Konsep Privatisasi

2.3.5 Masalah dan Hambatan Privatisasi

Secara garis besar terdapat beberapa hambatan privatisasi yang dikenali oleh Simandjuntak (1996) yaitu (i) pemikiran bahwa privatisasi akan menjurus pada timbulnya ketidakadilan; (ii) kurangnya transparansi dan akuntabilitas; (iii) beban tugas non-ekonomi; (iv) keterbatasan daya serap pasar modal; (v) kekhwatiran konsentrasi bisnis hanya pada pemodal kuat saja.

Berg (1987) mengemukakan masalah yang dihadapi khususnya di negara berkembang yaitu (i) Tujuan utama privatisasi di negara berkembang berbeda dengan negara maju yaitu mengurangi jumlah BUMN yang merugi. Kondisi ini menyulitkan untuk menjual pada swasta; (ii) Tidak terdapat perusahaan swasta nasional yang mempunyai modal yang memadai untuk membeli BUMN, sementara perusahaan asing dengan modal yang cukup masih mendapat hambatan membeli BUMN; (iii) kondisi peraturan yang kurang mendukung. Misal proteksi industri, akses kredit; (iv) parlemen kurang memberi dukungan karena dianggap sebagai menjual aset nasional. Termasuk juga banyaknya penolakan dari militer yang banyak bergantung pada BUMN.

Penilaian harga saham/aset BUMN merupakan salah satu masalah krusial dalam proses privatisasi. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa masalah ini muncul terutama karena dua kondisi yaitu (i) ketika nilai yang ditaksir oleh konsultan lebih rendah dari nilai buku dari aset; dan (ii) ketika penjualan dilakukan pada harga yang lebih rendah dari nilai taksiran.

2.3.6 Kritik terhadap Privatisasi

Khusus di negara berkembang, Shirley dan Neils (1992) mengemukakan beberapa kelemahan privatisasi yaitu (i) kurang mampunya pemerintah melakukan proses privatisasi secara transparan; (ii) terjadinya peralihan monopoli ke tangan swasta yang tidak mempunyai kepedulian pada kesejahteraan masyarakat ( Siahaan, 2000 ).

Sementara Kagami (1999) mengemukakan kelemahan privatisasi adalah (i) timbulnya pengangguran dan berkurangnya peran serikat pekerja. Jika tidak tersedia dana cukup untuk realokasi tenaga kerja yang diberhentikan maka tingkat pengangguran akan meningkat. Kasus Amerika Latin membuktikan hal ini; (ii) mengurangi pelayanan daerah terpencil. Pelayanan daerah terpencil dianggap tidak menguntungkan; (iii) menurunnya stabilitas produksi atau kehandalannya. Kompetisi harga berpengaruh negatif terhadap kestabilan produksi. Kejadian pemadaman listrik di Inggris setelah liberalisasi membuktikan hal ini; (iv) dominasi modal asing (disebut juga ‘efek Wimbledon’). Salah satu contoh kasus adalah liberalisasi sektor keuangan di London. Jika terjadi di negara berkembang dengan kondisi pasar yang belum memadai maka akan menyebabkan kemungkinan terjadinya friksi; (v) masalah beban utang macet. Secara umum BUMN terbebani utang yang besar. Setelah privatisasi, keuntungan meningkat tetapi beban utang tetap tidak mudah diselesaikan. Contohnya,

beban utang ‘Japan National railways’ belum terselesaikan dan membebani keuangan negara; (vi) persaingan keras (‘survival of the fittest’) menciptakan kondisi semakin

dominannya perusahaan besar dan tercipta oligopoli. Contohnya, perusahaan penerbangan Amerika Serikat menjadi oligopolis dengan memberi rabat besar. Mekanisme pasar tidak menjamin distribusi pendapatan yang adil;.

2.4 Dampak Privatisasi

2.4.1 Manfaat dan Penggunaan Hasil Privatisasi

Beragam manfaat privatisasi antara lain (i) kultur sektor swasta akan mulai mempengaruhi perusahaan sehingga diharapkan efisiensi dapat ditingkatkan. Selanjutnya keuntungan meningkat sehingga harga saham akan meningkat (jika pemerintah masih memegang sebagian saham, maka pemerintah juga akan menikmati keuntungan dari kenaikan nilai saham). (ii) penjualan saham melalui pasar modal mengakibatkan berlakunya ketentuan pasar modal terutama menyangkut transparansi Beragam manfaat privatisasi antara lain (i) kultur sektor swasta akan mulai mempengaruhi perusahaan sehingga diharapkan efisiensi dapat ditingkatkan. Selanjutnya keuntungan meningkat sehingga harga saham akan meningkat (jika pemerintah masih memegang sebagian saham, maka pemerintah juga akan menikmati keuntungan dari kenaikan nilai saham). (ii) penjualan saham melalui pasar modal mengakibatkan berlakunya ketentuan pasar modal terutama menyangkut transparansi

Shirley dan Neils (1992) menekankan manfaat privatisasi pada membaiknya transparansi, lebih berperannya mekanisme kontrol pasar, dan berkurangnya tekanan dan campur tangan yang bersifat politis ( Siahaan, 2000 ).

Todaro (1989) mengemukakan bahwa selain memacu efisiensi, output dan menurunkan biaya, privatisasi bisa meredam pertumbuhan pembelanjaan pemerintah, meningkatkan pemasukan tunai untuk melunasi hutang, serta mempromosikan inisiatif individual untuk melakukan usaha. Yang terakhir, memperluas kepemilikan dan partisipasi masyarakat dalam perekonomian nasional.

Berdasar hasil studi mengenai perusahaan yang diprivatisasi menunjukkan bahwa manfaat yang dihasilkan dari program privatisasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (i) keadaan kompetisi yang semakin membaik; (ii) regulasi yang tepat dan memadai bagi sebagian perusahaan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak; (iii) perubahan kepemilikan badan usaha ( Goeltom, 1995 ).

Dari segi penggunaan hasil privatisasi, Davis (2000) mengklasifikasikan dalam

4 (empat) kondisi yaitu (i) Pengeluaran yang lebih besar. Penerimaan privatisasi temporer dan tidak pasti, sehingga tidak disarankan untuk dijadikan sumber pengeluaran rutin. Penggunaan terbatas untuk melindungi dampak jangka pendek privatisasi lebih tepat. Penggunaannya untuk pengeluaran modal tambahan tidak akan mengurangi aset pemerintah, meskipun akan menimbulkan pertanyaan mengenai kualitas proyek tersebut; (ii) Pengurangan hutang netto. Ini dicapai melalui pembayaran hutang; (iii) Pematokan penerimaan privatisasi untuk pengeluran tertentu. Kondisi ini dapat mengganggu manajemen fiskal dan menghambat realokasi pengeluaran untuk mengantisipasi situasi dan prioritas; (iv) mengurangi kendala fiskal. Hasil privatisasi dapat mempunyai peran terbatas dalam program reformasi dan penyesuaian yang agresif..

11 Di Inggris, jika pemilikan saham pemerintah dibawah 51 persen, maka ketentuan sektor publik tidak berlaku lagi bagi perusahan tersebut (Pirie, 1988).

2.4.2 Metode Penghitungan Dampak Privatisasi

Andic (1990) mengembangkan metode evaluasi dampak privatisasi ketika melakukan penelitian terhadap CONADI Enterprises di Honduras. Menurutnya tidak terdapat metodologi baku untuk keperluan ini. Sehingga dilakukan sedikit modifikasi terhadap metodologi tradisional penghitungan tingkat pengembalian ( internal rates of return ), nilai sekarang ( net present values ) dan rasio untung-rugi ( cost-benefit ratios ),

yang kemudian diaplikasikan kedalam metode evaluasi privatisasi 12 .

2.4.3 Dampak Fiskal

Situasi fiskal cenderung diuntungkan oleh privatisasi. Secara khusus, baik pada tingkat data perusahaan maupun data agregatmendukung dampak positip terhadap penerimaan, dan berkurangnya defisit. ( Davis, 2000 )

2.4.4 Dampak Ekonomi Makro

Beberapa hasil studi menunjukkan dampak positip privatisasi terhadap pertumbuhan dan tenaga kerja. Pertumbuhan dihasilkan dari meningkatnya efisiensi di tingkat perusahaan. Berkaitan dengan adanya kekhawatiran tentang bertambahnya pengngguran, bukti empiris memperlihatkan bahwa secara agregat pengangguran cenderung berkurang. Namun, sekelompok tertentu pekerja dapat mengalami hal yang

sebaliknya ( 13 Davis, 2000 )

2.4.5 Dampak Pemerataan

Privatisasi menjadikan perusahaan menerapkan kebijakan yang mengurangi ketidakmerataan akses pada barang dan jasa dengan melakukan pembatasan KKN. Dalam jangka panjang pemilikan aset yang lebih luas dan kesempatan yang lebih besar untuk berusaha mendorong kondisi institusi yang memihak pada pengembangan ekonomi kompetitif dan sistem politik demokratis.

Harus dikenali juga bahwa walaupun privatisasi menghasilkan peningkatan keadilan dalam bentuk pengurangan kesenjangan pendapatan dan akses, beberapa privatisasi akan mengorbankan kaum miskin. Misalnya jika perusahaan kereta api di India mengurangi subsidinya maka kaum miskin yang paling merasakan akibatnya secara langsung.

12 Metode ini akan dijelaskan secara detail dalam bab 4. 13 Studi dilakukan pada 8 negara berkembang dan 10 negara transisi.

2.5 Kunci Kesuksesan Privatisasi

Kehadiran Undang-Undang Privatisasi penting untuk menjamin privatisasi berada pada jalur yang benar. Keberadaan UU tersebut paling tidak bisa menghadirkan tiga prasyarat keberhasilan program privatisasi. Pertama, persyaratan kredibilitas dan akuntabilitas. Jika ini tidak terjadi, maka privatisasi hanya menghasilkan pengalihan inefisiensi dari sektor publik ke sektor swasta. Struktur pasar tak berubah sehingga tak ada perbaikan dalam iklim persaingan. Kedua, persyaratan kecepatan. Proses yang lama akan mengundang free rider dan pemburu rente. Ketiga, persyaratan organisasi. Pembentukan komisi privatisasi yang mengawasi jalannya privatisasi, menetapkan keputusan strategis seperti harga minimum saham jika ditempuh langkah Initial Public Offering (IPO) ( Basri, 2002 ).

Sementara Pirie (1988) menekankan bahwa kesuksesan privatisasi tidak hanya terkait dengan aspek ekonomi tetapi yang juga sama pentingnya adalah aspek politik. Di Inggris, faktor yang menunjang kesuksesan privatisasi tergantung pada metode yang dipergunakan. Pada metode penjualan seluruh saham publik maka faktor yang berpengaruh adalah (i) dukungan dari manajemen dan pegawai, (ii) tingkat penyebaran kepemilikan saham.

Sementara Sumarlin (1996) menekankan prinsip persamaan, transparansi dan obyektif yang dituangkan dalam 4 (empat) prinsip dasar bagi keberhasilan privatisasi yaitu (i) Pihak swasta yang membeli saham BUMN tidak diberi hak monopoli maupun hak privilege lainnya seperti proteksi, kredit bunga rendah. Mereka diperlakukan sama dengan pihak swasta lainnya; (ii) Privatisasi tidak berarti menomorduakan kepentingan masyarakat luas; (iii) kesempatan yang sama bagi masyarakat berpartisipasi; (iv) penetapan harga harus yang paling menguntungkan dengan memperhatikan harga pasar dan dilakukan dengan transparan.

