Calon Independen dalam Pemilihan Kepala Daerah Ditinjau dari Undang-undang Pemerintahan Daerah

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Amiruddin dan Bisri, A. Zaini, Pilkada Langsung, Problem dan Prospek: Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada 2005, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Kencana,

Jakarta, 2006.

Croissant, Aurel, “Pendahuluan”, Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, Pensil-324 dan Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta.

Fitriyah, Sistem dan Proses Pilkada Secara Langsung, Analisis CSIS, Vol. 34, No. 3, 2005.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 20065, hal. 283-284.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, UMM Press: Malang, 2007.

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah: Kewenangan Antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004.

Koirudd in, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Manan, Bagir, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

Mas’oed, Mohtar dan Andrews, Colin Mac, Pengantar Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988.

Nadir, Ahmad, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi: Studi Atas Artikulasi Politik Nahdliyyin dan Dinamika Politik dalam Pilkada Langsung di Kab. Gresik, Jatim, Averroes Press, Malang, 2005.


(2)

Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grassindo, Jakarta, 2005.

Prihatmoko, Joko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema.Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Radjab, Dasril, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal.

130.

Reilly, Ben, Reformasi pemilu di Indonesia: Sejumlah Pilihan, dalam Almanak Parpol Indonesia, Yayasan API, Jakarta, 1999.

Prasojo, Eko, Ridwan, Irfan Maksum dan Kurniawan, Teguh, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Jakarta: DIA FISIP UI, 2006.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI: Press, Jakarta, 2006.

Soemitro, Ronitijo Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.

Supardi dan Anwar, Syaiful, Dasar-dasar Perilaku Organisasi, UII Press, Yogyakarta, 2002.

Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


(3)

http://gabarel.blog.friendster.com/2008/05/calon-independen-dan-eksistensi-partai-politik

Zoelfa, Hamdan, Tinjauan Konstitusi Pemilihan Kepala Daerah,

www.google.com. Diakses pada tanggal 16 Juni 2009.

www.google.com. Mengembalikan Fungsi Partai Politik. Diakses pada tanggal 16 Juni 2009.

Sejarah Partai Pemersatu Bangsa: Fungsi Dasar Partai Politik, diakses pada tanggal 16 Juni 2009.

Surat Kabar

Mandiri Online, Pemilih Pilkada Deli Serdang Lebih Banyak Perempuan, 7 Oktober 2008.


(4)

BAB III

TINJAUAN TERHADAP LAHIRNYA CALON INDEPENDEN

DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Semasa orde baru hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD tidak seimbang. DPRD sangat kuat karena dapat mengusulkan pengangkatan kepada Presiden serta dapat memberhentikan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah dulu dilaksanakan oleh DPRD yang dianggap sebagai representasi rakyat di daerah. DPRD dapat menunjuk kepala daerah yang dianggap layak dan mampu memimpin daerah. Pada dataran konsep prinsip perwakilan seperti ini sangat bagus dan efektif. Namun melihat kenyataan di Indonesia bahwa sebagian besar orang yang duduk dalam pemerintahan adalah orang yang cenderung menyalahgunakan jabatannya.

Seperti halnya dengan pengangkatan kepala daerah. Pada masa itu pemilihan kepala daerah oleh DPRD sarat dengan kepentingan. Bukan sebuah rahasia lagi Kepala daerah yang akan ditunjuk oleh DPRD harus melakukan apa yang “diinginkan” oleh anggota DPRD. Praktek seperti ini akan menimbulkan sebuah budaya korupsi yang melembaga. Pemilihan kepala daerah tidak didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memimpin daerah. Melainkan kemampuan untuk memberikan uang kepada anggota DPRD.

Sejalan dengan pengangkatan kepala daerah. DPRD saat itu dapat memberhentikan kepala daerah, melalui mekanisme laporan pertanggungjawaban secara berkala kepada DPRD. Jika DPRD menolak laporan pertanggungjawaban dari kepala daerah maka DPRD dapat memberhentikan kepala daerah tersebut.


(5)

Praktek seperti ini juga menimbulkan masalah yaitu praktek korupsi. Seringkali anggota DPRD meminta imbalan kepada kepala daerah agar laporan pertanggungjawaban yang diberikan tidak ditolak oleh anggota DPRD.

Seiring dengan semangat reformasi masyarakat menuntut diadakannya perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ke dua pada 18 Agustus 2000 dilakukan amandemen dengan merubah ketentuan mengenai pemerintahan daerah pada pasal 18. Amandemen ini merubah sistem pemerintahan daerah secara menyeluruh.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) diatur dalam UU Pemda pada pasal 56. Sebelumnya Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, maka selain diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, calon kepala daerah dapat diajukan melalui jalur independen. Setidaknya ada beberapa faktor mendorong penyebab lahirnya ketentuan mengenai calon independen, yakni:

1. Ada keinginan dari masyarakat untuk memilih kepala daerah tanpa harus melalui partai politik.

Kemunculan partai politik dalam koridor teori partai politik tidak terlepas dari makin tingginya dinamika masyarakat yang membutuhkan fasilitas sistemik. Wujud dari upaya untuk memberikan fasilitas sistemik tersebut adalah tersedianya lembaga-lembaga sosial (social institution) yang dapat digunakan sebagai alat bagi masyarakat dalam interaksi sosialnya, dan salah satu dari berbagai pranata sosial yang ada itu salah satunya adalah partai politik. Sebab Indonesia sebagai


(6)

sebuah negara pada dasarnya dapat dianalogikan sebagai organisme hidup yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.62

Partai politik (parpol) saat ini tidak mampu mengemban aspirasi masyarakat. Sering keinginan dan kehendak masyarakat justru berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh parpol. Hal ini karena parpol tidak mampu menjalankan fungsi-fungsi yang dimilikinya sebagai partai politik. Idealnya parpol harus mampu menjalankan empat fungsi yang ada. Pertama, sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Kedua, sebagai sarana komunikasi politik. Ketiga, sebagai sarana rekruitmen politik. Dan keempat, sebagai sarana peredam konflik.63

Daiam negara demokratis partai politik, menurut Miriam Budihardjo, sekurangnya menyelenggarakan empat fungsi politik, yaitu:64

a. Partai sebagai sarana komunikasi politik

Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat, dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat modern yang begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan "penggabungan kepentingan"

62

Koiruddin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 65-66.

63

www.google.com, Mengembalikan Fungsi Partai Politik. Diakses pada tanggal 16 Juni 2009.

64

www.google.com, Sejarah Partai Pemersatu Bangsa: Fungsi Dasar Partai Politik, diakses pada tanggal 16 Juni 2009.


(7)

(interest aggregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan "perumusan kepentingan" (interest articulation).65

Semua kegiatan tersebut dilakukan oleh partai. Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan ini dimasukkan dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan umum (public policy). Dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik. Dilain pihak partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebariuaskan rencana-rencana dan kebijkasanaan-kebijaksanaan pemerintah- Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dan atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dalam hal ini partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat. Saat menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut sebagaj broker (perantara) dalam suatu bursa ide-ide. Terkadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai pengeras suara.66

b. Partai sebagai saranasosialisasi politik

Partai politik juga berperan sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political socialization). Didalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui cara seseorang memperoleh sikap dan orientasi 65

Ibid.

66 Ibid.


(8)

terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Di samping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.67 Dalam hubungan ini partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik. Untuk itu usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum, partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Dalam konteks tersebut partai berusaha menciptakan "image" bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Disamping menanamkan solidaritas dengan partai, maka partai politik juga mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagi warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah, kursus kader, kursus penataran dan sebagainya.68

c. Partai sebagai sarana rekruitmen politik

Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mangajak orang yang berbakat untuk turutaktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment). Dengan demikian partai ikut memperluas partisipasi poiitik. Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi dan

lain-67 Ibid. 68


(9)

lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang dimasa mendatang akan mengganti pimpinan lama.69

d. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik

Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha mengatasinya. Dalam praktek politik sering dilihat bahwa fungsi-fungsi tersebut di atas tidak dilaksanakan seperti yang diharapkan. Misalnya, informasi yang diberikan Justru menimbulkan kegelisahan dan perpecahan dalam masyarakat; yang dikejar bukan kepentingan nasional, akan tetapi kepentingan partai yang sempit dengan akibat pengkotakan politik; atau konflik tidak diselesaikan, akan tetapi malahan dipertajam.70 Selain teori tersebut di atas masih ada lagi peran atau fungsi partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai alat perjuangan rakyat partai politik juga mesti harus menjalankan fungsi sosial kontrol dalam rangka mengawasi kebijaksanaan jalannya pemerintahan negara. Memang tidak dinafikan partai politik lekat dengan kekuasaan. Sebagaimana terjadi di negara liberal, partai pemenang pemilihan umum acap tampil sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Meski demikian bahwa daya kritis mereka tetap dikedepankan dalam rangka mengawasi kebijaksanaan pemerintahan. Jadi, meskipun partai pemenang pemilihan umum memegang kendali kekuasaan, akan tetapi fungsi partai berupa sosial kontrol juga tetap berjalan. Partai politik juga sebagai wadah untuk 69

Ibid. 70


(10)

mencetak kader-kader bangsa, dimana nantinya mereka senantiasa siap sebagai pengganti atau penerus dalam memimpin sebuah perjalanan negeri. Dapat dimengerti bilamana perekrutan kader-kader pemimpin bangsa tidak hanya menjadi dominasi partai politik. Melalui jalur-jalur lain seperti dari dunia kampus, birokrasi, militer dan lain-lain akan menambah bobot dari kebhinekaan pengkaderan calon-calon pemimpin bangsa.71

Pencalonan kepala daerah dengan sistem satu pintu melalui partai politik menuai kritik dalam jumlah yang cukup massif. Aturan seperti itu, selain mempersempit ruang calon independen, juga akan mengekalkan penyelenggaraan

Dimasa Reformasi ini, dominasi Partai dihidupkan kembali sedemikian jauhnya, sehingga menjurus kepada kondisi monopolistik. Tapi perlu dicatat bahwa Partai dewasa ini tidak jelas betul hubungannya secara anatomis dengan Partai pendahulunya. Pasti ada sejumlah Partai yang punya sejarah panjang, akan tetapi bukan saja terkait secara parsial, malah lebih secara nuansa.

