Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009
permasalahan niaga, sehingga memahami dengan baik eksistensi dari hakim ad hoc yang telah diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada penelitian mengenai masalah Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc di Pengadilan
Niaga belum Pernah dilakukan dalam Topik dan Permasalahan yang sama. Jadi Penelitian ini dapat disebut “asli” dan sesuai dengan azas-azas keilmuan yang
jujur, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran Ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1.
Pengaturan Keberadaan Pengadilan Niaga di Indonesia Pembentukan Pengadilan Niaga di Indonesia didasarkan kepada UU No. 4
tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang No. 1 tahun 1998. Undang-undang ini hanya Pengadilan Niaga sebagai pemeriksa dan
pemutus permohonan pailit, PKPU dan sengketa niaga lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, tetapi kemudian penetapan penyelesaian
sengketa tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual HAKI ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten,
Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hal ini dapat dipandang sebagai penyimpangan
Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009
atau adanya inkonsistensi dengan Undang- Undang No. 4 tahun 1998 jo Perpu No. 1 tahun 1998.
2.
Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga Penyelesai Sengketa Kepailitan di Indonesia.
Pailit, failliet dalam Bahasa Belanda, atau bankrupt, dalam bahasa Inggris. Pailit pada masa Hindia Belanda tidak dimasukkan ke dalam KUH
Dagang WvK dan diatur dalam peraturan tersendiri ke dalam Failissement- verordering, sejak tahun 1906 yang dulu diperuntukkan bagi pedagang saja tetapi
kemudian dapat digunakan untuk golongan mana saja. Masalah pailit sebagaimana peraturan lainnya, dirasakan sangat penting keberadaannya. Tahun
1997, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia dimana hampir seluruh sendi kehidupan perekonomian nasional rusak, termasuk dunia bisnis dan masalah
keamanan investasi di Indonesia. Krisis tersebut membawa makna perubahan yang sangat penting bagi perkembangan peraturan kepailitan di Indonesia
selanjutnya. Disadari bahwa peraturan lama dan masih berlaku ternyata tidak bisa menyesuaikan dengan kebutuhan perubahan zaman. Oleh karena itu, pada tahun
1998, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, yang merupakan:
- Perbaikan terhadap failissements-verordering 1906;
- Adanya penambahan pasal yang mengatur tentang Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang PKPU -
Mengenal istilah Pengadilan Niaga, di luar Pengadilan Umum untuk menyelesaikan sengketa bisnis.
Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009
Selanjutnya pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan lagi Undang- undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang merupakan perbaikan terhadap peraturan perundang- undangan sebelumnya.
Undang-undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain:
1. Asas Keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha, dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan
yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap berlangsung.
3. Asas Keadilan, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi
rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak memperdulikan kreditur lainnya.
4. Asas Integrasi, asas ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum
formal dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata Nasional
2
2
Abdul R. Saliman, “Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus”, Prenada Media: Jakarta, 2005, hlm. 122.
.
Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009
Beberapa pokok materi baru dalam Undang-undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang ini antara lain:
1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam undang-undang ini
pengertian utang diberikan batasan secara tegas, demikian juga pengertian jatuh waktu.
Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya
pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan atau penundaan kewajiban pembayaran utang.
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004. Sedangkan yang dapat dinyatakan pailit adalah seorang debitur berutang
yang sudah dinyatakan tidak mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas:
1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. 2.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada no. 1 dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
3. Dalam hal debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Bank Indonesia.
Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009
4. Dalam hal debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga miring dan
penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh badan pengawas pasar modal.
Dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan
publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri keuangan
3
Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak absolut dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan
. Pernyataan pailit merupakan suatu putusan pengadilan. Ini berarti bahwa
sebelum adanya suatu putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, seorang debitur tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit. Dengan adanya
“pengumuman” putusan pernyatan pailit tersebut, maka berlakulah ketentuan pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atas seluruh harta kekayaan
debitur pailit, yang berlaku umum bagi semua kreditur konkuren dalam kepailitan, tanpa terkecuali, untuk memperoleh pembayaran atas seluruh piutang-piutang
konkuren mereka. Menurut Undang-undang Kepailitan, pengadilan yang berwenang untuk
mengadili pekara permohonan kepailtian adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.
Yang dimaksud pengadilan menurut Undang-undang Kepailitan ini adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan di bidang
perniagaan yang dibentuk dalam lingkup peradilan umum.
3
Lihat Undang-undang Nomor 37 tahun 2004.
Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009
menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang PKPU
4
Kewenangan mutlak atau absolut diartikan sebagai pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan yang berkaitan dengan pemberian kekuasaaan untuk
mengadili attribute van rechtsmacht . Seperti diketahui bahwa secara teoretis system peradilan di
Indonesia mengenal dua macam kewenangan, yaitu kewenangan mutlakabsolut dan kewenangan relatif.
5
4
Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek Cet. 1, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 177.
5
Retnowulan Sutantio, dan Iskancar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: CV Mandar Maju, 1997, hal. 11
. Dengan kata lain, kewenangan mutlak atau absolut ini berbicara mengenai kewenangan badan-badan peradilan dalam
menerima, memeriksa, dan memutus perkara. Konsekuensinya, suatu pengadilan tidak dapat memeriksa gugatanpermohonan yang diajukan kepadanya apabila
ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak pengadilan lain.
Sementara itu, kewenangan relatif mengatur mengenai pembagian kekuasaan untuk mengadili antar pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat
tinggal tergugat seperti yang terdapat di dalam Pasal 118 ayat 1 Het Herziende Indische Reglement HIR. Selain kewenangan absolut dan relatif, Pengadilan
Niaga juga memiliki kewenangan secara komprehensif. Pasal 280 UU Kepailitan 1998, menyatakan bahwa kewenangan secara komprehensif itu adalah
kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan seputar kepailitan dan PKPU serta memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan.
Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009
Kewenangan secara komprehensif yang dimiliki Pengadilan Niaga bukan tidak mungkin menimbulkan permasalahan terkait dengan titik taut dengan
kewenangan Pengadilan Umum Pengadilan Negeri dalam hal pemeriksaan perkara, karena permasalahan seputar kepailitan tidak hanya berkaitan dengan
utang sebagai pokok utama, melainkan hal-hal lain seperti pembatalan perjanjian perdamaian, actio paulina Kondisi inilah yang memicu beberapa masalah karena
sudah ditegaskan secara eksplisit bahwa pemeriksaan di Pengadilan Niaga adalah bersifat sumir atau sederhana, suatu hal yang sulit untuk dilakukan bila
menyangkut pemeriksaan lain di luar Pasal 1 ayat 1 UU Kepailitan 1998. Berdasarkan sifat sumir atau sederhana dari suatu perkara di Pengadilan
Niaga, maka yang harus dibuktikan cukup pada suatu keadaan berhenti membayar. Kondisi tersebut membawa konsekuensi berbeda-beda. Sebagian
pihak mengatakan cukup dipenuhinya syarat kepailitan dalam Pasal 1 ayat 1 maka salah satu pihak termohon pailit dapat langsung dinyatakan pailit.
Sementara, di lain pihak mengatakan diperlukan suatu analisis lebih lanjut di bidang hukum ekonomi dan bisnis untuk menyatakan bahwa termohon pailit dapat
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
3. Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga
Untuk memeriksa perkara kepailitan danatau PKPU dimungkinkan penggunaan hakim ad hoc dari kalangan di luar hakim karir. Sebetulnya
keberadaan hakim ad hoc sudah diperkenalkan sekitar 18 delapan belas tahun lalu yaitu melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
PTUN. Pasal 135 UU PTUN menyatakan bahwa:
Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009
1 Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara PTUN tertentu
yang memerlukan keahlian khusus, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk seorang Hakim ad hoc sebagai anggota majelis.
2 Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim ad hoc seseorang harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 1 kecuali huruf e dan f
6
3 Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 huruf c tidak
berlaku bagi Hakim ad hoc .
7
4 Tata cara penunjukan Hakim ad hoc pada pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah. .
Hanya saja, di PTUN tidak pernah ditunjuk hakim ad hoc walaupun undang-undang memperkenankan hal tersebut
8
6
Isi Pasal 14 ayat 1 selengkapnya: Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
. Sebagai penggantinya, jika memerlukan suatu ilmu pengetahuan yang penting dalam memutus perkara, maka
hakim memanggil saksi ahli saja. Pada PTUN di dalam prakteknya untuk mengangkat seorang hakim ad hoc harus menempuh jalur panjang, harus melalui
Keputusan Presiden. Pada saat Keputusan Presiden tersebut dikeluarkan, banyak
a. Warga negara Indonesia;
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi
massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G.30.SPKI atau organisasi terlarang lainnya;
e. Pegawai negeri;
f. Sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian di bidang Tata Usaha Negara.
7
Isi Pasal 18 ayat 1 selengkapnya: “Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak boleh merangkap menjadi:
a. Pelaksana putusan pengadilan;
b. Wali pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksan
olehnya;
c.
Pengusaha
”
8
Pasal 135 UU PTUN mengenai tata cara penunjukan diatur dengan Peraturan Pemerintah yang ternyata sampai dengan disempurnakannya UU PTUN menjadi UU No. 9 Tahun
2004 Tentang Perubahan Terhadap UU No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN, masih belum terbentuk.
Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009
perkara yang sudah selesai diputus. Sementara penunjukkan saksi ahli relatif lebih tepat.
Hakim ad hoc adalah hakim, pihak yang akan membantu majelis menangani perkara-perkara yang memang punya kekhasan tertentu dalam bidang
akademis, biasanya dalam bidang perpajakan, dalam bidang kedokteran dan lain- lain. Disadari atau tidak memang pengetahuan hakim sangatlah terbatas. Dalam
praktek, untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka biasanya dilakukan pemanggilan saksi ahli yang dapat dilakukan secara cepat dalam waktu kurang
lebih satu atau dua minggu, yang akhirnya secara substansial, kegunaannya sama seperti hakim ad hoc.
Diintrodusirnya hakim ad hoc pada UU PTUN ternyata tidak berjalan sesuai dengan konsep awal yang diharapkan, yaitu membantu hakim karir dalam
memeriksa dan memutus dengan menggunakan keahlian khusus. Meskipun hakim ad hoc di PTUN tersebut tidak pernah dilibatkan dalam suatu majelis, namun
tidak serta merta ditiadakan pada pengadilan-pengadilan khusus seperti pada Pengadilan Niaga, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tipikor, dan Pengadilan
HAM. Faktor menurunnya kepercayaan publik terhadap hakim karir inilah kemudian yang melahirkan hakim ad hoc.
Sebagai catatan untuk hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor, perlu dipahami bahwa hakim ad hoc diadakan karena adanya tujuan khusus, dalam hal ini
seharusnya, keberadaan hakim ad hoc tidak dibuat secara permanen. Oleh karena itu pengertian hakim ad hoc dalam Pengadilan Tipikor yang cenderung bersifat
permanen, merupakan hal yang keliru. Mardjono Reksodiputro cenderung lebih menggunakan istilah hakim non karir untuk penamaan hakim di Pengadilan
Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009
Tipikor, seperti halnya hakim non karir untuk Hakim Agung di luar hakim karir di Mahkamah Agung
9
F. Metode Penulisan