M EKANISME P ERLINDUNGAN H AK -H AK M ASYARAKAT A DAT

Catatan Khusus: Permanent Forum on Indigenous Issues (PFII)

Sekarang ini ada badan baru yang secara khusus menangani masalah masyarakat adat (yang bisa digunakan sebagai wahana pengaduan) yaitu Permanent Forum on Indigenous Issues. Berkaitan dengan forum ini, Erica Daes mengajukan beberapa pertimbangan yaitu sebagai berikut:

a. Membentuk sebuah badan pencari fakta, atau menunjuk seorang pelapor khusus untuk isu masyarakat adat, dengan sebuah mandat inter alia untuk melakukan kunjungan dan menyiapkan laporan berkaitan dengan isu-isu tanah masyarakat adat tertentu dan sumber daya yang mereka miliki; pelapor khusus juga bisa memberikan respons, melakukan mediasi dan mengusahakan rekonsiliasi;

b. Menciptakan sebuah mekanisme atau prosedur tuntutan (complaint), di bawah dan dalam tanggung jawab pelapor khusus, untuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada tanah-tanah dan sumber daya masyarakat adat;

c. Pelapor khusus sebaiknya dilengkapi denga kekuasaan “peace-seeking” untuk melakukan investigasi, merekomendasikan solusi, konsiliasi, mediasi, dan membantu mencegah atau mengakhiri kekerasan dalam situasi berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat;

48 Lihat James Anaya, op. cit., catatan no. 76 dan teksnya.

d. Membuat prosedur bagi negara-negara dalam membuat laporan periodik berkaitan dengan kemajuan mereka dalam mengusahakan perlindungan terhadap hak atas tanah

dan sumber daya masyarakat adat. 49

Permanen Forum ini dibentuk melalui Resolusi ECOSOC 2000/22 pada 45th plenary meeting- nya, 28 July 2000. Mary R obinson mengomentari keputusan itu sebagai “a historic step forward ”. "The Permanent Forum", katanya,

promises to give indigenous peoples a unique voice within the United Nations system, commensurate with the unique problems which many indigenous people still face, but also with the unique contribution they make to the human rights dialogue, at the local, national

and international levels. 50

Forum ini merupakan badan di bawah ECOSOC yang akan terdiri dari 16 wakil. Delapan (8) orang akan dicalonkan oleh pemerintah dan dipilih oleh badan ECOSOC (mereka ini dipilih karena kepakarannya), dan delapan (8) lainnya akan ditunjukk oleh Presiden ECOSOC setelah berkonsultasi dengan berbagai organisasi dan kelompok masyarakat adat dengan pertimbangan pada unsur keragaman dan sebaran geografis. Organisasi Masyarakat Adat bisa menjadi pengamat dalam forum tersebut, sebagaimana juga Negara, Badan PBB lainnya, dan berbagai ornop di seluruh dunia. Mandat Forum ini adalah menangani isu-isu masyarakat adat berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan sosial, kebudayaan, lingkungan,

pendidikan, kesehatan dan hak asasi manusia pada umumnya. 51

49 Erica-Irene A. Daes, op. cit., 2001, hlm. 32, para. 157. 50 Mary Robinson, “UN Establihes Permanent Forum for Indigenous Issues”, Press Release

ECOSOC/5932, http://www.un.org/News/Press/docs/2000/20000731.ecosoc5932.doc.html 51 United Nations Guide for Indigenous Peoples , Leaflet No. 6, “The Permanent Forum on Indigenous

Issues, available online at: http://www.unhchr.ch/html/racism/indileaflet6.doc

2. Mekanisme Nasional

Untuk mekanisme nasional ini saya mengacu pada kategorisasi yang dilakukan Profesor Erica Daes yaitu sebagai berikut: (a) mekanisme yudisial; (b) mekanisme negosiasi; (c) reformasi konstitusional dan kebijakan peraturan perundang- undangan; (d) inisiatif atau keinginan masyarakat adat; (e) instrumen-instrumen

standar hak-hak asasi manusia. 52 Akan tetapi, perlu dipahami sebagaimana telah disinggung di depan, dalam konteks hukum dan hubungan internasional kontemporer, mekanisme nasional pun bisa berimplikasi pada mekanisme internasional demikian juga sebaliknya. Sehingga, kembali saya katakan di sini bahwa pembagian uraian atas mekanisme internasional dan nasional ini hanya untuk mempermudah uraian dan pemahaman saja.

a. Mekanisme Yudisial

Mekaniseme yudisial pada tataran konsep hukum memegang peranan penting dan menjadi andalan bahkan menjadi semacam sandaran akhir dari setiap upaya advokasi. Namun, bagi masyarakat adat, oleh karena adanya kegagalan Negara dalam mengakui adanya tindakan dan kebijakan diskriminatif yang terus berlangsung atas tanah masyarakat adat, mereka menjadi sulit menerima mekanisme yudisial sebagai salah satu cara yang mereka harapkan dapat menjamin pemenuhan hak-hak mereka.