Karena itu, tidak mengherankan apabila peran Partai dewasa ini menjadi kehilangan jati diri dan arah perkembangannya, sehingga terjebak oleh kecenderungannya yang monopolistik. Motivas politisi Partai mendapatkan kekuasaan Negara, caranya mempertahankan serta kinerjanya memperlakukan kekuasaan yang dipunyai, secara keseluruhan menggambarkan watak monopolistik dimaksudkan, Analisis ideologi dan struktural serta behavior atas peran politisi dan partainya dalam era Reformasi ini, menjelaskan keseluruhan watak monopolistik tersebut.

71 Ibid.


(11)

pemerintahan daerah yang kotor. Berbagai kalangan berpendapat bahwa dengan hanya satu pintu parpol, maka jelas parpollah yang akan sangat menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah. Figur-figur non-partai politik kendati memiliki kapasitas memadai tak akan dapat ruang untuk masuk ke dalamnya. Kenyataan menunjukkan calon independen merupakan calon bagi mereka yang bukan simpatisan parpol dan mereka yang tidak sama ideologinya dengan parpol yang ada. Atas dasar itu, pencalonan kepala daerah harus dilakukan dengan sistem dua pintu, melalui pintu parpol dan pintu independen.72

Dalam hal ini, masyarakat akan melirik parpol yang mengusungnya. Bila seorang figur calon tersebut bukan berasal dari kader parpol yang mengusungnya, dirinya yakin akan berpeluang mendapat simpati dari warga. Paling tidak, masyarakat akan menilai bahwa parpol yang mengusungnya itu tidak haus kekuasaan. Kondisi tersebut, akan menambah credit point bagi calon kepala daerah tersebut. Peran parpol dalam proses pilkada, akan mempersempit tampilnya sosok independen yang berkualitas. Bila parpol tak berwenang mencalonkan kepala daerah, dirinya yakin orang berkualitas akan berpeluang memimpin daerahnya. Untuk itu, seharusnya mesin politik tidak mendominasi proses pilkada. Kebanyakan kader parpol yang menjadi kepala daerah terbawa hanyut dalam kebiasaan buruk di lingkungan birokrasi.73

Masih terbuka luasnya praktik politik uang dalam sistem politik pilkada yang diintrodusir oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini terkait dengan ditempatkannya parpol sebagai satu-satunya pintu pencalonan. Dalam pola ini,

72

Ahmad Nadir, Op.Cit, hal. 86-87.

73


(12)

masyarakat dipaksa untuk memilih para calon kepala daerah yang diajukan parpol, meskipun para calon itu merupakan orang-orang yang memiliki track record

kurang baik.

2. Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta

Pilkada DKI Jakarta merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya calon indepeden. Pada Pilkada DKI Jakarta, muncul tuntutan agar calon independen diperbolehkan untuk mengikuti pilkada. Adapun alasan mengapa pilkada DKI Jakarta merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya independen adalah sebagai berikut:74

Dinamika politik yang terus bergulir sejak tahun 2007 lalu akhirnya mengkerucut pada pencalonan Adang-Dani yang diusung oleh PKS dan Fauzi-Prijanto yang diusung oleh koalisi partai politik (diantaranya Partai Golkar, PDIP, dll).

Pada awalnya beberapa nama mencuat kepermukaan dalam momentum pemilihan kepala daerah DKI Jakarta (Gubernur/Wakil gubernur). Dapat disebut antara lain, Sarwono Kusuma Atmadja, Faisal Basri, Rano Karno, BibitWaluyo, Ade Supriatna, Nur Faizi, Syafrie Syamsudin, Slamet Kirbiantoro, Prijanto, Dani Anwar, Adang Darodjatun dan Fauzi Bowo.

75

Upaya mengusung calon independen semakin ramai diperdebatkan disaat proses pendaftaran calon telah dibuka. KPU DKI Jakarta dengan tegas

74

Gabarel Sinaga, Calon Independen dan Eksistensi Partai Politik, www.google.com. Diakses pada tanggal 08 Juni 2008.

75 Ibid.


(13)

menyatakan bahwa proses pencalonan hanya dapat mengacu pada UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah No 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam UU dan PP ini mensyaratkan bahwa pencalonan hanya dimungkinkan lewat partai politik atau gabungan partai politik.76

Dalam melihat peluang para calon diluar Adang-Dani dan Fauzi-Prijanto, dapat dilakukan dengan merujuk pada survey yang dilakukan Lembaga Survey Indonesia. Survey yang dilakukan Agustus 2006, dengan metode penarikan sample multistage random sampling, jumlah responden 200 yang diwawancarai secara tatap muka (kuisoner). Dukungan tertinggi diperoleh oleh Fauzi Bowo (24.5 %), menyusul kemudian Rano karno dan Agum Gumelar (18.5 %), Hidayat Nur Wahid (14.5 %). Yang menyatakan tidak tahu/rahasia/belum memutuskan (13 %), Bibit Waluyo (3.5 %), Sarwono Kusuma Atmaja (2.0 %), Faisal Basri dan Syafri Syamsudin masing-masing (1.5 %). Perolehan terendah pada angka (1.0 %) masing-masing oleh Rai Sita Supit dan Adang Darojatun. Ketika responden ditanyakan, apakah calon Gubernur pilihan Ibu/Bapak akan sama sampai pemilihan kepala daerah DKI Jakarta atau ada kemungkinan berubah. Responden menjawab dengan mengatakan sama (55.2 %), ada kemungkinan berubah (36.8) dan tidak tahu (8.0 %).

77

Survey LSI berikutnya (20 – 25 September 2006), dengan 300 responden. Dari daftar nama yang ditanyakan kepada responden, Rano Karno dan Agum

76 Ibid. 77


(14)

Gumelar merupakan tokoh yang sangat populer di DKI. Rano Karno 99 %, Agum 91 %, Hidayat Nur Wahid 77.9 %, Sarwono 69.9 %, Fauzi Bowo 66.4 %, Prabowo Subianto 65.7 % dan Faisal Basri 63.3 %. 78

Jika pemilihan langsung dilaksanakan hari ini (saat survey dilakukan), maka Agum Gumelar (24.9 %) memiliki peluang paling besar untuk terpilih menjadi Gubernur DKI, diikuti Rano Karno (19.4 %), Fauzi Bowo (15.2 %), Hidayat Nur Wahid (13.1 %), dan Sarwono Kusuma Atmaja (4.2 %), Faisal Basri (2.8 %) dan Adang Darijatun (2.1 %). Jika nama kandidat dikerucutkan menjadi hanya empat nama, perolehan suara sebagai berikut, Agum Gumelar (41.5 %), Fauzi Bowo (25.3 %), Sarwono Kusuma Atmadja (14.2 %), Adang Darodjatun (4.8 %) dengan tidak tahu/jawab (14.2 %).79

Pada survey November 2006 dengan 700 responden, perolehan suara Fauzi Bowo lebih tinggi (19.7 %). Sementara Agum Gumelar (18.5 %), Rano Karno (17.3 %), Hidayat Nur Wahid (12.1 %), Sarwono Kusuma Atmadja (5.5 %), Adang Darodjatun (3.7 %), Faisal Basri (2.4 %) dengan tidak tahu/rahasia/belum memutuskan (18.1 %). Jika nama dikerucutkan menjadi 2 nama yakni Agum dan Fauzi, perolehan suara tertinggi diperoleh oleh Fauzi Bowo (36.9 %), sementara Agum Gumelar (33.8 %) dengan tidak tahu/rahasia/belum memutuskan (29.3 %).80

Dari data-data survey tersebut, tampak masyarakat menginginkan adanya beberapa pasangan calon, yang tentunya keinginan masyarakat tersebut tidak

78 Ibid. 79

Ibid. 80


(15)

mampu ditampung oleh partai politik maupun gabungan partai politik yang ada, sehingga masyarakat menginginkan adanya jalur independen untuk dapat mengajukan calon yang mereka inginkan.81

3. Undang-undang Pemerintahan Aceh

Pilkada NAD diselenggarakan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UU Otsus). UU Otsus ini disahkan pada 9 Agustus 2001, jauh lebih dulu daripada lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), yaitu pada 15 Oktober 2004, yang merupakan landasan hukum bagi penyelenggaraan pilkada langsung pada umumnya di wilayah Indonesia. Tak seperti pada peraturan perundangan lainnya yang harus mengacu pada peraturan yang lahir belakangan (lex posteriori derogat lex priori), pilkada di NAD harus mengacu pada UU Otsus dengan merujuk pada penyempurnaan yang diatur dalam UU Pemda (dalam konteks ini berlaku adagium hukum lex specialis derogat lex generalis).

