Analisis Pembatasan Kriminologi Tentang Pembatasan Tindak Pidana Narkotika Yang Di Lakukan Oleh Mahasiswa Oleh Kepolsiaan Di Kota Gunung Sitoli

(1)

ANALISIS KRIMINOLOGI TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH MAHASISWA OLEH KEPOLISIAN

DI KOTA GUNUNGSITOLI SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM.080200323 REINHARD JEVON GULO

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS KRIMINOLOGI TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH MAHASISWA OLEH KEPOLISIAN KOTA

GUNUNGSITOLI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas- Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

REINHARD JEVON GULO 080200323

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Mengetahui:

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP: 195703261986011001 DR. M. HAMDAN, SH, MH

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

LIZA ERWINA, SH, M. Hum ABUL KHAIR, SH, M. Hum NIP. 196110241989032002 NIP. 196107021989031001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa yang baik sebab penulis menyadari hanya oleh karena kemurahan dan kasih-ya sehingga penulis diberi kekuatan, kesehatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Pada kesempatan ini, penulis dengan rendah hati mempersembahkan skripsi yang berjudul “ Analisis Kriminilogi Tentang Pemberantas Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Oleh Mahasiswa Oleh Kepolisian Di Kota Gunungsitoli” kepada dunia pendidikan, guna menumbuhkan perkembagan ilmu pengetahuan, khusunya ilmu pengetahuan hukum. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis mengakui bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang harus dievaluasi. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis telah mendapat banyak bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H, M.Hum, selalu Dekan Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Budiman Ginting S.H, M.H, selalu pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak syafruddin, S.H, M.H, DFM, selalu Pembantu Dekan II Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(4)

4. Bapak Muhammad Husni, S.H, M.Hum, selalu Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H, M.H, selalu Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina S.H, M.Hum, Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Yefrizawaty SH, M.Hum, selalu Dosen Penasehat Akademik selama penulis duduk di bangku pendidikan pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara; 8. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Liza Erwina SH,

M.Hum, selaku Dosen pembimbing I dan Bapak Abul Khair SH,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan baik waktu maupun tenaga dan kesabaranya membimbing, memberi saran, arahan dan perbaikan untuk skripsi ini.

9. Seluruh Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

10.Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Hukum Sumatera Utara; 11.Kepada orang tua saya Ayah Alm.Talizaro Gulo, SH, MSP, Ibu Mariati Zendrato,

SH, M.Hum dan kepada kakaku Reka Elvina Putri Gulo dan adekku Reymond Pratama Gulo dan kepada saudara – saudaraku yang tidak bisa kusebut satu pesatu; 12.Teman – teman seperjuangan Stambuk 2008 dan Teman – teman pencinta

Departemen Pidana Yang tidak dapat disebutkan satu perasatu;

13.Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang penulis jadikan referensi data guna pengerjaan skripsi ini baik, dan


(5)

Ada saatnya bertemu , ada juga saatnya berpisah TerimaKasih atas berbagai hal bermanfaat yang telah dibarikan kepada Penulis. Semoga Tuhan senantiasa memberikan berkat dan perlindungannya kepada kita semua.

Medan 17 Januari 2013

Penulis;


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang ... 1

b. Perumusan Masalah ... 17

c. Tujuan & Manfaat Penulisan ... 17

d. Keaslian Penulisan ... 17

e. Tinjauan Kepustakaan ... 18

1. Teori – teori Kriminologi tentang Faktor- faktor sebab terjadinya Kejahatan ... 18

2. Pengertian Tindak Pidana Narkotika ... 23

f. Metode Penelitian ... 27

g. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II. FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADI PEREDARAN NARKOTIKA DI KOTA GUNUNGSITOLI a. Tentang Peredaran Narkotika di kota Gunungsitoli ... 30

b. Teori-teori Penyebab terjadinya Kejahatan ... 38

c. Faktor-faktor Penyebab terjadinya Peredaran Narkotika di Gunungsitoli ... 50


(7)

NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH MAHASISWA DI KOTA GUNUNGSITOLI a. Kasus – kasus Tindak Pidana Narkotika

yang terjadi di Kota Gunungsitoli ... 56 b. Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika

Oleh Kepolisian Kota Gunungsitoli ... 61

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan ... 65 b. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

Liza Erwina, SH, M.Hum* Abul Khair, SH, M.Hum** Reinhard Jevon Gulo***

Dalam kasus-kasus narkoba yang melibatkan masyarakat, narkoba dapat sampai ke tangan seseorang selaku pengguna atau pemakai adalah perdagangan gelap. Demikian pula dengan para pemakai narkoba, mereka tidak sembarangan mau menikmati barang tersebut di mana saja. Kalangan anak muda mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkoba. Terutama para remaja, karena masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, menyangkut perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap social dan kepribadian. Mereka mudah dipengaruhi karena di dalam dirinya banyak perubahan dan tidak stabilnya emosi cenderung menimbulkan perilaku nakal. Bahaya pemakaian narkoba sangat besar pengaruhnya akan berakibat pada kesehatan si pemakai narkoba.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat skripsi berjudul ANALISIS KRIMINOLOGI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH MAHASISWA OLEH KEPOLISIAN KOTA GUNUNGSITOLI. Dalam skripsi ini penulis mengemukakan permasalahan yang menjadi factor-faktor penyebab terjadinya peredaran narkotika di Kota Gunungsitoli dan bentuk-bentuk tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh mahasiswa di Kota Gunungsitoli. Metode penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normative yaitu dengan asas-asas hukum serta mangacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam memahami pengertian penyalahgunaan narkotika, bahwa ancaman dan bahaya pemakaian narkotika secara terus menerus dan tidak terawasi dan jika tidak segera dilakukan pengobatan serta pencegahan akan menimbulkan efek ketergantungan baik fisik maupun phisikis sangat kuat terhadap pemakainya. Pemahaman pengertian tersebut selanjutnya diberikan kepada masyarakat Kota Gunungsitoli melalui sosialisasi dan pemberitahuan dari pihak Kepolisian di Kota Gunungsitoli sehingga diharapkan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dapat diperkecil pengaruhnya bagi masyarakat Kota Gunungsitoli.

∗ Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU *** Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU


(9)

ABSTRAK

Liza Erwina, SH, M.Hum* Abul Khair, SH, M.Hum** Reinhard Jevon Gulo***

Dalam kasus-kasus narkoba yang melibatkan masyarakat, narkoba dapat sampai ke tangan seseorang selaku pengguna atau pemakai adalah perdagangan gelap. Demikian pula dengan para pemakai narkoba, mereka tidak sembarangan mau menikmati barang tersebut di mana saja. Kalangan anak muda mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkoba. Terutama para remaja, karena masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, menyangkut perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap social dan kepribadian. Mereka mudah dipengaruhi karena di dalam dirinya banyak perubahan dan tidak stabilnya emosi cenderung menimbulkan perilaku nakal. Bahaya pemakaian narkoba sangat besar pengaruhnya akan berakibat pada kesehatan si pemakai narkoba.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat skripsi berjudul ANALISIS KRIMINOLOGI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH MAHASISWA OLEH KEPOLISIAN KOTA GUNUNGSITOLI. Dalam skripsi ini penulis mengemukakan permasalahan yang menjadi factor-faktor penyebab terjadinya peredaran narkotika di Kota Gunungsitoli dan bentuk-bentuk tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh mahasiswa di Kota Gunungsitoli. Metode penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normative yaitu dengan asas-asas hukum serta mangacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam memahami pengertian penyalahgunaan narkotika, bahwa ancaman dan bahaya pemakaian narkotika secara terus menerus dan tidak terawasi dan jika tidak segera dilakukan pengobatan serta pencegahan akan menimbulkan efek ketergantungan baik fisik maupun phisikis sangat kuat terhadap pemakainya. Pemahaman pengertian tersebut selanjutnya diberikan kepada masyarakat Kota Gunungsitoli melalui sosialisasi dan pemberitahuan dari pihak Kepolisian di Kota Gunungsitoli sehingga diharapkan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dapat diperkecil pengaruhnya bagi masyarakat Kota Gunungsitoli.

∗ Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU *** Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU


(10)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar belakang

Berbicara mengenai narkoba, sering terdengar beberapa akronim yang berkaitan dengan hal tersebut, misalnya : NAZA ( Narkotika dan Zat Adiktif) : NAPZA ( Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif) dari akronim NAPZAM, yang mempunyai arti lebih lengkap dibanding yang pertama maka obat yang dianggap berbahaya adalah narkotika, alkohol psikotropika dan zat adiktif karena psikotropika dan narkotika digolongkan dalam obat-obat atau yang berbahaya bagi kesehatan maka mengenai produksi pengadaan, peredaraan, penyaluran, penyerahan ekspor dan impor obat-obat tersebut diatur dalam undang-undang ketentuan yang mengatur narkotika dan psikotropika terdapat dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikoropika: Undang- undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sedangkan Zat adikitif, disinggung dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pengertian Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku ( Pasal 1 angka 1 UU 5./ Th. 1997).1

Pengertian Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintensis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, (Pasal 1 angka 1 UU 22./Th. 1997).

Sedangkan pengertian zat adiktif adalah bahan yang penggunaanya dapat menimbulkan ketergantugan psikis, (Pasal 1 angka 12 UU 23./Th.1992). selanjutnya pengamanan penggunaan


(11)

produksi dan peredaran diatur dalam pasal 44 undang-undang tersebut. Penggunaaan narkoba bagi orang awam atau orang yang kurang mengerti, tentu saja dapat dipahami. Tetapi bagi seeorang yang mengkonsumsi narkoba, yang sebelumnya sudah mengetahui akibat-akibatnya adalah di luar nalar kita. Lalu apakah yang mendorong mereka untuk mengkonsumsi. Menurut GRAHAM BLAINE seorang psikiater (M. RIDHA MA’ ROEF, 1976, : 63) sebab-sebab penyalagunaan narkotika ialah2

1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya, dan mempuyai resiko, misalnya ngebut, berkelahi atau bergaul dengan wanita ;

:

2. Untuk menetang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau intansi yang berwenang ;

3. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan sexsual;

4. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;

5. Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup ;

6. Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang kesibukan;

7. Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh problema yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran yang buntu, terutama bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis ;

8. Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk solidaritas dengan kawa-kawan ; 9. Karena didorong rasa ingin tahu ( curiosity ) dan karena iseng ( just for kicks )

Dari sekian sebab-sebab penggunaan narkotika secara tidak legal yang dilakukan oleh para remaja dapatlah dikelompokan dalam tiga keinginan, yaitu :


(12)

1. Mereka yang ingin mengalami ( the experience seekers) yaitu yang ingin mempeloleh pengalaman baru dan sensasi dari akibat pemakaian narkotika;

2. Mereka yang dimaksud menjauhi atau mengelakkan realita hidup ( the oblivion seekers) yaitu mereka yang menganggap keadaan terbius sebagai tempat pelarian terindah dan ternyaman;

3. Mereka yang ingin merubah kepribadiannya (personality change) yaitu mereka yang beranggapan menggunakan narkotika dapat berubah kepribadian, seperti untuk menjadi berani, untuk menghilangkan rasa malu, menjadi tidak kaku pergaualan dan lain-lain.

Dikalangan orang-orang dewasa dan yang telah lanjut usia menggunakan narkotika dengan sebab-sebab antra lain sebagai berikut:

1. Menghilangkan rasa sakit dan penyakit kronis seperti asma, TBC, dan lain-lain ; 2. Menjadi kebiasaan ( akibat penyembuhan dan menghilangkan rasa sakit tersebut ; 3. Perlarian dari frustasi ;

4. Meningkatkan kesanggupan untuk berprestasi ( biasanya zat perangsang) ;

Mengingat harga obat – obat narkotika yang mahal, maka tidak semua orang bisa dibeli membelinya. Oleh karena itu penggunaan narkotika dan psikotropika jenis-jenis yang mahal harganya juga untuk menujukkan kelas tersendiri bagi pemakainya serta merupakan sebagain dari gaya hidup kelas tersebut.

