Aktivitas Antioksidan in Vitro dan in Vivo Ekstrak Benalu Campuran (Lorantaceae) pada Tanaman Teh (Camelia sinensis L.)
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN IN VITRO DAN IN VIVO
EKSTRAK BENALU CAMPURAN (Lorantaceae)
PADA TANAMAN TEH (Camelia sinensis L.)
ANDAL YAKINUDIN
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Antioksidan
in Vitro dan in Vivo Ekstrak Benalu Campuran (Lorantaceae) pada Tanaman Teh
(Camelia sinensis L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir di skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Andal Yakinudin
NIM G84090018
ABSTRAK
ANDAL YAKINUDIN. Aktivitas Antioksidan in Vitro dan in Vivo Ekstrak
Benalu Campuran (Lorantaceae) pada Tanaman Teh (Camelia sinensis L.).
Dibimbing oleh SULISTIYANI dan HUSNAWATI.
Benalu teh adalah salah satu tanaman parasit yang biasa digunakan dalam
ramuan obat tradisional kanker. Tujuan penelitian ini menentukan aktivitas
antioksidan in vivo ekstrak benalu campuran pada tanaman teh dan
membandingkannya dengan aktivitas antioksidannya secara in vitro. Ekstrak
benalu campuran didapat dengan proses merebus selama 10 menit dengan pelarut
etanol 30%. Aktivitas antioksidan in vitro ekstrak benalu campuran diukur dengan
metode DPPH. Aktivitas antioksidan secara in vivo diuji dengan mengukur
aktivitas SOD dan konsentrasi MDA di hati tikus Sprague Dawley (n=30 ekor)
yang dicekok parasetamol (640 mg/kg BB) dan ekstrak benalu campuran pada
dosis 100 mg/kg BB, 250 mg/kg BB, dan 500 mg/kg BB selama 16 hari. Uji
DPPH menunjukkan IC50 ekstrak benalu campuran sebesar 12.12 ppm dan kontrol
kuersetin sebesar 1.98 ppm. Pengujian secara in vivo menunjukkan ekstrak benalu
campuran dosis 100 mg/kg BB cenderung meningkatkan aktivitas SOD sebesar
27.1% lebih tinggi dari kontrol parasetamol, mengindikasikan efek ekstrak dalam
mempertahankan antioksidan endogen hati tetap tinggi. Namun, kadar MDA hati
pada semua kelompok percobaan tidak terpengaruh oleh perlakuan yang
diberikan.
Kata kunci: antioksidan, DPPH, malondialdehida, superoksida dismutase
ABSTRACT
ANDAL YAKINUDIN. In Vitro and in Vivo Antioxidant Activity of Mixed
Mistletoes (Lorantaceae) in Tea (Camelia sinensis L.). Supervised by
SULISTIYANI and HUSNAWATI.
Tea mistletoes are one of the parasitic plants commonly used in traditional
medicine for cancer. The purpose of this study is to determine the in vivo
antioxidant activity of mixed tea mistletoes extracts and compares it with it’s in
vitro antioxidant activity. Tea mistletoes extract obtained by the process of boiling
for 10 minutes with 30% ethanol. In vitro antioxidant activity of mixed tea
mistletoes extracts measured by DPPH method. The antioxidant activity in vivo
was tested by measuring the activity of SOD and MDA levels in the liver of
Sprague Dawley rat (n=30 animal) treated by decoction with paracetamol (640
mg/kg bw) and mixed tea mistletoes extracts at a dose of 100 mg/kg bw, 250
mg/kg b/w, and 500 mg/kg b/w for 16 days. DPPH test showed IC50 for mixed tea
mistletoe extract is 12.12 ppm, and 1.98 ppm for quercetin control. In vivo testing
showed mixed tea mistletoe extract at dose of 100 mg/kg (b/w) increase the
activity of SOD by 27.1% higher than paracetamol controls, indicating extract
effect in maintaining liver endogenous antioxidant still high. Nevertheless, liver
MDA level at all experimental group were not affected by the treatment.
Keywords: antioxidants, DPPH, malondialdehyde, superoxide dismutase
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN IN VITRO DAN IN VIVO
EKSTRAK BENALU CAMPURAN (Lorantaceae)
PADA TANAMAN TEH (Camelia sinensis L.)
ANDAL YAKINUDIN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Aktivitas Antioksidan in Vitro dan in Vivo Ekstrak Benalu
Campuran (Lorantaceae) pada Tanaman Teh (Camelia sinensis L.)
Nama
: Andal Yakinudin
NIM
: G84090018
Disetujui oleh
drh Sulistiyani, MSc, PhD
Pembimbing I
dr Husnawati
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir I Made Artika MAppSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini adalah
antioksidan, dengan judul Aktivitas Antioksidan in Vitro dan in Vivo Ekstrak
Benalu Campuran (Lorantaceae) pada Tanaman Teh (Camelia sinensis L.).
Penelitian ini mendapat bantuan pembiayaan dari Yayasan Amanah Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu drh Sulistiyani, MSc, PhD dan Ibu
dr Husnawati selaku pembimbing. Di samping itu, ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada seluruh staf dan laboran di Laboratorium Departemen
Biokimia FMIPA IPB atas bantuannya saat menjalankan penelitian ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Kinuy dan Pak Udin atas bantuannya
dalam pengambilan sampel benalu di lapangan. Terima kasih penulis ucapkan
kepada Biofarmaka LPPM-IPB dan Yayasan Amanah Institut Pertanian Bogor
yang telah membantu kelancaran penelitian ini. Terima kasih kepada Yayasan
Bhakti Tanoto atas beasiswa yang telah diberikan selama ini sehingga penulis bisa
lancar menjalankan studi di IPB.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orang
tua dan seluruh keluarga atas doa dan dukungannya sehingga penulis bisa
menyelesaikan karya tulis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dessy
sebagai teman satu tim penelitian atas bantuan dan kerja kerasnya selama ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Waliyudin, Mina, Fitri, Elvira, Aang, dan
Suryadi, atas dukungan moril yang diberikan. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Keluarga Besar Asrama Sylvalestari dan Sylvapinus atas
dukungan dan doanya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014
Andal Yakinudin
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
METODE
2
Bahan dan Alat
2
Prosedur Penelitian
2
HASIL
5
Rendemen Ekstrak dan Aktivitas Antioksidan in Vitro
5
Bobot Badan Tikus selama Masa Adaptasi dan Percobaan
6
Peroksidasi Lipid Hati Tikus
6
Aktivitas Superoksida Dismutase Hati
7
PEMBAHASAN
8
Ekstraksi dan Aktivitas Antioksidan in Vitro
8
Bobot Badan Tikus selama Masa Adaptasi dan Percobaan
9
Peroksidasi Lipid Hati Tikus
10
Aktivitas Superoksida Dismutase Hati Tikus
11
Keterkaitan Aktivitas in Vitro dan in Vivo
13
SIMPULAN DAN SARAN
14
DAFTAR PUSTAKA
15
LAMPIRAN
18
RIWAYAT HIDUP
26
DAFTAR TABEL
1 Nilai IC50 ekstrak benalu campuran dan kuersetin
2 Konsentrasi MDA hati pada berbagai kelompok perlakuan
6
7
DAFTAR GAMBAR
1 Kurva perubahan bobot badan tikus selama masa adaptasi dan percobaan
2 Pengaruh homogenat hati tikus kelompok normal dan parasetamol
terhadap kecepatan autooksidasi pirogalol
3 Aktivitas SOD hati pada berbagai kelompok perlakuan
4 Perubahan 1,1-difenil-2-pikrilhidarzil (senyawa radikal) menjadi
1,1-difenil pikrilhidrazina (senyawa non radikal) oleh antioksidan
6
n
7
8
n
9
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gambaran umum penelitian
Perhitungan rendemen ekstraksi benalu campuran
Perhitungan aktivitas antioksidan in vitro ekstrak benalu campuran
Penapisan panjang gelombang maksimal kompleks warna MDA-TBA
Kurva standar TMP
Data pengukuran kandungan MDA sampel PMS hati hewan coba
Pencarian konsentrasi pirogalol terbaik untuk uji aktivitas SOD
Kurva autoksidasi pirogalol standar saat pengukuran aktivitas SOD
Perbandingan rata-rata kemiringan kurva autooksidasi pirogalol
di setiap dosis perlakuan
10 Aktivitas SOD PMS hati hewan coba berdasarkan inhibisi autoksidasi
pirogalol
11 Grafik standar inhibisi PMS hati hewan no. 19 terhadap volumnya
12 Kurva standar BSA
13 Aktivitas SOD PMS hati hewan coba
18
18
19
20
20
20
21
21
21
23
23
24
25
PENDAHULUAN
Konsekuensi dari penggunaan O2 oleh organisme aerob adalah
terbentuknya radikal bebas. Jumlah radikal bebas yang berlebihan akan
menyebabkan ketidakseimbangan seluler yang bisa menyebabkan stres oksidatif
(Yeum et al. 2010). Oleh karena itu, organisme aerob mengembangkan sistem
antioksidan untuk menangkal efek buruk radikal bebas. Antioksidan merupakan
agen pereduksi yang bereaksi dengan mudah dengan senyawa-senyawa reaktif
yang bersifat pengoksidasi (Koolman dan Roehm 2005).
Khasiat antioksidan dari suatu bahan telah banyak dikaitkan dengan
penangkalan penyakit akibat stres oksidatif (Frei dan Higdon 2003, Hamid et al.
2010). Pola makan yang salah, polusi yang berlebih, serta gaya hidup yang tidak
sehat akan mengarahkan tubuh pada keadaan stres oksidatif. Stres oksidatif akan
berimplikasi pada kerusakan DNA, protein selular, serta protein fungsional yang
ada dalam sel. Karenanya, dibutuhkan strategi dalam usaha untuk mencegah
kerusakan seluler akibat stres oksidatif. Salah satu strategi yang bisa dilakukan
adalah konsumsi antioksidan untuk melawan radikal bebas penyebab stres
oksidatif (Aldini et al. 2010).
Uji efektivitas antioksidan dalam melawan radikal bebas perlu dilakukan
untuk membandingkan dosis efektif antioksidan tersebut dalam melawan radikal
bebas. Pengujian secara in vitro banyak digunakan untuk membandingkan
antioksidan dari beberapa sumber. Namun, uji secara in vitro tidak berkorelasi
langsung dengan aktivitas antioksidannya secara in vivo karena tidak
mencerminkan kondisi fisiologis dalam sel (Mermelstein 2008). Oleh karena itu,
pengujian aktivitas antioksidan secara in vivo perlu dilakukan untuk mengetahui
secara mendalam mengenai manfaat yang bisa diperoleh dari konsumsi sediaan
antioksidan.
Salah satu tanaman yang telah diketahui mengandung antioksidan tinggi
adalah benalu teh (Rahmawati dan Hayashi 2012). Benalu teh adalah tanaman
gulma parasit yang terdiri atas beberapa spesies suku Lorantaceae. Penggunaan
benalu teh sebagai antikanker secara tradisional umumnya menggunakan dua atau
lebih spesies benalu pada tanaman teh. Penelitian ini menggunakan campuran 4
spesies yang menyerang tanaman teh yaitu Scurrula oortiana (39.68%), Scurrula
parasitica (36.51%), Macrosolen cochinchinensis (17.46%), dan Lepeostegeres
gemmiflorus (6.35%). Beberapa penelitian menunjukkan benalu teh memiliki
aktivitas antikanker (Nugroho et al. 2000, Murwani 2003). Aktivitas antikanker
dari benalu teh kemungkinan disebabkan oleh aktivitas antioksidan yang
dimilikinya (Ikawati et al. 2008). Namun, sampai saat ini belum ada penelitian
tentang aktivitas antioksidan in vivo dari benalu teh untuk menguatkan pandangan
mekanisme kerja benalu teh sebagai antikanker tersebut.
Penelitian ini bertujuan menentukan aktivitas antioksidan in vivo ekstrak
benalu campuran (Lorantaceae) pada tanaman teh dan membandingkannya
dengan aktivitas antioksidannya secara in vitro. Perbandingan spesies benalu teh
didasarkan pada jumlah tanaman yang ditemukan saat pencarian di lapangan.
Aktivitas antioksidan in vitro ekstrak benalu campuran diukur dengan metode
DPPH. Aktivitas antioksidan secara in vivo diuji dengan mengukur aktivitas SOD
dan tingkat peroksidasi lipid hati hewan model yang diberi parasetamol dan
2
ekstrak benalu campuran dengan dosis 100 mg/kg BB, 250 mg/kg BB, dan 500
mg/kg BB selama 16 hari.
Penelitian ini bermanfaat untuk mempelajari mekanisme khasiat campuran
benalu teh dalam pengobatan penyakit. Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk
menambah khasanah pengetahuan tentang tanaman obat tradisional Indonesia.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah benalu teh yang diambil di perkebunan
teh milik PT Gunung Mas, Cipanas (2000 mdpl), Bogor, etanol, kertas saring,
DPPH, kuersetin, metanol, tikus galur Sprague Dawley yang didapat dari
Departemen Anatomi dan Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor, pakan tikus standar, parasetamol, Curliv-plus®, dapar fosfat
dingin (0.1 M, pH 7.4) yang mengandung 0.15 M KCl, natrium lauril sulfat, TMP,
asam asetat, NaOH, asam tiobarbiturat, n-butanol, piridin, dapar Tris-HCl 50 mM
(pH 8.5) yang mengandung 1 mM EDTA, pirogalol, pereaksi Bradford, dan
standar BSA.
Alat-alat yang digunakan adalah oven, mesin pelumat, pengayak 100 mesh,
kertas Whatman 90 mm, gelas piala, penangas air, desikator, kuvet,
spektrofotometer Thermo Electron Genesis 10 UV, pipet mikro, alat vortex,
kandang tikus, alat cekok, tissue homogenizer (Pyrex), dan sentrifusa berpendingin
berkecepatan tinggi (Hitachi, fixed angle rotor).
Prosedur Penelitian
Persiapan dan Ekstraksi Benalu Teh (Rahmawati dan Hayashi 2012)
Penelitian ini menggunakan 4 spesies benalu (Scurrula oortiana [39.68%],
Scurrula parasitica [36.51%], Macrosolen cochinchinensis [17.46%],
Lepeostegeres gemmiflorus [6.35%]) yang ditemukan pada tanaman teh tua di
Cipanas (2000 mdpl), Bogor. Masing-masing benalu dikeringkan menggunakan
penjemuran matahari selama 3 hari hingga kering. Bahan yang telah kering
dihaluskan dengan mesin pelumat dan diayak dengan saringan ukuran 40 mesh.
