Analisis Keberlanjutan, Jangkauan Dan Dampak Pembiayaan Lkms Terhadap Pengurangan Kemiskinan Rumahtangga Tani Di Perdesaan Jawa Barat

ANALISIS KEBERLANJUTAN, JANGKAUAN DAN
DAMPAK PEMBIAYAAN LKMS TERHADAP
PENGURANGAN KEMISKINAN RUMAHTANGGA TANI
DI PERDESAAN JAWA BARAT

YANI MULYANINGSIH
H 363100111

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis
Keberlanjutan, Jangkauan dan Dampak Pembiayaan LKMS terhadap Pengurangan
Kemiskinan Rumahtangga Tani di Perdesaan Provinsi Jawa Barat benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Yani Mulyaningsih
H363100111

_________________________
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.

RINGKASAN

YANI MULYANINGSIH. Analisis Keberlanjutan, Jangkauan dan Dampak
Pembiayaan LKMS terhadap Pengurangan Kemiskinan Rumahtangga Tani di
Perdesaan Jawa Barat (NUNUNG NURYARTONO sebagai Ketua, RINA
OKTAVIANI dan CARUNIA MULYA FIRDAUSY sebagai Anggota Komisi
Pembimbing).


Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih relatif tinggi, pada tahun
2015, sebesar 28 513 570 jiwa (11.13 %) dan sebagian besar dari penduduk
miskin tersebut tinggal di wilayah perdesaan (BPS 2016). Masyarakat miskin
terutama di perdesaan dihadapkan kepada beberapa kendala, salah satunya
kendala akses ke layanan keuangan formal seperti halnya perbankan. Selama ini
mereka hanya mengandalkan pinjaman dari kerabat atau teman. Beberapa studi
menyatakan bahwa rumah tangga di perdesaan negara berkembang kekurangan
akses terhadap kredit perbankan (Nuryartono 2007; Mpuga P 2010; Saptono et al.
2010; Thoha, et al. 2010).
Untuk menjembatani hal tersebut, banyak didirikan lembaga keuangan
mikro terutama di perdesaan, yang menyediakan akses layanan keuangan untuk
rumahtangga di perdesaan (Navajas 2000), termasuk lembaga keuangan mikro
syariah (LKMS). Harapannya, akan semakin banyak rumah tangga di perdesaan
terutama rumah tangga miskin bisa akses ke layanan keuangan. Banyak kajian
yang menyatakan bahwa akses kepada lembaga keuangan mikro mampu
mengurangi kemiskinan (Khandker 2005; Imai et al. 2010; Rahman 2010; Li et al.
2011b). Pemberian kredit bagi rumahtangga miskin adalah aktivitas yang
menimbulkan biaya tinggi. Dengan demikian, fokus jangkauan layanan kepada
rumahtangga miskin akan menimbulkan konflik dengan keberlanjutan usaha
(Hermes et al 2011).

Sebagai lembaga keuangan mikro generasi terakhir, kehadiran LKMS
masih relatif baru dalam industri keuangan di Indonesia, namun keberadaan
lembaga ini cukup diperhitungkan. LKMS yang dikenal dengan baitul maal wa
tamwil atau BMT berdiri di Indonesia sebelum terjadinya krisis ekonomi tahun
1997. Walaupun masih baru keberadaannya tetapi relatif berkembang dan telah
banyak beroperasi di wilayah perdesaan dan terpencil yang tidak dijangkau oleh
perbankan (Buchori 2012).
Menurut Sakai et al. (2009), LKMS adalah penyedia pembiayaan mikro
(usaha kecil) di Indonesia yang cukup berkembang. LKMS merupakan upaya
pemberdayaan masyarakat lapisan bawah yang didukung oleh dana-dana dari para
anggota komunitas Islam. Artinya inisiasi pembentukan BMT bukan dari
pemerintah untuk menyalurkan kredit bersubsidi melainkan dari dana masyarakat
(66,75%) dan dalam perkembangannya banyak menggunakan dana komersial
lainnya melalui linkage dengan perbankan. Dana pemerintah relatif kecil, hanya
2,08 %. Hal ini mengindikasikan LKMS beroperasi secara komersial
(Charitonenko et al. 2004).
Jika LKMS dalam operasionalisasinya sudah mengarah kepada
komersialisasi, bagaimana LKM bisa menjalankan misi sosialnya terkait dengan

masalah kemiskinan. Di sisi lain, pada tahun 2011, jumlah LKMS mengalami

pertumbuhan yang melambat. Hal ini mengindikasikan beberapa LKMS
mengalami masalah keberlanjutan usaha.
Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis tingkat
keberlanjutan LKMS di wilayah perdesaan dari sisi efisiensi, (2) menganalisis
jangkauan layanan LKMS apakah LKMS menjangkau rumahtangga tani miskin di
perdesaan, (3) menganalisis dampak pembiayaan LKMS terhadap pengurangan
kemiskinan bagi rumahtangga tani di perdesaan. Lokasi penelitian di Provinsi
Jawa Barat karena salah satu provinsi mempunyai jumlah penduduk miskin relatif
tinggi, di sisi lain mempunyai jumlah LKMS besar. Pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara pada responden rumahtangga tani nasabah dan
non nasabah LKMS dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. Untuk
LKMS, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder.
Penentuan responden rumahtangga dilakukan di Kabupaten Bogor karena jumlah
LKMS di kabupaten tersebut besar disamping itu Kabupaten Bogor memiliki
jumlah penduduk miskin tertinggi di Jawa Barat. Dari LKMS tersebut didapat 79
nasabah rumahtangga tani dan sebagai grup kontrolnya yaitu 52 rumahtangga tani
yang mempunyai karakteristik ekonomi sosial dan lingkungan serta fasilitas
infrastruktur yang sama.
Analisis keberlanjutan menggunakan proksi efisiensi (stochastic frontier
approach). Hasil pendugaan dengan SFA menunjukan bahwa seluruh LKMS

mempunyai nilai rata-rata 99.48%. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh LKMS
mampu mengoptimalkan penggunaan sumberdaya dalam meminimumkan biaya.
Analisis Jangkauan layanan LKMS untuk rumahtangga tani miskin
menggunakan perhitungan dan pengujian model indeks kemiskinan relatif CGAP
dengan pendekatan PCA. Dengan pendekatan tersebut diperoleh beberapa
komponen penyusun indeks kemiskinan relatif. Komponen tersebut hasil ekstraksi
dari begitu banyaknya komponen yang menggambarkan multidimensi
kemiskinan. Dengan proses factoring, dihasilkan hanya 5 variabel baru yang
menyusun indeks kemiskinan, yaitu: variabel ketahanan pangan, variabel asset,
variabel rawan pangan, variabel sumberdaya manusia (human capital) dan
variabel lain-lain. Selanjutnya dengan menggunakan skor komponen utama
diperoleh skor kemiskinan dengan sebaran indeks dari -1.81584 sampai 1.86946.
Berdasarkan hasil kategorisasi nilai indeks kemiskinan tersebut menunjukkan
jangkauan LKMS di daerah penelitian lebih ditujukan kepada rumahtangga tani
yang relatif sejahtera.
Analisis dampak pembiayaan LKMS bagi rumahtangga tani miskin
terhadap pengurangan kemiskinan dilakukan dengan metode PSM (Propensity
Score Matching). Metode ini digunakan untuk mengkoreksi selection bias karena
ada treatment pembiayaan dari LKMS. Penggunaan indeks kemiskinan dari model
CGAP selanjutnya digunakan sebagai variabel outcome. Variabel treatment

