1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut prinsip demokrasi. Dengan adanya prinsip demokrasi yakni kedaulatan berada di tangan rakyat,
dilaksanakan untuk dan atas nama rakyat.
1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi salah satu dasar hukum tertulis
menjamin pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.”
2
Pemahaman demokrasi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dimaknai bahwa dalam penyelenggaraan pemerintah
perlu memberikan ruang gerak bagi warga negara untuk berpatisapasi politik melalui Pemilihan Umum Pemilu. Penyelenggaraan Pemilu dimaksudkan
sebagai wujud dasar perwujudan kedaulatan rakyat yang harus menjamin rakyat untuk terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan
melakukan pengawasan serta menilai fungsi-fungsi kekuasaan.
3
Melalui pengaturan Pemilu adalah sebagai upaya untuk mendorong dan mengakomodasi
1
Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi dan Konstutualisme Indonesia. Jakarta. Konstitusi Press. Hal 70
2
Lihat Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3
Jimly Asshiddiqie. 2006. Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi. Jakarta. Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4. Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Hal 6
2
suara rakyat untuk menggunakan haknya, yaitu untuk dipilih dan memilih. Artinya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan berkuasa untuk dipilih dan memilih
calon yang dikehendakinya sehingga dianggap layak untuk memimpin dan mewakili aspirasinya dalam penyelenggaraan Pemilu.
Pasal 22E Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negar Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Pemilu yang dimaksud yakni Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Perwakilan Daerah DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD.
4
Sedangkan, Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis.
5
Pengaturan Pemilihan Kepala Daerah merupakan bagian dari reformasi pemerintahan demi terwujudnya negara yang demokratis. Pemilihan Kepala
Daerah langsung merupakan instrumen demokrasi di daerah yang melalui pengaturannya dengan memberikan hak kepada setiap rakyat di daerah untuk
dipilih dan memilih kepala daerah dan wakil kepala daerahnya. Hal demikian sebagai reaksi atas pengaturan Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD yang diakui
sebagai salah satu indikator terwujudnya pemerintahan yang tidak demokratis. Pada awalnya gagasan Pemilihan Kepala Daerah langsung ini muncul sebagai
tindak lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di
4
Pasal 22E Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
5
Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3
daerah. Salah satu perbaikan tersebut dimaksudkan sebagai implementasi dari prinsip kedaulatan rakyat, sehingga dalam kehidupan berdemokrasi perlu adanya
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah langsung oleh rakyat. Melalui pengaturan Pemilihan Kepala Daerah sebagai suatu proses keterbukaan ruang
partisipasi masyarakat di daerah yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang kredibel dan di dukung oleh rakyat. Selain itu, melalui pengaturannya
diharapkan pula berfungsi sebagai instrumen penggantian jabatan politik agar mampu melahirkan pemimpin yang baik sehingga dapat memperbaiki kualitas
demokrasi di Indonesia. Dengan adanya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah langsung
membuktikan bahwa kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat. Rakyat menentukan sendiri masa depannya secara individu untuk dipilih dan memilih
pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerahnya. Pasal 18 Ayat 4 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis. Artinya, dapat dipahami bahwa Pemilihan Kepala Daerah merupakan suatu proses
suksesi kepemimpinan yang alami dan terbuka, memberikan hak kepada rakyat dengan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. Inilah salah satu wujud nyata
pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah langsung adalah pemilihan untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk
4
daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
6
: 1
Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Provinsi; 2
Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten; 3
Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota.
Pada dasarnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah langsung merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dengan kata lain, penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang didasarkan pada asas
“Luber” dan
“Jurdil” tersebut diharapkan dapat terlaksana dengan baik, lancar dan sukses. Kondisi ideal yang diharapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah langsung tidak selalu sesuai dengan kenyataan, karena tidak jarang peyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang sudah maupun yang sedang
berlangsung dihadapkan pada berbagai persoalan yang pada akhirnya harus berujung di pengadilan. Ironisnya, proses penyelesaian yang dilakukan di
pengadilan juga tidak selalu mengakhiri persoalan, justru sebaliknya semakin memperuncing permasalahan dan memicu ketidakpusaan berbagai pihak. Kisruh
Pemilihan Kepala Daerah langsung yang masih berlangsung saat ini dan persoalan-persoalan lain yang mungkin tidak terpublikasi memperlihatkan bahwa
6
Pasal 24 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
5
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah langsung hampir tidak pernah luput dari permasalahan.
Sebelum lebih jauh membahas persoalan tersebut, ada baiknya mengetahui lembaga yang memiliki kewenangan dalam peyelesaian sengketa hasil Pemilihan
Kepala Daerah dilihat dari masa sebelum reformasi dan masa pasca reformasi. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah tidak mengatur mengenai mekanisme upaya hukum terhadap hasil keputusan Pemilihan Kepala Daerah ke lembaga peradilan. Tidak
adanya mekanisme upaya hukum terhadap hasil keputusan Pemilihan Kepala Daerah menyebabkan keberatan dan ketidakpuasan masyarakat terkait keputusan
hasil Pemilihan Kepala Daerah, karena pada masa Orde Baru belum dikenal sengketa Pemilu.
