Hak Masyarakat Adat dalam Perspektif Huk

Sebuah Pendekatan Berperspektif Hukum Internasional Hak Asasi Manusia

Oleh Edisius Riyadi

Dipresentasikan Pertama Kali pada Training Monitoring Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

19 – 28 Agustus 2002 di Hotel Bumi Wiyata, Depok

Jakarta

Diselenggarakan oleh

LP3ES – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan

Ekonomi dan Sosial, Jakarta

Sebuah Pendekatan Berperspektif Hukum Internasional Hak Asasi Manusia *

Oleh Edisius Riyadi P ENDAHULUAN

Kurang lebih 350 juta penduduk dunia ini adalah indigenous peoples. 1 Sebagian besarnya hidup di daerah-daerah terpencil. Mereka terdiri dari kurang lebih 5000 masyarakat yang menyebar mulai dari masyarakat hutan (forest peoples) di Amazon hingga masyarakat adat (tribal peoples) di India dan merentang dari suku Inuit di Arktika hingga masyarakat Aborigin di Australia. Pada umumnya mereka menduduki dan mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam

lainnya. 2 Dewasa ini, seiring gencarnya gerakan hak asasi manusia, gerakan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat pun semakin menemukan bentuk dan

Tulisan ini merupakan versi update dari versi sebelumnya yang dipresentasikan dalam Training Monitoring Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang diselenggarakan oleh LP3ES – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 19 – 28 (22) Agustus 2002 di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jakarta.

1 Dalam tulisan ini, indigenous peoples dan tribal peoples diterjemahkan sebagai “masyarakat adat”. Pada bagian kedua tulisan ini akan dijernihkan penggunaan istilah-istilah yang terkait dengan indigenous

peoples ini, yang hingga sekarang sering dipakai secara simpang siur. 2 Lihat IWGIA, “Indigenous Issues” hlm. 1, available online at:

http://www.iwgia.org/pop_up.html?id=3 .

wadahnya. 3 Namun, perhatian internasional ini bukanlah sebuah fenomena baru. Perhatian ini sudah muncul sejak pertengahan pertama abad sembilan belas berupa perhatian terhadap masyarakat asli (aborigine) dan pribumi (tribal) di wilayah-

wilayah koloni. 4 Isu masyarakat adat ini akhirnya memasuki wilayah perbincangan PBB secara khusus berkat inisiatif Mr. Theo van Boven. Pada tahun 1982, dibentuklah UN Working Group on Indigenous Populations meskipun baru sebagai pre-sessional kelompok kerja dari Subcommission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities (sekarang bernama Sub-Commission on the Promotion and Protection on Human Rights). Kelompok kerja tersebut mulai bekerja pada tahun 1982 dengan dua tugas pokok yaitu: pertama, membuat kriteria untuk menentukan konsep tentang indigenous peoples, dan kedua, mengembangkan standar sebagai pedoman bagi negara- negara anggota PBB dalam kaitan dengan hak-hak masyarakat asli, pribumi, adat

dan minoritas di wilayah kedaulatannya masing-masing. 5

Keprihatinan internasional itu tidak terlepas dari masalah yang dihadapi indigenous peoples – atau apa pun istilah dan namanya – di seluruh dunia. Pada dasarnya, masalah yang mereka hadapi sangat beragam. 6 Untuk memudahkan kajian, di sini saya kelompokkan masalah-masalah itu dalam tiga masalah utama. Saya katakan sebagai masalah utama karena memang ketiga masalah itulah yang sering menjadi inti perjuangan dan gerakan masyarakat adat di seluruh dunia. Masalah itu adalah pertama, masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di mana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupannya; kedua, masalah self-determination yang sering berbias politik dan hingga sekarang masih menjadi perdebatan sengit; ketiga, masalah

3 Sekadar mewakili saja, di tingkat PBB kita kenal adanya Working Group on Indigenous Populations, Working Group on the Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, Permanent Forum on

Indigenous Issues, dsb.

4 Istilah aborigine dan tribal ini sangat bias kolonial. Mereka menggunakan istilah itu untuk mengatakan bahwa masyarakat tersebut sangat terkebelakang dan primitif.

5 L ihat Tapan Bose, “Definition and Delimitation of the Indigenous Peoples of Asia”, IWGIA, available online at: http://www.iwgia.org/pop_up.phtml?id=309 .

identification , yaitu soal siapakah yang dimaksudkan masyarakat adat itu, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat yang bukan adat/asli/pribumi (non-

indigenous peoples ). 7

Dalam karya ini, saya mencoba mengangkat ketiga masalah utama itu dengan penekanan pada masalah pertama yaitu hubungan masyarakat adat dengan tanah, wilayah, dan sumber daya alamnya. 8 Itulah tujuan pertama dari tulisan ini. Tujuan kedua adalah memetakan posisi dan hak-hak masyarakat adat dalam hukum internasional hak asasi manusia. Ketiga, tulisan ini menguraikan mekanisme perlindungan internasional hak-hak asasi manusia yang bisa digunakan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Kedua hal yang disebutkan terakhir ini saya pandang penting diketengahkan terutama dalam kerangka advokasi mulai dari monitoring dan investigasi hingga ke mekanisme yudisial dan non-yudisial yang berdampak pada penyelesaian masalah-masalah masyarakat adat. Saya juga mencoba menawarkan strategi dan kiat tingkat lokal Indonesia berdasarkan pendekatan internasional tersebut.

P ERMASALAHAN G LOBAL M ASYARAKAT A DAT

1. Hubungan dengan Tanah, Wilayah dan Sumber Daya (Alam)

Masalah yang paling krusial dan urgen untuk dipecahkan adalah soal tanah. Masalah ini sebenarnya berawal dari adanya doktrin kepemilikan (doctrine of dispossesion)

6 Lihat Erica-Irene A. Daes, Indigenous Peoples and Their Relations to Land, final working paper, Commission on Human Rights, E/CN.4/Sub.2/2001/21, 11 Juni 2001, hlm. 10.

7 Di sini saya mengacu pada buku yang ditulis Jens Dahl dan Alejandro Parellada yang dilengkapi beberapa tulisan lain untuk versi Indonesianya, Masyarakat Adat di Dunia, Eksistensi dan Perjuangannya,

IWGIA dan Institut Dayakologi, Pontianak, 2001. Lihat juga tulisan John Bamba, “Masyarakat Adat di Dunia, Perjuangan Global dan Tantangan Lokal”, makalah pada Pelatihan Nasional Masyarakat Adat untuk HAM dan Policy Process, Pontianak, 7 April 2002.

