Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan Dan Pemasaran Gambir Di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat

(1)

PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGOLAHAN DAN

PEMASARAN GAMBIR DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUMATERA BARAT

AMELIRA HARIS NASUTION

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015 Amelira Haris Nasution NIM H351130051


(4)

RINGKASAN

AMELIRA HARIS NASUTION. Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat. Dibimbing oleh RATNA WINANDI ASMARANTAKA dan LUKMAN M BAGA.

Gambir adalah salah satu komoditas perkebunan rakyat yang menjadi komoditas ekspor Indonesia dan diperdagangkan dalam bentuk getah. Sumatera Barat merupakan sentra gambir terbesar di Indonesia dengan Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai penghasil gambir terbesar (69.75%). Beberapa kajian menggambarkan bahwa pemasaran gambir tidak efisien akibat tertutupnya informasi harga serta dominasi pedagang perantara akibat ketergantungan petani dalam hal modal untuk pengolahan gambir, sehingga mengakibatkan rendahnya posisi tawar petani. Untuk meningkatkan posisi tawar petani diperlukannya pendirian kelembagaan ataupun penguatan kelembagaan yang telah ada. Oleh karena itu, perlu dianalisis peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir agar dapat meningkatkan bargaining power petani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis efisiensi operasional dan efisiensi harga dalam pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, 2) Menganalisis peran kelembagaan (tingkat petani dan pemasaran) dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan 3) Merumuskan alternatif kebijakan dari implikasi analisis efisiensi pemasaran dan peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Eviews 7.

Kelembagaan pemasaran yang bergerak dalam pengolahan dan pemasaran gambir adalah pedagang perantara yang terdiri dari: penyalur, pedagang pengumpul, pedagang besar dan eksportir. Analisis fungsi pemasaran menunjukkan bahwa pada bidang pemasaran, peran kelembagaan pemasaran relatif lebih dominan dibandingkan peran kelembagaan tingkat petani sehingga petani cenderung berada pada posisi tawar yang lemah. Meskipun 33.33% petani menunjukkan kerjasama dengan kelembagaan pemasaran. Namun kerjasama yang terbentuk adalah kerjasama yang menguntungkan pedagang tetapi kurang menguntungkan petani akibat posisi petani menjadi supplier pedagang dengan ketentuan harga yang cenderung tidak bersaing dan hasil produksi gambir yang harus disesuaikan dengan permintaan pedagang perantara. Disisi lain, petani juga memiliki ketergantungan modal pengolahan kepada pedagang perantara, sehingga pedagang perantara memiliki kekuatan untuk penentuan hasil produksi gambir dalam kegiatan pengolahan gambir.

Berdasarkan analisis identifikasi struktur pasar ditemukan bahwa pasar gambir mengarah kepada monopsoni dari sisi pembeli, dengan adanya hambatan untuk keluar masuk pasar gambir. Hal ini diperburuk dengan kondisi kelembagaan tingkat petani yang belum mampu berperan dalam pemasaran gambir. akibatnya dalam pemasaran gambir petani memilih untuk memasarkan gambir melalui saluran yang relatif tidak efisien (54.84% di Kecamatan Kapur IX dan 77.14% di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau) dengan total margin pemasaran


(5)

gambir yang relatif tinggi dan share harga yang relatif rendah (total margin pemasaran = Rp 13 667.22 dan Rp 11 552.06; farmer’s share = 58.01% dan 69.06%). Analisis integrasi pasar vertikal menunjukkan bahwa tidak terintegrasinya antara pasar acuan dan pasar lokal yang disebabkan oleh tidak tertrasmisikannya informasi harga gambir dari pasar acuan ke pasar lokal, sehingga perubahan harga gambir pada pasar acuan tidak mempengaruhi pasar lokal. Hal ini ditunjukkan oleh nilai IMC yang lebih dari 1 dan nilai b2 yang tidak mendekati 1. Dalam jangka panjang harga gambir ditingkat pedagang besar, memiliki korelasi dengan harga gambir ditingkat eksportir namun informasi harga tidak tertransmisi, sehingga kecenderungan adanya kolusi pada jangka panjang semakin besar. Hal ini diperkuat dengan struktur pasar yang monopsoni dan posisi pedagang pungumpul dan pedagang besar sebagai kaki tangan lembaga pemasaran diatasnya (eksportir). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya market power yang dimiliki kelembagaan pemasaran (dalam hal ini pedagang perantara) dalam pemasaran gambir melalui pembuatan jaringan pemasaran yang kuat. Pada akhirnya, kondisi ini menyebabkan petani tidak memiliki akses dan kesempatan untuk menjual gambir kepada pihak-pihak yang dianggap lebih menguntungkan. Oleh karena itu, untuk menanggulangi hal ini sangat dibutuhkan penguatan dan pembentukan kelembagaan yang berpihak pada petani gambir seperti asosiasi, koperasi ataupun kelompok tani.

Hasil penelitian yang menunjukkan belum adanya peran kelembagaan tingkat petani dalam meningatkan bargaining power petani, sehingga menyebabkan peran kelembagaan pemasaran lebih dominan dalam pengolahan dan pemasaran gambir. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dengan memperkuat intelegen pasar gambir melalui perbaikan pusat informasi harga dan ekspor gambir serta melakukan kegiatan promosi untuk mendapatkan pasar baru. Alternatif kebijakan pada kelembagaan tingkat petani dapat dilakukan melalui perbaikan akses permodalan serta mengimbangkan peran anak kampo dan petani melalui upaya peningkatan kemampuan petani dalam pengolahan gambir dengan sistem kerjasama yang saling menguntungkan.


(6)

SUMMARY

AMELIRA HARIS NASUTION. The Role of Institution in Gambier Processing and Marketing in Lima Puluh Kota Regency West Sumatera Province. Supervised by RATNA WINANDI ASMARANTAKA and LUKMAN M BAGA.

Gambier is one of the civil plantation commodity which became an Indonesian export commodity and was traded in latex form. West Sumatera is the center of gambier supplier in Indonesia which is the biggest producer of gambier (69.75%) is Lima Puluh Kota Regency. Several studies illustrated that marketing system of gambier is not efficient because of price information intransparency and domination of merchand middlement because of farmers dependency in capital matter for gambier proccesing, so that the farmers have weak bargaining position. To improve the bargaining position of farmers, establish institution or strengthen some existing institutions was needed. So that, the role of institution in gambier processing and marketing was needed to be analyzed in order to improve the bargaining power of gambier farmers in Lima Puluh Kota Regency

This study aims to: 1) analyze the operational efficiency and price efficiency of gambier marketing in Lima Puluh Kota Regency, 2) analyze the institution role (farmers level and marketing level) in gambier processing and marketing in Lima Puluh Kota Regency, 3) formulate an alternative policy from marketing efficiency and institutional role analysis implication in gambier processing and marketing in Lima Puluh Kota Regency. The analysis method was used descriptive qualitative and quantitative analysis. Quantitative data processing was using Microsoft Excel 2007 and Eviews 7.

Marketing institutions which have role in gambier processing and marketing consist of :distributor, traders, wholesalers and expoter. Marketing function analysis showed that in the marketing field, the role of marketing institutions was more dominant relatively than the role of farmers organization, so the farmers tend to be in the weak bargaining position. Although 33.33% of farmers was proven that they cooperated with middlemen. But cooperation which was formed was advantageous cooperation for trader but less profitable for farmers due to the position of farmers is as suppliers of traders with conditions that price tend to be uncompetitive and gambier production must be adapted to middlemen demand. In other side, farmers also had capital dependency on middlemen, so that the middlement had the power to determine the production of gambier in gambier processing.

Based on the identification of market structure analysis it was found that the gambier market leaded to monopsony from buyers side, the existence of barriers to market entry exit gambier. This is exacerbated by conditions of farmers institutions which has not been able tobe a part in gambier marketing. So that in marketing of gambier farmers were forced to choose selling gambier through the channel which was inefficient relatively (54.84% in District IX Kapur and 77.14% in the district and sub-district Mungka Harau) with high gambier marketing margin total is high and low share price (total marketing margin = Rp 13 667.22 and Rp 11 552.06; farmer‟s share = 58.01% and 69.06%). Analysis of vertical market integration showed that the integration between the reference market and


(7)

the local market caused by gambier price information was not transmitted correctly from the reference market to the local market, so changes in gambier price in reference market was not influence local market. This is indicated by the value of IMC is more than 1 and the value b2 is not close to 1. In the long term gambier price level in wholesalers level, had a correlation with the price level gambir exporters but pricing information did not transmited. So the tendency of collusion in the greater long-term, and this was confirmed by an monopsony market structure and the traders and wholesalers position as a pander of previous marketing channel (exporters). It showed that the high market power which was had by middlemen in the marketing system through the creation of strong marketing network. In the end, this condition caused the farmers did not have access and opportunity to sell gambier to parties which are considered more profitable. Therefore, to solve it, strengthening and formating an institution which was proin gambier farmers such as associations, cooperation or farmer groups.

The results of studies show that there was not institution‟s role in farmer level in increasing bargaining power of farmers, causing marketing institution‟s role was more dominant in the gambier processing and marketing system. Alternative government policies that can be done by goverment is strengthening the gambier market intelligence through gambier pricing and export information center improvement and conduct promotion activities to gain new market. An alternative policy at the farm level is improving access to capital and balancing the role kampo children and farmers through improving the ability of farmers in gambier processing with a system of mutually beneficial cooperation.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

(10)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGOLAHAN DAN

PEMASARAN GAMBIR DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUMATERA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(11)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :Dr Ir Harianto, MS


(12)

Judul Tesis : Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan dan Pemasaran Gambir Di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat

Nama : Amelira Haris Nasution NIM : H351130051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS Ketua

Dr Ir Lukman M Baga, M.AEc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(13)

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan dan Pemasaran Gambir Di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS dan Dr Ir Lukman M Baga, MAEc selaku Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Di samping itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen evaluator kolokium proposal penelitian dan selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis serta Dr Ir Harianto, MS selaku dosen penguji luar komisi pada ujian sidang tesis.

2. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, MAdev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis.

