Dampak Privatisasi di Indonesia. Studi K
Oleh
Oswar Mungkasa
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1 Metode Privatisasi (Pengalaman Inggris)………………………
16 Tabel 2
17 Tabel 3
Metode Privatisasi ……………………………………………
18 Tabel 4
Tahapan Privatisasi ……………………………………………
Peran BUMN terhadap PDB dan Tenaga Kerja berdasar Kelompok Negara Tahun 1978- 1991 ………………………….
28 Tabel 5
Kinerja BUMN Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi) ……. 30 Tabel 6
Tingkat Penjualan dan Output BUMN di Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi) …………………………………………….
30 Tabel 7
Tingkat Pengembalian BUMN di Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi) ……………………………………………………… 31
Tabel 8 Pertumbuhan Produktifitas Tenaga Kerja BUMN di Inggris …… 32 Tabel 9
Beberapa Hasil Penelitian Perban dingan BUMN Antarnegara ….. 35 Tabel 10
Pengelompokan BUMN per Sektor Tahun 1998 ………………… 43 Tabel 11
Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Penjualan ………………. 42 Tabel 12
Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Aset ……………………. 42 Tabel 13
Pengelompokan BUMN berdasar Ju mlah Laba …………………. 44 Tabel 14
Program Privatisasi BUMN Tahun 2002 ………………………… 49 Tabel 15
Rangkuman Dampak Privatisasi PT. Telkom …………………….. 67 Tabel 16
Rangkuman Profil Kinerja dan Dampak Privatisasi PT. Telkom … 70
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1 Kapsitas dan Tambahan Kapasitas Telepon ………………….
58 Gambar 2
59 Gambar 3
Tingkat Keberhasilan Panggil …………………………………
59 Gambar 4
Produktifitas Karyawan ………………………………………
Gambaran Kemampulabaan …………………………………… 60 Gambar 5
61 Gambar 6
Gambaran Solavabilitas ……………………………………….
62 Gambar 7
Gambaran Likuiditas ………………………………………….
62
Gambaran Efisiensi …………………………………………….
Dampak Privatisasi di Indonesia:
Studi Kasus: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam literatur awal ekonomi pembangunan, ekonom melihat negara sebagai pelaku yang baik dan pemersatu, dengan tujuan tindakannya selalu bersifat sosial. Pemerintah dipandang mempunyai kemampuan mendapatkan informasi dan dilengkapi dengan pengetahuan dan instrumen kebijakan yang memadai, dapat mencampuri pasar untuk membenahi kegagalan pasar dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pandangan tersebut dinodai oleh kenyataan bahwa campur tangan pemerintah (baik di negara maju maupun negara berkembang) sering malah berakibat buruk. Tentu saja, kegagalan pemerintah menunjukkan hasil yang lebih buruk dari kegagalan pasar. Birokrat pemerintah sering dipaksa membuat keputusan bisnis dengan informasi yang kurang dibanding sektor swasta. Selain kemudian tindakan politisi dan birokrat menjadi dimotivasi oleh ambisi pribadi yang tidak memperhatikan kepentingan publik. Kekuasaan pemerintah dimanipulasi oleh sektor swasta untuk kepentingan kelompok tertentu, bahkan sering dengan menggunakan dana publik ( Krause, 1987 ).
Hal tersebut di atas menjadikan campur tangan pemerintah khususnya dalam bentuk banyaknya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada berbagai bidang usaha kemudian dianggap berdampak negatip bagi perekonomian nasional. Kondisi ini kemudian menyuburkan pandangan agar pemerintah mengurangi campur tangannya dalam perekonomian melalui BUMN. Akhirnya privatisasi BUMN dilihat sebagai salah satu cara yang efektif mengurangi campur tangan tersebut. Walaupun kemudian ternyata alasan privatisasi tidak melulu karena adanya campur tangan pemerintah. Namun pada akhirnya privatisasi telah menjadi suatu gejala yang umum dimanapun di dunia saat ini.
Program privatisasi dimulai oleh Konrad Adenauer dari negara Federal Jerman pada tahun 1961 dengan menjual sebagian besar saham pemerintah pada perusahaan mobil Volkswagen (VW) ( Siahaan, 2000 ). Namun program privatisasi sendiri mulai menjadi program yang diminati oleh berbagai negara setelah sukses yang dicapai pada program privatisasi di Inggris pada era Perdana Menteri Thatcher (1970-an). Setelah masa tersebut, maka program privatisasi tidak hanya terjadi di negara maju seperti
Inggris, Perancis dan Jepang tetapi juga telah menjadi elemen kunci reformasi struktural pada berbagai negara berkembang selama satu dekade terakhir ( Davis,
2000 1 ). Hal ini terbukti dari jumlah BUMN yang telah diprivatisasi sampai tahun 1995, berdasar data International Organization of Supreme Audit Institution (INTOSAI) 2 ,
yang telah mencapai lebih dari 196.000 BUMN ( Gandhi, 1996 ). Gelombang privatisasi yang terjadi di mancanegara ternyata juga mendorong terjadinya proses privatisasi di Indonesia. Usaha privatisasi dimulai pada tahun 1988 setelah secara formal pemerintah menuangkan program privatisasi tersebut melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740/KMK.00/1989. Program privatisasi ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas BUMN. Langkah awal pemerintah ini kemudian dimanifestasikan dalam bentuk pelaksanaan ‘go public’ beberapa BUMN yang besar seperti PT. Semen Gresik (1991), PT. Indosat (1994), PT. Tambang Timah (1995), PT. Telkom (1995), PT. Bank BNI (1996).
Memasuki tahun 1997, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, maka proses privatisasi menjadi mengemuka kembali dengan dimensi yang lain. Privatisasi menjadi salah satu program prioritas pemerintah bahkan menjadi salah satu persyaratan dalam Letter of Intent (LOI) dengan IMF. Keberhasilan program privatisasi menjadi salah satu harapan pemerintah dalam menutupi defisit anggaran.