Masing-masing serbuk benalu kemudian ditimbang dan dicampur dengan
perbandingan seperti diatas. Serbuk kering benalu campuran direbus dengan
etanol 30% dalam gelas piala tertutup pada penangas air bersuhu 100oC selama 10
menit. Perbandingan massa serbuk kering benalu campuran (dalam gram) dengan
pelarut yang digunakan (dalam ml) adalah 1:5. Setelah perebusan, pelarut
secepatnya didinginkan hingga suhu ruang menggunakan penangas air. Setelah
dingin, ekstrak disaring menggunakan kertas saring 90 mm. Ekstraksi diulang
sebanyak 2 kali. Filtrat dari ekstraksi pertama dan kedua lalu disatukan, kemudian
dievaporasi dengan freeze drier (Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi, LPPM IPB). Ekstrak yang didapatkan berbentuk kristal amorf
berwarna coklat cerah.
3
Uji Aktivitas Antioksidan in Vitro (Modifikasi Falah et al. 2008)
Sampel ekstrak dibuat menjadi larutan stok dalam metanol dengan
konsentrasi 200 ppm. Stok ekstrak kemudian dibuat menjadi konsentrasi 40 ppm,
80 ppm, 120 ppm, 160 ppm, dan 200 ppm. Sebanyak 0.2 ml larutan ekstrak yang
akan diuji ditambahkan dengan 1 ml DPPH (6 mg/50 ml dalam metanol) dan
ditambahkan dengan metanol absolut sampai volumenya 2 ml (konsentrasi akhir
menjadi 4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, 16 ppm, dan 20 ppm). Kontrol positif yang
digunakan adalah senyawa kuersetin dengan cara yang sama, namun konsentrasi
akhir dibuat menjadi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm. Campuran diinkubasi
selama 30 menit di ruang gelap (ekstrak dan kuersetin), kemudian diukur
absorbansinya pada 517 nm. Pengujian juga dilakukan terhadap blanko (DPPH
dengan pelarutnya). Konsentrasi larutan dan absorbansinya dibuat persamaan
regresi yang sesuai. Nilai IC50 dihitung menggunakan rumus persamaan regresi
tersebut. Penentuan aktivitas antioksidan in vitro dilakukan menggunakan 2 kali
ulangan. Adapun aktivitas % penangkapan radikal DPPH (%) dihitung dengan:
Daya antioksidasi =
x 100 %.
Hewan dan Perancangan Percobaan (Modifikasi Haldar et al. 2011)
Tikus yang digunakan adalah tikus Sprague Dawley jantan umur 2 bulan
(BB 100-166 g). Tikus ditempatkan pada kandang individual. Masa adaptasi tikus
dilakukan selama 10 hari sebelum percobaan dimulai untuk menyesuaikan cara
hidup pada lingkungan yang baru. Tikus diberi pakan pelet standar dan air ad
libitum selama masa adaptasi maupun perlakuan. Dosis parasetamol yang
diberikan disesuaikan dengan dosis untuk mengganggu fungsi hati.
Setelah masa adaptasi, sebanyak 30 ekor tikus dikelompokkan menjadi 6
kelompok (n=5), berdasarkan perumusan jumlah hewan coba oleh Supranto
(2000). Tikus dibagi ke tiap kelompok dengan pembagian tertentu sehingga ratarata bobot badan tiap kelompok hampir sama. Kelompok I dicekok akuades,
kelompok II dicekok parasetamol 640 mg/kg BB, kelompok III, IV, & V dicekok
parasetamol 640 mg/kg BB dan ekstrak berturut-turut 100 mg/kg BB, 250 mg/kg
BB, dan 500 mg/kg BB. Kelompok VI dicekok parasetamol 640 mg/kg BB dan
Curliv-plus® 83 mg/kg BB. Setelah masa adaptasi, semua kelompok diberi
perlakuan setiap hari seperti diatas selama 16 hari. Tikus kelompok III, IV, V, dan
VI dicekok parasetamol 4 jam setelah pemberian ekstrak benalu campuran atau
Curliv-plus®, selain itu dicekok dengan akuades.
Nekropsi Hewan Coba dan Pembuatan Homogenat Hati (Rasool et al. 2011)
Pada 24 jam setelah perlakuan terakhir, hewan dianastesi dengan eter lalu
dinekropsi di kandang hewan coba Departemen Biokimia IPB. Hati hewan coba
diangkat dan segera dibilas dengan larutan NaCl 0.9% (b/v) dingin. Hati
ditempatkan pada mesin pendingin bersuhu -20oC selama menunggu pembuatan
homogenat. Pembuatan homogenat hati dilakukan di Laboratorium Penelitian
Biokimia IPB. Homogenat hati (10% b/v) disiapkan dalam dapar fosfat dingin
(0.1 M, pH 7.4) yang mengandung 0.15 M KCl. Homogenat lalu disentrifusa pada
800 g selama 5 menit pada 4oC. Selanjutnya supernatan disentrifusa kembali pada
10.500 g selama 20 menit pada 4oC untuk mendapatkan post mitochondrial
supernatant (PMS) dan digunakan untuk menentukan tingkat peroksidasi lipid
(analisis TBARS) dan aktivitas superoksida dismutase (SOD).
4
Penentuan Jumlah Protein Homogenat Hati (Bradford 1976)
Pembuatan Kurva Kalibrasi. Standard BSA (1 mg/ml) diambil dengan
volum 20, 40, 60, 80, dan 100 µl dan dimasukkan kedalam tabung reaksi, lalu
akuades ditambahkan hingga volum akhir masing-masing tabung 100 µl. Akuades
sebanyak 100 µl digunakan sebagai blanko BSA. Sebanyak 5 ml reagen Bradford
ditambahkan ke tiap tabung dan dikocok menggunakan alat vortex secara perlahan
untuk menghindari terbentuknya busa. Campuran tersebut lalu diukur pada 595
nm terhadap blanko pereaksi. Pengukuran dilakukan pada rentang waktu 4 hingga
5 menit setelah pengocokan.
Pengukuran Konsentrasi Protein. Sebanyak 40 µl PMS yang sudah
diencerkan dengan faktor 7.5 kali dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Akuades
sebanyak 100 µl digunakan sebagai blanko BSA. Sebanyak 5 ml reagen Bradford
ditambahkan ke tiap tabung dan dikocok menggunakan alat vortex secara perlahan
untuk menghindari terbentuknya busa. Campuran tersebut lalu diukur pada 595
nm terhadap blanko pereaksi. Pengukuran dilakukan saat masih berada dalam
rentang waktu 4 hingga 5 menit setelah pengocokan. Data absorbansi yang
didapat dimasukkan kedalam kurva standar BSA dan dihitung konsentrasi
proteinnya.
Pengukuran Konsentrasi Lipid Peroksida Hati (Okhawa et al. 1979)
Penentuan Panjang Gelombang Maksimal. Campuran reaksi terdiri atas
0.2 ml dari 8.1% (b/v) sodium lauril sulfat, 1.5 ml asam asetat 20% (v/v) pH 3.5,
1.5 ml asam tiobarbiturat 0.8% dalam air, dan 0.6 ml PMS. Campuran reaksi
tersebut dibuat volumenya menjadi 4 ml dengan menambahkan air suling dan
dipanaskan pada 95oC selama 60 menit. Setelah didinginkan dengan air mengalir,
ditambahkan 1 ml air suling dan 5 ml campuran n-butanol dengan piridin (15:1)
dan disentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit. Lapisan organik lalu
dikeluarkan dan absorbansinya diukur terhadap blanko. Panjang gelombang
maksimal (λmax) yang didapat adalah 533 nm, sama seperti hasil yang didapat oleh
Emalia (2014). Perbedaan λmax oleh Ohkawa et al. (1979) kemungkinan karena
perbedaan kondisi dan kalibrasi spektrofotometer. Analisis konsentrasi MDA
selanjutnya menggunakan panjang gelombang 533 nm.
Pembuatan Kurva Standar. Kurva standar MDA dibuat dengan
menggunakan 1,1,3,3-tetrametoksipropana (TMP), dengan asumsi 1 mol TMP
akan terhidrolisis menjadi 1 mol MDA. Standar TMP (6 M) diencerkan menjadi
25 µM, 20 µM, 15 µM, 10 µM, 5 µM, dan 2.5 µM. Setiap standar TMP diambil
sebanyak 0.8 ml dengan akuades, kemudian ditambahkan dengan 0.2 ml SDS
8.1% (b/v), 1.5 ml asam asetat 20% (v/v) pH 3.5 dengan NaOH 5 N, dan 1.5 ml
asam tiobarbiturat 0.8% dalam air. Campuran reaksi tersebut dipanaskan pada
95oC selama 60 menit. Setelah didinginkan dengan air mengalir, ditambahkan 1
mL air suling dan 5 mL campuran n-butanol dengan piridin (15:1) dan
disentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit. Lapisan organik lalu dikeluarkan
dan absorbansinya diukur terhadap blanko pada panjang gelombang 533 nm. Data
absorbansi selanjutnya dibuat kurva standar MDA.
Pengukuran Kadar MDA. Campuran reaksi terdiri atas 0.2 ml dari 8.1%
(b/v) sodium lauril sulfat, 1.5 ml asam asetat 20% (v/v) yang dibuat hingga pH 3.5
dengan NaOH 5 N, 1.5 ml asam tiobarbiturat 0.8% dalam air, dan 0.8 ml PMS
10% (b/v). Campuran reaksi tersebut dibuat volumenya menjadi 4 ml dengan
5
menambahkan air suling dan dipanaskan pada 95oC selama 60 menit. Setelah
didinginkan dengan air mengalir, ditambahkan 1 ml air suling dan 5 ml campuran
n-butanol dengan piridin (15:1) dan disentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit.
Lapisan organik lalu dikeluarkan dan absorbansinya diukur pada panjang
gelombang 533 nm.
Uji Aktivitas Superoksida Dismutase di Hati (Modifikasi Siburian 2011)
Pengukuran aktivitas SOD menggunakan prinsip inibisi autoksidasi
pirogalol oleh SOD. Pirogalol mengalami autoksidasi yang melibatkan radikal
superoksida (·O2-) pada kondisi basa. Keberadaan SOD akan menghambat reaksi
autoksidasi karena adanya dismutasi ·O2-. Satu unit aktivitas SOD didefinisikan
sebagai jumah enzim yang dibutuhkan untuk menghambat 50% autooksidasi
pirogalol dalam 3 ml campuran pereaksi (Nandi dan Chatterjee 1988). Nilai pH
dapar yang digunakan saat pengukuran ditingkatkan menjadi 8.5 untuk
meningkatkan sensitivitasnya (Nandi dan Chatterjee 1988).
Pembuatan Grafik Laju Autoksidasi Pirogalol. Sebanyak 200 µl
pirogalol 10 mM dicampurkan dengan 2725 µl dapar Tris-HCl 50 mM (pH 8.5)
yang mengandung 11 mM EDTA, kemudian ditambahkan 75 µl dapar
homogenasi sebagai blanko SOD. Larutan tersebut diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 420 nm setiap 10 detik selama 10 menit. Grafik laju
autoksidasi pirogalol digunakan sebagai standar pada penentuan inhibisi
autoksidasi pirogalol oleh SOD.
Analisis Aktivitas SOD pada Hati. Sebanyak 200 µl pirogalol 10 mM
dicampurkan dengan 2725 µl dapar Tris-HCl 50 mM (pH 8.5) yang mengandung
1 mM EDTA, kemudian dilakukan penambahan 75 µl PMS. Larutan tersebut
diukur absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm setiap 20 detik selama 10
menit. Penentuan besar inhibisi autooksidasi pirogalol oleh SOD ditentukan
berdasarkan pengurangan luas bawah kurva autooksidasi pirogalol.
Prosedur Analisis Data
Analisis statistik terhadap kadar MDA dan aktivitas superoksida dismutase
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), yaitu uji analysis of varian
(ANOVA) dan uji lanjut uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α =
0.05. Seluruh data tersebut dianalisis dengan program perangkat lunak SPSS.
HASIL
Rendemen Ekstrak dan Aktivitas Antioksidan in Vitro
Ekstraksi benalu campuran dengan perebusan oleh etanol 30% selama 10
menit menghasilkan rendemen sebesar 12.25%. Nilai IC50 ekstrak benalu
campuran yang didapat sebesar 12.12 ppm, sedangkan IC50 kuersetin sebesar 1.98
ppm (Tabel 1). Semakin kecil nilai IC50 suatu bahan, semakin besar
kemampuannya dalam meredam radikal DPPH (Lampiran 3). Pengujian secara in
vitro menunjukkan bahwa ekstrak benalu campuran memiliki aktivitas antioksidan
yang lebih rendah dibanding kuersetin. Namun, hasil yang diperoleh masih baik
mengingat bahwa ekstrak yang digunakan adalah ekstrak kasar.
6
Tabel 1 Nilai IC50 ekstrak benalu campuran dan kuersetin
Jenis sampel
Nilai IC50 (ppm)
Ekstrak benalu campuran
Kuersetin
12.12
1.98
Bobot Badan Tikus selama Masa Adaptasi dan Percobaan
Perilaku tikus selama percobaan menunjukkan perilaku normal. Tikus
mengalami masa adaptasi selama 10 hari untuk menyesuaikan dengan kondisi
kandang. Diawal masa adaptasi, bobot badan tikus rata-rata tiap kelompok
berbeda. Selama masa adaptasi, bobot badan tikus mengalami peningkatan tajam
sehingga rata-rata bobot badan di awal masa perlakuan relatif sama (Gambar 1).
Pada saat perlakuan, bobot badan tetap naik kecuali kelompok parasetamol dan
Curliv-plus. Kedua kelompok tersebut mengalami penurunan bobot badan pada
penimbangan hari ke-7. Penimbangan hari ke-15 menunjukkan terjadi
peningkatan bobot badan tikus pada semua kelompok. Kelompok normal
menunjukkan peningkatan bobot badan paling besar dibandingkan semua
kelompok. Kelompok ekstrak 100 mg/kg BB, ekstrak 500 mg/kg BB, dan
parasetamol 640 mg/kg BB, tetap mengalami peningkatan baik pada pengukuran
hari ke-7 maupun ke-15. Kelompok Ekstrak 250 mg/kg BB dan Curliv-plus 83
mg/kg BB mengalami peningkatan kembali pada pengukuran hari ke-15.
220
Normal
200
PCM
180
Ekstrak 100 mg/kg BB
160
Ekstrak 250 mg/kg BB
140
Ekstrak 500 mg/kg BB
120
Curliv-plus 83 mg/kg BB
-10
Gambar 1
-3
0
7
15
Kurva perubahan bobot badan tikus selama masa adaptasi dan
percobaan.
