Analisis Peramalan Tingkat Produksi Dan Konsumsi Daging Sapi Nasional Dalam Rangka Swasembada Pangan

1

ANALISIS PERAMALAN TINGKAT PRODUKSI DAN
KONSUMSI DAGING SAPI NASIONAL DALAM
RANGKA SWASEMBADA PANGAN

NOVA MELINDA SINAGA

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR
2015

2

3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Peramalan
Tingkat Produksi dan Konsumsi Daging Sapi Nasional dalam Rangka
Swasembada Pangan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Nova Melinda Sinaga
NIM H24124028

4

5

ABSTRAK


NOVA MELINDA SINAGA, Analisis Peramalan Tingkat Produksi Dan
Konsumsi Daging Sapi Nasional Dalam Rangka Swasembada Pangan, Dibimbing
oleh MUHAMMAD SYAMSUN dan NUR HADI WIJAYA
Swasembada daging sapi merupakan salah satu dari lima program utama
Kementerian Pertanian. Tingginya konsumsi daging sapi nasional tidak dapat
terpenuhi dari jumlah produksi daging sapi lokal. Kebutuhan konsumsi dipenuhi
oleh daging sapi lokal dan impor, yang berpengaruh terhadap swasembada daging
sapi. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif dan metode peramalan
dengan time series. Metode peramalan yang digunakan untuk jumlah produksi
adalah metode ARIMA(1,1,1), sedangkan untuk konsumsi adalah metode Trend
Quadratic karena memiliki nilai MSE terkecil. Hasil peramalan menunjukkan
jumlah konsumsi dan jumlah produksi mengalami peningkatan pada tahun 20142019. Hasil analisis kesenjangan menunjukkan tingginya kesenjangan antara
jumlah konsumsi dan jumlah produksi daging sapi yang kemudian akan dipenuhi
oleh daging sapi impor, sehingga pada analisis potensi swasembada disimpulkan
bahwa Indonesia tidak dapat melakukan swasembada daging sapi pada tahun
2014-2019 dikarenakan tidak terpenuhinya kebutuhan konsumsi daging sapi oleh
produksi daging sapi lokal.
Kata Kunci


: daging sapi, konsumsi, produksi, swasembada

ABSTRACT

NOVA MELINDA SINAGA, Forecasting Analysis Of The Level Production And
Beef Consumption In The Framework Of Nation Food Self-Sufficiency,
Supervised by MUHAMMAD SYAMSUN dan NUR HADI WIJAYA
Beef self-sufficiency is one of the five ministries of agriculture programs.
Nation high consumption of beef can’t be met from local production.
Consumption need are met by local production and imported beef, which be affect
the beef self-sufficiency. Data analysis was conducted using descriptive and
forecasting with time series method. Forecasting method are use for production is
ARIMA (1,1,1) method and for consumption is a Trend quadratic because it has
the smallest MSE value. Forecasting result showed the amount of production and
consumption have increase in 2014-2019. Result of gap analysis showed the large
disparity between consumption and beef production which will then be filled by
imports, so that the conclusion analysis of the potential for self-sufficiency is
Indonesian can’t be doing beef self-sufficiency in 2014-2019 because of unmet
demand for consumption by local beef production.
Keyword


: beef, consumption, production, self-sufficiency

6

7

ANALISIS PERAMALAN TINGKAT PRODUKSI DAN
KONSUMSI DAGING SAPI NASIONAL DALAM
RANGKA SWASEMBADA PANGAN

NOVA MELINDA SINAGA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Program Sarjana Alih Jenis Manajemen
Departemen Manajemen


PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

1

1

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hikmat dan
karunia-Nya sehingga penelitian yang berjudul Analisis Peramalan Tingkat
Produksi dan Konsumsi Daging Sapi Nasional dalam Rangka Swasembada
Pangan dapat diselesaikan. Penelitian ini dilakukan sebagai syarat untuk
menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) Jurusan Manajemen, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih kepada Mama N.Sihaloho dan Bapak O. Sinaga, adikku serta

keluarga besar yang mendukung dan memotivasi penulis. Dr Ir Muhammad
Syamsun M.Sc dan Nur Hadi Wijaya, STP MM selaku dosen pembimbing yang
memberikan bimbingan kepada penulis. Drs Edward H Siregar, MM selaku dosen
penguji yang memberikan masukan. Hardiana Widyastuti S.Hut, MM selaku
dosen Quality Control dan M. Syaefudin Andriayanto STP, M.Si selaku dosen
moderator. Segenap dosen program sarjana ahli jenis manajemen yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat dan staff pendukung sekretariat yang telah
membantu dalam akademis. Teman-teman PSAJM 10 dan sahabat-sahabat serta
seluruh pihak yang terkait yang telah membantu dan memberikan dukungan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai
tambahan informasi bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, Februari 2015

Nova Melinda Sinaga
H24124028

vi


1

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

2

DAFTAR GAMBAR

2

DAFTAR LAMPIRAN

2

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Ruang Lingkup Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

4

Sapi


4

Daging Sapi

4

Produksi Daging Sapi

4

Konsumsi Daging Sapi

5

Program Swasembada Daging Sapi (PSDS)

5

Penelitian Terdahulu yang Relevan


6

METODE

7

Kerangka Pemikiran Penelitian

7

Lokasi dan Waktu Penelitian

9

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

9

Pengolahan Data


9

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Perkembangan Daging Sapi 1984-2013

11

Analisis Stasioner Data

13

Identifikasi Model ARIMA

14

Analisis Peramalan Time Series

16

Analisis Metode Peramalan Terbaik

17

Analisis Kesenjangan Jumlah Produksi dan Konsumsi

20

Analisis Potensi Pencapaian Swasembada Daging Sapi

21

Implikasi Manajerial

22

SIMPULAN DAN SARAN

23

DAFTAR PUSTAKA

24

2

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

34
DAFTAR TABEL

1 Ekspor dan impor daging sapi 2009-2012
2 Nilai MSE metode peramalan produksi daging sapi
3 Nilai MSE metode peramalan konsumsi daging sapi
4 Nilai MSE berbagai metode peramalan
5 Hasil peramalan produksi dan konsumsi dalam bentuk logaritma natural
6 Jumlah produksi daging sapi lokal dan konsumsi hasil peramalan
7 Analisis gap produksi dan konsumsi daging sapi
8 Jumlah peluang impor daging sapi 2014-2019

2
15
16
17
19
19
20
21

DAFTAR GAMBAR

1 Jumlah produksi peternakan tahun 2009-2013 (000 ton)
2 Kerangka pemikiran penelitian
3 Pola produksi daging sapi
4 Pola konsumsi daging sapi
5 Grafik plot data pada First Difference data ln produksi
6 Grafik plot data pada First Difference data ln konsumsi
7 Grafik plot peramalan produksi metode ARIMA (1,1,1)
8 Residual plot peramalan produksi metode ARIMA (1,1,1)
9 Grafik plot peramalan produksi metode ARIMA (1,1,1)

