Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap PDRB, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat
TERHADAP PDRB, TENAGA KERJA, DAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA BARAT
OLEH
SISKA PERMATA INDAH H14070055
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
(2)
SISKA PERMATA INDAH, H14070055, Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap PDRB, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Jawa Barat. (dibimbing oleh SRI HARTOYO).
Kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 bertujuan untuk mendorong perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia. Dengan kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur keuangannya sendiri diharapkan memberi pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro job, dan pro poor). Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuannya adalah dengan meningkatkan pendapatan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah.
Peningkatan pendapatan daerah dan besarnya dana transfer dari pemerintah pusat pada masa otonomi daerah tidak menjamin pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena hasil dari kebijakan desentralisasi fiskal tergantung pada implementasi daerah masing-masing. Oleh karena itu penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap PDRB, tenaga kerja, dan kemiskinan di Jawa Barat yang ditunjukkan oleh variabel dummy dan menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa Barat.
Penelitian ini menggunakan data time series Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 1993 hingga 2009. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Jawa Barat, Bank Indonesia, penelitian-penelitian terdahulu, dan instansi-instansi terkait. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode 2 Stage Least Square (2SLS) terhadap persamaan simultan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap PDRB dan tenaga kerja pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan hasil estimasi model persamaan simultan terlihat faktor-faktor yang memengaruhi PDRB Jawa Barat adalah modal pemerintah yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Transfer (DAFER), Investasi (INV), tingkat keterbukaan daerah (XM), Tenaga Kerja (L), variabel dummy desentralisasi fiskal dankrisis ekonomi.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) signifikan dengan nilai elastisitas 0,47 yang berarti bahwa peningkatan PAD sebesar 1 persen akan diiringi oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,47 persen dengan asumsi ceteris paribus. Sedangkan Dana Transfer (DAFER) juga menunjukkan pengaruh yang positif terhadap PDRB dengan nilai elastisitas 0,13. Sesuai dengan tujuannya, pemberian dana transfer dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat dalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah.
(3)
elastisitas 0,26 yang berarti bahwa setiap peningkatan investasi sebesar 1 persen maka akan mampu meningkatkan PDRB sebesar 0,26 persen dengan asumsi ceteris paribus. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif agar banyak investor yang tertarik menanamkan modalnya di Jawa Barat. Tenga kerja di Jawa Barat signifikan meningkatkan PDRB dengan nilai koefisien 0,29. Selain itu, tingkat keterbukaan daerah yang ditunjukkan oleh nilai ekspor dan impor signifikan meningkatkan PDRB dengan elastisitas sebesar 0,31.
Sedangkan peubah dummy krisis ekonomi (D2) signifikan memberi dampak negatif terhadap PDRB dengan nilai elastisitas -0,7. Hal ini menggambarkan dahsyatnya guncangan ekonomi yang diakibatkan krisis global pada tahun 1997.
Sementara itu, beberapa faktor yang memengaruhi tenaga kerja adalah upah (W), pendidikan (PEND), pengeluaran pemerintah (G), Investasi (INV), dan dummy krisis ekonomi. Upah signifikan mengurangi kesempatan kerja dengan nilai elastisitas sebesar -0,16. Hasil ini sesuai dengan teori permintaan tenaga kerja dimana setiap kenaikan upah akan mengurangi penggunaan tenaga kerja. Selain itu, pendidikan yang diwakili oleh persentase penduduk dengan tingkat pendidikan di atas SMA signifikan dengan nilai elastisitas 0,009. Pengeluaran pemerintah signifikan meningkatkan tenaga kerja dengan elastisitas 0,20. Secara teori, semakin besar anggaran pemerintah diharapkan dapat mempercepat dan meningkatkan pelayanan publik serta perbaikan infrastruktur.
Hasil estimasi model kemiskinan diperoleh faktor-faktor yang memengaruhi jumlah penduduk miskin di Jawa Barat, yaitu PDRB (Y), populasi (POP), dan dummy krisis ekonomi. PDRB signifikan mengurangi jumlah penduduk miskin dengan nilai koefisien 0,42. Populasi signifikan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Setiap peningkatan 1 persen jumlah penduduk di Jawa Barat akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,23 persen. Dummy krisis ekonomi juga memberi dampak negatif terhadap kemiskinan. Keadaan ini dapat dimengerti mengingat banyaknya orang yang jatuh miskin akibat krisis ekonomi global pada tahun 1997 silam.
(4)
TERHADAP PDRB, TENAGA KERJA, DAN KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA BARAT
Oleh
SISKA PERMATA INDAH H14070055
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
(5)
Pengaruhnya Terhadap PDRB, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat
Nama Mahasiswa : Siska Permata Indah Nomor Induk Mahasiswa : H14070055
Menyetujui Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S 19500209 198203 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Dedi Budiman Hakim 1964410 22 1989031003
(6)
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2011
Siska Permata Indah H14070055
(7)
Penulis bernama Siska Permata Indah dilahirkan di Cianjur pada tanggal 21 Januari 1989 dari pasangan H.Nunung Sadikin dan Hj. Betty Srihartati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ibu Dewi 2 Cianjur, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Cianjur, dan lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri (SMAN) 1 Cianjur pada 2007.
Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor) yang pada akhirnya masuk ke Fakultas Ekonomi dan Manajemen, dengan jurusan Departemen Ilmu Ekonomi. Pada masa perkuliahan, penulis tergabung dalam organisasi SES-C IPB sebagai anggota divisi eksternal dan aktif dalam mengikuti kepanitiaan dalam acara yang diselenggarakan departemen maupun fakultas. Penulis pernah menjadi panitia Banking Goes To Campus (2008), Hipotex-R (2009), dan Season (2009). Selain itu penulis merupakan anggota dari Himpunan Profesi dan Peminat Ekonomi Pembangunan (HIPOTESA).
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ...vii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Tinjauan Konsep dan Teori ... 8
2.1.1. Konsep dan Pengertian Kebijakan Desentralisasi Fiskal ... 8
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi ...10
2.1.3. Tenaga Kerja ...11
2.1.4. Kemiskinan ...11
2.1.5. Fungsi Produksi Cobb Douglas ...12
2.2. Kaitan Pertumbuhan Dengan Desentralisasi Fiskal ...13
2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu ...14
2.4. Kerangka Pemikiran Konseptual ...15
III. METODE PENELITIAN ...16
3.1. Jenis dan Sumber Data ...16
3.2. Metode Analisis ...16
3.2.1. Analisis Deskriptif ...16
3.2.2. Model Ekonometrika ...16
3.3. Kontruksi Model ...17
3.4. Pengujian Model ...19
3.5. Identifikasi Model ...20
(9)
4.1. Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah ...22
4.2. Perkembangan Investasi di Jawa Barat ...26
4.3. Gambaran Tingkat Keterbukaan Daerah ...28
4.4. Kondisi Ketenagakerjaan dan Upah di Jawa Barat ...29
4.5. Kondisi Pendidikan di Jawa Barat ...33
4.6. Kondisi Kemiskinan di Jawa Barat ...35
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...37
5.1. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat ...37
5.1.1. Analisis Model PDRB Jawa Barat Tahun 1993-2009 ...37
5.1.2. Analisis Model Tenaga Kerja di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ...40
5.1.3. Analisis Model Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ...45
5.2. Permasalahan dalam Penerapan Desentralisasi Fiskal ...47
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...49
6.1. Kesimpulan ...49
6.2. Saran ...49
DAFTAR PUSTAKA ... 51
(10)
DAFTAR TABEL
Nomor Hal 3.1. Pengujian Order ... 1 4.1. Perkembangan PDRB Riil Jawa Barat dan Laju
Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1993-2009 ... 22 4.2. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat Berdasarkan
Lapangan Usaha Tahun 2004–2006 (Trilyun Rupiah ... 24 4.3. Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2009 ... 26 4.4. Realisasi Investasi PMA dan PMDN di Jawa Barat Periode
Tahun 1993-2009 ... ... 27 4.5. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Provinsi Jawa Barat
Tahun 2004-2009 ... 28 4.6. Tabel Penduduk Usia Kerja (PUK) Menurut Kelompok Umur
dan Jenis Kelamin di Jawa Barat Tahun 2009 ... 29 4.7. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat
Tahun 2001-2009 ... 31 4.8. Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ... 32 4.9. Persentase Penduduk 10 Tahun ke atas Menurut Jenjang Pendidikan
yang Ditamatkan di Jawa Barat Tahun 1993-2009 ... 34 5.1. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap PDRB Jawa Barat
Tahun 1993-2009 ... 38 5.2. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Tenaga Kerja di
Jawa Barat Tahun 1993-2009 ... 41 5.3. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Kemiskinan di
(11)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Hal 4.1. Laju Inflasi Tiga Kota di Jawa Barat Tahun 2002-2007 ... 25 4.2. Perkembangan Upah Minimum Regional Provinsi Jawa Barat
Tahun 1993-2009 ... 33 4.3. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat
Tahun 1993-2009 ... 35 5.1. Kurva Permintaan Tenaga Kerja ... 42
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1. Perkembangan Garis Kemiskinan menurut Provinsi dan Daerah Tahun 2002-2008.
2. Tingkat Kesempatan Kerja Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 1993-2008.
3. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 1993-2008.
(13)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada dasarnya suatu pemerintahan memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyatnya. Fokus utama pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut adalah meningkatkan perekonomian yang diukur dengan besarnya pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan daerah maka pemerintah memiliki dana yang besar untuk membiayai kegiatan pembangunan dan meningkatkan layanan kepada masyarakat. Keadaan perekonomian juga sering menjadi titik acuan dalam menilai kinerja pemerintah yang berkuasa di jamannya. Dengan demikian perekonomian merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan suatu pemerintahan.