merupakan variabel biner yaitu berpartisipasi (nasabah) dan tidak berpartisipasi
(bukan nasabah) dalam pembiayaan LKMS. Faktor-faktor yang memengaruhi
kemungkinan berpartisipasi menjadi nasabah LKMS adalah umur kepala
keluarga, pekerjaan utama kepala keluarga, pernah bertransaksi dengan bank dan
jumlah anggota rumah tangga sebagai covariates. Berdasarkan covariates
tersebut, didapat skor propensitas. Selanjutnya dilakukan analisis teknik the
common support, analisis matching dan estimasi treatment effect. Hasil estimasi

menunjukkan bahwa dampak treatment pembiayaan LKMS tidak signifikan bagi
pengurangan kemiskinan di daerah penelitian. Hal ini bisa terjadi karena ada lima
variabel yang menyusun indeks kemiskinan, sehingga masalah kemiskinan adalah
masalah yang bersifat multidimensional, tidak bisa diselesaikan dengan
pinjaman/pembiayaan saja. Terutama jika dikaitkan dengan nilai pinjaman yang
relatif kecil dan baru pertama kali memperoleh pembiayaan dari LKMS. Inovasi
kelembagaan diperlukan untuk mencapai aspek keberlanjutan, jangkauan bagi
rumahtangga tani miskin dan berdampak terhadap pengurangan kemiskinan.
Kata Kunci: Keberlanjutan, Jangkauan, Dampak, Inovasi Kelembagaan

SUMMARY


YANI MULYANINGSIH. Analysis of Sustainability, Outreach, and The Impact
of Islamic microfinance Institutions (Islamic MFI) Financing on Poverty
Alleviation of Farm Household in Rural
West Java (NUNUNG
NURYARTONO as Chairman, RINA OKTAVIANI and CARUNIA MULYA
FIRDAUSY as Member of Advisory Committee).
The number of poor in Indonesia is still relatively high. In 2015, there were
28.513.570 people living in poverty and most of them were residing in rural areas
(BPS. 2016). The poor, especially those in rural areas face several obstacles, one
of them being denied access to formal financial services such as banks. According
to the global financial inclusion data of 2014 from the World Bank, there are still
many Indonesian citizens above 15 years old who had no account from financial
institutions (64.1%). These people have been relying on loans from relatives or
friends. Some studies have declared that rural households in developing countries
lack access to bank credit (Nuryartono 2007; Mpuga 2010; Saptono et al 2010;
Thoha et al 2010).
To deal with this issue, numerous microfinance institution were founded,
especially in rural areas, providing more access to financial services for rural
households (Navajas 2000), including Islamic Microfinance institutions. it is
hoped that Islamic microfinance institutions do to. Many studies state that access

to microfinance institutions is able to reduce poverty (Khandker 2005; Imai et al,
2010; Rahman 2010; Li et al. 2011). The poor in many cases is a very costly
activity. Focusing on outreach may, at least potentially, conflict with the financial
sustainability of MFIs (Hermes et al. 2011).
As a new generation of microfinance institutions, the presence of Islamic MFI
is relatively new in Indonesia’s financial industry, but it is quite significant.
Islamic MFI known as baitul maal wa tamwil or BMT have existed in Indonesia
before the economic crisis of 1997. Even though these institutions were a novelty,
they had relatively rapid growth and had operations in rural and remote are as
untouched by banks (Buchori 2012).
According to Sakai et al. (2009), Islamic MFI as providers of micro
financing (small business) in Indonesia are developing quite well. The Islamic
MFI is a grass root empowerment effort supported by funds from members of
Islamic communities. This means that the initiative to form Islamic MFI is not
from the government to channel subsidized credit, but is based on community
funds (66.75%) and in its development utilizes various other commercial funds
through linkage with banks. Funds from the government are relatively small, only
2.08%, so Islamic MFI needs to charge cost-covering cost of fund, continually
strive for increasing operational efficiency, and use of commercial sources of
funds. This means that Islamic MFI operates commercially. If a microfinance

institution leans towards commercialization in its operations, how will it be able
to fulfill its social mission pertaining to poverty. On the other hand, in 2011, the
number of LKMS declined.
Based on the aforementioned background and issues, this study aims to
analyze sustainability, outreach for the poor rural household and the impact of

access to Islamic MFI towards rural poverty. This study was conducted in West
Java Province. West Java Province was selected on purpose (purposive) because it
is one of the provinces in Indonesia with the largest number of BMTs and had the
largest number of poor. The study employed cross section data by utilizing
secondary data for Islamic MFI. For client Islamic MFI by utilizing primary data
obtained using a structured list of questions (a questionnaire). Using the
snowballing technique, several Islamic MFI with clients (79 rural household)
whose livelihoods were in the agricultural sector, namely related to food crops
and horticulture, were discovered. The control group was non-client (52 rural
household) whose livelihoods were within the agricultural sector and have similar
environments, similar socio-economic characteristics, and similar infrastructure
and facilities.
Efficiency is a proxy for sustainability. The results of estimation by the SFA
showed that the whole LKMS has an average value of 99.48 %. This means that

LKMS able to optimize the use of resources in minimizing costs. Using the PCA
(Principal Component Analysis) technique, a number of indicators to build the
relative poverty index were selected. The component of the comparison between
the employed and unemployed in one household represents the human resource
variable. The component of roofing material quality represents the housing
variable. The food security and vulnerability variable is represented by the staple
food stock, frequency of buying rice, cooking oil and sugar, the amount of food
served in the last two days, additional consumption due to an increase in income,
and whether anyone went hungry in the last month components. The asset
ownership variable is represented by the price and size of agricultural land owned
and the value of goats owned. Then the index value which is a sum of the weighed
values is obtained.
The relative poverty index value calculations from CGAP resulted in a range
between -1.81584 and 1.86946. Then the relative poverty indexes were
categorized, study location provided more financial service to the more
prosperous farm households 54.5%, than those which are not Islamic MFI client.
After the output in the form of relative poverty index is discovered, an
analysis pertaining to the impact of households which have access to Islamic MFI
financing have on poverty alleviation is conducted. The model treatment
evaluation was used for this purpose. The Model Treatment Evaluation estimates

the average impact of a program or treatment on the impact desired, which in this
case is poverty alleviation. For this purpose, a comparison between those exposed
to the treatment and the controls will be made, and because this is an
observational study with cross-section data, self-selection bias will arise.
Afterwards, an assessment of the impact of Islamic MFI financing on poverty
was conducted using the PSM method. This method was selected to overcome
selection bias which arises from observational studies. The co variants need to be
synchronized using four matching methods. The simultaneous use of these four
methods is also aimed to assess the robustness of the results. The estimation
results suggest that the impact of Islamic MFI financing is not significant to
poverty alleviation in the study location. The reasons of study, the loan of size
offered Islamic MFI is generally limited and new clients. Innovation of LKMS
will improve sustainability, outreach and impact.
Keywords: sustainability, outreach, impact, innovation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