Peroksidasi Lipid Hati Tikus
Pengujian statistik (α = 0.05) menunjukkan konsentrasi MDA hati semua
kelompok hewan coba pada penelitian ini tidak berbeda nyata dengan hewan
normal. Ini berarti perlakuan parasetamol dosis 640 mg/kg BB selama 16 hari
tidak menginduksi stres oksidatif di jaringan hati. Rata-rata konsentrasi MDA per
gram hati kelompok normal pada penelitian ini adalah 59.51±2.32 nmol/g (Tabel
2). Perlakuan parasetamol hanya meningkatkan konsentrasi MDA sebesar 12.9%,
dan tidak berbeda nyata dengan kelompok normal. Pemberian ekstrak benalu teh
pada semua dosis juga tidak memberikan efek yang signifikan dalam menurunkan
konsentrasi MDA di hati.
7
Tabel 2 Konsentrasi MDA hati pada berbagai kelompok perlakuan
Konsentrasi MDA
Kelompok Perlakuan
(nmol/gram jaringan)
Normal
59.51±2.32a
Parasetamol
67.21±11.10 a
Ekstrak 100 mg/kg BB
66.54±5.93 a
Ekstrak 250 mg/kg BB
65.16±8.44 a
Ekstrak 500 mg/kg BB
64.45±9.70 a
Curliv-plus
68.82±5.82 a
Keterangan : tanda yang sama menunjukkan hasil uji statistik tidak berbeda nyata pada α=0.05
Aktivitas Superoksida Dismutase Hati
Pengukuran terhadap aktivitas SOD dilakukan dengan membandingkan laju
autooksidasi tanpa SOD dengan autooksidasi yang dihambat SOD. Jika dilihat
kemiringan kurva antara waktu reaksi dan absorbansinya (Gambar 2), terlihat
penambahan homogenat hati tikus menurunkan laju autooksidasi pirogalol
(kemiringan kurva berkurang). Hal ini menunjukkan bahwa homogenat hati yang
digunakan pada penelitian ini masih mengandung SOD yang aktif. Pada Gambar 2
juga bisa diamati perbedaan absorbansi awal antara sampel autooksidasi pirogalol
standar dan sampel autooksidasi pirogalol yang ditambah homogenat hati.
Pengujian statistik (α=0.05) menunjukan bahwa aktivitas SOD semua
kelompok hewan coba tidak berbeda nyata. Namun, perlakuan parasetamol dosis
640 mg/kg BB cenderung menurunkan aktivitas SOD di hati sebesar 27.3%. Hasil
analisis aktivitas SOD menunjukkan kelompok normal memiliki aktivitas tertinggi,
yaitu sebesar 1.590±0.220 U/mg protein (Gambar 3). Kelompok perlakuan ekstrak
100 mg/kg BB, 250 mg/kg BB, dan 500 mg/kg BB meningkatkan aktivitas SOD
berturut-turut sebesar 27.1%, 24.4%, dan 17.1%, dibanding kelompok
parasetamol. Efek peningkatan aktivitas SOD yang paling besar terjadi pada
kelompok ekstrak 100 mg/kg BB (27.1%). Sebagai pembanding, kelompok
Curliv-plus meningkatkan aktivitas SOD sebesar 20.4% dibanding kelompok
parasetamol.
Autoksidasi
Pirogalol
0.3
0.25
Penambahan PMS
Normal
A514
0.2
Penambahan PMS
Parasetamol
0.15
Linear (Autoksidasi
Pirogalol)
0.1
0.05
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
Linear
(Penambahan PMS
Normal)
Linear
(Penambahan PMS
Parasetamol)
Gambar 2 Pengaruh homogenat hati tikus kelompok normal dan parasetamol
terhadap kecepatan autoksidasi pirogalol.
8
2
U/mg protein
1.590±0.220a
1.5
1.156±0.123a
1.469±0.209a 1.438±0.379a
a
1.354±0.293a 1.392±0.255
1
0.5
0
Normal
PCM 640 mg/kg BB PCM 640 mg/kg BB, PCM 640 mg/kg BB, PCM 640 mg/kg BB, PCM 640 mg/kg BB,
Ekstrak 100 mg/kg Ekstrak 250 mg/kg Ekstrak 500 mg/kg Curliv-plus 83 mg/kg
BB
BB
BB
BB
Kelompok Perlakuan
Gambar 3 Aktivitas SOD hati pada berbagai kelompok perlakuan.
Keterangan: tanda yang sama menunjukkan hasil uji statistik tidak berbeda nyata pada α=0.05
PEMBAHASAN
Ekstraksi dan Aktivitas Antioksidan in Vitro
Benalu teh adalah tanaman gulma parasit yang termasuk dalam suku
Lorantaceae, dan biasa digunakan dalam ramuan obat tradisional untuk batuk,
kanker, diuretik, peghilang nyeri, dan perawatan sesudah melahirkan. Penggunaan
benalu teh secara tradisional umumnya menggunaan 2 atau lebih spesies yang
menyerang tanaman teh. Hasil temuan saat pencarian di lapangan mengungkapkan
bahwa ada 4 jenis benalu yang tumbuh pada pohon teh dengan proporsi yang
berbeda-beda antar spesies. Keempat spesises benalu tersebut adalah Scurrula
oortiana, Scurrula parasitica, Macrosolen cochinchinensis, dan Lepeostegeres
gemmiflorus. Benalu campuran digunakan pada penelitian ini untuk menyesuaikan
penggunaan benalu teh secara tradisional sehingga diharapkan bisa memberikan
gambaran yang lebih baik terkait penggunaannya di masyarakat.
Hasil ekstraksi benalu campuran pada penelitian ini menghasilkan rendemen
yang lebih besar dibanding dengan hasil penelitian Rahmawati dan Hayashi
(2012) yaitu rendemen lebih kecil dari 7%. Hal ini kemungkinan karena
perbedaan ulangan pada ekstraksinya. Penelitian ini menggunakan 2 kali ulangan,
sedangkan penelitian Rahmawati dan Hayashi (2012) hanya menggunakan 1 kali
pengulangan. Penggantian pelarut dengan pengulangan merupakan cara yang
efektif dalam mengekstrak suatu bahan agar hasil ekstraksi maksimal. Penelitian
ini menggunakan pelarut yang mengandung etanol untuk mengekstrak senyawa
antioksidan pada benalu campuran. Pelarut yang mengandung etanol sering
digunakan untuk mengekstrak senyawa fenolik dari bahan alam. Umumnya,
campuran alkohol dan air akan lebih efisien dalam mengekstrak senyawa fenolik
dibanding ekstraksi dengan pelarut tunggal (Yilmaz dan Toledo 2006).
Penelitian ini menggunakan ekstrak benalu teh yang diekstraksi
menggunakan pelarut, suhu, dan waktu yang disarankan oleh Rahmawati dan
Hayashi (2012). Penapisan fitokimia oleh Emalia (2014) menunjukkan bahwa
ekstrak benalu campuran mengandung senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, fenol,
tanin, dan triterpenoid. Analisis kimia ekstrak benalu teh (Scurrula atropurpurea)
yang diekstraksi oleh Rahmawati dan Hayashi (2012) menunjukkan bahwa rutin
9
merupakan senyawa flavonoid terbesar (0.026% (b/b)), dilanjutkan oleh
kuersetin 4-glukosida (0.003 % (b/b)). Benalu campuran pada penelitian ini
kemungkinan juga mengandung rutin dan kuersetin 4-glukosida karena berasal
dari suku yang sama dan menginfeksi inang yang sama. Senyawa flavonoid,
khususnya rutin dan kuersetin 4-glukosida, kemungkinan memberikan sumbangan
terbesar dalam aktivitas antioksidan ekstrak benalu campuran. Menurut Ohashi et
al. (2003), ekstrak benalu teh spesies Scurulla atropurpurea BL. Danser
mengandung 16 kelompok senyawa bioaktif yang terdiri atas enam asam lemak,
dua santin, dua senyawa glikosida flavonol, satu senyawa glikosida monoterpen,
satu senyawa glikosida lignan, dan empat senyawa flavon.
Penelitian ini diawali dengan mengukur aktivitas antioksidan ekstrak benalu
campuran secara in vitro dengan metode DPPH. Metode DPPH banyak digunakan
sebagai uji awal dalam melihat potensi aktivitas antioksidan suatu bahan karena
relatif mudah, cepat, dan murah (Molyneux 2003). Metode ini menggunakan
radikal DPPH yang stabil sebagai model radikal bebas. Aktivitas antioksidan
suatu bahan dilihat dari kemampuannya dalam meredam radikal DPPH menjadi
bentuk tidak radikal (Gambar 4), dan dimonitor melalui absorbansinya.
Pengamatan pada λ517 menunjukkan bahwa absorbansi yang teramati terus
menurun sejalan dengan peningkatan konsentrasi ekstrak maupun kuersetin. Hal
ini membuktikan bahwa baik ekstrak maupun kuersetin mempu meredam radikal
DPPH menjadi bentuk tidak radikal. Aktivitas antioksidan ekstrak benalu
campuran pada penelitian ini sekitar seperenam dari aktivitas kuersetin, dan
termasuk antioksidan kuat karena memiliki IC50 kurang dari 50 ppm (Shahidi
1997). Hasil ini sangat bagus mengingat bahwa ekstrak benalu campuran yang
digunakan merupakan ekstrak kasar dibanding kuersetin yang merupakan
senyawa murni. Sebagai perbandingan, ekstrak antioksidan kulit buah manggis
memiliki IC50 sebesar 11.08 ppm (Miryanti et al. 2011) dan ekstrak kulit kayu
mahoni sebesar 9.62 ppm (Rosiyana 2012).
Gambar 4 Perubahan 1,1-difenil-2-pikrilhidarzil (senyawa radikal) menjadi 1,1difenil-2-pikrilhidrazina (senyawa non radikal) oleh antioksidan
(diadaptasi dari Molineux 2003).
Bobot Badan Tikus selama Masa Adaptasi dan Percobaan
Kondisi tikus selama masa percobaan merupakan salah satu parameter yang
diamati pada penelitian in vivo. Syarat hewan coba yang layak digunakan adalah
sehat. Parameter tingkat kesehatan dari hewan coba bisa diamati melalui
peningkatan bobot badan (BB) (Lu 2006). Penelitian ini menggunakan 30 ekor
tikus galur Sprague Dawley (SD) jantan dengan BB antara 100 hingga 166 g di
10
awal masa adaptasi. Penggunaan tikus SD pada penelitian ini karena mudah
didapat dan banyak digunakan pada penelitian terkait model hati manusia.
Sebelum masa perlakuan, dilakukan adaptasi hewan coba pada lingkungan selama
10 hari agar hewan coba bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan
meningkatkan BB tikus.
Perilaku tikus selama percobaan menunjukkan perilaku normal. Hal ini
menunjukkan tikus dalam kondisi tidak tertekan dan sehat. Semua kelompok
percobaan mengalami kenaikan BB pada penimbangan di masa adaptasi (hari -10.
-3, dan 0 perlakuan). Hal ini menunjukkan bahwa tikus sehat dan bisa beradaptasi
dengan lingkungan yang baru, ditunjukkan dengan peningkatan BB. Pada
penimbangan hari ke-7 percobaan, peningkatan BB tetap terjadi, kecuali
kelompok parasetamol dan Curliv-plus. Peningkatan BB pada hari ke-7 cenderung
lebih kecil dibandingkan di awal masa adaptasi. Hal ini kemungkinan karena tikus
mengalami stres akibat perlakuan pencekokan. Penimbangan hari ke-15
menunjukkan terjadi peningkatan BB pada semua kelompok perlakuan, walaupun
laju kenaikan BB tidak seperti kelompok normal. Peningkatan BB pada
penimbangan hari ke-15 menunjukkan tikus mulai bisa beradaptasi terhadap
kondisi pencekokan setiap harinya.
Peroksidasi Lipid Hati Tikus
Penilaian efektivitas strategi pertahanan tubuh seperti penggunaan suplemen
antioksidan, bisa dilakukan dengan panduan pengukuran tingkat perlindungan
antioksidan dan tingkat kerusakan oksidatif (Aldini et al. 2010, Yeum et al. 2010).
Penandaan biologis dari kerusakan oksidatif bisa dikelompokkan menjadi metode
langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung mengukur produk oksidasi
biomolekul (lipid, protein, dan asam nukleat), dan metode tidak langsung
mengukur status antioksidan tubuh, salah satunya SOD (Aldini et al. 2010).
Parasetamol adalah obat yang bebas beredar di masyarakat dan
penggunaannya tidak bisa dikontrol. Penggunaan parasetamol pada penelitian ini
mengikuti dosis yang digunakan untuk menciptakan gangguan fungsi hati (Haldar
et al. 2011). Penggunaan parasetamol dosis 640 mg/kg BB diharapkan bisa
meningkatkan konsentrasi MDA di hati untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan
ekstrak benalu campuran. Curliv-plus merupakan obat herbal terstandar untuk
perlindungan hati. Penelitian ini menggunakan dosis Curliv-plus sebesar 83 mg/kg
BB. Nilai ini didapat dari transformasi dosis Curliv-plus untuk pencegahan
kerusakan hati dari manusia ke tikus berdasarkan luas permukaan tubuh (ReaganShaw et al. 2007).
Rancangan hewan coba pada penelitian ini menggunakan perumusan
sederhana oleh Supranto (2000), yaitu:
Keterangan: t = banyaknya kelompok perlakuan
r = jumlah ulangan.
Pengujian statistik menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan tidak berbeda
nyata. Analisis MDA hati kelompok normal menunjukkan konsentrasi yang paling
rendah (59.51±2.32 nmol/g). Nilai ini terletak pada kisaran yang telah dilaporkan
sebelumnya oleh Vernanda (2010) sebesar 48±13.394 nmol/g, dan Christian
11
(2007) sebesar 75.421±31.24 nmol/g. Pemberian parasetamol tidak meningkatkan
konsentrasi MDA hati secara signifikan, namun profil MDA serum meningkat
secara signifikan sebesar 27.6%. Dengan demikian, pemberian parasetamol dosis
640 mg/kg BB selama 16 hari dapat memberikan stres oksidatif di serum darah
tikus (Emalia 2014). Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian ini belum dapat
memberikan stres oksidatif pada hati tikus.
Hati merupakan organ metabolisme utama yang salah satu fungsinya adalah
biotransformasi xenobiotik (Koolman dan Roehm 2005). Karena menjalankan
berbagai fungsi, hati memiliki pertahanan yang cukup dalam bentuk antioksidan
endogen. Antioksidan endogen di hati ada 2 jenis, yaitu senyawa antioksidan dan
enzim antioksidan (Yeum et al. 2010). Senyawa antioksidan seluler meliputi
vitamin C, vitamin E, dan glutation. Sedangkan, enzim-enzim antioksidan
meliputi SOD, glutation peroksidase, dan katalase. Antioksidan dalam sel akan
menentralisir radikal bebas, dan mencegah reaksi inisiasi peroksidasi lipid.
