Pengembangan agroindustri Gambir di kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

(1)

PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GAMBIR

DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA, SUMATERA BARAT

ALEXIE HERRYANDIE BRONTO ADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul ”Pengembangan Agroindustri Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat” merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Nopember 2011

Alexie Herryandie Bronto Adi


(4)

ALEXIE HERRYANDIE BRONTO ADI. Development of Gambier Agroindustry in Lima Puluh Kota Regency, West Sumatra. Under direction of E. GUMBIRA SA’ID, SUKARDI and KHASWAR SYAMSU.

Gambier is one of some important estate commodities in Indonesia, and Indonesia has been the highest world’s gambier producer since long time ago. Gambier is produced mainly in West Sumatera Province, especially in Lima Puluh Kota Regency and Pesisir Selatan Regency. The main producers of gambier in Lima Puluh Kota Regency are Kapur IX, Pangkalan Kotobaru and Bukit Barisan Sub-districts. Eventhough Indonesia is the most important gambier producer in the world, gambier farmers in the production centers in Indonesia have not obtained maximum benefits from gambier business yet, and gambier agroindustry had not been experiencing significant development for almost two centuries.

The aims of this study were to map the gambier agroindustry condition, to identify the needs and potencies for gambier agroindustry development in the future, to obtain the formulation of the development proposed and to estimate the benefits of the improvement proposed. The tools used for this study were the THIO Analysis, the SWOT Analysis, Porter’s Diamond Model, Interpretive Structural Modeling, Analytical Hierarchy Process, transportation cost model and added value concept. The results of study showed that the main problem faced by gambier agroindustry are very limiting market and high dependency to India due to low product quality and weak institution in gambier business. To solve those problems, the first strategic step is establishing catechin and tannin industry supported by institutional strengthening through industrial cluster development. Catechin and tannin industry proposed can be developed by the establishment of fixed plants and the use of mobile gambier processing units. Both fixed plant and mobile unit for catechin and tannin processing were feasible with 135.99 and 527.14 oz of gold NPV, 1.16 and 1.39 B/C ratios, 6.58 and 2.73 year payback periods respectively. At the 1 to 10 % export conversion of raw gambier to catechin and tannin, the added value from catechin and tannin industry development can contribute to the community as 0.9 - 9 IDR billion per annum for the workforces and 9 - 90 IDR billion for the farmers proportional with their share of 1% to 10% in the industry.

Keywords: Gambier, Catechin, Tannin, Interpretive Structural Modeling, Analytical Hierarchy Process, Mobile Processing Unit, Added Value


(5)

ALEXIE HERRYANDIE BRONTO ADI. Pengembangan Agroindustri Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Dibimbing oleh E. GUMBIRA SA’ID, SUKARDI dan KHASWAR SYAMSU.

Gambir merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting bagi Indonesia, bahkan Indonesia menjadi pemasok terpenting kebutuhan gambir dunia. Di Indonesia, daerah penghasil gambir utama adalah Provinsi Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan. Di Kabupaten Lima Puluh Kota, penghasil gambir terpenting adalah Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Pangkalan Kotobaru dan Kecamatan Bukit Barisan. Meskipun Indonesia merupakan penghasil gambir terpenting, masyarakat petani di daerah sentra prouksi gambir belum mendapatkan manfaat yang maksimal, bahkan agroindustri gambir tidak mengalami perkembangan yang berarti selama hampir dua abad.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan peta kekuatan dan kelemahan dalam agroindustri gambir Indonesia khususnya Kabupaten Lima Puluh Kota, mendapatkan kebutuhan dan potensi perbaikan pada masa yang akan datang, menghasilkan usulan pengembangan dan perkiraan manfaat perbaikan yang diusulkan. Dalam pemetaan kondisi agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, dilakukan evaluasi teknologi proses yang digunakan dalam seluruh rantai pasok gambir dengan menggunakan Analisis THIO, evaluasi mutu gambir produksi masyarakat dengan menggunakan Statistik Deskriptif, evaluasi kekuatan dan kelemahan Indonesia dibandingkan dengan beberapa Negara yang penting dalam bisnis gambir yang menggunakan Analisis SWOT yang dilanjutkan dengan analisis menggunakan model Berlian Porter, kajian rantai pasok dan perdagangan gambir, mengidentifikasi permasalahan dalam agroindustri gambir dan mengkaji keterkaitan antar permasalahan dengan mengunakan Interpretive Structural Modeling (ISM). Dari hasil pemetaan kondisi agroindustri gambir diidentifikasi berbagai perbaikan yang perlu dilakukan dan dirumuskan usulan perbaikan dengan metode Proses Hirarki Analitik (PHA). Pada tahap akhir penelitian, dilakukan analisis untuk memperkirakan manfaat parbaikan yang diusulkan melalui evaluasi biaya transportasi dengan perubahan rantai pasok yang terjadi, analisis manfaat finansial dan nilai tambah dari perbaikan agroindustri gambir yang diusulkan.

Permasalahan yang dihadapi agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat meliputi teknologi pengolahan, mutu produk gambir yang rendah dan sangat beragam, pemasaran, pembibitan dan budidaya, pemodalan, serta kemampuan sumberdaya manusia. Seluruh permasalahan tersebut berakar dari lemahnya kelembagaan dalam agroindustri gambir.

Dari penelitian ini ditemukan bahwa, upaya strategis yang harus dilakukan dalam pengembangan agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah pendirian industri katekin dan tanin. Langkah tersebut harus didukung perbaikan kelembagaan melalui pembentukan klaster agroindustri gambir untuk melaksanakan pengembangan pemasaran (domestik maupun ekspor), perbaikan teknologi, pengembangan produk, peningkatan kualitas sumberdaya manusia maupun penanganan masalah pemodalan. Pada tahap selanjutnya, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan berbagai produk akhir serta pendirian industrinya secara bertahap untuk mendapatkan produk-produk hilir bernilai tambah tinggi yang diharapkan akan


(6)

menjamin keberlanjutan agroindustri gambir Indonesia.

Pada tahap awal pengembangan, industri pengolah Katekin dan Tanin diusulkan didirikan di beberapa nagari yang dimulai dari daerah Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Pangkalan dan Kecamatan Bukit Barisan. Di samping itu, dikembangkan unit pengolahan gambir bergerak pada daerah-daerah yang cukup jauh dari lokasi Pabrik Katekin dan Tanin tersebut, namun memiliki potensi gambir yang besar dan terkonsentrasi pada daerah yang berdekatan. Sejalan dengan pertumbuhan pasar katekin dan tanin, dapat dikembangkan industri katekin dan tanin di daerah lain sehingga secara bertahap, ekspor yang hingga saat ini masih dalam bentuk gambir asalan dialihkan ke dalam bentuk produk hilir. Peningkatan kapasitas produksi katekin dan tanin dilakukan dengan menambah unit pengolahan di sentra-sentra produksi gambir untuk mendekati sumber bahan baku.

Hasil analisis mengenai rantai pasok gambir menunjukkan bahwa pendirian industri katekin dan tanin di tingkat nagari maupun penggunaan unit pengolahan gambir bergerak akan menghemat biaya transportasi. Besarnya penghematan biaya transportasi tersebut berhubungan dengan jumlah ekspor gambir asalan yang dapat dikonversi menjadi ekspor dalam bentuk katekin dan tanin. Pada tingkat konversi ekspor menjadi bentuk katekin dan tanin sebesar 10% dari total ekspor gambir asalan pada tahun 2009, maka penghematan biaya transportasi per tahun mencapai 365.8 milyar rupiah untuk pabrik tetap dan 631.14 milyar rupiah untuk unit pengolahan gambir bergerak dibandingkan dengan biaya transportasi dengan rantai pasok saat ini.

Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pendirian industri katekin dan tanin dalam bentuk pabrik tetap dengan kapasitas 10.5 ton gambir asalan per tahun maupun lima unit pengolahan gambir bergerak (masing-masing memiliki kapasitas 2.1 ton gambir asalan per tahun) yang ditangani satu pengelola layak didirikan. Dari analisis dengan menggunakan nilai emas diketahui bahwa pabrik tetap memberikan NPV sebesar 135.99 oz emas, B/C rasio 1.16 dan payback period 6.58 tahun, sedang penggunaan lima unit pengolahan gambir bergerak memiliki NPV sebesar 527.14 oz emas, B/C rasio 1.39 dan payback period 2.73 tahun. Hasil analisis finansial dengan pendekatan time value of money dalam US Dollar menunjukkan bahwa pendirian industri katekin dan tanin dalam bentuk pabrik tetap memiliki NPV sebesar US$80,944.68, IRR 11.29%, B/C rasio 1.14 dan payback period 6.58 tahun sedang penggunaan lima unit pengolahan gambir bergerak memiliki NPV sebesar US $505,786.56, IRR 34.97%, B/C rasio 1.37 dan payback period 2.75 tahun.

Hasil analisis nilai tambah menunjukkan perkiraan manfaat finansial yang dapat diperoleh masyarakat baik sebagai tenaga kerja maupun bagian keuntungan dari industri katekin dan tanin yang sebagian kepemilikannya oleh masyarakat. Pada proporsi konversi ekspor dalam bentuk gambir asalan ke bentuk katekin dan tanin antara 1% hingga 10% dari total ekspor dalam bentuk gambir asalan, maka bagian dari nilai tambah untuk tenaga kerja adalah sebesar 0.9 - 9 milyar rupiah per tahun. Selanjutnya, pada proporsi kepemilikan petani dalam unit pengolahan katekin dan tanin 1% hingga 10%, maka bagian dari nilai tambah untuk petani adalah sebesar 9 - 90 milyar rupiah per tahun.

Kata Kunci: Gambir, Katekin, Tanin, Interpretive Structural Modeling, Proses Hirarki Analitik, Unit Pengolahan Gambir Bergerak, Nilai Tambah


(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan kepada khalayak dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

(9)

PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GAMBIR

DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA, SUMATERA BARAT

ALEXIE HERRYANDIE BRONTO ADI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor

2. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS.

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS.


(11)

Judul Penelitian : Pengembangan Agroindustri Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

Nama : Alexie Herryandie Bronto Adi

Nomor Pokok : F361070051

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id, MADev.

Ketua

Dr. Ir. Sukardi, MM. Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc.St.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.


(12)

Alhamdu lillahi rabbil alamin, puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena hanya dengan pertolongan dan rahmat-Nya maka Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Beberapa bagian disertasi ini telah dipublikasikan dalam jurnal internasional dan jurnal nasional yaitu: Kajian Perbaikan dan Introduksi Teknologi Pengolahan Gambir Ekspor Indonesia

(Warta Kebijakan IPTEK dan Manajemen Litbang, Papiptek LIPI, Vol. 7, No.2 Desember 2009), Global Strategy for Indonesian Gambier Development (AFBE International Journal, Vol. 3, No.1, Juni 2010) dan Kajian Perbaikan Mutu pada Agroindustri Skala Mikro dan Kecil Gambir Indonesia (Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, Vol.15, No.2, Agustus 2010).

