lainnya, sebanyak 12.5 persen berdagang dan sisanya memiliki usaha pertanian tambahan seperti di subsektor tanaman pangan, peternakan dan perikanan air
tawar. Rata-rata pengalaman responden dalam berusahatani gambir adalah 14 tahun lebih. Usia responden 77.08 persennya didominasi oleh usia produktif yang
berada pada kisaran 15 – 54 tahun. Sisanya sebesar 22.92 persen sudah tergolong lanjut usia, berumur 55 tahun ke atas. Responden yang sudah berkeluarga dan
memiliki tanggungan rata-rata 3 orang, mencapai 98.96 persen. Status kepemilikan lahan 97.92 persen lahan petani adalah lahan milik sendiri dan 2.08
persen sisanya adalah lahan tanah ulayat milik bersama kelompok tani, dengan jarak rata-rata dari rumah ke ladang sejauh 1.5 km.
5.2.2. Keragaan Penerapan Teknologi Usahatani Gambir
Gambir merupakan tanaman daerah tropis yang berbentuk seperti semak perdu, dan dalam taksonomi termasuk famili Rubiaceae atau kopi-kopian. Gambir
adalah sejenis getah yang disedimentasikan dan kemudian dicetak dan dikeringkan yang berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan
bernama sama Uncaria gambir Roxb.. Hampir 95 persen produksi tanaman gambir dibuat menjadi produk ini, yang dinamakan betel bite atau plan masala.
Bentuk cetakan biasanya silinder dalam ukuran kecil. Warnanya coklat kehitaman. Bentuk lainnya adalah bubuk atau berbentuk seperti koin. Nama lainnya adalah
catechu, gutta gambir, catechu pallidum pale catechu. Dalam perdagangan antarnegara gambir dikenal dengan nama gambier.
Gambir mengandung tiga senyawa utama yaitu asam katecin catechin, asam kateku catechu tanat dan kuersetin quercetine. Selain itu gambir juga
mengandung zat tamim, flouresin, lendir, lemak dan lilin. Saat ini penggunaan gambir semakin berkembang karena digunakan dalam berbagai industri farmasi,
makanan, kosmetik, tekstil, perekat dan penyamak kulit. Di Indonesia gambir pada umumnya digunakan pada saat menyirih dan sebagai ramuan obat
tradisional, salah satunya obat untuk sakit perut Dhalimi, 2006. Berikut ini gambaran keragaan penerapan teknologi pada usahatani gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota.
1. Penyiapan Lahan Penyiapan lahan yang dilakukan petani di daerah penelitian mayoritas
dengan cara manual dengan membawa kelompok tani untuk bergotong royong yang dilakukan bergantian di lahan masing-masing anggota atau diupahkan ke
kelompok tani pekerja dengan sistem borongan. Pengolahan lahan dilakukan bersamaan dengan pembibitan, persiapan lahan untuk penanaman di lapang
dilakukan hanya dengan cara membabat semak-semak atau pohon-pohon kecil, dikumpulkan, setelah kering kemudian dibakar. Selain syarat tumbuh seperti yang
diuraikan di awal bab ini, tanaman gambir juga memiliki sifat yang toleran terhadap tanah-tanah marginal dan berlereng, serta memiliki aspek konservasi
yang baik. Umumnya gambir ditanam di tanah berlereng di sekitar Gunung Sago dan Bukit Barisan di Kecamatan Lareh Sago Halaban yang memiliki ketinggian
rata-rata 500 - 700 m dpl, Bukit Barisan di Kecamatan Harau dengan ketinggian rata-rata juga 500 - 700 m dpl. Lahan di Bukit Barisan dan perbukitan serta
tegalan di Kecamatan Kapur IX dengan ketinggian rata-rata di atas 500 m dpl BPS, 2008b; 2008e; 2008f.
2. Pembibitan dan Penyemaian Bibit yang digunakan petani di daerah penelitian umumnya bukan dari jenis
bibit yang unggul secara keseluruhan. Umumnya petani tidak mengetahui varietas bibit unggul dan kesulitan untuk memurnikan pembibitan ketiga jenis varietas
yang ada. Hanya 3 persen petani yang menggunakan bibit unggul, sisanya sebanyak 97 persen sampel menggunakan bibit campuran. Ada tiga jenis varietas
gambir yaitu varietas udang, riau dan cubadak. Menurut literatur, varietas udang merupakan bibit jenis unggul karena memberikan hasil produksi yang lebih baik.
Petani umumnya menyiapkan bibit di kebun sendiri atau dibeli, karena ada petani yang sudah melaksanakan pembibitan untuk tujuan komersial sebatas
memenuhi kebutuhan lingkungan sendiri. Gambir diperbanyak secara generatif dengan biji dan vegetatif dengan cara mencangkok, stek dan layering, tetapi cara
yang umum dilakukan adalah dengan biji karena mempunyai tingkat keberhasilan yang sangat tinggi mencapai 80 - 90 persen tergantung dari keadaan benih,
semakin lama benih disimpan maka tingkat keberhasilan makin rendah. Tanaman gambir mempunyai biji yang sangat halus, biji diambil dari tanaman yang tidak
pernah dipangkas dan dipanen, dikeringanginkan kemudian disemai. Biji akan tumbuh 15 hari setelah tanam dan setelah bibit berumur 2 bulan sudah bisa
dipindahkan ke lahan Ermiati, 2004.