Antioksidan endogen diperlukan oleh sel hati sebagai pertahanan untuk
melakukan berbagai reaksi aktivasi xenobiotik berbahaya, seperti reaksi oleh
enzim sitokrom P450. Hewan coba pada penelitian ini akan memetabolisme
sebagian parasetamol dengan enzim sitokrom P450 menjadi senyawa N-asetil-pbenzoquinon imina (NAPKI) yang radikal. Ada kemungkinan bahwa senyawa
antioksidan endogen di hati (glutation, vitamin E dan C) masih mampu menahan
peroksidasi lipid yang diakibatkan oleh NAPKI. Namun, pemberian parasetamol
cenderung meningkatkan konsentrasi MDA di serum dengan porsi yang lebih
besar sehingga lebih menunjukkan efek pemberian parasetamol dalam
menginduksi stres oksidatif (Emalia 2014).
Kelompok ekstrak memiliki konsentrasi MDA hati sedikit lebih rendah
dibanding kelompok parasetamol. Walaupun perbedaannya sedikit, data ini
menunjukkan ekstrak benalu campuran bersifat sebagai antioksidan karena
mampu mengurangi peroksidasi lipid di hati seiring dengan peningkatan dosis
ekstrak yang diberikan hingga 500 mg/kg BB, namun tidak serendah kelompok
normal. Walaupun demikian, konsentrasi MDA serum menurun signifikan pada
dosis 250 mg/kg BB (Emalia 2014). Dengan demikian, senyawa-senyawa
antioksidan dalam benalu campuran kemungkinan berperan dalam menghambat
peroksidasi lipid yang disebabkan oleh NAPKI jika dilihat pada serum, namun
tidak pada jaringan hati.
Aktivitas Superoksida Dismutase Hati Tikus
Pengukuran tingkat kerusakan oksidatif juga bisa dilakukan dengan metode
tidak langsung. Penanda biologis yang bisa digunakan untuk tujuan ini adalah
senyawa-senyawa antioksidan endogen dan enzim-enzim antioksidan. Contoh
senyawa antioksidan yang bisa digunakan adalah glutation, asam urat, vitamin E,
vitamin C, dan seruloplasmin (Dotan et al. 2004). Sedangkan, enzim antioksidan
adalah SOD, katalase (CAT), glutation peroksidase (Gpx), peroksiredoksin (Prx),
dan paraoxonase-1 (PON-1) (Miyamoto et al. 2010). Analisis mengenai kapasitas
perlindungan antioksidan dalam tubuh, bersamaan dengan analisis tingkat
kerusakan oksidatif, bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kapasitas
perlindungan tubuh terhadap stres oksidatif.
12
Salah satu penanda biologis untuk perlindungan antioksidan secara
enzimatik adalah superoksida dismutase (Ichi dan Kojo 2010). Superoksida
dismutase (SOD, EC 1.15.1.1) adalah enzim yang mengkatalisis reaksi dismutasi
dari superoksida menjadi oksigen dan hidrogen peroksida. Superoksida
merupakan salah satu ROS utama dalam sel, dan dapat dihasilkan pada rantai
respirasi seluler serta obat-obatan penghasil superoksida. Ada tiga bentuk SOD
pada semua mamalia, temasuk manusia, dan sebagian besar kordata. SOD1
terletak di sitoplasma, SOD2 pada mitokondria, dan SOD3 pada daerah
ekstraselular. SOD1 dan SOD3 mengandung tembaga dan seng (Cu-ZnSOD),
sedangkan SOD2 (enzim mitokondria), mengandung mangan dalam sisi aktifnya
(MnSOD) (Miyamoto et al. 2010). Penelitian ini menganalisis aktivitas CuZnSOD dengan menggunakan post mitochondrial supernatant (PMS) sebagai
sampel.
Aktivitas SOD pada PMS bisa dilihat dari kemiringan kurva antara waktu
reaksi dan absorbansinya. Penambahan PMS, baik milik kelompok normal
maupun parasetamol, cenderung menurunkan kemiringan kurva laju reaksi. Hal
ini membuktikan bahwa PMS yang digunakan pada penelitian ini masih memiliki
SOD yang aktif. Autooksidasi pirogalol pada pH basa merupakan reaksi yang
melibatkan O2- (Marklund dan Marklun 1974). Keberadaan SOD pada
autooksidasi pirogalol akan mengurangi jumlah O2- yang terlibat dalam reaksi
sehingga laju reaksi menurun. Perbedaan absorbansi awal pada campuran reaksi
autooksidasi pirogalol standar dan yang ditambahkan PMS merupakan akibat
kekeruhan yang ditimbulkan oleh PMS pada campuran reaksi. Penambahan PMS
meningkatkan kekeruhan pada campuran reaksi sehingga absorbansi awal
pengukuran laju autooksidasi pirogalol yang ditambahkan PMS lebih tinggi
dibanding autooksidasi pirogalol standar.
Aktivitas SOD tikus normal pada penelitian ini jauh lebih kecil dari
penelitian Nandi dan Chatterjee (1988) yang melaporkan aktivitas SOD hati tikus
albino sebesar 23.90±1.35 U/mg protein. Penelitian lain melaporkan aktivitas
SOD hati tikus Wistar normal kurang dari 5 U/mg protein (Rasool et al. 2011).
Aktivitas SOD yang paling tinggi didapatkan pada kelompok normal, sedangkan
aktivitas SOD paling rendah didapatkan pada kelompok parasetamol. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian parasetamol menurunkan kapasitas antioksidan
endogen di hati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak benalu
campuran menurunkan efek pengurangan aktivitas SOD hati akibat parasetamol.
Pemberian Curliv-plus dosis 83 mg/kg BB juga menurunkan efek pengurangan
aktivitas SOD akibat pemberian parasetamol.
Aktivitas SOD pada penelitian ini tidak berbeda nyata secara statistik
(α=0.05) pada semua kelompok hewan coba, walaupun jumlah hewan coba sudah
berdasarkan perumusan sederhana oleh Supranto (2000). Hal ini kemungkinan
karena besarnya variabilitas tiap individu pada jumlah SOD hati dan pengaruh
pemberian parasetamol. Untuk mengatasi hal ini, beberapa penelitian serupa
menggunakan hewan coba yang lebih besar dari penghitungan hewan minimal
agar meminimalisir efek variabilitas individu (Nandi dan Chatterjee 1988, Haldar
et al. 2010, Rasool et al. 2011, Noh et al. 2013).
Aktivitas SOD rata-rata pada penelitian ini jauh lebih rendah dibanding
aktivitas SOD rujukan (Nandi dan Chatterjee 1988). Hal ini kemungkinan karena
perbedaan konsentrasi pirogalol yang digunakan. Penelitian ini menggunakan
13
konsentrasi pirogalol sebesar 0.67 mM, sedangkan pada penelitian Nandi dan
Chatterjee (1988) sebesar 0.13 mM. Ada kemungkinan bahwa dapar yang
digunakan memiliki pH lebih rendah dari 8.5 akibat kesalahan pH-meter sehingga
konsentrasi pirogalol harus ditingkatkan agar tetap memiliki laju autoksidasi yang
diinginkan. Laju autoksidasi pirogalol sangat tergantung pada pH dan akan
menurun dengan faktor 2 jika nilai pH turun 0.3, begitupun sebaliknya (Marklund
dan Marklund 1974). Pembacaan aktivitas SOD yang rendah kemungkinan juga
diakibatkan menurunnya sensitivitas pengukuran akibat konsentrasi pirogalol
yang ditingkatkan dan penggunaan dapar tris-HCl. Peningkatan konsentrasi
pirogalol menurunkan sensitivitas pengukuran dengan faktor 3.3 pada konsentrasi
0.5 mM dibanding menggunakan konsentrasi 0.2 mM, dan penggunaan dapar
tris-HCl juga akan menurunkan sensitivitas pengukuran hingga 30% dibanding
menggunakan dapar tris-kakodilat (Marklund dan Marklund 1974).
Beberapa penelitian yang menggunakan parasetamol dosis toksik
menunjukkan penurunan aktivitas SOD di hati hewan model (Rasool et al. 2011,
Haldar et al. 2010). Penurunan aktivitas SOD ini kemungkinan disebabkan oleh
deaktivasi enzim-enzim antioksidan, termasuk SOD, oleh NAPKI yang dihasilkan
oleh metabolisme parasetamol (Knight et al. 2001). NAPKI akan berikatan
kovalen dengan protein dan merusak fungsi dari protein yang diikatnya, termasuk
SOD. Selain perusakan SOD secara langsung oleh NAPKI, SOD juga dideaktivasi
oleh radikal bebas lainnya akibat kondisi stres oksidatif pada sel.
Keterkaitan Aktivitas in Vitro dan in Vivo
Semua bahan yang bisa mencegah oksidasi disebut antioksidan. Definisi ini
relatif sederhana, namun hal ini sangat sulit dinilai jika suatu bahan memiliki
aktivitas antioksidan, khususnya secara in vivo (Yeum et al. 2010). Suatu bahan
bisa saja memiliki aktivitas antioksidan secara in vitro, namun aktivitasnya secara
in vivo ada kemungkinan tidak terlihat. Salah satu tujuan penelitian ini adalah
mencari kemungkinan efek ekstrak benalu teh terhadap kesehatan. Untuk tujuan
ini, penelitian in vivo lebih dipercaya karena lebih mencerminkan kondisi aktual
dalam tubuh. Pengujian secara in vitro banyak digunakan untuk mencari potensi
dan membandingkan antioksidan dari beberapa sumber. Namun, uji secara in vitro
tidak berkorelasi langsung dengan aktivitas antioksidannya secara in vivo karena
tidak mencerminkan kondisi fisiologis dalam sel (Mermelstein 2008).
Peroksidasi lipid banyak digunakan sebagai indikator dalam menentukan
tingkat stres oksidatif sel. Kejadian ini melibatkan propagasi radikal peroksida
pada membran sel yang diinisiasi oleh radikal bebas lainnya dalam sel (Ichi dan
Kojo 2010). Pengujian aktivitas antioksidan suatu bahan dinilai dari
kemampuannya dalam meredam efek radikal bebas dalam tubuh. Penelitian ini
menggunakan parasetamol sebagai agen penginduksi stres oksidatif, walaupun
hasilnya kurang signifikan dalam meningkatkan konsentrasi MDA di hati.
Perlakuan ekstrak benalu campuran pada semua dosis tidak berhasil menurunkan
tingkat peroksidasi lipid secara signifikan dibanding kelompok parasetamol,
namun secara rata-rata masih lebih rendah.
Aktivitas SOD bisa digunakan menjadi indikator dalam menentukan tingkat
perlindungan seluler terhadap radikal bebas (Miyamoto et al. 2010). Berbeda
dengan efek pada konsentrasi MDA, perlakuan parasetamol dosis 640 mg/kg BB
14
dalam penelitian ini membuat aktivitas SOD menurun. Hal ini karena radikal
bebas yang dihasilkan dari metabolisme parasetamol menginaktifkan SOD dengan
mengikatnya secara kovalen. Perlakuan ekstrak benalu campuran pada hewan
coba di semua dosis telah berhasil meningkatkan aktivitas SOD pada hati. Hal ini
kemungkinan karena ekstrak benalu campuran memiliki aktivitas antioksidan
secara in vivo, yang bekerja mengurangi jumlah radikal bebas dalam sel sebelum
membuat kerusakan pada protein lebih lanjut.
Aktivitas antioksidan ekstrak benalu campuran yang diuji dengan metode
DPPH kemungkinan sebagian besarnya disebabkan karena adanya senyawa
flavonoid. Senyawa flavonoid utama yang ada adalah rutin dan kuersetin 4glikosida (Rahmawati dan Hayashi 2012). Aktivitas antioksidan in vivo ekstrak
benalu campuran kemungkinan juga disebabkan oleh senyawa yang sama. Kedua
flavonoid tersebut bisa diserap dengan baik di saluran pencernaan dan
memberikan kontribusi dalam tubuh untuk melawan radikal bebas. Senyawa rutin
dan kuersetin 4-glikosida harus dihidrolisis oleh mikroflora usus sehingga
menjadi bentuk yang bisa diserap (Wiczkowski dan Piskuta 2004). Karena harus
dihidrolisis, senyawa rutin dan kuersetin 4-glikosida akan diserap secara perlahan
dan mempertahankan keberadaan turunannya dalam plasma darah sampai periode
perlakuan hari selanjutnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Ekstrak benalu campuran memiliki aktivitas antioksidan kuat secara in vitro,
namun secara in vivo hanya memperbaiki aktivitas superoksida dismutase dan
tidak menghambat peroksidasi lipid.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menentukan dosis efektif dan
toksisitas ekstrak etanol 30% benalu campuran dengan jumlah hewan model yang
lebih besar untuk mengatasi variabilitas individu yang tinggi. Perlu juga melihat
histopatologi hati agar bisa diketahui efek perlakuan secara langsung terhadap
jaringan hati.
DAFTAR PUSTAKA
Aldini G, Yeum KJ, Niki E, Russell RM. 2010. Biomarkers for Antioxidant
Defense and Oxidative Damage: Principles and Practical Aplication.
Singapura (SG): Blackwell Pub.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of
microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye
binding. Anal Biochem. 72: 1976.
Christian. 2007. Khasiat antioksidan ekstrak pare: kajian in vivo pada tikus
hiperglikemia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Dotan Y, Lichtenberg D, Pinchuk I. 2004. Lipid peroxidation cannot be used as a
universal criterion of oxidative stress. Progress in Lipid Research. 43:
200-227.
Duthie SJ, Ma A, Ross MA, Collins AR. 1996. Antioxidant suplementation
decreases oxidative DNA damage in human lymphocytes. Cancer
Research. 56: 1291-1295.
Emalia D. 2014. Aktivitas ekstrak benalu teh sebagai hepatoprotektor pada tikus
galur sprague dawley [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Falah S, Suzuki T, Katayama T. 2008. Chemical constituents from Swietenia
macrophylla bark and antioxidant activity. Pakistan J Biol Sci. 11(16):
2007-2012.
Frei B, Higdon JV. 2003. Antioxidant activity of tea polyphenols in vivo:
evidence from animal studies [makalah]. Disampaikan dalam: The Third
International Scientific and Human Health: Role of Flavonoid in Diet;
2002 Sep 23; United States of America.
Haldar PK, Adhikari S, Bera S, Bhattacharya S, Panda SP, Kandar CC. 2011.
Hepatoprotective efficacy of Swietenia mahagoni L. Jacq. (Meliaceae)
bark against paracetamol-induced hepatic damage in rats. Indian J Pharm
Edu Resc. 45(2): 106-113.
Hamid AA, Aiyelaagbe OO, Usman LA, Ameen OM, Lawal A. 2010.
Antioxidant: its medicinal and pharmacological applications. Afric J Pure
App Chem. 4(8): 142-151.