Penulis menyadari bahwa banyak pihak telah membantu sampai selesainya Disertasi ini, karena itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada personalia di bawah ini:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. E.Gumbira Sa’id, MADev. sebagai Ketua Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Tim Peneliti Gambir IPB dalam Program Hibah Kompetitif Unggulan Strategis Naional 2009 dan 2010 yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan dan arahan, dukungan serta dorongan sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Dr. Ir. Sukardi, MM. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.St. selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasannya dalam membimbing dan memberikan masukan hingga terselesaikannya Disertasi ini.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Erliza Noor, Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. serta Bapak Dr. Ir. Sugiyono dan Dr. Eng. Taufik Djatna, STP.,MSi. selaku penguji dalam Ujian Tertutup serta Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS., Dr. Ir. Etik Mardliyati Dr. Machfud, MS. dan Dr. Ir. Sam Herodian, MS. selaku Penguji pada Ujian Terbuka yang telah memberikan masukan untuk perbaikan disertasi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS., Bapak Prof. Dr. Ir. Irawadi Djamaran, Bapak Dr. Eng. Taufik Djatna, STP., M.Si., Ibu Dr. Titi Candra Sunastri, STP.,


(13)

Program Studi Teknologi Industri Pertanian, SPs-IPB yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian.

5. Direktur DP2M-Ditjen DIKTI dan staf atas bantuan dana dalam Program Hibah Kompetitif Penelitian Unggulan Strategis Nasional 2009 dan 2010 khususnya untuk pengembangan Kelapa sawit, Kakao dan Gambir.

6. Tim peneliti Gambir IPB dalam Program Hibah Kompetitif Unggulan Strategis Nasional atas karja sama dan semangat yang diberikan selama dua tahun penelitian (2009-2010).

7. Pemerintah daerah dan masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat khususnya Kecamatan Kapur IX atas bantuannya selama penelitian ini berlangsung.

8. Seluruh rekan kuliah di Program Studi Teknologi Industri Pertanian atas dukungan, kebersamaan dan semangat saling menguatkan untuk menyelesaikan pendidikan ini dengan sebaik-baiknya.

Sebagai bagian dari upaya pengembangan agroindustri gambir, penelitian disertasi ini telah mencoba mengkaji berbagai permasalahan dan merumuskan usulan, namun untuk sampai tahap implementasi mungkin masih diperlukan masukan dan kritik yang dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan serta mengurangi resiko kegagalan. Meskipun demikian, Disertasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu di bidang Teknologi Industri Pertanian serta dapat menjadi salah satu acuan dalam penyusunan program pengembangan agroindustri gambir khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Dengan penyesuaian, pendekatan yang digunakan dalam disertasi ini diharapkan dapat digunakan dalam penyusunan program pengembangan komoditas lain di Kabupaten Lima Puluh Kota, maupun di daerah lain. Akhir kata, semoga Disertasi ini bermanfaat bagi pembaca umumnya.

Bogor, Nopember 2011


(14)

Penulis dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 10 Juli 1965 dari Ayah bernama Marsudi H. Subardjo dan Ibu Hakimah M. Hasan. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Cilandak III Pagi, Jakarta pada tahun 1977. Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan menengah di SMP Negeri 41 Jakarta (lulus tahun 1981) dan SMA Negeri 8 Jakarta (lulus tahun 1984). Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana dan memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian (STP) pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1994 hingga tahun 1998 penulis bekerja di PT Intidaya Agrolestari,di Bogor mulai dari posisi sebagai peneliti pada tahun 1994 hingga menjadi Kepala Bagian Produksi Ektomikoriza pada Divisi Mikoriza pada tahun 1998. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan Magister melalui Program Karya Siswa Magister Dalam Negeri dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penulis memperoleh gelar Magister Teknik (MT) pada Program Studi Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya pada tahun 2001.

Saat menjalani pendidikan Magister, pada tahun 2000 penulis diangkat sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang dan mulai mengajar setelah menyelesaikan pendidikan Magister pada tahun 2001. Pada tahun 2007 penulis menempuh pendidikan Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa melalui program BPPS.

Penelitian disertasi ini merupakan bagian dari Penelitian Unggulan Strategis Nasional tahun 2009 dan 2010 mengenai pengembangan gambir (diketuai oleh Prof. Ir. E. Gumbira Sa’id, MADev.) yang didanai Kementerian Pendidikan Nasional. Selama penelitian tersebut, penulis termasuk dalam anggota tim peneliti dan penyusun buku Agroindustri dan Bisnis Gambir Indonesia

(diterbitkan oleh IPB Press, 2009), dokumen Paten Proses Pembuatan Katekin dari Gambir Asalan dengan Menggunakan Pelarut Organik dan Pengeringan

dengan Spray Dryer (Didaftarkan pada tanggal 25 Nopember 2010 pada

Direktorat Paten, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia) serta beberapa publikasi ilmiah di Jurnal Nasional dan Internasional.


(15)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia, baik karena banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian, maupun karena kontribusinya yang besar dalam Produk Domestik Bruto. Menurut BPS (2010), dari Produk Domestik Bruto Indonesia pada tahun 2009 sebesar Rp. 5,613,441.70 milyar, sektor pertanian menyumbang sebesar Rp. 858,252.00 milyar (15.29 persen). Selanjutnya, di antara sektor pertanian yang lain, sektor perkebunan berkontribusi sebesar Rp. 112,522.10 milyar (13.11 persen dari total Produk Domestik Bruto sektor pertanian). Sumbangan sektor pertanian lebih rendah dari industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran, namun lebih besar dari sektor pertambangan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, real estat dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa lainnya. Dengan perkembangan agroindustri pada masa yang akan datang, sumbangan sektor pertanian umumnya dan perkebunan khususnya diharapkan akan terus mengalami peningkatan yang signifikan.

Gambir merupakan salah satu komoditas perkebunan Indonesia yang pasar utamanya adalah ekspor. Menurut BPS (2010), ekspor gambir Indonesia pada tahun 2009 mencapai sekitar 18,298 ton dengan nilai US$ 38.04 juta (Lampiran 1). Sebagai negara pengekspor terpenting, Indonesia menguasai 80 persen pangsa pasar gambir di dunia. Di samping India sebagai tujuan ekspor utama, negara-negara tujuan ekspor gambir Indonesia adalah Bangladesh, Jepang, Malaysia, Pakistan, Singapura serta beberapa negara lain (Gambar 1).

Pada Gambar 1 dapat dilihat besarnya volume ekspor gambir Indonesia ke India yang mencapai 91.15% dari total volume ekspor gambir Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi kepada satu pasar yang melemahkan posisi tawar Indonesia dalam pemasaran gambir global dan sebaliknya sangat menguatkan dominasi India dalam perdagangan gambir dunia. Kuatnya posisi tawar India tidak hanya berlaku dalam perdagangan produk turunan gambir di pasar global, namun juga dalam pembelian hingga penentuan harga gambir asalan dari masyarakat. Di sisi lain, meskipun Indonesia merupakan


(16)

negara penghasil dan pengekspor gambir terbesar dunia, namun dalam perdagangan internasional Indialah yang tercatat sebagai negara pengekspor gambir ke berbagai negara. Hal ini terjadi karena Indonesia hanya mengekspor gambir asalan ke India. Dengan sedikit pemrosesan atau bahkan tanpa pemrosesan, gambir masyarakat yang mutunya sangat beragam langsung diekspor oleh para eksportir ke India. Selanjutnya India melakukan pemrosesan ulang dan mengekspor kembali ke berbagai negara (Saleh, wawancara tanggal 15 Agustus 2009).

Gambar 1. Perbandingan Volume Ekspor Gambir Indonesia (2009) ke Berbagai Negara Tujuan

Sumber: BPS (2010)

Selama lima tahun terakhir, terus terjadi peningkatan volume ekspor gambir yang diikuti dengan peningkatan harga rata-rata nilai ekspor (Lampiran 2). Peningkatan volume yang diikuti dengan peningkatan harga tersebut mengindikasikan terjadinya peningkatan kebutuhan gambir dunia. Karena itu,


(17)

sebagai negara tujuan ekspor utama gambir Indonesia yang mengekspor kembali produk gambir ke berbagai negara, India terus meningkatkan volume impor gambirnya ke Indonesia, sementara negara tujuan ekspor lainnya menunjukkan kecenderungan yang berbeda (Gambar 2).

(a) India (b) Negara Tujuan Selain India

Gambar 2. Perkembangan Ekspor Gambir Indonesia ke Berbagai Negara 2005-2009

Sumber: BPS (2006-2010)

Di Indonesia, penghasil utama gambir adalah Sumatera Barat yang memasok sekitar 90 persen dari total produksi. Dari publikasi BPS (2008), diketahui gambir juga diusahakan di beberapa provinsi lain yaitu Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan (Lampiran 3). Sentra penghasil gambir Sumatera Barat terbagi dua yaitu Kabupaten Lima Puluh Kota yang berkontribusi sebesar 69.79 persen dari total produksi Sumatera Barat dan Kabupaten Pesisir Selatan dengan kontribusi sebesar 23.87 persen. Di samping itu, tanaman gambir juga terdapat di beberapa kabupaten lain di Sumatera Barat yaitu Padang Pariaman, Pasaman, Sawahlunto Sijunjung dan Kabupaten Agam (Lampiran 4). Di Kabupaten Lima Puluh Kota, daerah penghasil gambir terpenting adalah Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Pangkalan Koto Baru dan Kecamatan Bukit Barisan (Lampiran 5).

Mengingat sejumlah industri kecil pengolahan gambir secara geografis berada pada lokasi berdekatan, maka pengembangan industri gambir melalui

-2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 12,000,000 14,000,000 16,000,000 18,000,000

2005 2006 2007 2008 2009

V o lu m e E ks p o r (kg) Tahun -100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 V o lu me E ks p o r (kg) Negara Tujuan


(18)

pendekatan klaster memungkinkan untuk dilaksanakannya perbaikan secara kelembagaan. Pendekatan klaster diharapkan akan lebih memudahkan penanganan persoalan teknologi untuk peningkatan mutu produk serta kapasitas produksi. Hal ini terjadi karena dengan ikatan kerja sama antar berbagai

stakeholder dalam klaster, kegiatan pembinaan dan kemitraan akan dapat direncanakan, dilaksanakan dan dikendalikan lebih efektif. Di samping itu, melalui kelembagaan yang baik, maka persoalan pemasaran dan permodalan yang menjadi masalah klasik dalam industri kecil dan menengah diharapkan akan dapat diatasi.