3. Penanaman Penanaman dilakukan setelah lahan siap dan bibit sudah cukup umur.
Lubang tanam berukuran 30 x 30 x 30 cm atau dibuat lubang tanam dengan cara ditugal. Bibit gambir ditanam di pertengahan lobang tugal dengan arah yang
berlawanan dengan sinar matahari. Jarak tanam bervariasi antara 2 x 2 m, 2 x 1.5 m, 2 x 1 m dan 1.5 x 1.5 m atau kombinasi lainnya. Tanaman yang mati disulam
jika petani mempunyai cadangan bibit dan pemeliharaan dilakukan intensif sampai gambir berumur setahun.
Cara tanam yang dijalankan petani di daerah penelitian adalah sebanyak 41.35 persen petani menanam dengan sistem monokultur atau gambir saja dan
sisanya sebesar 58.65 persen menanam dengan sistem tumpang sari. Mayoritas petani yang melakukan tumpang sari menanam gambir dengan karet, besarnya
mencapai 50 persen, hanya sebagian kecil petani menggabungkan dengan sawit, mahoni, petai, kopi dan kakao.
4. Pemeliharaan Sebanyak 60.90 persen petani melakukan pemupukan tambahan dengan
pupuk kimia, sisanya sebanyak 39.1 persen hanya menggunakan pupuk organik yang berasal dari ampasketapang dari limbah pengolahan gambir. Pemberian
pupuk kimia biasanya hanya dilakukan sekali setahun, terutama pada pokok tanaman yang kurang subur. Jenis pupuk konsentrat yang digunakan didominasi
oleh Urea dan sedikit sekali yang menambahkan dengan pupuk majemuk seperti pupuk KCL, TSP dan SP18. Ada juga petani yang menggunakan pupuk ZA untuk
pengganti Urea. Tetapi untuk kebutuhan penelitian ini data yang disurvei terbatas hanya pada petani yang menggunakan pupuk Urea saja.
Pengendalian hama dan penyakit dengan memakai pestisida dilakukan oleh 88.72 persen petani dan sisanya sama sekali tidak menggunakan pestisida.
Pemberian pestisida hanya dilakukan sekali dalam setahun, umumnya untuk
gulma berdaun sempit dengan menggunakan round-up atau merk lainnya. Sebelum tanaman menghasilkan, penyiangan rata-rata dilakukan sebanyak 4 – 6
kali setahun, tetapi setelah tanaman menghasilkan umumnya dilakukan setiap selesai panen, dua atau tiga kali setahun, tergantung frekwensi panen. Besar biaya
pemeliharaan rata-rata di lokasi penelitian mencapai 37.68 persen dari biaya total per tahunnya.
5. Panen dan Pengolahan Panen puncak didapatkan oleh petani saat gambir berumur 4 - 14 tahun,
sedangkan masa hidup tanaman gambir bisa mencapai lebih dari 70 tahun. Produktif atau tidaknya tergantung pemeliharaan. Gambir biasa dipanen 2 kali
setahun, atau maksimalnya 3 kali dalam setahun, tergantung kondisi dan karakteristik spesifik daerah dan iklim. Berturut-turut ada 36.09 persen petani dan
63.91 persen petani yang melakukan panen 3 kali dan 2 kali setahun. Tanaman mulai dipanen setelah berumur 1.5 tahun dengan cara memotong
ranting bersama daunnya sepanjang lebih kurang 50 cm. Panen berupa daun dan ranting kecil, dipotong dengan sabit atau tuai pada jarak 5 – 15 cm dari pangkal
cabang tanaman, dimaksudkan agar pertumbuhan tunas baru untuk dipanen beberapa bulan berikutnya dapat tumbuh lebih baik. Kegiatan panen dan
pengolahan dilakukan secara berkesinambungan atau serentak, begitu daun dipanen langsung diolah dikampo hari itu juga. Petani yang memiliki lahan 2
hektar atau lebih, biasanya bisa melakukan kegiatan pengolahan sepanjang tahun. Biaya terbesar yang dikeluarkan dalam usahatani gambir di lokasi penelitian
adalah pada proses pengolahan atau mencapai 57.58 persen dari biaya total atau
38.13 persen dari penjualan per hektar per tahunnya. Pengolahan daun menjadi gambir disebut dengan istilah mangampo. Keseluruhan petani yang ada dalam
penelitian ini bekerjasama dengan tukanganak kampo dalam pengolahan gambir dengan sistem bagi hasil. Masing-masing pemilik lahan dan tenaga kerja sewa
atau anak kampo mendapatkan 50 persen dari hasil penjualan gambir. Pengolahan dilakukan langsung di kampaan atau rumah kampo tempat
pengolahan gambir yang terletak di lahan yang umumnya jauh dari rumah petani. Anak kampo biasanya terdiri dari 2 atau 3 orang. Petani masih menggunakan alat
pengolahan sederhana, berupa alat kempa yang dirakit sendiri dengan sistem dongkrak.
