Teori-teori penyebab terjadinya Kejahatan

satunya undang-undang tindak pidana korupsi yang baru. Hak oportunitas memang memiliki oleh jaksa agung, namun selama ini hanya untuk mendeponeer perkara saja karena adan hubungannya dengan kepetingan negera. Sebenarnya hak oportunitas tersebut di perluas bukan hanya deponeer perkara saja, melainkan wewenang pada saat selesai perkara atau setelah ada putusan hakim, misalnya hak oportunitas yang menyangkut pembayaran pidana denda. Karena undang-undang tidak mengatur sita eksekusi, berdasarkan hak oportunitas hemat kami jaksa agung dapat memerintah bawahanya untuk melakukan sita eksekusi guna pembayaran pidana denda. Tentu tindakan jaksa agung tersebut dapat dipertanggung jawabkan kepada hukum, karena untuk kepetingan negara. Kembali kepada masalah semula tentang hukuman kumulatif pidana mati dan pidana mati dan pidana denda. Dalam perkara pidana psikotropika dengan terdakwa hanya dijatuhi hukuman pidana mati saja tanpa pidana denda meskipun terbukti melakukan penggaran pasal 59 ayat 2 undang-undang psikotropika dengan pertimbagan karena sudah dipidana mati sehingga tidak perlu lagi ada hukuman denda. Di tingkat banding maupun tingkat kasasi terdakwa tersebut dihukum secara kumulatif, dengan pidana mati dan pidana denda sejalan dengan ketentuan pasal tersebut.

B. Teori-teori penyebab terjadinya Kejahatan

Pertama kali psikotropika diatur dalam staatsblad 1949 nomor 419 tanggal 22 Desember 1949 tentang sterkwerkendegeneesmiddelen ordonantien yang kemudian diterjemahkan dengan ordonans obat keras. Jadi pertama kali psikotropika tidak diatur tersendiri tetapi masih disatuhkan dengan bahan baku obat atau obat jadi lainnya yang termasuk obat keras. Universitas Sumatera Utara Pada tanggal 2 april 1985 keluar peraturan menteri kesehatan RI nomor 213Men.kesper.IV1985 tentang obat keras tertentu. Peraturan menteri kesehatan RI nomor 983ASK1971 dan keputusan menteri kesehatan RI nomor 10381ASK1972. Dalam peraturan yang mengenai obat kerasME tertentu tersebut, terdapat obat –obat yang disebutkan dalam lampiran I antara lain ETISIKLIDIA, FENMETRAZIN, LISERGIDA dan PSILOSIBIN yang dilarang untuk di impor, diproduksi, didistribusikan, menyimpan dan mengunakan. Sedangkan dalam lampiran II terdapat antara lain phenobarbital dan benzodieazepin serta turunannya yang didalamya hal mengimpor, memproduksi serta mendistribusikan diatur secara ketat, diawasi serta harus dilaporkan. Kemudian pada tanggal 8 feburuai 1993 dikeluarkan lagi peraturan menteri kesehatan RI nomor 124Men.KesperII1993 tentang obat keras tertentu yang merupakan perbaikan serta penambahan peraturan menteri kesehatan RI terdahulu. Dalam peraturan tersebut juga dilampiri lampiran I dan II, tetapi belum mencamtumkan ketentuan pidana. Baru kemudian pada tanggal 11 maret 1997, UU No. 5Th. 1997 tentang psikotropika diundangkan. Sebelum kelahiran UU No. 5Th. 1997 tidak ada ketegasan dari segi hukum pidana mengenai tindak pidana psikotropika. Pada waktu itu putusan-putusan badan peradilan terhadap kasus-kasus psikotropika berdasarkan peraturan menteri kesehatan dianggap kurang kuat, sebagai dasar hukum dari sisi hukum pidana. Hal tersebut sangat disayangkan, mengapa UU No. 5Th. 1997 tentang psikotropika sangat lambat untuk dibuat. Padahal dunia internasional telah lama mengambil langkah mengawasi psikotropika dengan dua konversi tersebut sebenarnya telah terbuka bagi indonesia untuk mengakui dan merativikasi konversi tersebut serta melakukan kerjasama penanggulangan, penyalagunaan dan pemberantasan peredaran gelap psikotropika baik secara bilateral maupun multilateral. Universitas Sumatera Utara Dalam undang- undang psikotropika juga mengatur secara khusus ketentuan pidana sebagaimana ditetapakan pada XIV pasal 59 sampai pasal 72. Ketentuan tersebut merupakan lex specialis derogat lex generalis dari kitab undang- undang hukum pidana oleh terhadap kejadian – kejadian yang menyangkut tindak pidana di bidang psikoropika harus ditetapakan ketentuan – ketetuan pidana dalam undang –undang no 5 tahun 1997 dengan mengesampingkan KUHP, kecuali yang belum