Menurut dr. Dharmawan dalam seminar sehari dampak ketergantugan obat terhadap perilaku serta upayah pencegahan dan rehabilitasinya di Universitas Surabaya pada bulan Agustus 1999 di dalam pemakaian obat-obatan berbahaya terdapat tahapan-tahapan mula-mula mereka hanya coba – coba ( experimental use) dengan alasan untuk menghilangkan rasa susah, mencari rasa nyaman, enak atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu.


(13)

Sebagian tidak meneruskan sebagai pencandu NAPZA, namun lagi akan meneruskan menjadi social use. Mereka menggunakan NAPZA untuk mengisi kekosongan waktu senggang, kongkow-kongkow atau pada waktu pesta. Ada pula yang bersifat situasional use, menggunakan NAPZA saat stress, kecewa, sedih dan sebagainya yang bertujuan untuk menghilangkan perasaan – perasaan tersebut. Sampai tahap ini mereka masih bisa mengedalikan “ hasrat” nya. Tahap yang menentukan apakah ia akan menjadi pengguna tetap NAPZA.

Saat itu mereka tidak mempunyai pegangan, dalam keadaan lepas kontrol muncullah

dependence use (ketergantungan). Tahap kecanduan berkelanjutan sampai tubuh menjadi

terbiasa. Timbul keinginan menambah dosis, sampai menjadi ketergantungan secara fisik. Si pecandu harus dan akan melakukan apapun yang perlu dilakukannya guna mempeloleh NAPZA yang diinginkannya. Efek dari berbagai macam narkoba sangat beragam yang umum memakai suntikan, sehingga terdapat bekas alat suntik di lengan atau paha.

Untuk menyembunyikanya, kebanyakan yang bersangkutan suka memakai lengan panjang. Untuk menyembunyikan bekas suntikan ada yang menyuntikkan dibawah lidah dan ada yang di sekitar kemaluanya. Kalau orangnya sangat sadar, berani, gembira, agresif, mungkin ia menggunakan obat perangsang cocain, ecstasy (inex) atau shabu.

Tetapi jika orang mengantuk, setengah sadar, tidak komunikatif dan tidak responsif, biasanya memakain obat penekan ( antidepressant), candu, morfin, heroin ( narkotika), juga obat tidur. Bagi orang tua atau guru pada saat ini, perlu kewaspadaan terhadap anak-anak yang menjadi tanggung jawab. Bagi pengguna narkoba, ada perubahan perilaku. Perubahan perilaku tersebut dapat dikenali oleh orang – orang di sekitarnya.

Bagi orang tua atau guru yang menemukan tanda-tanda tersebut, ada kemungkinan anak-anak yang bersangkutan mempunyai masalah dengan narkoba. Jiwa manusia adalah


(14)

bagaikan bangunan sistem yang bersifat terbuka banyak peristiwa atau keadaan yang setiap hari berpengaruh terhadap dirinya. Akan tetapi selaku sistem yang terbuka, tidak semua yang dapat berpengaruh tersebut dapat mempengaruhi, artinya ada yang tidak terpengaruh , ada yang lambat terpengaruh dan ada yang sangat cepat terpengaruh. Menurut dr. Nalini Muhdi, SpKJ. Psikiater RSUD Dr. Soetomo Surabaya, ada kelompok-kelompok yang potensial, yang mudah terpengaruh Narkoba. Kelompok primair yaitu kelompok yang mengalami masalah kejiwaan. Penyebabnya bisa karena kecemasan, depresi dan ketidakmampuan menerima kenyataan hidup yang diajalani. Dan hal diperparah lagi karena mereka ini biasanya orang yang memiliki kepribadian infrofet atau tertutup.

Dengan jalan mengkonsumsi obat-obatan atau sesuatu diyakini bisa membuat terlepas dari masalah, kendati hanya sementara waktu. Kelompok primair sangat mudah dipengaruhi untuk mencoba narkoba, jika dilingkungan pergaulannya menunjang dia memakai narkoba. Kelompok sekunder yaitu, kelompok mereka yang mempunyai sifat anti sosial. kepribadian selalu bertentangan dengan norma-norma masyarakat. Sifat egosentris sangat kental dalam dirinya. Akibatnya dia melakukan apa saja semuanya.3

Perilaku ini disamping sebagai konsumen juga dapat sebagai konsumen juga dapat pengedar. Ini merupakan pencerminan pribadi yang ingin mempengaruhi dan tidak senang jika ada orang lain merasakan kebahagiaan ini harus kita waspadai. Kelompok tertier adalah, kelompok ketergantugan yang bersifat reaktif. Biasanya terjadi pada para remaja yang labil dan mudah terpengaruh dengan kondisi lingkungannya. Juga pada mereka yang yang kebingungan mencari indentitas diri, selain mungkin adanya ancaman dari pihak tertentu untuk ikut mengkonsumsi narkoba.


(15)

Untuk mengatasi permasalahan kencanduaan narkoba, penanganannya berbeda-beda. Untuk kelompok pertama dan kolompok ketiga dapat dilakukan dengan terapi yang serius dan intensive. Sedangkan untuk kelompok kedua, selain dilakukan terapi harus menjalani pidana penjara sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Misalnya terhadap bandar narkoba hanya di terapi, akan kecil sekali sembuhnya. Padahal mereka adalah kelompok yang paling berbahaya terhadap penyebaran narkoba.

Secara umum ciri remaja tergolong beresiko tinggi sebagai pengguna narkoba, antara lain rendah diri, tertutup, mudah murung dan tertekan, mengalami hambatan psikososial, agresif destruktif, suka sensasi dan melakukan hal-hal yang berbahaya, sudah meokok di usua muda, serta kehidupan keluarga atau pribadi kurang religius.

Mekanisme terjadinya penyalagunaan NAPZA, menurut penelitian HAWALI (1990), seperti yang dikutip “ PUDJI LESTARI (2000 : 3)” dikemukakan sebagai berikut: penyalahgunaan NAPZA terjadi oleh interaksi antara faktor-faktor predisposisi (kepribadiaan, kecemasan, depresi), faktor kontribusi (kondisi keluarga ), dan faktor pencetus (pengaruh teman kelompok sebaya/peer group dan zatnya itu sendiri).

Selanjutnya dikemukakan bahwa penyalagunaan NAPZA adalah sesuatu proses gangguan mental adiktif. Pada dasarnya seorang penyalagunaan NAPZA adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa (yaitu gangguan kepribadian, kecemasan dan atau depresi), sedangkan penyalagunaan NAPZA merupakan perkembagan lebih lanjut dari gangguan jiwa tersebut ; demikian pula dengan dampak sosial yang ditimbulkannya.

Secara skematis proses terjadinya penyalah gunaan NAPZA seperti uraian yang di atas, di atas di dalam suatu pengobatan bertujuan untuk mendapatkan efek terapeutik yang diinginkan ketetapan dosis di sisini menjadi penting. Arti tepat di sini tidak boleh terlalu rendah


(16)

dan tidak boleh terlalu tinggi karena mengakibatkan keracuanan atau bahkan kematian efek terapeutik merupakan tujaun agar pasien menjadi sembuh.

Di dalam penyalagunaan obat ( drug abuse), tolenransi juga akan terjadi pada seeorang pecandu. Untuk seorang pecandu, yang diharapkan dari penggunaan narkoba yang bersangkutan jika seeorang pecandu sudah biasa menggunakan narkoba dalam dosis tertentu, mereka akhirnya tidak puas dengan dosis semula, karena tubuh pecandu sudah menginginkan dosis yang lebih besar lagi.

Menaikkan dosis sedemikian rupa tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan efek yang sama dan segera. Keadaan yang terus menerus menaikkan dosis tersebut mungkin tidak bisa dibatasi lagi, sehingga terjadi over dosis yang dapat menimbulkan kematian. Eskalasi adalah sesuatu keadaan yang membuat sorang pecandu untuk meningkatkan dari suatu zat kepada zat lain yang sifatnya lebih kuat lagi. Misalnya seeorang yang menggunakan ganjan ke morphine.

Kemudian dari morphine ke heroin. Jelas di sini sangat membahayakan pecandu tersebut. Jika dalam toleransi adalah meningkatkan kwantitas maka dalam eskalasi yang ditingkatkan kwalitasnya. Apabila seeorang yang terlah tergantung dengan narkoba tertentu, kemudian tiba-tiba dihentikan secar mendadak maka akan menujukan gejala abstinesi.

Gejala-gejala tesebut, berupa gangguan jasmani dan rohani jadi pengertian withdrawal adalah suatu keadaan yang serius dan kritis yang menggangu jasmani atau rohani pada seeorang yang ketagihan narkoba tertentu karena putus obat dalam waktu tertentu, kebutuhan tubuh akan akan narkoba yang bersangkutan dipenuhi kembali.

Putus obat mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap diri si pemakaian atau masyarakat sekitarnya seeorang dalam keadaaan putus obat dengan morpihine sesuatu misalnya,


(17)

maka akan timbul rasa sakit pada seluruh tubuh, terutama pada sendi dan tulang akan terasa sakit atau ngilu. Sedangkan tanda-tanda withdrwal lainnya akan menyusul.

Untuk memenuhi kebutuhan akan narkoba, ia akan berbuat apa saja. Pertama kali untuk memenuhi kebutuhan mendapatkan uang pembeli narkoba , baik dengan cara halus dan memaksa. Untuk selajutnya jika dari keluarganyaa melakukan tindak pidana menipu, mencuri atau melacurkan diri. Disamping berpengaruh terhadap individu sendiri, pemakaian narkoba juga berpengaruh pulan bagi masyarakat luas.

Akibat-akibat adanya pemakain narkoba, seeorang yang tanda-tanda menjadi pecandu narkoba, sebaiknya cepat-cepat dilakukan usaha-usaha yang maksimal. Dengan kata lain deteksi disini sangatlah berguna. Makin cepat seeorang pecandu berobat, tentu makin cepat baru berkenalan dengan narkoba dan pasokannya cukup, gejala- gejala khasya belum terlihat.

Gejala-gejala tersebut baru kelihatan jika pemakain sudah lama menggunakan atau belum terjadi apa yang di sebut putus obat atau tersedatnya pasokan narkoba. Maka tak heran jika lingkungan keluarga baru mengetahui korban/pemakain narkoba sudah memekainya narkoba selama dua tahun. Deteksi disini untuk menolong pemakai narkoba untuk tidak sampai tahap lebih lanjut, yaitu tahap ketergantugan.

Dari perubahan perilaku pemakai narkoba bisa dipakai sebagai alat dekteksi secara disini misalnya prestasi belajar menurut, pola tidur berubah yakni bagi sulit dibangunkan, malam suka tidur malam, selera makan rendah, enggan kontak mata atau menghindar dari pertemuan dengan anggota keluarganya lainnya sering bersikap kasar, suka bebohong, suka membatah, berani mencuri, bebicara pelo/kelat dan jalanya sempoyongan.