Selain itu, dalam konteks kekinian, kiranya perlu kita ketahui bahwa penggunaan mekanisme yudisial untuk kasus yang berkaitan dengan masyarakat adat mengandung risiko. Mengapa? Karena adanya masalah interpretasi yang berbeda-beda terhadap instrumen-instrumen hukum yang dijadikan dasar bagi penyelesaian kasus-kasus tersebut. Selain itu, juga karena berbagai forum bentukan

52 Lihat Erica-Irene A. Daes, op. cit., 2001, para 87 – 117.

Negara itu sangat kental dengan bias politik dan sangat subjektif. Pemerintah juga seolah membiarkan terus bias kultural yang ada. Mekanisme-mekanisme yudisial seperti itulah yang dibuat dan telah digunakan dalam beberapa kasus. Pemerintah dan organisasi masyarakat adat masih harus mengusahakan lebih lanjut berbagai masukan atau pertimbangan-pertimbangan positif untuk mendapatkan mekanisme yudisial yang memadai, jujur dan adil.

b. Mekanisme Negosiasi

Mekanisme negosiasi mungkin bisa digunakan untuk mengedepankan serangkaian isu, konsep dan perspektif yan lebih luas dan kaya untuk menggali kemungkinan diterimanya klaim hak masyarakat adat atas tanahnya. Bisa juga diharapkan untuk menyediakan kesempatan yang lebih besar baik untuk mencapai atau melahirkan pemahaman yang sejati maupun untuk mengokohkan bangunan kepercayaan. Negosiasi, jika dilaksanakan dengan semangat saling menghargai bagi tercapainya pengakuan atas hak-hak dasar masyarakat adat, dapat juga memberikan kontribusi tersendiri bagi kelanjutan dan kelangsungan hubungan politik dan hubungan hukum yang elegan. Alternatif semacam itu tampaknya lebih konstruktif baik bagi Pemerintah maupun bagi masyarakat adat itu sendiri, dan mungkin juga bagi pihak lain.

Selain itu, dialog substantif, konstruktif, dan formal baik di tingkat internasional, nasional dan lokal berkaitan dengan standar internasional hak asasi masyarakat adat barangkali merupakan sebuah metode yang dapat membuahkan hasil demi tercapainya pemahaman yang menyeluruh tentang nilai dan perspektif masyarakat adat. Pendidikan pun bisa menjadi langkah yang sangat efektif dalam hal ini. Pendidikan bisa membantu membuka wawasan untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dan memahami implikasi dari diakomodirnya hak dan kepentingan masyarakat adat itu sendiri dan Negara.

c. Reformasi Konstitusional dan Kebijakan Peraturan Perundang-undangan

Sebuah langkah positif untuk menjamin hak-hak masyarakat adat telah menjadi praktik yang maju oleh Negara untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat melalui amandemen konstitusi, pembuatan peraturan perundangan yang khusus, dan ketetapan-ketetepan khusus di antara berbagai hukum umum lainnya. Contoh yang pantas untuk disebutkan di sini adalah amandemen terhadap Konstitusi Brazil yang disahkan pada tahun 1988. Konstitusi itu memuat berbagai ketentuan yang tegas akan perlunya penentuan garis batas dan perlindungan atas tanah-tanah masyarakat adat. Demikian juga di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, semisal Argentina, Bolivia, Ekuador, Guatemala, Honduras, Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru dan Venezuela. Negara-negara itu sekarang memilik Konstitusi yang mengakui kepemilikan masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya, dan menjamin reservasi atau penentuan garis batas yang tetap dan tegas. Sebagai tambahan, Konstitusi Bolivia, Colombia dan Peru mengakui hak masyarakat adat untuk membentuk pemerintahan sendiri (self-government) di daerah atau wialayah mereka sepanjang hal itu tetap mengindahkan Konstitusi Negara dan hukum Nasional lainnya.