ada aturanya. Perbuatan- perbuatan yang diancama dengan hukuman pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 66, seluruhnya merupakan delik kejahatan psikoropika adalah obat yang mempegaruhi susunan saraf pusat yang menyebabakan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku, dan berpotensi mengakibatkan sindroma ketergantugan. Penggunaan psikotropika harus dilakukan secara benar dalam rangka pengobatan, sehingga apabila dipakai secara bebas mengakibatkan penderitaan suatu penyakit dan ketagihan ingin selalu menggunakan psikotropika. Tindak pidana di bidang psikotropika antara lain berupa perbuatan – perbuatan seperti memproduksi, atau mengedasarkan secara gelap, maupun penyalgunaan psikotropika, merupakan perbuatan yang merugikan masyrakat dan negara. pemproduksi dan mengedarkan secara liar psikotropika pada akhirnya akan dikonsumsi oleh orang lain. Orang yang mengkonsumsi dengan bebas akan menjadi sakit. Kalau yang memakai psikotropika yang demikian ini jumlahnya banyak, maka masyrakat menjadi tidak sehat karena penyakitan. Kemudian produksi dan peredaraannya menyangkut transaksi jual beli yang mendatangkan keuntugan, akan tetapi karena transaksinya gelap tidak ada penarikan pajakanya, sehingga negara dirugikan. Di situlah letak persoalanaya mengapa tindak pidana di pidana psikotropika digolongkan sebagai delik kejahatan. Dilihat dari akibat kejahatan tersebut, Universitas Sumatera Utara pengaruhnya sangat merugikan bagi bangsa dan negara, dapat menggoyahkan ketahanan nasional, karena itu terhadap pelakunya diacam dengan pidana yang tinggi dan berat, yaitu maksimal pidana mati dan ditambah pidana denda paling banyak Rp 5 M tujuanya agar orang akan melakukan perbuatan pidana di bidang psikotropika mengurungkan niatnya, sebab mereka akan menderita kalau benar – benar terkena hukuman tersebut. Sudah masuk penjara, masih wajib membayar denda yang mahal lagi. Akan tetapi masalahnya apakah cukup efektif ancaman pidana yang sifatnya menakutkan mampu menekan jumlah kejahatan psikotropika. Dalam melakukan suatu kejahatan terkadang pelakunya tidak sendirian akan tetapi melibatkan orang lain dengan cara berkerjasama yang perananaya, karena dalam rangka melaksanakan kejahatan, ada yang bertindak sebagai pelaku dan ada yang bertindak sebagai pembantu masing – masing dengan perkejaan yang tidak sama. Sebagai orang yang membantu kejahatan tidak bertindak langsung melakukan kejahatan, akan tetapi. Psikotropika yang dapat diproduksi oleh pabrik obat dapat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketetuan perundagan- undangan yang berlaku pasal 5. Pengertian produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, danatau mengubah bentuk psikotropika. Sedangkan pengertian pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari menteri untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk psikotropika. Di dalam dunia farmasi, sewaktu memproduksi obat harus memenuhi standar teknis tertentu yang diharuskan oleh buku farmakope. Setiap negara biasanya mempunyai farmakope sendiri yang dikeluarkan oleh departemen yang mengurusi bidang kesehatan. Demikian juga di indonesia, saat ini sudah mengeluarkan buku farmakope Indonesia farmakope indonesia pertama kali di keluarkan pada tahun 1962 dan tahun 1972 , pada tahun 1979 dan kemudian tahun 1996 telah diterbitkan edisi IV. Disamping itu pada tahun 1974 telah diterbitkan Universitas Sumatera Utara ekstra farmakope 1974. Di dalam dunia internasional world health organization pada tahun 1956 telah mengeluarkan farmakope internasional. Farmakope yang terkenal adalah farmakope negara inggris, yang sering juga diacu oleh indonesia. Farmakope tersebut disebut dengan british phamacopoeia. Jika tidak ada di dalam farmakope indonesia dipakai standar teknis farmakope tersebut. Ancaman terhadap barang siapa yang memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam pasal 5 diancam dengan ketentuan pidana pasal 60 ayat 1 huruf a UU No. 5Th. 1997. Untuk mengedarkan psikotropika yang telah diproduksi berupa obat, harus memenuhi standar danatau peryaratan farmakope indonesia atau buku standart lainnya pasal 7. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan pidana yang diatur dalam pasal 60 ayat 1 huruf b UU No. 5Th. 1997. Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan. Pengertian peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkain kegiatan penyaluran atau penyerahan psikotropika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemidahan tanganan pasal 1 angka 5. Sedangkan perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkain kegiatan dalam rangka pembelian danatau penjualan, termasuk penawaran atau untuk menjual psikotropika, dan kegiatan lain berkenaan dengan pemindahan tanganan psikotropika dengan memperoleh imbalan pasal 1 angka 6. Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar terlebih dahulu pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dalam hal ini departemen kesehatan pasal 9. Untuk itu menteri menetapkan syarat-syarat dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat. Terhadap psikotropika yang tidak didaftarkan terlebih dahulu, lalu diedarkan diancam dengan ketentuan pasal 60 ayat 1 UU No. 5 Th. 199. Demikian juga terhadap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika wajib dilengkapi dengan dokumen Universitas Sumatera Utara pengangkutan psikotropika. Pengertian pengangkutan adalah setiap atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan psikotropika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara, modal, atau sarana angkutan apapun, dalam rangka produksi dan peredaran pasal 1 angka 8. Sedangkan pergertian dokumen pengangkutan adalah surat jalan danatau faktur yang memuat keterangan tentang indentitas pengirim, dan penerima, bentuk, jenis, dan jumlah psikotropika yang diangkut.dokumen tersebut dibuat oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah atau apotik yang mengirimkan psikotropika tersebut pasal 10. Jika ketentuan yang diatur dalam pasal 10 tersebut dilanggar, maka pelakunya diancam dengan ketentuan pasal 63 ayat1 UU No.5Th. 1997. Penyerahan psikotropika diatur dalam pasal 12 dan 13 UU No. 5Th. 1997. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah. Pengertian pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari menteri untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan pasal 1 angka 7 . Sedangkan pengertian lembaga penelitian danatau lembaga pendidikan adalah lembaga yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan penelitian dan menggunakan psikotropika dalam penelitian, pengembagan, pendidikan, atau pengajaran dan telah mendapat persetujuan dari menteri dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan pasal 1 angka 12. Pola –pola penyaluran tersebut terdapat di pola- pola tersebut sudah dibakukan seperti yang ditentukan di atas. Apabila pola-pola penyaluran tersebut disampingi, bagi penyalur diancam pidana menurut pasal 60 ayat 2 UU No. 5Th. 1997, pasal 60 ayat 3 UU No. 5Th. 1997. Penyerahan psikotropika diatur dalam pasal 14 dan 15. Penyerahan psikotropika hanya dapat dilakukan oleh Universitas Sumatera Utara rumah sakit, apotik, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter pasal 14 ayat 1. Di dalam pelaksanaan eksepor dan impor psikotropika tunduk pada UU No. 10Th. 1995 tentang kepabeanan dan perundang-undang lainnya. Pada dasarnya ekspor dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar faramsi, yang telah memiliki izin. Sedangkan untuk impor psikotropika disamping oleh pabrik obat dan PBF, juga dapat dilakukan oleh lembaga penelitian atau lembaga pendidikan. Hanya saja untuk lembaga penelitian atau lembaga pendidikan dilarang mengedarkan psikotropika yang di impor pasal 16. Penyimpangan terhadap ekspor dan impor dari ketentuan tersebut, merupakan tindak pidana yang diancam dalam pasal 61 ayat 1 UU No. 5Th. 1997. Para eksportirdan importir psikotropika, setiap kali melakukan kegiatan ekspor atau impor psikotropika, harus memiliki surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor pasal 17 dari menteri kesehatan pasal 18. Baik eksportir maupun importir yang melalaikan kewajiban tersebut dapat dikenai pidana berdasarkan pasal 