ANALISIS KEBERLANJUTAN, JANGKAUAN DAN
DAMPAK PEMBIAYAAN LKMS TERHADAP
PENGURANGAN KEMISKINAN RUMAHTANGGA TANI DI
PERDESAAN PROVINSI JAWA BARAT

YANI MULYANINGSIH

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Agus Eko Nugroho, SE MapplEc
Dr Irfan Syauqi Beik, SP MScEc

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Agus Eko Nugroho, SE MapplEc
Dr Irfan Syauqi Beik, SP MScEc

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
ridhoNya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini
penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Komisi Pembimbing Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi, Prof Dr Ir
Rina Oktaviani, MS, dan Prof Dr Ir Carunia Mulya Firdausy, MA yang telah
memberikan banyak pengetahuan, bimbingan dan arahan baik dalam landasan
teori, sistematika berpikir dan empirik.
Selain itu juga penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Penguji luar komisi pada ujian Prakualifikasi Lisan Dr Ir Dedi Budiman
Hakim, MSc, Prof Dr Ir Muhammad Firdaus, SP MSi dan Dr Meti
Ekayani, Shut MSc sebagai Wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat untuk
perbaikan proposal penelitian.
2. Penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka yang terdiri
dari Dr Agus Eko Nugroho, SE MapplEc, dan Dr Irfan Syauqi Beik, SP
MScEc yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat
bermanfaat untuk perbaikan disertasi.
3. Wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada
Ujian Tertutup: Dr Meti Ekayani, Shut MSc dan Dr Ir Lukman M Baga,
MAEc atas pertanyaan dan saran yang sangat bermanfaat untuk perbaikan
disertasi.
4. Wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada
Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Dr Ir Yusman Saukat,
MEc atas pertanyaan dan saran yang sangat bermanfaat untuk perbaikan
disertasi.
5. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian: Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS
beserta bagian administrasi di lingkup PS EPN.
6. Pimpinan IPB dan Dekan Pascasarjana IPB yang telah mendukung selama
menjadi mahasiswa.
7. Para responden pada 131 rumahtangga tani, pengurus dan staf koperasi
Baitul Ikhtiar Bogor, pengurus dan staf koperasi jasa keuangan Syariah
SiRaa Bogor, Pengurus dan staf BMT Wasilah Bogor. Direktur dan
Manajemen PT Permodalan BMT Ventura Jakarta, serta para mahasiswa
IPB sebagai enumerator.
8. Suami tercinta M Siswo Utojo dan anak-anak tersayang Anugrah Fakhry
Muhammad dan Sabrina Dayana atas doa, perhatian, kasih sayang
dukungan yang tulus kepada penulis.
9. Bapak Djuhanda Sondjaja dan Ibu Oyok Unengsih atas kasih sayang dan
doa yang tulus kepada penulis.
10. Bapak dan ibu Mertua Bambang Utojo (Alm) dan Sumiratmi atas doa
yang sangat berarti bagi penulis.

11. Teman-teman seperjuangan EPN 2010, atas kerjasama, diskusi, dorongan
semangat dan perhatian selama mengikuti pendidikan di Program Studi
EPN.
12. Pimpinan dan teman-teman di Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) - LIPI atas
dukungan dan motivasinya kepada penulis.
13. Pengelola beasiswa Kementerian Ristek dan Dikti, atas dukungan dana
kepada penulis.
14. Semua pihak yang telah membantu dan mendorong dalam persiapan dan
penyelesaian penelitian ini.
Karya disertasi ini masih perlu dimaksimalkan. Untuk itu penulis berharap
mendapat kritik, masukan dan saran yang konstruktif. Semoga ini dapat
bermanfaat dan memperkaya hasanah pengetahuan dan inspirasi penelitian
berikutnya
Bogor, Februari 2016
Yani Mulyaningsih

DAFTAR ISI

PRAKATA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
xiii
xv
xviii
xix
xx

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Kebaruan dan Posisi Penelitian

1
1
3
8
9
9
10

2

TINJAUAN PUSTAKA
Keuangan Mikro
Lembaga Keuangan Mikro
Lembaga Keuangan Mikro Syariah
Tujuan LKMS
Produk-Produk LKMS
Keberlanjutan Lembaga Keuangan Mikro
Efisiensi
Jangkauan Layanan Lembaga Keuangan Mikro
Keberlanjutan dan Jangkauan Layanan Lembaga Keuangan Mikro
Dampak Layanan Lembaga KeuanganMikro terhadap Pengurangan
Kemiskinan

13
13
15
16
17
18
19
20
21
23

KERANGKA TEORITIS
The Triangle of Microfinance: Jangkauan Layanan, Keberlanjutan dan
Dampak LKM
Keberlanjutan Usaha
Konsep Efisiensi
Fungsi Biaya
Pengukuran Efisiensi
Analisis Efisiensi dengan Stochastic Frontier Approach (SFA)
Analisis SFA pada Cost Frontier
Jangkauan Layanan Keuangan LKMS
Trade Off Keberlanjutan dan Jangkauan Layanan LKMS
Dampak LKMS terhadap Pengurangan Kemiskinan
Propensity Score Matching
Average Treatment on The Treated
Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
Hipotesis Penelitian

27

3

24

27
31
32
33
34
34
36
37
39
40
44
46
46
49

4 METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Penentuan Lokasi
Penentuan Sampel LKMS
Penentuan Sampel Rumahtangga
Metode Analisis
Deskripsi Rumahtangga Tani
Keberlanjutan LKMS
Spesifikasi Model untuk Analisis Keberlanjutan LKMS dari Sisi
Efisiensi
Analisis Jangkauan (Outreach) LKMS terhadap Rumahtangga Tani
di Perdesaan Kabupaten Bogor Jawa Barat
Analisis Dampak Pembiayaan LKMS terhadap
Pengurangan Kemiskinan

51
51
51
51
51
52
52
52
54

5

63

DESKRIPSI RUMAHTANGGA TANI
Karakteristik Sampel Rumahtangga Tani Nasabah LKMS
Dan Bukan Nasabah
Karakteristik Usaha Tani Rumahtangga Tani Nasabah LKMS
Dan Bukan Nasabah
Karakteristik Aset dan Nilai Aset Rumahtangga Tani Nasabah LKMS
Dan Bukan Nasabah
Rumahtangga Tani yang Akses kepada Layanan Perbankan

6 ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA LKMS.
Struktur Biaya, Modal, Pembiayaan dan Aset LKMS
Nilai Pinjaman, Mekanisme Penyaluran, Akad dan Mekanisme
Pengembalian, dan Periode Pengembalian Pembiayaan LKMS
Efisiensi Biaya LKMS
Analisis Tingkat Efisiensi LKMS
Tingkat Efisiensi Model Cross Section
7