1
8
12
13
14
14
17
18
18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai ln konsumsi dan produksi daging sapi lokal tahun 1984-2013
2 Grafik plot data ln produksi dan ln konsumsi
3 Uji ACF dan PACF data ln produksi pada First Difference
4 Uji ACF dan PACF data ln konsumsi pada First Difference
5 Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk produksi daging sapi
6 Uji Residual ACF dan Residual PACF pada ARIMA (1,1,1)
7 Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk konsumsi daging sapi
8 Uji Residual ACF dan Residual PACF pada ARIMA (1,1,1)
9 Hasil peramalan konsumsi terpilih metode Trend Quadratic
10 Persamaan umum peramalan jumlah produksi metode Trend
11 Persamaan umum peramalan jumlah konsumsi metode Trend

29
29
30
30
31
31
32
32
33
33
33

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Ketersediaan
pangan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya, terus diupayakan
pemerintah melalui program ketahanan pangan. Meningkatnya jumlah penduduk
dan kesadaran masyarakat akan kebutuhan pangan menyebabkan perubahan pola
konsumsi serta selera masyarakat. Pergeseran pola konsumsi masyarakat dari
protein nabati menjadi protein hewani mendorong tingginya permintaan terhadap
pangan hewani. Permintaan pangan hewani yakni daging, susu dan telur
cenderung meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan
ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran akan gizi serta perbaikan
pendidikan masyarakat (PUSDATIN 2014). Pemenuhan kebutuhan konsumsi
masyarakat salah satunya didukung dengan jumlah produksi pangan hewani
tersebut. Jumlah produksi pangan hewani di Indonesia pada tahun 2009-2013
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Jumlah produksi peternakan tahun 2009-2013 (000 ton)
(Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013)
Tahun 2013, total produksi daging sebanyak 2.827,8 ribu ton yang terdiri
dari daging sapi potong, kerbau, kambing, domba, babi, ayam buras, ayam broiler
dan ternak lainnya. Produksi daging, khususnya daging sapi, mengalami rata-rata
peningkatan sebesar 6,25% pertahun sejak tahun 2009-2013 (DITJENAK 2013).
Hal ini dikarenakan meningkatnya permintaan masyarakat akan pemenuhan
kebutuhan protein hewani. Kandungan zat nutrisi terutama protein, sangat tinggi
pada daging sapi. Protein dari daging sapi mempunyai struktur asam amino yang
mirip dalam tubuh manusia, tidak dapat dibuat oleh tubuh (essensial), serta
susunannya relatif lebih lengkap dan seimbang (PUSDATIN 2014).
Jumlah konsumsi daging sapi dipenuhi dengan produksi daging sapi lokal
dan impor baik dalam bentuk daging sapi beku maupun dalam bentuk sapi
bakalan yang akan digemukkan dan di potong di Indonesia. Jumlah impor daging
sapi tahun 2009-2012 dapat dilihat pada Tabel 1.

2

Tabel 1 Impor daging sapi 2009-2012
Tahun

Impor

Volume (kg)
Nilai (USD)
2009
67.390.133
188.187.318
2010
90.505.738
289.506.475
2011
65.022.487
234.265.843
2012
39.419.157
164.887.147
Total
262.337.515
876.846.783
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013, diolah
Berdasarkan Tabel 1, impor daging sapi Indonesia meningkat pada tahun
2010 tetapi kemudian mengalami penurunan ditahun selanjutnya. Hal ini
dikarenakan pembatasan kuota impor daging sapi dan sapi siap potong pada tahun
2010. Penurunan impor daging sapi berbanding lurus dengan peningkatan
produksi daging sapi lokal.
Peningkatan jumlah produksi daging sapi lokal secara nyata ternyata tidak
selalu berdampak positif. Peningkatan jumlah produksi lokal akibat penurunan
jumlah daging impor berakibat terhadap menurunnya jumlah dan populasi ternak
sapi di Indonesia. Hal ini dikarenakan jumlah kelahiran hidup sapi tidak
sebanding dengan jumlah pemotongan ternak sapi. Saat ini, didaerah sentra sapi
potong seperti NTB dan NTT semakin sulit mendapatkan ternak sapi potong
jantan dengan bobot 300 kg atau lebih per ekornya. Ternak sapi yang banyak
ditemui adalah sapi berukuran kecil dengan bobot 250 kg/ekor, sehingga untuk
mendapatkan 1 ton daging sapi diperlukan jumlah sapi lebih banyak. Tingginya
permintaan daging sapi juga menyebabkan meningkatnya pemotongan ternak sapi
potong betina produktif. Pemotongan sapi betina produktif berarti mengurangi
jumlah ternak sapi yang lahir (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2013).
Permasalahan yang timbul akibat pembatasan kuota impor tahun 2010
serta semakin meningkatnya permintaan akan daging sapi mendorong pemerintah
melakukan perubahan peraturan. Tanggal 18 Juli 2013, menteri perdagangan
2009-2014, Gita Wirjawan menandatangani surat pembebasan kuota impor sapi
siap potong. Perubahan peraturan tersebut berpengaruh terhadap penurunan
produksi daging sapi lokal serta berakibat pada pencapaian swasembada daging
sapi.
Kementerian Pertanian (2010) dalam Peraturan Menteri Pertanian
mengenai Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014 memiliki
sasaran untuk meningkatkan produksi daging dalam negeri sebesar 10,4% setiap
tahunnya dan penurunan impor sapi hingga mencapai 10% kebutuhan konsumsi
Indonesia. Perbedaan jumlah konsumsi dan jumlah produksi lokal daging sapi
menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mencapai program
swasembada daging sapi. Peramalan jumlah konsumsi daging sapi nasional dan
jumlah produksi daging sapi lokal penting untuk mengetahui potensi pencapaian
swasembada daging sapi. Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukakan,
penulis melakukan penelitian yang berjudul Analisis Peramalan Tingkat Produksi
Dan Konsumsi Daging Sapi Nasional Dalam Rangka Swasembada Pangan.