Selama satu tahun setelah berjalannya privatisasi tahap II 3 program privatisasi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan paling tidak dari segi pencapaian
target jumlah BUMN yang diprivatisasi maupun jumlah dana yang disetor pada APBN. Beberapa faktor ditengarai menjadi kendala program privatisasi antaranya (i) ideologis, yang menyatakan bahwa privatisasi bertentangan dengan jiwa Undang- undang Dasar 1945 khususnya Pasal 37 ayat 2; (ii) politis, yang berkaitan dengan kemungkinan berkurangnya secara signifikan peran pemerintah dalam perekonomian nasional; (iii) penolakan internal, khususnya dari pihak manajemen dan karyawan terkait dengan kemungkinan terjadinya perubahan manajemen dan pemutusan hubungan kerja setelah privatisasi; (iv) finansial, terkait dengan hilangnya sumber pendapatan pemerintah di masa datang; (v) otonomi daerah, yang berujung pada
1 BUMN selanjutnya merupakan padanan dari istilah State Owned Enterprise (SOE). 2 Organisasi Badan Pemeriksa Keuangan sedunia 3 Privatisasi tahap I sebelum 1997; privatisasi tahap II setelah 1997 (pembagian versi penulis) 1 BUMN selanjutnya merupakan padanan dari istilah State Owned Enterprise (SOE). 2 Organisasi Badan Pemeriksa Keuangan sedunia 3 Privatisasi tahap I sebelum 1997; privatisasi tahap II setelah 1997 (pembagian versi penulis)
Kendala tersebut di atas secara implisit menggambarkan adanya penolakan terhadap privatisasi karena ketidakjelasan dampak privatisasi itu sendiri. Dari 7 (tujuh) BUMN yang telah di privatisasi belum pernah dijelaskan secara jelas pada masyarakat dampak privatisasi selain besarnya hasil penjualan yang masuk ke kantong pemerintah. Dampak privatisasi jauh lebih luas dari sekedar adanya pemasukan pemerintah dari penjualan saham BUMN.
Secara umum, menurut Andic (1990), selain perubahan kinerja perusahaan itu sendiri, maka terdapat beberapa dampak privatisasi yang dikenali sebagai dampak ekonomi makro antaranya yaitu (a) dampak ekonomi makro yang menjelaskan pengaruh privatisasi terhadap nilai tambah agregat baik langsung maupun tidak langsung, (b) dampak pada tenaga kerja yang berupa dampak langsung yaitu penambahan/pengurangan pegawai perusahaan bersangkutan atau dampak tidak langsung yaitu penambahan/pengurangan tenaga kerja pada sektor lain, (c) dampak pada penghasilan pegawai yang berupa dampak langsung terhadap penghasilan pegawai BUMN dan dampak tidak langsung terhadap penghasilan pegawai pemerintah lainnya, (d) dampak terhadap surplus sosial yaitu berupa dividen, laba ditahan, sumbangan sosial; (e)
pemerintah berupa penambahan/pengurangan besar subsidi, pinjaman, dan pajak; serta (f) dampak pada tabungan dan konsumsi. Belum adanya kajian yang mendalam tentang dampak privatisasi, yang tidak hanya terfokus pada hasil penjualan, tetapi mencakup segala aspek yang terkait menjadikan program privatisasi rentan terhadap penolakan baik dari masyarakat, maupun kalangan internal perusahaan.
dampak pada anggaran
Makalah ini berusaha menjawab beberapa isu terkait dengan dampak privatisasi di Indonesia, khususnya dampak ekonomi makro seperti yang dijelaskan di atas dengan menggunakan BUMN PT. Telekomunikasi Indonesia sebagai kasus studi.
1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Penulisan
Memperhatikan beberapa hal yang dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penulisan makalah ini adalah mengemukakan dampak privatisasi di Indonesia dari aspek ekonomi makro, berupa dampak terhaap nilai tambah agregat, tenaga kerja, gaji Memperhatikan beberapa hal yang dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penulisan makalah ini adalah mengemukakan dampak privatisasi di Indonesia dari aspek ekonomi makro, berupa dampak terhaap nilai tambah agregat, tenaga kerja, gaji
Penetapan PT. Telekomunikasi Indonesia sebagai kasus studi didasarkan pada pertimbangan (i) Besarnya nilai saham yang dialihkan ke publik; (ii) Data-data perusahaan publik (perusahaan yang tercatat sahamnya di Bursa Efek Jakarta) relatif lebih mudah di akses; (iii) Dari 7 (tujuh) BUMN yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sampai tahun 1999, maka tercatat saham Telkom yang memberikan kontribusi kapitalisasi terbesar (9,55 persen dari total kapitalisasi saham di BEJ) dibanding BUMN lainnya. Sebagai bandingan PT. Indosat sebesar 4,53 persen, PT. Semen Gresik 2,13 persen, PT. Tambang Timah 1,08 persen, PT. Bank BNI 0,6 persen, dan PT. Aneka Tambang 0,52 persen ( Artjan, 2000 ). Total kontribusi BUMN tersebut mencapai 18,41 persen, dan sekitar 50 persen disumbangkan oleh PT. Telkom.
Dampak privatisasi dilakukan dengan membandingkan kondisi sebelum privatisasi (tahun 1995) dan setelah privatisasi (tahun 1996). Adapun lingkup kajian/perbandingan dalam makalah ini mencakup beberapa aspek yaitu:
(i) Kinerja perusahaan yang ditinjau dari nilai tambah perusahaan dan efisiensi; (ii) Ekonomi makro, berupa (a) Nilai tambah agregat, yaitu mengkaji perubahan nilai tambah netto baik langsung maupun tidak langsung; (b) Tenaga kerja, yaitu mengkaji perubahan jumlah tenaga kerja baik langsung (internal perusahaan) maupun tidak langsung (di luar perusahaan) (c) Gaji dan upah, yaitu mengkaji perubahan gaji dan upah baik langsung (internal perusahaan) maupun tidak langsung (di luar perusahaan); (d) Surplus sosial, yaitu mengkaji perubahan pajak, dividen, laba ditahan, bantuan/kegiatan sosial; (e) Anggaran Pemerintah, yaitu mengkaji perubahan penerimaan bersih pemerintah diluar hasil penjualan saham. Penerimaan pemerintah difokuskan pada subsidi, pinjaman pemerintah, dan besarnya pajak.
(f) Tabungan dan konsumsi, yaitu mengkaji perubahan tabungan dan konsumsi.
2. P rivatisasi: Definisi, Konsep dan Pengalaman Negara Lain
2.1 Definisi dan Konsep Privatisasi
Privatisasi biasanya merujuk pada pengalihan pemilikan dan kendali dari publik ke sektor swasta khususnya penjualan aset. Ini mencakup pengalihan sebagian atau seluruhnya ( Hemming dan Mansoor, 1988 ). Privatisasi tidak selalu melibatkan penjualan. Konsepnya telah diperluas mencakup perubahan struktural yang lebih luas seperti ‘ leasing ’ dan kontrak manajemen, waralaba sektor publik, kontrak umum sektor publik ( IBRD, 1988 ). Dikatakan juga bahwa privatisasi sebagai proses memperkenalkan disiplin kekuatan pasar ( Ramandham, 1989 ). Konsep ‘marketisasi’ mendorong penghilangan monopoli atau pengurangan langsung dan tidak langsung hambatan keluar-masuk pasar ( PBB, 1989 ). Sementara Ramamurti (1992), menambahkan bahwa pengertian luas privatisasi adalah mencakup satu atau lebih kombinasi dari pengalihan peranan pemerintah pada swasta dalam hal pemilikan, pembiayaan, pelaksanaan produksi, manajemen dan lingkungan bisinis.