Pada masa sebelum pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem pemerintahan yang sentralistik. Pemerintah pusat memiliki peran yang dominan dalam menentukan keputusan termasuk dalam hal perekonomian daerah. Sebagian besar pembiayaan pembangunan daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Hal ini menciptakan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan melahirkan ketimpangan pembangunan antar daerah di indonesia. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah pusat menerapkan kebijakan baru dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Kebijakan itu dikenal dengan desentralisasi fiskal.
(14)
Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan suatu gebrakan yang dilakukan pemerintah pusat di bidang keuangan pada masa otonomi daerah. Kebijakan ini ditetapkan sesuai dengan UU No.22 dan No.25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Undang-undang ini merefleksikan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah serta memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi sumberdaya keuangan di daerahnya. Walaupun dasar hukum kebijakan ini dikeluarkan tahun 1999 akan tetapi secara ril masa otonomi daerah dimulai dari tahun 2001.
Dengan dilaksanakanannya desentralisasi fiskal tidak berarti pemerintah daerah dapat secara penuh lepas dari aturan pemerintah pusat. Daerah-daerah otonom masih berada dalam satu kesatuan wilayah Republik Indonesia sehingga tetap mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan tugas pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Tanggung jawab tersebut tentu saja dibarengi dengan pembiayaan dan bantuan dari pemerintah pusat berupa dana transfer.
Dana transfer serta dana otonomi khusus meningkat sangat pesat dalam tiga tahun terakhir, yaitu dari hanya Rp.153,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp.220 triliun pada 2006 atau meningkat 43 persen, dan pada tahun 2007 mencapai Rp.258,8 triliun atau meningkat 17,6 persen. Jumlah tersebut meliputi sepertiga dari seluruh total APBN Indonesia tahun 2007. (Suparno, 2010)
Jawa Barat merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbanyak, yaitu sekitar 38.9 juta jiwa. Bagian barat laut provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ibu kota
(15)
negara Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat terbilang pesat. Pada tahun 2003 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat mencapai Rp.220,965 milyar menyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional, angka tertinggi bagi sebuah Provinsi. (Bank Indonesia)
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa tujuan utama suatu pemerintahan adalah mensejahterakan rakyat. Maka setiap kebijakan yang dicanangkan pemerintah tidak hanya mempertimbangkan dari sisi keuangan saja tetapi juga seharusnya mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan atau yang sering disebut triple track strategy (pro growth, pro job, dan pro poor).
Keputusan pemerintah pusat melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah dalam hal mengatur rumah tangganya sendiri memiliki tujuan untuk mendorong perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan yang terjadi antar daerah di Indonesia. Akan tetapi tingkat keberhasilan kebijakan tersebut tergantung dari implementasi daerah masing-masing.
Peningkatan pendapatan daerah dan besarnya dana transfer pada masa otonomi daerah seharusnya berkorelasi positif dengan tujuan utama pemerintah, yaitu kesejahteraan rakyat. Hal tersebut dapat terlihat melalui pertumbuhan ekonomi apakah mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan di daerahnya atau tidak. Oleh karena itu, isu mengenai pelaksanaan desentralisasi fiskal dan perekonomian suatu daerah menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti.
(16)
1.2. Rumusan Masalah
Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal seharusnya memberikan perubahan dalam struktur keuangan daerah. Pemberian dana perimbangan keuangan daerah sesuai dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 disertai kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola hasil sumberdayanya diharapkan dapat meningkatkan perhatian pemerintah daerah kepada masyarakatnya. Kebijakan tersebut seyogyanya juga berdampak tidak hanya dalam peningkatan kinerja perekonomian daerah tetapi juga terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kewenangan yang diberikan pemerintah pusat bukan hanya merupakan kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tetapi juga merupakan amanat pembangunan. Pemerintah daerah diharapkan dapat menggali potensi-potensi keuangan yang dimiliki daerahnya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sehingga ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dapat diminimalisir.
Desentralisasi fiskal membuat pemerintah daerah lebih kreatif dalam mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan daerahnya disamping dana bantuan pembangunan yang diberikan pemerintah pusat. Akan tetapi, besarnya pendapatan daerah dan dana transfer yang besar juga akan berdampak terhadap penggunaan anggaran secara tidak efisien. Pemerintah daerah idealnya dapat menggunakan dana tersebut dengan prioritas kepentingan dan aspirasi rakyat.
Kinerja perekonomian dan potensi keuangan daerah tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan desentralisasi fiskal saja tetapi juga dipengaruhi oleh
(17)
faktor-faktor lain. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja dan kemiskinan di Jawa Barat?
2. Bagaimanakah dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa Barat?
1.3. Tujuan Penelitian
Dengan merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi tenaga kerja, dan kemiskinan di Jawa Barat.
2. Menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa Barat.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai kinerja keuangan daerah dan masalah ketimpangan yang ada di Jawa Barat.
2. Bagi pemerintah, sebagai pelaksana otonomi daerah dan pemegang otoritas fiskal dalam membuat kebijakan diharapkan penelitian ini dapat
(18)
menjadi bahan informasi tambahan dan pertimbangan dalam mengambil keputusan dalam mengatasi masalah ketimpangan pendapatan.
3. Bagi Masyarakat, mahasiswa, maupun peneliti selanjutnya yang tertarik dengan topik terkait agar dapat dijadikan rujukan serta tambahan informasi.
1.5. Ruang lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap kondisi Provinsi Jawa Barat secara umum dari tahun 1993 hingga tahun 2009. Data yang digunakan merupakan data provinsi sehingga Kabupaten/Kota yang mekar pada rentang waktu penelitian tidak diagregasikan. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada fungsi produksi Cobb Douglass dan ditambah variabel-variabel lain yang berkaitan. Untuk menyeimbangkan level data, maka data-data yang berhubungan dengan harga distandarkan menggunakan tahun dasar 2007 (deflasi). Perekonomian daerah dalam penelitian ini adalah perekonomian terbuka dengan memasukkan variabel ekspor dan impor sebagai indikator keterbukaan daerah.
(19)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Konsep dan Teori
2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentalisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan upaya pemerintah dalam rangka membentuk daerah yang otonom dengan mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan. Pemerintah pusat memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber keuangan daerahnya yang dapat digunakan dalam pembiayaan pembangunan dan menyediakan layanan publik bagi masayarakatnya.
Pelimpahan kewenangan diikuti dengan pemberian stimulus fiskal terhadap aktivitas perekonomian daerah yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Stimulus fiskal ini berupa pemberian subsidi/bantuan maupun pinjaman dari pemerintah pusat yang berasal dari APBN. Pengertian desentralisasi fiskal ini dijelaskan dalam UU No. 25 Tahun 1999 yang berisi tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. (Irdhania, 2009).
Secara umum konsep desentralisasi dibagi menjadi desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administratif (administrative decentralization), dan desentralisasi fiskal (fiscal decentralization). Desentralisasi politik merupakan suatu bentuk pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah menyangkut aspek pengambilan keputusan dan berbagai peraturan daerah. (Gozali, 2001).
(20)
Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan kewenangan yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan layanan publik dalam berbagai tingkat pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah sekaligus hak menerima transfer dana atau bantuan pemerintah pusat.
Seperti yang tercantum dalam UU No.32 dan No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan demikian, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada. (Hasugian, 2006).
Desentralisasi fiskal menjadi suatu hal yang sangat penting dalam masa otonomi daerah karena dengan kewenangan yang diberikan maka pemerintah daerah dapat dengan bebas menentukan kebijakan-kebijakan fiskal yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Salah satu jalan yang sering dilakukan pemerintah daerah untuk mendongkrak pendapatannya adalah dengan meningkatkan pajak dan menarik retribusi daerah. (Suparno, 2010).
(21)
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan yang berkesinambungan dari suatu kondisi perekonomian menuju keadaan yang lebih baik. Teori pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain, sehingga terjadi proses pertumbuhan. (Todaro et all, 2006).
Dalam penelitian ini, konsep pertumbuhan bukanlah gambaran ekonomi suatu daerah pada satu waktu tetapi merupakan suatu proses berkesinambungan sehingga indikator yang digunakan adalah PDRB perkapita sejak tahun 1993 hingga 2009.
Secara garis besar PDRB dikelompokkan menjadi beberapa sektor, yaitu: 1. Sektor primer yaitu sektor yang tidak mengolah bahan baku melainkan hanya
mendayagunakan sumber-sumber alam seperti tanah dan deposit di dalamnya, yaitu sektor pertanian, pertambangan, dan penggalian.
2. Sektor sekunder yaitu sektor yang mengolah bahan baku baik yang berasal dari sektor primer maupun sektor sekunder sendiri menjadi barang lain yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Sektor ini mencakup sektor industri pengolahan, listrik, gas, air bersih, dan sektor kontruksi.
3. Sektor tersier atau dikenal sebagai sektor jasa yaitu sektor-sektor yang tidak memproduksi secara fisik melainkan dalam bentuk jasa yaitu sektor perdagangan, hotel, restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor
(22)
lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa lainnya
2.1.3. Tenaga Kerja
Tenaga kerja dapat dibedakan menjadi dua yaitu pekerja dan penganggur. Pekerja adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang yang memang sedang bekerja, dan orang yang mempunyai pekerjaan namun untuk sementara waktu tidak bekerja. Sedangkan pengangguran adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan. (Dumairy, 1996).
Pengangguran merupakan masalah makroekonomi dan selalu menjadi tugas yang harus diselesaikan oleh setiap pemerintahan. Pada dasarnya pengangguran dapat diartikan sebagai penduduk usia produktif yang tidak mendapatkan kesempatan kerja. Dari segi produktivitas, penduduk usia kerja yang paling optimal menghasilkan output produksi adalah penduduk pada rentang umur 15-64 tahun. (BPS, 2009).