Undang-undang Pemerintahan Aceh, yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di dalam pasal 67 ayat (1) huruf d memperbolehkan calon dalam pilkada Nangroe Aceh Darussalam.

Lalu Ranggalawe dalam pokok permohonannya menyebutkan bahwa: “Dengan munculnya calon di daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang mendapat kemenangan mutlak sebagai Gubernur/Wakil Gubernur, telah membuktikan

81 Ibid.


(16)

bahwa rakyat sangat membutuhkan independensi dan mereka tidak percaya lagi pada partai politik yang mengusung calon karena terbukti parpol dalam pengusungan calon sangat syarat dengan transaksi politik yaitu dengan melakukan jual beli kendaraan politik (partai) bagi calon yang akan mengikuti suksesi pilkada. Dan ini sudah menjadi rahasia umum bagi rakyat Indonesia apabila calon yang diusung oleh partai politik yang menang, maka tugas pertama bagi penguasa bagaimana cara untuk mengembalikan modal yang sangat rentan dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme”.82

82


(17)

BAB IV

PELAKSANAAN CALON PERSEORANGAN (INDEPENDEN)

DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pelaksanaan Calon Independen pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Deli Serdang

A. Gambaran Umum Kab. Deli Serdang83

Kabupaten Deli Serdang dikenal sebagai salah satu daerah dari 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang memiliki keanekaragaman sumber daya alamnya yang besar sehingga merupakan daerah yang memiliki peluang investasi cukup menjanjikan. Dulu wilayah ini disebut Kabupaten Deli dan Serdang, dan pemerintahannya berpusat di Kota Medan. Memang dalam sejarahnya, sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah ini terdiri dari dua pemerintahan yang berbentuk kerajaan (kesultanan) yaitu Kesultanan Deli berpusat di Kota Medan, dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan.

Dulu daerah ini mengelilingi tiga “daerah kota madya” yaitu kota Medan yang menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara, kota Binjai dan kota Tebing Tinggi disamping berbatasan dengan beberapa Kabupaten yaitu Langkat, Karo, dan Simalungun, dengan total luas daerah 6.400 KM2 terdiri dari 33 Kecamatan dan 902 Kampung.

Daerah ini, sejak terbentuk sebagai kabupaten sampai dengan tahun tujuh puluhan mengalami beberapa kali perubahan luas wilayahnya, karena kota Medan,

83


(18)

Tebing Tinggi dan Binjai yang berada didaerah perbatasan pada beberapa waktu yang lalu meminta/mengadakan perluasan daerah, sehingga luasnya berkurang menjadi 4.397,94 KM2.

Diawal pemerintahannya Kota Medan menjadi pusat pemerintahannya, karena dalam sejarahnya sebagian besar wilayah kota Medan adalah “tanah Deli” yang merupakan daerah Kabupaten Deli Serdang. Sekitar tahun 1980-an, pemerintahan daerah ini pindah ke Lubuk Pakam, sebuah kota kecil yang terletak di pinggir jalan lintas Sumatera lebih kurang 30 kilometer dari Kota Medan yang telah ditetapkan menjadi ibukota Kabupaten Deli Serdang.

Tahun 2004 Kabupaten ini kembali mengalami perubahan baik secara Geografi maupun Administrasi Pemerintahan, setelah adanya pemekaran daerah dengan lahirnya Kabupaten baru Serdang Bedagai sesuai dengan U.U. No. 36 Tahun 2003, sehingga berbagai potensi daerah yang dimiliki ikut berpengaruh. Dengan terjadinya pemekaran daerah, maka Luas wilayahnya sekarang menjadi 2.497,72 KM2 terdiri dari 22 kecamatan dan 403 desa/kelurahan, yang terhampar mencapai 3.34 persen dari luas Sumatera Utara.

Kabupaten Deli Serdang dihuni penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Melayu, Karo, Simalungun, Jawa, Batak, Minang, Cina, Aceh dan pemeluk berbagai agama seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha, dengan total jumlah penduduk berjumlah 1.686.366 jiwa dengan Laju Pertumbuhan Penduduknya (LPP) sebesar 2,74 persen dengan kepadatan rata-rata 616 jiwa perkilometer persegi.


(19)

Dalam gerak pembangunannya, motto Kabupaten Deli Serdang yang tercantum dalam Lambang Daerahnya adalah “Bhinneka Perkasa Jaya” yang memberi pengertian ; dengan masyarakatnya yang beraneka ragam suku, agama, ras dan golongan bersatu dalam kebhinnekaan secara kekeluargaan dan gotong royong membangun semangat kebersamaan, menggali dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya sehingga menjadi kekuatan dan keperkasaan untuk mengantarkan masyarakat kepada kesejahteraan dan kejayaan sepanjang masa.

B. Penerapan calon independen pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Deli Serdang

Pada tanggal 27 Oktober 2008 yang lalu, Kabupaten Deliserdang termasuk dari 7 (tujuh) Kabupaten di jajaran pemerintahan Propinsi Sumatera Utara telah memilih pemimpin daerahnya untuk 5 (lima) tahun kedepan. Kabupaten Deliserdang untuk pertama kalinya memilih pemimpin daerahnya secara langsung oleh masyarakat Deliserdang. Karena itu dalam pilkada kali ini masyarakat Deliserdang ditantang untuk dapat memilih calon bupati yang sesuai dengan harapan dan cita-cita seluruh masyarakat Deliserdang.

Sejak tanggal 30 April 2008, KPU Kabupaten Deliserdang telah membuat dan menetapkan tahapan-tahapan pilkada Kabupaten Deliserdang. Rapat koordinasi antar instansi pemerintah dan lintas sektoral, sosialisasi tahapan pilkada dan penyusunan anggaran telah digelar demi terlaksananya pilkada Kabupaten Deliserdang secara aman dan tertib.


(20)

Untuk menjaga keamanan dan ketertiban pelaksanaan pilkada Kabupaten Deliserdang Deliserdang melibatkan 2/3 kekuatan personelnya untuk melakukan pengamanan seluruh tahapan pilkada yang digelar. Disamping itu Polres Deliserdang juga akan menambah perkuatan dari Kesatuan Brimob Polda Sumut Kompi Tanjung Morawa. Seluruh personel yang dilibatkan dalam seluruh tahapan pilkada adalah:

a. Polres Deliserdang sebanyak: 591 (lima ratus Sembilan puluh satu) Personel.

b. Kie II Brimob Tanjung Morawa: 135 (seratus tiga puluh lima) Personel. Dalam pilkada Kabupaten Deliserdang kali ini dapat dikatakan berbeda dengan pilkada kabupaten lainnya, selain diwarnai dengan munculnya beberapa pasangan calon dari independen, pilkada Deliserdang kali ini juga diikuti oleh 9 (sembilan) pasangan calon, 5 (lima) pasangan calon yang diusung oleh partai politik dan 4 (empat) pasangan calon perseorangan. Ini adalah pilkada yang paling banyak pasangan calonnya diantara pilkada lainnya di jajaran Propinsi Sumatera Utara. Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang bersaing dalam pilkada Kabupaten Deliserdang adalah:84

a. Yang diusung oleh partai politik:

1. Pasangan H. WAGIRIN ARMAN / Hj. CHAIRIAH SUDJONO GIATMO (Golongan Karya)

84


(21)

2. Pasangan Drs. TENGKU AKHMAD THALA’A / SATRIA YUDHA WIBOWO, ST (PKS, PNI Marhaenisme, PKPB, PBSD, PPIB, PNBK, PSI dan PPDK)

3. Pasangan Drs. H. AMRI TAMBUNAN / ZAINNUDIN MARS (Partai Demokrat, PKB, PPDI, PKP, Partai Pelopor, PBB, Partai Merdeka, PPNU, PBR dan Partai Patriot Pancasila)

4. Pasangan RUBEN TARIGAN, SE / DEDI IRWANSYAH, SE (PDI Perjuangan)

5. Pasangan H. HASAIDDIN DAULAY / Drs. H. PUTRAMA ALKHAIRI (PPP dan PAN)

b. Dari Calon Perseorangan:

1. Pasangan H. SIHABUDIN, SE / Ir. SURIA DARMA GINTING, SP, MM

2. Pasangan SAIFUL ANWAR, S.Sos, MSP / SUGITO

3. Pasangan HM. SUPRIYANTO / DICKY ZULKARNAIN, SE

4. Pasangan Drs. RABU ALAM SYAHPUTRA / Ir. RAHMAT SETIA BUDI, MSc

Jumlah pemilih pemilih di Deli Serdang yang terdaftar sebagai pemilih pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah sebesar 1.180.431 pemilih, sebanyak 591.750 adalah pemilih perempuan sedang sisanya sekitar 588.681 orang laki-laki. Jumlah tersebut diperoleh berdasarkan rekapitulasi jumlah pemilih terdaftar Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 yang dikeluarkan KPU setempat tanggal 23


(22)

September 2008 ditandatangani Ketua KPU Deli Serdang Drs M Yusri MSi. Dari 22 wilayah kecamatan se-Kabupaten Deli Serdang yang terdiri dari 394 desa dengan jumlah pemilih 1.180.431, telah ditetapkan sebanyak 2.611 Tempat Pemungutan Suara (TPS) termasuk rencana TPS khusus.85

Untuk Kecamatan Gunung Meriah yang terdiri dari 12 desa sebanyak 12 TPS dengan jumlah pemilih 1.874 orang. STM Hulu 20 desa (22 TPS) jumlah pemilih 7.480 orang. Sibolangit 30 desa (58 TPS) jumlah pemilih 14.675 orang. Kutalimbaru 14 desa, (79 TPS) jumlah pemilih 23.620. Pancur Batu 25 desa (124 TPS) jumlah pemilih 55.694 orang.86

Namorambe 36 desa (68 TPS) jumlah pemilih 21.371, Sibiru-Biru 17 desa (54 TPS) jumlah pemilih 21.855, STM Hilir 15 desa (70 TPS) jumlah pemilih 21.219. Bangun Purba 24 desa (43 TPS) jumlah pemilih 16.032. Galang 29 desa (93 TPS) jumlah pemilih 42.689. Tanjung Morawa 26 desa (287 TPS) jumlah pemilih 139.008. Patumbak 8 desa (100 TPS) jumlah pemilih 52.292. Deli Tua 6 desa (73 TPS) jumlah pemilih 37.223.87

Kecamatan Sunggal terdiri 17 desa dibagi dalam 359 TPS dengan jumlah pemilih 157.352. Hamparan Perak 20 desa (219 TPS) jumlah pemilih 96.229. Labuhan Deli 5 desa (91 TPS) jumlah pemilih 42.454. Kemudian Percut Sei Tuan dengan 20 desa (451 TPS) jumlah pemilih 238.553. Batang Kuis 11 desa (71 TPS) jumlah pemilih 37.282. Pantai Labu 19 desa (69 TPS) jumlah pemilih 27.870. Beringin 11 desa (71 TPS) jumlah pemilih 35.608. Lubuk Pakam 13 desa (134

85

Mandiri Online, Pemilih Pilkada Deli Serdang Lebih Banyak Perempuan, 7 Oktober 2008.

86 Ibid

87 Ibid


(23)

TPS) jumlah pemilih 67.156 dan Kecamatan Pagar Marbau terdiri 16 desa (51 TPS) dengan jumlah pemilih 22.895.88

Pasal 59 ayat 2b point (4) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa: “Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen)”. Sebagai salah satu daerah yang jumlah penduduknya lebih dari 1.000.000, yakni dengan jumlah pendidik sebanyak 1.180.431 pemilih, maka untuk dapat lolos verifikasi sebagai calon independen atau calon perseorangan pada pilkada Deliserdang, setiap calon harus didukung oleh sekurang-kurangnya 3% dari 1.180.431 pemilih, yakni sebanyak 35.412 pemilih.89

Dari 504.818 suara sah pada Pilkada Deli Serdang, pasangan AZAN memperoleh 256.536 suara (51%) sedangkan posisi kedua ditempati pasangan Drs T. Akhmad Tala’a-Satrya Yudha Wibowo (PANTAS) dengan perolehan 86.895 suara (17%).

Dengan demikian jelas bahwa keempat calon yang berasal dari jalur independen dalam pilkada Deliserdang telah memperoleh dukungan sebagaimana yang telah disyaratkan oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008.

90

88 Ibid 89

Ibid 90


(24)

Berdasarkan rekapitulasi KPU Deli Serdang, dari 546.431 surat suara yang masuk, sebanyak 504.818 surat suara dinyatakan sah. Sedangkan sisanya 41.613 surat suara tidak sah.91

Adapun hasil perhitungan akhir perolehan suara masing-masing pasangan Calon Bupati/Wakil Bupati Deli Serdang periode 2009/2014 berdasarkan nomor urut, pasangan No 1 H Sihabuddin, SE-Ir Suria Darma Ginting SP MM meraih 12.856 suara (3%), No 2 H Wagirin Arman-Hj Chairiah Sudjono Giatmo SE meraih 51.935 suara (10%), No 3 Saiful Anwar Ssos MSP-Sugito meraih 14.373 suara (3%), No 4 Drs T Achmad Talaa-Satrya Yudha Wibowo meraih 86.895 suara (17%).92

Pasangan No 5 Drs H Amri Tambunan–Zainuddin Mars Ssos meraih 256.536 suara (51%), No 6 Ruben Tarigan-Dedi Irwansyah SE meraih 42.687 suara (8%), No urut 7 Drs H Hasaidin Daulay-Drs H Putrama Alkhairi meraih 10.918 suara (2%), No 8 HM Suprianto-Dicky Zulkarnain SE meraih 13.545 suara (3%) dan No 9 Drs Rabu Alam Syahputra-Ir Rahmad Setia Budi MSc meraih 15.073 suara (3%).93

Rekapitulasi perhitungan suara selain dihadiri saksi dari pasangan calon, PPK juga dihadiri Sekdakab Deli Serdang Drs Azwar MSi, unsur Muspida Plus yang terdiri, Kapolres Deli Serdang AKB Mashudi SIK, Dandim diwakili Kapt Mudjiono, serta Elia Tarigan BA mewakili Ketua DPRD. Ketua KPU Deli Serdang M Yusri MSi didampingi Anggota Divisi Sosialisasi Ir

91 Ibid 92

Ibid 93


(25)

Agusnedi mengatakan perhitungan rekapitulasi suara sudah berakhir dan 3 hari ke depan akan dilakukan penetapan hasil Pilkada. Usai perhitungan suara, seluruh saksi dimintakan untuk menandatangani berita acara penghitungan, namun hanya perwakilan 3 saksi yang membubuhkan tandatangannya.94

94 Ibid


(26)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari pembahasan dalam tulisan ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Pengaturan tentang pemilihan kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sebelum reformasi diatur melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-undang ini diatur bahwa Kepala Daerah dipilih oleh Pemerintah Pusat (dalam hal ini Presiden) setelah diajukan sedikitnya dua calon oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Setelah reformasi, melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Kepala Daerah dipilih dengan sistem perwakilan (secara tidak langsung), yakni dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya setelah berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang berlangsung dengan jujur, bebas, adil, dan rahasia, dan terakhir diatur dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang di mengatur tentang calon independen dalam Pilkada.


(27)

2. Faktor-faktor penyebab lahirnya calon independen dalam pemilihan kepala daerah adalah: faktor keinginan masyarakat yang kecewa terhadap kinerja partai politik, faktor Pilkada DKI Jakarta yang menyuarakan diberlakukannya calon independen dan faktor Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh yang di dalamnya memperbolehkan calon independen dalam Pilkada di Provinsi NAD.

3. Pelaksanaan calon perseorangan (independen) dalam Pemilihan Kepala Daerah di beberapa daerah telah terlaksana sesuai dengan apa yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang calon independen. Kabupaten Deli Serdang salah satunya, telah melaksanakan pemilihan kepala daerah dengan mengikutsertakan empat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah independen. Dengan demikian, adanya pengaturan tentang calon independen ini disambut baik oleh masyarakat dengan ikut sertanya calon independen dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun jika dirujuk pada hasil yang dicapai oleh calon independen, berbeda daerah satu dengan yang lainnya. Di Kabupaten Deli Serdang misalnya, calon independen tidak berhasil menjadi pemenang pada pilkada, yang menjadi pemenangnya merupakan calon yang diusulkan oleh partai politik. Berbeda dengan pilkada di Kabupaten Batubara, dimana calon independen berhasil memenangkan pilkada di Kabupaten Batubara


(28)

