Keadaan Sosial dan Budaya di Kelurahan Kauman, Blora

49 waktu yang tidak lama untuk menguasai tekniknya. Setelah sudah berpengalaman dan mampu mengembangkannya, barulah perajin patung berani untuk mendirikan tempat produksi sendiri. Sedangkan pendidikan menengah ke bawah dan kurang dalam keterampilan serta kemauan biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama dalam proses belajar sehingga sulit untuk mengembangkan langsung membuat tempat produksi sendiri. Namun pada umumnya perajin patung yang tidak cukup memiliki tingkat pendidikan tinggi itu tidak menjadi kendala untuk menjadi sukses, karena dengan adanya kemauan, kreativitas, ketekunan dan kesungguhan hati maka dengan pengalaman belajar mematung dari hari kehari akan memberinya hasil yang lebih baik. Dengan demikian, secara tidak langsung memberi nilai positif bagi perekonomian masyarakat Kelurahan Kauman pada khususnya dan masyarakat Blora pada umumnya.

4.1.5 Keadaan Sosial dan Budaya di Kelurahan Kauman, Blora

Kehidupan sosial budaya penduduk Kelurahan Kauman pada umumnya tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di sekitar Kecamatan Blora. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kauman berkomunikasi menggunakan bahasa nasional dan bahasa daerah yakni bahasa Jawa, dan yang sering digunakan adalah bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Kelurahan Kauman ini memiliki dua dukuh yang terletak terpisah oleh sungai Lusi. Dukuh Kauman berada pada pusat kelurahan yang terbagi 3 RW yang membawahi 13 RT, sedangkan dukuh Dluwangan yang terbagi 2 RW yang membawahi 6 RT berada terpisah di sebelah selatan pusat Kelurahan Kauman Kelurahan ini memiliki kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan pada musim panen 50 yaitu mengadakan sedekah bumi yang dilakukan dua kali. Pada Dukuh Dluwangan acara sedekah bumi dilakukan di rumah kepala dukuh atau kamituwo dalam bahasa Jawa dengan lauk dan jajanan pasar, sedangkan di Kauman acara sedekah bumi dilakukan di Balai Kelurahan dengan upacara syukuran membawa nasi tumpeng dan jajanan pasar serta acara wayang kulit yang dilaksanakan pada malam acara sedekah bumi. Selain sedekah bumi, kebiasaan yang tidak ditinggalkan adalah pada bulan Muharam atau bulan Suro. Pada bulan Muharam masyarakat pada umumnya melarang siapapun untuk melaksanakan upacara perkawinan, khitan dan membangun rumah karena mereka meyakini adanya keramat dan penuh bala sehingga mereka tidak berani dan menghindari acara tersebut supaya terhindar dari malapetaka. Setelah bulan Muharam berakhir, masyarakat yang memiliki hajat untuk perkawinan, khitan dan lainnya akan melakukan upacara tersebut. Biasanya mereka menyuguhkan hiburan ketoprak, dangdutan, barongan dan sebagainya. Dalam masyarakat Kauman juga masih berlaku adat tujuh bulanan mitoni dalam bahasa Jawa untuk bayi yang masih dalam kandungan, serta ada pula memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun atau mendak dalam bahasa Jawa, dan 1000 hari meninggalnya seseorang. Hubungan kekerabatan yang terjalin antara penduduk Kelurahan Kauman sampai dengan saat ini terjalin erat. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih eratnya rasa gotong royong masyarakat di Kelurahan Kauman, misalnya gotong royong membersihkan lingkungan atau kerja bakti membuat selokan, memperbaiki jalan dan sebagainya. 51

4.2 Seni Patung “Kawi Designs” Blora