Protokol Tambahan I Tahun 1977 Protocol Addition to the Geneva

21 kerusakan tersebut melanda teritorial di luar yuridiksi semua negara, seperti laut lepas, terkecuali jika kerusakan berdampak terhadap kapal milik negara yang menjadi pihak dalam konvensi. Pasal 1 ayat 2 Konv ensi ENMOD menambahkan bahwa: “each State Party to this Convention undertakes not to assist, encourage, or induce any State, group of States or international organiza-tion to engage in activities contrary to the provisions of paragraph 1 of this article .” Ketentuan ini menegaskan bahwa para pihak dalam Konvensi ENMOD tidak hanya memperjanjikan untuk tidak akan terlibat sebagai negara yang bertindak, tetapi juga untuk tidak membantu, mendorong, atau membujuk negara lain dalam hal menjadikan lingkungan sebagai senjata dalam perang, melalui modifikasi atau manipulasi proses alam.

b. Protokol Tambahan I Tahun 1977 Protocol Addition to the Geneva

Convention of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts of 8 June 1977 Negosiasi terkait Protokol Tambahan I dan II dari Konvensi Jenewa 1949 dilatarbelakangi oleh berbagai perang yang terjadi – salah satunya adalah perang Vietnam – yang kemudian mengangkat isu mengenai perlindungan terhadap warga sipil dan lingkungan hidup. Seiring dengan bertumbuhnya kesadaran terhadap lingkungan hidup dan perhatian terhadap penerapan taktik militer selama perang, dirumuskanlah 2 dua ketentuan dalam Protokol Tambahan I yang secara eksplisit memuat tentang perlindungan lingkungan selama perang, yakni: Pasal 35 ayat 3 dan Pasal 55. 22 Pasal 35 Protokol Tambahan I menyatakan aturan dasar terkait penggunaan metode atau alat berperang. Pada ayatnya yang ketiga, diatur mengenai perlindungan terhadap lingkungan hidup: “it is prohibited to employ methods or means of warfare which are intended, or may be expected to cause widespread, long-term, and severe damage to the natural environment. ” Berkaitan dengan pembatasan dalam menggunakan metode atau alat peperangan, Pasal 35 ayat 3 pada pokoknya memuat 3 tiga hal, yakni: 1 Metode atau alat peperangan bukanlah tanpa batas: pembatasan terhadap penggunaan metode atau alat perang sangat jelas tercantum dalam Pasal 35 ayat 1, Bagian I Methods and Means of Warfare Protokol Tambahan I: “In any armed conflict, the right of the Parties to the conflict to choose methods or means of warfare is not unlimited .” Ditambahkan pula pengaturan dalam Pasal 51 mengenai larangan indiscriminate attack serangan membabi-buta yang salah satunya meliputi: “those which employ a method or means of combat the effect of which cannot be limited as required by this Protocol .” Pembatasan ini menekankan bahwa dalam peperangan sekalipun, penggunaan metode atau alat perang harus memberikan perhatian terhadap perlindungan lingkungan hidup, artinya para pihak diwajibkan untuk tidak menggunakan metode atau alat perang yang memiliki implikasi kerusakan lingkungan hidup. 2 Penggunaan metode atau alat perang tidak boleh dimaksudkan ataupun tidak memperkirakan dampaknya terhadap kehancuran lingkungan hidup: bagian penting yang patut diperhatikan oleh para pihak dalam 23 melancarkan serangan adalah ketentuan dalam Pasal 35 ayat 3 tidak membedakan mengenai serangan terhadap lingkungan hidup, dilakukan secara sengaja atau pun tidak sengaja. Hal ini didukung oleh pernyataan Erik Koppe bahwa: “article 35 3 means that not only are deliberate or direct attacks on the environment prohibited, but also attacks of which it is reasonably foreseeable that they will lead to environmental damage.” 14 3 Dampaknya adalah rusaknya lingkungan hidup secara meluas, berjangka waktu lama dan parah: ketiganya merupakan standar yang secara kumulatif memberikan definisi terhadap “kerusakan” damage yang dilarang dalam Pasal 35 ayat 3 Protokol Tambahan I. Artinya, suatu serangan terhadap lingkungan hidup baik langsung maupun tidak, dilarang oleh ketentuan Protokol Tambahan I, jika menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang luas, berjangka waktu panjang dan parah. Bersamaan dengan itu, Pasal 55 Protokol Tambahan I juga mendistribusikan perlindungan terhadap lingkungan hidup dengan cara yang berbeda. Pasal 55 Protokol Tambahan I menyatakan bahwa: 1 “care shall be taken in warfare to protect the natural environment against widespread, long-term and severe damage. This protection includes a prohibition of the use of methods or means of warfare which are intended or may be expected to cause such damage to the natural environment and thereby to prejudice the health or survival. ” 2 “Attacks against the natural environment by way of reprisal are prohibited”. 