8 Pentingnya masalah ini dapat dilihat dari ditunjuknya secara khusus Erica-Irene A. Daes sebagai special rapporteur untuk mengkaji masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah, teritori/wilayah

dan sumber dayanya. Lihat supra note ~ 6.

terhadap daerah-daerah yang disebut sebagai terra nullius, tanah tak bertuan. Kaum kolonialis dan penyebar agama (Kristen) dari Eropa beranggapan bahwa tanah-tanah yang mereka datangi itu adalah tanah yang tidak berpemilik. Kalaupun mereka menjumpai manusia lain di tanah atau negeri yang mereka datangi itu, mereka menganggapnya sebagai “makhluk yang perlu ditobatkan dan diadabkan”. Doktrin ini berimplikasi lebih lanjut pada teralienasinya masyarakat adat dari tanah di mana mereka hidup dan tinggal. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah bukanlah sekadar sebagai sumber penghidupan secara ekonomi. Ia lebih dari itu.

Untuk menggambarkan hubungan masayarakat adat dengan tanahnya, berikut ini saya mengutip pendapat dan pandangan beberapa pakar masyarakat adat. Profesor Robert A. Williams mengatakan bahwa

masyarakat adat telah menekankan bahwa dasar spiritual dan material dari identitas kultural mereka dipertahankan oleh hubungan mereka yang unik dengan wilayah tradisional mereka

yang turun temurun . 9

Profesor James Sakej Henderson berupaya mengilustrasikan hubungan dan kerangka kerja konseptual yang khas ini dengan mengatakan bahwa

pandangan Aboriginal terhadap kemiskinan berdasarkan pada pemahaman ruang ekologis yang memberikan kita kesadaran, dan bukan berdasarkan suatu konstruksi ideologis … Pandangan mereka berasal dari suatu realitas berbeda yang diselusupkan ke dalam ruang suci … Hal itu bersifat fundamental bagi identitas, kepribadian dan kemanusiaan mereka … pengertian tentang diri (self) tidak terletak melulu pada keduniawian tubuh mereka, tetapi berlanjut dan mendapatkan sebagian kepenuhannya pada hubungan batin mereka dengan

tanah di mana dan dari mana mereka hidup dan beroleh hidup . 10

9 Robert A. Williams, “Encounters on the frontiers of international human rights law: redefining the terms of indigenous peoples’ survival in the worl”, Duke Law Journal, 1990, hlm. 981.

10 James Sakej Handers on, “Mikmaq Tenure in Atlantic Canada”, Delhousie Law Journal, vol. 18, No. 2, 1995, hlm. 196. Pendapat Handerson ini saya kutip dari Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001.

Pendapat terakhir saya kutip dari José R. Martínez Cobo, seorang Pelapor Khusus PBB untuk masalah diskriminasi terhadap masyarakat adat. Ia merefleksikan secara umum artikulasi masyarakat adat terhadap hubungan yang khas itu. Martínez Cobo menyatakan

Adalah sangat esensial untuk mengetahui dan memahami hubungan spiritual khusus yang mendalam antara masyarakat adat dengan tanahnya. Sebab hal itu sangat mendasar sama seperti kehidupan mereka sendiri, keyakinan, adat- istiadat, tradisi dan kultur mereka. … Bagi mereka, tanah tidak melulu dipandang sebagai harta milik dan alat produksi. Hubungan utuh antara kehidupan spiritual masyarakat adat dan Ibunda Bumi, dan dengan tanah mereka, memiliki sejumlah implikasi yang sangat penting. Tanah bagi mereka bukanlah suatu komoditas yang dapat diperoleh, tetapi suatu elemen material yang dapat dinikmati secara

bebas . 11

Hakikat khas hubungan masyarakat adat dengan tanahnya juga termaktub dalam draf deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (United Nations Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples ), baik di dalam pembukaannya maupun di dalam pasal-pasal operatifnya. Secara khusus hal itu termaktub dalam pasal 25:

Masyarakat adat memiliki hak untuk mempertahankan dan mengembangkan hubungan khas mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritori, air dan wilayah-wilayah lepas pantai, dan sumber-sumber lainnya yang secara tradisional atau turun temurun telah mereka miliki, atau bisa juga yang telah mereka duduki atau gunakan selama jangka waktu yang sudah lama sekali, dan meningkatkan tanggung jawab mereka akan nasib generasi masa depan.

Dari berbagai paparan di atas, Daes kemudian menggarisbawahi sejumlah elemen yang bersifat unik bagi masyarakat adat. Keunikan itu dapat digambarkan sebagai berikut: (i) suatu hubungan erat muncul antara masyarakat adat dengan Dari berbagai paparan di atas, Daes kemudian menggarisbawahi sejumlah elemen yang bersifat unik bagi masyarakat adat. Keunikan itu dapat digambarkan sebagai berikut: (i) suatu hubungan erat muncul antara masyarakat adat dengan

(kelanggengan) budayanya. 12

Selanjutnya, Erica Daes menata berbagai problem utama tersebut dalam sebuah kerangka analitis yang akan sangat membantu mengklarifikasi permasalahan itu sendiri dan sekaligus mengidentifikasi berbagai solusi yang mungkin. Kerangka

analitisnya akan diuraikan seperti berikut. 13

Pertama, negara gagal menyatakan pengakuannya terhadap hak masyarakat adat atas tanah, teritori, dan kepemilikan. Ada dua hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu: kegagalan negara mengakui eksistensi masyarakat adat dalam hal pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan lahan; dan kegagalan negara menentukan status hukum yang tepat, kapasitas yuridis yang memadai, dan hak-hak hukum lainnya yang penting.

Kedua, negara masih mengeluarkan dan memberlakukan undang-undang dan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang mempengaruhi masyarakat adat dalam kaitan dengan kepemilikan mereka atas tanah. Undang-undang dan kebijakan itu bisa berupa tiga hal, yaitu: undang-undang yang berkaitan dengan pengingkaran hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber dayanya; doktrin kewenangan mengikuti pertemuan; dan penghapusan perjanjian dan hak atas tanah.