3

Perumusan Masalah
Ketersediaan pangan hewani nasional, dalam hal ini daging sapi, menjadi
perhatian penting. Hal ini dikarenakan sumbangan protein terbesar terhadap
konsumsi protein hewani berasal dari daging. Tingginya permintaan masyarakat
akan daging sapi mendorong peningkatan jumlah produksi daging sapi, baik
produksi daging sapi lokal maupun impor. Kesenjangan antara jumlah konsumsi
daging sapi dengan jumlah produksi menjadi perhatian pemerintah terlebih dalam
pencapaian program swasembada daging sapi, di mana kementerian pertanian
memiliki sasaran untuk meningkatkan produksi daging dalam negeri sebesar
10,4% setiap tahunnya dan penurunan impor sapi hingga mencapai 10%
kebutuhan konsumsi Indonesia. Peramalan jumlah konsumsi daging sapi dimasa
yang akan datang menjadi penting dalam melakukan berbagai strategi dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini
difokuskan pada proyeksi kebutuhan konsumsi dan produksi daging sapi serta
kesenjangan antara produksi dan konsumsi dan melihat dampaknya terhadap
pencapaian swasembada daging sapi.
1. Bagaimana proyeksi produksi daging sapi nasional tahun 2015-2019?
2. Bagaimana proyeksi konsumsi daging sapi nasional tahun 2015-2019?
3. Bagaimana kesenjangan antara produksi dan konsumsi daging sapi?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis proyeksi produksi daging sapi nasional tahun 2015-2019
2. Menganalisis proyeksi konsumsi daging sapi nasional tahun 2015-2019
3. Menganalisis kesenjangan antara produksi dan konsumsi
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian yaitu melakukan proyeksi ataupun peramalan
jumlah konsumsi dan jumlah produksi daging sapi nasional tahun 2015-2019.
Analisa kemudian dilanjutkan untuk mengetahui kesenjangan antara produksi dan
konsumsi serta melihat kemungkinan pencapaian program swasembada daging
sapi. Analisa dilakukan pada jumlah konsumsi dan produksi daging sapi nasional.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi
Sapi merupakan hewan ternak famili Bovidae dan subfamili Bovinae. Sapi
pada umumnya dipelihara untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya. Disejumlah
tempat, sapi juga digunakan sebagai alat transportasi dan digunakan dalam
pengolahan lahan pertanian.
Berdasarkan umur, jenis kelamin dan kondisi seksual, daging sapi (beef)
berasal dari:
1. Steer (sapi betina yang dikastrasi sebelum mencapai dewasa kehamilan)
2. Heifer (sapi betina yang belum pernah melahirkan)
3. Cow (sapi betina dewasa/pernah melahirkan)
4. Bull (sapi jantan dewasa)
5. Stag (sapi jantan yang dikastrasi setelah dewasa)
Penggemukan sapi dilakukan pada sapi yang sudah mencapai umur 2-3
tahun pada umumnya. Akan tetapi, sekarang penggemukan sapi dimulai dari umur
12-18 bulan atau paling tua pada umur 2,5 tahun. Hal ini dikarenakan, pada umur
tersebut sapi telah memasuki fase pertumbuhan baik pembentukan kerangka
maupun jaringan daging.
Daging Sapi
PUSDATIN (2014) mengatakan setiap 100 gram daging sapi mengandung
18,8 gram protein. Protein pada daging sapi memiliki struktur yang mirip
manusia, tidak dapat dibuat oleh tubuh (essensial), susunan asam aminonya relatif
lebih lengkap dan seimbang. Protein merupakan penyusun sebagian besar organ
tubuh. Fungsi protein bagi tubuh antara lain: 1) sebagai pertumbuhan; 2)
memperbaiki sel-sel yang rusak; 3) sebagai bahan pembentuk plasma kelenjar,
hormon dan enzim; 4) sebagai cadangan energi, jika karbohidrat sebagai sumber
energi utama tidak mencukupi; dan 5) menjaga keseimbangan asam basa darah.
Produksi Daging Sapi
Menurut Kusriatmi (2014), produksi daging sapi di Indonesia berasal dari
produksi daging lokal dan impor. Produksi daging sapi lokal sendiri berasal dari
peternak-peternak rakyat dan bibit sapi unggul impor yang kemudian di
gemukkan dan dikembangbiakkan di Indonesia. Pemotongan sapi lokal hanya
dilakukan di rumah pemotongan hewan (RPH), sehingga peternak menjual produk
dalam berupa sapi hidup.
Produksi daging sapi impor dibedakan menjadi impor sapi bakalan siap
potong dan daging sapi impor beku. Sapi bakalan siap potong merupakan sapi
impor yang kemudian akan dipotong di RPH dalam negri. Impor daging sapi beku
berasal dari beberapa negara seperti Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat,
Kyrgyztan, Singapura dan beberapa negara lainnya. Sedangkan untuk impor sapi
bakalan siap potong berasal dari negara Australia, Jepang, Malaysia, Timor
Timur, Selandia Baru dan beberapa negara lainnya. Namun sejak tahun 2011,

5

impor sapi bakalan hanya dilakukan dengan Australia. Hal ini dikarenakan
wilayah Australia termasuk wilayah aman dari penyakit anthrax dan penyakit
mulut dan kuku (PMK).
Konsumsi Daging Sapi
Konsumsi daging sapi nasional mencakup dalam konsumsi daging sapi
segar, daging sapi awetan dan daging sapi dari makanan jadi. Daging sapi segar
terdiri dari daging sapi tanpa tulang, tetelan dan tulang. Daging sapi awetan terdiri
dari dendeng, abon, daging dalam kaleng dan lainnya. Sedangkan daging sapi dari
makanan jadi yaitu sate, rawon, sop dan lainnya (PUSDATIN 2014).
Negara dengan tingkat konsumsi protein hewani yang tinggi, umumnya
memiliki human development index yang tinggi. Konsumsi protein hewani
masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi
masyarakat dari negara ASEAN lainnya. Menurut laporan FAO rata-rata
konsumsi daging (daging merah dan putih) rakyat Indonesia pada tahun 2009
masih cukup rendah yaitu sebesar 4,5 kg/kap/tahun, sedangkan konsumsi daging
rakyat Malaysia sudah mencapai 46,87 kg/kap/tahun dan konsumsi rakyat Filipina
mencapai 24,96 kg/kap/tahun (Zahra 2012). Menurut PUSDATIN (2011), faktor
utama penyebab rendahnya tingkat konsumsi daging adalah rendahnya daya beli
masyarakat, sedangkan daging merupakan komoditas pangan yang harganya
mahal. Faktor lain adalah rendahnya produksi daging terutama daging yang
berasal dari ternak dalam negeri.
Program Swasembada Daging Sapi (PSDS)
Menurut Soedjana (2011), Program Swasembada Daging Sapi (PSDS)
merupakan salah dari lima program utama Kementerian Pertanian yaitu
swasembada beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi dan daging kerbau dalam
mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya
domestik. PSDS menjadi pendorong agar Indonesia kembali sebagai negara
eksportir seperti tahun 1970an. PSDS 2014 merupakan lanjutan dari Program
Swasembada Daging tahun 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging
Sapi (P2SDS) tahun 2010 yang sampai saat ini belum tercapai (Kusriatmi 2014).
Menurut Kementerian Pertanian (2010), dalam Peraturan Menteri
Pertanian (PERMETAN) No.19 tahun 2010 mengenai Pedoman Umum Program
Swasembada Daging Sapi 2014, berswasembada daging sapi akan memberikan
keuntungan dan nilai tambah. Keuntungan dan nilai tambah yang diperoleh
dengan swasembada daging sapi yaitu (1) meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan peternak; (2) penyerapan tenaga kerja baru; (3) penghematan devisa
negara; (4) optimalisasi pemanfaatan potensi ternak sapi lokal; dan (5) semakin
meningkatnya penyediaan daging sapi yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal
(ASUH) bagi masyarakat sehingga ketentraman lebih terjamin.