3. Ucapan terimakasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Calon Dosen kepada penulis.

4. Petani Gambir, Pedagang Gambir, Asosiasi Petani Gambir Indonesia (APEGI), Klaster Harau, Kelompok Tani Gambir serta instansi terkait di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat yang telah bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini.

5. Teman-teman seperjuangan Angkatan IV pada Program Studi Agribisnis atas diskusi, masukan, dan bantuan selama mengikuti pendidikan.

6. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Abdul Haris Nasution dan (Almh) Masfelida yang telah memberikan doa dan dukungan, serta terima kasih untuk kedua adik penulis Merlita Haris Nasution, A.Md dan Mela Haris Nasution.

7. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada Primananda Rahman, SPd.I yang telah memberikan dukungan penuh dan memberikan motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan.

Bogor, Agustus 2015 Amelira Haris Nasution


(15)

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Sekilas Tentang Tanaman Gambir 9

Pengembangan Gambir di Sumatera Barat 10

Sistem Pemasaran dan Kelembagaan Pemasaran Gambir 11

Penelitian Terdahulu Tentang Peranan Kelembagaan 13

Penelitian Terdahulu Tentang Pemasaran 14

3 KERANGKA PEMIKIRAN 15 Kerangka Pemikiran Konseptual 15

Kerangka Pemikiran Operasional 24

4 METODE PENELITIAN 26 Lokasi dan Waktu Penelitian 26 Jenis dan Sumber Data 26

Metode Pengambilan Contoh 26

Metode Pengumpulan Data 27

Metode Pengolahan dan Analisis Data 27

Definisi Operasional 32

5 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN GAMBIR DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA 32

Kondisi Topografi 32

Kondisi Infrastruktur dan Akses Modal 33

Aktivitas Usahatani dan Pengolahan dalam Pemasaran Gambir 35 Pasar dan Pemasaran 44

Karakteristik Responden di Kabupaten Lima Puluh Kota 45 Kelembagaan Tingkat Petani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 51

6 ANALISIS PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGOLAHAN DAN PEMASARAN GAMBIR DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA 56

Identifikasi Struktur Pasar Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 56

Analisis Lembaga dan Fungsi Pemasaran Serta Saluran Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 59

Mekanisme Pembentukan Harga 74

Sistem Pembayaran 75

Margin Pemasaran dan Farmer's Share 76

Analisis Efisiensi Operasional Dalam Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 85


(17)

Peran Kelembagaan Pemasaran dalam Pengolahan dan Pemasaran

Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 89 Peran kelembagaan Tingkat Petani Dalam Pengolahan dan

Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 93 Implikasi Analisis Efisiensi Pemasaran dan Peran Kelembagaan

Dalam Pengolahan dan Pemasaran Gambir 94

7 SIMPULAN DAN SARAN 100

Simpulan 100

Saran 101

DAFTAR PUSTAKA 101

LAMPIRAN 106

RIWAYAT HIDUP 123

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan ekspor gambir Indonesia ke berbagai negara tujuan

ekspor 2

2 Luas lahan dan produksi gambir di Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan pada tahun 2011 3 3 Daerah penghasil, luas lahan, dan produksi gambir di Provinsi Sumatera

Barat tahun 2013 3

4 Struktur pasar pada pangan dan serat 23

5 Perbandingan struktur pasar 24

6 Fungsi-fungsi pemasaran 28

7 Syarat suatu pasar terintegrasi atau tidak 31

8 Panjang jalan menurut status pemerintahan yang berwenang berdasarkan jenis permukaan di Kabupaten Lima

Puluh Kota 34

9 Sebaran jumlah dan persentase petani gambir berdasarkan frekuensi

panen 39

10 Standar mutu gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 43 11 Lokasi penelitian dan jumlah gambir yang menjadi responden di

Kabupaten Lima Puluh Kota 46

12 Sebaran jumlah dan persentase petani berdasarkan karakteristik di

Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2014 47 13 Jumlah kelompok tani gambir di masing-masing kecamatan dan nagari 54 14 Perbandingan jumlah partisipan pasar gambir di Kabupaten Lima

Puluh Kota serta volume gambir tahun 2014 57 15 Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan pada tingkat penyalur 62 16 Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan pada tingkat pedagang

pengumpul 64

17 Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan pada tingkat pedagang besar 66 18 Perusahaan eksportir gambir di Sumatera Barat 67 19 Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan pada tingkat eksportir 68 20 Aktivitas perdagangan gambir yang dilakukan lembaga pemasaran 71


(18)

21 Aktivitas perdagangan gambir yang dilakukan lembaga pemasaran 74 22 Sumber informasi dan proses penentuan harga gambir pada

setiap lembaga pemasaran di Kabupaten Lima Puluh Kota 75 23 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 1 di

KecamatanKapur IX 77

24 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 2

di Kecamatan Kapur IX 78

25 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 3

di Kecamatan Kapur IX 79

26 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 4 di

Kecamatan Kapur IX 80

27 Farmer’s sharesetiap saluran pemasaran di Kecamatan Kapur IX 80 28 Sebaran total biaya pemasaran, total keuntungan dan total margin

pada masing-masing saluran di Kecamatan Kapur IX 81 29 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 1 di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau 82 30 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 2 di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau 83 31 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 3 di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau 83 32 Farmer’s sharepada setiap saluran pemasaran di Kecamatan

Mungka dan Kecamatan Harau 84 33 Sebaran total biaya pemasaran, total keuntungan dan total margin

pada masing-masing saluran di Kecamatan Mungka dan Kecamatan

Harau 85

34 Indeks integrasi jangka pendek pada pasar gambir 87 35 Indeks integrasi jangka panjang pada pasar gambir 88

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan ekspor gambir Indonesia untuk dunia 1 2 Perbandingan volume ekspor gambir Indonesia pada tahun 2013 dengan

berbagai negara tujuan ekspor di dunia 2

3 Countervaling power 4

4 Penentuan harga dan keuntungan maksimal pada pasar persaingan

sempurna 21

5 Penentuan harga dan keuntungan maksimal pada pasar monopoli 22

6 Kerangka pemikiran operasional 25

7 Panjang jalan menurut kondisi permukaan di Kabupaten Lima Puluh


(19)

8 Tanaman gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 36 9 Bentuk daun berdasarkan jenis varietas Tanaman Gambir 37 10 Benih tanaman gambir yang berasal dari bunga gambir yang sudah

dikeringkan di Kabupaten Lima Puluh Kota 37

11 Pola tanam tumpangsari pada budidaya gambir di Kabupaten Lima

Puluh Kota 38

12 Proses pengolahan gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 41 13 Pengujian sederhana komponen yang terkandung dalam gambir 42 14 Jenis gambir hasil pengempaan di Kabupaten Lima Puluh Kota 43 15 Kegiatan transaksi perdagangan pasar gambir di Kecamatan Kapur IX 69 16 Saluran pemasaran di Kecamatan Kapur IX 70 17 Saluran pemasaran di Kecamatan Mungka dan Harau 72 18 Implikasi peran kelembagaan dalam sistem pemasaran gambir 96

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perkembangan ekspor gambir Indonesia untuk dunia 106 2 Luas lahan dan produksi gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 107

3 Pohon industri gambir 108

4 Matriks pendekatan studi 109

5 Peta sebaran penghasil gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 110 6 Nama Ibu Kota Kecamatan, Jumlah Nagari, Jorong Menurut Kecamatan 111 7 Kelompok tani penerima fasilitas dan alat pengolahan gambir serta

rumah kempa di Kabupaten Lima Puluh Kota 112

8 Data penjualan gambir di tingkat petani 113 9 Analisis margin pemasaran di Kecamatan Kapur IX 115 10 Analisis margin pemasaran di Kecamatan Mungka dan Kecamatan

Harau 116

11 Hasil output analisis integrasi pasar vertikal 117 12 Analisis usahatani pada berbagai tingkat harga/ha/tahun 121 13 Analisis usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 122


(20)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gambir adalah salah satu komoditas perkebunan rakyat yang menjadi komoditas ekspor Indonesia dan diperdagangkan dalam bentuk getah yang diperoleh dari pengempaan daun dan ranting yang telah disedimentasi, dicetak, dan dikeringkan dari tanaman Uncaria gambier (Hunt.) Roxb. Ekstrak dari tanaman perdu ini mengandung katekin dan tanin yang termasuk dalam golongan falvanoid dan bersifat antioksidan dan antibakteri sehingga berguna sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, penyamakan kulit, pewarna, dan industri makanan. Dari pemanfaatan ekstrak gambir inilah yang menempatkan gambir sebagai komoditas yang memiliki prospek pengembangan yang besar dalam pemanfaatan nilai ekonomi dari daun gambir sekaligus sebagai salah satu komoditas penghasil devisa negara dan sebagai sumber mata pencarian petani.

Indonesia menempati posisi yang sangat penting sebagai produsen gambir

terbesar di dunia dengan memasok 80% kebutuhan gambir dunia (Sa‟id et al. 2009; Adi 2011; BAPPENAS dan GIZ 2013). Keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia berupa kecocokan iklim dan topografi yang sesuai dengan budidaya gambir memberikan efek positif terhadap produksi gambir asal Indonesia sehingga Indonesia dapat mengekspor gambir setiap tahunnya dan menjadi pemasok utama gambir dunia.

Berdasarkan data Trade Map tahun 2014 dengan HS 320190100 Gambier dan 3201901000 Gambier, trend perkembangan ekspor gambir cenderung meningkat (Gambar 1). Akan tetapi pada tahun 2011, terlihat adanya penurunan yang signifikan terhadap volume ekspor gambir Indonesia yang semula 21 090.36 (2010) menjadi 13 338.34 (2011) (Lampiran 1) dan hal ini diduga akibat pertumbuhan jumlah produksi gambir yang relatif kecil yaitu 3.01% dan besarnya kehilangan hasil (ekstrak gambir) dalam pengolahan gambir yang dilakukan petani gambir secara tradisional (BAPPENAS dan GIZ 2013) serta penurunan permintaan pasar terhadap gambir asal Indonesia akibat mutu gambir yang rendah (Evalia et al. 2012). Namun penurunan volume ekspor gambir ini tidak bertahan lama dan dalam dua tahun terakhir perkembangan volume ekspor gambir Indonesia mulai merangkak naik kembali, meskipun belum mencapai volume ekspor tertinggi seperti yang terjadi pada tahun 2010.