Ichi I, Kojo S. 2010. Antioxidant as biomarkers of oxidative stress. Dalam: Aldini
G, Yeum KJ, Niki E, Russell RM, editor. Biomarkers for Antioxidant
Defense and Oxidative Damage: Principles and Practic
EKSTRAK BENALU CAMPURAN (Lorantaceae)
PADA TANAMAN TEH (Camelia sinensis L.)
ANDAL YAKINUDIN
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Antioksidan
in Vitro dan in Vivo Ekstrak Benalu Campuran (Lorantaceae) pada Tanaman Teh
(Camelia sinensis L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir di skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Andal Yakinudin
NIM G84090018
ABSTRAK
ANDAL YAKINUDIN. Aktivitas Antioksidan in Vitro dan in Vivo Ekstrak
Benalu Campuran (Lorantaceae) pada Tanaman Teh (Camelia sinensis L.).
Dibimbing oleh SULISTIYANI dan HUSNAWATI.
Benalu teh adalah salah satu tanaman parasit yang biasa digunakan dalam
ramuan obat tradisional kanker. Tujuan penelitian ini menentukan aktivitas
antioksidan in vivo ekstrak benalu campuran pada tanaman teh dan
membandingkannya dengan aktivitas antioksidannya secara in vitro. Ekstrak
benalu campuran didapat dengan proses merebus selama 10 menit dengan pelarut
etanol 30%. Aktivitas antioksidan in vitro ekstrak benalu campuran diukur dengan
metode DPPH. Aktivitas antioksidan secara in vivo diuji dengan mengukur
aktivitas SOD dan konsentrasi MDA di hati tikus Sprague Dawley (n=30 ekor)
yang dicekok parasetamol (640 mg/kg BB) dan ekstrak benalu campuran pada
dosis 100 mg/kg BB, 250 mg/kg BB, dan 500 mg/kg BB selama 16 hari. Uji
DPPH menunjukkan IC50 ekstrak benalu campuran sebesar 12.12 ppm dan kontrol
kuersetin sebesar 1.98 ppm. Pengujian secara in vivo menunjukkan ekstrak benalu
campuran dosis 100 mg/kg BB cenderung meningkatkan aktivitas SOD sebesar
27.1% lebih tinggi dari kontrol parasetamol, mengindikasikan efek ekstrak dalam
mempertahankan antioksidan endogen hati tetap tinggi. Namun, kadar MDA hati
pada semua kelompok percobaan tidak terpengaruh oleh perlakuan yang
diberikan.
Kata kunci: antioksidan, DPPH, malondialdehida, superoksida dismutase
ABSTRACT
ANDAL YAKINUDIN. In Vitro and in Vivo Antioxidant Activity of Mixed
Mistletoes (Lorantaceae) in Tea (Camelia sinensis L.). Supervised by
SULISTIYANI and HUSNAWATI.
Tea mistletoes are one of the parasitic plants commonly used in traditional
medicine for cancer. The purpose of this study is to determine the in vivo
antioxidant activity of mixed tea mistletoes extracts and compares it with it’s in
vitro antioxidant activity. Tea mistletoes extract obtained by the process of boiling
for 10 minutes with 30% ethanol. In vitro antioxidant activity of mixed tea
mistletoes extracts measured by DPPH method. The antioxidant activity in vivo
was tested by measuring the activity of SOD and MDA levels in the liver of
Sprague Dawley rat (n=30 animal) treated by decoction with paracetamol (640
mg/kg bw) and mixed tea mistletoes extracts at a dose of 100 mg/kg bw, 250
mg/kg b/w, and 500 mg/kg b/w for 16 days. DPPH test showed IC50 for mixed tea
mistletoe extract is 12.12 ppm, and 1.98 ppm for quercetin control. In vivo testing
showed mixed tea mistletoe extract at dose of 100 mg/kg (b/w) increase the
activity of SOD by 27.1% higher than paracetamol controls, indicating extract
effect in maintaining liver endogenous antioxidant still high. Nevertheless, liver
MDA level at all experimental group were not affected by the treatment.
Keywords: antioxidants, DPPH, malondialdehyde, superoxide dismutase
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN IN VITRO DAN IN VIVO
EKSTRAK BENALU CAMPURAN (Lorantaceae)
PADA TANAMAN TEH (Camelia sinensis L.)
ANDAL YAKINUDIN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Aktivitas Antioksidan in Vitro dan in Vivo Ekstrak Benalu
Campuran (Lorantaceae) pada Tanaman Teh (Camelia sinensis L.)
Nama
: Andal Yakinudin
NIM
: G84090018
Disetujui oleh
drh Sulistiyani, MSc, PhD
Pembimbing I
dr Husnawati
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir I Made Artika MAppSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini adalah
antioksidan, dengan judul Aktivitas Antioksidan in Vitro dan in Vivo Ekstrak
Benalu Campuran (Lorantaceae) pada Tanaman Teh (Camelia sinensis L.).
Penelitian ini mendapat bantuan pembiayaan dari Yayasan Amanah Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu drh Sulistiyani, MSc, PhD dan Ibu
dr Husnawati selaku pembimbing. Di samping itu, ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada seluruh staf dan laboran di Laboratorium Departemen
Biokimia FMIPA IPB atas bantuannya saat menjalankan penelitian ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Kinuy dan Pak Udin atas bantuannya
dalam pengambilan sampel benalu di lapangan. Terima kasih penulis ucapkan
kepada Biofarmaka LPPM-IPB dan Yayasan Amanah Institut Pertanian Bogor
yang telah membantu kelancaran penelitian ini. Terima kasih kepada Yayasan
Bhakti Tanoto atas beasiswa yang telah diberikan selama ini sehingga penulis bisa
lancar menjalankan studi di IPB.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orang
tua dan seluruh keluarga atas doa dan dukungannya sehingga penulis bisa
menyelesaikan karya tulis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dessy
sebagai teman satu tim penelitian atas bantuan dan kerja kerasnya selama ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Waliyudin, Mina, Fitri, Elvira, Aang, dan
Suryadi, atas dukungan moril yang diberikan. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Keluarga Besar Asrama Sylvalestari dan Sylvapinus atas
dukungan dan doanya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014
Andal Yakinudin
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
METODE
2
Bahan dan Alat
2
Prosedur Penelitian
2
HASIL
5
Rendemen Ekstrak dan Aktivitas Antioksidan in Vitro
5
Bobot Badan Tikus selama Masa Adaptasi dan Percobaan
6
Peroksidasi Lipid Hati Tikus
6
Aktivitas Superoksida Dismutase Hati
7
PEMBAHASAN
8
Ekstraksi dan Aktivitas Antioksidan in Vitro
8
Bobot Badan Tikus selama Masa Adaptasi dan Percobaan
9
Peroksidasi Lipid Hati Tikus
10
Aktivitas Superoksida Dismutase Hati Tikus
11
Keterkaitan Aktivitas in Vitro dan in Vivo
13
SIMPULAN DAN SARAN
14
DAFTAR PUSTAKA
15
LAMPIRAN
18
RIWAYAT HIDUP
26
DAFTAR TABEL
1 Nilai IC50 ekstrak benalu campuran dan kuersetin
2 Konsentrasi MDA hati pada berbagai kelompok perlakuan
6
7
DAFTAR GAMBAR
1 Kurva perubahan bobot badan tikus selama masa adaptasi dan percobaan
2 Pengaruh homogenat hati tikus kelompok normal dan parasetamol
terhadap kecepatan autooksidasi pirogalol
3 Aktivitas SOD hati pada berbagai kelompok perlakuan
4 Perubahan 1,1-difenil-2-pikrilhidarzil (senyawa radikal) menjadi
1,1-difenil pikrilhidrazina (senyawa non radikal) oleh antioksidan
6
n
7
8
n
9
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gambaran umum penelitian
Perhitungan rendemen ekstraksi benalu campuran
Perhitungan aktivitas antioksidan in vitro ekstrak benalu campuran
Penapisan panjang gelombang maksimal kompleks warna MDA-TBA
Kurva standar TMP
Data pengukuran kandungan MDA sampel PMS hati hewan coba
Pencarian konsentrasi pirogalol terbaik untuk uji aktivitas SOD
Kurva autoksidasi pirogalol standar saat pengukuran aktivitas SOD
Perbandingan rata-rata kemiringan kurva autooksidasi pirogalol
di setiap dosis perlakuan
10 Aktivitas SOD PMS hati hewan coba berdasarkan inhibisi autoksidasi
pirogalol
11 Grafik standar inhibisi PMS hati hewan no. 19 terhadap volumnya
12 Kurva standar BSA
13 Aktivitas SOD PMS hati hewan coba
18
18
19
20
20
20
21
21
21
23
23
24
25
PENDAHULUAN
Konsekuensi dari penggunaan O2 oleh organisme aerob adalah
terbentuknya radikal bebas. Jumlah radikal bebas yang berlebihan akan
menyebabkan ketidakseimbangan seluler yang bisa menyebabkan stres oksidatif
(Yeum et al. 2010). Oleh karena itu, organisme aerob mengembangkan sistem
antioksidan untuk menangkal efek buruk radikal bebas. Antioksidan merupakan
agen pereduksi yang bereaksi dengan mudah dengan senyawa-senyawa reaktif
yang bersifat pengoksidasi (Koolman dan Roehm 2005).
Khasiat antioksidan dari suatu bahan telah banyak dikaitkan dengan
penangkalan penyakit akibat stres oksidatif (Frei dan Higdon 2003, Hamid et al.
2010). Pola makan yang salah, polusi yang berlebih, serta gaya hidup yang tidak
sehat akan mengarahkan tubuh pada keadaan stres oksidatif. Stres oksidatif akan
berimplikasi pada kerusakan DNA, protein selular, serta protein fungsional yang
ada dalam sel. Karenanya, dibutuhkan strategi dalam usaha untuk mencegah
kerusakan seluler akibat stres oksidatif. Salah satu strategi yang bisa dilakukan
adalah konsumsi antioksidan untuk melawan radikal bebas penyebab stres
oksidatif (Aldini et al. 2010).
Uji efektivitas antioksidan dalam melawan radikal bebas perlu dilakukan
untuk membandingkan dosis efektif antioksidan tersebut dalam melawan radikal
bebas. Pengujian secara in vitro banyak digunakan untuk membandingkan
antioksidan dari beberapa sumber. Namun, uji secara in vitro tidak berkorelasi
langsung dengan aktivitas antioksidannya secara in vivo karena tidak
mencerminkan kondisi fisiologis dalam sel (Mermelstein 2008). Oleh karena itu,
pengujian aktivitas antioksidan secara in vivo perlu dilakukan untuk mengetahui
secara mendalam mengenai manfaat yang bisa diperoleh dari konsumsi sediaan
antioksidan.
Salah satu tanaman yang telah diketahui mengandung antioksidan tinggi
adalah benalu teh (Rahmawati dan Hayashi 2012). Benalu teh adalah tanaman
gulma parasit yang terdiri atas beberapa spesies suku Lorantaceae. Penggunaan
benalu teh sebagai antikanker secara tradisional umumnya menggunakan dua atau
lebih spesies benalu pada tanaman teh. Penelitian ini menggunakan campuran 4
spesies yang menyerang tanaman teh yaitu Scurrula oortiana (39.68%), Scurrula
parasitica (36.51%), Macrosolen cochinchinensis (17.46%), dan Lepeostegeres
gemmiflorus (6.35%). Beberapa penelitian menunjukkan benalu teh memiliki
aktivitas antikanker (Nugroho et al. 2000, Murwani 2003). Aktivitas antikanker
dari benalu teh kemungkinan disebabkan oleh aktivitas antioksidan yang
dimilikinya (Ikawati et al. 2008). Namun, sampai saat ini belum ada penelitian
tentang aktivitas antioksidan in vivo dari benalu teh untuk menguatkan pandangan
mekanisme kerja benalu teh sebagai antikanker tersebut.
Penelitian ini bertujuan menentukan aktivitas antioksidan in vivo ekstrak
benalu campuran (Lorantaceae) pada tanaman teh dan membandingkannya
dengan aktivitas antioksidannya secara in vitro. Perbandingan spesies benalu teh
didasarkan pada jumlah tanaman yang ditemukan saat pencarian di lapangan.
Aktivitas antioksidan in vitro ekstrak benalu campuran diukur dengan metode
DPPH. Aktivitas antioksidan secara in vivo diuji dengan mengukur aktivitas SOD
dan tingkat peroksidasi lipid hati hewan model yang diberi parasetamol dan
2
ekstrak benalu campuran dengan dosis 100 mg/kg BB, 250 mg/kg BB, dan 500
mg/kg BB selama 16 hari.
Penelitian ini bermanfaat untuk mempelajari mekanisme khasiat campuran
benalu teh dalam pengobatan penyakit. Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk
menambah khasanah pengetahuan tentang tanaman obat tradisional Indonesia.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah benalu teh yang diambil di perkebunan
teh milik PT Gunung Mas, Cipanas (2000 mdpl), Bogor, etanol, kertas saring,
DPPH, kuersetin, metanol, tikus galur Sprague Dawley yang didapat dari
Departemen Anatomi dan Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor, pakan tikus standar, parasetamol, Curliv-plus®, dapar fosfat
dingin (0.1 M, pH 7.4) yang mengandung 0.15 M KCl, natrium lauril sulfat, TMP,
asam asetat, NaOH, asam tiobarbiturat, n-butanol, piridin, dapar Tris-HCl 50 mM
(pH 8.5) yang mengandung 1 mM EDTA, pirogalol, pereaksi Bradford, dan
standar BSA.
Alat-alat yang digunakan adalah oven, mesin pelumat, pengayak 100 mesh,
kertas Whatman 90 mm, gelas piala, penangas air, desikator, kuvet,
spektrofotometer Thermo Electron Genesis 10 UV, pipet mikro, alat vortex,
kandang tikus, alat cekok, tissue homogenizer (Pyrex), dan sentrifusa berpendingin
berkecepatan tinggi (Hitachi, fixed angle rotor).
Prosedur Penelitian
Persiapan dan Ekstraksi Benalu Teh (Rahmawati dan Hayashi 2012)
Penelitian ini menggunakan 4 spesies benalu (Scurrula oortiana [39.68%],
Scurrula parasitica [36.51%], Macrosolen cochinchinensis [17.46%],
Lepeostegeres gemmiflorus [6.35%]) yang ditemukan pada tanaman teh tua di
Cipanas (2000 mdpl), Bogor. Masing-masing benalu dikeringkan menggunakan
penjemuran matahari selama 3 hari hingga kering. Bahan yang telah kering
dihaluskan dengan mesin pelumat dan diayak dengan saringan ukuran 40 mesh.