Hasil survei awal di Kabupaten Lima Puluh Kota menunjukkan bahwa banyak petani yang memiliki permasalahan permodalan untuk menjalankan usahanya. Namun, mereka tidak berhubungan dengan bank untuk mengatasi permasalahan tersebut. Mereka lebih banyak berhubungan dan terikat dengan pedagang pengumpul tertentu. Keterikatan tersebut berupa keharusan untuk menjual gambir kepada pedagang yang bersangkutan meskipun harga jual gambir mereka lebih rendah dari harga pasar (Wawancara dengan petani di Kabupaten Lima Puluh Kota, Juli-Agustus 2010). Karena itu diperlukan sumber pembiayaan yang mudah diakses serta sesuai dengan kondisi sosial ekonomi usaha tani di daerah yang bersangkutan.

Permasalahan permodalan juga berdampak pada kemampuan teknologi masyarakat yang berpengaruh terhadap mutu produk gambir mereka. Rendahnya mutu gambir masyarakat terjadi karena proses produksi umumnya masih sederhana dan dilakukan secara tradisional. Kondisi serta area proses ekstraksi (pengempaan) untuk menghasilkan gambir hingga penanganan yang dilakukan secara tradisional menyebabkan mutu produk gambir tidak dapat dikontrol dengan baik.

Dalam upaya mendapatkan solusi dan rencana pengembangan agroindustri gambir, perlu dilakukan analisa yang mendasar dari permasalahan yang ada. Analisa tersebut dimulai dari pemahaman dasar tentang teknologi proses dan mutu produk gambir yang dihasilkan serta keinginan pasar terhadap mutu produk, hingga proses untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu gambir secara terus menerus (Dhalimi, 2006). Di sisi lain, sangat perlu dikaji berbagai


(19)

permasalahan menyangkut sistem perdagangan gambir sehingga dapat dirumuskan berbagai perbaikan yang diharapkan akan dapat menjamin agar gambir tetap menarik bagi semua pelaku produksi dan perdagangan gambir.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan umum untuk menghasilkan rencana pengembangan agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Di lain pihak tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan peta kekuatan dan kelemahan serta permasalahan dalam agroindustri gambir Indonesia umumnya dan Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya,

2. Menghasilkan usulan pengembangan agroindustri gambir pada masa yang akan datang

3. Mendapatkan perkiraan manfaat perbaikan agroindustri gambir yang diusulkan.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan meliputi hal-hal berikut:

1. Pemetaan kondisi agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, yang meliputi evaluasi teknologi proses yang digunakan dalam seluruh pelaku bisnis gambir, evaluasi mutu gambir produksi masyarakat, evaluasi kekuatan dan kelemahan agroindustri gambir Indonesia serta kajian rantai pasok dan perdagangan gambir.

2. Identifikasi perbaikan yang perlu dilakukan dan perumusan usulan perbaikan untuk pengembangan agroindustri gambir pada masa yang akan datang

3. Pengkajian perkiraan manfaat dari perbaikan yang diusulkan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Hasil penelitian mengenai kebutuhan teknologi dapat dimanfaatkan oleh para peneliti dan perguruan tinggi, investor, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota, serta agroindustri


(20)

gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota untuk perencanaan perbaikan mutu, kuantitas serta efisiensi produksi gambir dan produk turunannya.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi kelembagaan dan pendanaan untuk perbaikan produksi dan perdagangan gambir serta produk olahan gambir yang diharapkan dapat mendistribusikan keuntungan dan resiko kepada seluruh pelaku dalam rantai pasok gambir.

3. Jika dibuatkan perangkat lunak untuk sistem pendukung keputusannya, pendekatan yang digunakan diharapkan dapat membantu aktivitas perencanaan awal, pengendalian saat rencana pengembangan agroindustri gambir diimplementasikan serta penyusunan rencana selanjutnya dari umpan balik yang diberikan.

4. Dengan melakukan penyesuaian, usulan pengembangan yang direkomendasikan diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pengembangan produk unggulan dan spesifik di wilayah lain.

1.5 Kebaruan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan gabungan berbagai teknik yang meliputi Analisis THIO (Technoware, Humanware, Infoware dan Orgaware), Analisis SWOT serta Model Berlian Porter dan Interpretive Structural Modeling (ISM) dalam analisis kondisi aktual agroindustri gambir. Dalam presentasinya, digunakan web yang belum digunakan peneliti lain untuk analisis SWOT secara grafis. Selanjutnya, untuk perumusan strategi pengembangan digunakan Proses Hirarki Analitik (PHA). Pada tahap akhir penelitian dikembangkan model klaster agroindustri gambir sebagai solusi untuk perbaikan kelembagaan agroindustri gambir yang belum pernah dirumuskan peneliti lain. Pada tahap analisis perkiraan manfaat finansial, digunakan pendekatan dengan menggunakan nilai emas yang tidak didasari oleh konsep time value of money sehingga berbeda dengan analisis finansial yang umum digunakan.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri gambir sangat kompleks, saling terkait dan melibatkan berbagai pihak. Telah banyak


(21)

penelitian dilakukan berkenaan dengan teknologi proses, pengembangan produk hingga identifikasi permasalahan dalam agroindustri gambir. Semua penelitian tersebut meliputi aspek tertentu dalam agroindustri gambir dan belum ada peneliti yang merumuskan usulan pengembangan dengan pendekatan menyeluruh. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu karena mempertimbangkan berbagai aspek perbaikan maupun para pelaku dalam agroindustri gambir.

Pada penelitian ini diusulkan penggunaan unit pengolahan gambir bergerak (mobile unit) sebagai salah satu usulan yang baru dalam agroindustri gambir. Rancangan unit pengolahan gambir bergerak tersebut disiapkan untuk perbaikan teknologi sekaligus merupakan metode introduksi dan sosialisasinya kepada masyarakat. Penggunaan unit pengolahan bergerak yang peralatannya diadakan secara bertahap memungkinkan masyarakat menilai dan mempertimbangkan untuk mengadopsinya jika dinilai menguntungkan. Metode ini diharapkan dapat mengurangi resiko penolakan dan resistensi masyarakat terhadap teknologi baru. Introduksi teknologi seperti ini selanjutnya mungkin diterapkan untuk berbagai komoditas lain yang lokasinya tersebar, berjumlah banyak, berskala kecil serta sulit dijangkau sehingga membatasi kesempatan inovasi karena ketidaktersediaan sumber energi. Di samping itu, disiapkan juga rancangan unit pengolahan bergerak untuk produksi katekin dan tanin dari gambir asalan serta pabrik tetapnya. Pada tahap perancangan, identifikasi kebutuhan dan evaluasi kapasitas peralatan dilakukan berdasarkan hasil penelitian skala Pilot Plant di Departemen TIN, Fateta, IPB selama tahun 2009-2010. Pendirian unit pengolahan dan pemasaran katekin serta tanin sebagai produk antara bernilai tambah tinggi, diharapkan dapat menjadi pemacu untuk pengembangan agroindustri gambir pada masa yang akan datang, baik sektor hulu maupun industri hilir serta berbagai industri yang terkait.


(22)

(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman dan Produk Gambir

Gambir merupakan resin yang diekstrak dari daun dan cabang-cabang muda tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb.), dikristalkan dan diperdagangkan dalam bentuk kubus atau blok kecil (Ridsdale, 2007). Selanjutnya, Thorpe dan Whiteley (1953) menyatakan bahwa catechu (produk gambir untuk pewarna) merupakan produk berwarna kuning biasanya berbentuk kubus dan diperoleh dari tumbuhan Uncaira gambir yang merupakan tanaman semak, baik yang liar maupun yang dibudidayakan. Catechu tersebut diisolasi melalui ekstraksi daun dan ranting dengan air panas sampai cairannya mengental seperti sirup. Bahan yang tidak larut kemudian dipisahkan dengan menggunakan saringan. Setelah dingin, massa berbentuk pasta tersebut dipotong-potong membentuk kubus berukuran 2.5 cm dan dikeringkan.

Tumbuhan gambir(Uncaria gambir (Hunt.) Roxb) termasuk dalam divisi

Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Gentianales, family Rubiaceae dan genus Uncaria (Ridsdale, 2007). Gambir merupakan liana yang batang mudanya berbentuk persegi dan batang utamanya tegak, dilengkapi dengan kait yang melengkung. Kait tersebut adalah modifikasi dari gagang perbungaan. Daunnya berhadapan, agak menjangat, pinggirannya rata, berbentuk bundar telur sampai lonjong, gundul, pertulangan daun bagian bawah menonjol dengan rambut-rambut domatia, penumpunya rata, gundul, panjangnya 7.5-12.5 cm (Gambar 3). Perbungaannya bertipe bongkol, tumbuh di ketiak daun dan di ujung ranting, bongkol itu berdiameter 6-8 cm, tangkai bunga mencapai panjang 3 mm, gundul, hipantium bergaris tengah 1-2 mm, berambut rapat, berwarna kuning sampai merah tua, tabung mahkota berbentuk benang, bagian luar berbulu jarang, panjangnya 10-15 mm, daun kelopak panjangnya 5-7 mm, tabungnya + 2.5 mm. Buahnya berbentuk bulat agak lonjong, berdiameter 15-17.5 mm (Djarwaningsih, 1993). Gambir dibudidayakan pada lahan dengan ketinggian 200-800 m di atas permukaan laut, mulai dari topografi agak datar sampai di lereng bukit. Biasanya gambir ditanam sebagai tanaman perkebunan di pekarangan atau kebun di pinggir


(24)

hutan. Budidaya gambir biasanya semiintensif, jarang diberi pupuk tetapi pembersihan dan pemangkasan dilakukan (Djarwaningsih, 1993).

Gambar 3. TanamanGambir Sumber: Koleksi Pribadi (2010)

Di Indonesia gambir pada umumnya digunakan untuk menyirih. Gambir diketahui merangsang keluarnya getah empedu sehingga membantu kelancaran proses dalam perut dan usus (Djarwaningsih, 1993). Fungsi gambir yang lain adalah untuk campuran obat seperti untuk luka bakar, obat sakit kepala, obat diare, obat disentri, obat kumur-kumur, obat sariawan, serta obat sakit kulit yang digunakan dengan cara dibalurkan, penyamak kulit dan bahan pewarna tekstil. Fungsi yang tengah dikembangkan juga adalah sebagai perekat kayu lapis atau papan partikel (Nazir, 2003). Menurut Ridsdale (1993), gambir memiliki tiga kegunaan utama yaitu: (1) untuk penyamak kulit, (2) untuk menyirih yang dikonsumsi bersama buah pinang (Areca catechu L), kapur dan daun sirih (Piper betle L.) serta (3) untuk obat-obatan.