Sumber: Trade Map (2014)

Gambar 1 Perkembangan ekspor gambir Indonesia untuk dunia -5.000 10.000 15.000 20.000 25.000

2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013

Ku a n ti ta s (To n ) Tahun -20.000 40.000 60.000

2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013

N il a i (R ib u U S $ ) Tahun


(21)

2

Terdapat 17 negara tujuan ekspor gambir asal Indonesia yaitu India, Pakistan, Bangladesh, Singapura, Jepang, Malaysia, Vietnam, Korea Selatan, Nepal, Turki, Srilanka, China, Saudi Arabia, Taipe, Uni Emirat Arab, Thailand, dan Amerika Serikat. Diantara 17 negara tersebut, terdapat 4 negara tujuan utama ekspor gambir Indonesia yang mengimpor gambir asal Indonesia dengan kuantitas lebih dari 100 ton setiap tahunnya. Negara pengimpor terbesar tersebut adalah negara India, Pakistan, Bangladesh dan Singapura (Gambar 2) dengan jumlah permintaan yang cenderung relatif stabil setiap tahunnya (Tabel 1).

Sumber: Trade Map (2014)

Gambar 2 Perbandingan volume ekspor gambir Indonesia pada tahun 2013 dengan berbagai negara tujuan ekspor di dunia

Diantara keempat negara pengimpor terbesar gambir asal Indonesia, negara India menduduki peringkat pertama. Bahkan untuk tahun 2013, ekspor gambir asal Indonesia untuk India mencapai 14 113.7 ton (Tabel 1). Kebutuhan gambir sebagai bahan baku utama dalam upacara-upacara adat serta sebagai bahan makanan (bahan menyirih), permen serta penjernih dalam industri air, membuat India selalu menempati posisi pertama dalam pengimpor gambir asal Indonesia. Tabel 1 Perkembangan ekspor gambir Indonesia ke berbagai negara tujuan ekspor

Negara Importir

Kuantitas/Tahun (Ton/Tahun) dan Persentase

2010 2011 2012 2013

Kuantitas % Kuantitas % Kuantitas % Kuantitas %

India 19 267.7 91.4 12 029.3 90.2 14 312.8 91.3 14 113.7 90.1

Pakistan 612.2 2.9 584.7 4.4 720.8 4.6 858.8 5.5

Bangladesh 231.2 1.1 245.0 1.8 264.0 1.7 330.0 2.1

Singapore 289.2 1.4 150.9 1.1 123.0 0.8 147.2 0.9

Lain-Lain 690.3 3.3 328.4 2.5 263.2 1.7 221.3 1.4

Total 21 090.4 100 13 338.3 100 15 683.7 100 15 671.1 100

Sumber: Trade Map (2014)

Indonesia memiliki empat provinsi di Sumatera yang menjadi produsen gambir nasional. Keempat provinsi tersebut adalah Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. Berdasarkan data BPS masing-masing provinsi tahun 2011, diantara keempat provinsi tersebut Sumatera Barat

India (90.1%) Pakistan

(5.5%)

Bangladesh (2.1%)

Singapore (0.9%)

lain-lain (1.4%)


(22)

3 merupakan sentra gambir terbesar (Tabel 2) dan mampu memasok 80% hingga 90% dari total produksi gambir nasional sehingga Sumatera Barat disebut barometer gambir nasional (Ermiati 2004;Sa‟id et al. 2009; Sa‟id 2010).

Tabel 2 Luas lahan dan produksi gambir di Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan pada tahun 2011

Provinsi Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton)

Sumatera Barata 21 404 14 025

Sumatera Utarab 1 887.66 1 888.72

Riauc 4 928 4 312

Sumatera Selatand 564 193

Sumber : aBPS (2014a); bBPS (2011); cBPS (2013); dBPS (2012)

Provinsi Sumatera Barat memiliki 2 daerah penghasil terbesar gambir yaitu Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan. Untuk produksi gambir terbesar berada di Kabupaten Lima Puluh Kota yang memasok 69.75% dari total produksi gambir Sumatera Barat tahun 2013 (Tabel 3).

Tabel 3 Daerah penghasil, luas lahan, dan produksi gambir di Provinsi Sumatera Barat tahun 2013

Kabupaten/ Kota Luas Lahan Gambir (Ha) Produksi (Ton)

Kabupaten

Pesisir Selatan 5 602 3 490

Sijunjung 231 54

Padang Pariaman 218 108

Agam 1 046 214

Lima Puluh Kota 15 474 10 310

Pasaman 669 445

Pasaman Barat 192 102

Kota

Padang 96 55

Sawahlunto 10 4

Jumlah 23 537 14 782

Sumber: BPS (2014a)

Posisi Indonesia sebagai produsen gambir terbesar di dunia memberikan harapan bagi Indonesia agar mampu meningkatkan kesejahteraan petani gambir melalui peningkatan pendapatan petani gambir karena gambir menjadi sumber mata pencarian 32 418 kepala keluarga petani. Kepemilikan keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia dalam hal produksi gambir, memberikan keleluasaan Indonesia untuk meraih peluang sebagai negara pemegang kendali terbesar dalam pemasaran gambir (pelaku monopoli gambir). Akan tetapi, harapan tersebut ternyata tidak ditemukan dalam realitanya. Adanya paradoks posisi gambir Indonesia yang mendunia, justru tidak dinikmati oleh petani gambir Indonesia sebagai produsen utama gambir. Hal ini diduga diakibatkan oleh posisi India sebagai pengimpor terbesar yang menyebabkan terbukanya peluang India sebagai konsumen utama dari produk gambir Indonesia. Akibatnya pasar gambir Indonesia bisa mengarah pada pasar monopsoni, dimana India memiliki posisi


(23)

4

sebagai pembeli tunggal dengan konsekuensi kuatnya posisi India sebagai negara konsumen gambir dalam mempengaruhi harga. Hal ini diperkuat oleh Dhalimi (2006) yang menyebutkan bahwa pasar gambir besifat monopsoni.

Kondisi diatas dalam Ekonomi Managerial disebut sebagai Monopoli Bilateral (Arsyad 2008) atau Countervaling Power (Wilkinson 2005). Monopoli bilateral terjadi jika ada pembeli yang bersifat monopolis dan penjual yang bersifat monopolis pula. Arsyad (2008) menyebutkan harga dan kuantitas yang terjadi tidak dapat ditentukan dengan teori ekonomi. Penyelesaiannya akan bergantung dengan perbandingan kekuatan tawar menawar dan strategi antar pembeli tersebut. Wilkinson (2008) menyebutkan bahwa countervalling power mengacu pada situasi di mana keberadaan kekuatan monopoli di satu sisi pasar dapat menyebabkan penangkalan atau peniadaan kekuatan monopoli di sisi lain dari pasar. Kedua monopolis dalam kondisi tersebut menyadari pengaruh tindakan mereka terhadap harga dan output. Monopoli merupakan sisi penjual, dimana penjual akan melihat pada demand, sedangkan monopsoni berada pada sisi pembeli yang akan melihat supply. Pada pasar monopoli, kuantitas yang dihasilkan berada pada Qs, dimana terdapat perpotongan MC dengan MR, sehingga ketika ditarik keatas (kearah D) akan terbentuk harga di Ps. Disisi lain, monopsoni akan membeli barang di Qb dengan harga di Pb. Jika lebih kuat monopolis maka transaksi akan ada di Ps dan Qs, akan tetapi bila lebih kuat monopsonis maka akan berada di Pb dan Qb (Gambar 3).

Pb D

MR Qs

Ps

S MC

Qb

P*

Q P (Rp/Unit)

Harga

Kuantitas

Gambar 3 Countervaling power

Untuk menyeimbangkan kedua posisi tersebut maka diharapkan agar harga yang yang diterima monopolis dari sisi penjual dan monopolis dari sisi pembeli mengikuti harga pada pasar persaingan sempurna yang berada pada titik pertemuan antara supply dan demand (P*). Akan tetapi dalam pemasaran gambir, untuk berada pada struktur pasar persaingan sempurna ditemui beberapa kendala. Salah satunya diduga disebabkan oleh lemahnya sisi kelembagaan gambir, pengolahan dan pemasaran gambir (Adi 2011; Elida2011).

Lemahnya sisi pengolahan gambir dapat dilihat dari sistem pengolahan yang masih tradisional dengan hasil produksi gambir asalan yang beragam, sedangkan


(24)

5 lemahnya sisi pemasaran gambir diduga disebabkan oleh tidak efisiennya sistem pemasaran gambir. Hal ini dapat dilihat pada pemasaran gambir yang berhadapan dengan situasi pasar monopoli pada sisi penjual dan situasi pasar monopsoni pada sisi pembeli, sehingga menimbulkan ketidakefisienan sistem pemasaran gambir. Padahal secara normatif struktur pasar yang relatif efisien berada struktur pasar persaingan sempurna. Disisi lain, kuatnya dominasi pedagang dan eksportir dalam menentukan harga gambir yang menyebabkan petani cenderung menjadi price taker serta menimbulkan ketidakpuasan petani sebagai produsen gambir yang memiliki bargaining power yang lemah. Akibatnya pemasaran gambir dianggap tidak efisien bila ukuran efisiensi diartikan sebagai kepuasan dari konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan barang atau jasa dari petani sampai konsumen akhir.

Ketidakpuasan petani yang seharusnya mampu diakomodasi oleh kelembagaan melalui pembentukan kelompok seperti koperasi dan asosiasi diduga juga belum mampu mentransformasi fungsi dan menjalankan perannya untuk meningkatkan bargaining power petani dalam pengolahan dan pemasaran gambir. Keberadaan kelembagaan yang seharusnya mampu mengarahkan pasar gambir pada pasar persaingan sempurna agar efisien dan mampu mengakomodasi kebutuhan petani gambir tidak dirasakan oleh petani. Meskipun Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan penentuan harga secara kolektif atau kelompok (collective bargaining approaches to pricing) dalam mechanisms of price discovery dapat meningkatkan bargaining power petani, namun peran kelembagaan pemasaran (pedagang perantara) diduga masih memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan kelembagaan tingkat petani (kelembagaan dalam artian organisasi ditingkat petani maupun kelembagaan sebagai aturan main yang berkaitan dengan perilaku).Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui peran dari kelembagaan pemasaran dan kelembagaan pada tingkat petani dalam pengembangan gambir khususnya pada pengolahan dan pemasaran gambir, agar perbaikan kelembagaan dapat meningkatkan bargaining power petani gambir.

