf kranial (III, VI), neuropati trunkal and torasik; (3) Pressure palsies: nervus medianus (carpal-tunnel syndrome), nervus ulnaris, nervus popliteal lateralis (jarang); (4) terkait pengobatan: ‗neuritis insulin‘. Prevalensi neuropati diabetik cukup tinggi. Dari beberapa penelitian ditemuakn prevalensinya seperti terlihat pada Tabel 1. Berbagai jalur dan mekanisme yang terlibat dalam patogenesis neuropati diabetik, secara skematik dapat dilihat pada Gambar 1.


(2)

Tabel 1. Prevalensi neuropati diabetik

Prevalensi (%) Rochester Diabetic Study (n=380)1

Semua penderita dengan polineuropati DM Tipe 1

DM Tipe 2

Penderita dengan hanya polineuropati simtomatik DM Tipe 1

DM Tipe 2

Neuropaty impairement scale +7 abnormal test (all diabetes)

54 45 15 13 20.5 Pittsburg Epidemiology of Diabetes Complications Study (n=400)2

DM Tipe 1

34 San Luis Valley Diabetes Study (n=297)3

DM Tipe 2 25.8

Data dari 1. Dyck et al.; 2. Maser et al.; 3. Franklin et al. Adopsi dari Zochodone. Gerstein and Haynes (Eds). Evidence based Diabetes care, 2001.

Diabetes

Nerve glucose

AGE Polyol pathway Free radical formation activity formation

NO quenching NO generation

Vasoconstriction GLA DiabetesEndothelin

Blood coagulability Occlusion BM thickening

Diabetes Platelet reactivity of Endothelial Diabetes Rigid red blood cells endoneurial swelling

capillaries

Nerve hypoxia

Structural damage Nerve conduction Irreversible neuropathy velocity

Gambar 1. The pathogenesis of diffuse diabetic polyneuropathy


(3)

Diagnosis neuropati diabetik

Gejala klinik neuropati diabetic adalah sebagai berikut. Symptoms: Distal sensory loss (numbness): toes, feet, fingers; Distal paresthesiae

(tingling, prickling, „pins and needle‟): toes, feet, fingers; Pain (burning, aching, „charley horse‟, shooting pains, electrical-like sharp, worse at night): fingers, toes, arms, and leg; Weakness (clumsiness, loss of balance, dragging of the toes, fall): hands, legs; Loss of distal sweating, postprandial bloating, postural lightheadedness, constipation, diarrhea, hypoglycemic unawareness, impotence. Signs: Stocking and (or) glove sensory loss, Loss of ankle and other deep tendon reflexes, Distal weakness (later), Foot ulcer (Zochodne. Gerstein and Haynes (Eds). Evidence Based Diabetes Care, 2001). Ada lima prinsip dalam menegakkan diagnosis neuropati diabetic, yaitu: penderita mempunyai diabetes, hiperglikemia kronik, yang menonjol adalah polineuropati sensorimotor distal pada tungkai bawah, mempunyai retinopati atau nefropati kira-kira bersamaan dengan polineuropati, dan tidak ditemukan penyebab lain dari polineuropati sensorimotor (Soliman and Gellido. Emedicine March 29, 2002).

Stadium neuropati diabetik dibagi menjadi 4 yaitu: 0. Tidak ada neuropati: tidak ada keluhan, dan kurang dari dua kelainan pada uji formal (meliputi uji fungsi autonomic); 1. Neuropati asimptomatik: tidak ada keluhan tapi ditemukan dua atau lebih kelainan pada uji fungsional; 2. Neuropati simptomatik: keluhan ringandengan dua atau lebih kelainan pada uji fungsional; 3. Disabling neuropathy: keluhan berat, dengan dua atau lebih kelainan pada uji fungsional.

Terapi neuropati diabetik

Prinsip terapi neuropati diabetik adalah: (1) berdasarkan mekanisme patogenesis: kendalikan gula darah, aldose reductase inhibitor, ACE inhibitor, neurotrophins (nerve growth factor, brain-derived neuropathic factor), thioctic acid (alpha-lipoic acid), protein kinase C inhibitors, vascular endothelial growth factor, hydroxymethylglutaryl-Coenzyme A reductase inhibitors; (2) Painful neuropathy: anticonvulsant (carbamazepine, valproic acid, phenytoin, gabapentin, pregabalin, lamotrigine, zonisamide), tricyclic antidepressants (amitriptyline, desipramine, imipramine), selective serotonin reuptake inhibitors


(4)