61 ayat 1 UU No. 5Th. 1997. Dalam hal pengangkutan dalam rangka ekspor dan impor wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan dari pemerintah negara pengekspor pasal 21. Untuk selanjutnya orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor tersebut wajib memberikan kedua surat tersebut kepada penanggung jawab pengangkut pasal 22 ayat 2. Penyimpangan terhadap kewajiban yang telah ditentukan oleh pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 diancam pidana seperti yang ditentukan dalam pasal 61 ayat 2 UU No. 5Th. 1997. Kemudian penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika wajib memberi dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat- surat persetujuan ekspor dan menteri, surat persetujuan impor psikotropika dari pemerintah negara pengimpor pasal 22 ayat 3. Universitas Sumatera Utara Demikian juga kewajiban pengangkutan impor psikotropika yang memasuki wilayah republik indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan jika ketentuan pasal 22 ayat 3 dan 4 dilanggar, diancam dengan ketentuan pasal 61 ayat 1 UU No. 5Th. 1997. Di dalam hal mengangkut psikotropika ada kalanya harus dilakukan transito di negara lain. Pengertian transito adalah pengangkutan psikotropika di wilayah republik indonesia dengan atau tanpa berganti sarana angkutan antara dua negara lintas pasal 1 angka 10. Setiap transito psikotropika harus dilengkapi surat persetujuan ekspor psikotropika yang terlebih dahulu telah mendapat persetujuan dari dan dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor psikotropika. Setiap perubahan negara tujuan ekspor psikotropika pada transito psikotropika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari: a. Pemerintah negara pengekspor psikotropika. b. Pemerintah negara pengimpor psikotropika atau tujuan semula ekspor psikotropika c. Pemerintah negara tujuan perubahan ekspor psikotropika pasal 24. Ancaman terhadap ketentuan tersebut diatur dalam gudang penyimpanan atau sarana angkutan pada transito psikotropika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli psikotropika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah pengawasan dari pejabat yang berwenang pasal 25. Pengertian kemasan psikotropika adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi danatau peyerahan psikotropika, baik yang bersentuhan langsung maupaun tidak pasal 1 angka 4. Pengemasan kembali yang dilakukan harus dibuatkan secara berita acara. Yang dimaksud dengan pejabat kesehatan. Penyimpanan terhadap ketentuan yang diatur dalam pasal 25, diancam dengan ketentuan pasal 63 ayat 1 UU No. 5Th. 1997. Yang dimaskud pengguna Universitas Sumatera Utara disini adalah pasien yang menggunakan psikotropika, untuk pengobatan sesuai dengna jumlah psikotropika yang diberikan oleh dokter. Jadi yang dimaksud dengan pengguna adalah juga meliputi pecandu yang sudah berada dalam pengawasan dokter. Hal ini berbeda dengan penyalahguna psikotropika. Disini dimaksud adalah menyalahgunakan atau penggunaan psikotropika secara merugikan adalah penggunaan psikotropika tanpa pengawasan dokter pasal 3. Seorang pengguna karena sudah dalam pengawasan dokter yakni dalam rangka pengobatan dan perawatan, sehingga diperbolehkan memiliki, menyimpan, menyimpan, danatau membawa untuk digunakan dalam rangka pengobatan atau perawatan pasal 36 ayat 1. Seseorang yang memiliki, menyimpan, dan atau membawa psikotropika tidak untuk pengobatan atau perawatan diancam dengan pasal 62 UU No. 5Th. 1997 bagi psikotropika golongan II, III dan IV. Sedangkan bagi golongan I diancam dengan pasal 59 ayat 1 UU No. 5Th. 1997. Maupun sosial agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat melasanakan fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi bagi pengguna pikotropika yang menderita sindroma ketergantugan dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan baik oleh pemerintah atau masyrakat. Fasilitas rehabilitas antara lain rumah sakit, lembaga ketergantugan obat dan praktik dokter. Fasilitas tersebut adalah fasilitas yang resmi. Namun dalam perkembagannya masalahnya rehabilitasi tersebut sudah melibatkan