Perumusan Masalah

Sumatera Barat telah mengukuhkan gambir sebagai komoditi unggulan daerah semenjak tahun 2008. Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai bagian dari Sumatera Barat memiliki kontribusi yang cukup besar sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus sebagai sumber mata pencarian 32 418 keluarga petani karena keberadaannya sebagai sentra gambir terbesar. Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki 9 kecamatan penghasil gambir dari 13 kecamatan yang menjadi wilayah administrasinya. Masing-masing kecamatan memiliki luas areal penanaman dan produksi gambir yang beragam. Berdasarkan data statistik perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2013 diketahui bahwa terdapat 3 sentra utama penghasil gambir, yaitu Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Pangkalan, dan Kecamatan Bukit Barisan dengan produksi masing-masing kecamatan sebesar 3 636.40 ton, 2 250.50 ton dan 1 147.40 ton (Lampiran 2). Dari ketiga kecamatan tersebut, Kecamatan Kapur IX merupakan kecamatan yang letak geografisnya paling jauh dari pusat pemerintahan, namun memiliki luas


(25)

6

lahan dan produksi gambir yang paling besar di Kabupaten Lima Puluh Kota serta memiliki pasar gambir.

Untuk mendukung posisinya sebagai penghasil gambir terbesar di Sumatera Barat, Kabupaten Lima Puluh Kota telah membuat kebijakan yang menetapkan gambir sebagai leading sector economic development dalam rangka pengembangan sumberdaya ekonomi lokal atau Local Economic Resources Development (LERD). Konsep LERD ini merupakan kebijakan yang mengakomodasi penumbuhan wilayah lokal secara sosial ekonomi dengan lebih mandiri berdasarkan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, geografis, kelembagaan, kewirausahaan dan sebagainya. Penetapan komoditas gambir sebagai leading sector economic development didasari oleh posisi gambir sebagai salah satu komoditas yang unik di Kabupaten Lima Puluh Kota, bahkan juga di Indonesia. Keunikan ini disebabkan tanaman gambir relatif berkembang dan banyak diusahakan di Kabupaten Lima Puluh Kota, sementara itu tidak banyak dan bahkan sama sekali tidak dikembangkan di daerah lainnya (BAPPEDA 2013)

Posisi leading sector economic development diharapkan berdampak positif terhadap pengembangan gambir melalui peningkatan pendapatan petani sebagai produsen gambir. Akan tetapi dengan posisi Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai penghasil gambir terbesar di Sumatera Barat, diduga belum mampu meningkatkan pendapatan petani gambir. Menurut Ermiati (2004), meskipun usahatani gambir menguntungkan akan tetapi belum tentu dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani bila dilihat dari analisis kelayakan usahatani gambir. Hal ini diduga disebabkan oleh lemahnya posisi tawar petani gambir akibat tertutupnya informasi harga gambir, sehingga memposisikan petani gambir hanya sebagai price taker. Disisi lain, pengembangan gambir juga dihadapkan pada berbagai permasalahan seperti aspek pengolahan, pemasaran dan kelembagaan.

Beberapa kajian menggambarkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pengolahan dan pemasaran gambir, sehingga menyebabkan tidak efisiennya pemasaran gambir (Dhalimi 2006; Afrizal 2009; Asben 2008 dalam Evalia et al. 2012; Sa‟id et al. 2009) . Tertutupnya informasi harga, posisi petani gambir yang terpaksa menjual gambir karena terjerat hutang pada pedagang, serta dominasi pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan tangan dari para eksportir gambir mengakibatkan rendahnya posisi tawar petani (Dhalimi 2006; Afrizal 2009). Wewenang eksportir dalam penetapan harga domestik gambir yang cenderung mempertimbangkan kuota permintaan negara tujuan ekspor dibandingkan harga gambir internasional (Dhalimi 2006;

Sa‟id et al. 2009; Afrizal 2009; Elida 2011; BAPPENAS dan GIZ 2013) turut memperkuat dugaan yang menyatakan pasar gambir tidak efisien, terlebih lagi dengan beragamnya kualitas dan mutu produk gambir yang dihasilkan petani akibat permasalahan dalam pengolahan gambir, juga turut berkontribusi terhadap sistem penetapan harga yang dilakukan pedagang. Bahkan turun tangannya importir yang berasal dari India secara langsung untuk menetapkan harga gambir (Adi 2011) diduga juga menjadi permasalahan lainnya yang menyebabkan tidak efisiennya sistem pemasaran gambir.

Posisi petani yang selalu menjadi price taker dan tidak memiliki bargaining power tentu saja memberikan efek ketidakpuasan petani terhadap harga yang diterimanya. Untuk meningkatkan bargaining power petani, penentuan harga secara kolektif atau kelompok (collective bargaining approaches to pricing)


(26)

7 dalam mechanisms of price discovery menurut Kohls dan Uhl (2002) dapat dilakukan melalui wadah koperasi dan asosiasi-asosiasi. Diharapkan dengan adanya koperasi dan asosiasi, maka dominasi dari pedagang dalam menetapkan harga gambir yang mampu menekan petani dapat dihindari. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pokhrel and Thapa (2006) yang menyatakan bahwa diperlukannya pendirian kelembagaan ataupun penguatan kelembagaan yang telah ada untuk mengatasi lemahnya posisi tawar petani.

Dalam pendekatan kelembagaan pada pemasaran, kelembagaan pemasaran terdiri dari pedagang perantara, agen perantara, spekulator, pengolah pabrikan, dan organisasi. Dari lima kelembagaan tersebut, diduga adanya kecenderungan dominasi pedagang perantara yang menekan petani gambir melalui penetapan harga beli gambir. Disisi lain, lemahnya posisi asosiasi dan koperasi yang juga menjadi bagian dari organisasi dalam pendekatan kelembagaan di studi pemasaran, juga turut menjadi penyebab lemahnya posisi tawar petani gambir. Oleh karena itu, perlu diketahui peran kelembagaan dalam pengembangan gambir, baik itu kelembagaan tingkat petani maupun kelembagaan pemasaran gambir, agar perbaikan kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir dapat meningkatkan bargaining power petani gambir, sehingga paradoks yang muncul dalam pengembangan gambir dapat terpatahkan. Oleh karena itu dalam penelitian ini timbul pertanyaan penelitian, berupa:

1. Bagaimana efisiensi operasional dan efisiensi harga dalam pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota ?

2. Bagaimana peran kelembagaan (tingkat petani dan pemasaran) dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota?

3. Bagaimana alternatif kebijakan dari implikasi analisis efisiensi pemasaran dan peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota dan secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis efisiensi operasional dan efisiensi harga dalam pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

2. Menganalisis peran kelembagaan (tingkat petani dan pemasaran) dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

3. Merumuskan alternatif kebijakan dari implikasi analisis efisiensi pemasaran dan peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


(27)

8

Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka diharapkan penelitian ini memberikan manfaat berupa:

1. Bagi petani, kelembagaan tingkat petani dan kelembagaan pemasaran, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan kegiatan pengolahan dan pemasaran gambir sehingga gambir sebagai komoditas unggulan daerah Sumatera Barat juga menjadi bisa menjadi komoditas unggulan dalam perbaikan ekonomi petani dan anggota kelompok tani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.

2. Bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk memperbaiki sistem pemasaran gambir dan kelembagaan kelompok tani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

3. Bagi peneliti dan akademisi, diharapkan bisa menjadi bahan referensi dan informasi untuk penelitian lebih lanjut sehingga semakin banyak masukan untuk perbaikan pengembangan gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota kedepan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup analisis 2 aspek yang saling berkaitan, yaitu menganalisis efisiensi pemasaran gambir serta analisis peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir untuk merumuskan alternatif kebijakan dari implikasi analisis efisiensi pemasaran dan peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir. Analisis yang pertama dilakukan adalah efisiensi pemasaran dalam pemasaran gambir yang terdiri dari analisis margin pemasaran,

farmer’s share, serta integrasi pasar vertikal untuk melihat efisiensi operasional dan efisiensi harga dari pemasaran gambir. Pada bagian ini juga dianalisis saluran pemasaran gambir yang terbentuk mulai dari petani produsen gambir hingga ke eksportir gambir. Analisis kedua berkaitan dengan analisis peranan kelembagaan yang menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Analisis ini memiliki fokus pada sejauhmana peranan kelembagaan tingkat petani dan kelembagaan pemasaran dalam pengembangan gambir khususnya pengolahan dan pemasaran gambir. Peranan tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan fungsinya sebagai bagian dalam pengembangan gambir yang terlihat dari kontribusi, pola kerjasama, aturan main (rule of the game) yang dijalankan serta pola interaksi yang dijalankan. Diharapkan dengan analisis ini dapat menghasilkan alternatif kebijakan dalam pengembangan gambir melalui implikasi analisis efisiensi pemasaran dan peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir.

Batasan dalam penelitian ini berkaitan dengan batasan saluran pemasaran hanya sampai pada eksportir gambir yang berada di Sumatera Barat. Hal ini dikarenakan keterbatasan dalam mengakses data hingga ke industri pengolahan sebagai konsumen akhir yang sebenarnya di luar Sumatera Barat.


(28)

9

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sekilas Tentang Tanaman Gambir

Gambir (Uncaria Gambier (Hunt.) Roxb) merupakan jenis tanaman perdu yang tersebar luas di daerah tropis seperti Asia bagian Selatan, Afrika dan Amerika Selatan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Untuk daerah Asia, tanaman gambir diketahui tumbuh di daerah Indonesia dan Malaysia. Gambir asal Indonesia, lebih banyak ditujukan sebagai komoditas ekspor. Saat ini Indonesia tercatat sebagai pemasok 80% kebutuhan gambir dunia dan 80% hingga 90% hasil produksi gambir tersebut berasal dari Sumatera Barat, sehingga Sumatera Barat ditetapkan sebagai barometer produksi gambir nasional.