Masing-masing serbuk benalu kemudian ditimbang dan dicampur dengan
perbandingan seperti diatas. Serbuk kering benalu campuran direbus dengan
etanol 30% dalam gelas piala tertutup pada penangas air bersuhu 100oC selama 10
menit. Perbandingan massa serbuk kering benalu campuran (dalam gram) dengan
pelarut yang digunakan (dalam ml) adalah 1:5. Setelah perebusan, pelarut
secepatnya didinginkan hingga suhu ruang menggunakan penangas air. Setelah
dingin, ekstrak disaring menggunakan kertas saring 90 mm. Ekstraksi diulang
sebanyak 2 kali. Filtrat dari ekstraksi pertama dan kedua lalu disatukan, kemudian
dievaporasi dengan freeze drier (Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi, LPPM IPB). Ekstrak yang didapatkan berbentuk kristal amorf
berwarna coklat cerah.
3
Uji Aktivitas Antioksidan in Vitro (Modifikasi Falah et al. 2008)
Sampel ekstrak dibuat menjadi larutan stok dalam metanol dengan
konsentrasi 200 ppm. Stok ekstrak kemudian dibuat menjadi konsentrasi 40 ppm,
80 ppm, 120 ppm, 160 ppm, dan 200 ppm. Sebanyak 0.2 ml larutan ekstrak yang
akan diuji ditambahkan dengan 1 ml DPPH (6 mg/50 ml dalam metanol) dan
ditambahkan dengan metanol absolut sampai volumenya 2 ml (konsentrasi akhir
menjadi 4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, 16 ppm, dan 20 ppm). Kontrol positif yang
digunakan adalah senyawa kuersetin dengan cara yang sama, namun konsentrasi
akhir dibuat menjadi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm. Campuran diinkubasi
selama 30 menit di ruang gelap (ekstrak dan kuersetin), kemudian diukur
absorbansinya pada 517 nm. Pengujian juga dilakukan terhadap blanko (DPPH
dengan pelarutnya). Konsentrasi larutan dan absorbansinya dibuat persamaan
regresi yang sesuai. Nilai IC50 dihitung menggunakan rumus persamaan regresi
tersebut. Penentuan aktivitas antioksidan in vitro dilakukan menggunakan 2 kali
ulangan. Adapun aktivitas % penangkapan radikal DPPH (%) dihitung dengan:
Daya antioksidasi =
x 100 %.
Hewan dan Perancangan Percobaan (Modifikasi Haldar et al. 2011)
Tikus yang digunakan adalah tikus Sprague Dawley jantan umur 2 bulan
(BB 100-166 g). Tikus ditempatkan pada kandang individual. Masa adaptasi tikus
dilakukan selama 10 hari sebelum percobaan dimulai untuk menyesuaikan cara
hidup pada lingkungan yang baru. Tikus diberi pakan pelet standar dan air ad
libitum selama masa adaptasi maupun perlakuan. Dosis parasetamol yang
diberikan disesuaikan dengan dosis untuk mengganggu fungsi hati.
Setelah masa adaptasi, sebanyak 30 ekor tikus dikelompokkan menjadi 6
kelompok (n=5), berdasarkan perumusan jumlah hewan coba oleh Supranto
(2000). Tikus dibagi ke tiap kelompok dengan pembagian tertentu sehingga ratarata bobot badan tiap kelompok hampir sama. Kelompok I dicekok akuades,
kelompok II dicekok parasetamol 640 mg/kg BB, kelompok III, IV, & V dicekok
parasetamol 640 mg/kg BB dan ekstrak berturut-turut 100 mg/kg BB, 250 mg/kg
BB, dan 500 mg/kg BB. Kelompok VI dicekok parasetamol 640 mg/kg BB dan
Curliv-plus® 83 mg/kg BB. Setelah masa adaptasi, semua kelompok diberi
perlakuan setiap hari seperti diatas selama 16 hari. Tikus kelompok III, IV, V, dan
VI dicekok parasetamol 4 jam setelah pemberian ekstrak benalu campuran atau
Curliv-plus®, selain itu dicekok dengan akuades.
Nekropsi Hewan Coba dan Pembuatan Homogenat Hati (Rasool et al. 2011)
Pada 24 jam setelah perlakuan terakhir, hewan dianastesi dengan eter lalu
dinekropsi di kandang hewan coba Departemen Biokimia IPB. Hati hewan coba
diangkat dan segera dibilas dengan larutan NaCl 0.9% (b/v) dingin. Hati
ditempatkan pada mesin pendingin bersuhu -20oC selama menunggu pembuatan
homogenat. Pembuatan homogenat hati dilakukan di Laboratorium Penelitian
Biokimia IPB. Homogenat hati (10% b/v) disiapkan dalam dapar fosfat dingin
(0.1 M, pH 7.4) yang mengandung 0.15 M KCl. Homogenat lalu disentrifusa pada
800 g selama 5 menit pada 4oC. Selanjutnya supernatan disentrifusa kembali pada
10.500 g selama 20 menit pada 4oC untuk mendapatkan post mitochondrial
supernatant (PMS) dan digunakan untuk menentukan tingkat peroksidasi lipid
(analisis TBARS) dan aktivitas superoksida dismutase (SOD).
4
Penentuan Jumlah Protein Homogenat Hati (Bradford 1976)
Pembuatan Kurva Kalibrasi. Standard BSA (1 mg/ml) diambil dengan
volum 20, 40, 60, 80, dan 100 µl dan dimasukkan kedalam tabung reaksi, lalu
akuades ditambahkan hingga volum akhir masing-masing tabung 100 µl. Akuades
sebanyak 100 µl digunakan sebagai blanko BSA. Sebanyak 5 ml reagen Bradford
ditambahkan ke tiap tabung dan dikocok menggunakan alat vortex secara perlahan
untuk menghindari terbentuknya busa. Campuran tersebut lalu diukur pada 595
nm terhadap blanko pereaksi. Pengukuran dilakukan pada rentang waktu 4 hingga
5 menit setelah pengocokan.
Pengukuran Konsentrasi Protein. Sebanyak 40 µl PMS yang sudah
diencerkan dengan faktor 7.5 kali dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Akuades
sebanyak 100 µl digunakan sebagai blanko BSA. Sebanyak 5 ml reagen Bradford
ditambahkan ke tiap tabung dan dikocok menggunakan alat vortex secara perlahan
untuk menghindari terbentuknya busa. Campuran tersebut lalu diukur pada 595
nm terhadap blanko pereaksi. Pengukuran dilakukan saat masih berada dalam
rentang waktu 4 hingga 5 menit setelah pengocokan. Data absorbansi yang
didapat dimasukkan kedalam kurva standar BSA dan dihitung konsentrasi
proteinnya.
Pengukuran Konsentrasi Lipid Peroksida Hati (Okhawa et al. 1979)
Penentuan Panjang Gelombang Maksimal. Campuran reaksi terdiri atas
0.2 ml dari 8.1% (b/v) sodium lauril sulfat, 1.5 ml asam asetat 20% (v/v) pH 3.5,
1.5 ml asam tiobarbiturat 0.8% dalam air, dan 0.6 ml PMS. Campuran reaksi
tersebut dibuat volumenya menjadi 4 ml dengan menambahkan air suling dan
dipanaskan pada 95oC selama 60 menit. Setelah didinginkan dengan air mengalir,
ditambahkan 1 ml air suling dan 5 ml campuran n-butanol dengan piridin (15:1)
dan disentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit. Lapisan organik lalu
dikeluarkan dan absorbansinya diukur terhadap blanko. Panjang gelombang
maksimal (λmax) yang didapat adalah 533 nm, sama seperti hasil yang didapat oleh
Emalia (2014). Perbedaan λmax oleh Ohkawa et al. (1979) kemungkinan karena
perbedaan kondisi dan kalibrasi spektrofotometer. Analisis konsentrasi MDA
selanjutnya menggunakan panjang gelombang 533 nm.
Pembuatan Kurva Standar. Kurva standar MDA dibuat dengan
menggunakan 1,1,3,3-tetrametoksipropana (TMP), dengan asumsi 1 mol TMP
akan terhidrolisis menjadi 1 mol MDA. Standar TMP (6 M) diencerkan menjadi
25 µM, 20 µM, 15 µM, 10 µM, 5 µM, dan 2.5 µM. Setiap standar TMP diambil
sebanyak 0.8 ml dengan akuades, kemudian ditambahkan dengan 0.2 ml SDS
8.1% (b/v), 1.5 ml asam asetat 20% (v/v) pH 3.5 dengan NaOH 5 N, dan 1.5 ml
asam tiobarbiturat 0.8% dalam air. Campuran reaksi tersebut dipanaskan pada
95oC selama 60 menit. Setelah didinginkan dengan air mengalir, ditambahkan 1
mL air suling dan 5 mL campuran n-butanol dengan piridin (15:1) dan
disentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit. Lapisan organik lalu dikeluarkan
dan absorbansinya diukur terhadap blanko pada panjang gelombang 533 nm. Data
absorbansi selanjutnya dibuat kurva standar MDA.
Pengukuran Kadar MDA. Campuran reaksi terdiri atas 0.2 ml dari 8.1%
(b/v) sodium lauril sulfat, 1.5 ml asam asetat 20% (v/v) yang dibuat hingga pH 3.5
dengan NaOH 5 N, 1.5 ml asam tiobarbiturat 0.8% dalam air, dan 0.8 ml PMS
10% (b/v). Campuran reaksi tersebut dibuat volumenya menjadi 4 ml dengan
5
menambahkan air suling dan dipanaskan pada 95oC selama 60 menit. Setelah
didinginkan dengan air mengalir, ditambahkan 1 ml air suling dan 5 ml campuran
n-butanol dengan piridin (15:1) dan disentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit.
Lapisan organik lalu dikeluarkan dan absorbansinya diukur pada panjang
gelombang 533 nm.
Uji Aktivitas Superoksida Dismutase di Hati (Modifikasi Siburian 2011)
Pengukuran aktivitas SOD menggunakan prinsip inibisi autoksidasi
pirogalol oleh SOD. Pirogalol mengalami autoksidasi yang melibatkan radikal
superoksida (·O2-) pada kondisi basa. Keberadaan SOD akan menghambat reaksi
autoksidasi karena adanya dismutasi ·O2-. Satu unit aktivitas SOD didefinisikan
sebagai jumah enzim yang dibutuhkan untuk menghambat 50% autooksidasi
pirogalol dalam 3 ml campuran pereaksi (Nandi dan Chatterjee 1988). Nilai pH
dapar yang digunakan saat pengukuran ditingkatkan menjadi 8.5 untuk
meningkatkan sensitivitasnya (Nandi dan Chatterjee 1988).
Pembuatan Grafik Laju Autoksidasi Pirogalol. Sebanyak 200 µl
pirogalol 10 mM dicampurkan dengan 2725 µl dapar Tris-HCl 50 mM (pH 8.5)
yang mengandung 11 mM EDTA, kemudian ditambahkan 75 µl dapar
homogenasi sebagai blanko SOD. Larutan tersebut diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 420 nm setiap 10 detik selama 10 menit. Grafik laju
autoksidasi pirogalol digunakan sebagai standar pada penentuan inhibisi
autoksidasi pirogalol oleh SOD.
Analisis Aktivitas SOD pada Hati. Sebanyak 200 µl pirogalol 10 mM
dicampurkan dengan 2725 µl dapar Tris-HCl 50 mM (pH 8.5) yang mengandung
1 mM EDTA, kemudian dilakukan penambahan 75 µl PMS. Larutan tersebut
diukur absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm setiap 20 detik selama 10
menit. Penentuan besar inhibisi autooksidasi pirogalol oleh SOD ditentukan
berdasarkan pengurangan luas bawah kurva autooksidasi pirogalol.
Prosedur Analisis Data
Analisis statistik terhadap kadar MDA dan aktivitas superoksida dismutase
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), yaitu uji analysis of varian
(ANOVA) dan uji lanjut uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α =
0.05. Seluruh data tersebut dianalisis dengan program perangkat lunak SPSS.
HASIL
Rendemen Ekstrak dan Aktivitas Antioksidan in Vitro
Ekstraksi benalu campuran dengan perebusan oleh etanol 30% selama 10
menit menghasilkan rendemen sebesar 12.25%. Nilai IC50 ekstrak benalu
campuran yang didapat sebesar 12.12 ppm, sedangkan IC50 kuersetin sebesar 1.98
ppm (Tabel 1). Semakin kecil nilai IC50 suatu bahan, semakin besar
kemampuannya dalam meredam radikal DPPH (Lampiran 3). Pengujian secara in
vitro menunjukkan bahwa ekstrak benalu campuran memiliki aktivitas antioksidan
yang lebih rendah dibanding kuersetin. Namun, hasil yang diperoleh masih baik
mengingat bahwa ekstrak yang digunakan adalah ekstrak kasar.
6
Tabel 1 Nilai IC50 ekstrak benalu campuran dan kuersetin
Jenis sampel
Nilai IC50 (ppm)
Ekstrak benalu campuran
Kuersetin
12.12
1.98
Bobot Badan Tikus selama Masa Adaptasi dan Percobaan
Perilaku tikus selama percobaan menunjukkan perilaku normal. Tikus
mengalami masa adaptasi selama 10 hari untuk menyesuaikan dengan kondisi
kandang. Diawal masa adaptasi, bobot badan tikus rata-rata tiap kelompok
berbeda. Selama masa adaptasi, bobot badan tikus mengalami peningkatan tajam
sehingga rata-rata bobot badan di awal masa perlakuan relatif sama (Gambar 1).
Pada saat perlakuan, bobot badan tetap naik kecuali kelompok parasetamol dan
Curliv-plus. Kedua kelompok tersebut mengalami penurunan bobot badan pada
penimbangan hari ke-7. Penimbangan hari ke-15 menunjukkan terjadi
peningkatan bobot badan tikus pada semua kelompok. Kelompok normal
menunjukkan peningkatan bobot badan paling besar dibandingkan semua
kelompok. Kelompok ekstrak 100 mg/kg BB, ekstrak 500 mg/kg BB, dan
parasetamol 640 mg/kg BB, tetap mengalami peningkatan baik pada pengukuran
hari ke-7 maupun ke-15. Kelompok Ekstrak 250 mg/kg BB dan Curliv-plus 83
mg/kg BB mengalami peningkatan kembali pada pengukuran hari ke-15.
220
Normal
200
PCM
180
Ekstrak 100 mg/kg BB
160
Ekstrak 250 mg/kg BB
140
Ekstrak 500 mg/kg BB
120
Curliv-plus 83 mg/kg BB
-10
Gambar 1
-3
0
7
15
Kurva perubahan bobot badan tikus selama masa adaptasi dan
percobaan.
Peroksidasi Lipid Hati Tikus
Pengujian statistik (α = 0.05) menunjukkan konsentrasi MDA hati semua
kelompok hewan coba pada penelitian ini tidak berbeda nyata dengan hewan
normal. Ini berarti perlakuan parasetamol dosis 640 mg/kg BB selama 16 hari
tidak menginduksi stres oksidatif di jaringan hati. Rata-rata konsentrasi MDA per
gram hati kelompok normal pada penelitian ini adalah 59.51±2.32 nmol/g (Tabel
2). Perlakuan parasetamol hanya meningkatkan konsentrasi MDA sebesar 12.9%,
dan tidak berbeda nyata dengan kelompok normal. Pemberian ekstrak benalu teh
pada semua dosis juga tidak memberikan efek yang signifikan dalam menurunkan
konsentrasi MDA di hati.