8

9

INDEKS KEMISKINAN RUMAHTANGGA TANI DI PERDESAAN
KABUPATEN BOGOR
Penggunaan Variabel dan Komponen Penghitungan Indeks Kemiskinan
Tahap Pertama: Kaiser-Meyer-Olkin sebagai Ukuran Kecukupan
Sampling
Tahap Kedua Analisis Faktor: Proses Factoring
ANALISIS JANGKAUAN (OUTREACH) LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO SYARIAH UNTUK RUMAHTANGGA TANI
Indeks Kemiskinan Relatif dalam Pengukuran Jangkauan Layanan LKMS
Jangkauan Layanan LKMS
DAMPAK PEMBIAYAAN TERHADAP LKMS TERHADAP
PENGURANGAN KEMISKINAN DI PERDESAAN KABUPATEN
BOGOR

55
57
60

63
65
67
69
71
71
76
80
82
85

93
93
98
98

107
107

113

Isu-Isu terkait dengan Self Selection Bias
Propensity Score Matching
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Probabilitas Rumahtangga Tani
Berpartisipasi dalam Pembiayaan LKMS
Analisis The Common Support
Analisis Matching dan Pendugaan Average Treatment on Treated
(ATT) Dampak Pembiayaan LKMS Terhadap Pengurangan
Kemiskinan

Pendugaaan Nilai Average Treatment on Treated ATT)
10 MENUJU LKMS BERKELANJUTAN,
MENJANGKAU RUMAHTANGGA TANI MISKIN DAN BERDAMPAK
TERHADAP PENGURANGAN KEMISKINAN DI PERDESAAAN
JAWA BARAT
Evaluasi Keberlanjutan, Jangkauan dan Dampak LKMS terhadap
Pengurangan Kemiskinan
Sintesa Hasil Penelitian
Inovasi Kelembagaan
Kerangka Kebijakan Sektoral dan Makroekonomi juga Lingkungan
Sosial Ekonomi

113
115
116
118

122
124

129
129
129
133
138

11 SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
Rekomendasi
Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi Penelitian Lanjutan

139
139
140
140
141

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

143
151
170

DAFTAR TABEL
1.1
4.1
5.1
5.2
5.3
5.4
6.1

6.2
6.3
6.4
6.5
6.6
6.7
6.8
7.1
7.2
7.3
7.4
7.5
7.6
7.7

8.1

9.1
9.2
9.3
9.4
9.5

Perkembangan Jumlah LKMS di Indonesia
Variabel, Simbol, Definsi dan Proksi dalam Model Fungsi Biaya
Uji-t Karakteristik Sampel Rumahtangga Tani Nasabah LKMS dan
Bukan Nasabah.
Uji-t Karakteristik Usaha Tani Nasabah dan Bukan Nasabah
Uji-t Karakteristik Aset dan Nilai Aset Sampel Rumahtangga Tani
Nasabah dan Bukan Nasabah
Uji-t Akses Rumahtangga Tani Nasabah dan Bukan Nasabah kepada
perbankan
Profil Pembiayaan , Mekanisme Pembayaran, Penyaluran dan Akad
Pembiayaan, Alokasi Pembiayaan, Periode Pengembalian Pinjaman,
dan Mekanisme Pengembalian Pembiayaan
Variabel dan Definisi yang Digunakan
Statistik Deskriptif Variabel Dependen, Output dan Variabel Input
Hasil Estimasi Fungsi Biaya
Tingkat Efisiensi LKMS Model Cross Section
Statistik Desktiptif Nilai Efisiensi Biaya
Distribusi Nilai Efisiensi Biaya
Nilai Hewan Ternak, Nilai Emas, Nilai Kendaraan dan Nilai
Tabungan yang Dimiliki Nasabah LKMS
Variabel dan Komponen Yang Digunakan untuk Menghitung Indeks
Kemiskinan
Nilai Korelasi antara variabel-variabel yang mewakili Indeks
Kemiskinan
Hasil Tes KMO and Bartlett
Nilai Communalities Komponen Penyusun Indeks
Total Varians yang Dijelaskan untuk Masing-Masing Komponen
Penyusun Indeks
Matriks Komponen
Distribusi Skor Kemiskinan Rumahtangga tani dari yang terendah
sampai yang tertinggi di Perdesaan Kabupaten Bogor Berdasarkan
Lima Komponen Utama.
Jangkauan Layanan LKMS berdasarkan Perhitungan Indeks
Kemiskinan Relatif (Rumahtangga Tani Nasabah dan Bukan
Nasabah)
Dampak Berpartisipasi dalam Pembiayaan LKMS terhadap
Pengurangan Kemiskinan (Analisis Regresi)
Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Peluang Rumahtangga Tani Berpartisipasi dalam Pembiayaan
LKMS
Distribusi Hasil Perhitungan Skor Propensitas Rumahtangga Tani
Nasabah dan Bukan Nasabah
Gambaran Estimasi Skor Propensitas dalam Wilayah The Common
Support
Distribusi Nasabah dan Bukan Nasabah berdasarkan Skor
Propensitas

6
57
64
66
68
69

78
81
82
83
86
86
87
90

94
97
98
99
100
102

104

109
114
116
119
120
121

9.6
9.7

Hasil Pendugaan Average Treatment on Treated (ATT) Dampak
Akses kepada LKMS terhadap Pengurangan Kemiskinan.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan terkait dengan Model Dampak
LKMS terhadap Pengurangan Kemiskinan dan Rekomendasi

123
127

DAFTAR GAMBAR
1.1 Perkembangan Persentase Kemiskinan Desa dan Kota
1.2 Persentase Penyaluran Kredit oleh Perbankan di Indonesia periode
tahun 2001-2011
1.3 Persentase Jumlah Pembiayaan kepada Anggota
1.4 Persentase Sumber Dana Pembiayaan LKMS
1.5 Persentase Kendala Pengelolaan LKMS
1.6 Persentase Pembiayaan Bermasalah LKMS
3.1 The Triangle of Microfinance.
3.2 Hubungan antara Return yang Diharapkan dengan Tingkat
Bunga/Marjin Bank/LKM
3.3 Efisiensi Teknis dan Alokatif
3.4 Marginal Returns Capital dengan fungsi produksi concave
3.5 Trade Off antara Pengurangan Kemiskinan dan Profitabilitas
3.6 Pengaruh Kredit terhadap Penggunaan Input dan Penerimaan
Rumahtangga Tani
3.7 Skor Propensitas untuk Grup yang Diberi Perlakuan dan Kontrol
3.8 Pembatasan matching berdasarkan jangkauan the common support
skor propensitas
3.9 Kerangka Pemikiran Operasional
4.1 Ilustrasi Atribut dari Komersialisasi LKM
6.1 Biaya Total, Biaya Gaji dan Biaya Dana Masing-Masing LKMS
tahun 2013
6.2 Modal, Pembiayaan, dan Asset Masing-Masing LKMS tahun 2013
6.3 Jumlah Nasabah Masing-Masing LKMS tahun 2012 dan 2013
6.4 Sebaran Nilai efisiensi Biaya LKMS yang Linkage di Perdesaan
Jawa Barat
7.1 Distribusi Skor Kemiskinan Rumahtangga Tani di Perdesaan
Kabupaten Bogor.
8.1 Proses Penentuan Skor Cut off dalam Pembagian Skor Kemiskinan
8.2 Jangkauan Layanan LKMS berdasarkan Perhitungan Indeks
Kemiskinan Relatif (Rumahtangga Tani Nasabah dan Bukan
Nasabah)
8.3 Persentase Penggunaan Dana Sosial
9.1 Pendugaan Skor Propensitas
10.1 Sintesa Analisis Keberlanjutan, Jangkauan dan Dampak LKMS
terhadap Pengurangan Kemiskinan
10.2 Inovasi Kelembagaan dalam LKMS
10.3 Model Wakalah untuk Keuangan Mikro