B. Saran

1. Sebaiknya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah

2. Pemilihan gubernur oleh DPRD patut dipertimbangkan untuk menjadi pilihan dalam rangka menghemat proses demokrasi ke depan dengan pertimbangan bahwa posisi gubernur dalam kerangka implementasi konsep administrasi pemerintahan adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah berupa kewenangan yang bersifat koordinatif antara daerah otonomi di tingkat kabupaten dan kota, serta kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Apalagi anggota-anggota DPRD itu seluruhnya terpilih melalui pemilu dari berbagai daerah yang ada di provinsi yang bersangkutan. Pemikiran ini tidak berarti mereduksi daerah provinsi sebagai suatu daerah otonomi, karena daerah provinsi juga tetap diberi kewenangan otonomi disamping kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Mekanisme pemilihan yang demikian dapat menghemat anggaran negara yang cukup besar dan masih berada dalam ruang lingkup dan koridor konstitusi serta masih sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. 3. Perlu ditata kembali mekanisme pemilihan umum secara keseluruhan

dengan melakukan konsolidasi dan pemisahan antara dua jenis pemilihan yaitu pemilihan pejabat di tingkat nasional dalam satu waktu secara bersamaan dan pemilihan bupati dan walikota serta DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) secara bersamaan dalam waktu yang lain. Sehingga selama lima tahun hanya ada dua pemilihan yaitu pemilihan pejabat di tingkat pusat, yaitu DPR, DPD dan Presiden-Wakil Presiden, dan


(29)

pemilihan tingkat lokal yaitu pemilihan DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi serta pemilihan Bupati dan Walikota. Pemilu untuk memilih pejabat tingkat nasional dapat dikurangi hanya menjadi dua putaran saja, yaitu putaran pertama untuk pemilu legislatif yang dilangsungkan secara bersamaan dengan pemilihan presiden putaran pertama, sedangkan putaran kedua untuk memilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua jika dalam putaran pertama tidak ada pasangan yang mencapai mayoritas mutlak. Demikian juga Pilkada Bupati Walikota, untuk efisiensi harus dihindari adanya pilkada 2 putaran dengan mempergunakan mekanisme yang sama dengan Pilpres. Mekanisme inipun masih tetap dalam koridor demokrasi dan ketentuan konstitusi.


(30)

BAB II

PENGATURAN TENTANG PEMILIHAN

KEPALA DAERAH DI INDONESIA

A. Pengaturan Tentang Pemilihan Kepala Daerah menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen

Dari teori dan praktik yang berkembang selama ini memperlihatkan bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis yang tertinggi dalam negara (the higher law of the land). Sebagai hukum dasar tertulis yang tertinggi dalam negara, UUD 1945 menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Sehubungan dengan itu, UUD 1945 memuat apapun menggariskan tentang pembagian kekuasaan baik secara vertikal maupun horizontal.26

Inti dari pasal 18 tersebut adalah dalam negara Indonesia terdapat pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tersebut terdiri atas daerah besar dan

Untuk memahami secara utuh amanat konstitusi tentang pemilihan kepala daerah perlu terlebih dahulu memahami posisi daerah dalam pandangan. Undang-undang dasar memberikan arah yang jelas tentang posisi daerah itu. Pasal 18 UUD NRI 1945, menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”.

26

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah: Kewenangan Antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004, hal. 1


(31)

kecil. Pemerintahan yang dibentuk tersebut baik dalam daerah besar maupun kecil harus memperhatikan dua hal, yaitu:27

1. Dasar permusyawaratan, yakni pemerintahan daerah harus bersendikan demokrasi yang ciri utamanya adalah musyawarah dalam dewan perwakilan rakyat.

2. Hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa, yakni pemerintah daerah yang dibentuk tidal boleh secara sewenang-wenang menghapus daerah-daerah yang pada zaman Belanda merupakan daerah swapraja yang disebut zelfbesturende lanschjappen dan kesatuan masyarakat hukum pribumi, seperti Desa, Nagari, Marga, dan lain-lain yang disebut

volksgemenschappen atau zelfstandigemenschappen.

Adanya perintah kepada pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentang desentralisasi teritorial harus memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, yang menurut ketentuan pasal 18 UUD 1945 adalah bahwa dasar permusyawaratan juga diadakan pada tingkat daerah. Dengan demikian, permusyawaratan/ perwakilan tidak hanya terdapat pada pemerintahan tingkat pusat, melainkan juga pada pemerintahan tingkat daerah. Dengan kata lain, pasal 18 UUD 1945 menentukan bahwa pemerintahan daerah dalam susunan daerah besar dan kecil harus dijalankan melalui permusyawaratan atau harus mempunyai badan perwakilan. Dalam susunan kata atau kalimat pasal 18 tidak terdapat keterangan atau petunjuk

27


(32)

yang memungkinkan pengecualian dari prinsip atau dasar permusyawaratan perwakilan itu.28

Hatta29

Hak melakukan pemerintahan sendiri sebagai sendi kerakyatan dalam sebuah negara kesatuan (eenheidsstaat) tidak lain berarti otonomi, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Dengan demikian, makin kuat alasan bahwa pemerintahan dalam susunan daerah besar dan kecil menurut pasal 18 UUD 1945 tidak lain dari pemerintahan yang disusun atas dasar otonomi.

manfsirkan “dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”, dengan mengatakan sebagai berikut:

Bagian kalimat yang akhir ini, dalam undang-undang dasar, menyatakan bahwa hak melakukan pemerintahan sendiri bagi segenap bagian rakyat menjadi sendi kerakyatan Indonesia. Diakui bahwa tiap-tiap bagian untuk menentukan diri sendiri dalam lingkungan yang satu, supaya hidup jiwa rakyat seluruhnya dan tersusun tenaga pembangunan masyarakat dalam segala golongan untuk kesejahteraan Republik Indonesia dan kemakmuran penduduknya.”

30

Dalam pemilihan kepala daerah, UUD tidak mengatur apakah kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD. Namun Pasal 18 ayat (4) menegaskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Rumusan “dipilih secara demokratis”, lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR tahun 2000 antara pendapat yang menghendaki kepala daerah dipilih oleh DPRD dan pendapat lain yang menghendaki dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebagaimana diketahui, pada saat itu sedang berlangsung berbagai

28

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 283-284.

29

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

30


(33)

pemilihan kepala daerah di Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 yang dipilih oleh DPRD. Sebahagian besar proses maupun hasil pemilihan oleh DPRD tersebut mendapatkan protes dari rakyat di daerah yang bersangkutan dengan berbagai alasan. Kondisi inilah yang mendorong para anggota MPR untuk berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat untuk mengurangi protes kepada para anggota DPRD. Pada sisi lain dengan pertimbangan kesiapan berdemokrasi yang tidak sama antar berbagai daerah di Indonesia serta kebutuhan biaya yang besar dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung, dikhawatirkan akan menimbulkan instabilitas politik dan pembengkakan anggaran negara, sehingga sebahagian anggota MPR bersikukuh bahwa kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD. Disamping itu, pada saat yang sama terjadi perdebatan sangat tajam tentang cara pemilihan Presiden antara yang menghendaki pemilihan langsung oleh rakyat dan pemilihan oleh MPR dengan berbagai variannya, juga turut mempengaruhi perdebatan tentang cara pemilihan kepala daerah ini.31

Paling tidak ada dua prinsip yang terkandung dalam rumusan “kepala daerah dipilih secara demokratis”, yaitu pertama; kepala daerah harus “dipilih”, yaitu melalui proses pemilihan dan tidak dimungkinkan untuk langsung diangkat, dan kedua; pemilihan dilakukan secara demokratis. Makna demokratis di sini tidak harus dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih oleh DPRD yang anggota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui pemilu. Ketika Undang-undang No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah

31

Hamdan Zoelfa, Tinjauan Konstitusi Pemilihan Kepala Daerah, www.google.com. Diakses pada tanggal 16 Juni 2009.


(34)

diajukan oleh pemerintah dan diperdebatkan di DPR, tidak ada perdebatan yang mendalam lagi tentang apakah kepala daerah itu dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD. Hal ini, paling tidak disebabkan oleh dua hal, yaitu telah disepakatinya dalam perubahan ketiga dan keempat UUD 1945 bahwa presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat, dan kedua; dari berbagai penyerapan aspirasi masyarakat di seluruh Indonesia, baik yang dilakukan oleh Tim Departemen Dalam Negeri maupun DPR, diperoleh aspirasi dominan dari masyarakat menghendaki kepala daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat. Yang menjadi perdebatan adalah bagaimana mekanisme pemilihan langsung ini dilakukan di setiap daerah apakah disamakan atau bisa berbeda-beda di masing-masing daerah disesuaikan dengan kondisi dan kekhususan masing-masing daerah. Rumusan akhir UU No.32/2004, menujukkan dengan jelas bahwa mekanisme pemilihan ini lebih banyak diseragamkan dan hanya mengenai cara kampanye dan lain-lain yang bersifat sangat teknis diserahkan kepada daerah melalui KPUD masing-masing. Sedangkan posisi KPUD, dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam kerangka konsep UU No.32/2004 adalah sebagai perangkat daerah yang bersifat independen dan bukan perangkat KPU yang bersifat nasional.32

32 Ibid


(35)

B. Pengaturan Tentang Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974.

Mekanisme pemilihan kepala daerah dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 bahwa Kepala Daerah Tingakt I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan menteri dalam Negeri. Hasil pemilihan tersebut diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang di antaranya. Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah.33

Hasil pemilihan ini diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang di antaranya. Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Sedangkan dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menurut hirarki bertanggungjawab kepada

33


(36)

persiden melalui Menteri Dalam Negeri. Dalam men34

Secara terpisah, dalam pasal 24 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 mengatur tentang wakil kepala daerah. Dimana dikatakan bahwa wakil kepala daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari pegawai negeri yang memenuhi persyaratan. Dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa melalui pemilihan, Gubernur kepala daerah mengajukan calon wakil kepala daerah Tingkat I kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Wakil kepala daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari pegawai negeri yang memenuhi persyaratan. Dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa melalui pemilihan Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah mengajukan calon wakil Kepala Daerah tingkat II kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah diambil sumpahnya/janjinya dan dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi wakil kepala daerah Tingkat I dan oleh Gubernur Kepala Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri bagi wakil kepala daerah Tingkat II. Wakil Kepala Daerah membantu kepala daerah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehari-hari sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri jalankan hak, wewenang dan kewajiban Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

34


(37)

Dalam Negeri. Apabila kepala daerah berhalangan, wakil kepala daerah menjalankan tugas dan wewenang Kepala Daerah sehari-hari.