peranan masyarakat. Sehingga ada yang terdapat dalam pondok pesantren yang tidak bersifat medis semata, tetapi melalui cara – cara pendekatan, pengobatan trandisional dan pendekatan keagamaan. Fasilitas rehabilitas medis yang resmi hanya dapat dilakukan atas dasar izin dari menteri pasal 39 ayat 3, dan untuk selanjutnya mengenai penyelenggaraan rehabilitas dan perizinan ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Universitas Sumatera Utara Ancaman bagi penyelenggara fasilitas rehabilitas medis yang tidak dengan izin menteri diancam dengan ketentuan pasal 64 UU No. 5Th. 1997. Dari ancaman pidana yang terdapat dalam UU No.5Th. 1997 terdapat beberapa kejanggalan, antara lain : - Menyamakan seorang pencandu dengan penjahat karena semua tindak pidana yang menyangkut psikotropika dikualifikasi sebagai tindak pidana kejahatan pasal 68 UU No. 5Th. 1997; - Tidak ada pidana tersendiri bagi seorang pecandu, praktik ancaman pidana yang dikenakan kepada pemakai psikotropika golongan II, III dan IV diancam dengan pasal psikotropika golongan I memang sudah diatur tersendiri pasal 59 ayat 1 UU No. 5Th. 1997, dan tidak dikualifikasi secara tanpa memiliki, menyimpan dan atau membawa psikotropika. Banyak tindak pidana yang saat ini pemberantasnya melibatkan masyarakat banyak, karena sangat membahayakan masyarakat. Misalnya Tindak Pidana Narkotika dan tindak pidana korusi, disamping tindak pidana psikotropika. Oleh karena itu masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu mewujudkan upaya pencegahan penyalagunaan psikotropika. Masyarakat dalam hal ini wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang, bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan atau dimiliki secara tidak sah pasal 54 ayat 2. Bagi masyarakat yang tidak melapor kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan, atau dimiliki secara tidak sah, diancam dengan pidana dalam pasal 65 UU No.5Th. 1997. Hal ini sebenarnya sejalan dengan ketentuan pasal 108 ayat 1 KUHP yang menyatakan setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana, berhak untuk mengajukan laporan kepada penyelidik atau penyidik baik secara lisan maupun tertulis. Seorang pelapor, Universitas Sumatera Utara dalam tindak pidana psikotropika peerlu mendapatkan jaminan keamanan dan perlindugan dari pihak yang berwenang pasal 54 ayat 3. Jaminan tersebut terdapat dalam pasal 57 yang berbunyi: 1. Di depan pengadilan, saksi danatau orang lain dalam perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama, alamat, atau hal – hal yang memberikan kemungkinan dapat terungkapnya identitas pelapor. 2. Pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan akan dimulai, hakim memberi peringatan terlebih dahulu kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana psikotrpika untuk tidak menyebut identitas pelapor. Pengertian orang lain adalah jaksa, pengacara, panitera dan lain – lain. Ancaman bagi saksi atau orang lain yang menyebut nama, alamat atau identitas pelapor, terdapat dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 66 UU No. 5Th. 1997. Seperti yang dikemukakan dalam penggolongan narkotika, zat atau obat golongan 1 mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu dalam penggunaan hanya dipergunakan untuk tujuan pengembagan ilmu pengetahuan dan tidak dipergunakan dalam terapi. Karena potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantugan, maka khusus narkotika golongan 1 diatur tersendiri, hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan serta dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya. Pengertian pengembagan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, keterampilan dan penelitian dapat digunakan untuk kepentingan medis yang sangat terbatas. Penggunaan narkotika golongan 1 di luar ilmu pengetahuan adalah merupakan tindak pidana, misalnya: - Tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan dan mengusai narkotika golongan 1; Universitas Sumatera Utara - Tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan 1.

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Peredaran Narkotika Di Gunungsitoli