(citalopram, paroxetine, sertralin, venlafaxine, mexiletine, NMDA (N-methyl-D-aspartate) receptor antagonist, tramadol, capsalcin, Physical therapies (transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), acupuncture, OpsiteTM, isosorbide dinitrate spray, spinal cord stimulation (Malik. Treat Endocrinol 2003, 2: 389-400). Rekomendasi obat untuk nyeri neuropati diabetik dari American Academy of Neurology, the American Association of Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, and the American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekomendasi terapi nyeri neuropati diabetik

Recommended drug and dose Not recommended Level A Pregabalin, 300–600 mg/d

Level B Gabapentin, 900–3,600 mg/d Sodium valproate, 500–1,200 mg/d Venlafaxine, 75–225 mg/d

Duloxetine, 60–120 mg/d Amitriptyline, 25–100 mg/d Dextromethorphan, 400 mg/d

Morphine sulphate, titrated to 120 mg/d Tramadol, 210 mg/d

Oxycodone, mean 37 mg/d, max 120 mg/d Capsaicin, 0.075% QID

Isosorbide dinitrate spray

Electrical stimulation, percutaneous nerve stimulation x3–4 weeks

Oxcarbazepine Lamotrigine Lacosamide Clonidine Pentoxifylline Mexiletine

Magnetic field treatment

Low-intensity laser therapy

Reiki therapy

Evidence-based guideline: Treatment of painful diabetic neuropathy. Report of the American Academy of Neurology, the American Association of Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, and the American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Bril V et al. Neurology® 2011; 76: 1758-1765.

Pregabalin

Pregabalin, satu obat analog GABA yang baru mempunyai struktur dan kerja mirip dengan gabapentin. Obat ini mempunyai efek antiepileptik, analgesik, dan ansiolitik, namun demikian juga diindikasikan untuk pengobatan nyeri terkait neuropati diabetes dan neuralgia pasca herpetik. Pregabalin tidak menunjukkan efek mimetik GABA secara langsung, namun demikian seperti halnya gabapentin, dia meningkatkan kadar GABA


(5)

neuronal dan menyebabkan peningkatan aktivitas glutamic acid decarboxylase. Pregabalin dengan dosis 150-600 mg perhari ternyata dapat memperbaiki skor nyeri. Obat ini ditoleransi baik dinyatakan aman serta efektif untuk penderita nyeri neuropatik pada penderita diabetes. Efek samping yang sering ditemukan adalah pusing (dizziness), somnolen, dan edem perifer (Zareba G. Drugs of Today 2005; 41: 509-516; Freeman R et al. Diabetes Care 31:1448–1454, 2008). Efek samping ini pada umumnya ringan sampai sedang dan dapat ditoleransi oleh penderita (Seventer et al. Curr Med Res Op 2006; 22: 375-384).

Setelah pengalaman penggunaan pregabalin lebih dari satu dekade, secara umum efek samping obat ini ditoleransi baik. Penggunaannya dikaitkan dengan efek terhadap sistem saraf pusat dan sistemik ringan, dan sangat terbatas efeknya terhadap metabolic, idiosinkrasi atau teratogenik. Efek samping yang paling sering ditemukan adalah sedasi, pusing, edem perifer dan mulut kering (Toth C. Ther Adv Drug Saf 2014; 5: 38-56).

Pregabalin yang diberikan untuk nyeri saraf karena nyeri pinggang bawah pada usia diatas 65 tahun dengan dosis 75 mg/hari, disamping efektif untuk menurunkan rasa nyeri (73.3%) juga aman diberikan pada mereka dengan usia lanjut (Sakai Y et al. Asian Spine J 2015; 9: 254-262). Walaupun obat ini relatif aman untuk penderita usia lanjut, sebaiknya juga diperhatikan efek yang tidak menyenangkan seperti pusing, penglihatan kabur, konfusi, atau clumsiness; karenanya mungkin diperlukan penyesuaian dosis.

Daftar Pustaka

1. Bril V et al. Neurology® 2011; 76: 1758-1765.

2. Freeman R et al. Diabetes Care 31:1448–1454, 2008.

3. Gerstein and Haynes (Eds). Evidence based Diabetes care, 2001. 4. Pickup and Williams. Textbook of Diabetes, 1997.

5. Sakai Y et al. Asian Spine J 2015; 9: 254-262

6. Seventer et al. Curr Med Res Op 2006; 22: 375-384. 7. Soliman and Gellido. E-medicine March 29, 2002. 8. Toth C. Ther Adv Drug Saf 2014; 5: 38-56.


(6)