Selain itu ada perubahan kebiasaan yang biasanya penuh perhatian terhadap orang tua atau dekatyaa menjadi acuh tak acuh. Anak suka berlama-lama di WC atau kamar mandi. Karena


(18)

pemakain narkoba membutuhkan tempat- tempat tersembunyi. Gejala spesifik baru kelihatan jika mereka putus obat. Badanya akan terasa sakit, gelisah, kedinginan, menceret atau mual. Jika pasokan narkoba berajalan lancar, berbeda-beda. Seorang yang sudah terlanjur menjadi pecandu narkoba, akibat yang harus di tanggung olehnya sangat komplek.

Penyembuhan terhadap diri sendiri tidak hanya saja sekedar menghentikan ketergantugan terhadap narkoba. Disamping meliputi terapi komplikasi medik, juga perlu dilakukan rehabilitasi sosial, mental dan emosional, endukasional, spritual, intelektual dan suvival skill yang dimiliki pecadu. Pendek kata untuk merehabilitasi seeorang yang terlanjur menjadi pecandu memelukan biaya yang tidak sedikit.

Tahap detoksifikasi merupakan suatu tahapan untuk menghilangkan racun akibat narkoba yang dikonsumsi oleh pemakaian narkoba dari dalam tubuhnya upaya ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan penggunaanya menguragi pemakain narkoba yang dikonsumsi atau menggantikannya dengan yang obat lain yang mempunyai efek serupa, tetapi kurang menimbulkan kenikmatan dan ketagihan.

Tahap rehabilitasi dilakukan rehabilitasi pada pemakai narkoba baik secara phisik dan mental. Dalam tahap ini dokter, psycholong berusaha merehabilitasi secaa intepsip agar pemakai narkoba sehat seperti semula. Rehabilitasi phisik ditujukan agar pemakai narkoba normal dalam arti bisa berdiri sendiri, mempertahankan kemampuan atau keahilan yang dimilikinya.

Dengan kesibukan – kesibukan tersebut pemakai narkoba akan melupakan ketergantugan pada narkoba. Kegiatan yang diberikan antara lain olahraga, kursus –kursus ketrampilan untuk mereka sendiri setelah keluar dari panti –panti rehabilitasi. Rehabilitasi mental dilakukan dengan penyuluhan, bimbingan dan ceramah.


(19)

Kegiatan ini dimaksudkan agar pemakai narkoba sadar bahwa dirinya sendiriya masih memiliki masa depan. Tahap tindak lanjut tahap ini merupakan pembinaan khusus setelah pemakai narkoba keluar dari panti rehabilitasi perawatan. Hal ini perlu kerja sama antara orang tua, perkeja sosial dan lingkungan dimana pemakai narkoba tinggal.

Terapi terhadap kasus penyalahgunan narkoba narkoba, sering kali tidak membawa hasil. Kadang – kadang justru pasien yang disembuhkan kembali ke panti rehabilitasi dalam keadaaan lebih parah. Seorang yang sudah dinyatakan sembuh sering sekali kambuh karena terpegaruh dengan lingkugan. Lingkugan. Lingkugan atau lingkaran gaul tak kalah penting peranannya. Sekembalinya ke rumah setelah dirawat, mantan pemakai narkoba biasanya mendapat telepon atau malahan kunjungan dari teman –temannya. Perlahan –pelahan mulai ada pedekatan atau bujukan.

Bahkan tidak jarang pemaksaan dengan ancaman supaya membeli nyutik narkoba serperti dulu lagi pula masa terpenting adalah bukan saat seseorang berada di tempat rehabilitasi. Tetapi yang terpenting adalah apa yang terjadi setelah seorang keluar dari rehabilitasi. Karena itulah upayah untuk menyembuhkan pemakain narkoba tidak hanya melalui pedekatan obat tetapi perlu didukung oleh psikoterapi dan lingkugan.

Salah satu bentuk lingkungan yang tidak mendukung, suatu misal adalah bekas pemakai narkoba tidak diterima masuk sekolah, sehingga ada gugatan dari mereka. Lalu untuk apa mereka disembuhkan kalau akhirnya juga tidak diperbolehkan sekolah lagi. Sementara pihak sekolah beralasan cukup masuk akal “ kalau dua junkies bertindak sebagai pegedar kami izikan masuk sekolah, bisa –bisa hampir seluruh kelas terkena” ( Intisari, oktober 1999). Bahkan belangkangan ini kecenderugan sekolah – sekolah menindak siswa –siswanya yang kedapatan memakai narkotika dengan jalan mengeluarkan dari sekolah yang bersangkutan.


(20)

Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka Departemen Pendidikan Nasioanal lewat Dirjen Pendidikan Dasar dan menegah indra jati sidi menyatakan; pihakya akan segera membuat peraturan tentang penangan siswa pecandu narkoba.

Dengan cara demikian, sekolah tidak begitu saja melepaskan tanggung jawabnya anak didik yang mengkonsumsi narkoba, tetapi tetap harus mencarikan sekolah untuk si korban perlu diketahi ada juga usaha untuk menyembuhkan pemakain atau pecandu narkoba dengan jalan dimasukan dalam pesantren yang tidak mempuyai program rehabilitasi narkoba. Tetapi tidak semua pecandu narkoba cocok dengan metode yang diterapkan di tempat/panti terhabilitasi. Seseorang yang kurang kereligiusannya, bisa kabur kalau dimasukan ke pesantren yang mempunyai program rehabilitasi.

Dalam kenyataannya memang angka ketergantugan obat jauh berlipat –lipat kali di banding angka kesembuhan. Tetapi bermasa kerja panjang sehingga tidak perlu dipakai setiap hari. Naloksone merupakan satu – satunya penawar untuk mengatasi orang yang mengalami kelabihan dosis narkotika. Dengan cara yang sebelum krisis harganya Rp 25.000,00 per ampul, naik secara bertahap sejak tahun 1998 menjadi Rp 35,000,00, kemudian Rp 75,000,00, kini hargarnya Rp 135,000,00. Jika setiap pengobatan membutuhkan 4-5 ampul, maka kebutuhan untuk nalosone sudah bisa dihitung.

Di Jakarta panti rehabilitasi mematok harga Rp 3, 000,000,00 per bulan jika dibutuhkan minimal 6 bulan, maka untuk panti rehabilitasi sudah diperlukan Rp 18.000.000.00. tetapi bila ternyata pengguna terinfeksi berbagai mikroorganisme gara –gara memakai jarum tidak steril, bukannya tidak mungkin ia terkena.

Untuk mengobatinya perlu waktu satu bulan. Jika sehari perlu Rp 150.000.00 dalam satu bulan perlu Rp 4.500.000.00 Jika narkotika sudah berakibat ke katup jantung, maka


(21)

biayanya luar biasa sekali. Di RS Jantung Harapan Kita, harga protese katup jantung termurah Rp 12.000.000.00 dan yang termahal Rp 35.000.000.00 Biaya operasinya untuksa satu katup di kelas III Rp 30.000.000.00 sampai Rp 42.000.000.00 untuk VIP. Bila kedua katup perlu diganti, harga katup dan biayanya dikalikan dua oleh karena itu, jangan pernah mencoba narkotika dan psikotropika. Undang- undang psikotropika sangat membatasi pihak yang dapat memperoduksi psikotropika, hal ini dalam hubunganya dengan masalah pengawasan. Berdasarkan pasal 5 undang- undang tersebut, psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –undangan yang berlaku. Tidak semua pabrik obat dapat memperoduksi psikotropika, akan tetapi hanya pabrik obat yang sesuai dengan pasal 1 angka 2 undang – undang psikotropika saja yang diperbolehkan, yaitu pabrik obat yang perusahaanya berbentuk badan hukum dan memiliki izin dari menteri kesehatan.

Perusahan yang berbadan hukum dimaksud adalah perusahaan yang berbadan hukum dimaksud adalah perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam undang – undang No.1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas. Selain itu juga koperasi termasuk badan hukum dalam undang – undang No. tahun 1992 tentang perkoperasian. Mengapa pabrik obat yang dapat memperoduksi harus berbadan hukum memang undang - undang psikotropika tidak memberikan penjelasan mengenai hal tersebut, akan tetapi seharusnya memang berbadan hukum karena menyangkut masalah tanggung jawab perusahaan apabila dibandingkan dengan pabrik obat bukan badan hukum karena menyangkut masalah tanggung jawab perusahaan apabila dibandingkan dengan pabrik obat bukan badan hukum misalnya berbentuk firma, persekutuan yang berbadan hukum merupakan subjek hukum dipandang seperti manusia pada umumnya karena dapat dibebani hak dan kewajiban.


(22)

Badan hukum mempunyai kekayaan tersendiri yang terpisah dengan harta kekayaan pengurus, komisaris dan pemilik modal. Tanggung jawab pengurus terbatas tidak sampai kepada harta pribadinya. Berbeda dengan perusahaan yang tidak berbadan hukum, para pengurus tanggung jawabnya tidak terbatas pada perusahaan yang diurusnya melainkan sampai kepada harta pribadinya.

Oleh karena itu perusahaan yang berbadan hukum kodisinya tampak lebih kuat dalam arti perusahaan lebih besar termasuk segi pemodalanya maupaun tanggung jawabnya. Dari sini memang lebih tepat alasanya perusahaan yang memproduksi psikotropika berbentuk badan hukum. Untuk memproduksi psikotropika yang diperbolehkan di negara kita seperti diterangkan diatas, pabrik obat wajib berpedoman pada pasal 7 undang – undang psikotropika. Perlu diketahui ada dua syarat yang wajib dipenuhi dalam memproduksi psikotropika yaitu:

- Psikotropika yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat.

- Psikotropika harus memenuhi standar dan/atau persyaratan farmakope indonesia atau buku standar lainnya.

Mengenai syarat yang pertama yang harus diperhatikan, hasil produksi berbentuk obat dan ini untuk diedarkan. Timbul pertanyaan bagaimana kalau hasil produksi psikotropika itu tidak untuk diedarkan, apakah bentuknya juga berupa obat? Undang – undang sama sekali tidak memberikan penjelasannya.

Namun demikian dapat dimengerti bahwa karena bukan untuk diedarkan saya kira bentuknya bebas, bisa berupa obat atau berupa yang lainnya seperti bahan mentah, bahan setengah jadi atau bahan jadi. Masalahnya karena tidak untuk diedarkan, artinya dipakai untuk kepentingan sendiri pabrik obat dalam memproduksi psikotropika. Syarat yang kedua tersebut produksi psikotropika yang dihasilkan harus memenuhi standar yang ditetapakan, yaitu


(23)

farmakope indonesia. Yang dimaksud farmakope indonesia adalah buku teknis yang memuat standar atau persyaratan mutu yang berlaku bagi setiap obat atau bahan obat yang digunakan di indonesia.

Apabila buku standar teknis tersebut di dalamnya tidak terdapat atau belum diatur, maka pabrik obat harus menggunakan buku farmakope yang dikeluarkan oleh negara lain atau bahan internasional yang digunakan sebagai acuan dalam standar atau peryaratan mutu obat yang menyangkut pemberian kemurnian, pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif.

Kewajiban dalam memenuhi syarat memperoduksi psikotropika sebagiamana dimaksud pada pasal 7 undang – undang no 5 tahun 1997 tidak dapat dikesampingkan begitu aja, sebab kewajiban itu merupakan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman penjara dan disertai dengan hukuman denda berdasarkan pasal 60 ayat 1 undang – undang tersebut. Untuk dapat mengedarkan psikotropika diperluakan adanya pihak –pihak yang menjadi penyalur psikotropika. Undang – undang no 5 tahun 1997 telah membatasi pihak – pihak yang dapat menjadi penyalur psikotropika sebagiamana ditentukan pasal 12 ayat 1 jadi hanya ada tiga pihak saja yang dapat menjadi penyalur barang tersebut. Kemudian kepada siapakah mereka itu dapat menyalurkan psikotropika yang ada dalam kekuasaan.