14 Erik Koppe, The Use of Nuclear Weapons and The Protection of The Environment During International Armed Conflict, Hart Publishing, Oregon, 2008, h. 152. 24 Meskipun secara kasat mata terkesan Pasal 35 ayat 3 dan Pasal 55 Protokol Tambahan I adalah ketentuan yang hampir sama dan dalam batasan tertentu menjadi tumpang-tindih overlap norma karena memuat batasan penggunaan metode atau alat perang, namun tetap saja terdapat perbedaan mendasar antara keduanya. Karen Hulme mengemukakan 3 aspek penting yang terkandung dalam Pasal 55 dan juga menjadi unsur pembeda dengan Pasal 35 ayat 3, yaitu sebagai berikut. 15 1 Kewajiban dasar tentang kesadaran lingkungan hidup dalam keadaan perang. Kalimat pertama Pasal 55 ayat 1 mencerminkan suatu konsep yang mendasari ketentuan tersebut, yakni, adanya suatu kewajiban untuk melindungi lingkungan hidup selama perang berlangsung. Penggunaan frasa “care shall be taken” merujuk pada sebuah cakupan pengaplikasian yang lebih luas, sehingga memerlukan tanggung-jawab yang lebih besar pula. Hulme dalam tulisannya War Torn Environment: Interpreting the Legal Threshold mengemukakan bahwa sebuah larangan prohibition mengisyaratkan ketidakbolehan dalam melakukan sesuatu dan bersifat negatif, sementara a duty of care yang pada dasarnya bersifat positif memiliki lingkup lebih luas, yakni, dapat meliputi tindakan atau pun usaha yang diwajibkan. Untuk memahami lebih lanjut mengenai frasa “care shall be taken” dalam Pasal 55 ayat 1, Black’s Law Dictionary mengakui beberapa penggolongan care yang berbanding terbalik dengan kondisi kelalaian 15 Karen Hulme, “Natural Environment,” dalam Elizabeth Wilmshurst dan Susan Breau, ed., Perspective on the ICRC Study on Customary International Humanitarian Law, Cambridge University Press, New York, 2008, h.204. 25 negligence, yaitu, slight care, ordinary care, reasonable care, dan great care. Erik Koppe mengasumsikan bahwa dalam hal ini, care yang dimaksud merujuk pada reasonable care, yang oleh Black’s Law Dictionary diartikan sebagai: “such a degree of care [what is required], precaution, or diligence as may fairly and properly be expected or required, having regard to the nature of action, or of the subject-matter, and the circumstances surrounding the transaction. ” 16 Pemahaman yang diberikan tentu saja lebih luas, jika dibandingkan dengan apa yang terungkap dalam Pasal 55 ayat 1, bahwa tindakan perlindungan bukan saja untuk tidak melakukan tindakan yang merusak lingkungan hidup, tetapi juga melakukan tindakan-tindakan pencegahan yang sedapat mungkin memberikan perlindungan bagi lingkungan hidup selama perang berlangsung. Selaras dengan ini, Erik Koppe mengutip pendapat yang menyatakan bahwa: “it is not unthinkable that this degree of care requires more that just refraining from the use of means and methods of warfare that are intended or expected to cause damage to the environment, and it may even include preventive action .” 17 2 Suatu larangan spesifik terkait dengan metode dan alat perang yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang meluas, berjangka panjang dan parah dan oleh karenanya merugikan kesehatan atau kelangsungan hidup dari sebuah populasi. Untuk memperkuat kalimat pertama Pasal 55 ayat 1, kalimat kedua secara jelas menetapkan sebuah larangan dengan perlindungan yang lebih 16 Henry Campbell Black, 5 th Ed Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St.Paul Minn., 1979, h.193. 17 Erik Koppe, Op.Cit., h.149. 26 luas jika dibandingkan dengan Pasal 33 ayat 3 Protokol Tambahan I. 18 Perhatian pertama tentu tertuju pada ambang batas threshold sebagai tolak ukur dalam memaknai kerusakan lingkungan hidup, dimana pada esensinya sama persis dengan Pasal 33 ayat 3 Protokol Tambahan I. Laporan the Working Group of Committee III dalam Konferensi menyebutkan bahwa penggunaan kata- kata yang sama, “meluas, berjangka panjang, dan rusak parah”, adalah bentuk jaminan bahwa kedua ketentuan tersebut koheren. 