2.2 Kandungan Kimia Gambir

Kandungan utama gambir yang juga dikandung oleh banyak anggota

Uncaria lainnya adalah flavonoid (terutama gambirin), katekin (sampai 51%), zat penyamak (22-50%), serta sejumlah alkaloid seperti gambirtanin serta turunan dihidro dan okso-nya (Thorpe dan Whiteley, 1921). Menurut Djarwaningsih (1993), daun gambir mengandung katekin yang bersifat sedikit larut dalam air


(25)

dingin tetapi cepat larut dalam air panas serta asam penyamak kateku (catechu) yang larut dalam air dingin. Gambir batangan yang digunakan untuk penyamak di Eropa mengandung 35-40 persen tanin. Dengan metode ekstraksi yang canggih, persentase olahan tanin dapat ditingkatkan sehingga dari gambir batangan dapat diperoleh katekin sebesar 65 persen dan sedikit asam penyamak kateku. Untuk proses penyamakan, dari gambir dapat dihasilkan bahan penyamak bermutu baik terutama bila dicampur dengan bahan penyamak lainnya.

2.2.1 Katekin

Katekin merupakan senyawa flavonoid yang bersifat sebagai antioksidan. Katekin terutama terdapat pada tanaman berkayu, baik sebagai (+)-katekin maupun (-)-epi-katekin (cis). Katekin memiliki nama kimia (2R,3S)-2-(3,4-dihydroxyphenyl)chroman-3,5,7-triol dengan rumus kimia C15H14O6. Rumus

struktur katekin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Rumus Struktur Katekin

(Sumber: http://www.ncbi.nlm.nih.gov)

Katekin dari gambir banyak digunakan dalam pewarnaan untuk produksi katun dan dikenal sebagai “catechu brown” yang bersifat tahan terhadap cahaya, larutan asam atau basa, juga bahan pemutih. Untuk mendapatkan sifat tersebut, katun direndam dalam larutan catechu panas (1-2%) yang telah ditambahkan CuSO4 (6% dari bobot catechu yang ditambahkan). Katun di atas dibiarkan di

dalam wadah tersebut sampai dingin, selanjutnya direndam di dalam wadah kedua yang berisi larutan K2Cr2O7 hangat atau mendidih (0.1-0.2%). Warna yang

terbentuk akan diperkuat oleh CuCr2O7. Wool juga dapat diberi warna dengan

katekin menggunakan metode yang sama, sedang pewarnaan sutra dengan catechu terutama dilakukan untuk tujuan weighting (Thorpe dan Whiteley, 1953).


(26)

2.2.2 Tanin

Menurut Hilbert (1954), tanin adalah sekelompok besar senyawa organik kompleks yang larut dalam air, dan tersebar secara luas di dalam berbagai tumbuhan. Hampir setiap tumbuhan mengandung tanin dalam daun, ranting, kulit kayu, kayu atau buahnya. Namun, tanin komersial hanya diambil dari tanaman yang kandungan taninnya tinggi. Tanaman dengan kandungan tanin yang lebih rendah dari 10% tidak ekonomis untuk diekstrak. Klasifikasi utama tanin dari tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 5. Bentuk tanin yang paling murni yaitu asam gallotanin bersifat tidak berwarna, tidak berbau, larut dalam air dan dapat bergabung dengan gelatin yang terdapat dalam kulit. Karena sifat tersebut, maka tanin sangat penting dalam industri penyamakan kulit (Hilbert, 1954).

Kelas I. Tanin Katekol (Catechol tannins)

Dengan larutan Brom memberikan endapan. Dengan Besi Alum memberikan endapan hitam kehijauan. Dengan CuSO4 diikuti dengan Amoniak berlebihan, ada dua kelas:

Kelass A (Endapannya larut)

Kelas B

(Endapannya tidak larut) Cutch (Acacia

catechu) Quebracho Hemlock Larch Gambier Quercitron

Cutch (Mangrove) Willow

Oak

Kelas II. Tanin Campuran

Dengan larutan Brom memberikan endapan. Dengan Besi Alum memberikan endapan keunguan.

Wattle bark English oak bark Chestnut oak bark Babool bark

Kelas III. Tanin Pirogalol

Dengan larutan Brom tidak memberikan endapan. Dengan Besi Alum memberikan endapan biru hitam.

Gallnuts Sumac

Myrobalans Chestnut

Valonia Divi-divi

Alarrobilla

Gambar 5. Klasifikasi Tanin dari Tumbuhan Sumber: Hilbert (1954)


(27)

2.3 Agroindustri

Agroindustri merupakan perusahaan yang memproses bahan baku yang berasal dari pertanian baik tanaman maupun hewan (Austin, 1981). Selanjutnya, Austin (1981) menyebutkan bahwa tingkat pemrosesan tersebut dapat bervariasi mulai dari aktivitas pembersihan dan pemilahan, pengolahan sederhana hingga modifikasi kimia untuk mendapatkan produk yang diinginkan (Tabel 1). Dalam industri pangan, transformasi tersebut bertujuan antara lain untuk mendapatkan produk yang dapat dimakan atau digunakan, mengingkatkan daya simpan, mempermudah transportasi, meningkatkan nilai gizi serta nilai cernanya. Secara umum, kerumitan teknologi, kebutuhan investasi serta aktivitas manajerial dalam agroindustri sangat tergantung pada tingkat transformasi tersebut (Austin, 1981).

Tabel 1. Pengelompokan Agroindustri Berdasarkan Level Proses Transformasi

Kategori Aktivitas Pengolahan

Contoh Produk

I Pembersihan Pemilahan

Buah-buahan segar Sayuran segar Telur

II Ginning

Penggilingan Pemotongan Pencampuran Biji-bijian (serealia) Daging Rempah-rempah Pakan ternak Jute Kapas Kayu Karet III Pemasakan

Pasteurisasi Pengalengan Dehidrasi Pembekuan Pemintalan Ekstraksi Assembly Produk-produk susu

Buah-buahan dan sayuran olahan Daging

Sauces

Tekstil dan garmen Minyak

Furnitur Gula Minuman IV Modifikasi kimia

Teksturisasi

Makanan instan

Textured vegetable products Ban

Sumber: Austin (1981)

Agroindustri merupakan sektor yang sangat penting di berbagai negara, khususnya negara berkembang. Bahkan Brown, Deloitte dan Touche (1994)


(28)

menyebutkan bahwa lebih dari separuh aktivitas manufaktur di berbagai negara berkembang di dunia terdiri dari agroindustri yang meliputi penanganan dan pengolahan bahan baku pertanian.

Agroindustri dikenalkan di Indonesia sejak abad ke-18 melalui penerapan sistem tanam paksa. Saat itu, pemerintah Bealnda menyadari betul bahwa Indonesia secara geografis sangat cocok untuk usaha budidaya tanaman tropis dengan nilai ekonomis yang tinggi. Dimulai dari tanam paksa, berkembanglah perkebunan kopi, gula, nilam, tembakau, teh, kina serta karet dan rempah-rempah di beberapa pulau di Indonesia (Mangunwidjaja dan Saillah, 2005).

Selanjutnya, Mangunwidjaja dan Saillah (2005) menyebutkan bahwa pembangunan agroindustri secara tepat diharapkan akan dapat meningkatkan keberhasilan negara berdasarkan tolok ukur sebagai berikut:

Menghasilkan produk agroindustri yang berdaya saing dan memiliki nilai tambah

Meningkatkan perolehan devisa dan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)

Menyediakan lapangan kerja yang dibutuhkan dalam mengatasi pengangguran

Meningkatkan kesejahteraan pelaku agroindustri baik di tingkat hulu maupun hilir

Memelihara mutu dan daya dukung lingkungan untuk pembangunan agroindustri berkelanjutan

Mengarahkan kebijakan ekonomi makro untuk berpihak kepada pemasok agroindustri.

2.4 Potensi dan Peranan Agroindustri Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

Gambir merupakan salah satu tanaman perkebunan yang cukup banyak dikembangkan di Propinsi Sumatera Barat (Tabel 2). Di wilayah tertentu, gambir bahkan menjadi sumber pencaharian yang utama bagi masyarakat. Meskipun dari segi luasnya perkebunan gambir jauh di bawah tanaman perkebunan utama seperti kelapa sawit dan karet, namun sebagai tanaman spesifik daerah, gambir


(29)

merupakan komoditas yang penting dan menjadi salah satu produk unggulan di daerah tersebut.

Tabel 2. Luas dan Produksi berbagai Tanaman Perkebunan Tanaman Luas Area (ha) Produksi (Ton)

Kab 50 Kota

Sumatera Barat

Kab 50 Kota

Sumatera Barat

Karet 5,229 87,286 10,620 146,645

Kelapa 4,594 79,829 5,849 90,760

Kulit Manis 1,776 35,232 2,873 38,300

Cengkeh 20 1,602 70 6,892

Tebu - 14,576 - 7,239

Tembakau 959 1,033 1,215 1,350

Kopi 1,660 28,788 2,434 46,890

Gambir 9,240 13,115 13,261 19,350

Enau 307 1,158 584 1,638

Kelapa Sawit 76 326,580 29 154,484

Sumber: BPS Provinsi Sumatera Barat (2008) BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2008)

Dari segi jumlah rumah tangga dan tenaga kerja yang terlibat, gambir merupakan komoditas yang penting di Kabupaten Lima Puluh Kota, terlebih di tiga kecamatan utama penghasil gambir yaitu Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Pangkalan Koto Baru dan Kecamatan Bukit Barisan. Data jumlah penduduk, kepala keluarga (KK) dan kepala keluarga (KK) petani gambir per kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 3.

Umumnya keluarga petani gambir memiliki sekitar dua hektar kebun gambir dan hampir seluruhnya memiliki minimal satu rumah kempa. Pada saat panen, tiap rumah kempa akan mempekerjakan dua-tiga tenaga kerja pengempa. Secara teoritis, gambir dapat dipanen setiap empat bulan, namun kebun gambir masyarakat umumnya dapat dipanen setiap enam bulan, dengan masa panen sekitar dua-tiga minggu per hektar. Di nagari Lubuk Alai, Kecamatan Kapur IX, diperkirakan terdapat sekitar 1,500-2,000 tenaga kerja pengempa dan pembantu pengempa. Selain tenaga kerja pengempa, diperlukan juga 2-10 orang buruh tani untuk penyiangan setiap bidang kebun gambir. Mereka bekerja beberapa saat setelah pemanenan daun gambir dilakukan (Survei dan wawancara dengan Wali Nagari dan petani gambir Nagari Lubuk Alai, Muara Paiti dan Sialang, Kecamatan Kapur IX, Juni 2010).


(30)

Tabel 3. Jumlah Penduduk, Jumlah Keluarga dan Jumlah Keluarga Petani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

No Kecamatan Jumlah

Penduduk (Jiwa)

Jumlah Keluarga

(KK)

Jumlah Keluarga Petani Gambir

(KK)

1 Kapur IX 26,300 6,128 3,497

2 Pangkalan Koto Baru 27,665 6,536 1,312

3 Suliki 14,098 4,012 192

4 Guguak 33,383 8,668 28

5 Lareh Sago Halaban 32,805 8,630 341

6 Mungka 23,059 5,959 467

7 Harau 42,019 10,175 715

8 Payakumbuh 29,568 7,001 65

9 Bukit Barisan 21,921 7,102 1,385

Sumber: Bahan Presentasi Dinas Perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota, 2008 (Wawancara dengan Staf Dinas Perkebunan, Agustus 2009)

2.5 Permasalahan dalam Pengembangan Agroindustri Skala Kecil

Banyak permasalahan yang dihadapi UKM menyebabkan perkembangan UKM cenderung statis. Sebagai contoh adalah penelitian Sumaryanto et al.

