MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK

TB Anak 39 Juknis Manajemen TB Anak

BAB V MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK

Meningkatnya prevalens HIV membawa dampak peningkatan risiko paparan, progresivitas penyakit TB dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat TB serta masalah TB lainnya, misalnya TB diseminata milier, TB Ekstra Paru, serta TB MDR. Fenomena ini dapat diamati pada daerah sub sahara di Afrika yang mempunyai angka pasien HIV dan koinfeksi TB cukup tinggi. Demikian pula dengan Indonesia, kecenderungan peningkatan pengidap HIV positif, terutama dengan meningkatnya penggunaan narkoba, akan meningkatkan insiden TB dengan masalah-masalah tertentu yang terjadi pada pengidap HIV positif. Seperti halnya pada dewasa, pada awal infeksi HIV saat imunitas masih baik tanda dan gejala TB tidak berbeda dengan anak tanpa HIV. Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian pada kelompok tersebut. Besarnya angka kejadian TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak CD 4 kurang dari 15, umur di bawah 5 tahun. Meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur yang rentan sehingga anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama TB berat milier dan meningitis Infeksi HIV menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis dan tatalaksana TB pada anak menjadi lebih sulit karena faktor berikut : 1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB, banyak mempunyai kemiripan gejala. 2. Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi imunokompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya telah terinfeksi TB. 3. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputum positif mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat tejadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan keteraturan pengobatan. TB Anak 40 Juknis Manajemen TB Anak Tanpa konfirmasi bakteriologis, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal, yaitu : 1 kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif; 2 uji tuberkulin positif 5 mm pada anak terinfeksi HIV; 3 gambaran sugestif TB secara klinis misalnya Gibbus dan 4 gambaran sugestif TB pada foto toraks 5 Respons terhadap OAT. Kementerian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan Permenkes 21 th 2013, semua pasien TB wajib ditawarkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan World Health Organization merekomendasikan dilakukan pemeriksaan HIV pada suspek TB maupun sakit TB. Kecurigaan adanya HIV pada penderita, terutama: a. Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin, yaitu infeksi berulang ≥3 episode infeksi bakteri yang sangat berat seperti pneumonia, meningitis, sepsis dan sellulitis pada 12 bulan terakhir, bercak putih di mulut thrush, parotitis kronik, limfadenopati generalisata, hepatomegali tanpa penyebab yang jelas, demam yang menetap danatau berulang, disfungsi neurologis, herpes zoster shingles, dermatitis HIV, penyakit paru supuratif yang kronik chronic suppurative lung disease. b. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, yaitu: otitis media kronik, diare persisten, gizi kurang atau gizi buruk. c. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV, yaitu: PCP Pneumocystis carinii pneumonia, kandidiasis esofagus, LIP lymphoid interstitial pneumonitis atau Sarkoma Kaposi. Skema permintaan HIV ini dinamakan Provider Initiated Testing and Counseling PITC atau Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan KTIPK tanpa melihat faktor risiko perilaku. Mengingat adanya kondisi imunokompromais, cut-off point uji tuberkulin pada pasien HIV diturunkan menjadi 5 mm, sehingga hasil indurasi 5 mm saja pada uji tuberkulin sudah dikategorikan positif. Tuberkulosis paru pada bayi dapat bermanifestasi secara akut. Oleh karena itu, jika ibu mengidap HIV dan TB, adanya TB paru harus dipikirkan pada bayi yang tidak memberikan respons terhadap antibiotik standar. TB paru sulit dibedakan dengan LIP yang sering terjadi pada pasien dengan HIV berusia 2 tahun. Gejala khas LIP antara TB Anak 41 Juknis Manajemen TB Anak lain limfadenopati generalis dan simetris, pembesaran kelenjar parotis, dan jari tabuh. Pengobatan TB HIV pada Anak Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini, paduan obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO 2011 adalah INH, Rifampisin, PZA dan Etambutol selama fase intensif 2 bulan pertama dilanjutkan dengan minimal 4 bulan pemberian