Veljanovsky (1990) menekankan beragam hal sebagai persyaratan keberhasilan kebijakan privatisasi, diantaranya adalah (i) pemerintah harus mempunyai komitmen kuat; (ii) Privatisasi harus dibuat menjadi isu non-politis dengan menekankan efisiensi dan aspek kebebasan. Berarti juga proses privatisasi harus didepolitisasi; (iii) Privatisasi dilaksanakan bertahap dimulai dari perusahaan yang beroperasi di pasar kompetitif; (iv) Diperlukan dukungan dari kelompok berpengaruh/terkait. Hal ini memerlukan insentif finansial yang diberikan pada pekerja, pelanggan, dan manajer Veljanovsky (1990) menekankan beragam hal sebagai persyaratan keberhasilan kebijakan privatisasi, diantaranya adalah (i) pemerintah harus mempunyai komitmen kuat; (ii) Privatisasi harus dibuat menjadi isu non-politis dengan menekankan efisiensi dan aspek kebebasan. Berarti juga proses privatisasi harus didepolitisasi; (iii) Privatisasi dilaksanakan bertahap dimulai dari perusahaan yang beroperasi di pasar kompetitif; (iv) Diperlukan dukungan dari kelompok berpengaruh/terkait. Hal ini memerlukan insentif finansial yang diberikan pada pekerja, pelanggan, dan manajer

Andic (1990) menekankan pada aspek pengaturan, dan alasan yang rasional bagi keberhasilan privatisasi. Menurutnya terdapat 4 (empat) aturan yang harus dilakukan agar privatisasi mencapai tujuannya yaitu (i) Tunjukkan alasan teoritis dan bukti empiris yang menggambarkan keunggulan sektor swasta, dilengkapi analisis untung-rugi; (ii) pertahankan agar debat antara pembiayaan swasta dan publik terpisah dengan produksi swasta dan publik; (iii) jauhkan semua keputusan tentang produksi swasta versus publik dari tangan birokrat maupun pihak swasta yang pendapatannya banyak berasal dari pemerintah; (iv) pastikan bahwa deregulasi mengikuti privatisasi.

Menurut Hanke (1987), kesuksesan program privatisasi banyak tergantung pada strategi yang mengandung hal-hal berikut (i) lingkungan yang kondusif bagi pelaksanaan privatisasi. Misal pengaturan perpajakan, aturan kepemilikan, dan pembenahan paar modal; (ii) program penyebarluasan informasi; (iii) pelatihan tenaga terampil yang akan mengelola proses privatisasi; (iv) pilih target yang meminimalkan kesulitan dan menjamin kesuksesan; (v) pilih teknik dan stratgei yang akan memaksimalkan dukungan politis dari konstituante; (vi) persiapkan BUMN, pembenahan melalui investasi jika diperlukan.

Dalam salah satu hasil penelitian dalam Disertasi berjudul ‘Restrukturisasi BUMN: Pr ivatisasi atau Korporatisasi’ oleh Marwah M. Diah (1999) dikatakan bahwa privatisasi baru akan bermanfaat secara maksimal jika (i) pemerintah telah mampu menciptakan lingkungan kompetisi yang sehat; (ii) memiliki pedoman dan prosedur pengurangan biaya privatisasi; (iii) mendorong dinamisasi usaha kecil dan menengah; (iv) efektif memberantas korupsi dan ketidakadilan.

Sutojo (1995) menyimpulkan bahwa terdapat 5 (lima) faktor yang menetukan yaitu (i) perekonomian negara yang kuat dan sehat; (ii) sektor swasta yang dapat diandalkan; (iii) metode privatisasi yang tepat; (iv) hukum dan perundang-undangan serta kelembagaan yang menunjang; (v) pasar modal dan pasar uang yang efisien.

Salah satu sumber ketidakefisienan BUMN adalah ‘ soft budget constraint ’ yaitu kemudahan mendapatkan suntikan dana dari pemerintah sebagai pemegang saham. Berkaitan dengan itu, penelitian Boycko (1993) menunjukkan privatisasi akan efektif bila hak kendali dan hak alur dana dialihkan ke swasta ( Goeltom, 1995 ).

Kesuksesan privatisasi juga dikaitkan dengan penggunaan hasil privatisasi tersebut dengan tepat. Davis (2000) menjelaskan bahwa (i) penggunaan hasil privatisasi secara ‘off budget’ ( non budgeter ) dapat mengarah pada penggunaan yang

tidak terpantau. Dana non budgeter seharusnya diatur, dan diumumkan pada publik, diaudit, dan dibawah pengawasan parlemen; (ii) transaksi privatisasi sebaiknya transparan dan dilaporkan berdasar penerimaan kotor. Biaya restrukturisasi, rekapitalisasi atau penghapusan pinjaman BUMN seharusnya dicatat sebagai bagian pengeluaran dari penerimaan privatisasi.

Berdasar pengalaman Bank Dunia (1992), terdapat beberapa pelajaran penting bagi kesuksesan privatisasi yaitu (i) privatisasi berhasil jika merupakan bagian dari program reformasi yang lebih besar; (ii) regulasi bagian penting dari proses privatisasi BUMN monopoli; (iii) pemerintah dapat menghasilkan keuntungan dari privatisasi manajemen (korporatisasi) tanpa memprivatisasi kepemilikan aset; (iv) penjualan perusahaan besar memerlukan persiapan yang matang; (v) keterbukaan adalah penting bagi kesuksesan ekonomi dan politis; (vi) pengembangan bisnis swasta baru lebih baik dari perubahan perusahaan campuran swasta-publik di setiap sistem ekonomi.

2.6 Pengalaman dan Perbandingan dengan Negara Lain

2.6.1 Peran BUMN

Peran BUMN terutama dapat dilihat dari sumbangan BUMN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi BUMN terhadap PDB beragam mulai dari 2-3 persen di Nepal dan Pilipina sampai 50 persen di Arab Saudi. Berdasar pengelompokan negara, maka peran BUMN terhadap PDB relatif lebih besar pada negara berpendapatan rendah dibanding negara maju dan negara berpendapatan Peran BUMN terutama dapat dilihat dari sumbangan BUMN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi BUMN terhadap PDB beragam mulai dari 2-3 persen di Nepal dan Pilipina sampai 50 persen di Arab Saudi. Berdasar pengelompokan negara, maka peran BUMN terhadap PDB relatif lebih besar pada negara berpendapatan rendah dibanding negara maju dan negara berpendapatan

Negara berpendapatan rendah relatif lebih besar kontribusinya terhadap jumlah tenaga kerja nasional dibanding negara berpendapatan menengah. Sementara negara Afrika terlihat perannya jauh lebih besar dibanding negara Amerika Latin dan Asia. Selengkapnya Tabel 4.

Tabel 4 Peran BUMN terhadap PDB dan Tenaga Kerja

berdasar Kelompok Negara tahun 1978-1991

Proporsi rata-rata

No

Kelompok Negara

Periode 1978-1991

A. Proporsi terhadap PDB

! Negara Berkembang

Negara Maju

2 Negara Berpendapatan rendah

Negara Berpendapatan Menengah

3 Negara Amerika Latin

Negara Afrika

Negara Asia

B. Proporsi terhadap Jumlah Tenaga Kerja

1 Negara Berkembang

Negara Maju

tad

2 Negara Berpendapatan rendah

Negara Berpendapatan Menengah

3 Negara Amerika Latin

Negara Afrika

Negara Asia

Sumber: World Bank (1995).

2.6.2 Perkembangan Privatisasi Dunia

Berdasar data Bank Dunia, privatisasi berkembang dramatis. Pada tahun 1988 baru 12 negara melakukan privatisasi, tetapi tahun 1995 berkembang menjadi 45 negara.

Periode 1988-1995, sekitar 46 persen dari nilai keseluruhan privatisasi dunia terjadi di wilayah Amerika Latin, menyusul Asia Timur (25 persen), kawasan Eropa dan Asia Tengah (17 persen), serta wilayah lainnya (12 persen).

Privatisasi yang dominan di sektor primer dan infrastruktur. Metode privatisasi dominan adalah penawaran umum (40 persen). Metode lainnya yang diminati adalah ‘ strategic sale ’( Pranoto, 2000 )

2.6.3 Inggris

Pada akhir tahun 1970 BUMN di Inggris menyumbang sekitar 10 persen dari PDB dan mempekerjakan sekitar 10 persen dari total pekerja. BUMN mendominasi trasnportasi (bus, KA, penerbangan), komunikasi (pos dan telekomunikasi), dan sektor energi. Pada akhir 1980, gambaran di atas telah berubah banyak. Sektor komunikasi, transportasi, dan energi sebagian besar telah dikelola swasta ( Bishop, 1993 ).

Tujuan privatisasi di Inggris adalah (i) peningkatan efisiensi; (ii) mengurangi ‘the public sector borrowing requirement’ (PSBR) yaitu kebutuhan pendanaan yang

tidak dapat ditutup dari tabungan BUMN; (iii) mengurangi keterlibatan pemerintah dalam pengambilan keputusan BUMN; (iv) memperluas struktur pemilikan saham; (v) mendorong pemilikan saham oleh karyawan; (vi) meningkatkan kemampuan pendanaan BUMN; (vii) mendapat keuntungan politis ( Vickers, 1997 )

Privatisasi berdampak tekanan pada anggaran negara berkurang drastis. Hal lainnya bahwa populasi pemilikan saham perorangan meningkat tajam. Sebelum privatisasi, jumlah penduduk yang mempunyai saham hanya 3 juta orang, meningkat menjadi 9 juta orang dalam waktu 8 tahun setelah privatisasi. Berarti privatisasi berhasil mempercepat proses pemerataan pendapatan ( Swa, Juli 1990 ).

Dari 13 perusahaan skala besar yang diprivatisasi selama periode 1981-1987, maka terlihat bahwa 10 perusahaan (75 persen) menunjukkan kinerja yang membaik secara signifikan. Dari 3 perusahaan lainnya, British Airways dan Rolls-Royce tidak tersedia data, sementara Britoil cenderung menurun kinerjanya. Selengkapnya Tabel 5

Tingkat penjualan (turnover) dan output BUMN yang diprivatisasi di Inggris, sebagian besar menunjukkan peningkatan yang signifikan. Walaupun demikian terdapat 3 (tiga) BUMN yang menunjukkan penurunan tingkat penjualan setelah privatisasi, dan 3 (tiga) BUMN menunjukkan penurunan pertumbuhan output. Selengkapnya tabel 6.

Tabel 5

Kinerja BUMN Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi) Laba Sebelum Pajak Setelah Privatisasi

Perusahaan 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 British Aerospace (1981)

70.6 84.7 82.3 120 151 182 Tad

Cable and Wireless (1982)

Amersham International (1982)

National Freight Consortium (1982)

Associated British Port (1983)

5.5 14.5 (6.4) 20.8 17 Tad

Enterprise Oil (1984)

British Telecom (1984)

British Gas (1986)

British Airways (1987)

Tad  tidak ada data; dalam Juta Poundsterling

Laba Sebelum Pajak Sebelum Privatisasi

Sumber: Veljanovsky, 1990

Tabel 6.