6

Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian mengenai analisis produksi dan konsumsi daging sapi berkaitan
dengan swasembada daging sapi belum banyak dilakukan. Penelitian yang
menjadi referensi dan panduan dalam penelitian yang dilakuan antara lain
penelitian Putra (2011) mengenai Strategi Pencapaian Program Swasembada
Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014 di Provinsi Sumatera Barat. Penelitian yang
dilakukan bertujuan untuk 1) Mengetahui kondisi objektif pembangunan
peternakan sapi di Provinsi Sumatera Barat; 2) Mengetahui perkiraan pencapaian
target Provinsi Sumatera Barat dalam rangka swasembada daging sapi tahun
2014; 3) Merumuskan strategi yang tepat untuk mewujudkan PSDS 2014 di
Provinsi Sumatera Barat.
Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yaitu
analisa deskriptif untuk menjawab tujuan kondisi pembangunan peternakan
Sumatera Barat. Menentukan strategi digunakan analisis SWOT. Menghitung
proyeksi populasi digunakan model pertumbuhan linier. Hasil penelitian
menunjukkan produksi daging sapi Sumatera Barat lebih besar dibandingkan
konsumsi masyarakat Sumatera Barat. Kelebihan produksi daging tersebut
kemudian dipasarkan keluar provinsi seperti Provinsi Riau, Kepulauan Riau dan
Jambi. Perkiraan pencapaian target Sumatera Barat dalam swasembada daging
sapi dilakukan dalam tiga skenario. Skenario Ia dan skenario Ib diperkirakan
mampu memenuhi permintaan daging sapi sumatera barat sedangkan skenari II
diperkirakan tidak mampu memenuhi permintaan daging sapi Sumatera Barat.
Priyanti et al (2010), meneliti mengenai Dinamika Produksi Daging Sapi
di Wilayan Sentra Usaha Sapi Potong di Indonesia. Penelitian yang dilakukan
bertujuan melakukan proyeksi populasi dan produksi daging sapi di wilayah
sentra usaha sapi yaitu NTT, NTB, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat dan Lampung.
Perhitungan proyeksi populai dan produksi dilakukan dengan pendekatan Trend
dan Ekonometrik dengan menggunakan data sebanyak 12 tahun. Pendekatan
Trend didasari atas pemikiran bahwa pertumbuhan populasi dan produksi daging
sapi berhubungan erat dengan waktu.
Maretha (2008), melakukan penelitian dengan judul Peramalan Produksi
dan Konsumsi Kedelai Nasional Serta Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian
Swasembada Kedelai Nasional. Peramalan jumlah konsumsi dan jumlah produksi
kedelai dilakukan dengan metode Autoregressive Integrated Moving Average
(ARIMA). Berdasarkan hasil penelitian disebutkan bahwa Indonesia belum dapat
mencapai swasembada kedelai pada tahun 2015. Peneliti juga melakukan skenario
dengan peningkatan produktivitas dan luas panen kedelai, sehingga berdasarkan
hasil skenario yang dilakukan, Indonesia dapat melakukan swasembada kedelai
pada tahun 2015. Analisis strategi yang dilakukan digunakan dengan
menggunakan metode SWOT dan QSPM.
Hernanda (2011), melakukan penelitian dengan judul Analisis Peramalan
Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia dalam Mencapai Swasembada
Gula Nasional. Peneliti menggunakan metode ARIMA dalam peramalan yang
dilakukan, serta melakukan regresi berganda untuk melihat luas areal,
produktivitas dan tingkat rendemen yang harus dipenuhi dalam pencapaian
swasembada gula. Hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa Indonesia
belum dapat melakukan swasembada gula pada tahun 2014.

7

Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian terdahulu tersebut
yaitu, penelitian ini melakukan peramalan jumlah produksi dan jumlah konsumsi
daging sapi dengan menggunakan metode Autoregressive Integrated Moving
Average (ARIMA) dan juga metode peramalan time series dengan menggunakan
data sebanyak 30 data yaitu sejak tahun 1984-2013. Peramalan dilakukan pada
jumlah konsumsi dan jumlah produksi serta melakukan analisis gap antara jumlah
produksi dan jumlah konsumsi. Selain itu, hasil analisis akan dibandingkan
dengan target yang diinginkan oleh KEMETAN dalam mencapai program
swasembada daging sapi.

METODE
Kerangka Pemikiran Penelitian
Peraturan Menteri Pertanian mengenai Pedoman Umum PSDS 2014
memiliki sasaran untuk meningkatkan produksi daging sapi lokal sebesar 10,4%
setiap tahunnya dan penurunan impor hingga mencapai 10% kebutuhan konsumsi.
Peramalan dilakukan untuk mengetahui potensi Indonesia dapat melakukan
PSDS. Peramalan dilakukan terhadap konsumsi daging sapi nasional dan produksi
daging sapi lokal. Pembahasan secara lengkap untuk meneliti masalah ini
digambarkan pada diagram kerangka pemikiran penelitian pada Gambar 2.

8

Pencapaian Swasembada
Daging Sapi

Peningkatan jumlah
konsumsi Daging Sapi
Pemenuhan Konsumsi
Daging Sapi

Impor daging sapi
dan sapi bakalan

Produksi daging
sapi lokal

Peramalan Tingkat Produksi
dan Konsumsi Daging sapi

Berasal dari
sapi
peternakan
rakyat dan
bibit sapi
unggul impor
yang
digemukkan di
Indonesia

Metode Time Series:
ARIMA
Trend
Exponential Smoothing

Identifikasi Metode Terbaik

Analisis Kesenjangan
Tingkat Produksi dan

Ket:
-------- : tidak dibahas dalam penelitian
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran, penelitian ini bertujuan melakukan
proyeksi terhadap tingkat produksi dan konsumsi daging sapi. Analisis dilakukan
dengan menggunakan metode peramalan Time Series yang kemudian hasil
peramalan akan dilakukan analisis kesenjangan serta mengetahui dampaknya
terhadap swasembada daging sapi.