2.1.4. Kemiskinan
Konsep kemiskinan merupakan cerminan harapan dan aspirasi masyarakat secara keseluruhan mengenai apa yang dipandang sebagai standar hidup minimum yang dapat diterima. Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai ketiadaan makanan dalam jumlah minimum, rumah, dan pakaian yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup. (Lipsey et all, 1997)
(23)
Menurut Badan Pusat Statistika, miskin didefinisikan sebagai kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal. Sementara menurut World Bank Institute kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan/kekurangan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya.
2.1.5. Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Paul Douglas seorang senator Amerika Serikat (1966) dan Charles Cobb, seorang ahli matematika yang telah merumuskan fungsi produksi Cobb-Douglas. Mereka menemukan sebuah fakta bahwa ketika perekonomian mengalami pertumbuhan yang mengesankan, pendapatan total pekerja dan pendapatan total pemilik pemilik total tumbuh pada tingkat yang nyaris sama. (Mankiw, 2003) Douglas mengatakan bahwa fenomena tersebut harus dijelaskan oleh suatu fungsi produksi yang mempunyai unsur-unsur pendapatan modal dan pendapatan tenaga kerja, maka diketahui fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai berikut:
Y˗ F(K,L) = AKαL1...(2.4)
Dimana A adalah parameter yang lebih besar dari nol yang mengukur produktivitas teknologi yang ada.
Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki skala hasil yang konstan, jika modal dan tenaga kerja meningkat dalam proporsi yang sama maka output akan meningkat dengan proporsi yang sama pula.
(24)
Adapun fungsi produk marjinal (MPL) dan produk marginal modal (MPK) dalam fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut:
MPL = (1-α) AKαL-α ...(2.5) MPK = αAKα-1
L1-α ...(2.6)
Kenaikan dalam jumlah modal meningkatkan MPL dan mengurangi MPK. Demikian pula kenaikan dalam jumlah tenaga kerja mengurangi MPL dan meningkatkan MPK. Perkembangan teknologi akan meningkatkan parameter A membuat produk marjinal kedua faktor produksi naik secara proporsional. (Mankiw, 2003).
2.2. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal Pada dasarnya kebijakan desentralisasi fiskal dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi alokasi sumber daya. Hal ini karena pemerintah daerah lebih mengenal potensi keuangan daerahnya dibandingkan pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya sehingga diharapkan dapat memberikan pelayanan dan penyediaan barang-barang publik dengan optimal.
Esensi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal setidaknya mempunyai tiga pertimbangan. Pertama, pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang objektif dari desentralisasi fiskal dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya sektor publik. Kedua, secara eksplisit bahwa pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai kebijakan untuk mendorong ke arah peningkatan dalam pendapatan per kapita. Ketiga, pertumbuhan per kapita
(25)
relatif lebih mudah untuk diukur dan diinterpretasikan dibanding indikator-indikator lainnya. (Suparno, 2010).
2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Retnosari (2006) menganalisis mengenai pengaruh ketimpangan distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Penelitian ini hanya melihat dampak dari distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu 2002-2004 dan metode yang digunakan adalah metode regresi tunggal OLS (Ordinary Least Square) sehingga hasil yang didapat hanya mampu menjelaskan hubungan searah.
Studi yang dilakukan Hasugian (2006) mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa tingkat kemandirian daerah semakin rendah setelah implementasi kebijakan desentralisasi fiskal. Penelitian ini menggunakan panel data kabupaten dan kota se-provinsi Jawa Barat untuk tahun 1998-2004 dengan metode deskriptif dan analisis regresi dengan metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS) terhadap data panel.
Penelitian yang dilakukan oleh Irdhania (2009) mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan di Kabupaten Bogor dengan menggunakan metode simultan pada variabel-variabel PDRB, Konsumsi, Investasi, dan Pengeluaran pemerintah, menyimpulkan bahwa penerapan desentralisasi fiskal memberikan dampak yang positif pada kinerja perekonomian Kabupaten Bogor.
(26)
Penelitian Suparno (2010) mengenai desentralisasi fiskal dan pengaruhnya terhadap perekonomian di Indonesia menggunakan metode regresi panel data terhadap data seluruh provinsi di Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suparno terdiri dari tiga persamaan yaitu pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, dan kemiskinan yang masing-masing terpisah dan tidak menghubungkan keterkaitan antar ketiga variabel tersebut. Oleh karena itu, dalam skripsi ini untuk dapat melihat keterkaitan antar variabel tersebut digunakan metode persamaan simultan.
2.5. Kerangka Pemikiran Konseptual
Melalui kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Hal ini dilakukan karena pemerintah daerah dinilai lebih mengenal kondisi dan potensi daerahnya sehingga diharapkan mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah daerah diharapkan mampu meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi pengangguran, dan kemiskinan.
Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari fungsi produksi Cobb-Douglas (persamaan 3.1). Kapital dalam fungsi produksi terdiri dari modal swasta dan modal pemerintah (pengeluaran publik). Modal pemerintah terdiri dari dua level pemerintah yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
(27)
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series tahun 1993 sampai tahun 2009. Data diperoleh dari berbagai sumber antara lain Badan Pusat Statistika (BPS) Pusat, BPS Provinsi Jawa Barat, Dinas Pendapatan Jawa Barat, Bank Indonesia, dan penelitian-penelitian terdahulu. Data yang tercakup dalam penelitian-penelitian ini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), APBD, ketenagakerjaan, angka kemiskinan, jumlah penduduk, dan pendidikan di Jawa Barat.
3.2. Metode Analisis 3.2.1. Analisis Deskriptif
Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana. Proses analisis deskriptif dalam penelitian ini menggunakan alat analisis bantuan berupa software yaitu Microsoft Exel 2007.
3.2.2. Model Ekonometrika
Menurut Gujarati (2004) analisis dengan model ekonometrika terdiri dari spesifikasi model, identifikasi dan metode estimasi, serta validasi model. Model
(28)
desentralisasi dalam penelitian ini dibangun dengan model ekonometrika karena model ini lebih fleksibel dalam membangun hubungan antara peubah-ubahnya. Kelebihan model ekonometrika adalah dapat memasukkan persamaan-persamaan untuk mengestimasikan perubahan peubah lain, model dapat dimodifikasi dan jika terdapat permasalahan yang tidak dapat diselesaikan maka persamaan baru dapat ditambahkan kedalam model.
Model persamaan simultan baik digunakan untuk mengestimasi variabel yang diduga saling mempengaruhi satu sama lain. Ciri yang paling menonjol dalam persamaan simultan adalah variabel tak bebas dalam satu persamaan mungkin muncul sebagai variabel bebas dalam persamaan lain dalam sistem.
3.3. Konstruksi Model
Model yang digunakan merupakan pengembangan dari fungsi produksi Cobb-Douglas, yaitu:
Yt = KtαLt ... (3.1) Kapital dalam fungsi produksi terdiri dari modal swasta dan modal pemerintah (pengeluaran publik). Modal pemerintah terdiri dari dua level pemerintah yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pengeluaran pemerintah pusat dapat diartikan dalam bentuk sumbangan dan bantuan kepada pemerintah daerah. Sedangkan pengeluaran pemerintah daerah diasumsikan sebagai pengeluaran yang dianggarkan dari pos Pendapatan Asli Daerah.
Komponen yang masuk ke dalam pos sumbangan dan bantuan kepada pemerintah daerah adalah dana perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
(29)
Sementara pengeluaran pemerintah daerah yang berasal dari pos Pendapatan Asli Daerah adalah pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Berdasarkan uraian di atas, maka model penelitian yang dibangun adalah model persamaan simultan yang terdiri dari tiga persamaan strukturak yaitu model PDRB, tenaga kerja, dan kemiskinan dengan 3 variabel endogen dan 11 variabel eksogen, adalah sebagai berikut;
LogY= α0 + α1 LogPADt+ α2 LogDAFERt+ α3 LogINVt + α4 LogXMt + α5 LogPOPt + α6 LogLt + α7D1t + α8D2t + Ut ... (3.2) Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut:
α1, α2, α3, α4, α6, α7 > 0 ; α5, α8 < 0
LogL= 0+ 1 LogWt+ 2Pendt + 3 LogGt + 4D1t+ 5D2t + Ut ... (3.3) Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut:
2, 3, 4 > 0 ; 1, 5 < 0
LogPM= 0+ 1 LogYt + 2 LogPOPt + 3INFt + 4D2t + Ut ... (3.4) Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut:
2 , 3 , 54 > 0 ; 1 < 0
Keterangan :
Yt : Nilai PDRB Riil tahun 2007 (juta rupiah) tahun t PADt : Pendapatan Asli Daerah riil (juta rupiah) tahun t DAFERt : Dana Transfer riil (juta rupiah) tahun t
(30)
XMt : Ekspor+Impor riil (juta rupiah) tahun t POPt : Populasi Jawa Barat tahun t
Lt : Tenaga kerja yang bekerja (orang) di Provinsi Jawa Barat tahun t INFt : Inflasi (persen) Jawa Barat tahun t
Pendt : Tingkat pendidikan (diproksi dengan persentase jumlah murid berpendidikan SMA ke atas) di Provinsi Jawa Barat tahun t Wt : Upah riil (rupiah) Provinsi Jawa Barat tahun t
Gt : Total pengeluaran pemerintah riil (juta rupiah) tahun t
PMt : Jumlah penduduk miskin (orang) di Provinsi Jawa Barat tahun t D1t : Dummy desentralisasi fiskal tahun t
Dengan 0 : sebelum desetralisasi fiskal (1993-2000) 1: setelah desentralisasi fiskal (2001-2009) D2t : Dummy Krisis Ekonomi tahun 1997-1998
Dengan 0 : sebelum krisis ekonomi (1993-1996) 1 : setelah krisis ekonomi (1997-2009)
3.4. Pengujian Model
Dalam model ekonometrika sistem persamaan simultan diperlukan beberapa pengujian model yang penting yakni sebagai berikut :
1. Uji Kesesuaian Model
a. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Presentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas dapat dilihat menggunakan pengujian R2. Nilai R2 berkisar dari nol sampai 1 ( 0 ≤
(31)
R2 ≥ 1). Jika nilainya mendekati 1, maka terdapat hubungan yang erat antara peubah bebas dengan peubah tak bebas. Namun jika nilainya 0 maka tidak ada hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas.
b. P-Value
Pengaruh masing-masing peubah bebas terhadap peubah tak bebas dapat dilihat dengan menggunakan nilai P-Value. Tingkat kesalahan yang ditolerir adalah 10 persen (α = 0,10). Jika nilai P-Value lebih besar daripada nilai α maka peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas. Namun, jika nilai P-Value lebih kecil daripada α maka peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tak nyata.