Tingkat Penjualan dan Output BUMN di Inggris

(Sebelum dan Setelah Privatisasi)

Tingkat Penjualan

Pertumbuhan Output (%)

(harga Berlaku 1987) 1979

BUMN yang diprivatisasi

B. Steel

BUMN yang tidak diprivatisasi

B. Coal

B. Rail

34 Sumber: Bishop (1995)

P Office

Catatan: tad  tidak ada data; angka miring dan tebal menunjukkan penurunan

Berdasar tingkat pengembalian, digunakan dua metode yaitu Return on Capital Employed (RoCE) dan Return on Sales (RoS). Menggunakan metode RoCE, terlihat bahwa 4 (empat) BUMN menunjukkan penurunan RoCE, walaupun demikian dibandingkan BUMN yang tidak mengalami privatisasi maka BUMN yang telah diprivatisasi secara rata-rata menunjukkan proporsi RoCE yang lebih besar. Menggunakan metode RoS, BUMN yang telah diprivatisasi menunjukkan proporsi RoS yang jauh lebih besar dibanding BUMN yang tidak diprivatisasi, namun demikian terdapat 4 (empat) BUMN yang menunjukkan proporsi RoS yang menurun setelah diprivatisasi. Selengkapnya lihat Tabel 7.

Tabel 7.

Tingkat Pengembalian BUMN di Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi)

Return on Capital Employed (%)

Return on Sales (%)

BUMN yang diprivatisasi

B. Steel

16.6 17.9 17.9 14.7 22.8 Ent Oil

BUMN yang tidak diprivatisasi

B. Coal

Tad

7.6 5.9 5.9 4.4 P Office

B. Rail

7.6 4.0 2.6 Sumber: Bishop (1995)

Catatan: tad  tidak ada data; angka miring dan tebal menunjukkan penurunan Kajian Bishop (1993) terhadap kinerja 9 (sembilan) BUMN di Inggris berdasar

produktifitas tenaga kerja menunjukkan bahwa 6 (enam) dari 9 (sembilan) BUMN menunjukkan peningkatan produktifitas tenaga kerja. Sementara selebihnya menunjukkan penurunan kinerja. Secara keseluruhan kualitas pelayanan tidak menunjukkan penurunan.

Tabel 8 Pertumbuhan Produktifitas Tenaga Kerja di Inggris

Pertumbuhan/tahun (%)

British Airways

British Coal

British Gas

British rail

British Steel

British Telecom

Electricity Supply

Post Office

Sumber: Bishop (1993)

2.6.4 Perancis

Privatisasi perusahaan air minum di Perancis menggunakan metode kontrak manajemen (swa kelola). Pihak swasta melakukan penawaran dan negosiasi secara individual dengan 36 ribu walikota. Pemerintah Perancis tidak perlu mengeluarkan dana untuk membangun jaringan pipa, dan tetap memperoleh pemasukan. Pemerintah bertindak sebagai badan regulasi. Pemerintah menjadi lebih obyektif. Sementara pelayanan menjadi lebih baik karena pengelola swasta terikat kontrak ( Swa, Juli 1990 )

2.6.5 Italia

Salah satu metode privatisasi yang dilakukan di Italia dan sangat berhasil adalah sistem kontrak manajer. Seorang manajer swasta diangkat menjadi pengelola konglomerat BUMN. Keberhasilan metode ini karena kewenangan yang diberikan untuk menjalankan bisnis seperti perusahaan swasta ( Swa, Juli 1990 )

2.6.6 Korea Selatan

Salah satu metode privatisasi yang cukup berhasil di Korea Selatan adalah dalam bentuk penjualan saham khusus untuk masyarakat golongan ekonomi lemah. Melalui National Stock Plan (lembaga yang didirikan untuk pemerataan saham BUMN) pada tahun 1988, 34,1 persen saham Pohang Iron Steel Co (POSCO) dijual pada masyarakat miskin. Jumlah pemilikan saham melesat dari 7,5 persen menjadi 20,3 persen dari populasi. Hal ini mengakibatkan tidak timbulnya keresahan atau penolakan di kalangan bawah.

Kondisi di atas ditunjang oleh adanya sistem pemisahan pasar modal. Pasar I terbuka untuk asing dan orang kaya sementara Pasar II hanya untuk lokal dan Kondisi di atas ditunjang oleh adanya sistem pemisahan pasar modal. Pasar I terbuka untuk asing dan orang kaya sementara Pasar II hanya untuk lokal dan

2.6.7 Chili

Pembahasan privatisasi di Chili menjadi menarik karena penguasa negara tersebut adalah rezim militer yang identik dengan penolakan terhadap privatisasi. Ditambah lagi bahwa privatisasi Chili ternyata sukses yang ditandai dengan penyebaran kepemilikan saham meningkat, perusahaan swasta menjadi lebih efisien, membuka kesempatan investasi, berkurangnya ketergantungan pada sektor publik.

Privatisasi di Chili dilakukan dalam 2 (dua) gelombang, yaitu gelombang I (1974-1979) dan gelombang II (1984-1989). Selama periode tersebut telah berhasil diprivatisasi sebanyak 550 BUMN, dan sumbangan BUMN terhadap PDB turun dari

39 persen menjadi 16 persen. Pada gelombang I, privatisasi dijual terbatas dalam bentuk paket untuk mendapatkan harga yang tinggi. Kurangnya modal swasta, maka pemerintah memberi kredit. Ternyata di kemudian hari pemilik yang baru mengalami kebankrutan sehingga BUMN yang telah diprivatisasi kemudian dibeli kembali oleh pemerintah. Kemudian pada gelombang II dilakukan penjualan kembali BUMN secara lelang, dan sebagian besar dibeli secara patungan oleh perusahaan lokal dan asing. Selebihnya dijual secara ‘ popular capitalism ’, berupa penawaran saham pada masyarakat dengan memberikan kredit tanpa bunga. Sementara BUMN yang baru pertama kal i diprivatisasi, diitawarkan dengan cara ‘labor capitalism’ berupa penawaran pada karyawan, ‘institutional capitalism’ berupa penawaran pada institusi seperti yayasan dana pensiun ( Siahaan, 2000 ).

Hachette dan Luders (1993) menganalisis proses privatisasi di Chili dan menyimpulkan: (i) keberhasilan privatisasi Chili menunjukkan bahwa privatisasi di negara berkembang dapat berjalan dengan baik. Meskipun pasar tidak sempurna di negara berkembang tetapi tetap dapat berfungsi baik untuk menghasilkan harga penjualan saham yang memadai dan mendorong perusahaan privatisasi bekerja efisien. Sumber daya finansial selalu ada walaupun di negara berkembang. BUMN dapat dijual Hachette dan Luders (1993) menganalisis proses privatisasi di Chili dan menyimpulkan: (i) keberhasilan privatisasi Chili menunjukkan bahwa privatisasi di negara berkembang dapat berjalan dengan baik. Meskipun pasar tidak sempurna di negara berkembang tetapi tetap dapat berfungsi baik untuk menghasilkan harga penjualan saham yang memadai dan mendorong perusahaan privatisasi bekerja efisien. Sumber daya finansial selalu ada walaupun di negara berkembang. BUMN dapat dijual

Salah satu kritik terhadap proses privatisasi di Chili adalah kurangnya transparansi dalam prosesnya. Hal ini mungkin dikondisikan oleh bentuk pemerintahan yang dikendalikan oleh militer, dan bentuk privatisasi yang dilakukan secara massal. Walaupun demikian tujuan privatisasi tersebut berupa penyebaran pemilikan saham, dan peningkatan penerimaan pemerintah dapat dicapai.

2.6.8 Negara Transisi 14 Satu dekade lalu, dengan pecahnya Uni Sovyet, dan dimulainya reformasi

orientasi pasar di banyak negara Eropa Timur dan Tengah, maka privatisasi menjadi suatu jalan keluar dari ketidakefisienan perencanaan terpusat. Ternyata terdapat dua pelajaran penting yang didapatkan yaitu (i) perusahaan swasta selalu lebih baik kinerjanya dibanding BUMN. Dengan kata lain, setiap langkah privatisasi lebih baik dari pada tidak sama sekali, tanpa mempedulikan apakah telah tercipta kestabilan pasar dan lingkungan yang kompetitif; (ii) perusahaan swasta yang mulai dari bawah menunjukkan kinerja terbaik, disusul BUMN yang diprivatisasi dan dikendalikan orang luar (non birokrat), baru kemudian BUMN.

Kendala ‘soft budget’, yang ditandai masih diberikannya subsidi, bunga pinjaman lunak, penghapusan hutang, menghalangi restrukturisasi perusahaan. Pihak manjemen akan lebih banyak melakukan lobby dibanding melaksanakan strukturisasi. Terdapat kecenderungan menyimpulkan bahwa pasar bebas dan lingkungan kompetitif lebih penting dari pada metode privatisasi (Gardner, 1999)

14 Negara transisi adalah negara yang sedang dalam proses perubahan dari ekonomi terpusat menuju ekonomi pasar.

2.6.9 Perbandingan AntarNegara

Berdasar beberapa hasil survei perbandingan kinerja perusahaan swasta dan BUMN serta dampak privatisasi BUMN pada berbagai negara, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa (i) kinerja perusahaan swasta bisa lebih efisien dari BUMN dan sebaliknya; (ii) perubahan pemerintahan tidak berdampak pada kinerja perusahaan (swasta dan BUMN); (iii) privatisasi dapat meningkatkan pertumbuhan produktifitas tenaga kerja dan total faktor, dan sebaliknya tidak mempunyai pengaruh yang signifikan; (iv) perubahan kepemilikan berdampak kecil; (v) BUMN dengan pasar kompetitif lebih baik kinerjanya ( Pollitt, 1999 )

Tabel 9. Beberapa Hasil Penelitian Perbandingan BUMN Antarnegara Penelitian

Hutchinson Membandingkan

Perusahaan swasta lebih (1991)

Statistik deskriptif

17 perusahaan

efisien dari BUMN swasta dan BUMN

efisiensi perusahaan dan analisis OLS

termasuk 6

Perubahan pemerintahan dan dampak

dari produktifitas

BUMN yang

tenaga kerja,

diprivatisasi,

tidak mempunyai

perubahan rezim

dampak terhadap kinerja terhadap kinerja

keuntungan, dan

periode 1970-

perusahaan dan BUMN perusahaan Bishop dan

paduan teknologi.

Meneliti pengaruh

Tingkat output,

9 BUMN,

Peningkatan

Thompson privatisasi terhadap

pertumbuhan rata-rata (1992)

produktifitas tenaga

1970-1990

produktifitas tenaga kerja efisiensi

perubahan tingkat

kerja, dan

produktifitas total

dan total factor

faktor

Haskel dan Menguji 4 hipotesis

Kompetisi meningkatkan Szymanski

Regresi

12 BUMN

tentang dampak

Produktifitas total

yang

produktifitas

(1992) kepemilikan dan

Perubahan kepemilikan kompetisi terhadap

factor

diprivatisasi,

mempunyai dampak efisiensi

1972-1988

kecil.