Akan tetapi, Daes juga mencatat bahwa hingga ia menyerahkan kertas kerja final sebagai laporan atas hasil studinya kepada PBB, belum ada informasi yang diterima mengenai sejauh mana pemberlakuan konstitusi dan berbagai ketentuan perundang-undangan atau hukum di negara-negara yang diamatinya itu telah benar- benar diimplementasikan. Juga belum ada laporan mengenai sejauh mana berbagai instrumen hukum itu mencapai sasaran seperti memulihkan hubungan masyarakat adat dengan tanahnya dalam pengertian ekonomi, sosial, budaya dan makrokosmos. Sepertinya, kata Daes, perlu dilakukan sebuah studi komparatif tentang berbagai Akan tetapi, Daes juga mencatat bahwa hingga ia menyerahkan kertas kerja final sebagai laporan atas hasil studinya kepada PBB, belum ada informasi yang diterima mengenai sejauh mana pemberlakuan konstitusi dan berbagai ketentuan perundang-undangan atau hukum di negara-negara yang diamatinya itu telah benar- benar diimplementasikan. Juga belum ada laporan mengenai sejauh mana berbagai instrumen hukum itu mencapai sasaran seperti memulihkan hubungan masyarakat adat dengan tanahnya dalam pengertian ekonomi, sosial, budaya dan makrokosmos. Sepertinya, kata Daes, perlu dilakukan sebuah studi komparatif tentang berbagai

d. Inisiatif Masyarakat Adat

Perlu diperhatikan bahwa masyarakat adat itu sendiri mengajukan berbagai inisiatif atau usulan tentang berbagai proyek dan program yang penting dalam kaitan dengan tanah, teritori dan sumber daya yang mereka miliki. Berbagai inisiatif itu pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi perlindungan dan promosi hak- hak mereka. Contohnya adalah usulan tentang pengelolaan dan pengelolaan bersama sumber-sumber daya alam di Alaska, atau di mana pun. Masyarakat adat juga memberikan kontribusi pada inisiatif perlindungan lingkungan global dan nasional. Sebagai contoh, keterlibatan dan peran mereka dan ornop masyarakat adat pada United Nations Conference on Environment and Development sangat menentukan dalam pembuatan draf dan diterimanya atau disahkannya bab 26 Agenda 21, yaitu tentang “Recognizing and Strengthening the Role of Indigenous Peoples and Their

Communitie s” 53 . Ini merupakan kontribusi positif oleh masyarakat adat bagi masyarakat dunia. Di tingkat nasional, masyarakat adat di beberapa negara tertentu telah mengusulkan proyek pembuatan peta (mapping project) sebagai wahana untuk mendokumentasikan dan menspesifikasi kepemilikan mereka atas tanah adat dan

praktik pengguna 54 an tanah adat tersebut. Hal ini bisa menjadi sebuah sarana yang penting bagi terciptanya kesadaran dan pemahaman yang lebih besar atas kepemilikan tanah adat. Hal ini pada akhirnya bisa juga membantu terciptanya dasar

53 Tentang isi lengkap Agenda 21 ini silahkan lihat: http://www.un.org/esa/sustdev/agenda21text.htm

54 Setahu saya, di tingkat nasional Indonesia, belum ada upaya menyeluruh untuk pembuatan peta seperti itu untuk menandingi peta yang dibuat pemerintah. Hal penting lainnya yang menjadi satu

paket dengan pemetaan adalah soal pendokumentasian. Hal ini sering ditekankan oleh saudara Noer Fauzi dalam beberapa kesempatan.

bagi pengakuan secara legal dan perlindungan terhadap hak atas tanah-tanah adat dan sumber dayanya. Di Belize, pembuatan proyek dari masyarakat Indian Maya di distrik Toledo berhasil diterbitkan pada tahun 1998 di bawah judul: Maya Atlas: The Struggle to Preserve Maya Land in Southern Belize . Peta ini merupakan atlas buatan masyarakat adat yang pertama di dunia. Maya Atlas ini, yang diproduksi oleh Toledo Maya Cultural Council dan Toledo Alcaldes Association, mendokumentasi tanah

ad at milik masyarakat Mopan dan Ke’kchi, dan juga mendeskripsikan sejarah bangsa Maya, kebudayaannya, hukum adat mereka tentang tanah dan kegiatan-kegitan sosio-ekonomi masyarakat tersebut.