(2007) tentang penguatan UKM Produk Tradisional Perikanan di Daerah Pesisir. Dari penelitian tersebut diketahui beberapa kelemahan dalam pengembangan UKM antara lain: mutu yang rendah dan tidak seragam, fluktuasi produksi yang seringkali mengganggu sistem penawaran, lemahnya penguasaan teknologi sehingga sering menimbulkan perubahan karakteristik, lemahnya manajemen kelembagaan yang menyebabkan hubungan produksi dan pasar terputus. Mangunwidjaja dan Saillah (2005) menyebutkan beberapa permasalahan dan kendala dalam pengembangan agroindustri skala kecil khususnya di pedesaan meliputi keterbatasan modal, kemampuan sumberdaya manusia, keterbatasan penerapan teknologi, sarana dan prasarana yang kurang atau tidak memadai serta kelembagaan. Permasalahan tersebut juga umum dihadapi petani pada berbagai komoditas pertanian yang penting di Indonesia, seperti permasalahan yang dihadapi petani kelapa sawit yang dikemukakan Darussamin (2011) yaitu: skala yang kecil, lemah dalam akses informasi, lemah dalam akses teknologi, penggunaan bibit yang tidak terjamin, lemah dalam manajemen, permasalahan


(31)

permodalan, produktivitas yang rendah, ketiadaan atau lemahnya organisasi. Hal yang sama juga terjadi pada industri kecil gambir.

Berdasarkan hasil survei Tim Peneliti Gambir IPB 2009, permasalahan dalam agroindustri gambir yang seluruhnya dilakukan dalam skala kecil oleh masyarakat di Sumatera Barat meliputi permasalahan teknologi, mutu produk, pemasaran dan pemodalan (Gumbira Sa’id et al., 2009). Selanjutnya, Dhalimi (2006) merinci permasalahan permodalan yang berkaitan dengan keterbatasan modal petani serta kelembagaan yang belum mendukung untuk berkembangnya industri gambir yang kuat. Dari segi pemasaran, permasalahan yang ada meliputi fluktuasi harga gambir yang tinggi serta lemahnya posisi tawar petani dan pengempa dalam rantai pasok gambir. Dari segi pembibitan dan budidaya, permasalahan industri gambir pada dasarnya terkait dengan mutu dan produktivitas daun dan ranting yang masih harus ditingkatkan, sedangkan dari segi pengolahan permasalahannya terkait dengan kemampuan produksi serta masalah kualitas gambir yang dihasilkan masyarakat.

Mengingat pentingnya peranan agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, maka pemecahan permasalahan di sektor tersebut akan berkontribusi besar bagi masyarakat Lima Puluh Kota khususnya, dan Sumatera Barat umumnya. Sejalan dengan kebijakan Departemen Perindustrian (2007), maka penguatan agroindustri gambir dapat ditempuh melalui strategi pembinaan secara terpadu pada aspek teknologi, pemasaran, sumberdaya manusia dan pendanaan yang didukung oleh penguatan kelembagaan.

2.6 Teknologi Proses Produksi Gambir dan Pemisahan Komponen Gambir

Terdapat berbagai teknologi proses yang dapat digunakan untuk produksi gambir. Menurut Tarwiyah (2001), tahapan proses produksi gambir terdiri dari pengukusan, pemerasan, pengentalan, penirisan pencetakan dan pengeringan. Daswir, Risfaheri dan Yuliani (2003) mengemukakan tehapan proses pengolahan gambir cara Cina dan Eropa yang berbeda (Gambar 6). Di antara tahapan proses tersebut aktivitas inti dalam pengolahan gambir adalah ekstraksi getah gambir dan pengeringan. Dari hasil survei lapangan di Kabupaten Lima Puluh Kota selama periode Agustus 2009 sampai dengan Juli 2010 (Gumbira-Said et al., 2010)


(32)

diketahui bahwa pengeringan gambir umumnya dilakukan melalui penjemuran gambir menggunakan sinar matahari. Pada malam hari atau ketika penjemuran tidak dapat dilakukan karena cuaca yang tidak mendukung, maka gambir ditempatkan di atas para-para yang berada di atas tungku pemasakan sehingga pengeringan dapat memanfaatkan panas dan asap dari tungku. Penggunaan bak pengering dengan blower dan pemanas berbahan bakar minyak hanya dilakukan beberapa pedagang pengumpul atau eksportir.

Untuk mendapatkan nilai tambah yang tinggi, di samping berbagai upaya peningkatan mutu gambir rakyat, maka sangat perlu dilakukan fraksinasi gambir menjadi komponen-komponennya. Terdapat berbagai pilihan teknologi untuk pemisahan senyawa-senyawa fenol, tanin dan katekin yang dapat digunakan untuk fraksinasi gambir. Sebagian di antara penelitian mengenai teknologi proses tersebut disajikan pada Tabel 4.

Pambayun et al. (2007) melakukan ekstraksi produk gambir dengan berbagai jenis pelarut menghasilkan jumlah bahan terekstrak, kandungan fenol, dan sifat antibakteri yang bervariasi. Hasil ekstraksi menunjukkan bahwa pada metoda maserasi dan Soxhlet, bahan terekstrak paling tinggi diperoleh pada campuran etanol air 1:1, masing-masing sebesar 84.77 dan 87.69 persen. Kandungan fenol tertinggi ditemukan pada bahan terekstrak dari ekstraksi dengan pelarut etil asetat, yakni 88.30 dan 90.85 persen.

Amos (2005) melakukan penelitian untuk mengekstrak katekin dari daun gambir dengan menggunakan pelarut alkohol (etanol) pada berbagai konsentrasi dan waktu perebusan. Penelitan Amos (2005) menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi etanol, maka makin tinggi katekin yang diperoleh. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa waktu perebusan berpengaruh terhadap kadar katekin yang diperoleh dalam sampel gambir. Selanjutnya diketahui bahwa waktu perebusan optimum adalah 25 menit sejak air mendidih.


(33)

(a) Cara Cina (b) Cara Eropa

Gambar 6. Pengolahan Gambir dengan Cara Cina dan Cara Eropa Sumber: Daswir, Risfaheri dan Yuliani (2003)

Nazir (2002) melakukan penelitian pemurnian gambir untuk mendapatkan katekin murni. Dalam penelitian tersebut digunakan beberapa tahapan pemisahan dengan menggunakan beberapa pelarut yaitu air, heksan, metanol dan etil asetat. Dari penelitiannya, Nazir (2002) dapat memperoleh produk dengan kandungan katekin mencapai 95%.

Ekstrak kental berwarna kuning kecoklatan

Pemisahan daun dan ranting

Perbusan selama 1/2 jam. Selama pemasakan daun Diaduk dan

dimemarkan

Pengambilan ekstrak dan daun dimasak kembali

Dikentalkan dengan Pemanasan

sampai BJ 1.106 - 1.125 (14-16 oBe)

Penyaringan

Dikeringanginkan sampai suhu

menjjadi 35 oC sambil diaduk secara

berkala

Pengantongan gambir sesuai ukuran yang diinginkan

Daun gambir dipotong halus hingga volume menjadi 1/2 volume awal

Dimasukkan ke dalam air mendidih, terusm enerus ditumbuk dan diaduk

selama 0.5 jam

Ranting dipisahkan dengan garpu dan massa daun yang tertinggal ditumbuk dan

diaduk selama 10-15 menit

Ekstrak diambil dan daun didiolah kembali (ditumbuk 10 menit)

Dikentalkan sampai 6.5-7.5 oBe pada suhu 90 oC

Didinginkan sampai suhu 46-48 oC dan ditambahkan tepung sagu sebagai

pengikat

Diaduk pada suhu 40-42 oC, dituangkan ke dalam cetakan dan dibiarkan selama


(34)

Tabel 4. Beberapa Penelitian mengenai Teknologi Pemisahan Senyawa Fenol, Tanin, Katekin dari Tumbuhan

Peneliti Topik Penelitian Metode Bahan, faktor dsb

Makkar et al. (1993)

analisis total fenol dari tanaman Rumex

hastatus Ekstraksi dengan pelarut Aseton-air, Metanol-Air

Hayani (2003) Analisis kadar katekin gambir Ekstraksi dengan pelarut Etil Asetat dengan Pemanasan

Jerez et al. (2006)

ekstraksi senyawa-senyawa fenol dari

kulit kayu pinus Ekstraksi dengan pelarut

Etil Asetat, Pengaruh Temperatur, Waktu kontak dan rasio solid liquid

Yoshida et al. (1999) ekstraksi katekin dari teh hijau

ekstraksi dengan buffer dan aquadest dilanjutkan dengan filtrasi membran

Pengaruh pH terhadap efisiensi ekstraksi

Bonilla et al. (1999) ekstraksi senyawa fenol dari Anggur Ekstraksi dengan pelarut Etil Asetat, Waktu kontak Pan dan Lundgren

(1995)

ekstraksi senyawa fenol dari kulit kayu

Picea abies Ekstraksi dengan pelarut Etanol

Row dan Jin (2006)

ekstraksi senyawa katekin dari Teh

Korea Ekstraksi dengan pelarut

Air-Chloroform, Air-Etil Asetat, Waktu, Temperatur

Chang et al. (2000) ekstraksi senyawa katekin dari Teh hijau Ekstraksi dengan Karbondioksida

Menggunakan Packed-column extractor dikombinasikan dengan penambahan etanol

Sua et al. (2003) Analisis stabilitas theaflavin dan katekin Ekstraksi dengan pelarut Etanol, Etil Asetat dan Butanol Suzuki et al. (2005)

analisis kadar katekin dari tanaman

Dyospyros kaki Ekstraksi dengan pelarut

Air-Chloroform, Air-Etil Asetat dengan Pemanasan

Uzunalic et al. (2006)

ekstraksi kafein dan katekin dari teh

hijau Ekstraksi dengan pelarut

acetone, etanol, metanol, acetonitrile, air, waktu dan temperature

Matthews et al. (1997)

ekstraksi Protoanthocyanidin dari kulit

kayu Ekstraksi dengan pelarut

Metanol-Air, Pengaruh Waktu kontak

Streit dan Fengel (1994)

pemurnian tanin dari Quebracho


(35)

Hayani (2003) mencoba melakukan ekstraksi katekin gambir dengan pelarut etil asetat. Ekstraksi dilakukan dengan tiga macam perlakuan yaitu (1) menggunakan pemanasan di atas hot plate sampai diperoleh suhu 52-75 oC selama 5 menit, (2) menggunakan pemanas ultrasonik selama 15 menit dan (3) menggunakan shaker selama 5 menit. Setelah ekstraksi tersebut, kadar katekin diukur melalui pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 279 nm. Hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pemanasan dengan hot plate memberikan hasil pengukuran yang lebih tinggi sebab ektraksi berlangsung lebih sempurna.