Dalam pasal 12 ayat 2 undang – undang bersangkutan telah membatasi penyaluran kepada pihak – pihak tertentu saja, 5 tahun 1997, bahwa psikotropika golongan 1 dilarang untuk diproduksi, lalu masalahnya siapakah pihak yang menyalurkan karena psikotropika golongan 1 hanya dapat digunakan untuk kepentigan ilmu pengetahuan, maka dalam pasal 13 undang – undang tersebut memperbolehkan lembaga penelitian atau lembaga pendidikan untuk mengimpor, dapat menghubungi kepada pabrik obat dan pedagang besar farmasi dapat menyalurkan psikotropika salah satunya adalah kepada rumah sakit. Tidak semua rumah sakit


(24)

dapat menerima penyaluran psikotropika karena undang – undang hanya dapat membatasi kepada rumah sakit yang telah memiliki intalasi farmasi yang dapat memperoleh psikotropika dari obat atau pedang besar farmasi.

B. Perumusan Masalah

1. Faktor - faktor apa saja penyebab peredaran Narkotika di kota Gunungsitoli ?

2. Bagaimanakah bentuk - bentuk Tindak Pidana Narkotika yang dilakukan oleh mahasiswa di kota Gunungsitoli ?

3. Upayah Pemberatasan Tindak Pidana Narkotika yang dilakukan oleh Kepolisian Kota Gunungsitoli

C. Tujuan & Manfaat Penulisan

Tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa saja penyebab peredaran narkotika

2. Untuk mengetahui bagaimana Tindak Pidana Narkotika yang dilakukan oleh mahasiswa di kota Gunung sitoli

D. Keaslian Penulisan

Judul ini tidak pernah ditulis oleh siapa pun dalam penulisan skripsi mahasiswa falkultas hukum USU. Judul skripsi yang telah ada di perpustakaan Universitas Cabang Falkutas Hukum adalah :

1. Rehabilitasi sebagai pengganti pemidanaan terhadap pencandu narkotika

2. Peranan lembaga rehabilitasi sosial korban narkotika ditinjau dari aspek hukum perlindugan anak


(25)

4. Peranan gerakan anti narkoba indonesia dalam perlindugan korban narkoba di kalangan remaja kota medan.

5. Penegakan hukum terhadap tindakan pidana memiliki, penyimpan dan atau membawa psikotropika menurut Undang – undang No. 5/1997 ( penelitian di porles deli serdang)

E.Tinjauan kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak Pidana Narkotika trasnasional yang dilakukan di luar batas teritorial dan perluasan asas berlakunya hukum pidana atau yurisdiksi kriminal terhadap Tindak Pidana Narkotika tersabut, merupakan dua masalah yang sangat strategis dalam penegakan hukum pidana indonesia untuk melindungi kepetingan nasional, di samping tindak pidana tertentu lain-lainya.

Kedua masalah tersebut sekalipun berbeda, tidak dapat dipisahkan satu sama lain sehingga kepastian hukum mengenai status Tindak Pidana Narkotika trasnasional menurut konversi wina 1988 dalam sistem hukum pidana indonesia, merupakan condition sine qua non untuk membenarkan perluasan yurisdiksi kriminal di luar batas teritorial.

Kajian teoretik dalam menganalisis kedua masalah tersebut di atas mengunakan teori locus delicti atau teori beberapa tempat tindak pidana . teori ini masih memelukan pengembangan asas – asas perluasan yurisdiksi kriminal untuk dapat menjelaskan penerapan yuridiksi kriminal terhadap warga negara asing yang melakukan Tindak Pidana Narkotika trasnasional di luar batas teritorial dan berdampak terhadap kepentigan nasional RI.

Kajian perundang – undagan pidana indonesia terhadap kedua masalah tersebut, menggunakan asas legalitas yang dirumuskan secara material dan diperkuat oleh asas melawan


(26)

hukum material dengan fungsi yang positif sehingga diharapkan dapat menuntut dan mengadili terhadap Tindak Pidana Narkotika di luar batas teritorial tersebut.

Penegasan lingkup pembahasn mengenai status Tindak Pidana Narkotika trasnasional dan perluasan asas berlakunya hukum pidana atau yuridiksi kriminal terhadap tindak pidana tersebut meliputi istilah tindak pidana, istilah Tindak Pidana Narkotika trasnasional, dan istilah perluasan asas berlakunya hukum pidana. Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyusuran rencana kebutuhan tahunan psikotropika dan mengenal pelapor kegiatan yang berhubugan dengan psikotropika diatur oleh menteri pemilikan psikotropika dalam jumlah tertentu oleh wisatawan asing atau warga negara asing yang memasuki wilayah negara indnesia dapat dilakukan sepanjang digunakan hanya untuk pengobatan dan kepentigan pribadi dan yang bersangkutan harus mempunyai bukti bahwa psikotropika berupa obat dimaksud diperoleh secara sah.

Perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi informasi yang demikian pesat telah mengantarkan umat manusia pada kehidupan yang serba mudah. Dampak positif kemajuan iptek telah merambat dalam hampir di setiap aspek kehidupan manusia. hampir dalam setiap sisi kehidupan manusia dapat dirasakan sentuhan kemajuan iptek. Sisi positif kemajuan iptek telah memberikan kehidupan yang lebih baik pada umat manusia namun demikian, kemajuan iptek juga telah menimbulkan dampak negatif. Salah satu dampak negatif kemajuan iptek adalah meningkatnya jumlah kejahatan yang terjadi di masyarakat baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Kemajuan iptek juga telah memungkinan setiap orang tidak kecuali anak-anak dengan mudah mengakses segala bentuk informasi yang dapat berdampak secara positif dan negatif. Dalam kondisi demikian, maka secara kriminologi setiap anggota masyarakat mempunyai kemungkinan yang sama menjadi korban kejahatan ataupun menjadi


(27)

pelaku kejahatan, mengingat perkembagan masyarakat dan lingkugan yang demikian cepat juga akan diikuti oleh perkembagan kejahatan. Mengingat dampaknya yang demikian, maka perkembagan iptek juga berpotensi menempatkan anak sebagai korban terutama apabila proteksi terhadap anak tidak memadai karena adanya perkembangan iptek tersebut. Karenanya anak tetap harus mendapatkan perlindugan yang memadai dalam menikmati perkembagan iptek. Anak sebagai generasi penerus harus dapat tumbuh dan berkmbang dengan ditunjang sarana dan prasarana yang cukup dapat menopang kelangsungan hidupnya, sehingga pengembagan fisik dan mentalnya dapat terindung dari berbagai gangguan dan marabahaya yang dapat mengancam martabat dan intergeritas serta masa depannya. Tegasnya perlu perhatian dan sekaligus pemikiran bahwa anak-anak adalah tunas harapan bangsa yang akan melajutkan eksistensi nusa dan bangsa untuk selama-lamannya sehingga sudah seharusnya mereka menjadi tanggung jawab kita bersama agar terhadap mereka senantisa dilakukan upaya-upaya dengan mendidik, merawat,membina,memelihara, untuk meningkatkan kesejahteraannya, secara berkelanjutan dan terpadu. Sesuai dengan kharakteristik yang ada pada anak-anak, mereka memerlukan perhatian secara khusus, mengingat anak memiliki kharakteristik di mana kondisi fisik dan mental yang belum matang. Jadi apabila anak melakukan kenakalan maka penanganan dan penyelesaian dilakukan secara arif dan bijaksana, serta sejauh mungkin dihindarkan dari campur tangan sistem peradilan tanpa mengabaikan penegakan hukum dan keadilan dalam rangka menjamin agar penyelesaiannya dilakukan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan, dan kepentingan masyarakat terhadap anak yang telah melakukan kenakalan. Pada awalnya penggunaan narkotika hanya diperuntukan bagi kepentigan pengobatan dan kepentigan ilmu pengetahuan, namun kemudian banyak disalahgunakan. Perhatian terhadap penyalaguanaan narkotika patut menjadi prioritas mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya sangat luas


(28)

dan komples. Menurut Romli Atmasasmita, pemakaian narkotika secara terus-menerus dan tidak terwasi akan menjerumuskan pemakaianya ke dalam kehidupan yang bersifat kontra produktif, antra lain: malas belajar atau tidak dapat berkerja, destruktif, akhlak semakin runtuh, bersifat asosial, dan melakukan kejahatan-kejahatan untuk memenuhi ketagihannya atas narkotika. Akibat dari penyalagunaan narkotika dapat dirasakan segera dan dapat pula berakibat menurutnya kondisi kesehatan setelah melewati jangka waktu tertentu. Misalnya penggunaan marijuana yang dilakukan sekali-kali dapat berakibat langsung pada perkembangan kognitif dan memori jangka pendek. Penggunaan obat jenis ini dalam jangka waktu tertentu dapat berdampak negatif pada persepsi, reaksi dan koordinasi gerakan yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Hallucinoges dapat merusak persepsi, menggangu denyut jantung dan tekanan darah, serta dalam jangka panjang dapat menyebabkan sistem syaraf depresi, kegelisahan, halusinasi visual dan flasback. Cocaine dan Amphetamine mengakibatkan gemetar, dan mempercepat denyut jantung. Dampak jangka panjangnya berupa mual-mual, tidak bisa tidur, kehilangan berat badan dan depresi. Para pengguna heroin pada mulanya merasa mual, pernapasan terganggu, kulit kering, gatal-gatal, bicara lambat dan daya mengakibatkan resiko yang serius dengan semakin meningkatkan ketergantugan fisik dan psikologis, yang dapat berakibat pada overdosis akut dan bahkan kematian yang disebabkan pada depresi pernapasan. Saat ini peningkatan jumlah penyalaguanaan narkotika terutama yang dilakukan oleh anak-anak menunjukan angka yang semakin mengkhawatirkan Data Badan Narkotika Nasional misalnya menunjukan bahwa selama 5 tahun terakhir, yaitu antara tahun 1998 sampai 2003, di indonesia dijumpai sebanyak 800 siswa sekolah dasar, 700 siswa sekolah lanjutan tingkat pertama, serta 10.000 siswa sekolah menengah umum telah terlibat dalam penyalagunaan narkotika. Laporan yang dicetak oleh kompas cyber media juga menujukan betapa narkotika menjadi ancaman yang sangat serius bagi kelangsungan


(29)

hidup bangsa, khususnya bagi kalangan generasi muda. Menurut laporan data tanggal 5 febuari 2001 menunjukan, bahwa dari dua juta pecandu narkotika dan obat-obat berbahaya, sembilan puluhan persen 90% diantaranya adalah generasi muda, termasuk 25.000 mahasiswa. Data yang lebih mutakhir juga menunjukan hal yang sama, dimana peningkatan jumlah tindak pidana narkotika secara umum sudah sangat mengkhawatirkan. Peningkatan jumlah tindak pidana narkotika secara umum dapat dilihat dari jumlah barang bukti narkotika yang disita aparat kepolisian. Penyalahgunaan narkotika yang sangat fantastis prioritas penanganan yang memadai.