7
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara membawa harapan terkait upaya hukum masyarakat terhadap hasil
keputusan Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan DPRD. Akan tetapi, dalam Pasal 2 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjelaskan bahwa keputusan yang memerlukan persetujuan lebih lanjut tidak dapat diajukan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara. Keputusan DPRD terkait Pemilihan Kepala Daerah merupakan keputusan yang memerlukan persetujuan dari atasantingkat yang lebih tinggi,
7
Tim Peneliti Perludem. 2006. Kajian Kebijakan : Sistem Penegakan Hukum Pemilu 2004-2009. Jakarta. Perludem. Hal 28
6
sehingga hasil keputusan dalam Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah tidak dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dikarenakan memerlukan persetujuan Presiden atau Menteri Dalam
Negeri. Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah yang merupakan Undang-Undang pemerintahan daerah pertama dalam masa transisi kekuasaan Indonesia. Dalam Undang-Undang
tersebut menjelaskan upaya hukum ke pengadilan terhadap hasil keputusan DPRD terkait Pemilihan Kepala Daerah tidak dapat dilakukan, karena dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah menempatkan DPRD sebagai kekuasaan tertinggi di daerah. Selain itu hasil keputusan DPRD
terkait Pemilihan Kepala Daerah hanya bisa diujikan melalui mekanisme Legislative Review.
Cara pemilihan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah mempengaruhi dari kewenangan lembaga peradilan untuk mengadili sengketa yang timbul akibat
dari hasil keputusan tersebut. Semakin demokratis dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, maka lembaga peradilan sebagai kontrol eksternal yuridis
seyogyanya mempunyai peran yang besar dalam melindungi hak asasi manusia. Namun, hal tersebut dapat dilihat dari minimnya peran lembaga peradilan
sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya ketika Pemilihan Kepala Daerah masih
7
dilakukan oleh DPRD. Meskipun Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD dapat dikatakan juga sebagai pemilihan yang demokratis, namun tidak
setiap warga negara dapat mengajukan diri, hanya warga negara yang memiliki dukungan politik yang kuat dari partai politik yang ada di DPRD dan dekat
dengan kekuasaan yang dapat mengajukan diri.
8
Nuansa politik yang sangat kental dalam Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD dan pemerintah pusat menjadi latar belakang pembuat
Undang-Undang di DPR yang juga merepresentasikan partai politik dalam menyusun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1976 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang tidak menempatkan lembaga peradilan sebagai kontrol
eksternal yuridis terhadap hasil keputusan Pemilihan Kepala Daerah, karena kontrol eksternal yuridis akan membuka peluang bagi calon yang tidak puas untuk
menggugat hasil keputusan DPRD dan pemerintah yang merupakan keputusan politik tersebut.
9
Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, membawa iklim demokratis bagi penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala
8
Heriyanto. 2011. Tinjauan Anilisis Normatif Yuridis Terhadap Pelaksanaan Putusan Sengketa Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2011 Oleh
Komisi Pemilihan Umum. Makalah Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal 56
9
Ibid Hal 57
8
Daerah di Indonesia. Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah masih menyerahkan kekuasaan Pemilihan Kepala Daerah pada pemerintah pusat dan DPRD. Dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan ruang untuk Pemilihan Kepala Daerah kepada rakyat secara langsung. Sebagai negara
yang menganut sistem nomokrasi, hak rakyat atas keberatan dan ketidakpuasaan terkait hasil keputusan Pemilihan Kepala Daerah tersebut dikawal melalui aturan
hukum yang dilaksanakan institusi lembaga peradilan, salah satunya munculnya kewenangan mengadili sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah di Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan Pengadilan Tinggi.