Tanaman ini memiliki kandungan kimia yang diperoleh dari ekstrak gambir melalui proses pengempaan daun dan ranting yang kemudian disedimentasi, dicetak dan dikeringkan. Ekstrak gambir mengandung berbagai senyawa kimia yang berguna untuk antioksidan (Rauf et al. 2010; Rahmawati et al. 2013; Gani et al. 2013) dan antibakteri (Arinta dan Kusnadi 2006; Amos 2009; Lucida et al. 2010). Menurut Kementrian Riset dan Teknologi pada tahun 2012 penelitian mengenai senyawa kimia pada tanaman bergenus Uncaria ini telah dilakukan semenjak tahun 1990-an dan ditemukan lebih dari 150 senyawa kimia yang telah diisolasi dan diidentifikasi. Hingga saat ini berbagai penelitian masih terus dilakukan untuk mengetahui jenis kandungan kimia dan persentase jumlahnya pada ekstrak gambir (Widiyarti et al. 2009; Isnawati et al. 2012; Gani et al. 2013; Rahmawati et al. 2013). Namun kandungan yang paling sering dimanfaatkan dari ekstrak gambir adalah kandungan dari senyawa polifenol yang berada pada ekstrak gambir berupa katekin dan tanin. Kedua kandungan inilah yang kemudian memberikan nilai ekonomi karena dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi seperti pasta gigi (Lucida et al. 2010), kosmetik, penyamakan kulit, pewarna, dan bahan industri makanan. Besarnya kandungan senyawa dari gambir yang diperoleh dari proses ekstraksi gambir dipengaruhi oleh agroindustri (pengolahan) gambir.

Tinggi rendahnya produksi tanaman gambir dipengaruhi oleh penerapan kegiatan budidaya seperti penggunaan benih unggul dan seragam, pemupukan (Roufiq et al. 2010), tenaga kerja, luas lahan, jumlah pohon gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit (Afrizal 2009), serta pengaturan umur panen dan pola tanam (Ferry 2010). Dalam kegiatan budidaya gambir, ada 3 tipe varietas tanaman gambir yang terdapat di Sumatera Barat yaitu tanaman gambir tipe Cubadak, Udang, dan Riau. Diantara ketiga tipe tersebut tipe Udang merupakan tipe gambir yang memiliki rendemen tertinggi dan digolongkan sebagai mutu 1, sedangkan kandungan katekin tertinggi dimiliki tipe cubadak (Aswardi et al. 2010). Selain tipe tanaman gambir, pertimbangan kegiatan budidaya gambir juga sangat berkaitan dengan persemaian gambir (Nurdin et al. 2010) dan proses pemuliaan gambir (Jamsari 2007). Penelitian dan pengembangan dari sektor budidaya sangat berpengaruh terhadap pengembangan komoditas gambir. Banyaknya penelitian dari sektor budidaya diharapkan mampu memberikan gambaran bagi pembudidaya gambir untuk meningkatkan produktivitas tanaman gambir yang dimilikinya.


(29)

10

Aswardi et al. (2010) menemukan bahwa proses agroindustri gambir yang menggunakan sistem tradisional melalui perajangan sebelum direbus memberikan hasil berupa rendemen getah gambir yang lebih tinggi dibandingkan tanpa rajangan, namun memiliki kandungan katekin yang lebih rendah. Kegiatan pengolahan yang tradisional serta masih kurangnya perhatian terhadap aspek kebersihan dan kemurnian membuat perbaikan dan pengembangan agroindustri gambir sangat dibutuhkan agar kandungan senyawa penting yang dimiliki gambir tidak banyak hilang dalam proses ekstraksinya. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan industri pemurnian gambir terpadu agar kualitas yang dihasilkan seragam dan diperoleh gambir Waferblock yang memenuhi standar SNI atau produk gambir yang sesuai dengan kebutuhan pasar ekspor (Roufiq et al. 2010). Disisi lain, pemanfaatan gambir sebagai bahan baku industri dapat dilihat melalui pemanfaatan seluruh bagian gambir sebagai sumber ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari Lampiran 3 mengenai pohon industri gambir yang menunjukkan pemanfaatan semua bagian dari gambir. Pemanfaatan gambir sebagai sumber pendapatan petani akan semakin menguntungkan bila kegiatan pengolahan tidak hanya terbatas pada produksi gambir setengah jadi atau diolah menjadi produk turunan lainnya yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Pengembangan Gambir di Sumatera Barat

Gambir sebagai salah satu komoditas perkebunan rakyat merupakan komoditas unggulan Sumatera Barat yang memasok 80% hingga 90% produksi gambir nasional. Indonesia menempatkan diri sebagai pemasaok terbesar untuk 17 negara tujuan ekspornya (India, Pakistan, Bangladesh, Singapura, Jepang, Malaysia, Vietnam, Korea Selatan, Nepal, Turki, Srilanka, China, Saudi Arabia, Taipe, Uni Emirat Arab, Thailand, dan Amerika Serikat). Meskipun demikian, petani yang menggantungkan hidupnya pada budidaya dan agroindustri gambir ternyata belum memperoleh hasil yang maksimal. Bahkan menurut Idrus (2012), tercatat untuk sektor agroindustri gambir tidak mengalami perkembangan yang berarti, walaupun trend pengembangan gambir sebagai komoditas unggulan yang luas tanam dan produksinya yang meningkat dan diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2016.

Dalam kegiatan pengembangan gambir, terdapat beberapa permasalahan yang sering muncul yaitu berkaitan dengan masalah permodalan, pemasaran, budidaya serta pengolahan (Asben 2008 dalam Evalia 2012, Dhalimi 2006). Permasalahan permodalan berkaitan dengan posisi petani yang belum membentuk kelompok yang melembaga dan belum adanya lembaga permodalan yang bisa menjamin petani gambir, sehingga petani cenderung mengandalkan modal sendiri. Permasalahan pemasaran berkaitan dengan posisi tawar petani yang rendah dimana belum adanya jaminan harga yang stabil pada tingkat yang menguntungkan petani, keterikatan petani dengan pedagang akibat hutang, struktur pasar gambir yang menyebabkan rantai pemasaran yang panjang dan didominasi pihak luar (Singapura dan India) serta kurangnya informasi pasar international mengenai harga riil gambir. Permasalahan budidaya berkaitan dengan rendahnya pengetahuan petani, keberadaan bibit unggul yang belum teridentifikasi sehingga bibit yang digunakan adalah bibit turun temurun serta


(30)

11 tidak adanya kegiatan pemeliharaan dan pemupukan dalam budidaya gambir. Permasalahan pengolahan berkaitan dengan pengolahan yang masih tradisional serta adanya kebiasaaan mencampur gambir dengan bahan-bahan lain sehingga kualitas mutu gambir rendah dan harga jualnya lebih rendah.

Rendahnya kualitas gambir dan kebiasaan mencampur gambir dengan bahan-bahan lain sangat berkaitan erat dengan aspek keterbatasan teknologi dalam pengembangan agroindustri pengolahan gambir. Mutu gambir yang merupakan syarat mutlak untuk bersaing di pasar internasional membutuhkan perhatian yang khusus melalui perbaikan teknologi dalam proses produksi gambir

di UKM agroindustri gambir (Sa‟id et al. 2010b) maupun pendirian industri katekin dan tanin yang didukung oleh kelembagaan (Adi 2011) agar gambir yang dihasilkan sesuai dengan SNI yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Selain dengan perbaikan teknologi untuk proses produksi, peningkatan mutu gambir juga sangat berkaitan dengan bahan baku dan didukung oleh sistem evaluasi dan

pelaporan yang baik (Sa‟id et al. 2010b). Disisi lain, diharapkan juga pelaksanaan berbagai strategi dari hasil kajian mengenai pengembangan gambir seperti melakukan ekspansi pasar gambir dan peningkatan nilai tambah gambir guna meningkatkan pendapatan nasional maupun pendapatan petani dari kegiatan perdagangan ekspor gambir (Sa‟id et al. 2010a).

Aspek penting lainnya yang perlu diperbaiki dalam pegembangan komoditas gambir sebagai komoditas unggulan adalah aspek pengembangan kelembagaan demi perbaikan pengembangan pemasaran (domestik maupun ekspor), pengembangan produk, peningkatan kualitas sumberdaya manusia maupun penanganan masalah pemodalan (Adi 2011). Dukungan kelembagaan diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan petani gambir dengan koordinasi yang baik dan penyebaran informasi yang merata sehingga mampu meningkatkan bargaining power petani gambir. Selain itu, membina kelembagaan gambir menjadi lembaga ekonomi juga merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam rangka perbaikan pengembangan pemasaran gambir yang selama ini selalu menjadi masalah (Elida 2011). Dari sisi kebijakan, perbaikan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pengembangan komoditas gambir adalah dengan memanfaatan program Agrotechnopark. Agrotechnopark merupakan salah satu program yang bertujuan untuk mengembangkan keunggulan komparatif dari sumber daya gambir untuk diubah menjadi keunggulan kompetitif dengan membantu merumuskan kebijakan umum dan strategi menghadapi kendala dan hambatan dalam pelaksanaan program pengembangan dan peningkatan nilai tambah gambir. Selain itu, upaya peningkatan diversifikasi hasil produk turunan gambir melalui inovasi juga dapat diterapkan untuk meningkatkan posisi gambir (Evalia et al. 2012).

Sistem Pemasaran dan Kelembagaan Pemasaran Gambir

Masalah serius dalam perencanaan pembangunan pertanian adalah sistem pemasaran yang tidak efisien. Intervensi oleh lembaga-lembaga publik dan swasta di sektor pertanian telah menyebabkan masalah ketidakstabilan pertanian dan ketidakefisienan seperti adanya intervensi pada akses pasar sehingga menyebabkan lemahnya posisi petani, adanya kompetisi serta integrasi yang


(31)

12

terjadi dalam sistem pemasaran (Mdoe dan Wiggins 1996; Phokhrel dan Thapa 2006; Dawe etal. 2008; Afrizal 2009; Chamberlin dan Jayne 2012; Sekhar 2012).