Ketiga, negara tidak mampu mengusahakan dan menetapkan garis batas tanah yang menjadi wilayah “kedaulatan” masyarakat adat. Berdasarkan frekuensi dan cakupan berbagai gugatan (complaint) yang muncul, masalah yang paling parah

11 José R. Martínez Cobo, Study of the Problem of Discrimination against Indigenous Populations, United Nations Publications, sales No. E. 86. XIV. 3, paragraf 196 dan 197, 1987.

12 Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001, paragraf 20.

sekarang ini adalah kegagalan negara menetapkan atau menentukan garis batas wilayah. 14 Penentuan garis batas tanah adalah sebuah proses formal dalam mengidentifikasi lokasi yang sebenarnya dan batas luar tanah atau wilayah kekuasaan masyarakat adat. Hal ini biasanya dilakukan dengan memberikan tanda batas di tanah. Pengakuan secara hukum atau secara abstrak terhadap tanah masyarakat adat, teritori atau sumber daya dapat menjadi tidak berarti sama sekali jika identitas fisik harta milik masyarakat adat tersebut tidak ditentukan atau diberi tanda.

Keempat, negara gagal dalam memberlakukan hukum yang melindungi tanah- tanah masyarakat adat. Kegagalan negara ini membuat masyarakat adat kemudian menyadari bahwa mereka tidak dapat melindungi hak mereka atas tanah-tanah adat beserta kekayaan alamnya karena mereka tidak memiliki sarana yang efektif di hadapan pengadilan atau tidak memiliki kemungkinan mendapatkan perlindungan dan penanganan secara hukum. Bahkan lebih buruk lagi, praktik-praktik kekerasan, intimidasi, dan kesewenangan justru menghalangi setiap upaya hukum yang mereka lakukan.

Terkadang, di beberapa negara tidak terdapat sistem hukum yang efektif untuk mendapatkan penanganan hukum. Bisa juga, masyarakat adat tidak dapat membayar para pengacara atau kuasa hukum, atau mereka tidak bisa berbicara dalam bahasa yang biasa dipergunakan resmi di pengadilan atau badan-badan hukum lainnya. Bahkan mereka mungkin juga tidak mampu menempuh perjalanan ke tempat di mana pengadilan itu berada, atau lembaga-lembaga hukum yang relevan. Atau, mereka memang sungguh tidak tahu bahwa memang ada pemulihan berdasarkan hukum itu. Sebagaimana halnya dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, kemiskinan, keterpencilan geografis, perbedaan budaya dan bahasa antara masyarakat adat dengan masyarakat lain yang mendominasi negara, memang turut

13 Lihat Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001, paragraf 33 – 84, hlm. 10 – 20.

serta menciptakan tembok yang tinggi parit yang dalam bagi dimungkinkannya perjuangan melindungi hak-hak mereka atas tanah, wilayah/teritori dan berbagai sumber daya atau kekayaan alamnya.

Kelima adalah masalah berkaitan dengan klaim atas tanah dan pengembalian hak atas tanah. Kisah yang panjang dan sarat derita berupa penyingkiran dan pendepakan masyarakat adat dari kepemilikan mereka atas tanah dan wilayahnya telah mendatangkan serangkaian akibat nestapa bagi masyarakat adat. Mereka praktis tidak memiliki tanah lagi, atau memiliki tetapi sangat terbatas dan tidak memadai, untuk mempertahankan kelangsungan hidup beserta kebudayaan mereka. Barangkali kenyataan seperti itu tidak mencerminkan keseluruhan permasalahan masyarakat adat, tetapi bagi kebanyakan masyarakat adat, tetaplah masa depan mereka tergantung pada sejauh mana mereka bisa memperoleh tanah dan sumber daya yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan pembangunan ekonomi dan kecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Masalah yang paling serius biasanya muncul di negara-negara di mana tidak ada upaya penanganan hukum dan tidak tersedia mekanisme hukum dan politik yang diperlukan untuk memproses atau menyelesaikan klaim-klaim atas tanah masyarakat adat. Ada laporan bahwa di

Nepal, 15 sebagai misal, sama sekali tidak ada kemungkinan bagi penanganan hukum atau mekanisme politik dan hukum yang bisa digunakan masyarakat adat. Padahal mereka praktis sama sekali kehilangan semua tanah dan sumber daya alamnya.

Keenam adalah masalah pengambilalihan tanah-tanah adat demi kepentingan nasional, termasuk demi pembangunan. Kebijakan hukum kolonialisme barangkali merupakan yang paling akut di daerah-daerah di mana tanah, wilayah, dan sumber daya yang dimiliki masyarakat adat dicaplok begitu saja oleh pemerintah demi kepentingan ekonomi nasional dan pembangunan. Di berbagai belahan dunia,

14 Pernyataan ini diungkapkan oleh Roque Roldán Ortega dalam laporan hasil Expert Seminar on Practical Experiences Regarding Indigenous Land Rights and Claims, Canada, 24 – 28 Maret 1996 yang dikutip kembali oleh Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001, paragraf 50.

15 Laporan dari Manju Yalthumba et al. kepada Mr. John Pace, 5 Januari 1998; dikutip oleh Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001, paragraf 56.

masyarakat adat sedang dihalangi dalam upaya mereka mengajukan tuntutan pelaksanaan pembangunan yang mengindahkan nilai, perspektif, dan kepentingan khusus mereka. Terpusatnya kekuasaan hukum, ekonomi, dan politik yang sangat besar di tangan negara telah memperparah masalah pembangunan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah, teritori dan sumber dayanya. Sebagai contoh, di Indonesia, dilaporkan bahwa pemerintah memang berniat untuk menghormati adat, atau hak-hak adiluhung masyarakat adat, sejauh kepentingan negara tidak terancam; akan tetapi pembangunan ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari kepentingan nasional, d an hak masyarakat adat (yang merupakan “kepentingan khusus” sebagai lawan “kepentingan umum” atau “kepentingan nasional”) dengan demikian

diabaikan. 16 Ketujuh adalah masalah penyingkiran dan pemindahan (relokasi). Pemindahan masyarakat adat dari tanah mereka dan dari wilayah kekuasaan mereka merupakan sebuah problem kontemporer yang serius dan mewarnai sejarah kemanusiaan kita dewasa ini, yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Beberapa Negara menganggap tindakan semacam itu sebagai sebuah solusi yang tepat atau cara yang sesuai untuk “mengalihkan” masalah. Artinya, negara berdalih bahwa tindakan semacam itu diambil demi “menyelamatkan” masyarakat adat (bandingkan dengan argumentasi reservation untuk bangsa Indian di Amerika Serikat). Kebijakan seperti itu lebih tepat jika dipandang sebagai tindakan menunda-nunda pemecahan masalah yang sebenarnya yaitu mengakomodasikan hak dan kepentingan masyarakat adat yang terancam atau terkena pelanggaran.