Menurut Savas (1987), sebagai proses, privatisasi berarti mengurangi peran pemerintah, dan meningkatkan peran sektor swasta, dalam kegiatan atau pemilikan aset. Namun konsep sektor publik dan swasta tidak ‘mutually exclusive’ atau statis. Pertama, beberapa aspek pemerintahan bertumbuh sementara lainnya tidak berubah, bahkan berkurang. Misalnya privatisasi penjara mengakibatkan perlunya dibuat regulasi baru untuk memastikan dihormatinya hak narapidana. Kedua, pertumbuhan produktifitas sektor swasta bergantung signifikan pada investasi sektor publik seperti jalan, pelabuhan. Ketiga, sektor swasta terbagi dalam banyak dimensi. Sektor swasta termasuk sektor informal dan sektor swasta nirlaba, asosiasi profesi, dan sektor ekonomi rumah tangga ( Gayle, 1990 ).
Sementara Kolderie (1990) mengajukan beberapa isu mengenai konsep privatisasi. Dimulai dengan pemahaman bahwa pemerintah melakukan dua kegiatan yang berbeda, yaitu penyediaan (provide) pelayanan dan produksi (produce) pelayanan.
Menurut Pirie (1988), privatisasi bukan sebuah formula tetapi sebuah pendekatan. Pelaksanaannya sangat beragam. Pendekatan kasus-per-kasus adalah Menurut Pirie (1988), privatisasi bukan sebuah formula tetapi sebuah pendekatan. Pelaksanaannya sangat beragam. Pendekatan kasus-per-kasus adalah
Cara pandang lain adalah bahwa privatisasi memungkinkan BUMN dan pihak swasta mempunyai kesempatan dan perilaku yang sama. Lebih jelasnya Mar’ie (1996)
menyatakan bahwa privatisasi tidak sekedar menjual aset BUMN pada swasta. Pengertian lainnya adalah (i) memberikan kesempatan swasta menjadi pemain utama dalam bidang bisnis; (ii) menjadikan BUMN bertingkahlaku sebagai suatu ‘entrepreneur’; (iii) BUMN bisa bertingkahlaku sebagai swasta.
Whitshire (1987) mengklasifikasikan privatisasi kedalam 5 (lima) bagian yaitu: (i) Privatisasi pembiayaan atas suatu jasa yang diproduksi oleh sektor publik. Contohnya jalan tol, Build Operate Transfer (BOT), Build Operate Lease (BOL); (ii) Privatisasi produksi atas suatu jasa yang dibiayai oleh sektor publik. Contohnya
‘contracting out’. (iii) Denasionalisasi yaitu menjual sebagian atau seluruh aset perusahaan. Contohnya go public, direct placement; (iv) Liberalisasi yaitu menghilangkan monopoli dan berbagai lisensi yang menghambat masuknya swasta; (v) Korporatisasi yaitu privatisasi manajemen yang berupa pengalihan manajemen pada pihak swasta berdasar perjanjian kerjasama.
Ramamurti (1992) membuat rangkuman dengan makna yang lebih luas bahwa privatisasi umumnya mencakup tiga hal yaitu (i) Divestasi pemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan pada swasta. Hal ini mencakup perubahan kontrol dari negara pada swasta; (ii) Deregulasi ekonomi, yang mencakup pelonggaran ketentuan BUMN khususnya pada BUMN monopoli; (iii) Liberalisasi, yaitu mencegah kekuatan tertentu dalam ekonomi yang dapat menghambat kompetisi.
Definisi dan pengertian privatisasi akan sangat beragam tetapi secara umum tetap dapat dirangkum sebagai berikut (i) Perubahan bentuk usaha dari “perusahaan negara” menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas; (ii) Pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan yang dimiliki negara kepada swasta, baik melalui ‘ private placement ’ maupun ’public offering’; (iii) Pelepasan hak
atau aset milik negara atau perusahaan yang saham-sahamnya dimiliki negara pada
4 Privatisasi dilaksanakan mula i dari negara maju seperti Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Swedia, Jepang, Korea Selatan, Singapura sampai negara berkembang seperti Pakistan, Malaysia, Srilanka,
Yamaika, bahkan negara komunis seperti Kuba, CinaHungaria, Rusia, Vietnam (Pirie, 1988). Pembahsan lebih lanjut tentang privatisasi di negara -negara di dunia pada bagian lain makalah ini.
swasta, baik pelepasan untuk selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate Transfer ); (iv) Pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah; (v) Membuat usaha patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan aset pemerintah; (vi) Membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam dunia usaha ( Soebagjo, 1996 ).
2.2 Peran Pemerintah dan Sektor Publik
2.2.1 Dikotomi Pasar-Pemeritah dan Sektor Publik-Swasta
Perdebatan tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian telah berlangsung sejak kira-kira tiga ratus tahun lalu. Adam Smith dan mazhab Neoklasik
percaya akan ‘ invisible hand ’ dari pasar, berbeda dengan mazhab merkantilisme yang percaya pada ‘ visible hand ’ pemerintah.
Perdebatan tentang definisi publik dan swasta dalam konteks perusahaan masih belum selesai. Salah satu contoh definisi sebagaimana dikemukakan oleh Stern (1999) yang menekankan kepemilikan ( ownership ) sebagai karakteristik yang membedakan publik dan swasta, tetapi kepemilikan sendiri definisinya beragam. Terdapat paling tidak 4 (empat) aspek kepemilikan yaitu hak mengelola untuk keperluan tertentu, hak mendapatkan pendapatan dari penggunaan properti, kekuasaan untuk mengalihkan
properti, dan hak untuk membatasi penggunaan oleh orang lain ( 5 World Bank, 1990 ) Sen dalam beberapa pernyataannya menekankan bahwa sektor swasta
menghadapi masalah ketika berhadapan dengan barang publik 6 , situasi dengan tingkat eksternalitas 7 tinggi, ketidakmerataan yang besar dalam distribusi pendapatan, akses,
dan kebebasan, dan sejenisnya. Kondisi ini kemudian dijadikan sebagai pintu masuk bagi keterlibatan pemerintah langsung atau melalui BUMN dalam perekonomian.