Persoalan tidak efisiennya sistem pemasaran gambir merupakan salah satu hal yang menjadi sorotan dalam pengembangan gambir sebagai salah satu komoditas ekspor Indonesia. Sistem agribisnis yang terdiri dari subsitem agribisnis hulu, subsistem agribisnis usahatani, subsistem agribisnis pengolahan, subsistem agribisnis pemasaran dan subsistem agribisnis jasa dan penunjang secara normatif seharusnya memiliki keterkaitan satu sama lain bila dihubungkan dengan pengembangan agribisnis. Kompleksitas permasalahan dalam sistem pemasaran gambir memberikan tantangan tersendiri dalam upaya perbaikan sistem pemasaran gambir untuk mengembangkan komoditas gambir. Pemasaran gambir yang tujuan utamanya sebagai pemenuhan kebutuhan dunia akan gambir melalui kegiatan ekspor, ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian petani gambir. Hal ini selain diakibatkan oleh adanya tingkat kebutuhan adopsi inovasi untuk pengetahuan SDM petani dalam pengolahan (Ermiati 2004; Dhalimi 2006; Yuhono 2010), tetapi juga diakibatkan oleh lemahnya posisi petani dalam sistem pemasaran gambir akibat keterkaitan antara faktor penentuan harga dalam pemasaran gambir sehingga sistem pemasaran gambir dapat dikatakan tidak efisien (Afrizal 2009).

Ukuran efisiensi adalah kepuasan dari konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan barang atau jasa mulai dari petani sampai konsumen akhir, sehingga indikator efisiensi pemasaran dapat dilihat dari dua indikator yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga (Kohls dan Uhl 2002). Efisisensi operasional berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat meningkatkan dan memaksimumkan rasio output-input pemasaran, sedangkan efisiensi harga menekankan pada kemampuan sistem pemasaran dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produk pertanian dan proses pemasaran sehingga efisien dan sesuai dengan keinginan konsumen. Ketidakefisienan dalam pemasaran gambir dapat dilihat dari penetapan harga yang dipegang oleh eksportir, struktur pasar yang oligopsoni yang dicirikan dengan tidak seimbangnya rasio petani dan pedagang yang ditunjukkan oleh tingginya derajat konsentrasi pasar, serta informasi harga yang tidak ditransmisi secara sempurna bahkan cenderung tertutup (Dhalimi 2006;

Sa‟id et al 2009; Afrizal 2009; Elida 2011). Kondisi tersebut mengakibatkan tidak akan ada harga terbaik yang akan berlaku bagi petani dan berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani (Afrizal 2009).

Informasi harga yang cenderung tertutup dalam pemasaran gambir, bisa dihubungkan dengan kemudahan dalam menghubungkan akses produksi dengan akses pemasaran. Seperti dalam hasil penelitian Pokhrel dan Thapa (2006) diketahui bahwa kemudahan akses antara tempat produksi suatu komoditas dengan tempat pemasaran yang difasilitasi oleh jalan raya akan memberikan dampak berupa pengetahuan yang baik mengenai informasi harga pasar dan memperkecil manipulasi harga pasar yang dilakukan oleh pedagang perantara. Tetapi bila kondisi yang terjadi justru sebaliknya maka perantara pemasaran mudah memanipulasi informasi tentang harga pasar produk pertanian dalam mengejar peningkatan margin keuntungan mereka karena petani miskin akan akses informasi harga pasar dari produk mereka (Demaine et al. 1996; Mohtar 1997; Khushk 2001 dalam Pokhrel dan Thapa 2006). Dengan demikian,


(32)

13 permasalahan mengenai akses informasi harga yang menyebabkan tidak efisiennya pemasaran gambir juga dapat diatasi dengan perbaikan akses pasar.

Peningkatan efisiensi pemasaran juga berkaitan dengan kelembagaan (aktor-aktor) yang terlibat dalam pemasaran, seperti yang disebutkan Mdoe dan Wiggins (1996) posisi dan peran kelembagaan sangat berpengaruh pada efisiensi pemasaran. Rekomendasi penguatan kelembagaan petani dan penguatan sinergi dan kerjasama merupakan hal yang dianjurkan dalam memperbaiki permasalahan sistem pemasaran yang tidak efisien yang menyebabkan posisi tawar petani yang lemah (Pokhrel dan Thapa 2006; Raharto 2010; Afrizal 2009; Herminingsih 2011). Oleh karena itu, salah satu rekomendasi yang dianggap tepat untuk meningkatkan bargaining power petani adalah melalui penguatan kelembagaan petani dalam pemasaran gambir (Dhalimi 2006; Elida 2011; Adi 2011) karena posisi kelembagaan sebagai salah satu subsistem agribisnis turut memberikan hubungan yang signifikan terhadap keragaan sistemnya (Juraime 2004).

Penelitian Terdahulu Mengenai Peranan Kelembagaan

Pendekatan kelembagaan merupakan salah satu studi yang dapat dilakukan dari perspektif mikro yang lebih mengedepankan aspek institution of governance (Raharjo 2009). Pendekatan kelembagaan ini berkaitan dengan pelaku yang bekontribusi dalam pemasaran suatu komoditas. Pendekatan kelembagaan tersebut bisa terdiri dari pedagang perantara, agen perantara, spekulator, pengolah dan pabrikan, serta organisasi. Pedagang perantara terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang eceran, pedagang grosir. Agen perantara terdiri dari komisioner dan broker, sedangkan organisasi terdiri dari asosiasi dan koperasi. Masing-masing dari kelembagaan pemasaran ini memiliki fungsi yang sesuai dengan aktivitas yang dilakukannya dalam sistem pemasaran (Asmarantaka 2012). Raharjo (2009) menyimpulkan bahwa kelembagaan pemasaran berperan penting dalam menyampaikan produk ke tangan konsumen secara langsung. Ketepatan pemilihan lembaga pemasaran yang digunakan, akan membuat saluran pemasaran menjadi lebih pendek sehingga menurunkan biaya pemasaran, yang berdampak pada penerimaan produsen (income) menjadi lebih besar.

Peranan menunjukkan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses yang diatur oleh norma (Soekanto 2012). Pelaksanaan fungsi pada kelembagaan akan berkaitan dengan hak dan kewajibannya sebagai lembaga pemasaran. Ketika sebuah lembaga pemasaran telah melaksanakan kewajibannya dan menerima hak yang sesuai dengan kedudukannya, maka kelembagaan tersebut telah bisa disebut sebagai kelembagaan yang menjalankan suatu peranan. Sehingga ketika kelembagaan yang diartikan sebagai suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (seperti hukum, sistem politik, organisasi, pasar dan lain sebagainya) serta informal (seperti norrna, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial dan lain sebagainya) yang menfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok (Fauzi 2005 dalam Raharjo 2009) mampu melaksanakan norma dan aturan dan fungsi yang berlaku, maka sebuah kelembagaan bisa disebut memiliki peranan. Sama halnya dengan kelembagaan gambir, kelembagaan dianggap telah berperan bila telah mampu melaksanakan fungsinya dalam proses pengembangan komoditas gambir baik formal maupun informal.


(33)

14

Penelitian Risenasari (2013) menunjukkan bahwa peran kemitraan terhadap pembentukan rantai pemasaran dapat memperpendek rantai pemasaran. Sehingga dengan adanya sistem kemitraan, jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai pemasaran menjadi berkurang terutama jumlah pedagang perantara. Disisi lain, dengan pelaksanaan kemitraan maka akses terhadap lingkungan pendukung menjadi lebih baik dan memberikan hasil yang efisien terhadap pemasaran berupa kecilnya biaya, kecilnya marjin pemasaran, besarnya farmer’s share (95 persen), dan besarnya R/C rasio. Penelitian Adri (1999) juga menunjukkan bahwa dengan adanya peranan dari BUMD sebagai pembina petani dan petani sebagai produsen yang diperkuat dengan sistem kontrak dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produk petani. Dengan adanya kelembagaan BUMD memberikan insentif kepada petani berupa pendapatan dan harga yang lebih baik.

Penelitian Terdahulu Mengenai Pemasaran

Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam sistem pemasaran hampir sama yaitu berkaitan dengan tidak efisiennya sistem pemasaran. Ketidakefisienan ini diantaranya disebabkan oleh: (1) marjin pemasaran yang relatif tinggi, (2) rendahnya share harga yang diterima petani, (3) hubungan harga yang diterima petani dengan biaya produksi serta resiko yang harus dihadapinya (3) fasilitas pemasaran yang belum memadai untuk memperlancar arus komoditi, (4) lemahnya perang kelembagaan yang bepihak pada petani. Permasalahan ini dapat ditemukan di bebagai penelitian dan seringkali terlihat keterkaitan antara satu sama lainnya, yang kemudian dapat didekati peneliti dengan menggunakan analisis sistem pemasaran dengan menggunakan analisis efisiensi operasional dan analisis efisiensi harga atau menggunakan pendekatan analisis Structure Conduct Performance (SCP) (Afrizal 2009; Rosiana 2012; Putri 2013; Alham 2013) dan menggunakan pendekatan analisis Chicago School.

Identifikasi struktur pasar dapat dilihat melalui faktor jumlah pedagang, barrier entry, ada tidaknya kolusi dan konsentrasi pasar (Wardiyati dalam Rosiana 2012). Berdasarkan analisis struktur pasar, beberapa penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar yang dihadapi petani cenderung mengarah pada struktur pasar oligopsoni (Afrizal 2009; Rosiana 2012; Putri 2013; Alham 2013). Sehingga petani cenderung pada posisi price taker akibat dominasi pedagang yang mampu mengontrol petani baik itu dari segi harga maupun permodalan. Jumlah petani yang jauh lebih banyak banyak dibandingkan pembeli membuat pedagang memiliki market power dan memperlemah bargaining power petani.