Di sini, terminologi pemindahan secara “paksa” digunakan untuk menggambarkan tindakan yang kejam dan berkesinambungan, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat adat, yang dilakukan tanpa

16 Tentang realitas ketercerabutan masyarakat adat demi dalih pembangunan nasional di Indonesia tercatat dalam la poran pengamatan Alan Thein Durning, “Guardians of the Land: indigenous peoples

and the health of the Earth”, Worldwatch Paper 112, Desember 1992, hlm. 26.

mempedulikan kepentingan masyarakat adat, untuk memindahkan mereka dari tanah di mana mereka tinggal dan hidup.

Kedelapan adalah program dan kebijakan pemerintah yang tidak mengindahkan hubungan masyarakat adat dengan tanah, teritori dan sumber dayanya. Program dan kebijakan itu bisa berupa penyewaan tanah kepada individu tertentu (bukan anggota masyarakat adat) yang berakibat pada hilangnya hak masyarakat adat atas tanah tersebut. Hal serupa juga terjadi pada program peminjaman dana dengan jaminan tanah yang didiami dan dimiliki masyarakat adat dan program pemukiman. Hal lainnya lagi yang tampak logis tapi sangat menindas adalah soal konsep tanggung jawab negara . Negara mengklaim memiliki semua tanah dan wilayah serta kekayaan yang terdapat di dalam wilayah kedaulatannya sebagai wujud tanggung jawabnya bagi kesejahteraan seluruh rakyat negaranya. Yang tidak kalah seriusnya adalah soal campur tangan negara untuk mengurus tempat-tempat suci dan upaya pelestarian budaya. Tampaknya baik. Yang menjadi soal adalah kalau campur tangan negara itu kemudian bertentangan dengan kebiasaan atau keyakinan masyarakat adat dalam ritus berkaitan dengan tempat suci tersebut. Apalagi, jika campur tangan negara kemudian bermakna sebagai pelarangan tersembunyi bagi praktik dan praksis religius dan kultural masyarakat adat yang bersangkutan.

Kesembilan, negara gagal melindungi keutuhan lingkungan tanah dan wilayah masyarakat adat. Masalah degradasi atau kerusakan lingkungan dan masalah yang berkaitan dengan pembangunan memberikan ilustrasi tentang kegagalan negara atas sebuah isu yang khusus yaitu melindungi keutuhan tanah, wilayah, dan sumber daya masyarakat adat dari dampak-dampak buruk yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih jauh lagi, persoalan ini berkaitan dengan masalah lingkungan global selain juga dengan kebijakan perlindungan atau pelestarian lingkungan di tingkat nasional.

Kesepuluh adalah masalah pemanfaatan dan pengelolaan tanah serta sumber daya di dalamnya, dan internal self-determination dalam kaitan dengan tanah, wilayah

dan sumber daya yang dimiliki masyarakat adat. Sebuah dimensi penting untuk menguatkan klaim kepemilikan masyarakat adat atas tanahnya adalah diberikannya kesempatan bagi mereka untuk mengontrol tanah, wilayah dan sumber dayanya melalui institusi-institusi lokal yang mereka miliki. Kendati hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam kemudian menjadi kuat di satu sisi, tetapi di pihak lain kemungkinan untuk mempraktikkan internal self-determination (penentuan nasib sendiri sebuah suku bangsa atau sebuah masyarakat tertentu yang berada dalam wilayah yurisdiksi suatu negara) – berupa wewenang untuk mengontrol pembuatan keputusan berkaitan dengan pembangunan, pemanfaatan sumber daya alam, pertimbangan manajemen dan konservasi, tetap tidak diperhatikan. Sebagai contoh, di satu sisi masyarakat adat mungkin saja bebas melaksanakan kegiatan ekonomi tradisional mereka – semisal berburu, menangkap ikan, berburu dengan memasang perangkap, mengumpulkan hasil hutan atau bertani – tetapi di pihak lain mereka bisa saja tetap tidak bisa mengontrol pembangunan yang justru menghancurkan dan menghalangi kegiatan-kegiatan seperti itu.

2. Self-Determination 17

Masalah kedua adalah soal self-determination. Konsep self-determination berasal dari argumentasi filosofis eksistensial yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang otonom

dan juga memiliki harkat dan martabat yang sama dengan sesamanya. 18 Konsep ini mulai menjadi perbincangan internasional dalam pengertian hukum dan politik pada era Perang Dunia I. Presiden Woodrow Wilson menghubungkan prinsip self- determination ini dengan cita-cita demokrasi liberal Barat (Amerika) dan aspirasi-

17 Untuk uraian tentang self-determination ini, acuan utama saya adalah pandangan “guru saya”, Profesor S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, Oxford University Press, New York,

1996, hlm. 75 – 128.

18 Demikian kata Edward M. Morgan, “The Imagery and Meaning of Self-Determination”, dikutip dalam S. James Anaya, ibid., hlm. 75.

aspirasi kaum nasionalis Eropa. 19 Menurut Profesor James Anaya, dewasa ini konsep self-determination , dengan didukung oleh ketentuan dalam UN Charter dan beberapa instrumen internasional lainnya, telah menjadi salah satu prinsip dalam hukum kebiasaan internasional (customary international law) bahkan menjadi semacam ius

cogens , norma internasional yang wajib dipatuhi. 20

Persoalannya, konsep ini telah dipahami secara bias baik oleh pemerintah atau negara maupun oleh masyarakat pada umumnya. Akibatnya, di satu sisi pemerintah semakin khawatir akan bahaya separatisme dengan dalih self-determination itu (yang berimplikasi pada meningkatnya eskalasi kekerasan represif), dan di sisi lain, masyarakat semakin salah arah dalam mengartikannya sehingga bahkan keluar dari esensi perjuangan itu sendiri.