Pada awalnya Adam Smith mengemukakan hanya tiga fungsi pemerintah yaitu melaksanakan peradilan, pertahanan/kemanan, dan pekerjaan umum. Kemudian peran
5 Sebagian besar bahan tentang debat sektor publik /pemerintah dan Swasta diambil dari hasil diskusi dengan judul Development Strategies: The Roles of the State and the Private Sector yang
diselenggarakan World Bank. 6 Barang publik adalah barang dengan karakteristik penggunaannya tidak bersaingan (non-rivalry) dan
tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-excludability) 7 Eksternalitas adalah suatu keadaan yang timbul dari tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak
mempunyai pengaruh pada pihak lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak penyebab kepada pihak yang terkena dampak (Mangkoesoebroto, 1991) mempunyai pengaruh pada pihak lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak penyebab kepada pihak yang terkena dampak (Mangkoesoebroto, 1991)
Melengkapi peran klasik pemerintah di atas, menurut Stern (1999) keterlibatan pemerintah didasarkan pada alasan (i) Pertama . Berangkat dari ekonomi kesejahteraan, yang menunjukkan kegagalan pasar. Diantara alasan tersebut adalah eksternalitas, barang publik, ketidaksempurnaan informasi, dan hambatan masuk pasar. Alasan ini, ditetapkan melawan kemungkinan terjadinya kegagalan pemerintah; (ii) Kedua . Kewajiban menanggulangi kemiskinan; (iii) Ketiga . Hak masyarakat yang perlu dilindungi dan pemberian kesempatan yang sama. Termasuk dalam hal ini adalah pendidikan dan kesehatan, bahkan termasuk perumahan; (iv) Keempat . Melindungi kepentingan umum. Salah satu contoh adalah pelarangan penggunaan senjata, pembatasan minuman keras; (v) Kelima . Tanggungjawab terhadap masa depan generasi muda. Contohnya adalah perlindungan lingkungan hidup (hutan, binatang langka)
Dari sudut pandang distribusi pendapatan dan perlindungan, pemerintah sebaiknya terlibat dalam jaring pengaman sosial. Dari sudut pandang hak, pemerintah harus terlibat dalam pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang kegagalan pasar, pemerintah harus aktif dalam penyediaan infrastruktur. Pada negara berkembang, kegagalan pasar mungkin lebih besar intensitasnya, sehingga pemerintah sebaiknya lebih berperan dalam pendidikan, kesehatan, penyediaan infrastruktur.
Pandangan lain yang menyoroti peran negara sebagai deregulator. Negara wajib menghadirkan mekanisme pasar yang sehat dan tidak terdistorsi dalam berbagai bidang ekonomi. Negara seharusnya berperan sebagai wasit dan menghindari peran langsung yang mengganggu pelaku ekonomi swasta. Sehingga ketidakjelasan batasan peran negara dan swasta menjadikan kekuasaan pengaturan ekonomi yang dimiliki negara juga dimiliki swasta, merupakan akar terjadinya ketimpangan ekonomi dan timbulnya penyakit ekonomi seperti kolusi, korupsi, monopoli, oligopoli, kartel. ( Rachbini, 1996 ).
Dikotomi sektor publik-swasta sebenarnya tidaklah terpisah satu sama lain, dan statis. Hal ini disebabkan pertumbuhan sektor swasta tergantung signifikan pada Dikotomi sektor publik-swasta sebenarnya tidaklah terpisah satu sama lain, dan statis. Hal ini disebabkan pertumbuhan sektor swasta tergantung signifikan pada
Hal ini juga didukung oleh Berg (1990) yang menyatakan sebenarnya tidak ada pembedaan yang jelas antara sektor publik dan swasta. Malah, setiap kegiatan ekonomi bercampur antara elemen publik dan swasta, dengan intensitasnya saja yang berbeda. Jika dikaitkan dengan privatisasi, maka yang dimaksud adalah pengalihan ke swasta lebih banyak dimensi dari lebih banyak kegiatan dan peningkatan intensitas ‘keswastaan’ dalam setiap dimensi.
Pertanyaan kemudian mungkin beralih menjadi seberapa jauh keterlibatan negara?. Naya (1990) secara terinci menganjurkan bahwa dalam era globalisasi, fungsi campur tangan langsung pemerintah hendaknya dibatasi pada berbagai faktor dibawah ini (i) penyediaan barang publik dan sejumlah kebutuhan dasar lainnya; (ii) pembangunan infrastruktur; (iii) penyebaran informasi ekonomi sebagai suatu input yang kritis dalam mendorong efisiensi alokasi sumber daya; (iv) perangkat hukum dan regulasi yang jelas, fleksibel dan berwibawa; (v) promosi riset dan pengembangan yang memadai; (vi) penyediaan barang-barang kebutuhan pokok bagi kelompok berpendapatan rendah ( Goeltom, 1995 ).
2.2.2 Latar Belakang dan Tujuan Keberadaan BUMN
Para ekonom aliran klasik menyatakan BUMN merupakan salah satu instrumen campur tangan pemerintah, baik dalam pasar faktor maupun pasar produk, yang merupakan sumber distorsi sehingga menjauhkan pasar dari pareto efisiensi. Kegagalan sebagai akibat campur tangan pemerintah ( bureaucratic failure ) dapat lebih tinggi dari biaya kegagalan pasar ( market failure ). Dilain pihak, Pigou, Bergson dan Lerner berpendapat bahwa jika terdapat kegagalan pasar maka intervensi pemerintah yang tepat dibanding kinerja pasar bebas, atau dikenal dengan second best solution ( Siahaan, 2000 ).
Hasil kajian Vunylstake (1998) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dianggap melatar belakangi keberadaan BUMN yaitu (i) mengatasi kegagalan pasar; (ii) menyalurkan kepentingan politik pemerintah; (iii) menyediakan fasilitas/prasarana strategis dan penyediaan tenaga kerja; (iv) pelopor karena pihak Hasil kajian Vunylstake (1998) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dianggap melatar belakangi keberadaan BUMN yaitu (i) mengatasi kegagalan pasar; (ii) menyalurkan kepentingan politik pemerintah; (iii) menyediakan fasilitas/prasarana strategis dan penyediaan tenaga kerja; (iv) pelopor karena pihak
Sementara Rees (1984) mengemukakan terdapat empat alasan mendasar keberadaan BUMN yaitu (i) memperbaiki kegagalan pasar; (ii) mengubah pendistribusian keuntungan; (iii) menunjang perencanaan ekonomi jangka panjang yang tersentralisasi; (iv) mengubah dasar perekonomian dari sistem kapitalis menjadi sosialis.
Todaro (1989) mengemukakan beberapa alasan mendirikan BUMN yaitu (i) keinginan pemerintah mengendalikan pasar; (ii) pembentukan modal, yaitu ketika tabungan swasta masih rendah, maka investasi prasarana pada tahap ini sangat penting untuk meletakkan dasar-dasar bagi investasi selanjutnya; (iii) kurangnya insentif bagi swasta untuk terlibat dalam aktifitas ekonomi; (iv) memperbaiki distribusi pendapatan; (v) mengendalikan sektor strategis; (vi) motivasi ideologis.