2. Pengujian Autokorelasi
Autokorelasi terjadi jika error dari periode waktu (time series) yang berbeda saling berkorelasi. Autokorelasi membuat estimasi standar eror dan varian koefisien regresi yang diperoleh akan underestimate. Autokorelasi akan menyebabkan model menjadi tidak efisien tetapi masih tidak bias dan konsisten. Uji yang biasanya digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah uji Durbin-Watson.
3.5. Identifikasi Model
Dalam melakukan pendugaan parameter, suatu persamaan di dalam model simultan harus teridentifikasi. Kondisi yang harus dipenuhi agar suatu model dapat diidentifikasi adalah :
(32)
dimana :
K = Total variabel dalam model (variabel endogen dan variabel predeterminan ) M = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukkan dalam suatu
persamaan tertentu dalam model.
G = Total persamaan (jumlah variabel endogen)
Apabila K-M sama dengan G-1 maka suatu persamaan di dalam model dikatakan teridentifikasi secara tepat (exactly Identified); jika K-M lebih kecil dari G-1, maka persamaan dikatakan tidak teridentifikasi (underidentified);sedangkan jika K-M lebih besar dari G-1 maka persamaan tersebut dikatakan teridentifikasi berlebih (overidentified). Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi exactly identified, maka metode pendugaan yang tepat digunakan adalah Indirect Least Square (ILS). Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi overidentified, maka metode pendugaan yang tepat digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS). Sedangkan jika persamaan simultan tidak teridentifikasi maka tidak dapat diduga.
Model dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian dalam penelitian ini dibangun dari tiga persamaan struktural. Dalam identifikasi model secara keseluruhan perlu syarat bahwa model harus bersifat lengkap dan setiap persamaan dalam model harus teridentifikasi. Model persamaan simultan dikatakan lengkap apabila mengandung banyaknya persamaan bebas sekurang-kurangnya peubah endogen dalam sistem.
Pada pengujian order di Tabel 3.1. terlihat bahwa 3 persamaan struktural dalam model telah over identified sehingga variabel-variabel di atas telah
(33)
memenuhi syarat dalam model persamaan simultan dan dapat dilakukan pendugaan. Metode pendugaan yang paling tepat untuk persamaan simultan dalam penelitian ini adalah Two Stage Least Square (2SLS).
Tabel 3.1. Pengujian Order
Persamaan K-M <, >, = G-1 Identified
(3.2) 5 > 2 Over identified
(3.3) 9 > 2 Over identified
(34)
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Perkembangan Ekonomi Jawa Barat
Salah satu indikator yang sering digunakan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi adalah PDRB. Pada kurun waktu analisis, yaitu 1993 hingga 2009, PDRB Jawa Barat mengalami peningkatan kecuali pada tahun 1998 dimana terjadi krisis ekonomi yang mengguncang hampir seluruh negara di Asia termasuk Indonesia.
Tabel 4.1. Perkembangan PDRB Riil Jawa Barat dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1993-2009
Tahun PDRB (Miliar) Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
1993 63.302,07 7,05
1994 68.723,87 8,18
1995 75.060,29 10,83
1996 81.877,46 8,05
1997 86.338,02 6,00
1998 70.704,31 -17,77
1999 64.897,27 2.30
2000 67.942,44 4,90
2001 70.560,23 2,59
2002 73.414,88 4,79
2003 77.069,52 4,53
2004 81.087,52 5,47
2005 86.067,03 4,22
2006 91.340,81 6,02
2007 97.422,98 6,48
2008 103.204,89 5,83
2009 107.325,99 4,30
Sebelum desentralisasi Setelah desentralisasi 72.355,72 87.499,32 3,69 4,91
(35)
Tabel 4.1. menunjukkan perkembangan PDRB Jawa Barat sejak tahun 1993 hingga 2009. Hampir tidak terlihat perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan PDRB Jawa Barat sebelum dan sesudah dilaksanakannya desentralisasi fiskal. Sebelum masa desentralisasi fiskal, rata-rata pertumbuhan PDRB per tahun adalah sebesar Rp.5,21 triliun dan setelah desentralisasi fiskal dilaksanakan pada tahun 2001, rata-rata pertumbuhan PDRB Jawa Barat yaitu sebesar Rp. 4,37 triliun.
Dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 sangat terasa bagi perekonomian Jawa Barat. Hal ini terlihat dari merosotnya PDRB per kapita Jawa Barat hingga Rp.15 triliun pada tahun 1998 dan laju pertumbuhan ekonomi pada masa itu sebesar-17,77 persen. Proses recovery pasca krisis dimulai sejak tahun 2000 dengan pertumbuhan PDRB yang kembali positif walaupun tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Mengawali tahun 1999, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan 2,3 persen. Kondisi ini mampu dipertahankan dalam periode 2001-2004 sehingga keadaan perekonomian saat itu dapat dikatakan stabil. Pada tahun 2005, laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat berada pada angka 4,22 persen dan naik hingga mencapai 6,02 persen pada tahun berikutnya. Tahun 2007 pertumbuhan ekonomi 6,48 persen dan turun menjadi 5,83 persen pada tahun 2008. Keadaan tersebut dinilai cukup bagus mengingat terjadinya krisis ekonomi global pada pertengahan 2007. Badan Keuangan Dunia (IMF) bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,7 persen. Di beberapa negara maju laju pertumbuhannya hanya 0,5 hingga 1,7 persen.
(36)
Tabel 4.2. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2007–2009 (Trilyun Rupiah)
Lapangan Usaha 2007 2008 2009
[1] [4] [5] [6]
I. Primer 16,09 15,48 14,84
1. Pertanian 13,14 12,67 13,11
2. Pertambangan 2,95 3,16 2,93
II. Sekunder 46,62 53,06 54,68
3. Industri 40,79 45,89 48,55
4. Listrik, Gas, dan Air 3.09 2,98 2,86
5. Bangunan 2,71 3,03 3,25
III. Tersier 34,68 35,73 37,83
6. Perdagangan 18,42 19,69 20,82
7. Pengangkutan 5,14 5,49 6,30
8. Lembaga Keuangan 2,91 3,11 2,89
9. Jasa-jasa 8,23 7,50 7,75
PDRB 97,42 103,21 107,33
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka tahun 2007-2009
Adapun sektor yang paling besar memberikan kontribusi terhadap PDRB adalah sektor sekunder (industri, listrik, gas, air, dan bangunan). Pada tahun 2007 sektor sekunder mampu menyumbang Rp. 46,62 trilyun sedangkan tahun 2008 sebesar Rp. 53,06 triliun atau mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp. 6,44 triliun. Tahun 2009 sektor sekunder memberikan kontribusi sebesar Rp. 54,68 triliun atau meningkatb 1,62 dari tahun sebelumnya.
Kondisi perekonomian Jawa Barat dapat pula dilihat dari laju inflasi daerah. Inflasi menggambarkan kondisi makro perekonomian suatu daerah karena dapat memengaruhi daya beli masyarakat dan pola investasi. Semakin tinggi tingkat inflasi maka daya beli masyarakat akan menurun dan investasi akan terhambat sehingga memengaruhi kesejahteraan masyarakat.
(37)
Pada tahun 2009 dari 7 kota di Jawa Barat yang dipantau tingkat inflasinya, Kota Tasikmalaya tercatat inflasinya paling tinggi, yaitu sebesar 4,17 persen disusul Kota Cirebon 4,11 persen. Sedangkan tingkat inflasi paling rendah yaitu Kota Sukabumi sebesar 3,49 persen.
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka 2008
Gambar 4.1. Laju Inflasi Tiga Kota di Jawa Barat Tahun 2002-2007
Laju inflasi Jawa Barat tahun 2002-2007 yang diwakili oleh tiga kota menunjukkan tren yang berfluktuasi. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan inflasi yang cukup tinggi hingga berada di atas level 15%.
Selain itu, gambaran pengeluaran pemerintah yang terdapat dalam realisasi APBD dalam Kajian Regional Provinsi Jawa Barat sebelum desentralisasi fiskal (1997-2000) dan setelah desentralisasi fiskal (2005-2009) yang dikeluarkan Bank Indonesia (Tabel 4.3) menunjukkan peningkatan. Rata-rata proporsi belanja tidak langsung pemerintah Jawa Barat lebih dari 60 persen dari total belanja. Pada
(38)
tahun 1997 belanja tidak langsung sebesar Rp.987,39 miliar atau 68,51 persen dan meningkat menjadi Rp.1.532,71 miliar atau 68,72 persen dari keseluruhan belanja pemerintah tahun 1998. Tahun 1999 proporsi anggaran belanja tidak langsung naik menjadi 71,06 persen dan 74,84 persen pada tahun berikutnya. Sedangkan pada tahun 2006 proporsi belanja tidak langsung sebesar 69,45 persen dan meningkat pada tahun 2008 menjadi 71,29 persen. Dalam APDB 2009 Provinsi Jawa Barat untuk anggaran belanja tidak langsung sebesar Rp.5.388,57 miliar atau 65,20 persen.