Profesor James Anaya kembali mengingatkan kita untuk merunut dan memahami konsep itu dalam konteks historisnya, yaitu konteks kolonialisme. Self- determination dalam negara-negara jajahan itu tentu berbeda maknanya jika ditempatkan dalam konteks negara-negara merdeka sekarang ini. Untuk konteks sekarang (berbeda dengan konteks kolonisasi dan de-kolonisasi), ia mengetengahkan norma internasional berkaitan dengan masyarakat adat, yang berimplikasi pada terelaborasinya pemahaman terhadap self-determination, dengan menunjukkan beberapa kategori. Kategori inilah yang akan menjadi semacam tuntunan dalam memahami self-determination seperti apa sebenarnya yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat. Kategori itu adalah non-diskriminasi, integritas budaya, tanah dan sumber daya, kesejahteraan sosial dan pembangunan, dan pemerintahan

sendiri (self-government). 21

19 Umozurike O. Umozurike, Self-determination in International Law 6 – 11 (1972), dikutip dalam James Anaya, ibid.hlm. 76.

20 S. James Anaya, ibid. Ketentuan tentang self-determination itu terdapat dalam UN Charter, art. 1, para. 2; International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights, art. 1(1); International Covenant on

Civil and Politcal Rights, art. 1(1); dan dalam United Nations Draft Declaration on the Rights of Indigenous Populations art. 3.

21 Lihat S. James Anaya, op. cit., hlm. 97 – 125.

Penegasan serupa juga dikemukakan oleh Profesor Erica-Irene A. Daes. Ia mengatakan bahwa self-determination mensyaratkan adanya sebuah proses

yang dengan itu masyarakat adat bisa bergabung bersama masyarakat lainnya dalam membangun Negara berdasarkan kesepakatan bersama dan prinsip keadilan, setelah bertahun-tahun sebelumnya terkungkung dalam isolasi dan eksklusi. Proses ini tidak memerlukan asimilasi individual, sebagaimana warga negara pada umumnya; yang dibutuhkan adalah pengakuan dan pelibatan setiap orang dari berbagai latar belakang dalam

membangun Negara secara bersama dan berdasarkan kesepakatan bersama yang adil. 22

Masih dalam pemahaman yang sama, Profesor Leo Gross dari Fletcher School of Law and Diplomacy membedakan self-determination itu atas dua, yaitu pertama, right to self-determination yang berarti hak yang bersifat sekali dan tidak dapat dipecah – untuk membentuk suatu negara (atau integrasi atau asosiasi). Kedua, right of self- determination , yaitu hak yang bersumber dan sekaligus merupakan konsekuensi dari hak jenis pertama di atas (right to self-determination). Misalnya, hak menentukan bentuk negara (republik atau kerajaan), hak menentukan sistem pemerintahan (presidensiil atau parlementer), sistem ekonomi (liberal atau terkontrol), dan sistem budaya tertentu. Semuanya itu berada dalam kontrol pengaturan dan kebijakan

negara bersangkutan. 23 Dalam konteks perlindungan hak masyarakat adat, Erica Daes dalam studinya tentang hubungan masyarakat adat dengan tanah, wilayah dan sumber daya menegaskan bahwa entah apa pun bentuk negara dan sistem pemerintahan di mana masyarakat adat berada dan hidup, bagaimanapun juga mereka tetap (dan harus diperjuangkan tetap) memiliki kewenangan mengelola sendiri dan mengurus sendiri tanah dan kekayaan di dalamnya, tetap hidup

22 Erica- Irene A. Daes, “Some Considerations on the Right of Indigenous Peoples to Self- Determinationa”, 3 Transnational Law and Contemporary Problems 1, 9 (1993). 23 Dikutip dari John Bamba, op. cit.,hlm. 5.

berdasarkan sistem nilai dan religius yang mereka yakini, sistem ekonomi dan

budaya yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. 24

3. Identitas

Istilah indigenous peoples biasanya digunakan untuk merujuk pada orang-orang dan kelompok yang merupakan keturunan populasi asli yang tinggal di sebuah negara. Istilah Inggris “indigenous” berasal dari bahasa Latin “indigenae” yang digunakan untuk membedakan antara orang-orang yang dilahirkan di sebuah tempat dan mereka yang datang dari tempat lain (“advenae”). Sebab itu, akar semantik dari istilah

tersebut mempunyai elemen konseptual berupa prioritas dalam waktu. 25 Sampai sekarang, tidak ada definisi yang secara universal disetujui dari istilah “indigenous peoples”. Kesulitan dalam menentukan definisi yang secara umum diterima mungkin merupakan hasil dari fakta bahwa indigenous peoples sangatlah

bervariasi dalam budaya dan struktur sosial, 26 sehingga “tidak dapat diterapkan sebuah definisi yang tepat dan inklusif dengan cara yang sama di seluruh dunia”. 27 Alasan lain adalah sifat dari politik itu sendiri. Beberapa negara keberatan dengan penggunaan istil ah “indigenous” yang ditujukan kepada sebagian dari masyarakat mereka, sementara yang lain sangat keberatan dengan penggunaan istilah “peoples”

24 Lihat Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001. 25 Erica-Irene A. Daes, Standard Setting Activities: Evolution of Standards Concerning the Rights of

Indigenous People, Working Paper on the concept of “indigenous people”, dikutip dalam Rafael Edy Bosko, The Right of Indigenous Peoples in the Context of Natural Resources Development, a master thesis in public international law, Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law, Faculty of Law, University of Lund, April 1999, hlm. 8.

26 Lihat World bank, Operational Directive OD 4.20: Indigeneous Peoples, 1991 § 5. Lihat juga Ministerie van Buitenlandse Zaken, Indigenous in the Netherlands Foreign Policy and Development Cooperation, 14 Mei

1993, http://www.haleyon.com/pub/FWDP/International/nethrlnd.txt <1/8/99>. 27 Daes, Standard Setting Activities: Evolution of Standards Concerning the Rights of Indigenous People, Working Paper on the concept of “indigenous people”, dikutip dalam Rafael Edy Bosko, op. cit.

karena dapat berimplikasi pada munculnya hak menentukan nasib sendiri (right to

self-determination ). 28

Bahkan, dalam Konvensi ILO 169, dibedakan antara indigenous peoples dan tribal peoples . Dalam konteks Indonesia, hal ini akan mendatangkan kerumitan lagi. Oleh karena itu, sebagai usulan awal, Sandra Moniaga dan Stephanus Djuweng mengusulkan penerjemahannya menjadi sebagai berikut: indigenous peoples diterjemahkan menjadi “bangsa pribumi” dan tribal peoples diterjemahkan menjadi