Menyangkut keberadaan BUMN di negara berkembang, maka beberapa ahli ekonomi mengemukakan alasannya. Pada dasarnya hanya melengkapi beberapa alasan sebagaimana dikemukakan di atas. Misalnya, tujuan lain juga mencakup mendorong pembangunan sektor industri, yang di negara berkembang masih rendah produktifitasnya, angkatan kerja belum terlatih, dan sarana umum masih belum efisien ( Goeltom, 1995 ). Jones (1982) menambahkan (i) preferensi ideologis; (ii) pengambilalihan atau konsolidasi kekuatan politis dan ekonomis; (iii) warisan historis. R Vernon (1987) menambahkan (i) regulasi monopoli alamiah; (ii) melaksanakan kuasa monopoli atau monopsoni di pasar tertentu; (iii) mengendaliklan kepemilikan asing; (iv) restrukturisasi perekonomian; (v) pembentukan anak perusahaan.
Tinbergen mengemukakan karakteristik kegiatan yang sesuai bagi keberadaan BUMN yaitu biaya marjinal lebih rendah dari biaya rata-rata atau terdapat eksternalitas.
Tujuan BUMN, menurut Gray (1984), dapat dikelompokkan dalam tujuan komersil dan non-komersil. Tetapi yang menarik dikemukakan adalah tujuan non- komersil yaitu (i) stabilisasi ekonomi berupa pengendalian inflasi, pengamanan bahan pangan, menangani pengangguran; (ii) pertumbuhan ekonomi berupa peningkatan nilai absolut investasi, output, ekspor, lapangan kerja, akselerasi industri; (iii) pemerataan Tujuan BUMN, menurut Gray (1984), dapat dikelompokkan dalam tujuan komersil dan non-komersil. Tetapi yang menarik dikemukakan adalah tujuan non- komersil yaitu (i) stabilisasi ekonomi berupa pengendalian inflasi, pengamanan bahan pangan, menangani pengangguran; (ii) pertumbuhan ekonomi berupa peningkatan nilai absolut investasi, output, ekspor, lapangan kerja, akselerasi industri; (iii) pemerataan
Keberadaan BUMN tidak hanya berdasar alasan ekonomis tapi juga alasan lainnya. Namun kemudian, pertimbangan pragmatis ekonomi menjadi dominan, sehingga privatisasi menjadi marak di seluruh dunia.
2.2.3 Kendala Sektor Publik
Beberapa aspek yang dianggap sering menjadi kendala bagi sektor publik adalah (i) efisiensi. Kompetisi dan kebutuhan menghasilkan keuntungan mendorong sektor swasta lebih efisien dari sektor publik. Sektor publik selalu diasumsikan tidak akan pernah bankrut. Hal ini mengakibatkan kurangnya insentif sektor publik untuk berperilaku efisien; (ii) input konsumen. Konsumen punya kendali yang relatif lebih besar terhadap swasta, suatu hal yang ironis karena sebenarnya keberadaan sektor publik terutama untuk kepentingan masyarakat. Ketidakefektifan kendali publik, maka sektor publik menjadi kurang berorientasi pada publik tetapi lebih pada keinginan pengelola; (iii) inovasi. Kurangnya input (kendali) dari konsumen mengakibatkan sektor publik tidak mengetahui keinginan sebenarnya dari konsumen. Hal ini mengakibatkan kurangnya insentif untuk melakukan inovasi terhadap pelayanan yang diberikan; (iv) pengambilan keputusan. Sektor publik mengandalkan tidak hanya pertimbangan ekonomis tetapi juga pertimbangan politik dalam pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa keputusan sektor publik terpisah dari realitas permintaan- penawaran. Hal ini berdampak pada tingkat efisiensi; (v) Kondisi peralatan. Hal yang menyedihkan bahwa masyarakat tidak peduli pada fasilitas publik sebagaimana terhadap milik pribadi. Hal ini berdampak pada tingginya biaya produksi; (vi) interupsi pelayanan. Meskipun maksud keberadaan pelayanan publik untuk menjamin keberlanjutan penyediaan barang publik, tetapi pada kenyataannya sektor publik sangat rentan terhadap interupsi pelayanan. Sektor publik yang bersifat monopoli memungkinkan bahwa pemogokan buruh mengakibatkan terjadinya interupsi pelayanan, karena tidak adanya substitusi produk. Beberapa hal tersebut di atas, merupakan hal yang kritis dalam sektor publik, yang disebabkan oleh struktur dan organisasi dari sektor publik. Kesemuanya akan berdampak besar bagi negara yang mempunyai operasi sektor publik yang dominan ( Pirie, 1988 ).
Berkait dengan efisiensi, maka anggapan bahwa BUMN kurang efisien dibanding BUMN masih menjadi perdebatan. Adam dkk menyatakan bahwa anggapan tersebut hanya didasari pada hipotesa hubungan antara kepemilikan, infomasi dan insentif dan pengaruhnya terhadap kinerja usaha. Sementara Galal (1994) perbedaan kinerja BUMN dan swasta terletak pada perbedaan dalam tujuan dan kendala yang dihadapi, sehingga perbandingan kinerja tersebut seharusnya memperhatikan juga struktur pasar dan ukuran usaha. Dilain pihak, terdapat juga ekonom yang menyatakan bahwa efisiensi BUMN dan swasta relatif sama ( Siahaan, 2000 )
Diakui juga bahwa terdapat konsekuensi keterlibatan pemerintah seperti penetapan kuota, pembatasan dan sejenisnya, adalah 8 ‘rent -seeking ’ dan aktifitas yang
tidak produktif. Biayanya menjadi sangat besar.
2.2.4 Beberapa Bukti Empiris tentang Kinerja BUMN
Riset oleh Savas (1974, 1977) dan Stevens (1978) di Amerika Serikat, Hamer di Jerman, Hartley dan Huby di Inggris menunjukkan hasil yang sama bahwa biaya produksi sektor publik lebih besar, berkisar rata-rata 20-40 persen dari sektor swasta. Di Inggris, biaya sektor publik lebih besar 30 persen, di Amerika Serikat lebih besar 40 persen, di Jerman mendekati angka 50 persen. Ketiga penelitian tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa efsiensi sektor swasta lebih baik dari sektor publik ( Pirie, 1988 ). Penelitian Davis (1977) menyimpulkan bahwa perusahaan penerbangan swasta di Australia secara mencolok lebih superior dari BUMN penerbangan di negara tersebut. Ayub dan Hegstad dalam majalah Research Observer Volume 2 No. 1 Januari 1987 melakukan penelitian terhadap 500 perusahaan besar yang bukan perusahaan AS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak satupun perusahaan pemerintah yang menunjukkan kinerja lebih baik dari perusahaan swasta ( Simarmata, 1991 ). Perusahaan Boardman dan Vining yang melakukan penelitian terhadap 500 perusahaan terbesar yang berada di luar AS dan bukan monopolis, menunjukkan kesimnpulan yang sama swasta lebih unggul dari BUMN dilihat dari segi laba dan efisiensi.