9

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli-Oktober 2014. Penelitian
dilakukan di Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Peternakan (DITJENAK),
Direktorat Pangan dan Pertanian, Kementerian Pertanian (KEMETAN) dan Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian (PUSDATIN).
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian yaitu data sekunder yang
bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data sekunder yang digunakan adalah data
produksi dan konsumsi daging sapi nasional yang dipublikasikan dan diunduh
melalui website Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Direktorat Pertanian dan Pangan, kementerian pertanian. Data
penunjang lainnya dalam penelitian ini yaitu studi literatur dari jurnal, tesis,
skripsi, buku maupun internet yang berhubungan dengan penelitian.
Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software komputer
Microsoft Office Excel, Minitab versi 14 dan Statistical Package for Social
Science (SPSS) 17. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode deskriptif dan metode peramalan. Metode deskriptif digunakan untuk
menjelaskan informasi-informasi mengenai konsumsi dan produksi daging sapi,
serta informasi mengenai kesenjangan antara konsumsi dan produksi.
Peramalan merupakan dasar untuk menyusun rencana yang digunakan
untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan
bertujuan mengurangi ketidakpastian (Santoso 2009). Peramalan pada jumlah
konsumsi dan jumlah produksi yang dilakukan dengan menggunakan data time
series dan dengan asumsi cateris paribus. Metode time series merupakan metode
yang mengasumsikan nilai dari suatu peubah pada masa yang akan datang
mengikuti pola data peubah tersebut pada waktu sebelumnya. Metode peramalan
time series yang digunakan dalam peramalan yaitu proyeksi Trend, metode
pemulusan eksponensial (Exponential Smoothing), metode Autoregressive
Integrated Moving Average (ARIMA).
Proyeksi Trend
Menurut Hanke et al (2003), metode Trend menggambarkan pergerakan
pola data yang meningkat atau menurun dalam jangka waktu yang panjang.
Metode ini juga menggambarkan hubungan antara periode dan variabel yang
diramal dengan menggunakan analisis regresi. Menurut Aritonang (2009),
proyeksi Trend terbagi menjadi empat yaitu Trend Linier, Trend Quadratic, Trend
Exponential Growth, dan Trend S-Curve.
Metode Pemulusan Eksponensial (Exponential Smoothing)
Metode exponential smoothing melakukan perevisian secara
berkelanjutan, dilakukan atas ramalan berdasarkan pengalaman yang lebih kini
yaitu melalui perataan nilai serentetan data yang kemudian diurai secara
eksponensial (Aritonang 2009). Kelebihan metode ini yaitu lebih akurat untuk

10

peramalan dalam jangka pendek, lebih mudah dalam penyiapan peramalan, tidak
membutuhkan data historis yang besar dan peramalan untuk periode berikutnya
mudah untuk dihitung. Metode peramalan ini terdiri dari dua yaitu Metode
Pemulusan Eksponensial Tunggal dan Metode Pemulusan Eksponensial Ganda.
Metode pemulusan eksponensial ganda terdiri dari Double Exponential Smoothing
Holt dan Double Exponential Smoothing Winter. Bentuk persamaan umum
metode pemulusan eksponensial tunggal yaitu:
Ŷt +1 = Ŷt + α (Yt - Ŷt)
.................................................................... ( 1 )
Keterangan :
Ŷt +1
= nilai ramalan pada periode t + 1
Ŷt
= nilai ramalan pada waktu ke - t
Yt
= nilai aktual periode ke - t
α
= koefisien pemulusan (0 < α < 1)
Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
ARIMA dikembangkan oleh Box dan Jenkins, sehingga disebut juga
ARIMA Box-Jenkins. Metode ARIMA merupakan penggabungan metode
penghalusan, regresi dan dekomposisi (Aritonang 2009). Metode ARIMA
merupakan gabungan dari model Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA)
yang membentuk model ARIMA. Menurut Sugiarto dan Harijono (2002), model
ini mengasumsikan bahwa data dihasilkan oleh proses acak atau random dengan
bentuk yang dapat dijelaskan dan tidak mengasumsikan pola tertentu pada data
historis yang diramalkan.
1. Model Autoregressive (AR)
Peramalan model AR didasarkan pada fungsi dari nilai pengamatan
masa lalu dalam jumlah terbatas. Secara umum, Autoregressive dirumuskan
sebagai berikut:
Yt = b0 + b1Yt-1 + b2Yt-2 + ....... + bpYt-p + et ........................................( 2 )
Keterangan :
Yt
: series yang stasioner
Yt-1, Yt-2, Yt-p
: nilai lampau series yang bersangkutan
b0, b1, bp
: konstanta dan koefisien model
et
: kesalahan peramalan/ komponen galat
2. Model Moving Average (MA)
Peramalan model MA berdasarkan kombinasi linier galat masa lalu
dalam jumlah terbatas. Bentuk umum model ini dapat ditulis sebagai berikut:
Yt = a0 + et - a1et-1 - a2et-2 - ....... - aqet-q.................................................( 3 )
Keterangan:
Yt
: series yang stasioner
et-1, et-2, et-p
: kesalahan peramalan masa lalu
a0, a1, ap
: konstanta dan koefisien model
et
: kesalahan peramalan/ komponen galat
3. Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
Gabungan dari Autoregressive (p) dan Moving average (q) akan
membentuk model ARIMA (p,d,q) di mana p adalah ordo AR, q adalah ordo
MA, dan d merupakan banyaknya jumlah difference untuk memperoleh data
yang stasioner terhadap rata-rata. Syarat penting agar suatu data dapat
dimodelkan pada metode deret waktu ARIMA adalah kestasioneran data.

11

Metode ARIMA atau Box_Jenkins memiliki kelebihan, data yang dihasilkan
lebih akurat, model ARIMA lebih lengkap dibandingkan metode peramalan
time series lainnya. Salah satu kelemahan metode ARIMA adalah
diperlukannya data dalam jumlah yang besar yaitu lebih dari 30 data.
Ketepatan Metode Peramalan
Menurut Herjanto (2010), kesalahan peramalan yang dilakukan dihitung
menggunakan Mean Absolute Deviation (MAD), Mean Squared Error (MSE) dan
Mean Absolute Percent Error (MAPE). Metode peramalan yang terbaik yang
dipilih adalah yang memiliki nilai MSE terkecil. Penggunaan MSE sebagai
ukuran ketepatan karena MSE lebih menekankan kesalahan-kesalahan besar
dalam peramalan daripada kesalahan-kesalahan kecil. Kesalahan besar dapat
menunjukkan adanya pencilan data.
��� =
��� =

Keterangan:
Y
Ӯ
n

∑ │ � –Ӯ │

..................................................... ( 4 )

∑( � –Ӯ )2

..................................................... ( 5 )

���� =





100 ∑

│ � –Ӯ │




..................................................... ( 6 )

: Nilai aktual data periode ke-t
: Ramalan pada periode ke-t
: Jumlah data peramalan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Daging Sapi 1984-2013
Data pertumbuhan jumlah produksi dan konsumsi daging sapi diperoleh
dari berbagai sumber yang kemudian diolah. Data yang diperoleh sebanyak 30
data dalam rentang waktu tahun 1984 sampai dengan tahun 2013. Data tersebut
yang kemudian digunakan dalam melakukan proyeksi dan mengetahui potensi
pencapaian swasembada daging sapi.
Produksi Daging Sapi Lokal
Produksi daging sapi lokal merupakan produksi daging yang berasal dari
peternakan-peternakan rakyat yang dipotong di RPH maupun sapi bibit impor
yang telah dikembang biakkan atau digemukkan di Indonesia. Perkembangan
produksi daging sapi lokal berfluktuatif setiap tahunnya. Data produksi daging
sapi diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
(DITJENAK). Perkembangan jumlah produksi daging sapi menunjukkan adanya
fluktuatif dan trend. Pola data produksi daging sapi lokal dapat dilihat pada
Gambar 3.