7
Tabel 2 Konsentrasi MDA hati pada berbagai kelompok perlakuan
Konsentrasi MDA
Kelompok Perlakuan
(nmol/gram jaringan)
Normal
59.51±2.32a
Parasetamol
67.21±11.10 a
Ekstrak 100 mg/kg BB
66.54±5.93 a
Ekstrak 250 mg/kg BB
65.16±8.44 a
Ekstrak 500 mg/kg BB
64.45±9.70 a
Curliv-plus
68.82±5.82 a
Keterangan : tanda yang sama menunjukkan hasil uji statistik tidak berbeda nyata pada α=0.05
Aktivitas Superoksida Dismutase Hati
Pengukuran terhadap aktivitas SOD dilakukan dengan membandingkan laju
autooksidasi tanpa SOD dengan autooksidasi yang dihambat SOD. Jika dilihat
kemiringan kurva antara waktu reaksi dan absorbansinya (Gambar 2), terlihat
penambahan homogenat hati tikus menurunkan laju autooksidasi pirogalol
(kemiringan kurva berkurang). Hal ini menunjukkan bahwa homogenat hati yang
digunakan pada penelitian ini masih mengandung SOD yang aktif. Pada Gambar 2
juga bisa diamati perbedaan absorbansi awal antara sampel autooksidasi pirogalol
standar dan sampel autooksidasi pirogalol yang ditambah homogenat hati.
Pengujian statistik (α=0.05) menunjukan bahwa aktivitas SOD semua
kelompok hewan coba tidak berbeda nyata. Namun, perlakuan parasetamol dosis
640 mg/kg BB cenderung menurunkan aktivitas SOD di hati sebesar 27.3%. Hasil
analisis aktivitas SOD menunjukkan kelompok normal memiliki aktivitas tertinggi,
yaitu sebesar 1.590±0.220 U/mg protein (Gambar 3). Kelompok perlakuan ekstrak
100 mg/kg BB, 250 mg/kg BB, dan 500 mg/kg BB meningkatkan aktivitas SOD
berturut-turut sebesar 27.1%, 24.4%, dan 17.1%, dibanding kelompok
parasetamol. Efek peningkatan aktivitas SOD yang paling besar terjadi pada
kelompok ekstrak 100 mg/kg BB (27.1%). Sebagai pembanding, kelompok
Curliv-plus meningkatkan aktivitas SOD sebesar 20.4% dibanding kelompok
parasetamol.
Autoksidasi
Pirogalol
0.3
0.25
Penambahan PMS
Normal
A514
0.2
Penambahan PMS
Parasetamol
0.15
Linear (Autoksidasi
Pirogalol)
0.1
0.05
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
Linear
(Penambahan PMS
Normal)
Linear
(Penambahan PMS
Parasetamol)
Gambar 2 Pengaruh homogenat hati tikus kelompok normal dan parasetamol
terhadap kecepatan autoksidasi pirogalol.
8
2
U/mg protein
1.590±0.220a
1.5
1.156±0.123a
1.469±0.209a 1.438±0.379a
a
1.354±0.293a 1.392±0.255
1
0.5
0
Normal
PCM 640 mg/kg BB PCM 640 mg/kg BB, PCM 640 mg/kg BB, PCM 640 mg/kg BB, PCM 640 mg/kg BB,
Ekstrak 100 mg/kg Ekstrak 250 mg/kg Ekstrak 500 mg/kg Curliv-plus 83 mg/kg
BB
BB
BB
BB
Kelompok Perlakuan
Gambar 3 Aktivitas SOD hati pada berbagai kelompok perlakuan.
Keterangan: tanda yang sama menunjukkan hasil uji statistik tidak berbeda nyata pada α=0.05
PEMBAHASAN
Ekstraksi dan Aktivitas Antioksidan in Vitro
Benalu teh adalah tanaman gulma parasit yang termasuk dalam suku
Lorantaceae, dan biasa digunakan dalam ramuan obat tradisional untuk batuk,
kanker, diuretik, peghilang nyeri, dan perawatan sesudah melahirkan. Penggunaan
benalu teh secara tradisional umumnya menggunaan 2 atau lebih spesies yang
menyerang tanaman teh. Hasil temuan saat pencarian di lapangan mengungkapkan
bahwa ada 4 jenis benalu yang tumbuh pada pohon teh dengan proporsi yang
berbeda-beda antar spesies. Keempat spesises benalu tersebut adalah Scurrula
oortiana, Scurrula parasitica, Macrosolen cochinchinensis, dan Lepeostegeres
gemmiflorus. Benalu campuran digunakan pada penelitian ini untuk menyesuaikan
penggunaan benalu teh secara tradisional sehingga diharapkan bisa memberikan
gambaran yang lebih baik terkait penggunaannya di masyarakat.
Hasil ekstraksi benalu campuran pada penelitian ini menghasilkan rendemen
yang lebih besar dibanding dengan hasil penelitian Rahmawati dan Hayashi
(2012) yaitu rendemen lebih kecil dari 7%. Hal ini kemungkinan karena
perbedaan ulangan pada ekstraksinya. Penelitian ini menggunakan 2 kali ulangan,
sedangkan penelitian Rahmawati dan Hayashi (2012) hanya menggunakan 1 kali
pengulangan. Penggantian pelarut dengan pengulangan merupakan cara yang
efektif dalam mengekstrak suatu bahan agar hasil ekstraksi maksimal. Penelitian
ini menggunakan pelarut yang mengandung etanol untuk mengekstrak senyawa
antioksidan pada benalu campuran. Pelarut yang mengandung etanol sering
digunakan untuk mengekstrak senyawa fenolik dari bahan alam. Umumnya,
campuran alkohol dan air akan lebih efisien dalam mengekstrak senyawa fenolik
dibanding ekstraksi dengan pelarut tunggal (Yilmaz dan Toledo 2006).
Penelitian ini menggunakan ekstrak benalu teh yang diekstraksi
menggunakan pelarut, suhu, dan waktu yang disarankan oleh Rahmawati dan
Hayashi (2012). Penapisan fitokimia oleh Emalia (2014) menunjukkan bahwa
ekstrak benalu campuran mengandung senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, fenol,
tanin, dan triterpenoid. Analisis kimia ekstrak benalu teh (Scurrula atropurpurea)
yang diekstraksi oleh Rahmawati dan Hayashi (2012) menunjukkan bahwa rutin
9
merupakan senyawa flavonoid terbesar (0.026% (b/b)), dilanjutkan oleh
kuersetin 4-glukosida (0.003 % (b/b)). Benalu campuran pada penelitian ini
kemungkinan juga mengandung rutin dan kuersetin 4-glukosida karena berasal
dari suku yang sama dan menginfeksi inang yang sama. Senyawa flavonoid,
khususnya rutin dan kuersetin 4-glukosida, kemungkinan memberikan sumbangan
terbesar dalam aktivitas antioksidan ekstrak benalu campuran. Menurut Ohashi et
al. (2003), ekstrak benalu teh spesies Scurulla atropurpurea BL. Danser
mengandung 16 kelompok senyawa bioaktif yang terdiri atas enam asam lemak,
dua santin, dua senyawa glikosida flavonol, satu senyawa glikosida monoterpen,
satu senyawa glikosida lignan, dan empat senyawa flavon.
Penelitian ini diawali dengan mengukur aktivitas antioksidan ekstrak benalu
campuran secara in vitro dengan metode DPPH. Metode DPPH banyak digunakan
sebagai uji awal dalam melihat potensi aktivitas antioksidan suatu bahan karena
relatif mudah, cepat, dan murah (Molyneux 2003). Metode ini menggunakan
radikal DPPH yang stabil sebagai model radikal bebas. Aktivitas antioksidan
suatu bahan dilihat dari kemampuannya dalam meredam radikal DPPH menjadi
bentuk tidak radikal (Gambar 4), dan dimonitor melalui absorbansinya.
Pengamatan pada λ517 menunjukkan bahwa absorbansi yang teramati terus
menurun sejalan dengan peningkatan konsentrasi ekstrak maupun kuersetin. Hal
ini membuktikan bahwa baik ekstrak maupun kuersetin mempu meredam radikal
DPPH menjadi bentuk tidak radikal. Aktivitas antioksidan ekstrak benalu
campuran pada penelitian ini sekitar seperenam dari aktivitas kuersetin, dan
termasuk antioksidan kuat karena memiliki IC50 kurang dari 50 ppm (Shahidi
1997). Hasil ini sangat bagus mengingat bahwa ekstrak benalu campuran yang
digunakan merupakan ekstrak kasar dibanding kuersetin yang merupakan
senyawa murni. Sebagai perbandingan, ekstrak antioksidan kulit buah manggis
memiliki IC50 sebesar 11.08 ppm (Miryanti et al. 2011) dan ekstrak kulit kayu
mahoni sebesar 9.62 ppm (Rosiyana 2012).
Gambar 4 Perubahan 1,1-difenil-2-pikrilhidarzil (senyawa radikal) menjadi 1,1difenil-2-pikrilhidrazina (senyawa non radikal) oleh antioksidan
(diadaptasi dari Molineux 2003).
Bobot Badan Tikus selama Masa Adaptasi dan Percobaan
Kondisi tikus selama masa percobaan merupakan salah satu parameter yang
diamati pada penelitian in vivo. Syarat hewan coba yang layak digunakan adalah
sehat. Parameter tingkat kesehatan dari hewan coba bisa diamati melalui
peningkatan bobot badan (BB) (Lu 2006). Penelitian ini menggunakan 30 ekor
tikus galur Sprague Dawley (SD) jantan dengan BB antara 100 hingga 166 g di
10
awal masa adaptasi. Penggunaan tikus SD pada penelitian ini karena mudah
didapat dan banyak digunakan pada penelitian terkait model hati manusia.
Sebelum masa perlakuan, dilakukan adaptasi hewan coba pada lingkungan selama
10 hari agar hewan coba bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan
meningkatkan BB tikus.
Perilaku tikus selama percobaan menunjukkan perilaku normal. Hal ini
menunjukkan tikus dalam kondisi tidak tertekan dan sehat. Semua kelompok
percobaan mengalami kenaikan BB pada penimbangan di masa adaptasi (hari -10.
-3, dan 0 perlakuan). Hal ini menunjukkan bahwa tikus sehat dan bisa beradaptasi
dengan lingkungan yang baru, ditunjukkan dengan peningkatan BB. Pada
penimbangan hari ke-7 percobaan, peningkatan BB tetap terjadi, kecuali
kelompok parasetamol dan Curliv-plus. Peningkatan BB pada hari ke-7 cenderung
lebih kecil dibandingkan di awal masa adaptasi. Hal ini kemungkinan karena tikus
mengalami stres akibat perlakuan pencekokan. Penimbangan hari ke-15
menunjukkan terjadi peningkatan BB pada semua kelompok perlakuan, walaupun
laju kenaikan BB tidak seperti kelompok normal. Peningkatan BB pada
penimbangan hari ke-15 menunjukkan tikus mulai bisa beradaptasi terhadap
kondisi pencekokan setiap harinya.
Peroksidasi Lipid Hati Tikus
Penilaian efektivitas strategi pertahanan tubuh seperti penggunaan suplemen
antioksidan, bisa dilakukan dengan panduan pengukuran tingkat perlindungan
antioksidan dan tingkat kerusakan oksidatif (Aldini et al. 2010, Yeum et al. 2010).
Penandaan biologis dari kerusakan oksidatif bisa dikelompokkan menjadi metode
langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung mengukur produk oksidasi
biomolekul (lipid, protein, dan asam nukleat), dan metode tidak langsung
mengukur status antioksidan tubuh, salah satunya SOD (Aldini et al. 2010).
Parasetamol adalah obat yang bebas beredar di masyarakat dan
penggunaannya tidak bisa dikontrol. Penggunaan parasetamol pada penelitian ini
mengikuti dosis yang digunakan untuk menciptakan gangguan fungsi hati (Haldar
et al. 2011). Penggunaan parasetamol dosis 640 mg/kg BB diharapkan bisa
meningkatkan konsentrasi MDA di hati untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan
ekstrak benalu campuran. Curliv-plus merupakan obat herbal terstandar untuk
perlindungan hati. Penelitian ini menggunakan dosis Curliv-plus sebesar 83 mg/kg
BB. Nilai ini didapat dari transformasi dosis Curliv-plus untuk pencegahan
kerusakan hati dari manusia ke tikus berdasarkan luas permukaan tubuh (ReaganShaw et al. 2007).
Rancangan hewan coba pada penelitian ini menggunakan perumusan
sederhana oleh Supranto (2000), yaitu:
Keterangan: t = banyaknya kelompok perlakuan
r = jumlah ulangan.
Pengujian statistik menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan tidak berbeda
nyata. Analisis MDA hati kelompok normal menunjukkan konsentrasi yang paling
rendah (59.51±2.32 nmol/g). Nilai ini terletak pada kisaran yang telah dilaporkan
sebelumnya oleh Vernanda (2010) sebesar 48±13.394 nmol/g, dan Christian
11
(2007) sebesar 75.421±31.24 nmol/g. Pemberian parasetamol tidak meningkatkan
konsentrasi MDA hati secara signifikan, namun profil MDA serum meningkat
secara signifikan sebesar 27.6%. Dengan demikian, pemberian parasetamol dosis
640 mg/kg BB selama 16 hari dapat memberikan stres oksidatif di serum darah
tikus (Emalia 2014). Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian ini belum dapat
memberikan stres oksidatif pada hati tikus.
Hati merupakan organ metabolisme utama yang salah satu fungsinya adalah
biotransformasi xenobiotik (Koolman dan Roehm 2005). Karena menjalankan
berbagai fungsi, hati memiliki pertahanan yang cukup dalam bentuk antioksidan
endogen. Antioksidan endogen di hati ada 2 jenis, yaitu senyawa antioksidan dan
enzim antioksidan (Yeum et al. 2010). Senyawa antioksidan seluler meliputi
vitamin C, vitamin E, dan glutation. Sedangkan, enzim-enzim antioksidan
meliputi SOD, glutation peroksidase, dan katalase. Antioksidan dalam sel akan
menentralisir radikal bebas, dan mencegah reaksi inisiasi peroksidasi lipid.