2
3
4
4
5
6
27
29
31
39
40
42
45
46
48
54
73
74
76
88
105
108

110
112
114
132
134
136

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Hasil Estimasi Fungsi Biaya
Nilai Korelasi Variabel Total Pengeluaran Pakaian dan
Variabel Kemiskinan
Tahapan Principal Componen Analysis
Nilai Indeks Kemiskinan dan Kategori Kelompok
Kemiskinan
Tahapan-Tahapan Propensity Score Matching

151
151
155
157
160

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Akses terhadap lembaga keuangan melalui layanan tabungan, kredit dan
layanan keuangan lainnya bertujuan untuk memperbaiki kemampuan masyarakat
untuk memperlancar konsumsi, produksi, dan investasi. Pelayanan tabungan bisa
digunakan sebagai simpanan dan perlindungan terhadap modal yang kecil juga
untuk akumulasi modal karena disertai adanya pendapatan bunga atau bagi hasil.
Kredit memungkinkan untuk peminjam mendapat uang kas saat ini untuk
keperluan produksi juga konsumsi bahkan kegiatan sosial dan melakukan
pembayaran kemudian dengan tingkat bunga/bagi hasil tertentu. Bahkan bagi
masyarakat miskin, akses ke lembaga keuangan secara permanen dapat
meningkatkan pendapatan, membangun asett dan mengurangi segala kerentanan
sebagai akibat faktor ekternal (Diagne and Zeller 2001).
Di Indonesia masih banyak masyarakat yang belum memilki akses kepada
layanan keuangan. Berdasarkan data Global finansial inclusion tahun 2014,
semua orang dewasa yang mempunyai rekening di keuangan formal baru 35.9%
(World Bank 2014).Tingginya masyarakat yang belum mendapat layanan
keuangan, mendorong pemerintah membuat program keuangan inklusif.
Keuangan inklusif adalah akses terhadap layanan keuangan formal dengan biaya
yang tersedia yang diperuntukkan bagi seluruh anggota masyarakat terutama bagi
masyarakat pendapatan rendah (Diniz et al. 2012).
Beberapa studi menyatakan bahwa rumah tangga di perdesaan negara
berkembang kekurangan akses terhadap kredit perbankan (Nuryartono 2007;
Mpuga 2010; Saptono et al. 2010; Thoha et al. 2010). Selama ini mereka hanya
mengandalkan pinjaman dari kerabat atau teman. Keterbatasan akses tersebut
pada gilirannya akan memberikan konsekuensi negatif terhadap beberapa outcome
di level rumah tangga (Diagne and Zeller 2001), seperti yang tercermin dari
tingginya jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih
relatif tinggi, pada tahun 2015 sebesar 28 513 570 jiwa (11.13 %) dan sebagian
besar dari penduduk miskin tersebut tinggal di wilayah perdesaan (BPS 2016).
Selama periode tahun 1996 sampai dengan 2015, persentase penduduk miskin di
desa dan di kota berfluktuasi. Pada tahun 1998 persentase penduduk miskin baik
di desa dan kota mengalami peningkatan, karena saat tersebut terjadi krisis
ekonomi. Namun pada tahun berikutnya yaitu tahun 1999, persentase penduduk
miskin di kota terus mengalami penurunan, sementara di desa malah terjadi
peningkatan, dan baru menurun pada tahun 2000, setahun kemudian meningkat
kembali. Penurunan persentase jumlah penduduk miskin baik di desa maupaun
kota terjadi antara tahun 2006 sampai tahun 2014. Tetapi, pada tahun 2015 terjadi
peningkatan kembali persentase penduduk miskin baik di desa maupun di kota.
Dibandingkan dengan kota, persentase penduduk miskin di desa lebih tinggi yaitu
pada tahun 2015 sebesar14.09 % dan kota sebesar 8.22 %, tersaji pada gambar
1.1. Sebagian besar (56.11%) rumahtangga miskin tersebut menggantungkan
hidupnya kepada sektor pertanian (BPS dan Kementerian Sosial 2012).

2

25.72 26.03
19.78

24.81
22.38

21.92

21.10 20.23

19.41

21.81
20.11 19.98

20.37

18.93
17.35 16.56

13.39

14.60

14.46

13.57

12.13 11.68

13.47

12.52 11.65

9.76

kota

15.59

10.72 9.87 9.90

14.70 14.42

13.76 14.09

8.60 8.52 8.16 8.22

desa

Sumber: BPS, berbagai publikasi, 1999, 2002, 2007, 2009, 2012, 2015 dan 2016

Gambar 1.1 Perkembangan Persentase Kemiskinan Desa dan Kota
Selain dihadapkan pada tingginya persentase penduduk miskin yang tinggi
di desa, portofolio kredit untuk sektor pertanian pun relatif rendah dibandingkan
dengan sektor lainnya. Sektor pertanian bagi perbankan merupakan sektor dengan
resiko yang tinggi karena ketergantunganya pada alam relatif tinggi juga. Gambar
1.2 menunjukkan selama periode tahun 2011 sampai tahun 2014 alokasi kredit
dari bank umum untuk sektor pertanian, perburuan dan kehutanan masih relatif
kecil jika dibandingkan dengan sektor lainnya seperti halnya industri pengolahan
dan perdagangan (besar maupun eceran) yaitu berkisar 7%. Sementara sektor
industri pengolahan pada periode yang sama berkisar antara 22% sampai 24% dan
sektor perdagangan persentasenya lebih besar yaitu dalam kisaran 24% sampai
27%.
Berbagai permasalahan tersebut, mengindikasikan bahwa masyarakat desa
selama ini masih banyak yang belum memiliki akses kepada layanan keuangan,
terutama perbankan. Dari sisi perbankan pemberian layanan terhadap masyarakat
berpendapatan rendah terlalu mahal biayanya karena tingginya biaya transaksi dan
informasi (Hermes and Lensink 2011; Hermes et al. 2011). Perbankan
membutuhkan investasi yang tinggi untuk membuka kantor cabang, juga dalam
penyediaan tenaga kerja. Kondisi ini tidak sebanding dengan keuntungan yang
akan diperoleh karena masyarakat pada segmen ini hanya menabung dan
meminjam dana dengan nilai nominal yang kecil-kecil. Pinjaman yang relatif
kecil ini menyebabkan perbankan segan untuk memberikan kredit pada segmen
kelompok ini (Hulme et al. 1996).
Pertimbangan efisiensi dalam penyaluran kredit kepada masyarakat miskin
ini sering menjadi pertimbangan utama bagi perbankan, disamping juga masalah
ketiadaan collateral bagi masyarakat miskin (Ahmed 2002; Rahman 2007; Li et
al. 2011b), sehingga diperlukan lembaga keuangan yang sesuai dengan kondisi
tersebut. Hal inilah yang menjadi latar belakang munculnya keuangan mikro di
negara berkembang, sebagai upaya memperbaiki akses bagi rumah tangga miskin