Bishop dan Meneliti kinerja

BUMN dengan pasar Green (1995)

Keuntungan,

9 BUMN,

kompetitif lebih baik diprivatisasi

BUMN yang

penjualan, gaji dan

1979-1994

data tenaga kerja

kinerjanya. Perbandingan produktifitas total factor menunjukkan kinerja swasta dan BUMN sama saja

Koedijk dan Menghitung

Perubahan regulasi Kremers

Regresi

11 negara

dampak regulasi

pertumbuhan output masyarakat

meningkatkan

pertumbuhan ekonomi dan produk

pasar tenaga kerja

per kapita terhadap

ekonomi

ukuran tingkat

pertumbuhan output Parker dan

Tidak ada perbaikan Martin (1997)

Meneliti pengaruh

Produktifitas tenaga

11 BUMN

produktifitas. Tingkat kinerja perusahaan

privatisasi terhadap

kerja, produktifitas

yang

factor total,

diprivatisasi,

kompetisi berpengaruh

pertumbuhan nilai

1973-1995

terhadap kinerja

tambah/tenaga kerja dan keuntungan

Sumber:Pollitt, 1999

2.6.10 Dampak Privatisasi per Bidang Usaha

Dari beberapa studi terhadap perbandingan kinerja perusahaan negara dan swasta pada berbagai bidang usaha yang dikumpulkan oleh Hanke (1987) pada berbagai negara, maka efisiensi perusahaan swasta relatif lebih baik. Adapun hasil studi tersebut adalah:

A. Administrasi Di AS, fungsi administrasi lebih murah, lebih cepat dengan kesalahan lebih

sedikit jika dilaksanakan oleh sektor swasta.

B. Penerbangan Bukti di Australia menunjukkan perusahaan swasta lebih efisien. Mereka

beroperasi dengan peralatan, tarif, rute yang sama. Perusahaan swasta mengangkut dua kali lebih banyak. Pendapatan per pekerja perusahaan swasta lebih tinggi 12 persen.

C. Perbankan Studi di Australia menunjukkan bank BUMN mempunyai tingkat keuntungan

terhadap aset, dan keuntungan terhadap modal lebih rendah.

D. Pekerjaan Pemeliharaan dan Pengelolaan Gedung Pekerjaan pemeliharaan gedung Departemen Pertahanan AS diswastakan dan

menghasilkan penghematan sekitar 5-25 persen. Beberapa sekolah umum di New York juga melakukan hal yang sama dan menghasilkan penghematan rata-rata 14 persen. Di Jerman juga menunjukkan hasil yang relatif sama, bahkan dengan penghematan yang lebih besar.

E. Listrik Perbandingan 95 perusahaan listrik negara dan 47 perusahaan swasta di AS

menunjukkan biaya per kilowatt-jam lebih tinggi rata-rata 21 persen pada perusahaan negara.

F. Rumah Sakit Sistem pelayanan kesehatan terbesar di AS yang dikelola oleh pemerintah

melalui Veterans Administration (V.A.) menunjukkan biayanya lebih mahal dibanding sistem swasta.

G. Pelayanan Pos Pelayanan pos di AS ditangani baik oleh perusahaan negara maupun swasta.

Perusahaan swasta menangani dua kali lebih banyak pengiriman, dengan tarif lebih Perusahaan swasta menangani dua kali lebih banyak pengiriman, dengan tarif lebih

H. Kereta Api Produktifitas pegawai Amtrak, perusahaan KA milik pemerintah AS, kurang

dibanding produktifitas empat perusahaan swasta lainnya.

I. Jalan Raya Pemeliharaan jalan raya merupakan salah satu usaha yang dapat

diperbandingkan di negara berkembang. Evaluasi rinci dari biaya pemeliharaan jalan di Brasil memperlihatkan penanganan oleh swasta melalui sistem kontrak lebih murah dibanding yang dilakukan oleh Departemen Jalan Raya Nasional Brasil.

J. Transportasi Kota Di Australia, biaya sistem transportasi perkotaan per kilometer yang ditangani

swasta hampir 42 persen lebih murah dari pada sistem yang ditangani negara. DI Jerman Barat, biaya rata-rata nasional per kilometer 160 persen lebih mahal jika ditangani negara. Di New York, biaya lebih murah 10 persen jika ditangani swasta. Di Istanbul dan Calcutta juga menunjukkan kondisi yang sama,

K. Telekomunikasi Perusahaan telekomunikasi dimiliki oleh pemerintah di sebagian besar negara

kecuali Amerika Serikat . Tetapi antara tahun 1981 sampai 1998, sebanyak 31 BUMN di 25 negara diprivatisasi baik total maupun sebagian melalui penawaran saham umum. Pada sebagian besar kasus, saham yang ditawarkan merupakan penawaran terbesar di masing-masing negara, bahkan tercatat ada yang mencapai lebih dari 30% dari keseluruhan kapitalisasi pasar modal di negara yang bersangkutan.

Sebuah studi terbaru menemukan bahwa keuntungan, output, efisiensi operasional dan investasi modal meningkat signifikan setelah privatisasi, semenrtara jumlah tenaga kerja dan jumlah hutang berkurang tajam. Hampir seluruh BUMN telekomunikasi menghadapi regulasi baru pada saat diprivatisasi, dan banyak pemerintahan mempertahankan sahamnya yang signifikan. Kedua faktor ini mempengaruhi kinerja keuangan. Beberapa kondisi setelah privatisasi adalah:

 Kompetisi mengurangi keuntungan, dan jumlah tenaga kerja dan efisiensi monopoli pemerintah setelah privatisasi. Sementara pembentukan instansi pengatur

(regulator) independen meningkatkan output.

 Mempertahankan kepemilikan pemerintah berhubungan dengan peningkatan hutang dan pengurangan tenaga kerja, sementara pengaturan harga meningkatkan

keuntungan.. Dapat disimpulkan bahwa dampak finansial privatisasi terhadap BUMN telekomunikasi tergantung sebagian besar pada struktur pasar kompetisi yang baru, pasar yang setara, pengaturan harga dan instansi pengatur independen. Dampak tersebut dapat negatip tetapi konsumen dan kondisi ekonomi mendapatkan keuntungan dari proses ini ( Bortolotti, 2001 )

Privatisasi di Inggris memperlihatkan bahwa privatisasi British Telecom menunjukkan kesuksesan dalam banyak hal, harga menjadi murah, sementara produktifitas dan keuntungan meningkat. British Telecom setelah privatisasi ternyata mampu meningkatkan jumlah saluran telepon sebesar 30 persen. Pertumbuhan produktifitasnya naik dari 1,9 persen per tahun (1979-1983) menjadi 3,2 persen per tahun (1983-1987), yang menunjukkan kenaikan hampir 70 persen. British Gas berhasil menawarkan harga jual pada pelanggan industri dengan 30 persen lebih murah dibandingkan tarif sebelumnya ( Wibisono, 1996 ).

Vogelsang dkk, (1994) menyelenggarakan analisis untung-rugi sosial terhadap privatisasi BT yang menunjukkan dampak positip. Keseluruhan masyarakat memperoleh keuntungan 10 Miliar Poundsterling, yang sebagian terbesar mengalir ke konsumen ( Pollitt, 1999 ).

Vogelsang dkk. mencatat bahwa perbaikan produktiftas dihasilkan dari perbaikan teknik dan bukan hanya privatisasi, meskipun privatisasi mendorong pembentukan modal. Regulasi mempengaruhi harga. Privatisasi mendorong investasi dan regulasi menguntungkan konsumen. Privatisasi tidak menunjukkan pengaruh pada perbaikan efisiensi operasi sampai pada saat dilakukan PHK karena ketatnya kompetisi. Sebelumnya pertumbuhan produktifitas merupakan fungsi dari pertumbuhan output, yang merupakan bagian dari pengaruh menurunnya tarif. Kompetisi merupakan media utama meningkatkan pelayanan dan menurunkan tarif di sektor telekomunikasi ( Pollitt, 1999 ).

2.6.11 Beberapa Fakta Penting

Dari beberapa pengalaman pelaksanaan privatisasi di manca negara, maka dapat dikemukakan beberapa fakta yang penting yaitu: (i) Pertama. Privatisasi berjalan Dari beberapa pengalaman pelaksanaan privatisasi di manca negara, maka dapat dikemukakan beberapa fakta yang penting yaitu: (i) Pertama. Privatisasi berjalan

3. Privatisasi di Indonesia

3.1 Latar Belakang dan Sejarah BUMN

Cikal bakal BUMN di Indonesia telah dikenal jauh sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, cikal bakal BUMN tersebut antaranya adalah Pandhuisdinst (pegadaian). Setelah Indonesia merdeka, usaha negara dimasukkan dalam pasal 33 UUD 1945,. Dalam pasal tersebut disebutkan 3 pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional yaitu usaha swasta, usaha negara dan koperasi. Hal ini yang menjadi legitimasi keberadaan BUMN. Selain itu juga adanya kesadaran keterbatasan kemampuan sektor swasta, dan keinginan mengurangi ketergantungan pada pihak asing ( Anwari, 1998 )

Pada awal kemerdekaan, BUMN di Indonesia sebagian besar berasal dari proses nasionalisasi perusahaan Belanda, yang pada kurun waktu 1957-1963 mencapai 630 buah, bahkan meningkat sampai 822 buah pada tahun 1966. Pada masa Orde Baru dilakukan penciutan BUMN, sehingga jumlahnya berkurang menjadi sekitar 200 perusahaan ( Ruru, 1996 ). Pada masa setelah Orde Baru jumlah BUMN relatif tetap.

3.2 Pengertian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 memberikan pengertian BUMN mencakup (i) Badan Usaha yang dimiliki seluruhnya oleh Negara; (ii) Badan usaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 memberikan pengertian BUMN mencakup (i) Badan Usaha yang dimiliki seluruhnya oleh Negara; (ii) Badan usaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN,

Pada saat sekarang, BUMN dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) bentuk 15 yaitu (i) Perum, yaitu BUMN yang berusaha dibidang penyediaan pelayanan bagi

kemanfaatan umum disamping mendapatkan keuntungan, dan modal seluruhnya milik negara; (ii) Persero, yaitu BUMN yang bertujuan memupuk keuntungan dan bergerak diluar bidang usaha Perum, modal seluruhnya/sebagian milik negara. Disamping itu, terdapat bentuk lain BUMN yang diatur khusus yaitu bank pemerintah dan Pertamina.

Secara umum penggolongan BUMN dapat diklasifikasikan dalam 6 (enam) kategori yaitu: (i) usahanya bersifat tugas perintisan dan pembangunan prasarana tertentu; (ii) menghasilkan barang yang dengan pertimbangan keamanan dan kerahasiaan harus dikuasai oleh negara; (iii) didirikan atas pertimbangan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah; (iv) didirikan dengan tujuan untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat; (v) didirikan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku harus dimiliki dan dikelola pemerintah; (vi) usahanya bersifat komersil dan fungsinya dapat dilakukan oleh swasta.

3.3 Tujuan Pendirian BUMN

Secara umum terdapat 2 (dua) tujuan pendirian BUMN yaitu (i) fungsi komersil, antaranya memberi sumbangan bagi perekonomian nasional, mengadakan pemupukan dana; (ii) fungsi non-komersil, antaranya menyelenggarakan kegiatan usaha yang bersifat melengkapi kegiatan swasta, merintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh swasta, memberikan bimbingan pada swasta, menunjang program pemerintah.