“masyarakat adat”. 29 Akan tetapi, dalam konteks internasional, yang lebih populer digunakan sekarang ini adalah indigenous peoples. Bahkan, untuk menghindari kerancuan dalam pemahaman dan penafsiran yang berkaitan dengan isu self-

determination, kata peoples diganti dengan populations. 30

Dari berbagai definisi yang dikemukakan baik oleh para pakar maupun lembaga internasional semisal PBB dan ILO, definisi yang paling banyak dirujuk adalah definisi yang disusun oleh Jose Martinez Cobo, seorang Reporter Khusus PBB, dalam studinya tentang diskriminasi terhadap masyarakat adat di dunia. Ia menawarkan sebuah definisi indigenous peoples sebagai berikut:

Masyarakat, komunitas dan bangsa-bangsa asli adalah perkumpulan-perkumpulan yang memiliki kelanjutan sejarah pra-invasi dan pra-kolonial yang berkembang di teritori mereka, menganggap diri mereka berbeda dalam berbagai sektor terhadap masyarakat yang sekarang menempati wilayah tersebut, atau sebagian dari wilayah tersebut. Di masa kini mereka membentuk sektor-sektor perkumpulan yang non-dominan dan tekun untuk melestarikan, mengembangkan dan menularkan kepada generasi yang akan datang, teritori leluhur mereka,

28 Nathan Lerne r, “The 1989 ILO Convention on Indigenous Population: New Standards?” dalam Israel Yearbook on Human Rights, vol. 20, 1991, hlm. 226, dikutip dalam Rafael Edy Bosko, op. cit., hlm. 9.

29 Lihat Stephanus Djuweng dan Sandra Moniaga, “Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk, Apakah Masih Punya Tempat di Indonesia?” Sebuah Kata Pengantar untuk buku Konvensi ILO 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka , ELSAM dan LBBT, Jakarta, tanpa tahun.

30 Kata peoples lebih berkonotasi bangsa, jadi sangat sensitif terhadap isu self-determination, sedangkan kata population bermakna penduduk di suatu wilayah yang sudah diakui kedaulatannya, jadi isu self-

determination tidak bermakna separatis tetapi lebih ke soal kesempatan dan kemampuan menentukan dan mengelola sendiri wilayahnya baik secara politik (otonomi), sosial, budaya dan ekonomi.

dan identitas etnik mereka, sebagai basis kelanjutan eksistensi mereka sebagai masyarakat, sesuai dengan pola budaya mereka sendiri, institusi sosial dan sistem hukum. … pada tataran individual, yang disebut manusia asli (indigenous person) adalah seseorang yang merupakan bagian dari populasi asli ini melalui identifikasi diri sebagai orang asli (kesadaran kolektif) dan diakui dan diterima oleh kumpulan ini sebagai anggotanya

(penerimaan oleh kelompok). 31

Kalau kita perhatikan, definisi ini mengandung empat elemen yang dalam berbagai definisi modern sekarang ini diterima luas, yaitu: (i) pra-eksistensi (atau “kelanjutan sejarah); (ii) bentuk budaya yang jelas; (iii) sekarang berstatus non-

dominan atau tidak sedang memegang kendali; 32 dan (iv) identifikasi diri. Elemen- elemen ini tidak berbeda jauh dengan kriteria yang diajukan oleh Working Group on Indigenous Populations, yaitu: (a) hubungan yang jelas dengan tanah atau wilayah yang turun-temurun dimiliki, ditinggali atau digunakan; (b) keberlanjutan sejarah (c) karateristik budaya yang jelas; (d) non-dominan; (e) indentifikasi diri dan kesadaran

kelompok. 33

P OSISI DAN H AK -H AK M ASYARAKAT A DAT DALAM H UKUM I NTERNASIONAL H AK A SASI M ANUSIA

Karena sejumlah alasan yang berbeda-beda, masyarakat internasional mulai memberikan respon terhadap isu masyarakat adat ini dalam suatu cara pandang dunia yang baru dan perspektif filosofis yang baru pula. Pandangan baru ini memberikan penekanan pada penghargaan terhadap tanah, teritori dan sumber daya.

31 José Martínez Cobo, op. cit., 1987, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7&Adds. 1 – 4. 32 Sehubungan dengan elemen “sekarang berstatus non-dominan”, hal ini menyiratkan beberapa

bentuk diskriminasi atau marjinalisasi muncul, dan membenarkan tindakan yang diambil oleh komunitas internasional. Bagaimanapun sebuah kelompok tidak akan berhenti status “asli”-nya jika mereka tidak lagi non-dominan sebagai hasil dari tindakan yang diambil untuk pemenuhan segala hak-haknya. Lihat, Rafael Edy Bosko, op. cit., hlm. 11.

Standar-standar baru tengah diupayakan dengan berdasarkan, sebagiannya, pada nilai-nilai yang telah diekspresikan oleh masyarakat adat. Selain itu, juga didasarkan pada nilai-nilai yang sesuai dengan perspektif dan pandangan hidup masyarakat adat itu sendiri tentang hubungan mereka dengan tanahnya, teritori, dan sumber

daya yang terdapat di dalam dan di atasnya. 34

Perhatian internasional yang mulai “bersahabat” pada isu masyarakat adat tidaklah terlepas dari perjuangan panjang mereka beberapa dekade sebelumnya. Mereka berpartisipasi dengan semangat dan konsisten dalam berbagai dialog multilateral yang melibatkan negara, berbagai ornop atau NGO, pakar-pakar independen yang difasilitasi lembaga dan organisasi internasional hak asasi

manusia. 35 Di sini, saya tidak menguraikan perkembangan historis perjuangan masyarakat adat dan pekerja hak asasi manusia pada umumnya yang peduli pada hak masyarakat adat hingga mencapai taraf sekarang ini. Saya lebih memilih menguraikan status masyarakat adat dan hak-haknya dalam hukum internasional

kontemporer baik berupa soft law maupun hard law. 36 Instrumen yang secara jelas

33 Lihat Erica-Irene A. Daes, Evolution of Standards Concerning the Rights of Indigenous Peoples: New Development and General Discussion of Future Action, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/AC.4/1995/3, para. 11 – 18.