2.7 Konsep Klaster Industri

Klaster industri adalah sebuah kelompok usaha yang secara geografis berada dalam suatu wilayah yang berdekatan yang terdiri dari perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi terkait dalam bidang tertentu yang dihubungkan adanya sifat kebersamaan dan saling melengkapi satu sama lain (Porter 1998). Konsep klaster industri dari Porter (1998) didasari dari hasil penelitiannya di dalam membandingkan daya saing internasional beberapa negara. Keunggulan daya saing suatu negara/daerah dapat bertahan bukan karena kandungan mineral dan tanahnya, tetapi karena negara tersebut mengkonsentrasikan dirinya terhadap peningkatan keahlian dan keilmuan, pembentukan institusi, menjalin kerja sama, melakukan relasi bisnis serta memenuhi keinginan konsumen yang semakin banyak dan sulit dipenuhi (Porter, 1998).

Porter (1990) menyatakan bahwa keunggulan industri suatu daerah/negara tidak berasal dari kesuksesannya sendiri tetapi karena kesuksesan kelompok akibat adanya keterkaitan antar perusahaan dengan institusi yang mendukung. Sekelompok perusahaan dan institusi pada suatu industri di suatu daerah tersebut kemudian dikenal dengan istilah klaster industri. Pada klaster industri, perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak hanya perusahaan besar dan menengah, tetapi juga perusahaan kecil. Adanya klaster industri merangsang terjadinya bisnis baru, lapangan kerja baru, para pengusaha baru yang mampu memutar pinjaman baru. Porter (1990) memperkenalkan teori kemampuan kompetisi suatu negara yang digambarkan dalam Porter Diamond (Berlian


(36)

Porter) seperti dapat dilihat pada Gambar 7. Model tersebut menggabungkan analisis di tingkat industri maupun tingkat perusahaan. Dengan mengkaji keempat faktor tersebut, Model Berlian Porter menunjukkan mengapa daya saing suatu industri tidak dapat bertahan lama (Porter, 1990).

Gambar 7. Model Berlian Porter

Sumber: Porter (1990)

Pada Gambar 7 dapat dilihat adanya empat faktor kunci yang menentukan daya saing suatu negara yaitu kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi perusahaan, struktur dan persaingan serta keterkaitan dan industri pendukung. Negara tertentu memiliki bentuk berlian (keterkaitan antar empat faktor) yang berbeda dengan negara lain. Kondisi tersebut membuat suatu negara mampu mengungguli negara lainnya. Rincian keempat faktor tersebut disajikan pada Tabel 5.

Pendekatan klaster industri dinilai sangat bermanfaat bagi pembangunan ekonomi, khususnya peningkatan daya saing industri yang berkelanjutan. Bappenas (2003) menyatakan bahwa peningkatan daya saing ini dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara berikut:

(1) Meningkatkan produktivitas perusahaan

(2) Mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai fondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan

(3) Mensimulasikan tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat memperkuat dan memperluas klaster.

Kondisi Faktor

Kondisi Permintaan Strategi Perusahaan

dan Persaingan

Industri Terkait dan Pendukung


(37)

Tabel 5. Uraian Komponen Berlian Porter No Komponen Berlian Porter Uraian

1 Kondisi faktor Ketersediaan dan kemampuan sumberdaya manusia, sumberdaya fisik, sumberdaya pengetahuan, sumberdaya modal dan infrastruktur

2 Kondisi permintaan Permintaan domestik dan internasional 3 Strategi perusahaan,

struktur dan persaingan

Menujukkan kondisi internal serta persaingan antar perusahaan

4 Industri terkait dan pendukung

Menunjukkan bagaimana suatu industri saling bergantung dan mengisi industri lainnya Sumber: Porter (1998)

Soetrisno (2005) menyebutkan bahwa studi-studi mengenai klaster UKM di Eropa Barat menunjukkan adanya sejumlah faktor yang membuat mereka dapat berkembang dengan pesat. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:

(1) Di dalam sentra produksi terdapat juga pemasok bahan baku, komponen-komponen, sub kontraktor dan produsen barang-barang jadi. Kondisi ini selain dapat mengurangi ongkos produksi, juga dapat menyebabkan masing-masing UKM satu sama lain saling bersinergi. (2) Adanya kombinasi antara persaingan yang ketat dan kerja sama antar

sesama pengusaha UKM. Kondisi ini menciptakan tingkat efisiensi kolektif yang tinggi.

(3) Di dalam klaster terdapat pusat-pusat pelayanan, terutama yang disediakan oleh pemerintah yang dapat digunakan secara kolektif oleh semua pengusaha.

(4) UKM yang ada dalam klaster menjadi sangat fleksibel dalam menghadapi perubahan di pasar karena adanya jaringan yang baik serta inovasi-inovasi yang cerdas.


(38)

2.8 Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah proses untuk membangun informasi yang membantu dalam menyesuaikan tujuan, program dan kapasitas suatu organisasi atau kelompok dengan lingkungan sosial tempatnya beroperasi (RAPIDBI, 2010). Analisis SWOT merupakan teknik sederhana yang sangat berguna untuk membangun pemahaman tentang organisasi, situasi serta pengambilan keputusan dalam bisnis, organisasi bahkan individu. Menurut Morrison (2010), analisis SWOT merupakan perangkat perencanaan yang digunakan untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dalam proyek atau organissi. Analisis SWOT meliputi penetapan tujuan bisnis serta identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mendukung atau dapat menghalangi pencapaian tujuan tersebut.

RAPIDBI (2010) menyebutkan bahwa analisis SWOT dapat membantu menyediakan kerangka untuk melakukan review strategi, posisi dan mengarahkan perusahaan atau organisasi. Analisis SWOT dapat digunakan untuk penyelesaian masalah, perencanaan termasuk perencanaan strategis, evaluasi produk, evaluasi pesaing serta pengambilan keputusan (Morrison, 2010). Selanjutnya, RAPIDBI (2010) menyatakan bahwa analisisi SWOT sering digunakan sebagai bagian dari perencanaan strategis, namun dapat juga digunakan untuk memahami organisasi atau situasi maupun pengambilan berbagai keputusan.

Selanjutnya, Morrison (2010) menyebutkan beberapa kelebihan Analisis SWOT sebagai berikut:

• Sederhana dan fleksibel

• Membantu memahami kekuatan dan kelemahan organisasi • Mendorong untuk pengembangan pemikiran strategis

• Memungkinkan manajemen untuk fokus pada kekuatan dan membangun kesempatan

• Memungkinkan organisasi untuk mengantisipasi tentangan organisasi pada masa yang akan datang dan melakukan tindakan untuk menghindari atau meminimumkan pengaruhnya.

• Memungkinkan organisasi untuk memanfaatkan semua kesempatan dalam bisnis.


(39)

2.9 Proses Hirarki Analitik

Proses Hirarki Analitik adalah suatu metode untuk memecahkan suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam beberapa komponen dalam susunan yang memiliki hirarki (Saaty, 1980). Selanjutnya, Saaty (1980) menyatakan bahwa dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis yang digunakan dalam Proses Hirarki Analitik, terdapat tiga prinsip yang harus ditempuh yaitu penyusunan hirarki, penetapan prioritas dan konsistensi logis.

Saaty (1980) menyatakan bahwa penyelesaian persoalan dengan Proses Hirarki Analitik diawali dengan penyusunan hirarki persoalan. Pada tahap ini, persoalan yang kompleks distrukturkan secara grafis. Agar dapat dibandingkan, maka setiap alternatif keputusan harus dapat dinilai dengan kriteria-kriteria yang dapat dirinci menjadi sub kriteria. Selanjutnya sub kriteria dirinci lagi menjadi sub kriteria dan seterusnya. Melalui penyusunan kriteria, sub kriteria, sub-sub kriteria dan seterusnya dalam suatu hirarki, maka alternatif keputusan yang akan diambil dapat di-ranking. Dalam hirarki, masing-masing komponen akan diberikan nilai serta tingkat kepentingan melalui proses pembandingan berpasangan (pair-wise comparison).

Karena penilaian dan penentuan tingkat kepentingan dilakukan secara subyektif, maka pengambilan keputusan menggunakan Proses Hirarki Analitik akan menghadapi persoalan konsistensi. Saaty (1980) mengemukakan metode untuk mengukur tingkat konsistensi melaui perhitungan Consistency Index (CI). Dari nilai Consistency Index (CI), selanjutnya ditentukan Consistency Ratio

(CR). Pada tahap akhir dilakukan uji konsistensi hirarki dengan menggunakan Rasio Konsistensi Hirarki. Jika rasio konsistensi hirarki lebih kecil atau sama dengan 10 persen, maka hasil penilaian hirarki secara keseluruhan dapat diterima.

2.10 Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah sistem pemroses informasi yang memiliki karakteristik mirip dengan jaringan syaraf biologi. JST pertama kali diperkenalkan oleh McCulloch dan Pitts pada tahun 1943. JST ditentukan oleh jumlah, struktur, dan pola hubungan antar neuron (arsitektur jaringan), metode untuk menentukan bobot penghubung (metode training/learning), serta fungsi


(40)

aktivasi yang akan menentukan apakah sinyal dari input neuron akan diteruskan ke neuron lain atau tidak. Neuron adalah unit pemroses informasi yang menjadi dasar dalam pengoperasian JST (Fausset, 1994). Contoh JST sederhana ditunjukkan pada Gambar 8.

Pada Gambar 8, neuron Yj menerima masukan dari neuron x1, x2, ... xm dengan

bobot hubungan masing-masing adalah wj1, wj2,...wj3. Impuls neuron kemudian

dijumlahkan, yaitu:

net = x1wj1 + x2wj2 + ... + xmwjm

Besar impuls yang diterima oleh Yj mengikuti fungsi aktivasi yj=f(net). Apabila

nilai fungsi aktivasi cukup kuat, maka sinyal akan diteruskan. Nilai fungsi aktivasi (keluaran model jaringan) juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengubah bobot.

Gambar 8. Jaringan Syaraf Tiruan Sederhana

Sumber: Fausset (1994)

Bentuk JST yang lebih kompleks terdiri dari satu atau lebih lapisan tersumbunyi (Gambar 9). Pada JST tersebut, sinyal input akan diterima oleh lapisan tersembunyi 1 (hidden layer 1) yang akan meneruskannya ke lapisan tersembunyiberikutnya sampai ke output.