2. Teori Kriminologi Tentang Faktor-faktor Penyebab terjadinya Kejahatan.

Menurut urainan dr. Samsuridjal putauw mengandung heroin yang di dalam tubuh akan diubah menjadi morfin. Apabila pemakaian heroin dihentikan dengan tiba-tiba , timbul gejala putus obat. Gejala putus obat dapat ringan, tetapi juga dapat berat sehingga pemakain akan mudah tergoda. Menurut penelitian di luar negeri keberhasilan mengatasi adiksi hanyala 35-60 persen. Oleh kerena itu mengatasi adiksi tidak hanya melalui pendekatan farmokologis, tetapi perlu didukung oleh psikoterapi. Salah satu cara dengan pengobatan farmologis adalah detoksifikasi cepat dengan menggunakan Nalokson/ Natreksen secara garis besar yang dilakukan pada ditoksifikasi cepat ini adalah dengan cara penderita dianestasi serta pernapasan penderita diatur dengan mesin. Untuk mempercepat pengeluaran obat diberikan suntikan nalokson dalam dosis cukup besar. Karena penderita dalam pengaruh anestensi, maka penderita tidak akan merasakan gejala putus obat.


(30)

Penderita juga diberi obat diuretik, untuk meningkatkan pengeluaran opiat dalam tubuh. Mungkin setelah bangun dari pengaruh anestesi, pederita masih mengalami gejala putus obat ringan. Selanjutnya untuk pemeliharaan penderita diberi obat antagonis morfin dalam waktu cukup lama. Bila penderita patuh meminum obat natralekson ini dia tak akan merasakan kenikmatan bila mengkonsumsi morfin.

Syarat untuk melakukan detoksifikasi cepat adalah keadaan penderitan harus cukup baik untuk menjalani anestensi. Dalam cari ini juga mengandung resiko dibandingkan dengan cara konvensional yaitu resiko aspirasi dan gangguan jantung. Bila penderita memakai morfin lagi, ia beresiko mengalami over dosis.

Cara lain adalah memberikan obat metadon yang bersifat opiat antagonis. Obat ini diberikan secara oral dan dapat mengembalikan penderita ke kehidupan yang produktif. Karena digunakan secara oral, maka cara ini dapat menghindarkan penderita dari resiko infeksi dan penularan penyakit akibat penggunaan jarum suntik secara bersama. Pemberian metadon popurel di amerika. Sekarang juga digunakan obat LAAM yang hampir serupa dengan metadon, tetapi bermasa kerja panjang sehingga tidak perlu dipakai setiap hari. Tanaman candu berasal dari timur tengah, yunani, romawi kuno. Karena dibawa oleh pendagang, tanaman tersebut menyebar ke timur sampai india dan Cina.

Orang Mesir, Yunani Dan Eropa, mengenal candu untuk bersenang-senang. Tanaman ini telah ribuan tahun dikenal, ada yang mencatat lebih kurang 4000 tahun yang lalu. Ia telah dipergunakan sebagai obat penghilang nyeri selama kurang lebih 2000 tahun.

Penyebaran ke Cina pada abad ke delapan. Semula di Cina dipakai sebagai obat, tetapi setelah ada pelarangan pemakaian tembakau oleh seorang kaisar Cina, dengan maksud membebaskan rakyatnya dari kebiasaan buruk merokok, maka penggemar rokok mengalihkan


(31)

kebiasaan merokok candu, sehingga menjadi lebih parah. Pembesar Cina mengetahui bahayanya pada tahun 1727.

Pemasukan dan pemakaian candu kemudian dilarang. Hukuman berat dijatuhkan kepada pemakain candu seperti dimaksudkan ke penjara bawah tanah, bibir dipotong, dicekik dan sebagainya. Pada abad 19 keadaan berubah, opium tidak lagi diselupkan dari Asia Kecil, Persia, India, tetapi dimaksudkan sebagai obat, sebagai barang dagangan east indies company, yang sebenarnya unuk membekali para pemadat. Dalam melakukan suatu kejahatan terkadang pelakunya tidak sendirian akan tetapi melibatkan orang lain dengan cara berkerjasama yang perananya, karena dalam rangka melaksanakan kejahatan, ada yang bertindak sebagai pelaku dan ada yang bertindak sebagai pembantu masing – masing dengan perkejaan yang tidak sama. Sebagai orang yang membantu kejahatan tidak bertindak langsung melakukan kejahatan, akan tetapi fungsinya hanya memperlancar jalannya pelaksanaan kejahatan.

Adapun perbuatan medeplichting dalam membantu melakukan kejahatan misalnya meminjami peralatan, memberi informasi meskipun ancaman pidana yang menakutkan tersebut kurang atau tidak dipeerhatikan sebagian warga masyarakat. Belakangan ini banyak muncul kasus – kasus psikotropika yang pelakunya baru mengenal psikotropika, hal ini terutama terjadi di daerah. Pelaku mendapat psikotropika tidak banyak hanya satu dua butir saja yang beasal dari kawan, atau ditawari dari seeorang yang tidak dikenal katanya untuk dicoba dulu. Kemudian merekan bukan orang kaya keluarganya juga tidak kaya masalahya bagaimanan harus menerapkan pidana tersebut, kalau memang yang dimiliki itu psiktropika golongan 1, sedang perbuatan pidanya tergolong sederhana dan keadaan ekonominya lemah.

Untuk kasus – kasus yang pelakunya mengusai ekstasi puluhan, ratusan atau bahkan ribuan butir, selain untuk dipakai sendiri juga dijual kepada orang lain, dan pelakunya


(32)

mempunyai uang banyak dari hasil perdangangan itu, sudah dirasa tepat ancaman hukuman pasal 59 ayat 1 diterapkan. Sehubungan dengan ancaman pidana minimal tersebut, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief mengatakan, undang – undang psikotropika tidak memberikan petujuk pelaksanaan tentang bagaimana menerapakan ancaman pidana minimal ini. Berbeda dengan KUHP, di dalamanya terdapat petunjuk pelaksanaan ancaman pidana maksimal, di mana pidana penjara yang dapat dijatuhkan tidak boleh melampaui ancaman maksimal dan minimal pidana pejara satu hari. Selanjutnya beliau menambahkan, ancaman pidana minimal dapat disimpangi manakala hukuman yang dijtuhkan benar – benar memberikan rasa keadilan. Apa dikatakan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief memang benar, tidak petunjuk pelaksanaan maupun penjelasan mengenai penerapan terhadap ancanaman pidana minimal dan maksimal dalam undang - undang psikotropika. Kami juga sependapat, walupaun undang - undang tersebut menentukan batas minimal hukuman, akan tetapi batasan itu bukan harga mati. Masalahnya, hakim dalam tugasnya mengadili suatu pekara bukan sebagai corong dari undang – undang yang hanya menyuarkan bunyi ketentuan undang – undang. Di lain pihak hakim harus memeriksa kebenaran suatu pekara, sedangkan putusannya harus mencerminkan keadilan. Kalau menurut kebenaran dan rasa keadilan suatu kasus psikotropika tersebut hukumnnya di bawah minimal yang ditetapkan undang – undang, maka hakim harus berani menerobos ketentuan undang – undang. Misalnya dalam suatu kasus ada seeorang anak muda yang kerjanya baru beberapa bulan jadi tukang parkir, suatu hari diberi dua butir pil eksetasi gratis dari orang lain. Dalam melakukan suatu kejahatan terkadang pelakunya tidak sendirian akan tetapi melibatkan orang lain dengan cara berkerjasama yang peranannya berbeda. Yang dimaksud berbeda perannya, karena dalam rangka melasanakan kejahatan, ada yang bertindak sebagai pelaku dan ada yang bertindak sebagai pembantu masing-masing dengan perkejaan yang tidak sama. Sebagai orang membantu


(33)

kejahatan, tidak bertindak langsung melakukan kejahatan, akan tetapi fungsinya hanya memperlancar jalannya pelaksanaan kejahatan.

Adapun perbuatan mendeplichting dalam membantu melakukan kejahatan misalnya meminjam peralatan, memberi informasi, menghalang-halangi pengejaran, dan sebagainya. Perbuatan tersebut dilakukan sebelum pada saat kejahatan dilakukan, sebenarnya bukan hanya dalam bentuk manteril, tetapi dalam bentuk moril pun dapat dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan sekongkol atau tadah melanggar pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam pasal 221 KUHP. Dasar hukum orang yang membantu melakukan kejahatan adalah 56 KUHP yang berbunyi barang siapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan.

F. Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode studi kepustakaan, pemilihan metode ini karena penelitian yang telah dilakukan ditujukan untuk mengindentifikasi permasalahan peran remaja dalam penanggulaan narkotika dengan mengacu pada literatur, artikel – artikel dan bacaan antara lain:

1. Sumber Data dalam penulisan ini meliputi:

a. Bahan hukum Primer, yaitu Peraturan Perundang-undagan di bidang Kepegawaian, yakni Undang-undang No. 39 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar Farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai ketentuan dalam Undang-undang ini.


(34)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan Tindak pidana Narkotika

c. Bahan baku tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petujuk dan penjelasan terhadap bahan baku primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.

2. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan penelitian dengan menggambarkan penulusuran kepustakaan yang berupa literature dan dokumen-dokumen yang ada dibantu dengan data yang diperoleh di lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa: a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari nara sumber, yaitu Porles nias

(Polisian Resort Nias) berserta pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini.

b. Data Sekunder, yaitu bahan-bahan kepustakaan hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta dokumen-dokumen dan bahan- bahan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

3. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam tesis ini adalah analisis data kualitatif yaitu berdasarkan peraturan perudang-undangan, pandangan informasi sehingga dapat menjawab


(35)

permasalahan dari penulisan ini. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi dan diterjemahkan dengan metode untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan induktif dan deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini

G. Sistematika Penulisan

Penulisan paper ini telah ditulis secara sistematika dan bisa diuraikan sebagai berikut : 1. Pada bab I berisi Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang, Rumusan Masalah,

Tujuan Dan Manfaat, Metode Penelitian, dan Sistem Penulisan.

2. Pada bab II berisi tentang Faktor – faktor penyebab terjadinya peredaran Narkotika di kota Gunungsitoli, Sejarah terjadinya Tindak Pidana Narkotika, Pengertian Narkotika menurut UU No. 39 Thn 2009, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pengedaran Narkotika.

3. Pada bab III berisi tentang Bentuk – bentuk Tindak Pidana Narkotika yang Dilakukan Oleh Mahasiswa di Kota Gunungsitoli.


(36)

BAB II

FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEREDARAN NARKOTIKA DI KOTA GUNUNGSITOLI

A. Tentang Peredaran narkotika di Gunungsitoli

Seorang yang ada tanda – tanda menjadi pecandu narkoba, sebaiknya cepat – cepat dilakukan usaha- usaha yang maksimal, dengan kata lain deteksi dini sangatlah berguna. Makin cepat seseorang pecandu berobat, tentu makin cepat waktu pemulihannya. Kendalanya justru dekteksi dini. Ketika baru berkenalan dengan narkoba dan pasokannya cukup, gejala – gejala khasnya belum terlihat. Gejala- gejala tersebut baru kelihatan jika pemakai sudah lama menggunakan belum terjadi apa yang di sebut putus obat atau tersedatnya pasokan narkoba. Maka tak heran jika lingkugan keluarga baru mengetahui korban/pemakai narkoba sudah memakainya narkoba selama dua tahun.

Deteksi dini untuk menolong pemakai narkoba untuk tidak sampai tahap yang lebih lanjut, yaitu tahap ketergantugan. Dari perubahan perilaku pemakai narkoba bisa dipakai sebagai alat deteksi secara dini. Misalnya prestasi belajar menurun, pola tidur berubah yakni pagi sulit dibangunkan, malam suka tidur malam secara malam, selera makan rendah, enggan kontak mata atau menghindari dari pertemuan dengan anggota keluarga lainnya sering bersikap kasar, suka berbohong, suka membantah, berani mencuri, berbicara pelo/kelat dan jalanya sempoyongan. Selain itu ada perubahan kebiasaan yang biasanya penuh perhatian terhadap orang tua atau orang dekatnya menjadi acuh tak acuh. Anak suka berlama – lama di WC atau kamar mandi. Karena pemakai narkoba membutuhkan tempat-tempat tersembuyi.