Dari pasal penjelasan pasal-pasal tersebut, terlihat bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sangat sentralistik dan represif. Dalam proses Pilkada, dapat dilihat bahwa kewenangan dari masyarakat daerah untuk menentukan nasibnya sendiri sangat jauh dari kenyataan. Kepala Daerah adalah orang yang harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat, sehingga sangat terbuka ruang dimana Kepala Daerah yang terpilih adalah bukan orang yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat di daerah.

C. Pengaturan Tentang Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Sentralisasi politik orde baru yang dituangkat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, telah terbukti hanya berfungsi untuk menjadikan pemerintahan daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat belaka.35

35

Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 130.

Kontrol yang sangat keta ini misalnya terlihat pada proses pemilihan kepala daerah dan pembuatan peraturan daerah. Bahkan tidak jarang pemerintah pusat melalui kementerian dalam negeri mementahkan kembali aspirasi masyarakat di daerah menyangkut kedua hal tersebut. Belum lagi persoalan pembagian sumber daya alam yang tidak mencerminkan keadilan antara pemerintah pusat dan daerah. Kondisi semacam itulah yang kemudian terakumulasi dan mencapai puncaknya ketika orde baru jatuh. Hampir seluruh


(38)

daerah merasa yang selama orde baru berkuasa merasa diperlakukan tidak adil, menuntut kemerdekaan. Derasnya arus reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam penyelesaian gugatan ketidakadilan oleh daerah terhadap pemerintah pusat tersebut. Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih memberikan keleluasaan menyelenggarakan pemerintahan daerahnya.

Affan Gaffar, salah seorang yang membidani lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa ada beberapa ciri khas yang membedakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan undang-undang sebelumnya, antara lain:36

1. Adanya upaya untuk melakukan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu dengan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat di daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memilih kepala daerah dan membuat peraturan daerahnya sendiri. 2. Upaya mendekatkan pemerintah kepada rakyat dengan menitikberatkan

otonomi daerah pada kabupaten dan kota, tentunya dengan asumsi akan mempermudah masyarakat dalam memperoleh pelayanan (publik service). 3. Sistem otonomi luas dan nyata di semua bidang pemerintahan kecuali yang

menyangkut kebijaksanaan politik luar negeri, hankam, moneter dan fiscal, sistem peradilan dan agama.

36

Dalam Ahmad Nadir, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi: Studi Atas Artikulasi Politik Nahdliyyin dan Dinamika Politik dalam Pilkada Langsung di Kab. Gresik, Jatim, Averroes Press, Malang, 2005, hal. 106-107


(39)

4. Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat yang diimplementasikan pada tidak dikenalnya lagi daerah Tingkat I dan II yang membawa konsekuensi Gubernur bukan lagi atasannya Bupati.

5. Penyerahan kewenangan kepada daerah kabupaten atau kota dilakukan bersamaan dengan penyerahan pembiayaan atas penyelenggaraan pemerintahan tersebut, selanjutnya hal ini diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Secara filosofis, otonomi daerah dapat diartikan sebagai sebuah mekanisme yang memberikan kewenangan kepada masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara luas dan mengekspresikan diri dalam bentuk-bentuk kebijakan lokal tanpa tergantung kepada kebijakan pemerintah pusat. Secara teknis, hal ini akan diimplementasikan pada proses politik yang terjadi di dalam penentuan kebijakan-kebijakan publik di daerah, seperti Pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya, pembuatan berbagai peraturan daerah dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah.37

Pasal 30 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa setiap daerah dipimpin oleh seorang kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang wakil kepala daerah. Kepala daerah propinsi disebut Gubernur yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai kepala daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi. Tata cara pelaksanaan

37


(40)

pertanggungjawaban, ditetapkan dengan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku kepala daerah, Bupati/ Walikota bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, ditetapkan dalam peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui pemilihan secara bersamaan. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui tahapan pencalonan dan pemilihan. Untuk pencalonan dan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pemilihan. Ketua dan para wakil ketua panitia pemilihan merangkap sebagai anggota. Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena jabatannya adalah Sekretaris Panitia Pemilihan, tetapi bukan anggota.

Lebih detail tentang proses pilkada menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pilkada adalah panitia pemilihan yang pada dasarnya memiliki tugas pokok, yaitu melakukan pemeriksaan berkas identitas mengenai bakat calon berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan; melakukan kegiatan teknis pemilihan calon; dan menjadi penanggungjawab penyelenggaraan pemilihan. Bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah yang memenuhi persyaratan sesuai dengan hasil


(41)

pemeriksaan yang dilakukan oleh panitia pemilihan, diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk ditetapkan sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.38

Setiap fraksi melakukan kegiatan penyaringan pasangan bakal calon sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam pasal 33. Setiap fraksi menetapkan pasangan bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah dan menyampaikannya dalam rapat paripurna kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dua fraksi atau lebih dapat bersama-sama mengajukan pasangan bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah. Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, setiap fraksi atau beberapa fraksi memberikan penjelasan mengenai bakal calonnya. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengundang bakal calon dimaksud untuk menjelaskan visi, misi, serta rencana-rencana kebijakan apabila bakal calon dimaksud terpilih sebagai kepala daerah. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat melakukan Tanya jawab dengan para bakal calon. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pimpinan fraksi-fraksi melakukan penilaian atau kemampuan dan kepribadian para bakal calon dan melalui musyawarah atau pemungutan suara menetapkan sekurang-kurangnya dua pasang calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang akan dipilih satu pasang di antaranya oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian, nama-nama, calon Gubernur dan calon wakil

38


(42)

Gubernur yang telah ditetapkan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikonsultasikan dengan presiden.39

Pemilihan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Apabila jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum mencapai kuorum, pimpinan rapat dapat menunda rapat paling lama satu jam. Apabila ketentuan tersebut belum tercapai, rapat paripurna diundur paling lama satu jam lagi dan selanjutnya pemilihan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tetap dilaksanakan. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan suaranya kepada satu pasang calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dari pasangan calon yang telah ditetapkan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan, ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan disahkan oleh Presiden. Kepala daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali

Nama-nama calon Bupati dan calon wakil Bupati serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota yang akan dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dengan keputusan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

39 Ibid


(43)

hanya untuk sekali masa jabatan. Kepala daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Presiden.

Tentang pemberhentian kepala daerah diatur bahwa Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena:40

a. Meninggal dunia

b. Mengajukan berhenti atas permintaan sendiri

c. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru d. Tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 e. Melanggar sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (3) f. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 48

g. Mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pemberhentian Kepala Daerah karena alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ditetapkan dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan disahkan oleh presiden. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dan jumlah anggota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir.

40


(44)

D. Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Perubahan yang paling signifikan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini terdiri dari 240 pasal, dari 240 pasal tersebut, 63 pasal di antaranya mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, yaitu pasal 56 sampai dengan pasal 119.

Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan reformasi dan amandemen UUD 1945, undang-undang ini menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Asas yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sama dengan asas pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).

Sistem pilkada dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu pilkada langsung dan pilkada tidak langsung. Faktor utama yang membedakan kedua metoda tersebut adalah bagaimana partisipasi politik rakyat dilaksanakan atau diwujudkan. Tepatnya adalah metoda penggunaan suara yang berbeda.