e. Instrumen-Instrumen Standar Hak Asasi Manusia

Di depan telah saya uraikan beberapa instrumen standar hak asasi manusi beserta mekanismenya. Mungkin yang perlu dicatat di sini adalah bahwa berbagai norma hak asasi manusia yang kini tengah berlaku, yakni norma yang berkaitan dengan hak atas pembangunan, hak antar-generasi, hak atas perdamaian dan kedamaian, dan hak lingkungan yang aman dan sehat merupakan norma-norma yang digunakan masyarakat adat untuk mulai memperngaruhi pemikiran lama dan membawa pengaruh progresif atas standar-standar itu, yang lebih sensitif, responsif dan berguna bagi masyrakat adat dan umat manusia pada umumnya. Kesimpulan dalam laporan dari Brundtland Commission, Our Common Future, sudah seharusnya untuk tidak diabaikan berdasarkan pandangan atas perubahan ini dan pengembangan standar-standar hak-hak asasi manusia. Laporan itu mengandung dan menegaskan pengakuan terhadap situasi khas nan unik dalam eksistensi masyarakat adat:

Titik awal bagi kebijakan yang adil dan manusiawi untuk kelompok-kelompok masyarakat semacam itu adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tradisional mereka dan terhadap tanah dan sumber daya lain yang mereka miliki, yang melestarikan cara hidup mereka. Hak-hak ini barangkali memang tidak termasuk atau tidak sesuai dengan sistem Titik awal bagi kebijakan yang adil dan manusiawi untuk kelompok-kelompok masyarakat semacam itu adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tradisional mereka dan terhadap tanah dan sumber daya lain yang mereka miliki, yang melestarikan cara hidup mereka. Hak-hak ini barangkali memang tidak termasuk atau tidak sesuai dengan sistem

di wilayah tanah adat mereka . 55

P ENUTUP

Perkembangan konsep, paham dan gerakan hak asasi manusia global telah membawa serta semakin populernya isu masyarakat adat baik di tingkat nasional maupun internasional. Isu masyarakat adat memang masih memiliki beban bawaan berupa hubungan mereka dengan tanah, wilayah dan sumber daya dalam dimensi ekonomis, sosial, kultural, maupun religius-spiritual dan filosofis-makrokosmis. Masalah lainnya lagi yang hingga kini masih menggantung adalah soal self- determination dan soal indentitas.

Kendatipun di tingkat internasional kita mencatat adanya perkembangan menggembirakan misalnya disahkannya Permanent Forum on Indigenous Issues namun di tingkat nasional kita masih dihadapkan dengan berbagai halangan dan tantangan baik berupa pengakuan langsung dan nyata terhadap hakikat, eksistensi dan keberadaan serta hak-hak masyarakat adat, maupun berupa pembaruan hukum dan politik yang mengakomodir kepentingan mereka. Karena itu benar sekali apa yang dikatakan John Bamba bahwa masyarakat adat di dunia sekarang ini bagai berada

dalam “perjuangan global” namun “tantangan lokal”. 56

55 Pandangan Gro Bruntland ini dikutip dalam Erica-Irene A. Daes, op. cit., 2001, para. 117. 56 John Bamba, op. cit.

Dengan kata lain, jalan menuju puncak pengakuan komprehensif atas keberadaan (being) masyarakat adat memang panjang. Tiada cara lain memperkecil jarak itu selain mulai berjalan, berjalan, dan berjalan. Jalan itu adalah menganyam kiat dengan menggali berbagi kemungkinan berdasarkan konsep, paham, mekanisme dan standar internasional hak asasi manusia yang dikontekstualisasikan dalam tataran perjuangan lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Alston, Philip (Ed.). 1992. “The Commission on Human Rights” dalam The United Nations and Human Rights: A Critical Appraisal. Clarendon Press, Oxford. Anaya, S. James. 1996. Indigenous Peoples in International Law. Oxford University Press, New York. Bamba, John. 2002 (7 April). “Masyarakat Adat di Dunia, Perjuangan Global dan Tantangan Lokal”. Makalah pada Pelatihan Nasional Masyarakat Adat untuk HAM dan Policy Process. Pontianak.

Bose, Tapan. “Definition and Delimitation of the Indigenous Peoples of Asia”. IWGIA. available online at: http://www.iwgia.org/pop_up.phtml?id=309 . Bosko, Rafael Edy. 1999 (April). The Right of Indigenous Peoples in the Context of Natural Resources Development.