34 Erica-Irene A. Daes, op. cit., Juni 2001, hlm. 6, para. 15. 35 Tentang konsep dan hak-hak masyarakat adat dalam hukum internasional berdasarkan tinjauan

sejarah, silahkan baca uraian yang sangat komprehensif dalam Rafael Edy Bosko, op. cit., hlm. 4 – 8, dan 33 – 43. Rafael Edy Bosko membuat kategorisasi hak-hak masyarakat adat itu dalam analisnya terhadap berbagai instrumen internasional. Ia membagi hak-hak itu atas: hak untuk tidak didiskriminasikan, hak atas tanah dan sumber daya (alam), hak atas kebudayaan, hak untuk berpartisipasi baik dalam politik maupun dalam bidang kebudayaan secara umum, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas persetujuan (sebagaimana dinyatakan, misalnya, dalam Konvensi ILO 169 pasal 6 ayat 2 dan pasal 16 ayat 2). Lihat juga James Anaya, op. cit., bab 1 – 2.

36 Dalam hukum internasional, kita mengenal ada dua jenis instrumen berdasarkan sifat mengikatnya. Pertama adalah hard law, yaitu jenis instrumen yang memiliki kekuatan mengikat (legally binding) dan

mengandung sanksi hukum yang pasti. Yang termasuk jenis ini adalah kovenan, konvensi, resolusi dan perjanjian-perjanjian internasional dan regional lainnya (treaty, agreement) baik bilateral maupun multilateral. Jenis kedua adalah soft law, yaitu jenis instrumen yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (unlegally binding), instrumen jenis ini hanya menjadi semacam imbauan moral dan prinsip etik saja. Yang termasuk jenis ini adalah deklarasi. Akan tetapi, dalam hukum internasional, DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia – Universal Declaration of Human Rights), kendati berbentuk deklarasi, juga diperlakukan sama seperti hard law, bahkan dianggap sebagai ius cogens,

(dan bahkan secara khusus) memuat tentang hak-hak masyarakat adat adalah Konvensi ILO 107 (1957), yang kemudian diperbarui menjadi Konvensi ILO 169 (1989). Yang secara implisit berbicara tentang hak-hak masyarakat adat baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok adalah instrumen-instrumen seperti DUHAM, ICCPR (Kovenan Hak Sipil dan Politik), ICESCR (Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), CERD (Konvensi Penghilangan Diskriminasi Rasial), CAT (Konvensi Menentang Penyiksaan), CEDAW (Konvensi Penghilangan Diskriminasi terhadap Perempuan). Sekarang ini, bahkan ada kelompok kerja yang terus menyempurnakan dan memperjuangkan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples); deklarasi ini diharapkan akan disahkan tahun 2004 nanti bersamaan berakhirnya dekade masyarakat adat internasional.

Di tingkat pemahaman diskursus, hak-hak masyarakat adat sebenarnya diakui sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia generasi ketiga. Hak-hak generasi pertama adalah hak-hak yang termaktub di dalam ICCPR, dan hak-hak generasi kedua adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ICESCR). Sementara, hak-hak generasi ketiga adalah hak atas pembangunan dan lingkungan. Termasuk di dalam generasi ketiga ini adalah group rights (hak-hak kelompok) seperti hak-hak kelompok

minoritas tertentu, hak-hak masyarakat adat, dsb. 37 Sementara, di tingkat gerakan, isu hak-hak masyarakat adat memang telah menjadi isu internasional yang hangat dibicarakan. Bahkan, di PBB, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di muka, telah dibentuk Kelompok Kerja khusus untuk masyarakat adat, terutama Forum Permanent on Indigenous Peoples . Dengan sifatnya yang permanen, forum ini memiliki kedudukan setara dan sekuat komite semisal Human Rights Committee

norma internasional yang diakui secara umum dan dengan sendirinya mengikat secara universal. Ia menjadi salah satu dari international customary law (hukum kebiasaan internasional) – atau lebih tepatnya lagi merupakan salah satu dari International Bill of Human Rights – di samping tiga lainnya yaitu ICCPR, ICESCR, dan Optional Protocol dari ICCPR.

37 Lihat penjelasan lengkapnya dalam Stuart Kaye dan Ryszard Piotrowiwicz, Human Rights in International and Australian Law, bab 1 “Nature and Origins of Human Rights Law”, Butterworths,

Sydney, 2000, hlm. 6 – 7.

untuk ICCPR (Kovenan Hak Sipol) atau Committee against Torture untuk CAT (Konvensi Menentang Penyiksaan). Bahkan, Forum Permanen Masyarakat Adat itu berkedudukan setingkat Commission on Human Rights yang sama-sama dibentuk di bawah Dewan ECOSOC.

M EKANISME P ERLINDUNGAN H AK -H AK M ASYARAKAT A DAT

Dalam bagian ini saya membagi mekanisme perlindungan hak-hak masyarakat adat atas mekanisme internasional dan mekanisme nasional. Pembagian ini hanya untuk memudahkan uraian dan pemahaman saja. Dalam kenyataannya, terutama dalam realitas hukum internasional kontemporer, mekanisme nasional dan internasional saling berhubungan – lebih tepatnya, mekanisme internasional melengkapi mekanisme nasional atau mekanisme nasional menjadi lebih efektif berkat adanya dukungan mekanisme internasional. Memang, kedaulatan negara tetap diakui, sebagaimana termaktub dalam pasal 2 (7) Piagama PBB. Oleh karena itu, prinsip non- interference tetap penting dalam kaitan dengan yurisdiksi tingkat domestik sebuah negara. Tetapi, menurut Profesor James Anaya, prinsip itu sekarang ini tidak lagi bermakna absolut. Perkembangan hukum internasional kontemporer mengalahkan prinsip itu dengan dimungkinkannya campur tangan lembaga internasional dalam urusan dalam negeri suatu negara jika itu berkaitan dengan hak-hak asasi manusia yang diakui secara universal sebagaimana diatur dalam berbagai instrumen

internasional. 38

1. Mekanisme Internasional

Profesor Gudmundur Alfredsson dan Alfred de Zayas membagi metode prosedural mekanisme internasional dalam kaitan dengan penegakan hak-hak masyarakat adat

38 Lihat James Anaya, op. cit., hlm. 151 – 152.

atas tiga kategori yaitu: (1) prosedur monitoring di bawah kontrol politik; (2) badan- badan monitoring independen; (3) prosedur pengaduan yudisial dan quasi-yudisial. 39 Namun, dalam uraian ini, saya mengacu pada Profesor James Anaya yang membagi mekanisme itu ke dalam dua kategori yaitu “prosedur monitoring/pelaporan” (monitoring/reporting procedures) dan “prosedur pengaduan”

(complaint procedures). 40 Berikut ini saya uraikan secara umum.