Gejala spesifik baru kelihatan jika kelihatan jika mereka putus obat. Badanya akan terasa sakit, gelisah, kedinginan, menceret atau mual. Jika pasokan narkoba berjalan lancar,


(37)

keanehan baru terlihat selama dua tahun. Efek setiap narkoba berbeda-beda. Seorang yang sudah terlanjur menjadi pecandu narkoba, akibat yang harus di tanggung olehnya sangat komplek. Penyembuhan terhadap dirinya tidak hanya sekedar menghentikan ketergantugan terhadap narkoba. Disamping meliputi terapi komplikasi medik, juga perlu dilakukan rehabilitasi sosial, mental dan emosional, endukasional, spiritual, intelektual dan survival skill yang dimiliki pecandu. Pendek kata untuk merehabilitasi seseorang yang terlajur menjadi pecandu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Tahap ini merupakan pembinaan khusus setelah pemakai narkoba keluar dari panti rehabilitasi perawatan. Hal ini perlu kerja sama antara orang tua, perkerja sosial dan lingkugan dimana pemakai narkoba tinggal. Terapi terhadap kasus penyalagunaan narkoba, dalm kejahatan di bidang psikotropika ada persoalan siapa yang menjadi korban dari kejahatan tersebut. Masalah korban kejahatan dapat menjadi penting dalam suatu perkara pidana, karena korban dapat menjadi saksi didepan persidangan pengadilan, untuk memberi keterangan apa saja yang dialami sendiri, korban kejahatan adalah orang yang mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, karena ia yang memperoleh akibat langsung dari peristiwa tersebut berupa penderitaan fisik atau kerugiaan harta benda. Oleh karena itu pasal 160 ayat 1 huruf KUHAP menetapkan, yang pertama didengar keterangannya di persidagan adalah korban yang menjadi saksi. Meskipun demikian tidak semua korban melihat kejadiannya, ada kemungkinan pada waktu kejadian berlangsung korban berada di tempat lain, seperti dalam peristiwa pencurian pada waktu kejadian teryata korban tidak ada dirumahnya karena sedang pergi ke luar kota.

Bagaimana halnya dengan korban kejahatan di bidang psikotropika ada sementara orang yang mengatakan korban kejahatan ini tidak ada. Apakah benar pendapat ini, karena masih perlu dicari adakah orang yang menderita atau pihak yang merasa dirugikan akibat kejahatan tersebut.


(38)

Untuk itu kiranya perlu diperhatikan kembali dari pembahasan yang lalu, bahwa di bidang psikotropika teerdapat kejahatan yang menyangkut produksi , peredaraan , ekspor dan impor, transito. Kejahatan – kejahatan seperti itu jelas ada pihak yang dirugikan, dalam hal ini adalah negara karena tidak membayar pajak, otomatis mengurangi pemasuakan keungan negara. Kemudian masih ada kejahatan di bidang psikotropika yang menyangkut label dan kemasan, pengobatan dan rehabilitasi, disini yang menjadi korban adalah pasien adapun kejahatan yang berbentuk penyalgunaan atau pemakain psikotropika adalah pelakunya sendiri.

Pelaku sekaligus menjadi korban kejahatan. Oleh karena dalam pekara psikotropika yang kasusnya menyangkut persoalan pemilikan maupun penggunaan psikotropika, yang didengar keterangannya sebagai saksi pertama di persindangan buku korban, pada umumnya petugas yang melakukan penangkapan, karena korban adalah yang menjadi terdakwa. Salah satu perbuatan dalm tindak pidana di bidang psikotropika adalah kejahatan dilakukan secara terorganisasi.

Hal ini diatur dalam pasal 59 ayat 2 undang – undang psikotropika yang merupakan unsur terpenting untuk dapat mengenakan hukuman terhadap dan terbatas kepada perbuatan – perbuatan menggunakan, memproduksi mengedarkan, maupun tanpa hak memiliki, menyimpan atau membawa psikotropika golongan I tersebut. Meskipun demikian untuk mengatakan bahwa kejahatan itu dilakukan secara terorganisasi tampaknya memang tidak mudah. Karena yang disebut terorganisasi ternyata di dalam undang – undang psikotropika tidak ada pengertian, sehingga mempengaruhi penerapan pasal 59 ayat 2 undang – undang tersebut. Undang – undang narkotika ternyata telah memberikan batasan terorganisasi, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal 78 ayat 3 menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan dilakukan secara


(39)

terorganisasi adalah Tindak Pidana Narkotika tersebut dilakukan oleh sekelompok orang, secara rapi, tertib, dan rahasia serta mempunyai jaringan nasional dan internasional.

Pengertian terorganisasi sangat jelas dan mudah diterapkan dalam pelaksanaanya. Dengan adanya pengertian tersebut maka tidak akan kesulitan jika terjadi pelanggaran undang – undang narkotika untuk menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan secara terorganisasi atau tidak, sehingga terdapat kepastian hukum. Undang – undang psikotropika lahirnya lebih dulu daripada undang – undang narkotika karena undang – undang psikotropika diundangkan pada tanggal 11 maret 1997 sedangkan undang – undang narkotika diundangkan pada tanggal 1 september 1997. Tetapi tampakanya para pembentuk undang – undang lupa memberi penjelasan tentang perbuatan terorganisasi dalam undang – undang psikotropika, padahal kedua undang – undang tersebut pembentuknya merupakan satu paket karena keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menanggulangi penyalahgunaan segala bentuk obat – obatan yang akan merusak diri seeorang. Untuk dapat menerapakan pasal 59 ayat 2 undang – undang psikotropika memang perlu batasan yang jelas tentang perbuatan terorganisasi, supaya hakim tidak keliru menerapkan hukum adalah dalam menjalankan tugasnya ketika mengadili perkara kejahatan psikotropika.

Perkara pidana pelanggaran undang – undang psikotropika yang pernah diadili di pengadilan negeri tangerang tahun 2003, antara lain perkara ang kim soei yang didakwa melakukan perbuatan memproduksi dan mengedarkan ekstasi secara terorganisasi. Perkara ini ternyata telah menggunakan batasan terorganisasi di dalam pertimbagan putusannya dengan meminjam batasan terorganisasi di dalam undang – undang narkotika, dengan alasan undang – undang psikotropika dan undang – undang narkotika mempunyai maksud dan tujuan yang sama.


(40)

Sehingga tidak alasan untuk tidak menghukum walaupun undang – undang psikotropika tidak memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan terorganisasi.

Dalam tingkat banding maupun tingkat kasasi, ternyata masalah pertimbangan tentang batasan terorganisasi tidak dipersoalkan oleh pengadilan tinggi dan mahkamah agung. Meskipun ini merupakan putusan pengadilan pengadilan, bukan berarti masalah batasan itu merupakan persoalan yang selesai begitu aja karena sudah ada didalam praktik. Hakim memang mempunyai kewenangan untuk mengisi kekosongan hukum apabila dalam undang – undang ketentuannya tidak jelas, tetapi putusan hakim hanya mengikat pihak yang diadili saja.

Putusan hakim di negara kita tidak mengikat kepada hakim lain, karena walaupun kasusnya sama belum tentu mempunyai pertimbangan sama dengan putusan – putusan yang lebih dahulu dijatuhkan. Suatu saat, apabila undang – undang psikotropika ini mengalami perubahan atau diganti, kiranya pembentuk undang –undang dapat lebih teliti dalam memberikan pengertian terhadap istilah yang tergolong sangat penting dalam hubunganya dengan penjatuhan hukuman. Dalam KUHP penjatuhan dua hukuman pokok tidak dimungkinkan, sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda, atau pidana seumur hidup dan pidana penjara KUHP hanya menghendaki salah satu hukuman pokok saja.

Berbeda dengan kejahatan – kejahatan di luar KUHP, sebagi tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok sekaligus, pada umumnya hukuman badan pidana denda. Hukuman badan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuanya agar pemindanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di masyarakat, karena tindak pidana di luar KUHP sifatnya sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara. Undang – undang psikotropika memang mengatur hukuman kumulatif, sehingga hakim berwenang menjatuhkan dua hukuman pokok yang berupa hukuman


(41)

pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara dan pidana denda. Sebagaimana telah diketahui dalam bab 1 diatas, bahwa penyalagunaan psikotropika berakibat rusak masyarakat, bangsa dan negara indonesia.

Ketentuan yang menyangkut penjatuhan hukuman kumulatif tersebut terdapat pada pasal 59 ayat 2 undang – undang psikotropika dengan syarat kejahatan itu dilakukan secara terorganisasi pada perbuatan memproduksi, mengedarkan, menggunakan, mengimpor, maupun tanpa hak memiliki, menyimpan, membawa psikotropika golongan 1. Dalam pasal 59 ayat 2 tersebut telah ditentukan antara pidana badan dengan pidana denda terdapat kata dan sehingga bagi hakim tidak ada alasan untuk menjatuhkan salah satu hukuman saja, harus kedua – keduanya hakim terikat pada ketentuan tersebut untuk melasanakannya pada pekara yang ditanganinya.

Permasalahnya apabila seorang terdakwa dalam perkara psikotropika dihukum dengan pidana mati, apakah masih mungkin dijatuhi pidana denda ada seorang jaksa penuntut umum pernah mempertanyakan, bagaimana eksekusi pidana denda kalau terdakwa telah di hukum mati. Dengan kata lain bagaimana mungkin terdakwa yang sudah mati harus ditagih untuk membayar denda untuk pemindanaanya tentu tidak ada masalah, berdasarkan pasal 59 ayat 2 tersebut hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana mati dan pidana denda. Sedangkan mengenai pelaksanaanya harus dipertimbangkan bahwa sebaiknya jangan dulu eksekusi pidana mati baru eksekusi pidana denda, akan tetapi eksekusi pidana denda kemudian eksekusi pidana mati, supaya pidana denda dapat dibayar oleh terpidana.

Pada umunya pidana denda diberi alternatif oleh hakim sesuai KUHP, apabila pidana denda itu tidak dibayar oleh terpidana maka diganti dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. Dalam prkatiknya hal tersebut ternyata berpengaruh, kejaksaan selaku pelaksana putusan


(42)

hakim dalam mengeksekusi pidana denda hanya bertanya kepada terpidana tentang kesanggupan memenuhi keputusan. Apabila tidak sanggup membayar atau menolak membayar, tinggal mengganti dengan memasukan terpidana kurungan.

Kebanyakan para terpidana lebih memiliki pidana kurungan daripada membayar denda. Dengan memilih masuk kurungan, menganggap denda yang wajib dibayar sudah lunas, padahal besarnya denda puluhan juta, ratusan juta atau bahkana miliaran rupiah. Apabila dikaji kembali, maksud dan tujuan penjatuhan pidana denda adalah untuk bukan sekedar untuk dinganti dengan kurungan. Seharusnya pihak eksekutor dalam melakukan eksekusi pidana denda bersikap gigih agar terpidana bersedia membayar.

Kejaksaan perlu menyelidiki harta kekayaan yang dimiliki oleh terpidana, kalau terpidana memang mempunyai harta untuk dapat digunakan sebagai pembayaran pidana denda, mengapa dengan menolak membayar harus dikurung, bukankah terpidana disuruh menjual dulu harta kekayaannya. Pidana denda bila dibayar merupakan pemasukan negara. Apabila para terpidana yang dihukum pidana denda mau membayar, akan banyak pemasukan negara dari hukuman pidana tersebut. Dalam hukuman acara pidana KUHP memang terdapat kelemahan dalam mengeksekusi pidana denda karena apabila terpidana menolak membayar pidana denda, kejaksanaan tidak dapat berbuat apa – apa kecuali mengganti dengan pidana kurungan. Kelemahan KUHP terletak pada tidak dikenalnya sita eksekusi dalam perkara pidana.