INH dan Rifampisin selama fase lanjutan. Pada TB milier dan meningitis TB diberikan INH, Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin selama fase intensif selanjutnya INH dan Rifampisin selama 10 bulan fase lanjutan. Tambahan terapi yang direkomendasikan untuk pasien anak HIV dan TB termasuk cotrimoxazole preventive therapy CPT, antiretroviral therapy ART dan suplementasi piridoksin dengan dosis 10 mghari serta pemberian nutrisi. Kategori diagnostik TB pada penderita HIV Fase awal Fase lanjutan TB ringan, TB paru BTA negatif, Limfadenitis TB 2RHZE RH 4-7 bulan TB tulang 2RHZE RH 10 bulan TB milier, TB meningitis 2RHZES RH 10 bulan Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps yang lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini maka pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu 9 bulan sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan. Mortalitas TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi karena tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan imunosupresi berat. Tatalaksana TB pada anak dengan HIV yang sedang atau akan mendapatkan pengobatan antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan interaksi antara obat. Interaksi antara obat TB dan antiretroviral dapat menyebabkan pengobatan HIV ataupun TB menjadi tidak efektif, serta bertambahnya risiko toksisitas. Rifampisin misalnya, obat ini berinteraksi dengan obat penghambat enzim reverse transkriptase nonnukleosida non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NNRTI dan pengambat enzim protease protease inhibitors: PI. TB Anak 42 Juknis Manajemen TB Anak Rifampisin menurunkan konsentrasi PI hingga 80 atau lebih, dan NNRTI hingga 20—60. Rekomendasi ART dapat diberikan bersamaan dengan rifampisin adalah efavirenz suatu NNRTI ditambah 2 obat penghambat reverse transcriptase nukleosida nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NRTI, atau ritonavir dosis yang dinaikkan ditambah dua NRTI. Rekomendasi mengenai kombinasi ini sering mengalami revisi sehingga harus disesuaikan dengan informasi terbaru menurut CDC. Reaksi simpang adverse events yang ditimbulkan oleh OAT hampir serupa dengan yang ditimbulkan oleh obat antiretroviral, sehingga dokter sulit membedakan ketika akan menghentikan obat yang menimbulkan reaksi. Isoniazid dapat menyebabkan neuropati perifer, begitu juga dengan NRTI didanosine, zalcitabine, dan stavudine. Reaksi paradoks juga dapat terjadi jika pengobatan terhadap TB dan HIV mulai diberikan pada waktu bersamaan. Dosis OAT tidak memerlukan penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh ARV. Pemberian ARV dapat dimulai bila anak telah mendapat OAT selama minimal 2-8 minggu Keadaan klinis dan imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk menentukan hal-hal berikut: • apakah pemberian OAT akan dimulai bersamaan dengan obat antiretroviral, • apakah pemberian antiretroviral harus menunggu 2 bulan setelah pemberian OAT dimulai, atau • apakah pengobatan TB harus diselesaikan dahulu sebelum pemberian antiretroviral dimulai. Pada anak yang akan diberikan pengobatan TB ketika sedang mendapatkan pengobatan antiretroviral, harus dilakukan evaluasi kembali terhadap antiretroviral yang digunakan serta lamanya pengobatan TB dengan paduan OAT tanpa rifampisin. Pemberian steroid untuk TB berat pada anak dengan HIV disesuaikan dengan keadaan imunosupresi penderita. Pemberian ART Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung diberikan ART tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pada anak yang terinfeksi TB Anak 43 Juknis Manajemen TB Anak HIV, pemberian ART dimulai setelah pasien mendapat pengobatan TB selama 2-8 minggu lebih disukai adalah 8 minggu untuk mengurangi terjadinya IRIS Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin. Pemilihan ARV dan pemantauan pengobatannya mengacu pada buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB HIV Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol PPK Beberapa IO Infeksi Oportunistik pada ODHA Orang Dengan HIV AIDS dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.  Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.  Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas PPK dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidens infeksi oportunistik. Pemberian PPK mengacu pada buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB HIV TB Anak 44 Juknis Manajemen TB Anak

BAB VI MANAJEMEN TB RESISTEN OBAT PADA ANAK