Siahaan (2000) berdasar sejarah dan latar belakang pendirian BUMN menyimpulkan alasan mempertahankan BUMN yaitu: (i) argumen warisan historis, menunjukkan bahwa keterlibatan pemerintah dalam perekonomian nasional melalui

15 Sebelumnya berdasar UU No. 9 Tahun 1969, BUMN dibagi 3 (tiga) kategori yaitu Perusahaan Jawatan (perjan), Perusahaan umum (perum), dan perusahaan persero

BUMN merupakan warisan sejarah; (ii) preferensi ideologis dan konsolidasi kekuatan politik dan ekonomis, dimaksudkan bahwa langkah pemerintah mempunyai landasan ideologis sebagaimana tercantum dalam pasal 3 UUD 1945; (iii) jawaban pragmatis terhadap masalah ekonomi; (iv) dorongan institusi internasional dan negara donor.

3.4 Kontribusi BUMN dalam Perekonomian Nasional

BUMN beroperasi di hampir seluruh sektor perekonomian dan beberapa diantaranya bergerak dalam industri hulu. Hal ini menjadikan BUMN tumpuan harapan kinerja industri hilir. Artinya kinerja industri hilir banyak bergantung pada tingkat efisiensi BUMN ( Ruru, 1996 ).

Peranan BUMN di Indonesia dalam perekonomian nasional relatif tinggi 16 . Sumbangan BUMN, tidak termasuk migas, pada Produk Domestik Bruto (PDB) adalah

sebesar 12% , melampaui negara-negara di Asia seperti Thailand (3,6%), Korea (6,4%). Peranan BUMN di Indonesia cenderung menurun, jika dibandingkan dengan kondisi tahun 1984 dengan kontribusi BUMN masih sekitar 15 persen.

Investasi BUMN menunjukkan penurunan. Pada tahun 1990, proporsi investasi BUMN non-migas terhadap total investasi adalah sebesar 13 persen, turun dari 23 persen pada tahun 1985.

Walaupun menunjukkan kecenderungan penurunan sumbangan terhadap PDB dan investasi, tetapi beberapa aspek masih menunjukkan peningkatan yaitu (i) sumbangan finansial masih menunjukkan peningkatan Dividen dari Rp. 0,75 Triliun (1990) menjadi Rp. 1,25 triliun (1994); PPh Badan dari Rp. 2,6 Triliun (1990) menjadi Rp. 3,5 Triliun (1994); PPN (dengan asumsi 10 persen) diperkirakan mencapai Rp. 8,4 triliun (1994); (ii) penyediaan Barang dan Jasa. Kontribusi penyediaan barang/jasa dari Rp. 62,2 Triliun (1990) menjadi Rp. 83,7 triliun (1994); (iii) Kesempatan Kerja. Kontribusi kesempatan kerja mencapai 1,02 juta orang (1994); (iv) Kontribusi Sosial. Kontribusi sosial (dana PUKK) sampai tahun 1994 telah digulirkan sebesar Rp. 500,1 miliar; (v) Total Aset. Total aset BUMN mencapai Rp. 291,9 triliun (1990) atau 82,3 persen dari PDB Indonesia. Dibandingkan dengan total aset konglomerat Indonesia hanya sebesar Rp. 227,3 Triliun.

16 Perbandingan dengan negara lain dibahas lebih rinci pada sub.bab 2.6 terdahulu.

3.5 Profil BUMN

3.5.1 Jumlah dan Pengelompokan BUMN per Bidang Usaha

Jumlah seluruh BUMN pada tahun 1998 adalah 144 perusahaan. Jumlah BUMN terbesar pada bidang agro industri (22.9%), logistik (22.2%), jasa keuangan (13.2%), dan konstruksi (12.5%)

Penjualan terbesar diraih BUMN bidang bidang jasa keuangan merupakan 42,4% dari total penjualan BUMN, disusul bidang agroindustri (14,3%), energi (9,9%), pariwisata (9.7%). Bidang lainnya relatif kecil proporsinya.

Aset terbesar pada kelompok usaha jasa keuangan mencapai 58% dari total aset BUMN, disusul bidang energi (15%). Bidang lainnya relatif kecil proporsinya. Selengkapnya pada Tabel 10 (halaman berikut)

3.5.2 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Penjualan

Proporsi terbesar dari Nilai penjualan BUMN diraih oleh kelompok penjualan diatas Rp. 1 Trilun, sementara kelompok penjualan lainnya relatif jauh lebih kecil. Selengkapnya pada Tabel 11.

Tabel 11 Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Penjualan

Kelompok Penjualan (Rp. M) Jumlah BUMN Penjualan (Rp.M) Penjualan (%) > 1000

4.6 Sumber: Profil dan Anatomi BUMn Edisi 3 Volume 1.

3.5.3 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Aset

Proporsi terbesar dari Nilai aset BUMN didominasi oleh kelompok aset diatas Rp. 1 Trilun, sementara kelompok aset lainnya relatif jauh lebih kecil.

Tabel 12 Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Aset

Kelompok Penjualan (Rp. M) Jumlah BUMN Penjualan (Rp.M) Penjualan (%) > 1000

Sumber: Profil dan Anatomi BUMn Edisi 3 Volume 1.

Tabel 10 Pengelompokan BUMN per Sektor Tahun 1998 (Triliun Rupiah)

Bidang Usaha

Nama Perusahaan

1. Jasa Keuangan

19 Bank Mandiri, PT. Bank BTN, PT. Bank BNI,

(58%) (13.2%) PT. Bank BRI, PT. Danareksa, PT. Bahana,

PT. PANN MF, PT. Kliring JBK, PT AS. Jasindo, PT. AS. Jiwasraya, PT. AS Jasa Raharja, PT. ASEI, PT. RUI, PT. Taspen, PT. ASABRI, PT. Askes, PT. Jamsostek, PT. Askrindo, PT. PP Berdikari.

2. Agroindustri 20.2 26.3 33 PT PN I-XIV, PT RNI, PT Pusri, PT Pupuk Dan konsumer

(22.9%) Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT PIM, PT

Petrogres, PT AAI, PT Sang Hyang Sri, PT Pertani, PT perikanan S Besar, PT Perikani, PT Usaha Mina, PT Tirta Raya Mina, PT Indo Farma, PT Kimia Farma, PT Bio Farma, PT Garam, PT Industri Soda Ind, PT Iglas.

3. Energi

14.3 70 3 PT PLN, PT PGN, PT Kanebo

4. Pariwisata 13.9 13 10 PT garuda, PT Merpati, PT AP I, PT AP II,

(6.9%) PT WNI, PT HII, PT Natour, PT IWC

Borobudur-Prambanan, PT Perhotelan dan Perkantoran Ind, PT BTDC

5. Telekomunikasi 8.8 28.8 4 PT Indosat, PT Telkom, PT Pradnya Paramita, Dan Media

(2.8%) PT Balai Pustaka

6. Industri 8.4 14.7 13 PT IPTN, PT PAL Ind, PT IKI, PT Pindad, PT Strategis

Dahana, PT INKA, PT LEN Industri, PT Krakatau Steel, PT Barata Indonesia, PT Boma Bisma Indra, PT Batan Teknologi, PT INTI, PT PPLI.

7. Logistik 8.1 20.3 32 PT Pelindo I-IV, PT VIP, PT bahtera Adhi

(22.2%) Guna, PT Djakarta Lloyd, PT PELNI, PT

Rukinda, PT ASDP, PT Dok Kodja Bahari, PT Dok Perkapalan Sby, PT Jasa Marga, PT JIEP, PT SIER, PT Pos Ind, PT Suadinda, PT Surveyor Ind, PT KBN, PT Kaw Industri Cilacap, PT Kaw Industri Medan, PT Kaw Industri Makasar, PT PDIP Batam, PT BKI, PT Survey Udara Peers, PT Sarinah, PT Cipta Niaga, PT Kerta Niaga, PT Mega Eltra, PT Pantja Niaga, PT Dharma Niaga, PT BGR.

8. Pertambangan 3.9 5.8 4 PT Timah, PT Aneka Tambang, PT Toba

(2.8%) Bukit Asam, PT Sarana Karya

9. Konstruksi dan 3.4 13 18 PT Istaka Karya, PT Wijaya Karya, PT Bhn bangunan

(12.5%) Waskita Karya, PT Nindya Karya, PT Hutama

Karya, PT Adhi Karya, PT Amarta Karya, PT Indra Karya, PT Indah Karya, PT Virama Karya, PT Yodya Karya, PT Bina Karya, PT Pembang Perumahan, PT Brantas Abipraya, PT Rekayasa Industri, PT Semen Gresik, PT Semen Baturaja, PT Semen Kupang

10. Kehutanan, 1.9 3.2 8 PT Inhutani I-V, PT Kertas Leces, PT Kertas Kertas, Kayu

(5.6%) Padalarang, PT Kertas Kraft Aceh. Total

Daftar diatas tidak termasuk kepemilikan

minoritas seperti Freeport dan lain-lain. Sumber: Pranoto (2000)

3.5.4 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Jumlah Laba

Berbeda dengan proporsi nilai penjualan dan nilai aset yang terlihat senjang antar kelompok, maka proporsi jumlah laba antar kelompok laba relatif berimbang. Selengkapnya pada Tabel 13

Tabel 13 Pengelompokan BUMN berdasar Jumlah Laba

Kelompok Laba Jumlah

Jumlah laba

Proporsi

(Rp. Miliar)

BUMN

(Rp. Miliar)

Sumber: Profil dan Anatomi BUMn Edisi 3 Volume 1.

3.6 Kinerja BUMN

Dari sekitar 160 BUMN pada tahun 1997, maka berdasar kriteria RLS terdapat

41 BUMN (25,2 persen) berkategori sangat sehat, 33 BUMN (20,8 persen) sehat, 29 BUMN (18,2 persen) kurang sehat, dan 57 BUMN (35,8 persen) tidak sehat. Dengan demikian kinerja BUMN di Indonesia masih kurang memadai, terutama jika dikaitkan dengan return on assets (ROA) rata-rata BUMN periode 1988-1996 tidak pernah melampaui angka 4 persen, bahkan untuk tahun 1997 hanya 2,7 persen ( Suwandi, 2001 ).

3.7 Perkembangan Privatisasi

3.7.1 Latar Belakang Privatisasi

Privatisasi di Indonesia dimulai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740 dan 741/KMK.00/1989 yang dijadikan landasan pelaksanaan privatisasi. Pelaksanaan Privatisasi dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) hal yaitu (i) kondisi keuangan negara. Jatuhnya harga minyak sejak tahun 1983 dan mencapai puncaknya tahun 1986 mengakibatkan terjadinya kesulitan keuangan negara. Pendapatan negara dan devisa semakin berkurang, sementara kewajiban negara membayar hutang semakin besar. Kondisi ini mendorong pemerintah mencari sumber lain atau mengurangi pengeluaran. Salah satu cara adalah mengurangi subsidi dan penyertaan modal pemerintah pada BUMN; (ii) globalisasi. Salah satu ciri globali sasi adalah ‘ekonomi tanpa batas negara’ Privatisasi di Indonesia dimulai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740 dan 741/KMK.00/1989 yang dijadikan landasan pelaksanaan privatisasi. Pelaksanaan Privatisasi dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) hal yaitu (i) kondisi keuangan negara. Jatuhnya harga minyak sejak tahun 1983 dan mencapai puncaknya tahun 1986 mengakibatkan terjadinya kesulitan keuangan negara. Pendapatan negara dan devisa semakin berkurang, sementara kewajiban negara membayar hutang semakin besar. Kondisi ini mendorong pemerintah mencari sumber lain atau mengurangi pengeluaran. Salah satu cara adalah mengurangi subsidi dan penyertaan modal pemerintah pada BUMN; (ii) globalisasi. Salah satu ciri globali sasi adalah ‘ekonomi tanpa batas negara’

Perangkat peraturan yang mendukung program privatisasi bertambah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 1990 tentang perusahaan persero yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal yang kemudian sebagian dirubah melalui PP Nomor 59 Tahun 1996. Dengan dikeluarkannya peraturan ini maka terbuka peluang BUMN go public.