Sebanyak 74.44 persen petani memiliki rumah pengolahan milik sendiri, sedangkan 18.8 persen petani menyewa dan 6.76 persen sisanya memakai
kampaan milik kelompok. Bagi petani yang menyewa, sistem sewa kampaan disesuaikan dengan kebiasaan penduduk nagari setempat, ada yang dibayar
dengan hasil panen yaitu 1 kg gambir kering per hari, sistem sewa cash dan ada juga dengan sistem kekeluargaan.
Sebanyak 62.5 persen petani menghasilkan gambir campur dan 37.5 persen petani memproduksi gambir murni. Gambir campur adalah gambir yang dalam
proses pengolahannya dicampur dengan material lain selain getah gambir seperti: tanah lempung, ketapanglimbah rebusan daun gambir dan umumnya air limbah
rebusan gambir kalincuang digunakan berulang-ulang. Gambir jenis ini relatif lebih berat dan berwarna hitam yang biasanya dijual ke pasar luar negeri untuk
ekspor. Sedangkan gambir murni jauh lebih ringan dan berwarna kuning kecoklatan. Gambir murni ini dikenal dengan banyak nama diantaranya gambir
kuning, halaban satu, halaban godang, tolang, lumpang. Jenis gambir ini umumnya dipasarkan di dalam negeri untuk konsumsi langsung atau industri
tertentu, sebagiannya ada juga yang di ekspor. Perbandingan berat gambir murni dengan gambir campur per karungnya berturut-turut 40 – 50 kg per karung dan 80
sampai 90 kg per karung. Pengolahan gambir memiliki banyak titik kritis yang berpotensi mengurangi
kadar zat yang dikandung oleh gambir. Pengolahan yang tidak sempurna akan membuat rendahnya kualitas gambir yang dihasilkan. Pengolahan yang dilakukan
oleh petani umumnya masih sangat tradisional. Secara rinci teknis pengolahan gambir urutan prosesnya adalah sebagai berikut:
a. Perebusan Daun. Daun dan ranting hasil panen diikat, masing-masing
sekitar 3 – 4 kg per ikat, kemudian dimasukkan ke dalam keranjang yang memiliki semacam jala rajut dan direbus dengan air yang sudah dididihkan
terlebih dahulu. Untuk gambir murni per rajutnya dihasilkan 2 – 2.5 kg gambir kering atau rata-rata 12 kg gambir per hari, sedangkan untuk gambir
campur mencapai 4 – 5 kg per rajut atau setara 16 – 25 kg gambir kering per hari. Lama perebusan berkisar antara 1 – 1.5 jam. Selama proses perebusan
dilakukan pembalikan bahan agar matangnya rata. b.
PengempaanPengepresan. Tahap ini dianggap sebagai tahap yang
terpenting, karena menentukan banyaknya hasil getah gambir. Proses pengempaan membutuhkan waktu sekitar 1 jam.
c. Pengendapan. Getah gambir yang diperoleh dari proses pengepresan
diendapkan terlebih dahulu. Pengendapan memerlukan waktu sekitar 8 – 12
jam. Endapan yang diperoleh berbentuk kristal-kristal seperti pasta tetapi lebih encer.
d. Penirisan. Getah dalam bentuk pasta encer disaring dengan kain, diikat dan
dipres lagi dengan alat pemberat supaya pasta menjadi lebih pekat, padat dan dapat segera dicetak. Penirisan biasanya memakan waktu 10 – 20 jam,
tergantung pada banyaknya bahan yang ditiriskan. e.
Pencetakan. Setiap kilogram bahan baku gambir mampu dicetak dalam waktu sekitar 25 sampai 30 menit per orang.
f. Pengeringan. Caranya dengan dijemur di panas matahari. Bila cuaca
mendung, dikeringkan di atas tungku perebusan daun disalai. Manyalai biasanya dilakukan jika petani akan segera menjual hasil panennya.
Pengeringan memerlukan waktu 2 – 3 hari tergantung cuaca.
6. Pemasaran dan Penjualan Petani biasanya menjual hasil panen mereka sekali seminggu untuk
mendapatkan uang kas secepatnya guna menutupi pengeluaran. Setiap nagari di lokasi penelitian memiliki budaya dan aturan sendiri dalam memasarkan gambir.
Sebanyak 42.71 persen petani menjual hasil panennya di rumah, 35.42 persen menjual ke pasar yang sudah ditentukan dan ditetapkan oleh peraturan nagari,
19.79 persen menjual langsung di ladang ke pedagang pengumpul dan sisanya 2.08 persen menjual ke tempat lainnya. Hari pasar tradisional di daerah setempat
umumnya dijadikan sebagai hari patokan untuk menjual hasil panen oleh petani dan pedagang.
5.2.3. Karakteristik Usahatani Gambir