(45)

Pilkada yang tidak memberi ruang bagi rakyat untuk menggunakan hak pilih aktif, yakni hak untuk memilih dan hak untuk dipilih, dapat disebut dengan pilkada tak langsung, seperti sistem pengangkatan dan/atau penunjukan oleh pemerintah pusat atau sistem pemilihan perwakilan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam sistem pengangkatan dan/atau penunjukan oleh pemerintah pusat, kedaulatan atau suara rakyat diserahkan bulat-bulat kepada pejabat pusat, baik Presiden maupun Menteri Dalam Negeri. Dalam sistem pemilihan perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedaulatan rakyat atau suara rakyat diwakilkan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebaliknya pilkada langsung selalu memberikan ruang bagi implementasi hak pilih aktif. Seluruh warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena itulah, pilkada langsung sering disebut implementasi demokrasi partisipatoris, sedangkan pilkada tak langsung adalah implementasi demokrasi elitis.41

Cara paling efektif untuk membedakan pilkadan langsung dan tak langsung adalah dengan melihat tahapan-tahapan kegiatan yang digunakan. Dalam pilkada tak langsung, partisipasi rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Rakyat ditempatkan sebagai penonton proses pilkada yang hanya melibatkan elit. Rakyat sekadar menjadi objek politik, misalnya kasus dukung mendukung. Penonjolan peran dan partisipasi terletak pada elit politik, baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau pejabat pusat. Dalam pilkada langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan

41


(46)

sangat terlihat jelas dan terbuka lebar. Rakyat merupakan subjek politik. Mereka menjadi pemilih, penyelenggara, pemantau dan bahkan pengawas. Oleh sebab itu, dalam pilkada langsung, selalu ada tahapan kegiatan pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan sebagainya.42

a. Masa persiapan, meliputi:

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi sebagai berikut:

1. Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan

2. Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah

3. Perencanaan, penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah

4. Pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS, dan KPPS 5. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau

b. Tahapan pelaksanaan, meliputi: 1. Penetapan daftar pemilih

2. Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

3. Kampanye

4. Pemungutan suara

42


(47)

5. Penghitungan suara

6. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan dan pelantikan.

Dari enam kegiatan tahap pelaksanaan tersebut, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai pemilih dan pemantau terlihat dalam penetapan daftar pemilih, kampanye, pencalonan, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Hal itulah yang mencirikan bahwa pilkada berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan pilkada langsung. Namun persyaratan pilkada langsung akan lebih lengkap, dalam pengertian warga menggunakan hak pilih aktif, apabila rakyat atau warga terlibat langsung dalam tahap pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah serta penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih. Keterlibatan tersebut tidak hanya menjadi calon, namun juga mengawasi proses yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

E. Pencalonan Kepala Daerah Sebelum Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Calon Perseorangan

Kualitas kompetisi dalam pilkada sesungguhnya dapat dilihat dari sistem pencalonan atau pendaftaran calon yang digunakan. Pencalonan juga merupakan suatu dimensi hak pilih aktif, yakni hak warga untuk dipilih. Dimensi lainnya adalah hak warga untuk memilih. Karena itulah, pencalonan merupakan tahapan penting yang ditunggu-tunggu masyarakat, khususnya para politisi dalam pilkada langsung.


(48)

Suatu pencalonan disebut kompetitif apabila secara hukum (de jure) dan kenyataan (de facto) tidak menetapkan pembatasan dalam rangka menyingkirkan calon-calon atau kelompok tertentu atas alasan-alasan politik.43

Selama ini dikenal 2 jenis sistem pencalonan dalam pilkada langsung, yaitu:

Artinya ketentuan perundang-undangan harus memberikan akses yang sama besar bagi warga yang memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Namun bukanlah sesuatu yang tidak benar apabila diatur mengenai persyaratan calon karena kedudukan dan fungsi kepala daerah menuntut kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan yang memadai.

44

1. Sistem pencalonan terbatas

Sistem pencalonan terbatas adalah sistem pencalonan yang hanya membuka akses bagi calon-calon dari partai politik.45

43

Aurel Croissant dalam Aurel Croissant et.al, “Pendahuluan”, Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, Pensil-324 dan Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, hal. 13.

44

Joko Prihatmoko, Op.Cit, hal. 235-236.

45

Sistem ini mulai dikenal pada abad 18, yang ditandai dengan kelahiran partai-partai politik di Eropa Barat.

Paradigm berfikir yang dianut sistem pencalonan terbatas adalah bahwa hanya partai-partai politik saja yang memiliki sumber daya manusia yang layak memimpin pemerintahan atau hanya partai-partai politik yang menjadi sumber kepentingan. Komunitas atau kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, seperti organisasi massa, organisasi social, professional, usahawan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sebagainya dianggap belum mampu mencetak sumber daya manusia yang mampu bukanlah memimpin pemerintahan atau menjadi sumber kepemimpinan. Oleh sebab itulah,


(49)

sistem pencalonan terbatas dikenal sebagai salah satu cirri demokrasi elitis, yang biasa dianut di negara-negara otoritarian dan sosialis. Misalnya, sistem ini pernah digunakan Uni Soviet tahun 1990-an sehingga seluruh kepala daerah adalah pengurus partai komunis.

2. Sistem pencalonan terbuka

Sistem pencalonan terbuka memberi akses yang sama bagi anggota/ pengurus partai-partai politik dan anggota komunitas atau kelompok-kelompok lain di masyarakat, seperti organisasi masa, organisasi sosial, professional, usahawan, LSM, bintang film dan intelektual, jurnalis dan sebagainya. Paradigma sistem pencalonan terbuka adalah bahwa sumber daya manusia berkualitas tersebar dimana-mana dan sumber kepemimpinan dapat berasal dari latar belakang apapun. Sumber daya manusia memiliki kesempatan berkembang dan bertumbuh secara sama di sektor sosial, bisnis, dan akademik. Sistem pencalonan terbuka semakin populer dengan berkembangnya industrialisasi sehingga wajar apabila dianut oleh negara-negara demokrasi mapan, yang nota bene Negara industri dengan tingkat ekonomi maju atau sangat maju, seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman, dan sebagainya. Pilkada di Republik Rusia saat ini misalnya, sudah mengakomodasikan sistem pencalonan terbuka. Demikian pula dengan pencalonan untuk anggota parlemen.

Sistem pencalonan pilkada langsung yang dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 merupakan sistem yang tidak memiliki batas-batas yang tegas sebagai sistem


(50)

terbatas atau terbuka. Indikator utama bahwa batas sistem pencalonan tidak jelas adalah bahwa mekanisme pendaftaran calon menempatkan partai politik pada posisi dan fungsi yang sangat strategis atau menentukan46, namun calon perseorangan diakomodir dalamn proses pencalonan pilkada langsung tetapi aksesnya sangat sempit.47 Sempitnya akses calon perseorangan itulah yang memberi konfirmasi bahwa nuansa rekrutmen calon oleh partai menggunakan sistem tertutup.48

- Penjelasan pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 Peserta dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pengertian partai politik atau gabungan partai politik dalam hal ini, adalah partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan ditetapkannya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, berkenaan dengan permohonan uji materil terhadap penjelasan pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka MK dalam putusannya menyatakan:

- Penjelasan pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu 2004 yang tidak memiliki kursi di Dewan

46

Lihat pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

47

Lihat pasal 59 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

48


(51)

Perwakilan Rakyat Daerah, dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam pilkada, asal saja partai politik atau gabungan partai politik dimaksud memiliki akumulasi suara sah pada pemilu legislatif yang lalu, sekurang-kurangnya 15%.

Dengan demikian, partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon adalah partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat:

1. Memiliki sekurang-kurangnya lima belas persen di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atau

2. Memiliki lima belas persen akumulasi perolehan suara sah dalam daerah pemilihan yang bersangkutan.

Syarat kedua ini merupakan alternatif bagi partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memenuhi syarat pertama, yaitu lima belas persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini dimungkinkan karena terdapat kemungkinan partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memperoleh lima belas persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, memperoleh lima belas persen akumulasi suara sah karena adanya sisa suara di daerah-daerah pemilihan yang tidak terkonversi dalam bentuk kursi.

Untuk memberi peluang kepada bakal calon perorangan, partai politik atau gabungan partai politik, wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perorangan dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud, melalui mekanisme yang demokratis dan transparan. Dalam menetapkan calon,


(52)

partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.

Idealnya proses pencalonan dilakukan melalui sistem dua pintu. Pintu pertama melalui partai politik, sedangkan pintu kedua melalui usulan dari masyarakat. Pasangan calon yang diusulkan oleh masyarakat ini, umpamanya diisyaratkan harus mendapat dukungan satu persen dari jumlah pemilih terdaftar.49

Syarat-syarat untuk dapat diusulkan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat:50

1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Setia kepada pancasila sebagai dasar Negara, UUD Negara RI Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara kesatuan Republik Indonesia serta pemerintah

3. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah lanjutan tingkat Atas/atau sederajat

4. Berusia sekurang-kurangnya tiga puluh tahun

5. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter

6. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau lebih.

49

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 70.

50


(53)

7. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

8. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat

9. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan 10.Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau

secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara

11.Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

12.Tidak pernah melakukan perbuatan tercela

13.Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP, wajib mempunyai bukti pembayaran pajak

14.Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan, serta keluarga kandung, suami atau isteri

15.Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, selama dua kali masa jabatan yang sama, dan

16.Tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah.

Pada saat mendaftarkan pasangan calon ke KPUD, partai politik atau gabungan partai politik wajib menyerahkan:51

1. Surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung

51


(54)

2. Kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon

3. Surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan, yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan-pimpinan partai politik yang bergabung

4. Surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan

5. Surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon 6. Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila

terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan

7. Surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota TNI, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

8. Surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya, bagi pimpinan DPRD, tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya

9. Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

10.Kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah 11.Naskah visi, misi dan program dari pasangan calon secara tertulis.