Sampai tahun 1996, tepat sebelum terjadinya krisis ekonomi, jumlah BUMN yang masuk pasar modal telah mencapai 7 (tujuh) BUMN yaitu PT. Semen Gresik (1991); PT. Indosat (1994), PT. Tambang Timah (1995), PT. Telkom (1995), Bank BNI (1996), PT. Indofarma; PT. Kimia Farma. Masih terdapat beberapa kegiatan privatisasi lagi seperti Kerja Sama Operasi (KSO) PT. Telkom.

Memasuki tahun 1997 ditandai dengan terjadinya krisis ekonomi, maka langkah privatisasi menjadi salah satu prioritas pemerintah terutama setelah Indonesia menjadi pasien IMF. Program privatisasi bahkan tercantum dalam Letter of Intention (LOI).

Sejak awal program tahun 1998 sampai Maret 1999 hanya 2 (dua) transaksi yang terlaksana. Penjualan saham minoritas di PT. Semen Gresik pada Cemex (Meksiko), dan PT. Indofood Sukses Makmur. Banyak BUMN lainnya yang terhambat proses privatisasinya karena adanya penolakan dari publik. Salah satunya Privatisasi PT. Krakatau Steel terhambat karena adanya penolakan dari kalangan direksi sendiri.

Memasuki tahun anggaran 1999/2000, pemerintah mentargetkan pendapatan sebesar Rp. 13 Triliun. Seperti periode sebelumnya, hasilnya jauh dari harapan, meskipun terjadi privatisasi PT. Pelindo II (Rp. 1,89 Triliun), PT. Pelindo III (Rp. 1,52 Triliun), PT. Telkom (Rp. 3,27 Triliun).

Tahun anggaran 2000, bahkan tidak terjadi transaksi sama sekali dari target sebesar Rp. 6,5 Triliun. Target tersebut kemudian dilanjutkan dalam tahun anggaran berikutnya. Meskipun demikian pemerintah tetap mentargetkan jumlah BUMN yang akan diprivatisasi cukup besar untuk tahun anggaran 2002 yang mencapai 25 BUMN.

Sebenarnya masih banyak metode privatisasi yang dilakukan selain go public, tetapi keterbatasan informasi menyebabkan sulitnya mengetahui kemajuannya.

Diantaranya tercatat penggunaan metode penjualan langsung dalam privatisasi PT. Intirubdan PT. Kertas Gowa. BUMN yang terpantau melakukan KSO adalah PT. Telkom.Privatisasi manajemen dilakukan pada PT. Danareksa dan PT. Bahana dengan menunjuk direksi dari swasta. Selain itu, dilakukan juga tukar guling pada PT. Sandang ( Bachtiar, 1998 ).

3.7.2 Tujuan dan Manfaat Privatisasi

Tujuan pemerintah melakukan privatisasi adalah (i) menghimpun dana dari pemilikan saham di BUMN dan menggunakan hasilnya untuk mengurangi hutang pemerintah; (ii) menghimpun dana bagi keperluan pengembangan usaha BUMN yang bersangkutan; (iii) meningkatkan produktifitas, efisiensi dan daya saing BUMN melalui disiplin pasar; (iv) meningkatkan citra negara melalui keberhasilan privatisasi BUMN terbaik; (v) mengembangkan pasar modal di Indonesia.

Selain manfaat dari segi ekonomi yang diantaranya berupa tersedianya tambahan dana untuk pembayaran utang pemerintah, dan BUMN memperoleh alternatif pendanaan dari masyarakat untuk pengembangan usaha, maka beberapa manfaat lain yang ditengarai diperoleh dari privatisasi adalah (i) meningkatnya profil perusahaan di mata publik; (ii) meningkatnya citra negara di lingkungan internasional; (iii) terciptanya akses pada sumber pndanaan publik; (iv) mengetahui nilai pasar perusahaan; (v) proses pengambilan keputusan manjemen menjadi lebih sederhana; (vi) berkurangnya campurtangan sekaligus memperoleh dukungan pemerintah ( Ruru, 1996 ).

3.7.3 Kebijakan dan Strategi Privatisasi

A. Penilaian Kinerja BUMN

Evaluasi kinerja BUMN mengacu pada Keputusan Menteri keuangan No. 826/KMK.013/1992 tentang tingkat kesehatan BUMN. Bobot terbesar adalah tingkat rentabilitas yakni 52,5 persen. Kriteria lainnya adalah likuiditas, dan solvabilitas.. Penekanan utama adalah kemampuan BUMN mencetak laba.

Cara penilaian dengan menggunakan metode RLS (Rentabilitas, Likuiditas, Solvabilitas) cukup banyak mendapat kritik. Salah satunya dari PT. Jasa Marga. Penggunaan metode RLS tersebut kurang tepat untuk perusahaan dengan jangka waktu investasi lama. Mungkin sebaiknya kalaupun dipergunakan maka nilai RLS tersebut mempunyai batas ambang yang berbeda-beda untuk berbagai jenis BUMN. Sebagai Cara penilaian dengan menggunakan metode RLS (Rentabilitas, Likuiditas, Solvabilitas) cukup banyak mendapat kritik. Salah satunya dari PT. Jasa Marga. Penggunaan metode RLS tersebut kurang tepat untuk perusahaan dengan jangka waktu investasi lama. Mungkin sebaiknya kalaupun dipergunakan maka nilai RLS tersebut mempunyai batas ambang yang berbeda-beda untuk berbagai jenis BUMN. Sebagai

B. Metode Privatisasi

Masterplan Reformasi BUMN (1999) memperkenalkan metode privatisasi antara lain: (i) Penawaran umum. Penjualan saham BUMN melalui pasar modal; (ii) Penempatan langsung ( direct placement, strategic sale, private placement, trade sale ). Penjualan saham BUMN kepada pihak lain dengan cara negosiasi, umumnya melalui tender; (iii) Management buyout (MBO). Pembelian saham mayoritas BUMN oleh suatu konsorsium yang diorganisasikan dan dipimpin oleh manajemen yang ada; (iv) Likuidasi. Menjual perusahaan sebagai usaha yang sedang berjalan atau dengan cara menjual aset; (v) Penjualan aset. Memisahkan aset BUMN yang bermasalah dan menjualnya ke swasta; (vi) Voucher schemes . Penduduk diberi voucher atau diberi kesempatan membeli dengan harga murah, kemudia menukar voucher tersebut dengan saham BUMN. (vii) Konsesi. Sewa aset untuk jangka waktu panjang, dan pemegang konsesi berhak menjalankan usaha dan berkewajiban memelihara aset dan juga menambahkan aset jika diperlukan; (viii) Sewa guna usaha ( lease ). Pemberian hak mengelola sekumpulamn aset untuk jangka waktu singkat, namun pemilik tetap bertanggungjawab memelihara dan menambah aset; (ix) Kontrak manajemen. Metode ini mirip sewa guna usaha, biaya manajemen berdasar kinerja; (x) contracting out. Memberikan kesempatan pada pihak swasta melalui kontrak untuk melaksanakan fungsi tertentu; (xi) Employee Share Ownership Plan (ESOP). Pemberian saham pada karyawan; (xii) Privatization Trust Fund . Kepemilikan dengan menggunakan Dana Perwalian Privatisasi. Pengelolaan saham diberikan oleh pemerintah pada dana perwalian yang akan mengelola portofolio, menerima dividen, dan menjaulnya pada saat yang tepat ( Pranoto, 2000 ).

C. Rencana Privatisasi tahun 2002

Pada tahun 2002 direncanakan dilakukan privatisasi terhadap 25 BUMN yang terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok BUMN yang merupakan kelanjutan rencana privatisasi BUMN tahun 2001 sebanyak 9 BUMN; dan kelompok usulan tahun 2002 sebanyak 16 BUMN. BUMN yang diprivatisasi tersebut beragam baik dalam jenis usaha, proporsi kepemilikan pemerintah, maupun metode privatisasi.

Berdasar metode privatisasi maka sebanyak 20 BUMN akan menggunakan metode ‘strategic sale’ yaitu pelepasan saham pada pihak swasta melalui perundingan

langsung, sementara sisanya bervariasi mencakup penawaran terbuka, penjualan saham lewat pasar modal, penjualan saham pada karyawan/manajemen, atau gabungan beberapa metode. Hal yang baru terlihat dari adanya BUMN yang akan dilikuidasi.(PT. Indah Karya).

Bidang usaha yang dominan adalah konsultan (6 BUMN), kertas (3 BUMN), semen, hotel, bandara, farmasi, (masing-masing 2 BUMN), dan selebihnya bergerak dalam usaha telekomunikasi, tambang, perabnkan, jasa keuangan, ban, tekstil, gelas (masing-masing 1 BUMN).

Proporsi kepemilikan pemerintah pada BUMN yang akan diprivatisasi sebagian besar dalam bentuk pemilikan mayoritas yaitu sebanyak 10 BUMN (100 persen), 5 BUMN (51-99 persen), selebihnya sebanyak 9 BUMN merupakan BUMN dengan proporsi pemilikan pemerintah minoritas (< 50 persen). PT. Semen Gresik tidak tercantum proporsi kepemilikannya.

Rencana penjualan saham pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu penjualan seluruh saham, penjualan sebagian besar saham (menjadikan pemerintah menjadi pemegang saham minoritas), penjualan sebagian kecil saham (pemerintah tetap sebagai pemegang saham mayoritas). Penjualan seluruh saham direncanakan hampir pada sebagian besar BUMN yang akan diprivatisasi yaitu sebanyak 15 BUMN, yang mencakup seluruh BUMN dengan pemilikan pemerintah minoritas, BUMN bidang usaha konsultan. Sementara hanya 2 BUMN dengan pemilikan pemerintah mayoritas yang termasuk kategori ini. Penjualan sebagian besar saham direncanakan pada 1 BUMN yang bergerak dalam usaha farmasi. Penjualan saham sebagian kecil direncanakan pada 6 BUMN yang bergerak dalam usaha farmasi, tambang, perbankan, bandara, dan jasa keuangan.