3
ke pasar keuangan (Zeller and Sharma 2000; Nader 2008; Menkhoff and
Rungruxsirivorn 2011).
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
2011
5.00

2012

0.00

2013
2014

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia 2014 (diolah)

Gambar 1.2 Persentase Penyaluran Kredit oleh Bank Umur periode
tahun 2011-2014

Perumusan Masalah
Di Indonesia, banyak lembaga keuangan mikro yang memberikan layanan
keuangan kepada masyarakat miskin, salah satunya adalah lembaga keuangan
mikro syariah atau dikenal dengan LKMS. Peran lembaga keuangan mikro
syariah ini masih baru dalam layanan keuangan mikro di Indonesia. Berdiri di
Indonesia sebelum terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, walaupun masih baru
keberadaannya tetapi relatif berkembang dan telah banyak beroperasi di wilayah
perdesaan dan terpecil yang tidak dijangkau oleh perbankan (Buchori 2012). Nilai
pembiayaan yang diberikan masih relatif kecil, seperti yang tersaji pada gambar
1.3. Nilai pembiayaan yang diberikan bervariasi kurang dari Rp500 000 sampai
lebih dari Rp2.500.000. Rata-rata LKMS-LKMS di Provinsi Jawa Barat,
memfokuskan pembiayaan dengan nilai yang relatif kecil dibandingkan Provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu: antara kurang dari Rp500.000 sampai
Rp1.500.000. Kondisi ini berbeda dengan Provinsi Jawa Tengah, rata-rata nilai
pembiayaannya sangat besar, mayoritas (50%) untuk pembiayaan lebih dari
Rp2.500.000. Artinya, LKMS di Jawa Barat lebih memfokuskan kepada perluasan

4
jangkauan dengan memberikan rata-rata pinjaman yang
mengindikasikan jangkauan layanannya bagi masyarakat miskin.

kecil,

yang

60
50

50
< 500 rb

40

500-1 jt
30.07

28

30

1-1,5 jt
1,5 jt-2jt

20

18.4

16.8
17.6

10

18.18
13.6

13.16 13.16
8.77 9.65

5.6

11.89

17.48

2-2,5 jt

13.99

> 2,5 jt

8.39

5.26

0
Jatim

Jateng

Jabar

Sumber: Pemetaan Potensi dan Profil LKMS di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Kerjasama BI dan Perguruan Tinggi (UNPAD, UNDIP & UNAIR, 2011) dalam Buchori (2012)

Gambar 1.3 Persentase Besar Pembiayaan kepada Anggota Tahun 2011
Berdasarkan gambar 1.3 Adapun sumber dana yang digunakan untuk
pembiayaan juga berasal dari banyak sumber (Gambar 1.4).
80
70

66.75

60
50
40
30
18.7
20
10

2.08

6.23
0.78

1.56

0.26

0.52

0.52

2.6

0

Sumber: Pemetaan Potensi &Profil LKMS di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Kerjasama BI dan Perguruan Tinggi (UNPAD, UNDIP & UNAIR, 2011) dalam Buchori
(2012)

Gambar 1.4. Persentase Sumber Dana untuk Pembiayaan LKMS Tahun 2011

5
Gambar 1.4 menunjukkan sebagian besar sumber permodalan LKMS
berasal dari mobilisasi dana nasabah/masyarakat 66.75%, sisanya berasal dari
sumber lainnya. Melalui mobilisasi dana masyarakat tersebut, diharapkan LKMS
tidak terlalu tergantung pada sumber dana dari pemerintah dan donor. Selama ini,
salah satu yang menghambat dalam pengembangan keuangan perdesaan adalah
pengabaian terhadap aspek tabungan masyarakat (Siregar 2009; Ellis 1992),
karena banyak lembaga yang mendapat dana dari pihak donor maupun
pemerintah. Masalah ketergantungan lembaga keuangan tersebut terhadap dana
subsidi banyak menyebabkan masalah terhadap keberlanjutan lembaga itu sendiri
(Hulme and Mosley 1996). Tidak seperti pada umumnya LKM generasi awal,
dimana ketergantungan dana pada pihak donor dan pemerintah relatif tinggi.
Ketergantungan LKMS terhadap dana luar terutama dari pemerintah relatif kecil
hanya 2.08 %.
Di samping mobilisasi dana masyarakat, untuk memperluas jangkauan
layanan keuangan, ada beberapa LKMS yang telah melakukan linkage program
dengan BUS (Bank Umum Syariah) sebesar 6.23%, LKMS lainnya 1.56% dan
BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah) sebesar 0.78%. Linkage program
dibutuhkan oleh LKMS terkait dengan keterbatasan dana LKMS. Keterbatasan
dana yang dimiliki LKMS akan membatasi layanan keuangan kepada masyarakat.
LKMS hanya akan memberikan layanan kepada nasabah yang memberikan
tingkat profit yang besar, yaitu nilai pinjaman yang besar. Di samping linkage
program untuk mendapatkan sumber-sumber pendanaan tambahan, Pusat BMT
mendirikan PT Permodalan BMT pada tahun 2006 sebagai lembaga pembiayaan
bagi BMT-BMT anggotanya (Sakai dan Marijan 2008).
56.15

60
50
40
30
20
10

15.24

12.83

7.22
2.94

5.61

0
Peraturan Permodalan
pemerintah

SDM

Persaingan Infrastruktur Pemahaman
masyarakat

Sumber: Pemetaan Potensi &Profil LKMS di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Kerjasama BI dan Perguruan Tinggi (UNPAD, UNDIP & UNAIR, 2011) dalam Buchori
(2012)

Gambar 1.5 Persentase Kendala Pengelolaan LKMS

6
Berdasarkan gambar 1.5, mayoritas LKMS dihadapkan kepada
permodalan yaitu sebesar 56.15%. Selanjutnya masalah SDM (15.24%) dan
persaingan (12.84%). Satu hal yang perlu mendapat perhatian serius yaitu masih
tingginya pembiayaan bermasalah di LKMS. Bahkan di provinsi Jawa Barat,
persentase pembiayaan bermasalah relatif tinggi yaitu rata-rata sebesar 10.86%
dibandingkan dengan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (gambar 1.6).
12
10.86

10
8

7.31

6.97
6
4.97
4
2
0
Jatim

Jateng

Jabar

Jawa

Sumber: Pemetaan Potensi &Profil LKMS di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Kerjasama BI dan Perguruan Tinggi (UNPAD, UNDIP & UNAIR, 2011) dalam Buchori
(2012)