Analisis efisiensi operasional berkaitan dengan analisis untuk mengukur produktivitas dari input-input pemasaran dalam hal ini biaya pemasaran terhadap keuntungan dari lembaga-lembaga pemasaran. Hasil penelitian Abbasian et.al (2010) menunjukkan bahwa terbentuknya margin pemasaran dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya harga pada berbagai tingkat lembaga pemasaran, biaya pemasaran serta harga pada tingkat petani. Akan tetapi, bila dibandingkan dari 3 faktor tersebut, harga ditingkat petani merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap total margin pemasaran. Disisi lain, menurut hasil penelitian Emokaro dan Egbodion (2013), faktor lainnya yang mempengaruhi pembentukan margin pemasaran adalah biaya transaksi. Sehingga dapat dilihat bahwa faktor utama


(34)

15 yang mempengaruhi margin pemasaran adalah biaya transaksi yang kemudian akan cenderung mempengaruhi biaya pemasaran serta harga ditingkat petani yang akan cenderung berkaitan dengan share harga yang diterima petani. Berdasarkan hasil penelitian Rosiana (2012) disimpulkan bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka marjin pemasaran semakin tinggi, sehingga menyebabkan farmer’s share yang semakin rendah.

Analisis efisiensi harga dilakukan dengan melihat tingkat keterpaduan pasar melalui analisis integrasi pasar. Heytens (1986) menyebutkan bahwa dalam sistem integrasi pasar, akan terdapat korelasi positif terhadap waktu diantara harga pada lokasi yang berbeda. Faktor yang mendukung perubahan tersebut bisa berkaitan dengan trend perubahan pasar seperti inflasi, keadaan musiman (khususnya untuk dunia pertanian) atau berbagai faktor lainnya yang memungkinkan lainnya namun tidak berhubungan dengan perubahan harga. Berdasarkan hasil penelitian Rosiana (2012); Putri (2013); dan Alham (2013), pada pasar yang tidak terintegrasi ditemukan bahwa petani cenderung sebagai price taker sehingga kenaikan harga di tingkat retail tidak tertransmisikan di tingkat petani. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi dari dari pemerintah khususnya pada level konsumen dan produsen untuk meningkatkan efisiensi pemasaran (Firdaus dan Gunawan 2012).

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Konseptual Konsep Kelembagaan

Secara definitif, kelembagaan diartikan sebagai suatu gagasan aturan (rule of conduct) formal (seperti hukum, sistem politik, pasar dan sebagainya) serta informal (seperti norma, tradisi, sistem, nilai, agama, tren sosial dan lain sebagainya (Fauzi 2005 dalam Raharjo 2009); kelembagaan merefleksikan sistem nilai dan norma dalam masyarakat, tetapi nilai dan norma itu bukanlah kelembagaan itu sendiri (Manig 1999 dalam Yustika 2006); kelembagaan (institutions) memiliki dua pengertian, yaitu: kelembagaan sebagai aturan main (rule of the games), dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang berjenjang. Sebagai aturan main, kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan, baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis, mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak dan perlindungan hak-haknya serta tanggung jawabnya. Sedangkan kelembagaan sebagai organisasi yang berjenjang, dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga tetapi oleh mekanisme administratif atau kewenangan (North 1991 dalam Ambariyanto dan Herawati 2010); kelembagaan adalah semua yang berkenaan dengan lembaga, dimana lembaga merupakan hal-hal yang menjadi penentu dalam perilaku manusia dalam masyarakat yakni berupa norma, nilai-nilai, aturan formal dan informal, dan pengetahuan struktural (Scott 2008 dalam Syahyuti 2012). Kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni aturan formal (formal institutions), aturan informal (informal institutions), dan mekanisme penegakan (enforcement mechanism).


(35)

16

Kelembagaan atau institution merupakan faktor penting yang menjadi variabel pendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara karena posisi kelembagaan yang mampu berjalan diatas realitas sosial. Kelembagaan dipandang penting karena kelembagaan merupakan hal yang mendasari keputusan untuk produksi, investasi dan kegiatan ekonomi lainnya, yang dibuat oleh individu atau sebuah organisasi dalam konteks sosial atau interaksi dengang pihak lain. Perubahan dalam kelembagaan akan mengubah kesempatan yang dihadapi oleh pelaku ekonomi sehingga keragaan ekonomi seperti produksi, kesempatan kerja, kemiskinan, kerusakan lingkungan, distribusi pedapatan dan lain-lain menuntut adanya perubahan dalam kelembagaan (Pakhpahan 1991).

Kelembagaan juga dianggap unsur terpenting dari pencapaian kemajuan ekonomi suatu negara. Kondisi geografis yang baik, sumberdaya alam yang melimpah, teknologi yang memadai, dan penduduk yang bermutu mungkin menjadi pertumbuhan ekonomi, namun disatu sisi semua hal tersebut tidak mampu menciptakan kesejahteraan apabila tidak dipadukan dengan sistem kelembagaan ekonomi yang baik (Yustika 2006). Menurut Samuel (1995) dalam Yustika (2006), teori kelembagaan merupakan nilai (value) yang tidak melihat harga-harga relatif (relative price), namun nilai kepentingan terhadap kelembagaan, struktur sosial dan perilaku. Sehingga ekonomi kelembagaan dianggap sebagai cara pandang yang menyeluruh dan mencoba menjelaskan aktivitas ekonomi dalam perspektif multidisipliner.

Perspektif Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institusional Economics), Williamson (2000) dalam Raharjo (2009) melihat kelembagaan beroperasi pada level makro maupun mikro. Pada tingkat makro kelembagaan merupakan rules of the game yang mempengaruhi perilaku dari keragaan dan pelaku ekonomi, sebagai suatu gugus fundamental dan aturan mendasar mengenai aspek politik, sosial, dan legal yang mendasari proses produksi, pertukaran dan distribusi. Pada tingkat mikro, aspek kelembagaan lebih dikenal sebagai institusional arangement yang lebih mengedepankan aspek institusions of governance. Kelembagaan juga harus dibedakan dengan organisasi. Organisasi adalah structure of roles (struktur dan peran), sedangkan kelembagaan tidak terlepas dari biaya transaksi yang artinya kelembagaan berkaitan dengan kesepakatan yang meminimalisasi biaya. Kelembagaan dapat berbentuk organisasi (merujuk pada lembaga formal yang memiliki hierarki yang jelas) seperti koperasi, unit usaha (asosiasi) dan kelembagaan bisa juga berbentuk bukan organisasi, misalnya produk hukum dan perundang-undangan. Sedangkan organisasi ada yang bukan merupakan lembaga, seperti organisasi grass-root. Kelembagaan dapat berbentuk informal yang terjalin berdasarkan suatu ikatan seperti kelompok tani yang terbentuk melalui ikatan antar anggotanya atau ikatan antar pelaku usaha seperi petani dengan pedagang pengumpul dan pedagang pengumpul dengan pedagang besar.

Kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari peranan. Bottomore 1975 dalam Taryoto (1995) medefinisikan kelembagaan sebagai a complex or cluster of roles, konsep peranan merupakan komponen utama kelembagaan. Kelembagaan bermula dari kebiasaan (folkways) yang meningkat menjadi budaya (custom), kemudian berkembang menjadi tatakelakuan (more), dan akhirnya matang ketika ia berperan dan menentukan setiap perilaku masyarakat. Pada titik ini, struktur peran telah dimantapkan sehingga kelembagaan dikatakan telah sempurna (Saptana et al. 2013). Soekanto (2012) menyevutkan peranan dianggap telah


(36)

17 dijalankan bila kewajiban dan hak telah terpenuhi. Peranan dianggap penting karena peranan mengatur perilaku berdasarkan norma-norma yang berlaku. Peranan juga lebih menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Oleh karena itu, menurut Levinson sebagaimana dirujuk oleh Soekanto (2012) menyatakan, bahwa peranan setidaknya mencakup tiga hal, yaitu: (1) peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat; (2) peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi; (3) peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Konsep Pemasaran

Konsep pemasaran dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ilmu ekonomi dan aspek ilmu manajemen. Dalam aspek ilmu ekonomi, pemasaran diartikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem fungsi-fungsi pemsaran yaitu fungsi pertukaran, fasilitas dan fisik. Fungsi-fungsi tersebut merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirkan produk atau jasa pertanian dari petani produsen ke konsumen akhir (Asmarantaka 2012). Sedangkan dalam aspek ilmu manajemen, pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler dan Amstrong 2004). Pemasaran dapat juga diartikan sebagai suatu fungsi organisasi dan kumpulan proses mendesain perencanaan, menciptakan, mengkomunikasikan dan memberikan nilai kepada pelanggan dan untuk membangun hubungan yang efektif dengan cara yang mengutungkan perusahaan dan stakeholders (Levens 2010).