Gambar 9. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Satu Lapisan Tersembunyi

Sumber: Fausset (1994)

Y

j

x

2

x

1

x

m

w

jm

w

j2

w

j1

xi x1

xn vpi v1i

v11

Yj Y1

Ym vp1

wm1

wm p v1n

vpn zp z1     w11 wj1 wjp w1p


(41)

Backpropagation

Keterbatasan JST dengan satu layer telah menyebabkan berkurangnya minat para ahli dalam pengembangan JST pada tahun 1970-an. Namun, ditemukannya metode training JST multilayer telah membangkitkan kembali upaya untuk pengembangan aplikasi JST dalam berbagai persoalan (Fausset, 1994). Metode training ini dikenal sebagai back propagation atau the generalized delta rule. Pada dasarnya, metode ini berupaya meminimumkan error dari output yang dihitung oleh JST.

Training JST dengan backpropagation terdiri dari tiga tahap yaitu: (1)

feedforward data input, (2) perhitungan error dan menariknya kembali ke belakang dan (3) penyesuaian bobot dalam jaringan. Setelah training, penggunaan JST hanya terdiri dari fase komputasi feedforward. Dalam periode selanjutnya, telah dikembangkan berbagai macam variasi dari backpropagation untuk memperbaiki kecepatan proses training. Algoritma dan langkah-langkah dalam

backpropagation untuk JST seperti Gambar 10 dikemukakan oleh Fausset (1994) sebagai berikut:

Gambar 10. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Satu Lapisan Tersembunyi dan Bias


(42)

Langkah 0. Inisialisasi bobot.

(Masing-masing bobot diset ke nilai sembarang yang kecil).

Langkah 1. Jika kondisi untuk mengakhiri backpropagation belum terpenuhi, dilakukan Step 2-9.

Langkah2. Untuk tiap pasangan data training, dilakukan Langkah 3-8.

Feedforward:

Langkah 3. Tiap unit input (Xi, i = 1, ..., n) akan menerima sinyal input xi dan

menyalurkannya ke semua unit pada layer di atasnya (lapisan tersembunyi).

Langkah 4. Tiap-tiap node dalam lapisan tersembunyi (Zj, j = 1, ..., p) menerima

jumlah terbobot dari sinyal input,

n

i ij i

j xv

in z

1

,

_

Selanjutnya, dengan fungsi aktivasi dihitung sinyal output,

zj= f(z_inj),

dan mengirimnya ke semua node pada layer di atasnya (node output).

Langkah 5. Tiap-tiap node output (Yk, k = 1, …, m) merupakan jumlah terbobot

masing-masing sinyal input,

k

j

jk j

k z w

in y

1

_

Selanjutnya, dengan fungsi aktivasi dihitung sinyal output,

yk= f(y_ink).

Backpropagation dari kesalahan:

Langkah 6. Tiap-tiap node output (Yk, k = 1, ..., m) akan menerima pola target

yang berhubungan dengan pola input training, dan dihitung deviasinya,

δk= (tk -yk)f'(y_ink),

dihitung koreksi bobotnya untuk digunakan untuk memperbaiki wjk

selanjutnya),


(43)

serta dihitung koreksi bias yang digunakan untuk memperbaiki w0k

selanjutnya),

Δw0k= α δk

dan mengirim δkkepada node-node pada layer di bawahnya.

Langkah 7. Setiap node pada lapisan tersembunyi (Zj, j = 1, ...,p) menjumlahkan

delta input masing-masing (dari node-node pada layer di atasnya),

m

k

jk k

j w

in 1

, _

selanjutnya mengalikannya dengan turunan dari fungsi aktivasinya untuk menghitung informasi penyimpangan,

), _ ( '

_ j j

j in f z in

dan menghitung koreksi terbobotnya yang digunakan untuk memperbaiki vijselanjutnya

Δvij= α δj xi,

serta menghitung koreksi bias yang akan digunakan untuk memperbaiki v0jselanjutnya,

Δv0j= α δj.

Perbaikan bobot dan bias:

Langkah 8. Tiap-tiap node output (Yk, k = 1, ..., m) memperbaiki bias dan

bobotnya (j = 0, ..., p):

wjk(new) = wjk(old) + Δwjk.

Masing-masing node dalam lapisan tersembunyi (Zj, j = 1, ..., p)

mengupdate bias dan bobotnya (i = 0, ..., n): vij (new) = vij(old) + Δvij

Langkah9. Uji kondisi untuk mengakhiri proses ini.


(44)

Gambar 11. Algoritma Backpropagation untuk Perbaikan Bobot dalam Jaringan Syaraf Tiruan

(Diringkas dari Fausset, 1994)

Langkah 0 Langkah 1 Langkah 4 Langkah 5 Langkah 6 Langkah 7 Langkah 8 Langkah 3 INISIALISASI

(t-y)> STOP

MULAI

n

i ij i

j xv

in z

1 , _

zj= f(z_inj)

k

j

jk j

k z w

in y

1 _

yk= f(y_ink).

δk= (tk -yk)f'(y_ink)

Δwjk= α δk zj

Δw0k= α δk m k jk k j w in 1 , _ ), _ ( '

_ j j

j in f z in

Δvij= α δj xi

Δv0j= α δj

wjk(new) = wjk(old) + Δwjk

vij (new) = vij(old) + Δvij

Penerimaan + Pemancaran Sinyal Input


(45)

2.11 Beberapa Penelitian Terdahulu

Tinambunan (2008) melakukan penelitian tentang pendapatan usaha tani dan pemasaran gambir di Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2007. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa pendapatan bersih petani apabila menjual output dalam bentuk daun dan ranting muda per hektar per tahun adalah sebesar Rp. 11.476.200,00 sementara apabila menjual output dalam bentuk getah basah (bubur) dan getah kering masing-masing adalah sebesar Rp. 14.073.200,00 dan Rp. 15.129.200,00. Pemasaran untuk output getah basah maupun getah kering masih cukup efisien yang ditunjukkan oleh marjin harga yang diterima petani cukup tinggi yaitu 100% untuk daun dan ranting muda, 75 persen untuk getah kering dan 90,57 persen untuk getah basah. Besarnya marjin pemasaran antara lembaga-lembaga pemasaran pada masing-masing output cukup seimbang (6-19 persen) dan keuntungan dari lembaga pemasaran pada masing-masing output berkisar antara 5,63 persen sampai 14 persen.

Rivai (2003) melakukan penelitian mengenai analisis finansial usaha tani dan pengolahan gambir di Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam penelitian tersebut dilakukan survey terhadap 28 petani dari 100 petani yang tersedia. Dari penelitian tersebut diketahui rasio pendapatan dan biaya pengusahaan gambir adalah 2.52 dengan rata-rata keuntungan petani sebesar Rp. 1,439,600 per hektar per tiga bulan. Selanjutnya, untuk pengembangan lebih lanjut Rivai (2003) menyarankan penumbuhan perkebunan gambir dengan bimbingan pemerintah Kabupaten Musi Banyasin.

Penelitian Yuhono (2004) di Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Kabupaten 50 Kota pada tahun 2003 menunjukkan bahwa usaha tani gambir, teknik budidaya dan pengolahan yang masih bersifat tradisional, merupakan salah satu penyebab rendahnya mutu, rendemen dan pendapatan petani. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp. 4.840.625,- per hekter per tahun, sedang pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 6.238.125,- per hektar per tahun. Pemasaran yang terjadi masih cukup efisien, ditunjukkan oleh marjin harga yang diterima petani cukup tinggi (67 persen), besarnya marjin pemasaran antara lembaga-lembaga pemasaran seimbang (12,49 - 20,88 persen), dan keuntungan dari lembaga pemasaran berkisar antara 10 – 20 persen.


(46)

Pambayun et al. (2007) melakukan ekstraksi produk gambir dengan berbagai jenis pelarut menghasilkan jumlah bahan terekstrak, kandungan fenol, dan sifat antibakteri yang bervariasi. Hasil ekstraksi menunjukkan bahwa pada metoda maserasi dan Soxhlet, bahan terekstrak paling tinggi diperoleh pada campuran etanol air 1:1, masing-masing sebesar 84,77 dan 87,69 persen. Kandungan fenol tertinggi ditemukan pada bahan terekstrak dari ekstraksi dengan pelarut etil asetat, yakni 88,30 dan 90,85 persen.

Dalam hal IKM dan klasternya, penelitian Kuncoro dan Supomo (2003) tentang pola klaster dan orientasi pasar di sentra industri keramik Kasongan, DI Yogyakarta, menunjukkan bahwa variabel aktifitas berpromosi, teknologi, jumlah tenaga kerja dan umur perusahaan sangat berpengaruh dalam menentukan orientasi pasar industri keramik Kasongan. Semakin aktif pengusaha berpromosi maka semakin besar probabilitasnya berorientasi pasar ke luar negeri. Semakin modern penerapan teknologi pembakaran keramik, semakin besar kemungkinan pengusaha untuk berorientasi pasar luar negeri. Semakin tua usia perusahaan, semakin tinggi pula probabilitas perusahaan untuk berorientasi ke luar negeri. Dari hasil formasi keterkaitan/pola sentra industri keramik Kasongan, maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya industri keramik di Kasongan menjalin kerjasama baik dengan pihak-pihak di dalam klaster maupun di luar klaster.

Heatubun (2008) mengkaji peranan usaha kecil dan menengah dalam pertumbuhan ekonomi dan ekspor, sedangkan Djaimi (2006) melakukan penelitian tentang peranan, perilaku dan kinerja industri kecil dan menengah dalam perekonomian Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Heatubun (2008) maupun Djaimi (2006) menggunakan metode statistika untuk mengevaluasi hubungan antar variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan ekspor Indonesia.

Oktavina (2008) melakukan rancang bangun model manajemen strategi evaluasi kinerja usaha mikro dan kecil makanan ringan di Provinsi Lampung. Untuk pengukuran kinerja usaha mikro dan kecil, Oktavina (2008) menggunakan Teknik Ordered Weighted Averaging (OWA) Operators dan Balanced Scorecard. Selanjutnya, untuk pemilihan alternatif dan pengembangan strategi peningkatan kinerja ia menggunakan Teknik Proses Hirarki Analitik Fuzzy


(47)

(Fuzzy Analitycal Hierarchy Process) serta Teknik Penyebaran Fungsi Kualitas (Quality Function Deployment).

Partiwi (2007) melakukan rancang bangun model pengukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut khususnya teri nasi untuk wilayah Jawa Timur. Dalam rancang bangun tersebut digunakan model pengukuran kinerja komprehensif menggunakan model Scoring Board dengan berbasis model SMART-2, OMAX dan Balanced Scorecard. Selanjutnya, Partiwi (2007) mengembangkan model pengukuran kinerja tersebut dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan (SPK) untuk manajemen kinerja pada sistem klaster agroindustri hasil laut

Kusnandar (2006) merancang model pengembangan industri kecil jamu dengan menggunakan Sistem Manajemen Ahli. Penelitian tersebut dilakukan di Kabupaten Sukoharjo yang melibatkan 56 industri kecil jamu yang terdaftar secara formal di samping industri kecil jamu lain yang tidak terdaftar secara formal. Dalam penelitian tersebut dilakukan kajian mengenai aspek pengadaan bahan baku, pemasaran, pembiayaan dan kelembagaan untuk pengembangan industri kecil jamu.