A master thesis in public international law. Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law, Faculty of Law, University of Lund.

Cobo, José R. Martínez. 1987. Study of the Problem of Discrimination against Indigenous Populations. Volume V. Conclusion, proposal and recommendation. United Nations Publications, sales No. E. 86. XIV. 3. New York, United Nations.

Daes, Erica- Irene A. 1993. “Some Considerations on the Right of Indigenous Peoples to Self- determination”. 3 Transnational Law and Contemporary Problems 1. Daes, Erica-Irene A. 1995. Evolution of Standards Concerning the Rights of Indigenous Peoples: New Development and General Discussion of Future Action. UN Doc. E/CN.4/Sub.2/AC.4/1995/3.

Daes, Erica-Irene A. 2001 (11 Juni). Indigenous Peoples and Their Relations to Land. Final working paper. Commission on Human Rights. E/CN.4/Sub.2/2001/21.

Dahl, Jens dan Alejandro Parellada. 2001. Masyarakat Adat di Dunia, Eksistensi dan Perjuangannya. IWGIA dan Institut Dayakologi, Pontianak. Durning, Alan Thein. 1992 (Desember). “Guardians of the Land: indigenous peoples and the health of the Earth”. World Watch Paper 112. Hannum, Hurst (Ed.). 1992. Guide to International Human Rights Practice, 2 nd edition. University of Pennsylvania Press, Philadelphia. IWGIA. “Indigenous Issues”. http://www.iwgia.org/pop_up.html?id=3 . Kaye, Stuart dan Ryszard Piotrowiwicz. 2000. “Nature and Origins of Human Rights

Law” (bab 1) dalam Human Rights in International and Australian Law. Butterworths, Sydney.

Robinson, Mary. “UN Establihes Permanent Forum for Indigenous Issues”. Press Release

ECOSOC/5932.

http://www.un.org/News/Press/docs/2000/20000731.ecosoc5932.doc.html Roulet, Florencia. 1999. Human Rights and Indigenous Peoples. A Handbook on the UN System. IWGIA, Copenhagen. Stephanus Djuweng dan Sandra Moniaga, “Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk, Apakah Masih Punya Tempat di Indonesia?” Kata Pengantar dalam Konvensi ILO 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka , ELSAM dan LBBT, Jakarta, tanpa tahun.

United Nations Guide for Indigenous Peoples. Leaflet No. 6 “The Permanent Forum on Indigenous

online at: http://www.unhchr.ch/html/racism/indileaflet6.doc . Agenda 21 . http://www.un.org/esa/sustdev/agenda21text.htm World Bank. 1991. Operational Directive OD 4.20: Indigenous Peoples. Zaken, Ministerie van Buitenlandse. 1993 (14 Mei). Indigenous in the Netherlands

http://www.haleyon.com/pub/FWDP/International/nethrlnd.txt <1/8/99>.

T ENTANG P ENULIS

Edisius Riyadi (Terre) adalah seorang sarjana hukum yang bekerja di ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat sejak 1 Mei 2001 hingga sekarang. Sebelumnya, penulis bekerja sebagai pengajar-pendidik dan editor/penerjemah di Penerbit Kanisius dan Penerbit Andi, Yogyakarta. Menjadi fasilitator dan narasumber dalam beberapa event di beberapa tempat untuk berbagai topik yang berkaitan dengan isu hak asasi manusia, hukum, dan transitional justice. Penulis juga menjabat sebagai Redaktur Pelaksana DINITAS, Jurnal Hak Asasi Manusia terbitan Elsam.

Pengalaman baik sebagai peserta (participant) maupun sebagai pembicara (resource person ) untuk isu-isu hak asasi manusia baik umum maupun, terutama, yang secara khusus berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat adalah sebagai berikut:

Juni 2001 : Participant “Pelatihan HAM bagi Pengacara” yang

diselenggarakan ELSAM.

Oktober – November 2001 : Participant “International Training on International Human Rights Standards and Policy Process for Indigenous Peoples”, Baguio City, Philippines.

April 2002 : Resource Person pada “Training HAM Tingkat Nasional untuk Masyarakat Adat”, Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia.

Juli 2002 : Resource Person pada “National Training on International Human Rights Standards and Policy Process for Indigenous Peoples”, Serawak, Malaysia.