Tabel 4.3. Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2009
Tahun Belanja Tidak Langsung (Miliar) Belanja Langsung (Miliar) Total Belanja (Miliar) Proporsi Belanja Tidak Langsung (%)
1997 987,39 453,86 1.441,25 68,51
1998 1.532,71 697,50 2.230,21 68,72
1999 2.312,41 944,23 3.256,64 71,06
2000 3.091,97 1.039,47 4.131,44 74,84
2006 3.374,40 1.484,37 4.858,77 69,45
2007 3.661,38 1.610,68 5.272,06 69,44
2008 4.313,02 1.736,99 6.050,01 71,29
2009 5.388,57 2.876,10 8.264,67 65,20
Sebelum desentralisasi Setelah desentralisasi 1.981,12 4.184,34 783,76 1.927,03 2.764,88 6.111,37 70,78 68,84
Sumber : Kajian Regional Provinsi Jawa Barat tahun 1997-2009
4.2. Perkembangan Investasi di Jawa Barat
Investasi dapat pula disebut sebagai akumulasi modal (capital accumulation) atau pembentukan modal (capital formation) yang bersumber dari dalam negeri dan asing. Provinsi Jawa Barat dengan segala potensi sumber daya
(39)
yang dimiliki mampu menarik investor baik dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya di Jawa Barat.
Pada awal tahun 90-an terjadi kenaikan investasi yang cukup signifikan (Tabel 4.4). Hal itu disebabkan perekonomian mulai meningkat dengan berdirinya industri-industri pengolahan. Pada akhir tahun 1997 terjadi goncangan ekonomi yang menyebabkan para investor beramai-ramai menarik dana dari Indonesia. Bahkan pemilik modal dalam negeri pun ikut mengalihkan modalnya ke luar negeri. Hilangnya kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya ke dalam negeri membuat investasi di Jawa Barat semakin menurun sejak tahun 1998. Tabel 4.4. Realisasi Investasi PMA dan PMDN di Jawa Barat Periode Tahun
1993-2009 (Juta Rupiah)
Tahun PMA PMDN % Perubahan
PMA dan PMDN
1993 8.245,31 3.986,02 168,33
1994 2.593,08 3.605,85 29,81
1995 2.943,49 2.713,96 -9,11
1996 2.811,92 3.093,91 6,25
1997 6.811,50 6.765,74 143,04
1998 13.518,90 3.446,18 43,39
1999 11.729,72 2.851,74 -24,52
2000 20.757,97 4.542,75 61,77
2001 5.069,39 410,42 -78,34
2002 9.127,36 2.201,53 106,74
2004 10.721,70 3.424,38 8,84
2005 14.160,26 4.210,73 29,87
2006 17.861,22 5.868,75 29,17
2007 12.197,41 11.347,89 -0,78
2008 25.526,58 4.075,17 25,72
2009 26.045,35 4.167,00 2,06
Sebelum desentralisasi Setelah desentralisasi 8.676,49 14.539,35 3.445,13 4.284,20 46,55 15,34
(40)
Penurunan investasi yang terjadi pada tahun 1998 terjadi pada sektor utama, yaitu pertanian, industri perumahan, dan jasa terutama sektor industri dan jasa yang telah mengalami kemerosotan sejak awal krisis pada tahun 1997. Dampak krisis ekonomi masih dirasakan hingga tahun 1999, pertumbuhan investasi Jawa Barat negatif 24,5 persen. Sejak tahun 2000, Jawa Barat mulai pulih dari keterpurukannya terbukti dengan meningkatnya pertumbuhan investasi menjadi 61,77 persen.
Pada periode tiga tahun terakhir penelitian, investasi Jawa Barat cenderung menurun. Perubahan ini terjadi sebagai akibat adanya gejolak politik karena mendekati Pemilu sehingga berpengaruh terhadap penanaman modal investasi di Jawa Barat. Pada tahun 2009, investasi hanya naik pada angka 2,06 persen.
4.3. Gambaran Tingkat Keterbukaan Daerah
Dalam teori export base dikemukakan pentingnya peranan sektor ekspor. Ide dasar dari teori export base ini tidak hanya mencakup besarnya volume eksport dari suatu daerah tetapi juga diperhitungkan besarnya volume impor ke daerah tersebut. Dalam hal ini, kegiatan ekspor memperlihatkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan suatu produk yang diekspor, sedangkan impor memperlihatkan teknologi baru dari suatu daerah/negara lain yang akan mengefisienkan proses produksi.
Tabel 4.5. menunjukkan perkembangan nilai ekspor dan impor Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2004 hingga 2009. Pada tahun 2004 nilai ekspor adalah
(41)
sebesar Rp.114 ,87 triliun dan impor sebesar Rp.90,75 triliun. Tahun 2005 nilai ekspor meningkat menjadi Rp.147,4 triliun dan nilai impor Rp.130,65 triliun. Nilai ekspor dan impor pengalami penurunan pada tahun 2008 yang disebabkan oleh krisis ekonomi global yang terjadi pada pertengahan tahun 2007.
Tabel 4.5. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2009 (Miliar Rupiah)
Tahun Ekspor Impor
2004 114.872,22 90.755,48
2005 147.397,62 130.655,66
2006 139.910,51 116.659,76
2007 134.666,19 108.100,17
2008 119.357,67 96.365,58
2009 127.552,01 92.221,79
Sumber: Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2004-2009
4.4. Kondisi Ketenagakerjaan dan Upah di Jawa Barat
Proporsi penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Indikator tersebut juga digunakan sebagai salah satu ukuran untuk menunjukkan struktur perekonomian suatu wilayah. Dari 5 lapangan usaha terbesar di Jawa Barat terdapat 4 sektor lapangan usaha yang kini menjadi sektor usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Kontribusi dari keempat sektor ini masing-masing adalah sektor pertanian (25,03%), sektor industri (18,60%), sektor perdagangan (25,01%), dan sektor jasa (15,53%). Sedangkan sisanya sebesar 15,82% penduduk bekerja terserap di berbagai lapangan usaha seperti pertambangan, listrik, gas, air, transportasi, akomodasi, keuangan, dan lapangan usaha lainnya. Kondisi ini menunjukkan adanya transisi pergeseran
(42)
sektor yang banyak menyerap tenaga kerja Jawa Barat dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan, dan jasa.
Pertumbuhan penduduk usia kerja di Jawa Barat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari total penduduk usia kerja di Jawa Barat pada tahun 2009, sebanyak 28.270.131 orang penduduk berada pada rentang 15-64 tahun, dan kurang dari 2 juta orang (6,34%) penduduk berada pada rentang usia non-produktif. (Tabel 4.6.)
Tabel 4.6. Tabel Penduduk Usia Kerja (PUK) Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat Tahun 2009
Kelompok Umur Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan
15-19 2.137.279 2.099.030 4.236.309
20-24 1.592.903 1.648.816 3.241.719
25-29 1.871.189 1.961.028 3.832.217
30-34 1.819.052 1.879.633 3.698.685
35-39 1.624.295 1.695.085 3.319.380
40-44 1.554.835 1.424.557 2.979.392
45-49 1.252.299 1.176.029 2.428.328
50-54 1.037.000 937.004 1.974.004
55-59 769.842 702.876 1.472.718
60-64 577.000 510.379 1.087.379
65-69 383.101 380.968 764.069
70-74 285.880 306.708 592.588
75+ 259.414 295.987 555.401
Jumlah 15.164.089 15.018.100 30.182.189
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka tahun 2009
Pada Tabel 4.7 dapat dilihat perkembangan jumlah tenaga kerja di Jawa Barat sejak tahun 2001 dimana awal dari kebijakan desentralisasi fiskal hingga tahun 2009. Pada tahun 2002 jumlah tenaga kerja justru berkurang 81.681 jiwa. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak dari krisis ekonomi tahun 1997 masih terasa. Pada tahun 2004 keadaan mulai membaik ditandai dengan meningkatnya
(43)
jumlah tenaga kerja menjadi 14,61 juta jiwa. Tahun 2005 jumlah tenaga kerja kembali meningkat namun hanya sebesar 10,34 ribu jiwa dari tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah tenaga kerja yang cukup besar terjadi pada tahun 2009 yaitu meningkat sebesar 1,9 juta jiwa dari tahun sebelumnya.
Jumlah tenaga kerja di provinsi Jawa Barat memang mengalami kenaikan setiap tahunnya namun belum mampu mengurangi jumlah pengangguran. Kondisi pengangguran terbuka ini merefleksikan bahwa peningkatan kesempatan kerja di Jawa Barat belum sebanding dengan angkatan kerja sehingga masih banyak orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran terbuka dapat pula wujud dari kegiatan ekonomi yang menurun dan kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan tenaga kerja.