12

Time Series Plot of Produksi ( ton)
550000
500000

Produksi ( t on)

450000
400000
350000
300000
250000
200000
1986

1989

1992

1995

1998

2001

2004

2007

2010

2013

Tahun

Gambar 3 Pola produksi daging sapi
Berdasarkan Gambar 3, jumlah produksi daging sapi lokal mengalami
kenaikan setiap tahun sejak tahun 2007. Tahun 2013 jumlah produksi daging sapi
merupakan yang tertinggi selama rentang waktu tiga puluh tahun yaitu sebesar
545.620 ton. Pertumbuhan paling siginifikan terlihat pada tahun 2007-2013.
Pertumbuhan produksi paling tinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 21,06%
dari tahun sebelumnya. Rata-rata pertumbuhan jumlah produksi daging sapi lokal
selama tigapuluh tahun yaitu sebesar 3,20%.
Peningkatan jumlah produksi yang signifikan pada tahun 2007-2013
didorong oleh beberapa program kerja yang tengah dilaksanakan oleh
Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian (2013), dalam Rencana Kerja
Tahunan (RKT) Kementerian Pertanian 2014, melakukan program kerja mulai
dari perluasan kawasan usaha lokasi peternakan sapi sampai kepada peningkatan
teknologi dalam upaya pembibitan sapi unggul, penggemukan serta
pengembangbiakan sapi. Selain itu, dalam upaya peningkatan produksi daging
sapi dalam negeri dilakukan berbagai upaya seperti produksi semen beku dan
embrio beku, peningkatan kelahiran melalui inseminasi buatan, pengembangan
integrasi sapi-sawit dan adanya fasilitas teknik akses asuransi ternak.
Konsumsi Daging Sapi
Pertumbuhan konsumsi daging sapi setiap tahunnya mengalami fluktuatif
yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti jumlah penduduk, jumlah
pendapatan rill masyarakat, daya beli masyarakat, harga daging sapi, harga pakan
dan sebagainya. Pertumbuhan jumlah konsumsi daging sapi masyarakat
mengalami trend kenaikan. Pola data konsumsi daging sapi dapat dilihat pada
Gambar 4.

13

Time Series Plot of Konsumsi ( ton)

Konsumsi ( t on)

600000

500000

400000

300000

200000
1986

1989

1992

1995

1998

2001

2004

2007

2010

2013

Tahun

Gambar 4 Pola konsumsi daging sapi
Berdasarkan Gambar 4, total konsumsi paling tinggi yaitu pada tahun 2013
yaitu sebesar 2,5 kg/kapita/tahun atau setara dengan 629.645,62 ton. Persentase
penurunan tertinggi terjadi pada tahun 1997 yaitu sebesar 18,69% dari tahun
sebelumnya. Berdasarkan data, jumlah konsumsi (ton) mengalami Trend kenaikan
dari tahun 1984-2013 dengan persentase kenaikan rata-rata sebesar 4,25%.
Kenaikan jumlah konsumsi masyarakat disebabkan karena meningkatnya
jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan masyarakat kelas
menengah atas. Menurut Wakil Menteri Pertanian 2009-2014, Rusman Heriawan,
pertumbuhan kelas menengah yang cukup cepat dalam lima tahun terakhir
berpotensi menaikkan konsumsi daging. Selain pertumbuhan masyarakat kelas
menengah atas yang mencapai 50 juta jiwa, pertambahan jumlah penduduk yang
mencapai 251,86 juta jiwa pada tahun 2013 juga berpotensi meningkatkan jumlah
konsumsi masyarakat, termasuk konsumsi daging sapi.
Analisis Stasioner Data
Data konsumsi dan data produksi daging sapi lokal merupakan data yang
non-stasioner, sehingga perlu dilakukan tahap penstasioneran data. Stasioner atau
tidaknya suatu data dapat dilihat dari fungsi autokorelasi (ACF) dan fungsi parsial
autokorelasi (PACF). Data produksi dan data konsumsi menunjukkan angka yang
cukup tinggi, sehingga untuk mempermudah pemodelan, data terlebih dahulu
dibuat dalam bentuk logaritma natural (ln) dari satuan ton. Hernanda (2011)
menyatakan perubahan data kedalam bentuk logaritma natural dipilih karena nilai
logaritma natural mempunyai rentang yang lebih kecil namun tetap dapat
memperlihatkan fluktuasi data sehingga tidak mempengaruhi terhadap pemodelan
dan hasil analisisnya.
Pola data konsumsi dan produksi daging sapi lokal merupakan data yang
non-stasioner. Penstasioneran data dilakukan dengan pembedaan pertama. Tahap
pembeda pertama atau first difference pada data tersebut menghasilkan data yang
stasioner. Fungsi autokorelasi dan fungsi autokorelasi parsial setelah dilakukan
difference dapat dilihat pada Lampiran. Data produksi dan konsumsi yang telah
stasioner dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

14

Time Series Plot of D Produksi
0,2

D Produksi

0,1

0,0

-0,1

-0,2
1986

1989

1992

1995

1998

2001

2004

2007

2010

2013

Tahun

Gambar 5 Grafik plot data pada First Difference data ln produksi
Time Series Plot of D Konsumsi
0,2

D Konsumsi

0,1

0,0

-0,1

-0,2
1986

1989

1992

1995

1998

2001

2004

2007

2010

2013

Tahun

Gambar 6 Grafik plot data pada First Difference data ln konsumsi
Data produksi dan konsumsi dikatakan telah stasioner dalam rata-rata. Hal
ini terlihat dari Gambar 5 dan Gambar 6 bahwa data menyebar pada nilai
tengahnya dan telah menghilangkan unsur trend didalamnya.
Identifikasi Model ARIMA
ARIMA merupakan model peramalan yang terdiri dari Autoregressive (p),
Moving Average (q) dan Difference (d) yang menentukan kombinasi dari model
ARIMA tersebut. Identifikasi ordo pada ARIMA dapat dilakukan dengan
menganalisis fungsi autokorelasi (ACF) dan fungsi autokorelasi parsial (PACF).
Fungsi ACF digunakan untuk mengidentifikasi ordo AR (p) dan fungsi PACF
digunakan untuk mengidentifikasi ordo MA (q), sedangkan untuk
mengidentifikasi ordo d digunakan banyak difference yang dilakukan untuk
mendapatkan data yang stasioner, dalam hal ini ordo d = 1.