Prosedur Monitoring/Pelaporan

Tinjauan Pembangunan oleh UN Working Group on Indigenous Populations (UN-WGIP)

Prosedur ini adalah sebuah informal oversight mechanism, mekanisme pengawasan yang tidak formal; dalam sistem PBB belum diakui sebagai sistem yang baku. Tetapi beberapa negara telah mempraktekkannya semisal Australia dan New Zealand. Sebenarnya, secara de facto, prosedur monitoring ini merupakan bagian dari implementasi norma-norma kebiasaan belaka yang suatu saat bukan tidak mungkin akan diakui sebagai wahana yang dapat diandalkan. Berdasarkan mandat dari ECOSOC untuk meninjau pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat adat, kelima anggota Working Group ini menerima laporan tertulis dan lisan dari pemerintah, lembaga intergovernmental, para wakil masyarakat adat, dan ornop. Biasanya laporan pemerintah berkaitan dengan kemajuan praktek perlindungan hak-hak masyarakat adat, sementara laporan dari masyarakat adat dan ornop biasanya berfokus pada kajian dan kritik terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam pemenuhan hak-hak masyarakat adat.

39 Pendapat Afredsson dan de Zayas ini saya kutip dari Rafael Edy Bosko, op. cit., hlm. 43. Untuk uraian lengkap ketiga kategori itu, silahkan baca penjelasannya dalam hlm. 43 – 48.

40 S. James Anaya, op. cit., hlm. 153 – 170.

Tinjauan Pembangunan oleh UN Commission on Human Rights dan Sub-Komisinya

Kedua institusi PBB ini merupakan wahana prosedur non-treaty atau lebih dikenal sebagai charter-based procedure. 41 Kendatipun berkaitan secara umum saja dengan isu hak asasi manusia, namun dalam perkembangannya belakangan ini, keduanya telah memasukkan agenda tentang pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat adat dalam setiap sesi tahunannya. Pemerintah dan ornop yang sudah memiliki consultative status atau lazim disebut juga ECOSOC status bisa mengajukan laporan berkaitan dengan permasalahan masyarakat adat (kendatipun tidak segencar melalui UN-WGIP, karena perhatiannya yang sangat umum tadi). Kalau dalam UN-WGIP,

anggotanya adalah para expert yang independen, dalam CHR dan Sub-Komisinya 42 anggotanya terdiri dari para wakil pemerintah; oleh karena itu, sifatnya sangat politis.

Monitoring Berdasarkan Konvensi ILO (169)

Negara-negara yang sudah meratifikasi Konvensi ILO 169 (atau Konvensi ILO 107 sebelumnya), wajib menyerahkan laporan tentang implementasi Konvensi tersebut secara periodik kepada ILO Committee of Experts on the Application of Convention and Recommendations. Ketentuan memberikan pelaporan itu berdasarkan Konstitusi ILO, yang disahkan pada 9 Oktober 1946, pasal 22 dan 23. Mekanisme promosi hak-

41 Ada banyak prosedur dalam sistem PBB. Di antara berbagai prosedur itu, ada dua yang paling dikenal yaitu charter-based procedures/mechanism dan treaty-based procedures. Mekanisme yang pertama

berdasarkan ketentuan atau sebagai implikasi dan manifestasi berbagai ketentuan dalam Piagam PBB, sedangkan mekanisme jenis kedua ditetapkan berdasarkan ketentuan masing-masing treaty baik itu berupa Kovenan, Konvensi ataupun Perjanjian lainnya. Misalnya, Commission on Human Rights (CHR) adalah institusi untuk mekanisme charter-based karena ia dibentuk di bawah ECOSOC yang merupakan lembaga PBB berdasarkan penetapan dalam Piagam. Sebaliknya, Human Rights Committee (HRC) adalah institusi treaty-based karena ia dibentuk sebagai manifestasi ketentuan dalam perjanjian yang mengatur hal itu yaitu Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

42 Sub-komisi CHR ini dulu bernama Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities, tetapi sekarang bernama Sub-Commission on Promotion and Protection of Human

Rights.

hak asasi manusia (masyarakat adat) di ILO dilakukan dengan mekanisme tripartit yang terdiri dari pemerintah (government), pengusaha (employer) dan buruh (worker) atau masyarakat adat.

Prosedur Pelaporan di Bawah UN Human Rights Committee (HRC) dan CERD

Kedua badan ini dibentuk berdasarkan ketentuan masing-masing perjanjian. HRC dibentuk berdasarkan ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Politik sementara CERD dibentuk berdasarkan Konvensi Penghilangan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Tugas komite yang dibentuk berdasarkan perjanjian adalah mengawasi implementasi perjanjian yang dimaksud di semua negara pihak. Negara-negara pihak menyampaikan laporan ke Sekretariat Jenderal PBB melalui Kantor High Commissioner of Human Rights yang kemudian serahkan ke komite terkait. Komite kemudian me-review dan memberikan komentar serta menindaklanjuti dengan memberikan rekomendasi berupa pengiriman pelapor khusus atau penyelidikan di negara-negara pihak.

Human Rights Committee yang dibentuk di bawah ICCPR ini telah menunjukkan kemajuan dalam mengawasi dan memeriksa laporan pemerintah berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat. Komite ini juga mendorong terciptanya berbagai kebijakan yang mengindahkan hak-hak masyarakat adat berdasarkan interpretasi terhadap pasal 27 Kovenan tersebut. Tetapi hal yang tetap sensitif adalah soal ketentuan self-determination sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1. CERD juga menunjukkan kinerja yang serupa dalam kaitan denga hak-hak masyarakat adat.

Prosedur Pengaduan

Institusi internasional juga memiliki kewenangan untuk mendengarkan atau menerima pengaduan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Prosedur Institusi internasional juga memiliki kewenangan untuk mendengarkan atau menerima pengaduan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Prosedur

Pengaduan dalam UN Working Group on Indigenous Populations