Gambar 1.6 Persentase Pembiayaan Bermasalah pada LKMS
Berbagai permasalahan tersebut membuat banyak LKMS mengalami
masalah dengan keberlanjutan usahanya, tercermin dari data yang menunjukkan
jumlah LKMS mengalami penurunan, seperti disajikan pada tabel 1.1.
Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah LKMS di Indonesia
No
Fase
Periode
1.
Pertumbuhan awal
1990-1995
2.
Puncak Pertumbuhan
1996
1997
Jun-98
3.
Pertumbuhan melambat
2000
4.
Pertumbuhan stagnan dan mulai
2001
menurun
2003
2009-2010
5.
Pertumbuhan melambat
Sept 2010
6
Menurun
2011

Jumlah LKMS
300
700
1.501
2.470
2.938
3.037
2.856
>3.000
4.000
>3.000

Sumber: Arundina, T dan Wibisono, Y (2011)

Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan dari tahun 1990 sampai tahun
2011. Pada awal pertumbuhannya mengalami tingkat pertumbuhan yang relatif
pesat, dimana puncaknya pada tahun 1996 sampai pertengahan Juni tahun 1998.
Namun semenjak itu mengalami pertumbuhan yang melambat, bahkan pada tahun

7
2011, banyak dari LKMS tersebut yang mengalami masalah dengan keberlanjutan
usahanya, sehingga jumlahnya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.
Hasil penelitian dari Sakai dan marijan (2008) menunjukkan disamping ada
LKMS yang berkembang dengan pesat namun banyak juga LKMS yang
mengalami kebangkrutan usahanya.
Karakteristik dari lingkungan keuangan mikro ditandai dengan biaya
operasi lembaga yang tinggi. Hal ini membawa konsekuensi pada
ketidakmampuan dengan mudah untuk memperoleh keuntungan dan jikalau
keuntungan diperoleh, maka marjinnya relatif rendah dibandingkan dengan
institusi keuangan formal lainnya pada segmen yang sama (Adongo and Stork
2005). Hermes et al. (2011) mengemukakan penyediaan kredit untuk masyarakat
miskin pada banyak kasus adalah aktivitas yang sangat tinggi biayanya. Pinjaman
dengan nilai yang sangat kecil akan menyebabkan biaya transaksi yang sangat
tinggi, terutama dalam proses screening, monitoring dan biaya administrasi per
pinjaman. Beberapa pakar menyatakan bahwa biaya perunit transaksi untuk
pinjaman yang sangat kecil bagi masyarakat miskin tinggi jika dibandingkan
dengan biaya per unit untuk pinjaman yang besar. Untuk itu pentingnya bagi
LKMS mampu mengoptimalkan sumberdaya yang ada dalam meminimalkan
biaya, sehingga operasionalisasi LKMS tersebut efisien. Tuntutan efisiensi,
keharusan untuk memobilisasi dana dari masyarakat atau dari sumber komersial
lainnya, mengarahkan LKMS beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip pasar atau
dikenal dengan komersialisasi LKM (Charitonenko et al. 2004).
Namun di sisi lain ada tuntutan bagi LKMS untuk merealisasikan misi
sosialnya seperti halnya LKM pada umumnya yang tercermin dari jangkauan
pelayanannya (service outreach) terhadap masyarakat miskin. Pendekatan
tradisional dari LKM memfokuskan kepada penyediaan kredit untuk masyarakat
miskin yang tidak mempunyai akses ke bank komersial, dalam upaya
pengurangan kemiskinan dengan membuat bisnis yang menghasilkan pendapatan
(Mersland dan Strom 2010).
Dari beberapa hasil penelitian (Conning 1999; Kereta 2007; Hermes et al.
2011; Nugroho 2009; Acharya et al. 2009; Ghalib 2011; Hermes et al. 2011;
Montgomery and Weiss 2011; Hartarska et al. 2013) menunjukan adanya trade
off antara keberlanjutan usaha dengan memperluas jangkauan layanan bagi
masyarakat miskin. Bahkan, akhir-akhir banyak dari LKM yang lebih menggeser
layanannya dari nilai pembiayaan yang relatif kecil kepada nilai pembiayaan yang
besar untuk nasabah besar pula.
Adanya konflik tersebut, berimplikasi terjadinya pergeseran fokus antara
meningkatkan keberlanjutan keuangan yang mengharuskan ada pengurangan
jangkauan kepada masyarakat miskin. Bahkan sampai sekarang, topik antara
keberlanjutan keuangan dan efisiensi serta outreach, masih menjadi perdebatan,
terutama antara kalangan welfarists yang cenderung mempropogandakan
dominasi tujuan outreach, sementara Institutionalist, yang menekankan
pentingnya keberlanjutan dan efisiensi (Hermes et al. 2011). Ketika konflik
tersebut muncul, maka dampak LKM terhadap pengurangan kemiskinan perlu
dipertanyakan. Jika LKM menggeser layanan terhadap rumahtangga yang relatif
sejahtera, maka sulit ketika dilakukan pengukuran dampak. Sehingga diperlukan
kehati-hatian dalam pengukuran tersebut, mengingat dari awal sebelum menjadi
nasabah sudah sejahtera. Apabila diabaikan kondisi tersebut, maka hasil studi

8
yang dilakukan akan bias. Salah satu pengukuran evaluasi dampak adalah analisis
propensity score matching (PSM).
Masalah adanya trade off antara keberlanjutan, jangkauan dan dampak
LKMS terhadap kemiskinan, sering dipertanyakan sejak tahun 1990-an (Conning
1999; Zeller and Meyer, 2002). Perumusan strategi kebijakan yang tepat sangat
dibutuhkan, mengingat masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia terutama
di perdesaan, di sisi lain pemerintah juga harus mendorong lembaga keuangan
mikro supaya berkelanjutan.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian yang
diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat keberlanjutan dari sisi efisiensi bagi LKMS di wilayah
perdesaan?
2. Apakah layanan LKMS menjangkau rumahtangga tani miskin di
perdesaan?
3. Apakah LKMS berdampak bagi pengurangan kemiskinan rumahtangga
tani di perdesaan?

Tujuan Penelitian
Dari permasalahan tersebut, dapat dikemukakan beberapa tujuan penelitian
ini, yaitu:
1. Menganalisis tingkat keberlanjutan LKMS di wilayah perdesaan dari sisi
efisiensi.
2. Menganalisis jangkauan layanan LKMS apakah LKMS menjangkau
rumahtangga tani miskin di perdesaan.
3. Menganalisis dampak pembiayaan LKMS terhadap pengurangan
kemiskinan bagi rumahtangga tani di perdesaan

Manfaat Penelitian
Penelitian ini pada batas-batas tertentu diharapkan dapat memberikan
bahan informasi terhadap upaya pemerintah dalam mengembangkan LKMS
supaya terjamin keberlanjutan usahanya, juga bisa memperluas jangkauan layanan
keuangannya bagi rumahtangga tani miskin, selanjutnya bisa berdampak bagi
pengurangan kemiskinan. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan
manfaat bagi para pengambil keputusan pengelola LKMS dalam mengelola
LKMS supaya berkelanjutan sekaligus juga bisa terus memperluas jangkauan
layanannya, termasuk bagi rumahtangga tani miskin di wilayah perdesaan.
Manfaat lainnya yaitu sebagai sumbangan akademis dalam penelitian mengenai
lembaga keuangan mikro, terkait perannya terhadap pembiayaan rumahtangga
tani.