15

Produksi Daging Sapi Lokal
Pola fungsi ACF pada data ln produksi daging sapi lokal setelah proses
difference membentuk model dies down di mana data mendekati 0 setelah lag
pertama. Hal ini menunjukkan bahwa data memiliki model Autoregressive (AR).
Identifikasi awal, maka model sementara yang digunakan pada ordo p = 1. Pola
fungsi PACF pada data ln produksi, menunjukkan adanya pola Moving Average
yang berordo 1, sehingga sementara yang digunakan pada ordo q = 1. Nilai MSE
masing-masing model ARIMA dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai MSE metode peramalan produksi daging sapi
Model ARIMA
Nilai MSE
p
d
q
1
1
1
0,006653
1
1
0
0,008395
0
1
1
0,008160
Sumber: Data diolah
Berdasarkan Tabel 2, kombinasi model ARIMA yang digunakan dalam
peramalan berasal dari ordo autoregressive (p) = 1, ordo difference (d) = 1 dan
ordo moving average (q) = 1 yang menghasilkan model ARIMA (1,1,1). Sebelum
melakukan peramalan dilakukan tahap diagnostic checking, yaitu untuk
memeriksa atau menguji apakan model telah dispesifikasi dengan benar.
Pengujian dilakukan pada model ARIMA yang relevan dengan peramalan yaitu
ARIMA (1,1,1), ARIMA (1,1,0) dan ARIMA (0,1,1).
Pengukuran residual ACF dan PACF pada model ARIMA (1,1,1),
ARIMA (1,1,0) dan ARIMA (0,1,1) dapat dikatakan telah dispesifikasi dengan
benar. Hal ini terlihat dari grafik tidak ada satu bar yang yang melampaui garis
batas. Output pengujian pada Minitab menyatakan “relative change in each
estimate less than 0,0010” yang artinya data telah konvergen setelah dilakukan
proses iterasi. Data hasil pengujian juga dikatakan telah stasioner, terlihat dari
jumlah koefisien MA dan AR di mana masing-masing bernilai kurang dari 1
(satu). Peramalan jumlah produksi yang paling tepat dilakukan dengan
menggunakan model ARIMA yang memiliki nilai MSE terkecil. Berdasarkan
hasil evaluasi, maka model peramalan yang dipilih adalah model ARIMA (1,1,1)
dengan nilai MSE terkecil.
Konsumsi Daging Sapi
Pola fungsi ACF pada data ln konsumsi daging sapi setelah proses
difference membentuk model dies down di mana data dari lag pertama secara
bertahap menurun nilainya mendekati 0 pada lag kedua. Hal ini menunjukkan
bahwa data memiliki model Autoregressive (AR). Bar pada lag pertama
menyentuh garis kritis atau sering disebut juga dengan batas eror. Identifikasi
awal, maka model sementara yang digunakan pada ordo p = 1. Pola fungsi PACF
pada data ln produksi, menunjukkan adanya pola Moving Average, sehingga
model sementara yang digunakan pada ordo q = 1.
Kombinasi model ARIMA yang digunakan dalam peramalan jumlah
konsumsi daging sapi nasional berasal dari ordo autoregressive (p) = 1, ordo
difference (d) = 1 dan ordo moving average (q) = 1 yang menghasilkan model
ARIMA (1,1,1). Pengujian dilakukan pada model sementara ARIMA yang

16

relevan dengan peramalan yaitu, ARIMA (1,1,1), ARIMA (1,1,0), dan ARIMA
(0,1,1). Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah model ARIMA telah
dispesifikasi dengan benar.
Pengukuran residual ACF dan PACF pada model ARIMA (1,1,1),
ARIMA (1,1,0), dan ARIMA (0,1,1) dapat dikatakan telah dispesifikasi dengan
benar. Hal ini terlihat dari grafik tidak ada satu bar yang yang melampaui garis
batas. Akan tetapi, pada model ARIMA (1,1,1) tidak konvergen karena pada hasil
minitab menunjukkan “Unable to reduce sum of squares any further”. Sedangkan
model ARIMA (1,1,0) dan ARIMA (0,1,1) dikatakan telah konvergen dengan
output yang menunjukkan “relative change in each estimate less than 0,0010”
yang artinya data berhasil diiterasi secara sempurna. Data hasil pengujian juga
dikatakan telah stasioner, terlihat dari jumlah koefisien MA dan AR di mana
masing-masing bernilai kurang dari 1 (satu). Nilai MSE masing-masing model
ARIMA dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai MSE metode peramalan konsumsi daging sapi
Model ARIMA
Nilai MSE
p
d
q
1
1
1
(Not convergen)
1
1
0
0,008848
0
1
1
0,008235
Sumber: Data diolah
Berdasarkan Tabel 3, model ARIMA (1,1,1) dinyatakan not convergen
dikarenakan data tidak dapat diiterasi sempurna dengan menggunakan model
ARIMA (1,1,1), sehingga model tersebut tidak dapat digunakan dalam melakukan
peramalan. Peramalan jumlah konsumsi yang paling tepat dilakukan dengan
menggunakan model ARIMA yang memiliki nilai MSE terkecil. Berdasarkan
hasil uji diaknosa, maka dipilih metode ARIMA (0,1,1).
Analisis Peramalan Time Series
Peramalan yang digunakan dalam meramalkan tingkat produksi dan juga
tingkat konsumsi daging sapi juga menggunakan peramalan time series yaitu
peramalan dengan metode trend dan exponential smoothing. Peramalan dilakukan
dengan menggunakan metode yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang lebih
akurat. Data yang digunakan dalam peramalan yaitu data produksi dan konsumsi
dalam bentuk logaritma natural.
Analisa metode peramalan time series pada jumlah produksi dan konsumsi
daging sapi dibandingkan untuk mengetahui penyimpangan terkecil dari suatu
peramalan. Tujuan dilakukannya perbandingan agar hasil nilai ramalan tersebut
mendekati kondisi nilai sebenarnya dimasa yang akan datang. Metode analisis
peramalan dengan time series yang dilakukan pada peramalan tingkat produksi
dan tingkat konsumsi yaitu trend linier, trend quadratic, trend exponential
growth, trend S-Curve, metode single exponential smoothing, double exponential
smoothing holt dan double exponential smoothing winter.

17

Analisis Metode Peramalan Terbaik
Hasil peramalan dengan menggunakan berbagai metode kemudian
dibandingkan nilai MSE terkecil untuk memperoleh metode terbaik. Metode
peramalan yang akan dibandingkan yaitu metode ARIMA, metode Trend dan
Exponential Smoothing. Nilai MSE masing-masing metode peramalan dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Nilai MSE berbagai metode peramalan
Produksi Daging
Sapi
Metode
Nilai MSE
ARIMA (1,1,1)
0,006653
ARIMA (0,1,1)
0,008160
ARIMA (1,1,0)
0,008395
0,007443
Trend Linier
0,007442
Trend Quadratic
0,007442
Trend Exponential growth
0,008275
Trend S-Curve
0,008838
Single Exponential Smoothing
0,007755
Double Exponential Smoothing Holt
0,010895
Double Exponential Smoothing Winter
Sumber: Data diolah

Konsumsi Daging
Sapi
Nilai MSE
Not Convergen
0,008235
0,008848
0,006988
0,006980
0,007020
0,008470
0,010228
0,008345
0,008850

Berdasarkan Tabel 4, diketahui pada metode peramalan jumlah produksi
daging sapi, metode peramalan terbaik yaitu metode ARIMA (1,1,1) karena
memberikan nilai MSE terkecil. Peramalan tingkat produksi dengan metode
lainnya memiliki nilai MSE yang melebihi nilai MSE metode ARIMA (1,1,1).
Plot grafik metode ARIMA (1,1,1) pada peramalan jumlah produksi daging dapat
dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Time Series Plot for Ln Produksi
(with forecasts and their 95% confidence limits)
13,50