(55)

Partai politik atau gabungan partai politik hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasanga calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya. Masa pendaftaran pasangan calon berlangsung paling lama tujuh hari, terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon.

KPUD dalam melakukan penelitian terhadap persyaratan administrasi dari para calon, perlu melakukan klarifikasi terhadap instansi pemerintah yang berwenang dan menerima masukan dari masyarakat. Hasil penelitian tersebut dalam jangka waktu paling lama tujuh hari, terhitung sejak tanggal penutupan pendaftaran, diberitahukan secara tertulis kepada pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan calon bersangkutan.52 Apabila pasangan calon, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan KPUD, ternyata belum memenuhi syarat atau ditolak karena tidak memenuhi syarat, partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon, diberi kesempatan untuk dan/atau memperbaiki surat percalonan, beserta persyaratan pasangan calon atau mengajukan calon baru, paling lambat tujuh hari pada saat pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPUD.53

52

Pasal 60 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

53

Pasal 60 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Selanjutnya, KPUD melakukan penelitian ulang kelengkapan data dan/atau perbaikan persyaratan pasangan calon dan memberikan hasil penelitian tersebut paling lambat tujuh hari kepada pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan. Apabila hasil penelitian persyaratan pasangan calon untuk kedua kalinya ditolak oleh KPUD,


(56)

partai politik atau gabungan partai politik yang bersangkutan tidak dapat lagi mengajukan pasangan calon baru.

Berdasarkan hasil penelitian, KPUD menetapkan pasangan calon minimal dua pasangan calon yang dituangkan dalam berita acara penetapan pasangan calon.54

54

Pasal 60 ayat (2) dan (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Sayangnya, dalam undang-undang ini tidak diatur bagaimana jalan keluarnya apabila pasangan calon yang memenuhi syarat berdasarkan hasil penelitian KPUD hanya satu pasangan. Kita berharap jalan keluar untuk mengatasi masalah ini akan kita temukan dalam peraturan pemerintahsebagai peraturan pelaksana dari UU No. 32 Tahun 2004.

Pasangan calon yang sudah ditetapkan oleh KPUD diumumkan secara luas paling lambat tujuh hari sejak selesainya penelitian. Kemudian, dilakukan undian secara terbuka, dalam arti wajib dihadiri oleh pasangan calon, wakill partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan, pers dan wakil masyarakat, terhadap pasangan calon yang sudah ditetapkan/diumumkan untuk menentukan nomor urut pasangan calon. Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004, penetapan pengumuman calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal ini berarti tidak ada lagi upaya, baik secara politis maupun secara hukum dilakukan untuk membatalkan penetapan pasangan calon tersebut.

Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menarik calonya dan/atau pasangan calonnya. Pasangan calon atau seorang dari pasangan calon dilarang mengundurkan diri, partai politik atau gabungan partai politik yang dicalonkan tidak dapat lagi mengajukan calon penganti.


(57)

Kemudian, apabila salah satu calon berhalangan tetap:55

1. Sejak penetapan calon sampai pada saat dimulainya hari kampanye, partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap, dapat mengusulkan calon pengganti, paling lambat tiga hari sejak pasangan calon berhalangan tetap. Kemudian, KPUD melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambat empat hari sejak calon pengganti di daftarkan. 2. Sejak dimulainya kampanye sampai pemungutan suara, dan masih terdapat

dua pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti dan dinyatakan gugur;

Apabila salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara sehingga jumlah pasangan calon kurang dari dua pasangan, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditunda paling lambat tiga puluh hari sejak pasangan calon berhalangan tetap. Kemudian, KPUD melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambat empat hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan.

3. Setelah pemungutan suara putaran pertama, sampai dimulainya hari pemungutan suara putaran kedua, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, ditunda paling lambat tiga puluh hari.

55


(58)

Dalam hal ini partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap, mengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat tiga hari sejak pasangan calon berhalangan tetap. Selanjutnya, KPUD melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambat empat hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan.

F. Pencalonan Kepala Daerah Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Calon Perseorangan

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) diatur dalam UU Pemda pada pasal 56. Sebelumnya Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun ada keinginan dari masyarakat untuk memilih kepala daerah tanpa harus melalui partai politik. Masyarakat menilai kinerja partai politik seelama ini sangat mengecewakan. Keinginan masyarakat tersebut akhirnya melalui Lalu Ranggalawe diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materil terhadap UU No. 32 tahun 2004 tenteng Pemerintahan Daerah. Ranggalawe mengangap bahwa undang-undang tersebut membatasi hak warganegara untuk duduk dala pemerintahan. Akhirnya pada tahun 2007 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa calon perseorangan (calon independen) dapat ikut dalam pilkada.


(1)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: Calon Independen dalam Pemilihan Kepala Daerah Ditinjau dari Undang-undang Pemerintahan Daerah.

Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat konstruktif di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(2)

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Armansyah, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Ahmad Siregar, SH sebagai Dosen Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini kepada penulis.

8. Bapak Mirza Nasution, SH, M. Hum, sebagai Dosen Pembimbing II, terima kasih atas perhatian dan bimbingan Bapak kepada penulis selama penulisan skripsi.

9. Bapak Affan Mukti, SH. M. Hum sebagai Dosen Penasehat Akademik selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum USU.


(3)

tulus dan dengan susah payah dan segala upaya telah membesarkan dan mendidik ananda hingga ananda dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi, serta seluruh keluarga besar yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini. 13.Buat saudara-saudaraku, Kakak, Abang, dan Adik-adikku semoga kalian

dilindungi-Nya selalu

14.Buat saudara-saudara seperjuangan di HMI, teruslah berjuang! Yakin Usaha Sampai!

15.Juga teman-teman lain yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, kalian akan selalu dihatiku.

16.Buat semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 18 Juni 2009


(4)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II PENGATURAN TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA ... 27

A. Pengaturan Tentang Pemilihan Kepala Daerah menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen ... 27

B. Pengaturan Tentang Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 ... 32

C. Pengaturan Tentang Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ... 34

D. Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ... 41


(5)

F. Pencalonan Kepala Daerah Setelah Keluarnya Putusan

Mahkamah Konstitusi tentang Calon Perseorangan ... 55

BAB III TINJAUAN TERHADAP LAHIRNYA CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH ... 67

BAB IV PELAKSANAAN CALON PERSEORANGAN (INDEPENDEN) DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH ... 80

A. Gambaran Umum Kab. Deli Serdang ... 80

B. Penerapan calon independen pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Deli Serdang ... 82

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. Kesimpulan... 89

B. Saran ... 91


(6)

ABSTRAKSI

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 telah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan untuk maju sebagai calon kepala daerah di dalam pelaksanaan Pilkada di seluruh Indonesia (bukan hanya di provinsi NAD). Mahkamah Konstitusi (MK) menilai, pasal-pasal tertentu dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membatasi hak-hak berpolitik setiap warga negara sebagaimana dijamin UUD 1945, terutama kesamaan hakwarga negara untuk memperoleh kesempatan dalam pemerintahan yang dijamin pasal 28D ayat (1) dan (3). Dengan demikian maka pencalonan perorangan tanpa melalui mekanisme partai politik dalam Pilkada mendapatkan landasan konstitusinya melalui keputusan MK tersebut.

Tulisan ini membahas tentang pengaturan tentang pemilihan kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut UUD 1945, faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya calon independen, pelaksanaan calon perseorangan (independen) dalam Pemilihan Kepala Daerah, yang dalam hal ini penulis mengambil contoh pemilihan kepala daerah di Kabupaten Deli Serdang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Pengaturan tentang pemilihan kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sebelum reformasi diatur melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah reformasi diatur oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang dan Undang-Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Calon independen dalam pemilihan kepala daerah lahir karena beberapa faktor, yakni keinginan masyarakat yang kecewa terhadap kinerja partai politik, Pilkada DKI Jakarta yang menyuarakan diberlakukannya calon independen dan faktor undang-undang tentang Pemerintahan Aceh yang di dalamnya memperbolehkan calon independen dalam Pilkada di Provinsi NAD. Pelaksanaan calon perseorangan (independen) dalam Pemilihan Kepala Daerah di beberapa daerah telah terlaksana sesuai dengan apa


Dokumen yang terkait

Pengawasan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

3 97 90

Model Pemrograman Kuadratik Dalam Pembagian Daerah Pemilihan Umum .

2 32 59

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Pengaruh Isu Politik yang Berkembang Saat Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Terhadap Preferensi Politik Pemilih (Studi Kasus: Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan Universitas HKBP Nomennsen)

0 40 170

ANALISIS KEIKUTSERTAAN CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2008

0 4 154

PENGATURAN DAN PELAKSANAAN CALON PERSEORANGAN PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH (STUDI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH KOTA P

0 0 15

PENYELESAIAN KEBERATAN HASIL PENGHITUNGAN SUARA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2OO4 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DI PENGADILAN TINGGI PADANG.

0 0 9

PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH BERDASARKAN UNDANG.UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2OO4 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 11

PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2OO4 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 6

TUGAS DAN WEWENANG KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH -

0 0 67