9
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Fokus utama dari penelitian ini, yaitu untuk mengkaji keberlanjutan usaha,
jangkauan layanan serta dampak LKMS terhadap pengurangan kemiskinan, atau
Triangle of Microfinance (Zeller et al. 2002). Keberlanjutan keuangan dalam
penelitian ini didefinisikan sebagai pemberian layanan keuangan mikro (kepada
grup yang ditargetkan) dengan tambahan marjin juga bagi hasil yang
memungkinkan lembaga keuangan mikro menutupi seluruh biaya keuangan
maupun non keuangan tanpa subsidi dan masih menghasilkan keuntungan.
Keberlanjutan usaha ditandai dengan opersionalisasi lembaga yang efisien.
Efisiensi pada LKM dapat dicapai dengan asumsi meminimalkan biaya (efisiensi
biaya). Efisiensi biaya yang diukur dengan menggunakan a stochastic frontier
Approach. Pendekatan ini mengukur efisiensi biaya dalam terminologi seberapa
dekat biaya aktual dari aktivitas pembiayaan LKMS pada tingkat kinerja
terbaiknya (best practice) LKMS apabila dalam kasus untuk menghasilkan output
yang identik di bawah kondisi yang sama juga. Pemilihan analisis menggunakan
efisiensi biaya karena karakteristik dari lingkungan keuangan mikro ditandai
dengan biaya operasi lembaga yang tinggi, untuk itu pentingnya LKMS menekan
seluruh biaya semaksimal mungkin, sehingga bisa menghasilkan keuntungan.
Jangkauan (outreach) yang dimaksudkan adalah apakah jangkauan
layanan keuangan ditujukan kepada rumahtangga tani miskin. Rumahtangga tani
miskin merupakan salah satu dari kategori the depth outreach. Untuk itu
diperlukan pengukuran kemiskinan. Dengan menggunakan indeks kemiskinan
dari model CGAP, selanjutnya dilakukan pengkategorian nasabah dan bukan
nasabah pada kategori miskin, tingkat kesejahteraan sedang, dan tingkat
kesejahteraan tinggi. Dengan pengkategorian ini, maka akan diketahui posisi yang
menjadi jangkauan layanan LKMS.
Evaluasi dampak pembiayaan LKMS terhadap pengurangan kemiskinan
menggunakan metode pengukuran PSM. Skor kemiskinan yang digunakan adalah
hasil pendugaan berdasarkan metode dari CGAP dengan menggunakan PCA
(principal component analysis). Skor ini digunakan sebagai variabel outcome.
Penggunaan metode pengukuran dampak dengan PSM (propensity score
matching) dilakukan untuk mengatasi masalah selection bias terkait dengan
dampak yang timbul karena berpartisipasi dalam pembiayaan LKMS. Untuk itu
perlu disamakan terlebih dahulu karakteristik antara grup yang ditreatment
(nasabah) dan grup kontrol (bukan nasabah) atau disebut kovariat. Setelah
dilakukan pemadanan/pencocokan berdasarkan skor propensitas kemudian
dilakukan analisis dampak dengan melakukan pendugaan nilai ATT (Average
treatment on treated).
Keterbatasan penelitian ini:
1. Keberlanjutan usaha hanya diukur dari efisiensi biaya dengan menggunakan
pendekatan data cross section, dikarenakan keterbatasan data.
2. LKMS dianalisis hanya dari aspek pembiayaan. Produk pembiayaan juga
dianalisis secara agregasi, tidak dilakukan permisahan antara nilai pembiayaan
relatif kecil, moderat dan pembiayaan besar. Pemisahan seharusnya dilakukan
untuk mengukur dampak pembiayaan

10
3. Permintaan pembiayaan untuk produktif dan konsumtif seharusnya tidak
diagregasi. Hal ini perlu untuk membedakan dampaknya terhadap
pengurangan kemiskinan.
4. Dampak pembiayaan juga seharusnya dipisahkan antara nasabah baru
mendapat pembiayaan dan nasabah lama.
5. LKMS mempunyai dua aktivitas yaitu aktivitas yang berlandaskan bisnis atau
baitul tamwil (pembiayaan dengan akad komersial) dan baitul maal (aktivitas
yang berdasarkan tujuan sosial). Analisis terkait dengan Baitul Maal
seharusnya dilakukan dalam kaitannya dengan pengurangan kemiskinan. Dana
dari Baitul Maal merupakan dana-dana yang berasal dari sumber-sumber dana
filantropi seperti halnya zakat, infak, dan shadaqoh yang dialokasikan untuk
mengatasi permasalahan ummat, salah satunya terkait dengan kemiskinan.
Penelitian ini hanya memfokuskan pada peran baitul tamwil, karena aktivitas
ini yang mendominasi LKMS di daerah penelitian.

Kebaruan dan Posisi Penelitian
Penelitian terkait dengan lembaga keuangan mikro telah banyak
dilakukan, namun masih dilakukan secara parsial, belum memandang secara utuh
lembaga keuangan mikro baik dari sisi keberlanjutan keuangan, jangkauan
layanan maupun dampaknya. Dalam penelitan yang berjudul “Analisis
Keberlanjutan, Jangkauan dan Dampak Lembaga Keuangan Mikro Syariah di
Perdesaan Provinsi Jawa Barat sudah memandang utuh LKMS, dengan
menggunakan unit analisis lembaga (supply side) maupun nasabah LKMS
(demand side).
Disamping itu dari sisi metode pengukuran jangkauan (outreach) dan
dampak, digunakan metode yang masih belum banyak digunakan yaitu dengan
menggunakan metode CGAP dengan teknik PCA dan menggunakan PSM. Kedua
metode tersebut masih belum banyak digunakan, mengingat pendekatan ini masih
relatif baru dalam menilai jangkauan dan evaluasi dampak. Metode CGAP
menilai outreach dengan menggunakan indeks kemiskinan bersifat multidimensi
yang diperbandingkan antara nasabah dan bukan nasabah. Metode PSM untuk
mengatasi masalah selection bias dalam evaluasi dampak seperti yang dilakukan
oleh Setboosarng & Parpiev (2008), Imai et al. (2010), Swain and Floro (2012).
Namun ketiga penelitian ini sifatnya parsial hanya membahas satu aspek dari
LKMS yaitu dampak LKM terhadap kemiskinan. Metodologi pengukurannya
kemiskinan pun berbeda-beda. Setboonsarg and Parviev (2008) menggunakan
pengukuran kemiskinan dengan indikator dalam Millennium Development Goals.
Imai et al (2010) menggunakan Index Based Ranking. Swain and Floro (2012)
menggunakan ukuran kemiskinan dan Vulnerability dengan rasio the headcount,
rasio gap kemiskinan dan Foster-Greer-Thorbecke.
Penelitian LKM lainnya menekankan pada aspek jangkauan seperti yang
dilakukan oleh Navajas et al. (2000), Meyer et al. (2003), Copestake et al (2005)
dan Ghalib (2011). Aspek Jangkauan masyarakat miskin yang dikemukakan oleh
Navajas (2000) menggunakan An in