Ln Produksi

13,25

13,00

12,75

12,50

1

5

10

15

20

25

30

35

Time

Gambar 7 Grafik plot peramalan produksi metode ARIMA (1,1,1)

18

Residual Plots for Ln Produksi
Residuals Versus t he Fit t ed Values

99

0,2

90

0,1

Residual

Per cent

Normal Probabilit y Plot of t he Residuals

50

0,0
-0,1

10

-0,2

1
-0,2

-0,1

0,0

0,1

0,2

12,4

12,6

Residual

Hist ogram of t he Residuals

13,0

13,2

Residuals Versus t he Order of t he Dat a
0,2

8

0,1

6

Residual

Fr equency

12,8

Fitted Value

4

0,0
-0,1

2

-0,2

0
-0,20 -0,15 -0,10 -0,05 0,00

0,05

0,10

0,15

2

4

Residual

6

8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Obser vation Or der

Gambar 8 Residual plot peramalan produksi metode ARIMA (1,1,1)
Hasil pengujian model ARIMA menunjukkan model terbaik untuk
peramalan jumlah produksi daging sapi lokal yaitu ARIMA (1,1,1), sedangkan
model terbaik dalam meramalkan jumlah konsumsi yaitu Trend Quadratic dengan
nilai MSE 0,006980. Metode peramalan ARIMA (0,1,1) ternyata bukan metode
dengan nilai MSE terkecil, sehingga walaupun dalam pengujian diaknosa, metode
ARIMA (0,1,1) merupakan metode terbaik dibandingkan metode ARIMA (1,1,1)
dan ARIMA (1,1,0), dalam peramalan jumlah konsumsi digunakan metode trend
Quadratic. Persamaan umum metode trend quadratic dalam peramalan jumlah
konsumsi yaitu Yt = 12,2525 + 0,0381768*t - 0,0000421599*t**2. Grafik Plot
Peramalan tingkat konsumsi dengan metode trend quadratic dapat dilihat pada
Gambar 9.
Trend Analysis Plot for Ln Konsumsi
Quadratic Trend Model
Yt = 12,2525 + 0,0381768* t - 0,0000421599* t* * 2
13,6

Variable
Actual
Fits
Forecasts

13,4

Accuracy
MAPE
MAD
MSD

Ln Konsumsi

13,2
13,0

Measures
0,510439
0,065709
0,006980

12,8
12,6
12,4
12,2
1987

1991

1995

1999

2003

2007

2011

Tahun

Gambar 9 Grafik plot peramalan konsumsi metode Trend Quadratic
Setelah mengetahui model terbaik, selanjutnya dilakukan peramalan untuk
mengetahui tingkat produksi daging sapi lokal dan konsumsi daging sapi nasional.
Peramalan dilakukan selama enam tahun yaitu tahun 2014-2019. Jumlah produksi
lokal dan jumlah konsumsi daging sapi hasil peramalan dalam bentuk logaritma
natural (ln) dapat dilihat pada Tabel 5.

19

Tabel 5 Hasil peramalan produksi dan konsumsi dalam bentuk logaritma natural
Tahun
Produksi Daging sapi
Konsumsi Daging Sapi
2014
13,208706
13,395512
2015
13,220974
13,431033
2016
13,2407012
13,466469
2017
13,264528
13,501821
2018
13,290611
13,537089
2019
13,317934
13,572272
Sumber: Data diolah
Berdasarkan Tabel 5, dari hasil peramalan pada analisis yang dilakukan,
diperoleh tingkat produksi daging sapi lokal dan konsumsi daging sapi nasional
pada tahun 2014-2019. Hasil peramalan tersebut masih dalam bentuk logaritma
natural (ln), sehingga diperlukan perubahan kedalam bentuk eksponensial untuk
mengetahui nilai peramalan yang sesungguhnya. Nilai peramalan jumlah produksi
daging sapi lokal dan jumlah konsumsi daging sapi nasional yang sesungguhnya
pada tahun 2014-2019 dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6 Jumlah produksi daging sapi lokal dan konsumsi hasil peramalan
Jumlah Produksi Pertumbuhan Jumlah Konsumsi Pertumbuhan
Tahun
(ton)
(%)
(ton)
(%)
2014
545.090
657.048
2015
551.818
1,23
680.806
3,62
2016
562.812
1,99
705.364
3,61
2017
576.383
2,41
730.746
3,60
2018
591.615
2,64
756.978
3,59
2019
608.002
2,77
784.084
3,58
Sumber: Data diolah
Bedasarkan Tabel 6, jumlah produksi tahun 2014-2019 mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Jumlah tertinggi diproyeksikan pada tahun 2019
sebesar 608.002 ton dengan persentase kenaikan sebesar 2,77% dari tahun
sebelumnya. Rata-rata pertumbuhan jumlah produksi adalah 2,21% pertahun.
Pertumbuhan konsumsi juga mengalami kenaikan. Tahun 2019 merupakan jumlah
konsumsi tertinggi dengan jumlah 784.084 ton. Persentase pertumbuhan jumlah
konsumsi daging sapi tahun 2019 cenderung mengalami penurunan. Persentase
pertumbuhan konsumsi mengalami penurunan rata-rata sebesar 0,01% dari tahun
sebelumnya. Meskipun demikian, jumlah konsumsi daging sapi masih tinggi
dibandingkan dengan jumlah produksi daging sapi lokal. Rata-rata pertumbuhan
jumlah konsumsi tahun 2014-2019 yaitu sebesar 3,60% pertahun. Perbedaan
jumlah konsumsi dan produksi yang masih cukup tinggi berdampak pada
pencapaian program swasembada daging sapi.

20

Analisis Kesenjangan Jumlah Produksi dan Konsumsi
Analisa gap atau kesenjangan dilakukan dengan cara menghitung
perbedaan antara jumlah produksi daging sapi lokal dengan jumlah konsumsi
daging sapi nasional. Analisa tersebut bertujuan untuk mengetahui kensenjangan
antara produksi dan konsumsi, serta untuk mengetahui apakah terjadi defisit,
surplus atau balance. Analisa ini juga bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh
produksi daging sapi lokal mampu memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi
nasional. Semakin tinggi gap atau kesenjangan serta defisit daging sapi di
Indonesia, maka upaya pemerintah dalam mewujudkan swasembada daging sapi
akan semakin sulit. Hal ini dikarenakan tingginya kesenjangan menunjukkan
bahwa jumlah produksi daging sapi lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan
konsumsi daging sapi. Hasil perhitungan analisis gap atau kesenjangan dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Analisis gap produksi dan konsumsi daging sapi
Tahun
Produksi (ton)
Konsumsi (ton)
2014
545.090
657.048
2015
551.818
680.806
2016
562.812
705.364
2017
576.383
730.746
2018
591.615
756.978
2019
608.002
784.084
Sumber: Data diolah

Kesenjangan (ton)
-111.9