Kejaksanaan tidak memiliki wewenang untuk melakukan sita meskipun hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa untuk membayar sejumlah uang. Sita setelah adanya putusan hakim tidak ada. Sita hanya dikenal pada waktu tingkat penyidikan, yang tujuanya untuk memperoleh barang bukti saja. Sedangkan sita tidak pernah diperhitungkan. Sebagai undang-undang khusus, ternyata undang-undang-undang-undang psikotropika juga tidak mengenal sita eksekusi.


(43)

Satu-satunya undang-undang tindak pidana korupsi yang baru. Hak oportunitas memang memiliki oleh jaksa agung, namun selama ini hanya untuk mendeponeer perkara saja karena adan hubungannya dengan kepetingan negera. Sebenarnya hak oportunitas tersebut di perluas bukan hanya deponeer perkara saja, melainkan wewenang pada saat selesai perkara atau setelah ada putusan hakim, misalnya hak oportunitas yang menyangkut pembayaran pidana denda. Karena undang-undang tidak mengatur sita eksekusi, berdasarkan hak oportunitas hemat kami jaksa agung dapat memerintah bawahanya untuk melakukan sita eksekusi guna pembayaran pidana denda.

Tentu tindakan jaksa agung tersebut dapat dipertanggung jawabkan kepada hukum, karena untuk kepetingan negara. Kembali kepada masalah semula tentang hukuman kumulatif pidana mati dan pidana mati dan pidana denda. Dalam perkara pidana psikotropika dengan terdakwa hanya dijatuhi hukuman pidana mati saja tanpa pidana denda meskipun terbukti melakukan penggaran pasal 59 ayat 2 undang-undang psikotropika dengan pertimbagan karena sudah dipidana mati sehingga tidak perlu lagi ada hukuman denda. Di tingkat banding maupun tingkat kasasi terdakwa tersebut dihukum secara kumulatif, dengan pidana mati dan pidana denda sejalan dengan ketentuan pasal tersebut.

B. Teori-teori penyebab terjadinya Kejahatan

Pertama kali psikotropika diatur dalam staatsblad 1949 nomor 419 tanggal 22 Desember 1949 tentang sterkwerkendegeneesmiddelen ordonantien yang kemudian diterjemahkan dengan ordonans obat keras. Jadi pertama kali psikotropika tidak diatur tersendiri tetapi masih disatuhkan dengan bahan baku obat atau obat jadi lainnya yang termasuk obat keras.


(44)

Pada tanggal 2 april 1985 keluar peraturan menteri kesehatan RI nomor 213/Men.kes/per.IV/1985 tentang obat keras tertentu. Peraturan menteri kesehatan RI nomor 983/A/SK/1971 dan keputusan menteri kesehatan RI nomor 10381/A/SK/1972. Dalam peraturan yang mengenai obat kerasME tertentu tersebut, terdapat obat –obat yang disebutkan dalam lampiran I antara lain ETISIKLIDIA, FENMETRAZIN, LISERGIDA dan PSILOSIBIN yang dilarang untuk di impor, diproduksi, didistribusikan, menyimpan dan mengunakan. Sedangkan dalam lampiran II terdapat antara lain phenobarbital dan benzodieazepin serta turunannya yang didalamya hal mengimpor, memproduksi serta mendistribusikan diatur secara ketat, diawasi serta harus dilaporkan. Kemudian pada tanggal 8 feburuai 1993 dikeluarkan lagi peraturan menteri kesehatan RI nomor 124/Men.Kes/per/II/1993 tentang obat keras tertentu yang merupakan perbaikan serta penambahan peraturan menteri kesehatan RI terdahulu.

Dalam peraturan tersebut juga dilampiri lampiran I dan II, tetapi belum mencamtumkan ketentuan pidana. Baru kemudian pada tanggal 11 maret 1997, UU No. 5/Th. 1997 tentang psikotropika diundangkan. Sebelum kelahiran UU No. 5/Th. 1997 tidak ada ketegasan dari segi hukum pidana mengenai tindak pidana psikotropika. Pada waktu itu putusan-putusan badan peradilan terhadap kasus-kasus psikotropika berdasarkan peraturan menteri kesehatan dianggap kurang kuat, sebagai dasar hukum dari sisi hukum pidana.

Hal tersebut sangat disayangkan, mengapa UU No. 5/Th. 1997 tentang psikotropika sangat lambat untuk dibuat. Padahal dunia internasional telah lama mengambil langkah mengawasi psikotropika dengan dua konversi tersebut sebenarnya telah terbuka bagi indonesia untuk mengakui dan merativikasi konversi tersebut serta melakukan kerjasama penanggulangan, penyalagunaan dan pemberantasan peredaran gelap psikotropika baik secara bilateral maupun multilateral.


(45)

Dalam undang- undang psikotropika juga mengatur secara khusus ketentuan pidana sebagaimana ditetapakan pada XIV pasal 59 sampai pasal 72. Ketentuan tersebut merupakan lex specialis derogat lex generalis dari kitab undang- undang hukum pidana oleh terhadap kejadian – kejadian yang menyangkut tindak pidana di bidang psikoropika harus ditetapakan ketentuan – ketetuan pidana dalam undang –undang no 5 tahun 1997 dengan mengesampingkan KUHP, kecuali yang belum ada aturanya.

Perbuatan- perbuatan yang diancama dengan hukuman pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 66, seluruhnya merupakan delik kejahatan psikoropika adalah obat yang mempegaruhi susunan saraf pusat yang menyebabakan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku, dan berpotensi mengakibatkan sindroma ketergantugan.

Penggunaan psikotropika harus dilakukan secara benar dalam rangka pengobatan, sehingga apabila dipakai secara bebas mengakibatkan penderitaan suatu penyakit dan ketagihan ingin selalu menggunakan psikotropika. Tindak pidana di bidang psikotropika antara lain berupa perbuatan – perbuatan seperti memproduksi, atau mengedasarkan secara gelap, maupun penyalgunaan psikotropika, merupakan perbuatan yang merugikan masyrakat dan negara. pemproduksi dan mengedarkan secara liar psikotropika pada akhirnya akan dikonsumsi oleh orang lain.

Orang yang mengkonsumsi dengan bebas akan menjadi sakit. Kalau yang memakai psikotropika yang demikian ini jumlahnya banyak, maka masyrakat menjadi tidak sehat karena penyakitan. Kemudian produksi dan peredaraannya menyangkut transaksi jual beli yang mendatangkan keuntugan, akan tetapi karena transaksinya gelap tidak ada penarikan pajakanya, sehingga negara dirugikan. Di situlah letak persoalanaya mengapa tindak pidana di pidana psikotropika digolongkan sebagai delik kejahatan. Dilihat dari akibat kejahatan tersebut,


(46)

pengaruhnya sangat merugikan bagi bangsa dan negara, dapat menggoyahkan ketahanan nasional, karena itu terhadap pelakunya diacam dengan pidana yang tinggi dan berat, yaitu maksimal pidana mati dan ditambah pidana denda paling banyak Rp 5 M tujuanya agar orang akan melakukan perbuatan pidana di bidang psikotropika mengurungkan niatnya, sebab mereka akan menderita kalau benar – benar terkena hukuman tersebut. Sudah masuk penjara, masih wajib membayar denda yang mahal lagi. Akan tetapi masalahnya apakah cukup efektif ancaman pidana yang sifatnya menakutkan mampu menekan jumlah kejahatan psikotropika.

Dalam melakukan suatu kejahatan terkadang pelakunya tidak sendirian akan tetapi melibatkan orang lain dengan cara berkerjasama yang perananaya, karena dalam rangka melaksanakan kejahatan, ada yang bertindak sebagai pelaku dan ada yang bertindak sebagai pembantu masing – masing dengan perkejaan yang tidak sama. Sebagai orang yang membantu kejahatan tidak bertindak langsung melakukan kejahatan, akan tetapi. Psikotropika yang dapat diproduksi oleh pabrik obat dapat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketetuan perundagan-undangan yang berlaku pasal 5. Pengertian produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk psikotropika. Sedangkan pengertian pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari menteri untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk psikotropika. Di dalam dunia farmasi, sewaktu memproduksi obat harus memenuhi standar teknis tertentu yang diharuskan oleh buku farmakope. Setiap negara biasanya mempunyai farmakope sendiri yang dikeluarkan oleh departemen yang mengurusi bidang kesehatan. Demikian juga di indonesia, saat ini sudah mengeluarkan buku farmakope Indonesia farmakope indonesia pertama kali di keluarkan pada tahun 1962 dan tahun 1972 , pada tahun 1979 dan kemudian tahun 1996 telah diterbitkan edisi IV. Disamping itu pada tahun 1974 telah diterbitkan


(47)

ekstra farmakope 1974. Di dalam dunia internasional world health organization pada tahun 1956 telah mengeluarkan farmakope internasional. Farmakope yang terkenal adalah farmakope negara inggris, yang sering juga diacu oleh indonesia. Farmakope tersebut disebut dengan british phamacopoeia. Jika tidak ada di dalam farmakope indonesia dipakai standar teknis farmakope tersebut.

Ancaman terhadap barang siapa yang memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam pasal 5 diancam dengan ketentuan pidana pasal 60 ayat 1 huruf a UU No. 5/Th. 1997. Untuk mengedarkan psikotropika yang telah diproduksi berupa obat, harus memenuhi standar dan/atau peryaratan farmakope indonesia atau buku standart lainnya pasal 7. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan pidana yang diatur dalam pasal 60 ayat 1 huruf b UU No. 5/Th. 1997. Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan. Pengertian peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkain kegiatan penyaluran atau penyerahan psikotropika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemidahan tanganan pasal 1 angka 5. Sedangkan perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkain kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan, termasuk penawaran atau untuk menjual psikotropika, dan kegiatan lain berkenaan dengan pemindahan tanganan psikotropika dengan memperoleh imbalan pasal 1 angka 6.

Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar terlebih dahulu pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dalam hal ini departemen kesehatan pasal 9. Untuk itu menteri menetapkan syarat-syarat dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat. Terhadap psikotropika yang tidak didaftarkan terlebih dahulu, lalu diedarkan diancam dengan ketentuan pasal 60 ayat 1 UU No. 5 T/h. 199. Demikian juga terhadap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika wajib dilengkapi dengan dokumen


(48)

pengangkutan psikotropika. Pengertian pengangkutan adalah setiap atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan psikotropika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara, modal, atau sarana angkutan apapun, dalam rangka produksi dan peredaran pasal 1 angka 8. Sedangkan pergertian dokumen pengangkutan adalah surat jalan dan/atau faktur yang memuat keterangan tentang indentitas pengirim, dan penerima, bentuk, jenis, dan jumlah psikotropika yang diangkut.dokumen tersebut dibuat oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah atau apotik yang mengirimkan psikotropika tersebut pasal 10.

Jika ketentuan yang diatur dalam pasal 10 tersebut dilanggar, maka pelakunya diancam dengan ketentuan pasal 63 ayat1 UU No.5/Th. 1997. Penyerahan psikotropika diatur dalam pasal 12 dan 13 UU No. 5/Th. 1997. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah. Pengertian pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari menteri untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan pasal 1 angka 7 . Sedangkan pengertian lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan adalah lembaga yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan penelitian dan menggunakan psikotropika dalam penelitian, pengembagan, pendidikan, atau pengajaran dan telah mendapat persetujuan dari menteri dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan pasal 1 angka 12. Pola –pola penyaluran tersebut terdapat di pola-pola tersebut sudah dibakukan seperti yang ditentukan di atas.