Tabel 4.7. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2009 (Orang)
Tahun Tenaga kerja yang bekerja Perubahan (%)
1993 13.876.496 -
1994 14.327.990 3,15
1995 15.420.259 7,08
1996 15.000.519 -2,80
1997 15.190.843 1,25
1998 15.623.836 2,77
1999 16.181.026 3,44
2000 17.048.013 5,09
2001 14.499.420 -17,58
2002 14.417.739 -0,57
2004 14.618.934 1,87
2005 14.629.276 0,07
2006 14.997.578 2,46
2007 15.853.822 5,40
2008 16.824.106 5,77
2009 18.785.641 10,44
(44)
Perkembangan jumlah pengangguran terbuka di Jawa Barat sejak tahun 1993 hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.8. Memasuki era 90-an banyak sekali transmigran yang melakukan transmigrasi ke Pulau Jawa karena Pulau Jawa dianggap kondusif untuk membuka peluang bisnis. Banyaknya para transmigran di Pulau Jawa khususnya Jawa Barat juga ikut penyumbang angka pengangguran. Pada tahun 1998 terjadi ledakan pengangguran yaitu sekitar 44,44 persen akibat krisis ekonomi. Banyak pekerja yang terkena PHK akibat perusahaan tidak mampu mempertahannya usahanya. Setelah itu merupakan masa recovery dimana perusahaan mulai memperbaiki kondisi usahanya sehingga pengangguran menurun.
Tabel 4.8. Pengangguran Terbuka di Jawa Barat Tahun 1993-2009
Tahun Jumlah Pengangguran % Perubahan Pengangguran
1993 561.564 27,27
1994 911.059 27,26
1995 1.219.844 -28,44
1996 1.078.289 4,88
1997 1.042.756 63,50
1998 1.302.133 60,14
1999 1.764.384 -8,39
2000 1.684.394 -13,90
2001 1.933.784 -5,60
2002 2.191.531 25,96
2003 2.047.851 16,58
2004 2.319.715 3,65
2005 2.527.807 -0,06
2006 2.561.525 26,32
2007 2.386.214 -6,83
2008 2.311.592 -5,14
2009 2.262.889 -0,03
(45)
Pemerintah dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan rakyat menetapkan batasan upah minimum bagi para pekerja. Kondisi Upah Minimum Provinsi Jawa Barat (UMP) meningkat setiap tahunnya seperti yang terlihat pada Gambar 4.1. Kenaikan pada UMP dimaksudkan agar kualitas hidup dari para pekerja meningkat sekaligus melindungi mereka dari tekanan perusahaan. Pada tahun 1993 upah riil Provinsi Jawa Barat adalah sekitar Rp.102 ribu dan terus meningkat hingga Rp.587 ribu pada tahun 2009.
Sumber : Data Sosial Ekonomi Jawa Barat tahun 1993-2009
Gambar 4.1. Perkembangan Upah Minimum Provinsi Jawa Barat Tahun 1993-2009
4.5. Kondisi Pendidikan di Jawa Barat
Pendidikan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam pembangunan. Dengan pendidikan maka akan tercipta sumberdaya-sumberdaya manusia yang bermutu yang akan menjadi lokomotif dalam proses pembangunan suatu daerah. Oleh karena itu, pendidikan menjadi salah satu konsen utama bagi
100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 700.000
Upah Minimum Provinsi
(46)
pemerintah. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, diantaranya dengan program wajib belajar 9 tahun dan meningkatnya anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN.
Tabel 4.9 memperlihatkan kondisi pendidikan masyarakat Jawa Barat tahun 1997 hingga 2008. Pendidikan di Jawa Barat masih di dominasi oleh lulusan Sekolah Dasar dengan rata-rata persentase di atas 30 persen setiap tahunnya. Persentase penduduk dengan pendidikan di atas SMA masih terbilang rendah yaitu rata-rata berada di bawah 20 persen. Keadaan ini mengindikasikan bahwa sumber daya manusia yang berpendidikan harus ditingkatkan.
Tabel 4.9. Persentase Penduduk 10 Tahun ke atas Menurut Jenjang Pendidikan yang Ditamatkan
Tahun Tidak/ Belum Pernah Tidak Tamat SD
SD SMP SMA Perguruan
Tinggi
1997 7,00 25,94 39,05 13,01 12,29 2,71
1998 6,98 26,04 37,91 12,86 13,07 3,14
1999 6,99 25,30 36,56 13,93 14,11 3,11
2000 6,52 23,96 37,01 14,51 14,96 3,04
2001 6,71 23,74 39,88 13,44 13,18 3,04
2002 5,92 22,21 38,96 14,62 14,58 3,72
2003 5,61 21,55 39,70 15,24 14,60 3,31
2004 5,05 21,58 37,86 16,84 15,45 3,22
2005 5,05 21,42 37,65 15,92 15,78 4,19
2006 4,82 20,38 36,58 17,03 16,78 4,41
2007 5,35 19,82 36,69 16,56 16,48 5,09
2008 6,92 15,48 29,55 17,99 27,80 8,28
(47)
Pada tahun 1997 jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas dengan jenjang pendidikan SD sebesar 39,05 persen, SMP 13,01 persen, SMA 12,29 persen, dan Perguruan Tinggi sebesar 2,71 persen. Persentase penduduk yang hanya menamatkan sekolah sampai tingkat SD menurun dari tahun ke tahun. Sebaliknya, persentase jumlah penduduk dengan jenjang pendidikan SMA ke atas semakin meningkat. Pada tahun 2008, persentase penduduk dengan jenjang pendidikan SD turun menjadi 29,55 persen, sedangkan persentase penduduk dengan pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi meningkat masing-masing sebesar 27,80 persen dan 8,28 persen. Hal ini sejalan dengan program pemerintah dalam mencerdaskan bangsa yaitu pendidikan wajib 9 tahun. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat diharapkan mampu menciptakan SDM yang berkualitas sehingga dapat diberdayakan untuk membangun negeri
4.6. Kondisi Kemiskinan di Jawa Barat
Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data BPS, garis kemiskinan terus mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2005 sebesar Rp.133.701 dan pada tahun 2007 menjadi Rp.158.579.
(48)
Sumber : BPS Jawa Barat
Gambar 4.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat Tahun 1993-2009
Gambar 4.2. menunjukkan perkembangan jumlah penduduk miskin yang ada di Jawa Barat dari tahun 1993-2007. Terjadi lonjakan yang sangat tinggi pada tahun 1997-1998 yang merupakan imbas dari krisis ekonomi pada tahun yang bersangkutan. Jutaan orang mendadak jatuh miskin karena tidak mampu mempertahankan usahanya pada masa krisis. Pada tahun 2000 jumlah penduduk miskin berkurang bersamaan dengan proses recovery. Namun kembali meningkat pada tahun 2001. Tahun 2007 jumlah penduduk miskin berjumlah sekitar 5,4 juta orang, meningkat 0,32 juta orang dari tahun 2005 yang berjumlah 5,14 juta orang. Begitu pula apabila dibandingkan dengan total penduduk, persentase penduduk miskin pada tahun 2007 mengalami peningkatan dari 13,15 persen menjadi 13,56 persen.
0 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000 8.000.000 9.000.000
(49)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Tenaga Kerja, dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat
Hasil estimasi model ekonometrika yang terdiri dari tiga persamaan struktural secara umum menunjukkan hasil yang baik. Parameter estimasi sebagian besar telah sesuai dengan teori walaupun ada beberapa yang berbeda dengan dugaan awal penelitian. Evaluasi hasil secara statistika juga menunjukkan hasil yang baik, yaitu nilai R-Square lebih dari 0,50 sehingga model telah mampu menjelaskan keragaman masalah dengan baik. Nilai DW berkisar antara 1,43-2,57 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Secara garis besar variabel-variabel penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan signifikan pada taraf nyata α<10 persen dan mampu menjelaskan variabel tak bebasnya.
5.1.1. Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi
Hasil estimasi model persamaan simultan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen dan mampu menjelaskan permasalahan dengan sangat baik. Hal ini terlihat dari nilai R-squared-nya yaitu sebesar 0,948 yang berarti bahwa model telah mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 94,8 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel-variabel di luar model (Tabel 5.1.)
(50)
Tabel 5.1. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap PDRB Jawa Barat Tahun 1993-2009
Variabel Koefisien Prob
Intercept 1,430309 0,0764
LOG PAD(Pendapatan Asli Daerah) 0,470523 0,0298
LOG DAFER (Dana Transfer) 0,130422 0,0137
LOG INV (Investasi) 0,268646 0,0640
LOG XM (Ekspor dan Impor) 0,319150 0,0740
LOH POP (Populasi) -1,91563 0,1550
LOG Tenaga Kerja (L) 0,290510 0,0688
D1 (Dummy Desentralisasi) 0,083664 0,0955
D2 (Dummy Krisis Ekonomi) -0,529118 0,0392
R-Square Adj R-Square F-Value Prob Durbin Watson 0,94874 0,89748 18,51 0,0006 1,9636734
Berdasarkan hasil estimasi terhadap model pertumbuhan ekonomi terlihat bahwa variabel modal pemerintah yang terdiri dari PAD dan Dana Transfer terbukti signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Hal ini karena PAD dan Dana Perimbangan merupakan sumber utama pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan daerah maka pemerintah dapat menggunakan dana tersebut untuk membiayai kegiatan pembangunan dan menyediakan fasilitas publik untuk masyarakatnya.
Variabel PAD memiliki nilai elastisitas sebesar 0,47 yang berarti bahwa setiap kenaikan 1 persen pada PAD akan meningkatkan PDRB sebesar 0,47 persen, ceteris paribus. Dana perimbangan yang juga merupakan pembentuk modal pemerintah signifikan meningkatkan PDRB Jawa Barat dengan nilai elastisitas sebesar 0,13. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi kenaikan dana
(51)
perimbangan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan PDRB sebesar 0,13 persen.
Variabel investasi swasta signifikan dan berpengaruh positif terhadap PDRB Jawa Barat dengan nilai elastisitas 0,27. Hal ini bermakna bahwa setiap kenaikan investasi sebesar 1 persen maka akan menyebabkan PDRB naik 0,27 persen. Fakta ini sesuai dengan teori ekonomi Keynes yang menyebutkan bahwa invetasi meningkatkan output total (agregat expenditure).