Bukti di atas pada kenyataannya tidak dengan otomatis mengarah pada kesimpulan sektor swasta lebih efisien dari sektor publik. Beberapa hasil penelitian empiris membuktikan sebaliknya. Misalnya penelitian oleh Caus dan Christensen
8 Rent seeking diterjemahkan sebagai pencarian keuntungan berdasar pada kewenangan tertentu. Misal keuntungan yang didapatkan dari memperjualbelikan ijin kuota.
(1980) membandingkan perusahaan KA Canadian National (BUMN) dan Canadian Pacific (swasta). Kinerja Efisiensi Produksi ( Productive Efficiency Performance ) dari kedua perusahaan tersebut tidak berbeda secara signifikan.
Hasil studi literatur Siahaan (2000) yang dikemukakan dalam disertasinya menunjukkan bahwa kesimpulan BUMN mempunyai tingkat biaya yang lebih tinggi dibanding swasta masih sangat kabur, karena perbandingan dilakukan antara BUMN monopoli dan swasta yang bersaing mendapatkan proyek (Stevens 1978, Savas 1974, 1977, dan Ahebrand 1973 ). Karenanya beberapa peneliti (Meyer 1975, Pescutrice dan Trapani, 1980 dalam bidang listrik; Teeples dan Glyer, 1987 dalam bidang penyediaan air) membandingkan antara BUMN dan swasta yang sama-sama monopolis, dan hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan biaya antara keduanya sangat kecil bahkan kadang terbalik. Namun yang kurang dicermati bahawa BUMN tersebut dibandingkan dengan swasta monopolis yang mengalami regulasi (misal penentuan harga), sehingga
implikasi ‘ property rights ’ (kepemilikan) terhadap swasta tersebut sama kaburnya. Alkinsen dan Halvosen (1986) menghitung ‘ cost efficiency ’ (efisiensi biaya) untuk sampel 30 monopolis BUMN dan 123 monopolis swasta yang bergerak dalam pembangkitan listrik, menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan kecuali bahwa tingkat biaya keduanya lebih tinggi dari seharusnya.
Hal yang men arik lainnya, bahwa perusahaan ‘ mixed-enterprise ’ (kerjasama dengan BUMN) ternyata tidak lebih unggul terhadap BUMN. Namun penelitian Jones (1992) di Malaysia membantah hal tersebut. BUMN yang diprivatisasi secara parsial tidak kalah dengan BUMN yang diprivatisasi total. Jika mendasari pada kepemilikan, maka hasil penelitian Vikers dan yarrow (1988), Boardman dan Vinning (1989) menyatakan bahwa pengaruh kepemilikan badan usaha bukan merupakan hal yang dominan dibandingkan dengan pengaruh keadaan kompetisi dan regulasi yang harus dihadapi perusahaan ( Siahaan, 2000 ).
Sementara hasil studi Disertasi Siahaan (2000) tentang efisiensi teknik 9 BUMN di Indonesia menunjukkan bahwa (i) BUMN kurang efisien dibanding swasta; (ii)
BUMN skala usaha besar dan bergerak pada pasar domestik relatif kurang efisien
Efisiensi teknik merupakan kapasitas suatu satuan ekonomi untuk menghasilkan output sebesar mungkin dengan menggunakan seperangkat masukan dan teknologi tertentu; efisiensi alokatif merupakan kapasitas suatu satuan ekonomi untuk menyamakan nilai produk marjinal dengan biaya marjinal dalam menghasilkan output.
dibanding swasta dengan karakteristik yang sama; (iii) perbedaan efisiensi pada BUMN dan swasta dengan skala usaha kecil tidak signifikan.
Beberapa kesimpulan penelitian di atas mengarahkan kita pada kenyataan bahwa (i) efisiensi bukan hanya didominasi sektor swasta saja; (ii) sulit untuk melakukan perbandingan antara BUMN dan swasta karena keduanya tidak berada pada ‘ playing field ’ yang setara; (iii) kinerja suatu perusahaan baik BUMN maupun swasta sangat tergantung pada karakteristik perekonomian dimana usaha tersebut berada, terutama karakteristik kompetisi dan karakteristik regulasi yang berlaku.
2.3 Konsep Privatisasi
2.3.1 Alasan dan Tujuan Privatisasi
Menurut INTOSAI, berdasarkan hasil survei pada negara-negara anggotanya menyangkut alasan privatisasi, maka terdapat 5 (lima) alasan terbesar yaitu: (I) mengembangkan ekonomi pasar atau meningkatkan efisiensi bisnis; (ii) mengurangi beban aktifitas negara; (iii) mengurangi hutang negara atau menutup defisit anggaran; (iv) mendapatkan dana untuk tujuan lain; (v) memperluas pasar modal dalam negeri. Khusus negara berkembang terdapat beberapa alasan khusus seperti (i) mendapatkan peluang usaha dengan dunia internasional, yang diharapkan mendorong masuknya modal asing dan sekaligus alih teknologi; (ii) membuka kesempatan kerja sebagai konsekuensi masuknya modal asing dan berkembangnya dunia usaha; (iii) mendapatkan pengetahuan majerial dan menggantikan birokrat pengelola BUMN dengan tenaga profesional ( Sumarlin, 1996 ).
Gouri (1991) (1991) mengklasifikasikan alasan privatisasi dalam 4 (empat) kelompok yaitu (i) tekanan finansial, seperti defisit anggaran, neraca pembayaran; (ii) tekanan ekonomi, berupa ketidakefisienan BUMN; (iii) tekanan non-ekonomis, berupa pemerataan pendapatan, meningkatkan motivasi manajer; (iv) tekanan eksternal misalnya tekanan dari lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia ( Siahaan, 2000 )
Menurut Shirley dan Nellis (1972) fenomena privatisasi merupakan akibat dari (i) kegagalan birokratik yang mengakibatkan lemahnya kinerja BUMN; (ii) sifat permanen dari kegagalan pasar terlalu dibesar-besarkan ( Siahaan, 2000 ).