Dalam pertanian, pemasaran diartikan Kohls dan Uhl (2002) sebagai sistem karena terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan. Sistem pemasaran meliputi 2 jenis aktivitas utama, yaitu aktivitas penyaluran produk dari produsen ke konsumen dimulai dari bahan baku menjadi barang jadi serta aktivitas pertukaran dan proses penetapan harga dalam sistem pasar. Sedangkan Dahl dan Hammond (1977), mendefinisikan pemasaran sebagai serangkaian fungsi yang diperlukan dalam menggerakkan input atau produk dari tingkat produksi primer sampai konsumen akhir. Pemasaran agribisnis pada akhirnya dapat disebut sebagai aliran yang bertujuan untuk memberikan kepuasan konsumen dan keuntungan bagi lembaga-lembaga yang memiliki andil dalam berjalannya kegiatan penyaluran produk pertanian tersebut. Ada beberapa pendekatan dalam melakukan studi pemasaran menurut Kohls dan Uhl (2002), yaitu:

1. Pendekatan serba fungsi,

Berbagai aktivitas pemasaran diklasifikasikan ke dalam berbagai fungsi

pemasaran. Pendekatan pada isu “what is done”. - Fungsi pertukaran (exchange function)

Terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan. Fungsi pembelian adalah mencari supply, mengumpulkan produk, dan mengerjakan aktivitas yang berkaitan dengan pembelian. Fungsi penjualan harus diinterpretasikan


(1)

118

Analisis Hasil Output : Berdasarkan gambar residual dan nilai p value -obs*-square = 0.0712 > 0,05 atau nilai p value lebih besar dari α. Maka dalam model ini tidak ditemukan Heteroskedastisitas.

c. Autokorelasi

Analisis Hasil Output : Nilai Durbin-Watson stat adalah 2.104547. Maka tidak terdapat autokorelasi

2.104547

0 dL=1.6993 du=1.7301 4-1.7301= 2.2699 4-1.6993=2.3007 4 2. PFG PXG

Dependent Variable: PFG Method: Least Squares

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 271.6097 1662.755 0.163349 0.8705

PFG (-1) 0.634898 0.067483 9.408335 0.0000

PXG1 0.047255 0.165082 0.286252 0.7752

PXG (-1) 0.204385 0.166182 1.229890 0.2210

R-squared 0.634728 Prob(F-statistic) 0.000000

F-statistic 73.56208 Durbin-Watson stat 2.130887 Pengujian Asumsi Klasik

a. Multikolinear

Analisis Hasil Output : Nilai R-squared adalah 0.634728 < 0.9. Maka dalam model ini tidak ditemukan multikolinear.

b. Heteroskedastisitas

Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 3.773505 Prob. F(3,127) 0.0124

Obs*R-squared 10.72139 Prob. Chi-Square(3) 0.0133 Scaled explained SS 39.78726 Prob. Chi-Square(3) 0.0000

-12,000 -8,000 -4,000 0 4,000 8,000 12,000

10,000 15,000 20,000 25,000 30,000

04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14


(2)

119

Analisis Hasil Output : Berdasarkan gambar residual dan nilai p value -obs*-square = 0.0133 < 0.05 atau nilai p value lebih kecil dari α. Maka dalam model ini ditemukan Heteroskedastisitas.

c. Autokorelasi

Analisis Hasil Output : Nilai Durbin-Watson stat adalah 2.130887. Maka tidak terdapat autokorelasi

2.130887

0 dL=1.6993 du=1.7301 4-1.7301= 2.2699 4-1.6993=2.3007 4 3. PAG PXG

Dependent Variable: PAG Method: Least Squares

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -2479.629 1357.804 -1.826205 0.0702

PAG(-1) 0.769417 0.049003 15.70131 0.0000

PXG1 0.216436 0.123792 1.748381 0.0828

PXG(-1) 0.049184 0.130408 0.377157 0.7067

R-squared 0.879734 Prob(F-statistic) 0.000000

F-statistic 309.6634 Durbin-Watson stat 2.052773 Pengujian Asumsi Klasik

a. Multikolinear

Analisis Hasil Output : Nilai R-squared adalah 0.879734< 0.9. Maka dalam model ini tidak ditemukan multikolinear.

b. Heteroskedastisitas

-6,000 -4,000 -2,000 0 2,000 4,000 6,000

5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000

04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14


(3)

120

Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 0.242831 Prob. F(3,127) 0.8663

Obs*R-squared 0.747152 Prob. Chi-Square(3) 0.8621 Scaled explained SS 1.029486 Prob. Chi-Square(3) 0.7941

Analisis Hasil Output : Berdasarkan gambar residual dan nilai p value -obs*-square = 0.8621 > 0.05 atau nilai p value lebih besar dari α. Maka dalam model ini tidak ditemukan Heteroskedastisitas.

c. Autokorelasi

Analisis Hasil Output : Nilai Durbin-Watson stat adalah 2.052773. Maka tidak terdapat autokorelasi

2.052773


(4)

121 Lampiran 12 Analisis usahatani pada berbagai tingkat harga/ha/tahun

Uraian Jumlah Nilai (Rp/Kg) di Kecamatan Kapur IX Nilai (Rp/Kg) di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau

Saluran 1 Saluran 2 & 3 Saluran 4 Saluran 1 Saluran 2 Saluran 4 Produksi rata-rata/tahun (Kg) 749.731

Harga rata-rata (Rp/Kg) 21 166.67 18 879.63 21 750.00 21 326.92 22 666.67 39 000.00 Total Penerimaan (Rp/Tahun) 15 869 312.36 14 154 649.12 16 306 655.61 15 989 461.60 16 993 909.30 29 239 520.41 Biaya Dibayarkan

Bibit (Rp/Ha) 37 500.00 37 500.00 37 500.00 37 500.00 37 500.00 37 500.00 TKLK (HKP/Tahun/Ha) 840 000.00 840 000.00 840 000.00 840 000.00 840 000.00 840 000.00 Pengempaan (Rp/Tahun/Ha) 10 579 541.57 9 436 432.75 10 871 103.74 10 659 641.07 11 329 272.86 19 493 013.61 Biaya Karung (Rp/Tahun/Ha) 26 240.60 26 240.60 26 240.60 26 240.60 26 240.60 26 240.60 Biaya Tali (Rp/Tahun/Ha) 6 560.15 6 560.15 6 560.15 6 560.15 6 560.15 6 560.15 Transportasi (Rp/Tahun/Ha)* - - - - - - Total Biaya Dibayarkan 11 489 842.32 10 346 733.49 11 781 404.49 11 569 941.81 12 239 573.61 20 403 314.35 Total Biaya Dibayarkan/Kg 15 325.28 13 800.59 15 714.17 15 432.12 16 325.28 27 214.17 Biaya Diperhitungkan

TKDK - - - - - - Penyusutan Peralatan

(Rp/Tahun)

147 960.75 147 960.75 147 960.75 147 960.75 147 960.75 147 960.75 Penyusutan Rumah Kempa

(Rp/Tahun)

179 785.71 179 785.71 179 785.71 179 785.71 179 785.71 179 785.71

Kayu Bakar* - - - - - -

Sewa Lahan 1 227 273 1 227 272.73 1 227 272.73 1 227 272.73 1 227 272.73 1 227 272.73 Total Biaya Diperhitungkan 1 555 019.19 1 555 019.19 1 555 019.19 1 555 019.19 1 555 019.19 1 555 019.19 Total Biaya

Diperhitungkan/Kg

2 074.1 2 074.10 2 074.10 2 074.10 2 074.10 2 074.10 Total Biaya 13 044 861.50 11 574 006.22 13 336 423.67 12 797 214.54 13 466 846.34 21 630 587.08 Total Biaya/kg 17 399.38 15 437.54 17 788.27 17 069.07 17 962.23 28 851.12 Total Pendapatan 15 869 312.36 14 154 649.12 16 306 655.61 15 989 461.60 16 993 909.30 29 239 520.41 Total Keuntungan 2 824 450.85 2 580 642.90 2 970 231.94 3 192 247.06 3 527 062.96 7 608 933.33


(5)

122

Lampiran 13 Analisis usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

Nilai (Rp/kg)

No Uraian Jumlah Upah Kempa Sendiri

1 Produksi rata-rata/tahun (Kg) 749.731

Harga dibayarkan rata-rata (Rp/Kg) 23 343.55 23 343.55

- Retribusi 233.44 233.44

- Potong Karung 622.49 622.49

- Potong Kadar Air 1 556.24 1 556.24 Harga aktual rata-rata (Rp/Kg) 20 931.38 20 931.38 Total Penerimaan (Rp/Tahun) 15 692 906.03 15 692 906.03 2 Biaya Dibayarkan

Bibit (Rp/Ha) 37 500.00 37 500.00 TKLK (HKP/Tahun/Ha) 840 000.00 840 000.00 Pengempaan (Rp/Tahun/Ha) 10 791 508.97 5 395 754.49 Biaya Karung (Rp/Tahun/Ha) 26 240.60 26 240.60 Biaya Tali (Rp/Tahun/Ha) 6 560.15 6 560.15

Transportasi (Rp/Tahun/Ha)* - -

Total Biaya Dibayarkan 11 701 809.72 6 306 055.24 Total Biaya Dibayarkan/Kg 15 608.01 8 411.09 3 Biaya Diperhitungkan

TKDK - -

Penyusutan Peralatan (Rp/Tahun) 147 960.75 147 960.75 Penyusutan Rumah Kempa (Rp/Tahun) 179 785.71 179 785.71

Kayu Bakar* - -

Sewa Lahan 1 227 273.00 1 227 273.00

Total Biaya Diperhitungkan 1 555 019.46 1 555 019.46 Total Biaya Diperhitungkan/Kg 2 074.10 2 074.10

Total Biaya 13 256 829.18 7 861 074.70

Total Biaya/Kg 17 682.11 10 485.19 Total Pendapatan 3 991 096.31 9 386 850.79 Total Keuntungan 2 436 076.85 7 831 831.33


(6)

123

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Padang, Sumatera Barat pada tanggal 18 Mei 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Abdul Haris Nasution dan (Almh) Masfelida.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 28 Padang Tigo Koto dan lulus pada tahun 2001. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di MTsN Payakumbuh hingga tahun 2004. Sekolah Menengah Atas (SMA) ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Harau dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama (2007) penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Politeknik Pertanian Universitas Andalas melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) dan memillih Program Studi D3 Agribisnis Pertanian. Penulis aktif di organisasi kampus BEM dan HIMAPANGAN serta pernah mendapatkan pendanaan DIKTI pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan dan lolos tingkat nasional untuk mengikuti PIMNAS XXII di Universitas Brawijaya Malang. Selama masa perkuliahan, penulis mendapatkan beasiswa PPA-DIKTI pada semester 1-5 dan SUPERSEMAR pada semester 6. Penulis mendapatkan gelar Ahli Madya (A.Md) pada tahun 2010 dengan predikat kelulusan “Dengan Pujian”. Pada tahun 2011, penulis kembali melanjutkan studi di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Penulis aktif sebagai anggota KMIP dan pernah mendapatkan pendanaan DIKTI pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Kepada Masyarakat. Selama masa perkuliahan, penulis mendapatkan beasiswa Bank Indonesia pada semester 2-3 dan Beasiswa PPA-DIKTI pada semester 4. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 2013. Pada tahun yang sama, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi Magister pada Program Studi Magister Sains Agribisnis melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Calon Dosen.