10
Dalam perjalanannya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ternyata menimbulkan berbagai masalah baik berupa
implikasi politik, ekonomi, sosial dan budaya, baik yang menguntungkan maupun konflik-konflik horizontal yang merugikan. Berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 072-073PUU-II2004
11
atas pengujian
10
Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
11
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 072-073PUU-II2004 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, terkait Pemilihan
Kepala Daerah langsung rezim Pemilihan Umum. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat : “… Bahwa untuk melaksanakan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 diperlukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang subtansinya antara lain memuat ketentuan tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam hubungan itu, Mahkamah berpendapat
bahwa untuk melaksanakan ketentuan tersebut adalah kewenangan pembuat Undang-Undang untuk memilih cara pemilihan langsung atau demokratis lainnya. Karena Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah menetapkan Pemilihan Kepala Daerah secara demokratis, maka
9
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan Pemilihan Kepala Daerah langsung merupakan Pemilu secara
materiil, sehingga Pemilihan Kepala Daerah menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah. Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan perluasan pengertian
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu menandai masuknya Pemilihan Kepala Daerah langsung
dalam rezim Pemilu. Hal tersebut sebagaimana diatur Pasal 1 Ayat 4 Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu yang
menyebutkan “Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
adalah Pemilihan Umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
baik pemilihan langsung maupun cara lain tersebut harus berpedoman pada asas-asas Pemilihan Umum Pemilu yang berlaku secara umum;
Bahwa ternyata dalam menjabarkan maksud “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pembuat Undang-Undang telah
memilih cara Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, maka menurut Mahkamah sebagai konsekuensi logisnya, asas-asas penyelenggaraan Pemilihan Umum harus tercermin dalam
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil luber- jurdil yang disenglenggarakan oleh lembaga yang independen.
Terhadap pendapat bahwa Pemilihan Kepala Daerah langsung tidak termasuk dalam kategori Pemilihan Umum yang secara formal terkait dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala peraturan penjabaran dari Pasal a quo, Mahkamah berpendapat bahwa Pemilihan Kepala Daerah langsung tidak temasuk dalam kategori Pemilihan
Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian Pemilihan Kepala Daerah langsung adalah Pemilihan Umum secara
materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan Pemilihan
Umum Pemilu sebagaimana yang dimaksud Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.”
12
Dengan dimasukannya Pemilihan Kepala Daerah langsung dalam rezim Pemilu, maka mempengaruhi struktur dari penyelenggaraan Pemilu itu
sendiri dimana sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu. KPU menjadi hirarki dengan KPU Provinsi
dan KPU KabupatenKota dalam menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah.
13
Tidak seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur hubungan terpisah antara KPU Pusat dengan KPU
Provinsi dan KPU KabupatenKota dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah
14
, sehingga menurut Undang-Undang ini antara KPU Pusat dengan KPU Provinsi dan KPU KabupatenKota tidak ada mekanisme kontrol dan
pertanggungjawaban secara hirarki. Pada sistem desentralisasi kewenangan tidak lagi memusatkan kewenangan
untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah di satu instansi lembaga peradilan yang sama yakni Mahkamah Agung Republik Indonesia dan
Pengadilan Tinggi, melainkan kepada dua instansi lembaga peradilan yang berbeda. Penyelesaian sengketa administrasi terhadap keputusan KPU selain
keputusan hasil Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan terhadap sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah
12
Lihat Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu.
13
Pasal 1 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu
14
Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
11
dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Peralihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia baru dapat terealisasi semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia untuk perkara Nomor 072-073PUU-II2004
15
, ketika itu hanya mengkategorikan Pemilihan Kepala Daerah langsung sebagai rezim Pemilu
sehingga jika terdapat sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah masih diselesaikan di Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Pengadilan Tinggi.
Berlakunya Undang-Undang
Nomor 22
Tahun 2007
Tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah secara tegas memasukan Pemilihan Kepala Daerah
langsung ke dalam rezim Pemilu. Dengan demikian, konsekuensi logis penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah tidak lagi diselesaikan di
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Pengadilan Tinggi, tetapi di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Inilah yang menjadi dasar Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia memutus sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah
15
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 072-073PUU-II2004 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, terkait Pemilihan
Kepala Daerah langsung sebagai rezim Pemilihan Umum.
12
karena sudah memasuki rezim Pemilu. Dalam produk Undang-Undang tersebut, Pemilihan Kepala Daerah sudah dianggap sebagai general election, sehingga
masuk ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk menyelesaikan jika terjadi perselisihan. Peralihan kewenangan tersebut terlihat
jelas dalam Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan “Penyelesaian sengketa hasil Pemilihan
Kepala Daerah oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia paling lama 18 bulan sejak Undang-
U ndang ini diundangkan”.
16
Dari uraian latar belakang permasalahan di atas dapat dipahami bahwa perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai politik hukum yang
melatarbelakangi mekanisme penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah serta politik hukum yang melatarbelakangi peralihan kewenangan
lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah. Penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dan peralihan kewenangan
dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala dari Mahkamah Agung Republik Indonesia ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia inilah yang
menarik untuk dikaji dari sudut pandang politik hukum nasional dengan mengkaji secara yuridis normatif. Hal ini karena menurut penulis dalam tingkatan peraturan
16
Lihat Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
13
yang sama-sama merupakan Undang-Undang, akan membingungkan bila ada dua lembaga tinggi yang diserahi wewenang untuk melakukan satu fungsi yang sama.
Disini penulis tertarik untuk menganalisis dan melakukan penulisan skripsi dengan judul
“POLITIK HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH”.
B. Rumusan Masalah