Dari hasil estimasi variabel keterbukaan daerah yang diwakili dengan ekspor dan impor signifikan memengaruhi PDRB Jawa Barat. Dari hasil estimasi diperoleh bahwa setiap terjadi peningkatan ekspor dan impor sebesar 1 persen maka akan mampu meningkatkan output (PDRB) sebesar 0,31 persen, ceteris paribus.
Berdasarkan hasil pendugaan diketahui variabel tenaga kerja (L) meningkatkan PDRB Jawa Barat dengan nilai koefisien 0,2 yang berarti bahwa setiap kenaikan tenaga kerja 1 persen akan mampu meningkatkan PDRB sebesar 0,2 persen. Hal ini karena tenaga kerja merupakan sumberdaya manusia yang melakukan kegiatan ekonomi. Sehingga semakin banyak manusia yang diberdayakan maka akan mempercepat roda perekonomian. Namun, peningkatan kuantitas dari tenaga kerja juga harus diikuti oleh kualitas yang baik pula.
Peubah dummy desentralisasi fiskal signifikan terhadap PDRB Jawa Barat pada taraf nyata 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Jawa Barat sejak tahun 2001 mampu meningkatkan PDRB. Nilai koefisien dummy desentralisasi fiskal paling rendah diantara variabel yang
(52)
diamati. Dalam Media Otonomi (2009), sebagian ekonom mensinyalir bahwa kecilnya pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi disebabkan karena moment pelaksanaan desentralisasi fiskal yang bersamaan dengan masa pemulihan ekonomi pasca krisis ekonomi tahun 1998. Karena pada permulaan desentralisasi fiskal perekonomian Indonesia baru pada tahap recovery sehingga imbas dari krisis masih terasa ketika diterapkannya otonomi daerah. Selain itu, sebagian lain mengatakan bahwa di era desentralisasi, banyak daerah yang kurang siap baik SDM dan kapabilitas pemerintahnya dalam pengelolaan keuangan dan pembangunan. Hal ini terlihat dari opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan daerah sejak 2004 hingga 2007 yang menunjukkan temuan yang mengecewakan.
Dalam penelitian Suparno (2010), pengaruh dari desentralisasi fiskal juga dipengaruhi faktor lain seperti kinerja dari aparat pemerintah dan tidak efisiennya pengelolaan keuangan serta alokasi dana sebagai imbas dari besarnya dana transfer yang berlebihan.
Sementara itu, peubah dummy krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan pertengahan tahun 2007 signifikan pada taraf nyata 10% dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat.
5.1.2. Analisis Model Tenaga Kerja
Hasil estimasi model persamaan simultan terhadap tenaga kerja menunjukkan bahwa model yang dibangun signifikan pada taraf nyata 10 persen dan mampu menjelaskan permasalahan dengan sangat baik. Hal ini terlihat dari
(53)
nilai R-squared-nya yaitu sebesar 0,901 yang berarti bahwa model telah mampu menjelaskan keragaman masalah sebesar 90,1 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel-variabel di luar model. Hasil pengolahan dengan menggunakan SAS.9.1.3 secara lengkap dapat dilihat di Lampiran 2.
Tabel 5.2. Hasil Pendugaan Parameter Model Terhadap Tenaga Kerja di Jawa Barat Tahun 1993-2009
Variabel Koefisien Prob
Intercept 14,13741 <,0001
LOG W (Upah) -0,166272 0,0022
PEND (Pendidikan) 0,009185 0,0048
LOG G (Pengeluaran Pemerintah) 0,20475 0,0663
LOG INV (Investasi) 0,03691 0,0983
D1 (Dummy Desentralisasi) -0,01524 0,4181
D2 (Dummy Krisis Ekonomi) -0,17004 0,0004
R-Square Adj R-Square F-Value Prob
Durbin Watson
0,90025 0,85491 19,85 <,0001 2,391973
Hasil analisis memperlihatkan bahwa variabel upah (W), Pendidikan, pengeluaran pemerintah, investasi, dan dummy krisis ekonomi signifikan pada taraf nyata 10 persen. Sedangkan variabel dummy desentralisasi fiskal tidak signifikan memengaruhi kesempatan kerja yang diwakili dengan jumlah tenaga kerja.
Variabel upah dalam hasil estimasi berpengaruh mengurangi tenaga kerja dengan nilai koefisien sebesar 0,16. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenaikan upah sebesar 1 persen maka kesempatan kerja berkurang sebesar 0,16 persen. Secara teori upah dipengaruhi oleh struktur biaya, yaitu proporsi biaya untuk
(54)
pekerja (labour cost) terhadap seluruh biaya produksi (total cost). Peningkatan upah menyebabkan peningkatan biaya produksi, sehingga pengusaha akan mengkompensasinya dengan mengurangi jumlah tenaga kerja agar total cost-nya tetap. Dalam jangka pendek peningkatan upah akan menurunkan permintaan terhadap tenaga kerja.
Tujuan utama dari perusahaan adalah memaksimalkan profit. Sehingga apabila upah tenaga kerja meningkat dan dinilai akan mengurangi laba maka perusahaan cenderung akan mengganti input yang relatif lebih murah. Selain itu, peningkatan upah juga akan meningkatkan biaya marginal perusahaan.
Sumber: Mankiw, 2003
Gambar 5.1. Kurva Permintaan Tenaga Kerja
Gambar 5.1. menunjukkan kura permintaan terhadap tenaga kerja. Titik keseimbangan awal adalah A dengan upah W1 dan tenaga kerja sebanyak L1. Kemudian terjadi kenaikan upah misalnya dengan peningkatan UMR, maka
(55)
permintaan terhadap tenaga kerja akan berkurang ke L2. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan keuntungannya dan merubah produksinya menjadi padat modal.
.Variabel pendidikan yang diwakili oleh rasio penduduk yang menyelesaikan pendidikan SMA ke atas menunjukkan pengaruh yang positif terhadap tenaga kerja dengan nilai koefisien 0,009. Berarti apabila terjadi kenaikan pada jumlah penduduk yang menyelesaikan pendidikan di atas SMA maka akan mampu meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,009 persen. Hal ini dapat dimengerti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kesempatan kerja pun akan semakin meningkat karena pendidikan merupakan salah satu indikator dalam menilai kualitas dari sumber daya manusia. Sehingga banyak perusahaan yang menetapkan standar minimum pendidikan untuk dapat bekerja di perusahaannya.
Peubah pengeluaran pemerintah secara total terbukti signifikan untuk meningkatkan kesempatan kerja. Dari hasil estimasi pada model didapat bahwa setiap peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen akan mampu meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,02 persen di daerah yang bersangkutan dengan asumsi ceteris paribus.
Semakin tinggi pengeluaran pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik dan mendorong investasi sehingga perekonomian semakin maju. Selain itu, pengeluaran pemerintah yang dimanfaatkan untuk mengerjakan proyek-proyek baru yang padat karya secara langsung akan menyerap tenaga kerja.
(56)
Variabel modal swasta (investasi) berpengaruh signifikan meningkatkan tenaga kerja dengan nilai koefisien sebesar 0,003. Hal ini berarti setiap kenaikan investasi sebesar 1 persen maka akan meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,003 persen. Investasi swasta menciptakan lahan usaha baru dan proyek-proyek yang dikerjakan memerlukan sumber daya manusia untuk mengerjakannya sehingga akan menyerap banyak tenaga kerja dan membuka lebih banyak kesempatan kerja bagi masyarakat. Nilai koefisien investasi yang kecil kemungkinan disebabkan pengaruh dari teknologi.
Variabel dummy desentralisasi fiskal tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen. Hal ini kemungkinan karena tingkat lapangan kerja yang tercipta selama ini masih belum sebanding dengan peningkatan jumlah angkatan kerja sehingga tingkat pengangguran masih tinggi (Tabel 4.8). Hasil analisis ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suparno (2010) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia baru mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,2 hingga 1,8 juta pertahun. Sedangkan angkatan kerja (dari tahun 2001-2008) rata-rata mencapai 1,9 juta orang sehingga penambahan lapangan pekerjaan belum mampu menyerap seluruh tenaga kerja baru di pasar kerja sehingga menciptakan pengangguran.