Dari proses privatisasi nantinya, maka hanya 6 BUMN yang tetap merupakan BUMN dengan pemilikan pemerintah mayoritas dari 8 BUMN yang tersisa dalam program privatisasi tahun 2002. Selengkapnya pada Tabel 14

Tabel 14 Program Privatisasi BUMN, Tahun 2002

Pemilikan

Rencana

No Nama BUMN

A Lanjutan Tahun 2001

Maret 2 PT Angkasa Pura II

1 PT Wisma Nusantara Internasional

Hotel

42 42 SS

Mei 3 PT Indofarma Tbk

Juni 4 PT Kimia Farma Tbk

Farmasi

80.73 29 SS

Juni 5 PT. Indosat Tbk

Farmasi

90.3 51 SS

Juni/Okt 6 PT. Batubara Bukit Asam

Telkom

65 45 Pl/SS

Agustus 7 PT. Indocement TP Tbk

Desember 8 PT. Semen Gresik Tbk *)

Semen

16.87 16.87 TO

- 9 PT. Bank Mandiri **)

B. Usulan Tahun 2002

1 PT. Intirub

Juli 2 PT. Atmindo

Produk ban

9.9 9.9 SS

Juli 3 PT. Cambrics Primissima

Konsultan

36.6 36.6 SS

Juli 4 PT. Iglas

Tekstil

52.79 52.79 SS

Agustus 5 PT. Jakarta International Hotel

Prod Gelas

64 64 SS

Agustus 6 PT. Kertas Blabak

Hotel

3.3 3.3 SS

Sept 7 PT. Kertas Padalarang

Kertas

1.64 1.64 SS

Sept 8 PT. Kertas Basuki Rahmat

Kertas

48.5 48.5 SS

Sept 9 PT. Indah Karya

Kertas

10 10 SS

Oktober 10 PT. Indra Karya

Konsultan

Oktober 11 PT. Virama Karya

AS/SS

Oktober 12 PT. Yodya Karya

AS/SS

Oktober 13 PT. Rukindo

AS/SS

Nop 14 PT. Rekayasa Industri

Nop 15 PT. Angkasa Pura I

Konsultan

4.97 4.97 SS

Des 16 PT. Danareksa ***)

Bandara

49 IPO/SS

Jasa Keu

49 IPO/SS - /EMBO

Keterangan: *)

 masih menunggu keputusan pemerintah SS = strategic sale AS = penjualan aset **)

 pelepasan saham portepel dari ‘enlarged capital’ IPO = penawarn saham lewat pasar modal

***)  menunggu restrukturisasi internal EMBO = penjualan saham pada manajemen/karyawan

Pl = placement L = likuidasi

Sumber: Diolah dari Kompas, 24 Maret 2002

3.7.4 Masalah dan Hambatan Privatisasi

Secara garis besar hambatan dan privatisasi di Indonesia adalah (i) belum adanya bukti bahwa privatisasi dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat; (ii) kurangnya sosialisasi tentang rencana privatisasi; (iii) belum adanya dasar hukum yang kuat paling tidak setingkat undang-undang bagi privatisasi BUMN; (iv) faktor internal termasuk kekhawatiran terjadinya PHK besar-besaran, hilangnya kemudahan yang dinikmati oleh direksi dan komisaris; (v) ketakutan pemda akan kehilangan sumber pemasukan ( Kompas, 2002 ).

Prawiro (1989) mengemukakan masalah yang lebih terkait pada kinerja BUMN dan ideologi yaitu (i) kinerja BUMN yang kurang baik mengakibatkan nilai jual BUMN yang relatif rendah; (ii) kinerja yang kurang baik juga menjadi hambatan untuk memenuhi persyaratan masuk pasar modal; (iii) salah satu tugas BUMN adalah mendidik tenaga Indonesia, dan dengan privatisasi menjadi tidak tertangani; (iv) BUMN diberi hak monopoli karena beban sosial yang ditanggungnya tetapi dengan privatisasi maka beban tersebut tidak ada lagi sehingga seharusnya hak monopoli dihilangkan. Tetapi hak monopoli inilah yang sebenarnya menarik minat swasta membeli BUMN

Sadli menekankan faktor ideologi yang menjadi hambatan proses privatisasi di Indonesia. Ada dua hal yang disorot yaitu (i) latar belakang sejarah bahwa BUMN merupakan hasil nasionalisasi perusahaan Belanda; (ii) terbentuknya BUMN sebagai

amanat pasal 33 UUD 1945 17 . Hambatan lainnya adalah proses privatisasi yang tidak transparan dan sepihak

serta tidak terpantau oleh lembaga legislatif dan masyarakat yang menyebabkan terciptanya kuasi BUMN ( 18 Wibisono, 1987 ) .

Aviliani selain menyoroti faktor internal seperti penolakan manajemen dan pegawai, dan faktor keterbukaan sebagai kendala privatisasi, juga mengaitkan dengan konteks otonomi daerah yang menjadi alasan pemerintah daerah menolak privatisasi BUMN yang berlokasi di daerahnya.( Jurnal, 2002 ).

4. Metode Penilaian Dampak Privatisasi

Metode penilaian dampak privatisasi yang dikemukakan oleh Andic (1990) akan dipergunakan dalam studi ini dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan kondisi data yang tersedia. Sebagaimana telah dijelaskan sekilas pada bagian terdahulu, maka pada dasarnya metode ini merupakan modifikasi terhadap metodologi tradisional penghitungan tingkat pengembalian ( internal rates of return ), nilai sekarang ( net present values ) dan rasio untung-rugi ( cost-benefit ratios ), yang kemudian diaplikasikan kedalam metode evaluasi privatisasi.

17 Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menyatakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.

18 Kuasi BUMN adalah perusahaan swasta dengan kewenangan menyerupai BUMN karena kedekatan pemilik perusahaan dengan pengamboil kebijakan di pemerintahan .

Andic membagi metodologinya dalam beberapa bagian yaitu:

4.1 Kriteria Dasar.

Untuk menguji keakuratan dampak langsung dan tidak langsung privatisasi, maka dua kriteria dasar dipertimbangkan:

4.1.1 Nilai Tambah.

Dalam mengevaluasi privatisasi harus ditentukan apakah nilai sekarang dari nilai tambah netto setelah privatisasi lebih besar dari nilai sekarang dari nilai tambah netto sebelum privatisasi. Ini merupakan kriteria dasar menilai dampak keseluruhan terhadap perekonomian. Nilai tambah netto adalah nilai gaji dan upah serta surplus sosial (pajak, dividen, laba ditahan, dana cadangan dan bantuan kegiatan sosial). Formula kriteria adalah:

P(NVA)p / P(NVA)g > 1

P(NVA)p

 Nilai tambah netto sekarang setelah privatisasi

P(NVA)g  Nilai tambah netto sekarang sebelum privatisasi NVA

 Nilai Tambah netto

NVA = [gaji + upah] + surplus sosial

Surplus sosial  pajak, dividen, bunga pinjaman modal, sewa,

laba ditahan, dana cadangan, dan bantuan/kegiatan sosial

Jika hasilnya lebih besar atau sama dengan satu, maka kriteria berikut dapat dipertimbangkan.

4.1.2 Efisiensi.

Pada konsep ini dilakukan perbandingan antara surplus sosial setelah privatisasi dengan sebelum privatisasi.. Kriteria tersebut diekspresikan sebagai

[P(NVA)p – P(W)p] / [P(NVA)g – P(W)g] > 1

W  gaji dan upah

 menunjukkan setelah privatisasi

g  menunjukkan sebelum privatisasi

Surplus sosial setelah privatisasi harus lebih besar dari sebelum privatisasi untuk menunjukkan kesuksesan dari privatisasi tersebut.

4.2 Dampak Ekonomi Makro

Dampak ekonomi makro meliputi dampak terhadap nilai tambah agregat, tenaga kerja, gaji dan upah, surplus sosial, anggaran, tabungan dan konsumsi.

4.2.1 Nilai Tambah Agregat

Dampak terhadap nilai tambah agregat terjadi dalam dua tahap yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung. Penjumlahan dari dampak langsung dan tidak langsung merupakan dampak total terhadap nilai tambah agregat.

Nilai tambah agregat dinyatakan sebagai selisih antara output dengan input.dan depresiasi. Perubahan langsung nilai tambah netto merupakan selisih antara nilai tambah netto setelah privatisasi dan sebelum privatisasi.

Langsung

NVAp = Op - (MI + D)p

NVAg = Og - (MI + D)g

NVAd = NVAp - NVAg

NVA  nilai tambah netto O  output

D  depresiasi MI  input NVAd  perubahan langsung nilai tambah netto

Dampak tidak langsung dihitung dengan menggunakan ‘income multiplier’ dari sektor angkutan dan telekomunikai mengikuti kategori sektor dalam PDB Nasional.

Tidak Langsung

NVAd x k = NVAi

NVAi  perubahan tidak langsung nilai

tambah netto

k  ‘income multiplier’ sektor manufaktur

Dampak total terhadap nilai tambah agregat merupakan penjumlahan dari dampak langsung dan dampak tidak langsung.

Total

NVA = NVAd + NVAi

4.2.2 Tenaga Kerja

Dampak privatisasi terhadap tenaga kerja dikelompokkan dalam dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung dihitung berdasarkan pertambahan tenaga kerja setelah privatisasi yang terjadi pada perusahaan yang bersangkutan dan pemerintah pusat sebagai akibat penambahan penerimaan dari hasil privatisasi. Formula dampak langsung privatisasi terhadap tenaga kerja adalah:

Langsung

Ep – Eg + Ec = E

Ep  tenaga kerja setelah privatisasi Eg  tenaga kerja sebelum privatisasi

Ec  tenaga kerja pemerintah pusat sebagai hasil penambahan penerimaan

E  dampak langsung tenaga kerja

Dampak tidak langsung dimaksudkan adalah dampak terhadap tenaga kerja di sektor telekomunikasi dan sektor publik. Adapun formulasi dampak tidak langsung tersebut sebagai berikut

Tidak Langsung

m  multiplier tenaga kerja sektor telekomunikasi mc  multiplier tenaga kerja sektor publik Ei  dampak tidak langsung tenaga kerja telekomunikasi Ec  dampak tidak langsung tenaga kerja sektor publik

Sementara dampak terhadap total tenaga kerja merupakan gabungan antara dampak langung dan dampak tidak langsung dengan formulasi sebagai berikut;

Total

E + Ei + Ec

4.2.3 Gaji dan Upah

Dampak privatisasi terhadap gaji dan upah dihitung dengan membandingkan kondisi penerimaan gaji dan upah setelah dan sebelum privatisasi, baik pada perusahaan yang bersangkutan maupun pada pemerintah pusat. Adapun formulasi dampak langsung privatisasi terhadap gaji dan upah adalah:

Langsung

Wp = WBp - WBg Ec x Wc = Wcd

Wp  perubahan gaji dan upah setelah privatisasi WBp  gaji dan upah setelah privatisasi WBg

 gaji dan upah sebelum privatisasi Wc  gaji dan upah rata-rata sektor publik

Wcd  gaji dan upah pegawai pemerintah pusat hasil penambahan penerimaan privatisasi

Dampak tidak langsung privatisasi terhadap gaji dan upah diperhitungkan dari penambahan gaji dan upah terhadap perekonomian sebagai akibat privatisasi. Formulasinya sebagai berikut:

Tidak Langsung

( Ei + Ec) We = Wei

We  gaji dan upah rata-rata dalam perekonomian

Wei

 tambahan gaji dan upah dalam perekonomian

Dampak total privatisasi terhadap gaji dan upah merupakan gabungan dampak langsung dan tidak langsung, yang berupa tambahan gaji dan upah pada perusahaan yang bersangkutan, pegawai pemerintah pusat, dan perekonomian.