Yudoko dan Mulyati (2003) melakukan penelitian karakteristik industri penyamakan kulit di Kabupaten Garut menggunakan pendekatan klaster. Dalam penelitian ini, pelaku dalam klaster industri kulit terdiri dari industri penyamak kulit skala kecil, industri penyamak kulit skala menengah dan pemasok bahan-bahan kimia. Dari penelitian ini didapatkan bahwa keterkaitan industri penyamak kulit dengan sektor peternakan, lembaga penelitian, institusi pendidikan dan lembaga keuangan sangat lemah.

Tarigan (2008) melakukan penelitian pengembangan agroindustri sutra alam di Kabupaten Wajo melalui pendekatan klaster. Dalam klaster sutra alam tersebut, industri pertenunan merupakan industri inti yang bertujuan untuk meningkatkan pemasaran, meningkatkan kualitas, produktivitas dan efisiensi serta mengembangkan desain. Kendala yang dihadapi industri inti meliputi keterbatasan teknologi, rendahnya kualitas bahan baku serta keterbatasan modal usaha. Permasalahan tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu melalui


(48)

keterkaitan dengan lembaga keuangan serta peningkatan kemampuan sumberdaya manusia.

Purwaningsih dan Astuti (2005) melakukan penelitian tentang pengembangan agroindustri tempe skala kecil dan menengah dengan pendekatan klaster di Kota Malang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kerja sama antara industri inti dengan industri pendukung berlangsung baik, sedang kerja sama dengan industri terkait hanya bersifat insidental. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa peranan kedekatan lokasi belum termanfaatkan secara maksimal, baik dalam bentuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun bagi tumbuhnya industri baru. Kondisi tersebut sangat diperlukan bagi pengembangan industri kecil dan menengah.

Nazra (2002) melakukan penelitian tentang masalah kelembagaan lokal pada petani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Dari penelitian tersebut diketahui lemahnya posisi tewar petani, tidak adanya lembaga petani, serta kurangnya peran pemerintah dalam memfasilitasi tumbuhnya kelembagaan tersebut. Di sisi lain, perilaku konsumtif petani sering menyebabkan banyak petani terjerat sistem ijon yang semakin memperlemah posisi tawar mereka di hadapan pedagang pengumpul.

Orgianus (2004) melakukan rekayasa model bagi hasil dan bagi resiko pembiayaan usaha kecil dan menengah agroindustri berbasis kentang. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pola pembiayaan dengan sistem bagi hasil dan bagi resiko dapat membantu usaha kecil dan menengah agroindustri yang cukup adil bagi pelaku agroindustri yang merupakan usaha dengan resiko cukup tinggi.

Berbagai penelitian telah dilakukan oleh banyak peneliti mengenai gambir antara tahun 1990-an hingga 2008. Penelitian-penelitian tersebut dapat dikelompokkan ke dalam teknologi proses, mesin dan peralatan, budidaya, pengembangan produk, bisnis, pemasaran dan perdagangan, kajian finansial serta penelitian dan pengembangan (Lampiran 6). Beberapa penelitian mengenai gambir dapat disebutkan antara lain:

1. Hasman, E dan M. Surya (2006) melakukan perancangan alat untuk pengolahan gambir alat perebus bertekanan dan Abrar, H. et al. (2008)


(1)

JST dengan Dua Hidden Layer, Jumlah Node pada Hidden Layer 2 = 2

Run

Jumlah Node pada Hidden Layer 1

1 2 3 4

1 0.0708 0.0663 0.0822 0.0719 2 0.0758 0.0724 0.0753 0.0731 3 0.0689 0.0805 0.0658 0.0703 4 0.0694 0.0913 0.0705 0.0761 5 0.0679 0.0701 0.069 0.0619 6 0.0778 0.0761 0.0701 0.0739 7 0.0638 0.0694 0.0754 0.0586 8 0.0778 0.0541 0.0664 0.0713 9 0.0731 0.0653 0.0636 0.0686 10 0.0606 0.0684 0.0702 0.0692 Rata-rata 0.07059 0.07139 0.07085 0.06949

JST dengan Dua Hidden Layer, Jumlah Node pada Hidden Layer 2 = 3

Run

Jumlah Node pada Hidden Layer 1

1 2 3 4

1 0.0832 0.0816 0.0846 0.0814 2 0.0696 0.0743 0.0673 0.0746 3 0.0625 0.0605 0.0666 0.0737 4 0.0735 0.0682 0.064 0.0586 5 0.0697 0.0665 0.0673 0.0687 6 0.0766 0.0662 0.0749 0.0726 7 0.073 0.0721 0.0608 0.07 8 0.0738 0.0611 0.042 0.0664 9 0.0601 0.0582 0.0678 0.0596 10 0.0695 0.0654 0.0591 0.0693 Rata-rata 0.07115 0.06741 0.06544 0.06949


(2)

212

Lampiran 43. (lanjutan)

JST dengan Tiga Hidden Layer, Jumlah Node pada Hidden Layer 3= 1, Hidden Layer

2 = 1

Run

Layer 1

1 2 3 4 10

1 0.0783 0.0641 0.0833 0.0861 0.0761 2 0.0728 0.079 0.0774 0.0696 0.0626 3 0.067 0.071 0.0671 0.0661 0.0718 4 0.0728 0.0717 0.0697 0.0648 0.0679 5 0.0702 0.0707 0.07 0.0619 0.0586 6 0.0676 0.0659 0.0844 0.0661 0.0603 7 0.0708 0.0644 0.0709 0.0505 0.0532 8 0.0747 0.0714 0.0704 0.0469 0.0549 9 0.0795 0.0676 0.0777 0.0523 0.0546 10 0.0661 0.0654 0.0696 0.0471 0.0514 Rata-rata 0.07198 0.06912 0.07405 0.06114 0.06114


(3)

Tahun 0 1 2 3 4 5 6 Total Penerimaan - 813,365.91 828,715.25 836,991.93 841,538.57 844,094.32 845,561.25

Investasi 316,035.53 - - - - 85,480.33 -

Biaya Operasi - 237,382.35 241,862.08 244,277.64 245,604.59 246,350.49 246,778.62 Biaya Lainnya - 305,177.18 310,936.30 314,041.73 315,747.65 316,706.57 317,256.97 Laba Kotor (316,035.53) 270,806.38 275,916.87 278,672.55 280,186.33 189,184.31 281,525.67

Pengurangan - - - - - - -

Bagi hasil - 108,322.55 110,366.75 111,469.02 112,074.53 112,414.90 112,610.27 Penyusutan - 21,265.14 21,666.45 21,882.84 22,001.71 22,068.53 22,106.88 Laba Sebelum Pajak (316,035.53) 141,218.68 143,883.68 145,320.69 146,110.09 54,700.88 146,808.52

Pengurangan - - - -

PPh (15%) - 21,182.80 21,582.55 21,798.10 21,916.51 8,205.13 22,021.28 Laba Bersih (316,035.53) 120,035.88 122,301.12 123,522.59 124,193.58 46,495.75 124,787.24 Arus Kas Kumulatif (316,035.53) (207,197.66) (88,806.64) 33,829.01 158,206.35 205,182.57 330,326.40


(4)

214

Lampiran 44. (lanjutan)

Tahun 7 8 9 10

Total Penerimaan 846,404.80 846,858.16 847,052.33 847,044.90

Investasi - - - -

Biaya Operasi 247,024.81 247,157.12 247,213.79 247,211.62 Biaya Lainnya 317,573.47 317,743.57 317,816.42 317,813.64 Laba Kotor 281,806.52 281,957.47 282,022.11 282,019.64

Pengurangan - - - -

Bagi hasil 112,722.61 112,782.99 112,808.85 112,807.86 Penyusutan 22,128.93 22,140.79 22,145.86 22,145.67 Laba Sebelum Pajak 146,954.98 147,033.70 147,067.41 147,066.12

Pengurangan - - - -

PPh (15%) 22,043.25 22,055.05 22,060.11 22,059.92 Laba Bersih 124,911.73 124,978.64 125,007.30 125,006.20 Arus Kas Kumulatif 455,567.67 580,790.33 705,930.79 830,930.79

Payback Period 2.75 tahun

B/C Ratio 1.37

NPV $505,786.56


(5)

Tahun 0 1 2 3 4 5 6 Total Penerimaan - 813,365.91 828,715.25 836,991.93 841,538.57 844,094.32 845,561.25

Investasi 322,771.74 - - - - 76,519.31 -

Biaya Operasi - 338,773.36 345,166.48 348,613.78 350,507.49 351,571.98 352,182.97 Biaya Lainnya - 322,755.64 328,846.49 332,130.80 333,934.97 334,949.13 335,531.23 Laba Kotor (322,771.74) 151,836.91 154,702.28 156,247.35 157,096.11 81,053.90 157,847.05

Pengurangan - - - - - - -

Bagi hasil - 60,734.76 61,880.91 62,498.94 62,838.44 63,029.28 63,138.82 Penyusutan - 20,195.00 20,576.11 20,781.61 20,894.50 20,957.95 20,994.38 Laba Sebelum Pajak (322,771.74) 70,907.15 72,245.26 72,966.80 73,363.17 (2,933.34) 73,713.85

Pengurangan - - - -

PPh (15%) - 10,636.07 10,836.79 10,945.02 11,004.47 (440.00) 11,057.08 Laba Bersih (322,771.74) 60,271.07 61,408.47 62,021.78 62,358.69 (2,493.34) 62,656.77 Arus Kas Kumulatif (322,771.74) (273,937.36) (217,698.46) (157,850.92) (96,349.69) (99,135.64) (36,651.15)


(6)

216

Lampiran 45. (Lanjutan)

Tahun 7 8 9 10

Total Penerimaan 846,404.80 846,858.16 847,052.33 847,044.90

Investasi - - - -

Biaya Operasi 352,534.32 352,723.15 352,804.02 352,800.92 Biaya Lainnya 335,865.96 336,045.87 336,122.91 336,119.96 Laba Kotor 158,004.52 158,089.15 158,125.40 158,124.01

Pengurangan - - - -

Bagi hasil 63,201.81 63,235.66 63,250.16 63,249.60 Penyusutan 21,015.32 21,026.58 21,031.40 21,031.21 Laba Sebelum Pajak 73,787.39 73,826.91 73,843.84 73,843.19

Pengurangan - - - -

PPh (15%) 11,068.11 11,074.04 11,076.58 11,076.48 Laba Bersih 62,719.28 62,752.88 62,767.26 62,766.71 Arus Kas Kumulatif 26,031.56 88,798.38 151,586.01 214,351.39

Payback Period 6.58 tahun B/C Ratio 1.14

NPV $80,944.68