Variabel dummy krisis ekonomi signifikan berpengaruh negatif terhadap tenaga kerja. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan tahun 2007 mengurangi kesempatan kerja. Pada krisis tahun 1997 terjadi booming pengangguran, yaitu sebesar 44,44 persen akibat banyaknya perusahaan yang tidak mampu bertahan dari terjangan krisis ekonomi global saat itu. Tahun 1996 jumlah pengangguran di Jawa Barat adalah sekitar 683.818 jiwa dan melonjak
(1)
Provinsi
2002
2005
2008
Kota
Desa
Kota
Desa
Kota
Desa
NAD
-
-
-
-
266.168
229.237
Sumut
130.541
88.328
175.152
117.578
218.333
171.922
Sumbar
145.763
109.991
175.730
125.602
226.343
179.755
Riau
139.229
119.983
196.892
151.718
247.923
210.519
Jambi
140.177
96.937
187.608
122.185
223.527
162.434
Sumsel
129.552
92.060
172.684
120.331
229.552
175.556
Bengkulu
126.861
87.883
172.659
110.275
224.081
170.878
Lampung
124.185
91.675
164.909
113.728
203.685
160.734
DKI Jakarta
160.748
-
237.735
-
290.268
-
Jawa Barat
126.180
96.455
151.235
113.964
190.824
155.367
Jawa Tengah
121.461
97.310
143.776
120.115
184.704
152.531
Yogjakarta
123.903
103.012
160.690
130.807
208.655
169.934
Jawa Timur
123.399
96.962
146.743
115.272
183.408
155.432
Bali
145.650
118.463
166.962
136.897
190.026
158.206
NTB
116.591
91.257
134.488
109.403
193.241
148.998
NTT
119.989
82.828
141.168
89.764
199.006
126.746
Kalbar
138.275
92.644
164.397
109.777
179.261
150.968
Kalteng
122.172
111.197
161.231
125.980
196.354
180.671
Kalteng
131.347
84.650
163.565
107.455
199.415
166.676
Kaltim
147.659
136.809
213.378
161.910
257.862
205.255
Sulut
127.214
108.133
150.421
118.675
175.628
162.433
Sulteng
130.606
100.422
173.991
121.193
196.229
160.527
Sulsel
120.189
87.522
138.576
97.027
160.220
127.938
Sultenggara
120.698
97.168
122.067
107.902
151.471
139.065
Maluku
-
-
189.173
150.271
213.969
180.087
(2)
Lampiran 2. Tingkat Kesempatan Kerja Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 1993-2008
Tahun
Provinsi 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 00. Indonesia 97.25 95.64 92.76 95.13 95.31 94.54 93.64 93.92 91.90 90.94 90.33 90.14 89.74 89.72 90.89 91.57 11. NAD 96.08 94.59 89.58 93.53 94.76 93.79 92.44 95.20 92.29 90.66 91.03 90.65 87.50 89.57 90.16 90.44 12. Sumut
96.89 95.04 90.57 93.68 94.81 92.94 92.33 91.48 90.91 89.70 88.98 88.92 89.02 88.49 89.90 90.90 13. Sumbar 97.58 94.82 93.20 95.28 95.46 94.89 94.12 95.62 91.26 90.38 89.62 87.26 88.50 88.13 89.69 91.96 14. Riau 96.45 94.65 88.24 94.06 94.09 94.24 92.38 94.07 93.57 90.43 89.26 84.75 86.09 89.76 90.21 91.80 15. Jambi 98.23 97.25 92.18 96.20 95.94 97.41 96.53 96.32 94.39 94.22 93.50 93.96 91.41 93.38 93.78 94.86 16. Sumsel 97.67 96.40 90.61 95.98 95.88 97.56 94.97 94.27 93.68 91.86 90.92 91.63 91.44 90.67 90.66 91.92 17. Bengkulu 97.84 97.16 90.27 96.62 96.58 98.03 96.61 96.75 93.99 93.55 92.52 93.71 93.85 93.96 95.32 95.10 18. Lampung 98.59 96.65 91.30 95.78 96.56 95.72 95.42 94.76 93.61 91.68 90.86 92.62 93.15 90.87 92.42 92.85 19. Bangka NA NA NA NA NA NA NA NA 92.92 94.77 92.63 92.86 91.90 91.01 93.51 94.01
(3)
31. Jakarta 94.42 90.84 91.26 90.59 89.06 87.68 84.99 87.92 84.93 85.61 85.14 85.30 85.27 88.60 87.43 87.84 32. Jabar 96.11 94.02 92.67 93.29 93.58 92.31 90.17 91.01 88.23 86.81 87.51 86.31 85.27 85.41 86.92 87.92 33. Jateng 97.93 96.46 94.87 96.31 96.14 94.93 95.65 95.14 93.83 93.34 92.98 92.28 91.49 91.98 92.30 92.65 34. Yogya 97.79 96.14 94.82 95.93 95.96 96.28 96.26 96.55 94.82 94.79 94.38 93.74 94.95 93.69 93.90 94.62 35. Jatim 97.56 96.75 94.97 96.53 96.69 95.90 95.05 95.61 93.49 93.57 91.21 92.31 91.55 91.81 93.21 93.58 36. Banten NA NA NA NA NA NA NA NA 87.68 85.85 85.82 85.69 85.77 81.09 84.25 84.82
51. Bali 98.68 97.60 95.48 97.34 97.41 96.91 97.51 97.04 97.11 95.48 94.64 95.34 95.97 93.96 96.23 96.69 52. NTB 99.22 98.51 89.48 97.40 98.29 96.86 98.56 95.70 94.18 93.06 93.66 92.52 91.07 91.10 93.52 93.87 53. NTT 98.86 98.47 92.96 97.82 97.59 97.36 97.07 97.54 95.74 95.65 95.98 95.52 94.54 96.35 96.28 96.27 61. Kalbar 98.93 97.61 91.77 96.57 96.39 96.35 97.98 95.77 95.16 91.43 93.47 92.10 91.39 91.47 93.53 94.59 62. Kalteng 98.81 95.69 89.21 97.00 96.02 95.51 96.33 96.30 93.86 93.62 92.41 94.41 95.15 93.32 94.89 95.41 63. Kalsel 97.65 97.08 93.11 96.67 97.16 95.84 97.63 96.03 94.09 90.78 92.33 93.98 93.82 91.13 92.38 93.82 64. Kaltim 96.11 92.80 93.54 92.40 93.15 91.55 89.01 91.12 93.19 88.24 90.31 89.61 90.96 86.57 87.93 88.89 71. Sulut 94.95 91.75 84.79 90.76 91.98 94.52 92.25 91.34 89.79 88.65 89.21 89.09 85.60 85.38 87.65 89.35
(4)
72. Sulteng 97.61 95.24 91.07 95.16 96.23 95.00 95.61 94.91 91.75 91.94 95.36 94.15 92.37 89.69 91.61 94.55 73. Sulsel 96.37 94.79 89.10 94.67 95.52 94.75 93.52 93.56 89.61 87.71 82.68 84.07 86.42 87.24 88.75 90.96 74. Sultengra 97.89 96.84 89.51 96.34 97.52 97.44 95.64 96.90 92.49 91.67 89.70 90.65 91.08 90.33 93.60 94.27 75. Gorontalo NA NA NA NA NA NA NA NA 92.22 86.83 89.83 87.71 90.21 92.38 92.84 94.35
(5)
Lampiran 3 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 1993-2008
Provinsi
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Aceh
3.92
5.41
10.42 6.47
5.24
6.21
7.56
4.80
7.71
9.34
8.97
9.35
12.50 10.43 9.84
9.56
Sumut
3.11
4.96
9.43
6.32
5.19
7.06
7.67
8.52
9.09
10.30 11.02 11.08 10.98 11.51 10.10 9.10
Sumbar
2.42
5.18
6.80
4.72
4.54
5.11
5.88
4.38
8.74
9.62
10.38 12.74 11.50 11.87 10.31 8.04
Riau
3.55
5.35
11.76 5.94
5.91
5.76
7.62
5.93
6.43
9.57
10.74 15.25 13.91 10.24 9.79
8.20
Jambi
1.77
2.75
7.82
3.80
4.06
2.59
3.47
3.68
5.61
5.78
6.50
6.04
8.59
6.62
6.22
5.14
Sumsel
2.33
3.60
9.39
4.02
4.12
2.44
5.03
5.73
6.32
8.14
9.08
8.37
8.56
9.33
9.34
8.08
Bengkulu 2.16
2.84
9.73
3.38
3.42
1.97
3.39
3.25
6.01
6.45
7.48
6.29
6.15
6.04
4.68
4.90
Lampung
1.41
3.35
8.70
4.22
3.44
4.28
4.58
5.24
6.39
8.32
9.14
7.38
6.85
9.13
7.58
7.15
Belitung
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
7.08
5.23
7.37
7.14
8.10
8.99
6.49
5.99
Kep.Riau
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
12.24 9.01
8.01
Jakarta
5.58
9.16
8.74
9.41
10.94 12.32 15.01 12.08 15.07 14.39 14.86 14.70 14.73 11.40 12.57 12.16
Jabar
3.89
5.98
7.33
6.71
6.42
7.69
9.83
8.99
11.77 13.19 12.49 13.69 14.73 14.59 13.08 12.08
Jateng
2.07
3.54
5.13
3.69
3.86
5.07
4.35
4.86
6.17
6.66
7.02
7.72
8.51
8.02
7.70
7.35
Yogya
2.21
3.86
5.18
4.07
4.04
3.72
3.74
3.45
5.18
5.21
5.62
6.26
5.05
6.31
6.10
5.38
Jatim
2.44
3.25
5.03
3.47
3.31
4.10
4.95
4.39
6.51
6.43
8.79
7.69
8.45
8.19
6.79
6.42
Banten
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
12.32 14.15 14.18 14.31 14.23 18.91 15.75 15.18
Bali
1.32
2.40
4.52
2.66
2.59
3.09
2.49
2.96
2.89
4.52
5.36
4.66
4.03
6.04
3.77
3.31
NTB
0.78
1.49
10.52 2.60
1.71
3.14
1.44
4.30
5.82
6.94
6.34
7.48
8.93
8.90
6.48
6.13
NTT
1.14
1.53
7.04
2.18
2.41
2.64
2.93
2.46
4.26
4.35
4.02
4.48
5.46
3.65
3.72
3.73
Kalbar
1.07
2.39
8.23
3.43
3.61
3.65
2.02
4.23
4.84
8.57
6.53
7.90
8.61
8.53
6.47
5.41
Kalteng
1.19
4.31
10.79 3.00
3.98
4.49
3.67
3.70
6.14
6.38
7.59
5.59
4.85
6.68
5.11
4.59
Kalsel
2.35
2.92
6.89
3.33
2.84
4.16
2.37
3.97
5.91
9.22
7.67
6.02
6.18
8.87
7.62
6.18
Kaltim
3.89
7.20
6.46
7.60
6.85
8.45
10.99 8.88
6.81
11.76 9.69
10.39 9.04
13.43 12.07 11.11
(6)