19 Meskipun demikian, tampaknya Protokol Tambahan I tidak memberikan arahan yang jelas terkait den gan pengertian “meluas, berjangka panjang, dan rusak parah”. Terkait hal ini, dalam negosiasi Protokol Tambahan I, di akhir perdebatan beberapa delegasi negara menyatakan bahwa ambang batas yang ditetapkan dalam Protokol Tambahan I berbeda pengertiannya dengan Konvensi ENMOD. Namun, selama negosiasi tersebut hanya pengertian frasa “long-term” yang telah ditetapkan, yakni, setidak-tidaknya sepuluh tahun. Penggunaan kata sambung “dan” dalam ambang batas tersebut, menekan bahwa ketiga kriteria bersifat kumulatif, yang artinya untuk dapat menerapkan Protokol terhadap suatu tindakan perusakan, maka ketiga kriteria tersebut harus dipenuhi. Hal ini tentu saja agak menyulitkan dalam penegakkannya, karena yang pertama pengertian yang terkandung dalam tiga kriteria ambang batas tidak disediakan oleh Protokol Tambahan I dan 18 Michael N. Schmitt, Green War: An Assessment of the Environmental Law of International Armed Conflict, 1992, h.73-74. 19 ICRC, Commentary on the Additional Protocol of 8 June 1977 to the Geneva Convention of 12 August 1949, Published by ICRC, Jenewa, para. 2132. 27 kedua ambang batas tersebut bersifat kumulatif, yang pada penerapannya sangat sulit ditemukan sebuah kerusakan yang sedemikian parahnya. Selanjutnya dampak kerusakan lingkungan hidup terhadap kesehatan dan keberlangsungan hidup populasi. Berdasarkan ICRC’s Commentary diketahui bahwa kata “kesehatan” dimaksudkan untuk mengindakasi bahwa ketentuan ini berkonsentrasi bukan hanya pada tindakan yang mana membahayakan kelangsungan hidup populasi, tetapi juga terhadap tindakan yang secara serius berbahaya bagi kesehatan, seperti cacat bawaan, kemerosotan, atau kelainan. 20 Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemilihan penggunaan kata “populasi” dan bukan “warga sipil”, yang oleh Committee III dianggap sebagai kelalaian yang disengaja, sebagai cara untuk menekankan fakta bahwa kerusakan terhadap lingkungan hidup dapat berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama, sehingga efeknya dapat dirasakan oleh keseluruhan populasi tanpa pembedaan apapun. 21 3 Sebuah larangan untuk melakukan pembalasan reprisal terhadap lingkungan Pengertian tentang pembalasan reprisal dapat ditemukan dalam ICRC’s Commentary Part V, Section II Protokol Tambahan I yang menegaskan bahwa “reprisals are stern measures taken by one State against another for the purpose of putting an end to breaches of the law of which it is the victim or to obtain reparation for them. ” Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa pembalasan sebenarnya merupakan tindakan melawan hukum, namun dalam konteks perang, pembalasan dapat dibenarkan dalam 20 Ibid., para. 2135. 21 Ibid., para 2134. 28 keadaan tertentu, yaitu, sebagai respon terhadap pelanggaran yang sama yang dilakukan oleh musuh. Adapun jika berkaitan dengan pembalasan terhadap lingkungan hidup, maka pembalasan dilarang secara tegas dalam Pasal 55 ayat 2 Protokol Tambahan I.

c. Statuta Roma 1998

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Atas Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Perang Berdasarkan Perspektif Hukum Humaniter Internasional T1 312012075 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Atas Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Perang Berdasarkan Perspektif Hukum Humaniter Internasional T1 312012075 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Atas Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Perang Berdasarkan Perspektif Hukum Humaniter Internasional

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jaminan Deposito Atas Kredit Berdokumen dalam Perdagangan Internasional T1 312009015 BAB II

0 1 41

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB II

0 0 44

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB IV

0 0 4

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Perceraian Perkawinan WNA yang Dilangsungkan di Luar Negeri Berdasarkan Hukum Perdata Internasional di Indonesia T1 BAB II

0 0 28

BAB II KEJAHATAN PERANG DAN PENGATURANNYA DALAM HUKUM HUMANITER - PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 31

BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG 3.1 Tanggung Jawab atas Kejahatan Perang 3.1.1 Pertanggungjawaban negara - PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 21