Apabila pola-pola penyaluran tersebut disampingi, bagi penyalur diancam pidana menurut pasal 60 ayat 2 UU No. 5/Th. 1997, pasal 60 ayat 3 UU No. 5/Th. 1997. Penyerahan psikotropika diatur dalam pasal 14 dan 15. Penyerahan psikotropika hanya dapat dilakukan oleh


(49)

rumah sakit, apotik, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter pasal 14 ayat 1. Di dalam pelaksanaan eksepor dan impor psikotropika tunduk pada UU No. 10/Th. 1995 tentang kepabeanan dan perundang-undang lainnya. Pada dasarnya ekspor dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar faramsi, yang telah memiliki izin. Sedangkan untuk impor psikotropika disamping oleh pabrik obat dan PBF, juga dapat dilakukan oleh lembaga penelitian atau lembaga pendidikan. Hanya saja untuk lembaga penelitian atau lembaga pendidikan dilarang mengedarkan psikotropika yang di impor pasal 16. Penyimpangan terhadap ekspor dan impor dari ketentuan tersebut, merupakan tindak pidana yang diancam dalam pasal 61 ayat 1 UU No. 5/Th. 1997.

Para eksportirdan importir psikotropika, setiap kali melakukan kegiatan ekspor atau impor psikotropika, harus memiliki surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor pasal 17 dari menteri kesehatan pasal 18. Baik eksportir maupun importir yang melalaikan kewajiban tersebut dapat dikenai pidana berdasarkan pasal 61 ayat 1 UU No. 5/Th. 1997. Dalam hal pengangkutan dalam rangka ekspor dan impor wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan dari pemerintah negara pengekspor pasal 21. Untuk selanjutnya orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor tersebut wajib memberikan kedua surat tersebut kepada penanggung jawab pengangkut pasal 22 ayat 2. Penyimpangan terhadap kewajiban yang telah ditentukan oleh pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 diancam pidana seperti yang ditentukan dalam pasal 61 ayat 2 UU No. 5/Th. 1997. Kemudian penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika wajib memberi dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat-surat persetujuan ekspor dan menteri, surat-surat persetujuan impor psikotropika dari pemerintah negara pengimpor pasal 22 ayat 3.


(1)

peredaran narkotika di Kota Gunungsitoli, bekerjasama dengan Pemerintah Kota Gunungsitoli dalam rangka penyuluhan bagi anak-anak sekolah dan mahasiswa di Kota Gunungsitoli.

Upaya pemberantasan Tindak Pidana Narkotika lainnya adalah menelusuri jaringan peredaran narkotika. Hal ini dijelaskan oleh Kasatpol Bidang Narkoba yang menyampaikan bahwa jaringa peredaran narkotika di Kota Gunungsitoli sangatlah sulit karena masih terdapat masyarakat yang mau menyembunyikan jaringan narkotika ini jika salah satu pemakainya adalah saudara mereka atau kerabat/teman terdekat mereka. Sifat toleransi tinggi sesama suku masih terdapat di Kota Gunungsitoli, sehingga banyak yang ingin menempuh jalur kekeluargaan atau dikembalikan kepada orangtua untuk di didik kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan pertumbuhan si anak itu sendiri.

Jaringan lain terdapat di tempat kos anak mahasiswa. Tidak terlalu memberi dampak yang baik karena adanya informasi lebih dulu sampai pada anak mahasiswa, sehingga tidak didapat ketika razia dilakukan dan tak jarang juga penggerebekan berhasil dilakukan jika pihak kepolisian serius untuk menanganinya.

Upaya pemberantasan Tindak Pidana Narkotika di Kota Gunungsitoli belum terlalu efektif dilakukan. Hal ini disebabkan kurangnya sarana dan prasarana serta fasilitas yang terdapat di Kota Gunungsitoli. Di Bandara Binaka, tidak dilengkapi dengan alat pendeteksi barang (x-ray) sehingga tidak dapat mencurigai isi dari tas-tas ataupun barang bawaan dari para penumpang pesawat yang berangkat ataupun pulang ke Kota Gunungsitoli. Namun, kepolisian tetap menempatkan beberapa polisi yang berpakaian preman (bebas) untuk tetap memberikan rasa aman kepada masyarakat dan tetap memperhatikan tiap-tiap penumpang yang terlihat mencurigakan masuk ke daerah Kota Gunungsitoli.


(2)

Ketika ditanyakan kepada seorang mahasiswa tentang bagaimana pendapatnya terhadap upaya kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana narkotika, mahasiswa yang bernama John Fisher Sihura menyatakan bahwa kepolisian sudan melaksanakan peranannya dengan baik. Namun, masih banyak kendala dimana dalam pengedaran narkotika memiliki banyak akal-akalan untuk mengelabui polisi untuk melakukan razia. Tindakan nyata yang dapat dijelaskannya adalah melakukan razia pada tempat-tempat hiburan atau daerah-daerah yang terindikasi adanya kegiatan mengkonsumsi narkoba maupun transaksi narkoba dan memberikan hukuman yang setimpal bagi oknum yang terjerat tindak pidana narkoba.

Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika di Kota Gunungsitoli tidak terlalu banyak dilakukan karena kasus-kasus yang terjadi tidak terlalu banyak pula dan hanya sebatas pada pelaksanaan razia oleh petugas dari kepolisian. Kota Gunungsitoli yang secara geografis dikelilingi oleh lautan, sangatlah meminimalisir terjadinya tersangka dapat melarikan diri dari kejaran pihak kepolisian. Adanya kerjasama dengan masyarakat dan penduduk sekitar yang dapat memberikan informasi penting tentang wilayah-wilayah yang sangat rawan dengan tindak kejahatan akan sangat membantu petugas/ polisi dalam menangkap si pelaku baik pemakai maupun pengedar narkotika.

Upaya pemberantasan Tindak Pidana Narkotika sangat penting dilaksanakan di Kota Gunungsitoli, mengingat bahwa Kota Gunungsitoli masih merupakan daerah otonom baru yang masih belum banyak memiliki pengalaman diberbagai aspek kehidupan manusia. Mulai dari pendidikan secara formal bagi anak-anak sekolah hanya sedikit saja yang memiliki pengetahuan tentang bahaya dari narkoba dan mahasiswa diperguruan tinggi hanya terbatas pada himbauan dan peringatan yang disampaikan pada setiap sosialisasi ataupun pengumuman yang ditempel di


(3)

Pihak Kepolisian Resort Nias telah memberikan peringatan berupa papan reklame yang berisi tentang efek dari penggunaan narkoba serta akibat yang akan ditanggung oleh si pengguna itu sendiri. Pemberian himbauan dalam bahasa Nias yang bisa dimengerti dan dipahami oleh masyarakat, sehingga diharapkan mampu memberi pengertian kepada masyarakat yang berada di Pulau Nias.

Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya. Adapun rehabilitasinya dilaksanakan pada fasilitas tersebut yang diselenggarakan pemerintah atau masyarakat ada dua macam yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitas sosial.

Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan medis dan social agar pengguna prikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin. Penderita disini selain diberi pengobatan secara medis juga diberi perhatian akan kepercayaan dirinya seupaya sehat dan kembali seperti semula.

Rehabilitasi social adalah suatu proses kegiatan pemulihan dan pengembangan baik fisik, mental maupun social agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat melaksanakan fungsi social optimal dalam kehidupan masyarakat. Pasien dipulihkan kemampuan fisiknya, mentalnya dibina seperti diber ceramah agama, pemahaman tentang obat-obatan terlarang dan sebagainya, kegiatan social dalam lingkungan terbatas misalnya diikutsertakan dalam melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang bersangkutan, sehingga dari kegiatan-kegiatan tersebut dapat dijadikan bekal untuk berhubungan dengan kehidupan masyarakat setelah selesai menjalankan rehabilitasi.


(4)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penyalahgunaan narkotika terjadi disebabkan karena berbagai factor di antaranya adalah kepribadian , kecemasan, depresi dan kondisi keluarga. Akibat dari beberapa factor tersebut banyak orang yang terpengaruh untuk memakai narkoba, baik di kalangan orang dewasa bahkan anak-anak pun tidak luput dari ancaman bahaya narkoba. Penyebaran narkoba di Kota Gunungsitoli mulai bermunculan dari berbagai kasus-kasus yang terjadi. Beberapa factor yg dikemukakan di atas dapat dijadikan sebagai factor utama penyebaran narkoba di Kota Gunungsitoli. Kurangnya pengawasan pihak sekolah, keluarga dan aparat keamanan juga menjadi salah satu pemicu adanya penyebaran dan pemakaian narkoba di kalangan anak sekolah dan mahasiswa.

2. Berbagai bentuk kasus yang terjadi mulai dari penangkapan mahasiswa yang terkena razia polisi, dan mahasiswa yang pesta sabu-sabu di kamar kos mereka masing-masing. Hal ini membuat Kepolisian di Kota Gunungsitoli memberikan solusi bagi si pemakai narkoba, yaitu memasukkan mereka di pusat rehabilitasi di Kota Gunungsitoli dan Kepolisian juga berupaya untuk memberantas dan memberikan berbagai himbauan kepada masyarakat tentang bahaya dari penggunaan narkoba itu sendiri.

B. Saran


(5)

mengawasi peredaran narkoba bagi mahasiswa dan anak-anak sekolah. Oleh karena itu disarankan agar sosialisasi tentang bahaya penggunaan narkoba lebih banyak diterapkan bagi anak sekolah dan mahasiswa dan pihak kepolisian untuk tetap menjalankan razia ditiap-tiap tempat di Kota Gunungsitoli sehingga dapat mempersempit perluasan penyebaran tindak pidana narkotika di Kota Gunungsitoli.

2. Kasus yang terjadi di masyarakat Kota Gunungsitoli agar lebih transparan kepada masyarakat sehingga jika masyarakat dapat melihat langsung contoh dari beberapa kasus maka akan memberikan dampak efek jera bagi masyarakat untuk tidak pernah lagi menggunakan narkoba.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Supramono, Gatut, Hukum Narkoba Indonesia, penerbit Djambatan, Jarkarta, 2004 Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jarkarta 2010

Adi, Kusno, Kebijakan Kriminal dalam Penangulangan Tindak Pidana Narkotika, oleh anak, UMM Press, Malang, 2009.

Astuti, Mode Sadhi, Pemindahaan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP Malang, 1997.

Atmasasmita, Romli, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra aditya Bakti, Bandung, 1997.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Radjawali Press, Jakarta, 1985.

Utrecht E, hukum pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986.

Ma’soem, Sumarmo, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan ketergantugan obat, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1987

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984.

Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam hukum Pidana, Mandar maju, Jember, 2003 Nanizar Zaman, yoenoes, Impikasi Undang-undang Psikotropika pada pengabdian profesi apoteker, Fakultas Farmasi Unair, dan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Surabaya, 1997

Lestari, Pudji, Penyalagunaan Narkotika dan Psikotropika Aspek medik dan pelaksanaan, tanpa penerbit, 1999

Dewi, RS. Hargianto, Penanggulagan Ketergantugan obat Narkotika pada Remaja, tanpa penerbit, 1999

Soedjono Dirjosiswono, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, Cet. I. 1987

Sugiayatono, Psikotropika Narkotika Tinjauan dari Aspek Kefarmasi dan upaya Penanggulan, makala, 1999.