Total

Wp + Wcd + Wei

4.2.4 Surplus Sosial

Dampak privatisasi terhadap surplus sosial dilakukan dengan membandingkan surplus sosial sebelum dan setelah privatisasi. Formulasinya sebagai berikut:

SSp = NVAp – WSp SSg = NVAg

– WSg

SS = SSp - SSg

4.2.5 Dampak pada Anggaran

Dampak privatisasi pada anggaran pemerintah diketahui melalui besarnya perbedaan subsidi dan hutang yang diberikan pemerintah sebelum dan setelah privatisasi ditambah dengan tambahan pajak setelah privatisasi. Formulasi selengkapnya adalah:

Gp = (Sg + Dg) – (Sp + Dp) + Tp

Gp  penerimaan bersih pemerintah dari privatisasi Sg  Subsidi yang diberikan sebelum privatisasi

Dg  utang sebelum privatisasi Sp  subsidi yang dibayar setelah privatisasi

Dp  utang tersisa untuk pemerintah Tp  perubahan pajak setelah privatisasi

Perkiraan Dampak terhadap Pajak

NVA x t

NVA  perkiraan peningkatan NVA dari privatisasi t  beban pajak rata-rata, yaitu rasio total pajak/nilai tambah

4.2.6 Tabungan dan Konsumsi

Dampak privatisasi pada tabungan dan konsumsi dihitung berdasar besarnya perubahan konsumsi dan tabungan setelah privatisasi yang diperkirakan berasal dari privatisasi. Dengan kata lain besarnya perubahan nilai tambah netto hasil privatisasi yang dipergunakan masing-masing untuk konsumsi dan tabungan. Perkiraan perubahan tabungan menggunakan marjinal propensities to consume sementara perkiraan perubahan konsumsi menggunakan marjinal propensity to save .

C = NVA x b S = NVA x (1 – b)

C  perubahan konsumsi S  perubahan tabungan

NVA  perubahan nilai tambah netto

b  marjinal propensity to consume (1 – b)  marjinal propensity to save

5. Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom)

5.1 Profil PT. Telkom

Layanan telepon di Indonesia untuk pertamakalinya dikenal sejak 116 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1882. Tahun 1884 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan badan usaha swasta yang berfungsi untuk melayani jasa pos dan telegram dalam dan luar negeri untuk kepentingan masyarakat. Sistem ini terus berjalan hingga tahun 1906 ketika Belanda membentuk sebuah departemen untuk mengelola jasa ini.

Tahun 1965 Pemerintah Indonesia mendirikan PN Telekomunikasi yang bertindak sebagai penyelenggara layanan jasa telekomunikasi. Tahun 1974 PN Telekomunikasi dipecah menjadi dua yaitu Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel) dan PT. Industri Telekomunikasi (PT. Inti) sebagai produsen perangkat telekomunikasi. Tahun 1980, usaha layanan telekomunikasi internasional diserahkan pada PT. Indonesia Satelit (PT. Indosat). Tahun 1991 pemerintah mengubah Perumtel menjadi Perusahaan Persero PT. Telekomunikasi Indonesia ( Yogaswara, 1998 ).

Sampai tahun 1991, seluruh kebijaksanaan pengembangan usaha telekomnikasi berpedoman pada kebijaksanaan yang ditentukan seluruhnya oleh pemerintah. Dana pembangunan disediakan oleh pemerintah dari alokasi APBN. Memasuki tahun 1995, Telkom melakukan restrukturisasi perusahaan berupa perampingan organisasi. Pemerintah menetapkan 7 (tujuh) divisi regional dan 1 (satu) divisi jaringan. Tahun 1996, Telkom melakukan Kerjasama Operasi (KSO) berupa pengalihan 5 (lima) dari 7 (tujuh) divisi regional ke pihak swasta untuk jangka waktu 15 tahun. Sebagai kompensasi maka Telkom menerima dana pendapatan minimum telkom (PMT) ( Suyono, 2000 ).

Telkom telah go public pada tanggal 14 Nopember 1995 di Bursa Saham Jakarta dan New York Stock Exchange. Sampai tahun 1998 komposisi kepemilikan saham pemerintah sebesar 75,81 persen dan publik 24,19 persen ( Yogaswara, 1998 ).

5.2 Kinerja PT. Telkom (1995-1997)

5.2.1 Kinerja Operasi (Jaringan dan Pelayanan)

Kinerja operasi dapat dinilai dari beragam kriteria tetapi pada kesempatan ini digunakan (i) penambahan kapasitas telepon; (ii) keberhasilan panggil; (iii) jumlah dan produktivitas pegawai.

A. Kapasitas Telepon

Sebelum privatisasi (1995) penambahan kapasitas telepon per tahun mencapai 937.700 SST. Setelah privatisasi (1996 dan 1997) kapasitas telepon tetap bertambah tetapi dengan laju pertumbuhan yang berbeda. Pada tahun 1996, tambahan kapasitas telepon mencapai 1.341.549 SST lebih besar dibanding tahun 1995. Sementara tahun 1997 menurun menjadi hanya 714.875 SST. Selengkapnya pada Gambar 1

Gambar 1 Kapasitas dan Tambahan Kapasitas Telepon

Kapasitas terpasang

Tambahan SST

Sumber: Laporan Tahunan PT. Telkom, Beragam Tahun

B. Keberhasilan Panggil

Keberhasilan panggil menunjukkan tingkat keberhasilan tersambung untuk setiap panggilan. Untuk Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), menunjukkan peningkatan yaitu sebelum privatisasi (1995) mencapai 47,6% dan setelah privatisasi mencapai 53,2% (1996) dan 56,7% (1997). Demikian pula halnya untuk sambungan lokal menunjukkan peningkatan yaitu sebelum privatisasi (1995) mencapai 55,2% dan setelah privatisasi mencapai 57,9% (1996) dan 59,4% (1997). Selengkapnya pada Gambar 2.

Gambar 2 Tingkat Keberhasilan Panggil

Sumber: Laporan Tahunan PT. Telkom. Berbagai Tahun

C. Produktivitas Pegawai

Produktivitas pegawai diukur dari kemampuan karyawan melayani SST. Sebelum privatisasi (1995) tingkat produktifitas mencapai 111,2 SST/karyawan. Setelah privatisasi menunjukkan peningkatan menjadi 131,2 SST/karyawan (1996) dan 146,2 SST/Karyawan (1997). Selengkapnya pada Gambar 3

Gambar 3 Produktifitas Karyawan

Sumber: Laporan Tahunan PT. Telkom. Berbagai Tahun

5.2.2 Kinerja Keuangan

Kinerja keuangan dapat diukur dari beragam kriteria dan kriteria yang paling sering dipergunakan adalah Rentabilitas, Likuiditas dan Solvabilitas (RLS).

A. Kemampulabaan (Rentabilitas)

Kemampuan PT. Telkom dalam menghasilkan keuntungan dapat diukur dengan beragam rasio tetapi saat ini hanya dipergunakan 4 (empat) rasio yaitu (i ) Return on Asset – ROA (rasio laba bersih/aset); (ii) Return on Equity – ROE (rasio laba bersih/modal); (iii) Profit margin (rasio laba bersih/penjualan); (iv) Cost to sale (rasio biaya/penjualan).

Berdasar kriteria di atas maka didapatkan beberapa hal (i) ROA, ROE dan profit margin menunjukkan pola yang sama yaitu segera setelah privatisasi (1996) meningkat dibanding sebelum privatisasi (1995), walaupun kemudian menurun kembali pada tahun 1997; (ii) Cost to sale menunjukkan penurunan yang konsisten setelah privatisasi. Selengkapnya pada Gambar 4.

Berdasar standar yang disepakati yaitu World Class Operator, maka kinerja Telkom dari aspek kemampulabaan masih belum memadai.

Gambar 4 Gambaran Kemampulabaan

Profit Margin

Proporsi Biaya

Sumber: Hasil Pengolahan

B. Solvabilitas

Solvabilitas adalah rasio kewajiban perusahaan terhadap jumlah aset atau modalnya. Berdasar rasio ini dapat diketahui tingkat ketergantungan Telkom pada sumber pembiayaan dari hutang, baik yang berasal dari luar maupun pemilik saham.

Terdapat 5 (lima) kriteria rasio yang dipergunakan yaitu (I) hutang jangka panjang terhadap total aset; (ii) total hutang terhadap total aset; (iii) hutang jangka Terdapat 5 (lima) kriteria rasio yang dipergunakan yaitu (I) hutang jangka panjang terhadap total aset; (ii) total hutang terhadap total aset; (iii) hutang jangka

Berdasar kriteria di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal yaitu (i) Rasio hutang jangka panjang terhadap aset, rasio total hutang terhadap aset dan rasio hutang jangka panjang terhadap total hutang relatif sama, baik sebelum dan setelah privatisasi; (ii) Dilain pihak, rasio hutang jangka panjang terhadap modal dan rasio total hutang terhadap modal cenderung berfluktuasi. Setelah privatisasi (1996) menurun lalu meningkat kembali (1997). Selengkapnya pada Gambar 5.

Berdasar World Class Operator (WCO), maka hanya rasio hutang jangka panjang terhadap aset dan rasio total hutang terhadap aset yang dianggap memadai.

Gambar 5 Gambaran Solvabilitas

Hutang Jk. Pjg/Aset

Total Hutang/Aset

Htg Jk. Pjg/modal

Total hutang/modal

Htg Jk. Pjg/Total Htg

Sumber: Hasil Pengolahan

c. Likuiditas

Likuiditas dimaksudkan sebagai kriteria dalam menentukan kemampuan membayar kewajiban-kewajibannya tepat pada waktunya, yang diukur dari berbagai rasio yaitu (i) current ratio (rasio aset/kewajiban lancar); (ii) quick ratio (rasio (aset – persediaan)/kewajiban lancar); (iii) Cash ratio (rasio dana tunai/kewajiban lancar); (iv) Cash to operating expenses (rasio tunai/total pengeluaran operasional).

Berdasar beberapa rasio di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu (I) cash ratio dan cash to operating expenses menunjukkan perbaikan setelah privatisasi (1996) tetapi kemudian kembali pada kondisi sebelum privatisasi (1997);

(ii) current ratio dan quick ratio menurun terus setelah privatisasi. Berdasar kriteria WCO, maka keempat rasio ini dianggap masih belum memadai.

Gambar 6 Gambaran Likuiditas

Current ratio

Quick ratio

Cash ratio

Cash to op. Exp.

Sumber: Hasil Pengolahan

d. Efisiensi

Efisiensi diukur dengan 3 (tiga) rasio yaitu (i) pendapatan per karyawan; (ii) pendapatan per sst; (iii) biaya pemeliharaan per sst.

Gambar 7 Gambaran Efisiensi

Pendap/Kary. (Rp. jt)

Pendap./sst (Rp.

10.000) Biaya pemelih/sst (Rp.

Sumber: Hasil Pengolahan

Dari ketiga rasio di atas, (i) pendapatan per sst dan biaya pemeliharaan menunjukkan penurunan setelah privatisasi (1996 dan 1997). Namun tentunya penurunan biaya pemeliharaan merupakan hal yang positip sementara penurunan pendapatan per sst bukan hal yang diharapkan; (ii) pendapatan per karyawan menunjukkan peningkatan setelah privatisasi (1997). Berdasar kriteria WCO, hanya satu rasio yaitu biaya pemeliharaan per sst yang dianggap memadai. Selengkapnya Gambar 7

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21