Veljanovsky (1990) menekankan bahwa tujuan privatissi tersebut harus didasari oleh beberapa prinsip yaitu (i) keputusan bisnis harus didepolitisasi; (ii) Veljanovsky (1990) menekankan bahwa tujuan privatissi tersebut harus didasari oleh beberapa prinsip yaitu (i) keputusan bisnis harus didepolitisasi; (ii)
2.3.2 Metode Privatisasi
Berdasar pengalaman privatisasi di Inggris, maka menurut Pirie (1988) metode privatisasi dapat dikelompokkan dalam 17 jenis yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi penjualan saham, penjualan aset, penyerahan wewenang pada swasta, penarikan/pengurangan aktifitas, pemberian hak yang lebih besar bagi publik (lihat Tabel 1).
Selain metode di atas, maka terdapat beberapa metode lain seperti (i) lelang. Aset BUMN dijual pada penawar tertinggi pada lelang terbuka; (ii) negotiated sale . Harga dan syarat transaksi disetujui bersama dalam negosiasi langsung; (iii) tender. Penawaran harga dilakukan melalui amplop tertutup, dan pemenang ditentukan melalui harga tertinggi; (iv) joint venture. BUMN bersama swasta membentuk perusahaan baru; (v) Build-Own-Operate-and-Transfer (BOO dan BOT). Biaya pembangunan dari swasta, kemudian diberi hak pengelolaan untuk jangka waktu panjang, dan setelah akhir kontrak aset dikembalikan pada negara; (vi) Leasing . Swasta menyewa hak pengelolaan dari pemerintah; (vii) management contract . Pemerintah menyewa swasta untuk mengelola BUMN ( Sutojo, 1995 ).
Bank Dunia berdasar pengalaman di beberapa negara mengklasifikasikan metode privatisasi berdasar kriteria struktur pasar, tingkat efisiensi saat ini, dan tujuan sosial dan eksternalitas yang perlu diperhitungkan. Selengkapnya pada Tabel 2
Tabel 1. Metode Privatisasi (Pengalaman Inggris) No
Jenis
Penjelasan
1 Penjualan keseluruhan saham Penjualan 100 persen saham pada publik melalui pasar modal
2 Penjualan sebagian saham Penjualan sebagian saham pada publik melalui pasar modal
3 Penjualan sebagian pada swasta Penjualan dilakukan hanya pada pihak swasta dan tidak melalui pasar modal.
4 Penjualan pada Manajemen atau Penjualan dilakukan pada pegawai Pegawai
dan/atau manajemen
5 Penyerahan pada Pegawai Penyerahan saham pada pegawai dengan nilai yang sangat kecil
6 Dikontrakkan pada swasta Pembiayaan tetap oleh sektor publik, tetapi produksi/pelaksanaan dikontrakkan pada swasta
7 Diluting the public sector Penanganan pelaksanaan pemeliharaan dan ekspansi pada swasta (pekerjaan eksisting tetap oleh sektor publik)
8 Penetapan tarif Pelayanan Produksi dilakukan oleh sektor publik sementara pembiayaan oleh sektor swasta
9 Deregulasi melalui asosiasi Pemberian wewenang pada asosiasi untuk melakukan pengaturan (misal asuransi, penerbangan)
10 Mendorong institusi sejenis Pengembangan institusi alternatif sejenis (misal universitas)
11 Making small scale trials Melakukan eksperimen skala kecil sebagai alternatif
12 Pencabutan monopoli
meningkatkan persaingan usaha
13 Pengendalian kekuasaan negara Pembatasan kewenangan negara pada bidang tertentu
14 Likuidasi Penjualan aset perusahaan sekaligus melakukan penutupan usaha
15 Mengundurkan diri dari aktifitas
16 The right to private substitution Publik berhak mendapatkan pelayanan dari pihak swasta dengan tagihan dibayar oleh pemerintah
17 Penggunaan Voucher Publik diberi voucher yang dapat ditukarkan dengan saham BUMN
Sumber: Diolah kembali dari Pirie (1988).
Tabel 2 Metode Privatisasi
Metode Privatisasi
No Pasar
Menciptakan persaingan lebih ketat dengan membuka entry barriers atau dengan penjualan total ( divestiture )
Pilihan non-divestiture : pengalihan manajemen, marketisasi
Penjualan saham total
Pilihan non-divestiture : pencairan modal, sub contract, joint venture , marketisasi
Menciptakan kompetisi dengan membuka entry barriers dan menghadapkan dengan kompetisi internasional
6 Monopolistik Rendah
Rendah
Penjualan saham total
7 Monopolistik Rendah
Tinggi
baik contestable maupun melalui tolok ukur ( yardstick ) dengan membagi- bagi badan usaha ke unit-unit berbeda.
Regulasi dengan pilihan non- divestiture
atau
merangsang
pencairan modal
Sumber: Goeltom (1995) Dalam formulasi tabel di atas, metode privatisasi dapat dikelompokkan dalam
(i) Transfer kepemilikan berupa (a) penjualan total pada swasta langsung dan melalui pasar modal; (b) penjualan sebagian pada publik, karyawan, atau joint venture; (ii) Transfer kendali manajemen berupa (a) transfer sebagian, terdiri dari pemisahan manajemen dengan kepemilikan, joint venture, perubahan manajemen total; (b) sub kontrak manajemen; (iii) Kebebasan pasar. Manajemen BUMN dibebaskan dari kendali pemerintah dengan pemberian otonomi lebih besar, kebebasan menentukan harga, kebijakan investasi, pembiayaan, dan rekrutmen tenaga kerja.
2.3.3 Proses Privatisasi
Privatisasi paling tidak dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan yaitu pengembangan institusi; seleksi target, poses pengalihan, dan pemantauan hasil. Tahapan ini bukan sesuatu yang mengikat tetapi berdasar hasil pengalaman privatisasi di Amerika Serikat ( Marston, 1987 ).
Tabel 3 Tahapan Privatisasi
No Tahapan
Penjelasan
Tahap I – Pengembangan Institusi
1 Penentuan Tujuan Formalisasi sasaran program, penunjukan personil, penetapan anggaran, pemilihan konsultan.
2 Penilaian situasi politik Issue terkait hambatan peraturan, kendala ekonomi, pemutusan hubungan kerja, untung- rugi politis, dampak terhadap komunitas bisnis,
3 Penciptaan dukungan Issue terkait pembelajaran masyarakat, mem- perkuat dukungan privatisasi, membangun strategi menghadapi oposisi
4 Membangun strategi dan Issue terkait proses privatisasi, penentuan petunjuk
kriteria seleksi, penetapan insentif, deregulai
Tahap II – Seleksi target
5 Tinjauan kebijakan Tinjauan terhadap konsistensi kebijakan dengan rencana kerja privatisasi
6 Survei organisasi Pengkajian bentuk organisasi, sistem kerja, kinerja perusahaan, masalah perusahaan, dan peluang perbaikan.