Antioksidan endogen diperlukan oleh sel hati sebagai pertahanan untuk
melakukan berbagai reaksi aktivasi xenobiotik berbahaya, seperti reaksi oleh
enzim sitokrom P450. Hewan coba pada penelitian ini akan memetabolisme
sebagian parasetamol dengan enzim sitokrom P450 menjadi senyawa N-asetil-pbenzoquinon imina (NAPKI) yang radikal. Ada kemungkinan bahwa senyawa
antioksidan endogen di hati (glutation, vitamin E dan C) masih mampu menahan
peroksidasi lipid yang diakibatkan oleh NAPKI. Namun, pemberian parasetamol
cenderung meningkatkan konsentrasi MDA di serum dengan porsi yang lebih
besar sehingga lebih menunjukkan efek pemberian parasetamol dalam
menginduksi stres oksidatif (Emalia 2014).
Kelompok ekstrak memiliki konsentrasi MDA hati sedikit lebih rendah
dibanding kelompok parasetamol. Walaupun perbedaannya sedikit, data ini
menunjukkan ekstrak benalu campuran bersifat sebagai antioksidan karena
mampu mengurangi peroksidasi lipid di hati seiring dengan peningkatan dosis
ekstrak yang diberikan hingga 500 mg/kg BB, namun tidak serendah kelompok
normal. Walaupun demikian, konsentrasi MDA serum menurun signifikan pada
dosis 250 mg/kg BB (Emalia 2014). Dengan demikian, senyawa-senyawa
antioksidan dalam benalu campuran kemungkinan berperan dalam menghambat
peroksidasi lipid yang disebabkan oleh NAPKI jika dilihat pada serum, namun
tidak pada jaringan hati.
Aktivitas Superoksida Dismutase Hati Tikus
Pengukuran tingkat kerusakan oksidatif juga bisa dilakukan dengan metode
tidak langsung. Penanda biologis yang bisa digunakan untuk tujuan ini adalah
senyawa-senyawa antioksidan endogen dan enzim-enzim antioksidan. Contoh
senyawa antioksidan yang bisa digunakan adalah glutation, asam urat, vitamin E,
vitamin C, dan seruloplasmin (Dotan et al. 2004). Sedangkan, enzim antioksidan
adalah SOD, katalase (CAT), glutation peroksidase (Gpx), peroksiredoksin (Prx),
dan paraoxonase-1 (PON-1) (Miyamoto et al. 2010). Analisis mengenai kapasitas
perlindungan antioksidan dalam tubuh, bersamaan dengan analisis tingkat
kerusakan oksidatif, bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kapasitas
perlindungan tubuh terhadap stres oksidatif.
12
Salah satu penanda biologis untuk perlindungan antioksidan secara
enzimatik adalah superoksida dismutase (Ichi dan Kojo 2010). Superoksida
dismutase (SOD, EC 1.15.1.1) adalah enzim yang mengkatalisis reaksi dismutasi
dari superoksida menjadi oksigen dan hidrogen peroksida. Superoksida
merupakan salah satu ROS utama dalam sel, dan dapat dihasilkan pada rantai
respirasi seluler serta obat-obatan penghasil superoksida. Ada tiga bentuk SOD
pada semua mamalia, temasuk manusia, dan sebagian besar kordata. SOD1
terletak di sitoplasma, SOD2 pada mitokondria, dan SOD3 pada daerah
ekstraselular. SOD1 dan SOD3 mengandung tembaga dan seng (Cu-ZnSOD),
sedangkan SOD2 (enzim mitokondria), mengandung mangan dalam sisi aktifnya
(MnSOD) (Miyamoto et al. 2010). Penelitian ini menganalisis aktivitas CuZnSOD dengan menggunakan post mitochondrial supernatant (PMS) sebagai
sampel.
Aktivitas SOD pada PMS bisa dilihat dari kemiringan kurva antara waktu
reaksi dan absorbansinya. Penambahan PMS, baik milik kelompok normal
maupun parasetamol, cenderung menurunkan kemiringan kurva laju reaksi. Hal
ini membuktikan bahwa PMS yang digunakan pada penelitian ini masih memiliki
SOD yang aktif. Autooksidasi pirogalol pada pH basa merupakan reaksi yang
melibatkan O2- (Marklund dan Marklun 1974). Keberadaan SOD pada
autooksidasi pirogalol akan mengurangi jumlah O2- yang terlibat dalam reaksi
sehingga laju reaksi menurun. Perbedaan absorbansi awal pada campuran reaksi
autooksidasi pirogalol standar dan yang ditambahkan PMS merupakan akibat
kekeruhan yang ditimbulkan oleh PMS pada campuran reaksi. Penambahan PMS
meningkatkan kekeruhan pada campuran reaksi sehingga absorbansi awal
pengukuran laju autooksidasi pirogalol yang ditambahkan PMS lebih tinggi
dibanding autooksidasi pirogalol standar.
Aktivitas SOD tikus normal pada penelitian ini jauh lebih kecil dari
penelitian Nandi dan Chatterjee (1988) yang melaporkan aktivitas SOD hati tikus
albino sebesar 23.90±1.35 U/mg protein. Penelitian lain melaporkan aktivitas
SOD hati tikus Wistar normal kurang dari 5 U/mg protein (Rasool et al. 2011).
Aktivitas SOD yang paling tinggi didapatkan pada kelompok normal, sedangkan
aktivitas SOD paling rendah didapatkan pada kelompok parasetamol. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian parasetamol menurunkan kapasitas antioksidan
endogen di hati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak benalu
campuran menurunkan efek pengurangan aktivitas SOD hati akibat parasetamol.
Pemberian Curliv-plus dosis 83 mg/kg BB juga menurunkan efek pengurangan
aktivitas SOD akibat pemberian parasetamol.
Aktivitas SOD pada penelitian ini tidak berbeda nyata secara statistik
(α=0.05) pada semua kelompok hewan coba, walaupun jumlah hewan coba sudah
berdasarkan perumusan sederhana oleh Supranto (2000). Hal ini kemungkinan
karena besarnya variabilitas tiap individu pada jumlah SOD hati dan pengaruh
pemberian parasetamol. Untuk mengatasi hal ini, beberapa penelitian serupa
menggunakan hewan coba yang lebih besar dari penghitungan hewan minimal
agar meminimalisir efek variabilitas individu (Nandi dan Chatterjee 1988, Haldar
et al. 2010, Rasool et al. 2011, Noh et al. 2013).
Aktivitas SOD rata-rata pada penelitian ini jauh lebih rendah dibanding
aktivitas SOD rujukan (Nandi dan Chatterjee 1988). Hal ini kemungkinan karena
perbedaan konsentrasi pirogalol yang digunakan. Penelitian ini menggunakan
13
konsentrasi pirogalol sebesar 0.67 mM, sedangkan pada penelitian Nandi dan
Chatterjee (1988) sebesar 0.13 mM. Ada kemungkinan bahwa dapar yang
digunakan memiliki pH lebih rendah dari 8.5 akibat kesalahan pH-meter sehingga
konsentrasi pirogalol harus ditingkatkan agar tetap memiliki laju autoksidasi yang
diinginkan. Laju autoksidasi pirogalol sangat tergantung pada pH dan akan
menurun dengan faktor 2 jika nilai pH turun 0.3, begitupun sebaliknya (Marklund
dan Marklund 1974). Pembacaan aktivitas SOD yang rendah kemungkinan juga
diakibatkan menurunnya sensitivitas pengukuran akibat konsentrasi pirogalol
yang ditingkatkan dan penggunaan dapar tris-HCl. Peningkatan konsentrasi
pirogalol menurunkan sensitivitas pengukuran dengan faktor 3.3 pada konsentrasi
0.5 mM dibanding menggunakan konsentrasi 0.2 mM, dan penggunaan dapar
tris-HCl juga akan menurunkan sensitivitas pengukuran hingga 30% dibanding
menggunakan dapar tris-kakodilat (Marklund dan Marklund 1974).
Beberapa penelitian yang menggunakan parasetamol dosis toksik
menunjukkan penurunan aktivitas SOD di hati hewan model (Rasool et al. 2011,
Haldar et al. 2010). Penurunan aktivitas SOD ini kemungkinan disebabkan oleh
deaktivasi enzim-enzim antioksidan, termasuk SOD, oleh NAPKI yang dihasilkan
oleh metabolisme parasetamol (Knight et al. 2001). NAPKI akan berikatan
kovalen dengan protein dan merusak fungsi dari protein yang diikatnya, termasuk
SOD. Selain perusakan SOD secara langsung oleh NAPKI, SOD juga dideaktivasi
oleh radikal bebas lainnya akibat kondisi stres oksidatif pada sel.
Keterkaitan Aktivitas in Vitro dan in Vivo
Semua bahan yang bisa mencegah oksidasi disebut antioksidan. Definisi ini
relatif sederhana, namun hal ini sangat sulit dinilai jika suatu bahan memiliki
aktivitas antioksidan, khususnya secara in vivo (Yeum et al. 2010). Suatu bahan
bisa saja memiliki aktivitas antioksidan secara in vitro, namun aktivitasnya secara
in vivo ada kemungkinan tidak terlihat. Salah satu tujuan penelitian ini adalah
mencari kemungkinan efek ekstrak benalu teh terhadap kesehatan. Untuk tujuan
ini, penelitian in vivo lebih dipercaya karena lebih mencerminkan kondisi aktual
dalam tubuh. Pengujian secara in vitro banyak digunakan untuk mencari potensi
dan membandingkan antioksidan dari beberapa sumber. Namun, uji secara in vitro
tidak berkorelasi langsung dengan aktivitas antioksidannya secara in vivo karena
tidak mencerminkan kondisi fisiologis dalam sel (Mermelstein 2008).
Peroksidasi lipid banyak digunakan sebagai indikator dalam menentukan
tingkat stres oksidatif sel. Kejadian ini melibatkan propagasi radikal peroksida
pada membran sel yang diinisiasi oleh radikal bebas lainnya dalam sel (Ichi dan
Kojo 2010). Pengujian aktivitas antioksidan suatu bahan dinilai dari
kemampuannya dalam meredam efek radikal bebas dalam tubuh. Penelitian ini
menggunakan parasetamol sebagai agen penginduksi stres oksidatif, walaupun
hasilnya kurang signifikan dalam meningkatkan konsentrasi MDA di hati.
Perlakuan ekstrak benalu campuran pada semua dosis tidak berhasil menurunkan
tingkat peroksidasi lipid secara signifikan dibanding kelompok parasetamol,
namun secara rata-rata masih lebih rendah.
Aktivitas SOD bisa digunakan menjadi indikator dalam menentukan tingkat
perlindungan seluler terhadap radikal bebas (Miyamoto et al. 2010). Berbeda
dengan efek pada konsentrasi MDA, perlakuan parasetamol dosis 640 mg/kg BB
14
dalam penelitian ini membuat aktivitas SOD menurun. Hal ini karena radikal
bebas yang dihasilkan dari metabolisme parasetamol menginaktifkan SOD dengan
mengikatnya secara kovalen. Perlakuan ekstrak benalu campuran pada hewan
coba di semua dosis telah berhasil meningkatkan aktivitas SOD pada hati. Hal ini
kemungkinan karena ekstrak benalu campuran memiliki aktivitas antioksidan
secara in vivo, yang bekerja mengurangi jumlah radikal bebas dalam sel sebelum
membuat kerusakan pada protein lebih lanjut.
Aktivitas antioksidan ekstrak benalu campuran yang diuji dengan metode
DPPH kemungkinan sebagian besarnya disebabkan karena adanya senyawa
flavonoid. Senyawa flavonoid utama yang ada adalah rutin dan kuersetin 4glikosida (Rahmawati dan Hayashi 2012). Aktivitas antioksidan in vivo ekstrak
benalu campuran kemungkinan juga disebabkan oleh senyawa yang sama. Kedua
flavonoid tersebut bisa diserap dengan baik di saluran pencernaan dan
memberikan kontribusi dalam tubuh untuk melawan radikal bebas. Senyawa rutin
dan kuersetin 4-glikosida harus dihidrolisis oleh mikroflora usus sehingga
menjadi bentuk yang bisa diserap (Wiczkowski dan Piskuta 2004). Karena harus
dihidrolisis, senyawa rutin dan kuersetin 4-glikosida akan diserap secara perlahan
dan mempertahankan keberadaan turunannya dalam plasma darah sampai periode
perlakuan hari selanjutnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Ekstrak benalu campuran memiliki aktivitas antioksidan kuat secara in vitro,
namun secara in vivo hanya memperbaiki aktivitas superoksida dismutase dan
tidak menghambat peroksidasi lipid.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menentukan dosis efektif dan
toksisitas ekstrak etanol 30% benalu campuran dengan jumlah hewan model yang
lebih besar untuk mengatasi variabilitas individu yang tinggi. Perlu juga melihat
histopatologi hati agar bisa diketahui efek perlakuan secara langsung terhadap
jaringan hati.
DAFTAR PUSTAKA
Aldini G, Yeum KJ, Niki E, Russell RM. 2010. Biomarkers for Antioxidant
Defense and Oxidative Damage: Principles and Practical Aplication.
Singapura (SG): Blackwell Pub.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of
microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye
binding. Anal Biochem. 72: 1976.
Christian. 2007. Khasiat antioksidan ekstrak pare: kajian in vivo pada tikus
hiperglikemia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Dotan Y, Lichtenberg D, Pinchuk I. 2004. Lipid peroxidation cannot be used as a
universal criterion of oxidative stress. Progress in Lipid Research. 43:
200-227.
Duthie SJ, Ma A, Ross MA, Collins AR. 1996. Antioxidant suplementation
decreases oxidative DNA damage in human lymphocytes. Cancer
Research. 56: 1291-1295.
Emalia D. 2014. Aktivitas ekstrak benalu teh sebagai hepatoprotektor pada tikus
galur sprague dawley [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Falah S, Suzuki T, Katayama T. 2008. Chemical constituents from Swietenia
macrophylla bark and antioxidant activity. Pakistan J Biol Sci. 11(16):
2007-2012.
Frei B, Higdon JV. 2003. Antioxidant activity of tea polyphenols in vivo:
evidence from animal studies [makalah]. Disampaikan dalam: The Third
International Scientific and Human Health: Role of Flavonoid in Diet;
2002 Sep 23; United States of America.
Haldar PK, Adhikari S, Bera S, Bhattacharya S, Panda SP, Kandar CC. 2011.
Hepatoprotective efficacy of Swietenia mahagoni L. Jacq. (Meliaceae)
bark against paracetamol-induced hepatic damage in rats. Indian J Pharm
Edu Resc. 45(2): 106-113.
Hamid AA, Aiyelaagbe OO, Usman LA, Ameen OM, Lawal A. 2010.
Antioxidant: its medicinal and pharmacological applications. Afric J Pure
App Chem. 4(8): 142-151.
Ichi I, Kojo S. 2010. Antioxidant as biomarkers of oxidative stress. Dalam: Aldini
G, Yeum KJ, Niki E, Russell RM, editor. Biomarkers for Antioxidant
Defense and Oxidative Damage: Principles and Practic