7 Evaluasi bisnis Pengkajian kapasitas bisnis, beban kapitalisasi, minat komunitas bisnis, efisiensi, kesempatan kerja.
8 Analisis strategi Pemilihan metode privatisasi mempertimbang- kan aspek legal, ekonomi, politik, bisnis.
III Proses Pengalihan
9 Perkiraan nilai
10 Persyaratan pengalihan
11 Evaluasi dan memilih calon pemenang
12 Negosiasi dan penetapan pemenang
IV Pemantauan hasil
13 Penetapan peraturan dan mekanisme pemantauan
14 Kinerja pemantauan
Sumber: Marston (1987)
Tahapan tersebut di atas hasilnya banyak dipengaruhi oleh interaksi 4 (empat) kelompok yaitu (i) politikus; (ii) publik: konsumen jasa dan produk barang publik; (iii) pegawai dan manajer pemerintah: kelompok di luar politikus yang sangat terpengaruh oleh dampak privatisasi; (iv) komunitas bisnis: kalangan bisnis yang berkepentingan ( Berg, 1987 ).
2.3.4 Penilaian Kinerja Sektor Publik
Masih terjadinya perdebatan tentang perbedaan antara BUMN dan swasta membawa pada konsekuensi beragamnya cara menilai kinerja BUMN. Sebagian berpendapat bahwa penilaian kinerja BUMN tidak perlu dibedakan dengan penilaian terhadap sektor swasta, sehingga penilaian cukup dengan menggunakan metode RLS (Rentabilitas, Likuditas, Solvabilitas). Sementara bagi mereka yang berpendapat sebaliknya menggunakan metode yang berbeda.
Metode RLS (Rentabilitas, Likuditas, Solvabilitas) digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia. Perbedaannya hanya pada pembobotan dari masing-masing rentabilitas, likuiditas dan solvabilitas. Tingkat rentabilitas menggambarkan tingkat
keuntungan ( 10 Return on investment-ROI ) perusahaan. Likuiditas menggambarkan kemampuan membayar kewajiban jangka pendek, dan Solvabilitas menggambarkan
struktur permodalan. Menurut Pirie, yang penting dilakukan adalah melakukan perbandingan hasil penilaian efisiensi, yang secara implisit tidak memperdebatkan metode yang digunakan. Perbandingan efisiensi sektor publik dinilai dengan dua cara. Pertama, penggunaan contoh negara lain memungkinkan dilakukan penilaian bahkan pada kasus monopoli. Kedua, melakukan perbandingan dengan sektor swasta di negara yang bersangkutan untuk kegiatan yang sama ( Pirie, 1988 ).
Penggunaan metode RLS sebagai alat penilaian kinerja BUMN dikritik oleh Sjahrir (1990) dengan mengatakan bahwa (i) jika hanya menggunakan metode RLS maka pemahaman terhadap efisiensi dan efektifitas sebuah BUMN menjadi terbatas. RLS dengan pasar monopoli cenderung mempunyai RLS tinggi; (ii) menjadi penting memahami pasar tempat BUMN beroperasi. Baik pasar input maupun pasar produksi; (iii) BUMN yang bergerak dalam bidang layanan utilitas seperti listrik, air minum, gas
10 ROI laba bersih dibagi aset total; Likuiditas aktiva lancar dibagi kewajiban lancar; Solvabilitas total kewajiban dibagi total kekayaan. Masing-masing untuk periode tertentu.
berbeda dengan BUMN lainnya. Pasar inputnya mungkin sudah ditetapkan tetapi harga produknya tidak bisa ditetapkan secara otonom; (iv) penilaian BUMN yang telah ‘ go public’ akan berbeda.
Sementara kritik Siahaan (2000) terfokus pada 3 (tiga) hal yaitu (i) tidak terdapat pemisahan penilaian kinerja perusahaan dan manajemen; (ii) penilaian dilakukan hanya satu periode sehingga pengeluaran yang memberi manfaat pada periode berikutnya akan selalu dihindari oleh manajer; (iii) tidak mempertimbangkan pasar output maupun pasar input yang dihadapi masing-masing BUMN.
Pengalaman di Inggris menunjukkan masih digunakannya metode RLS tetapi menggunakan beragam indikator penilaian dengan beberapa pertimbangan. Misalnya, fokus pada laba mungkin tidak menggambarkan adanya monopoli, konsentrasi pada biaya mengabaikan peran teknologi, penekanan pada perubahan tingkat output mungkin mengindikasikan penetapan harga yang tidak efisien daripada penggunaan efektif sumber daya. Akhirnya penilaian kinerja dilakukan dengan beragam cara. Pertama, Laba. Terdapat indikator utama menilai laba yaitu laba sebelum bunga dan pajak ( Profit before interset and tax-PBIT ) yaitu laba operasi yang menunjukkan keefektifan jangka pendek perusahaan, dan laba setelah bunga dan pajak (Profit after interest and tax-PAIT ), yang menunjukkan kefektifan jangka panjang, tidak hanya dalam produksi dan penawaran, tetapi juga interaksi dengan pasar modal dan rejim pajak. Kedua, ‘ Turnover ’ adalah hasil penjualan selama setahun, dan Output fisik ( physical output ), yaitu rata-rata produksi dari setiap jenis produk selama setahun. Mempunyai turnover dan laba besar tidak langsung berarti kinerja yang bagus. Perusahaan besar cenderung mempunyai laba lebih besar. Lebih penting seberapa hasil dari setiap unit yang dijual. Maka laba dibagi turnover untuk menunjukkan marjin pendapatan untuk setiap poundsterling yang diterima yaitu Return on Sales (RoS). Laba yang diterima sebaiknya juga dilihat dalam konteks investasi yang dibutuhkan untuk memproduksi. Kita membagi laba dengan modal (aset tetap tambah stok) untuk menunjukkan return on capital employed (RoCE).
Namun jika perusahaan menikmati monopoli maka indikator yang digunakan akan berbeda, yaitu produktifitas tenaga kerja (output dibagi input tenaga kerja). Namun ini juga dianggap indikator yang kurang tepat, karena tidak menggambarkan produktifitas sumber daya lain yang digunakan. Bertambahnya produktifitas tenaga Namun jika perusahaan menikmati monopoli maka indikator yang digunakan akan berbeda, yaitu produktifitas tenaga kerja (output dibagi input tenaga kerja). Namun ini juga dianggap indikator yang kurang tepat, karena tidak menggambarkan produktifitas sumber daya lain yang digunakan. Bertambahnya produktifitas tenaga